Tinjauan Kepustakaan
Oleh:
Dosen:
Dr. Risa Etika, dr., Sp.A(K)
Martono Tri Utomo, dr., Sp.A(K)
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER KESEHATAN IBU DAN ANAK
SURABAYA
2017
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan............................................................................ 2
BAB II MINI REVIEW..................................................................................
ii
DAFTAR SINGKATAN
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.4. Light and Heat for lamp and sunlight through 9 flexible window-
tinting films with attached liner
..........................................................................................................
..........................................................................................................
23
v
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
vii
MINI REVIEW
viii
e. Ikterus disertai berat lahir <2000 gr, masa gestasi <36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, trauma lahir pada kepala,
hipoglikemi, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah
f. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,
lertagis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea
atau suhu yang tidak stabil)
g. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan
2.1.2 Etiologi Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Penyebab yang melatarbelakangi terjadinya hiperbilirubinemia adalah
adanya beberapa gangguan pada produksi, transport, konjugasi, atau ekskresi
bilirubin. Setiap penyakit atau gangguan yang meningkatkan produksi bilirubin
atau yang mengganggu transport atau metabolisme bilirubin bertumpang tindih
dengan ikterus fisiologis. Beberapa penyebab neonatal hiperbilirubinemia adalah
sebagai berikut (Martin, 2004; Kosim dkk, 2012; Martono, dkk, 2017):
1. Peningkatan Produksi Bilirubin
Faktor yang meningkatkan penghancuran hemoglobin juga meningkatkan
kadar bilirubin. Penyebab peningkatan hemolisis meliputi inkompabilitas
tipe/golongan darah, hemoglobinopati, defisiensi enzim (defisiensi ini adalah
penyakit genetik terkait-X yang merupakan bawaan wanita yang diderita oleh bayi
laki-laki Afrika, Asia, dan keturunan Mediterania), sferositosis, ekstravasasi darah
(sefalhematoma dan memar), sepsis, dan polistemia.
2. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Gangguan
transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Faktor yang menurunkan kadar albumin darah atau
menurunkan kemampuan mengikat albumin antara lain keadaan hipotermia,
asidosis, atau hipoksia atau konsumsi obat yang bersaing dengan bilirubin
memperebutkan tempat mengikat albumin (misalnya: aspirin, sulfonamide, dan
ampisilin).
3. Konjugasi Bilirubin
Seperti halnya imaturitas sistem enzim pada neonatus, faktor lain dapat
mengganggu konjugasi bilirubin di hati yang meliputi:
a. Dehidrasi, kelaparan, hipoksia, dan sepsis (oksigen dan glukosa diperlukan
untuk konjugasi)
ix
b. Infeksi TORCH (toksoplasmosis, lain-lain, rubella, sitomegalovirus, herpes)
c. Infeksi virus lain (misalnya: hepatitis virus pada neonatus)
d. Infeksi bakteria lain, terutama yang disebabkan oleh E.coli
e. Gangguan metabolic dan endokrin yang mengubah aktivitas enzim UDP-GT
(misalnya: penyakit Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert)
f. Gangguan metabolic lain, seperti hipotiroidisme dan galaktosemia.
4. Ekskresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan di ekskresikan dalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan di ekskresikan melalui
feses. Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang
relatif tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat.
Faktor yang dapat mengganggu ekskresi bilirubin yaitu obstruksi hepatic,
obstruksi akibat sumbat empedu karena peningkatan viskositas empedu, saturasi
pembawa protein yang diperlukan untuk mengeksresi bilirubin terkonjugasi ke
dalam system bilier serta adanya infeksi, kelainan congenital lain, dan hepatitis
neonatal idiopatik.
2.1.3 Patofisiologi Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah bilirubin
yang larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam
hati. Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang
dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis. Gambar dibawah ini adalah proses
metabolisme bilirubin pada neonatus
x
Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin pada Neonatus
3. Pemeriksaan Klinik
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah
lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar.
2.1.5 Faktor Risiko Kejadian Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa penyebab yang
melatarbelakangi terjadinya hiperbilirubinemia adalah adanya beberapa gangguan
baik pada produksi, transport, konjugasi, atau ekskresi bilirubin (Kosim dkk,
2012). Tetapi perlu diperhatikan pula berbagai faktor risiko yang dapat
memungkinkan neonatus mengalami hiperbilirubin atau dapat memperberat
xii
kejadian hiperbilirubinemia. Faktor-faktor risiko tersebut secara umum
dipaparkan sebagai berikut:
1. Inkompabilitas golongan darah ABO
Salah satu penyebab ikterik patologis atau hiperbilirubinemia adalah
inkompabilitas ABO atau ketidakcocokan golongan darah. Inkomptabilitas ABO
terjadi pada 12% kehamilan, Ibu biasanya memiliki golongan darah O dan janin
memiliki golongan darah A, B atau AB. Kondisi ini terjadi pada perkawinan yang
inkompatibel dimana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum
darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga
tidak jarang apabila janin yang dilahirkan hidup, maka dapat terjadi ikterus yang
dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia (Wagle, 2010).
Apriliastuti DA (2008) melakukan penelitian kepada 65 ibu melahirkan dan
didapatkan hasil 23 bayi dari ibu tersebut mengalami hiperbilirubin serta kejadian
hiperbilirubin akibat inkompabilitas ABO ditemukan sebanyak 21,74% atau 5
bayi dari 23 bayi yang mengalami hiperbilirubin (Apriliastuti, 2008). Hasil
penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aniesah di
Rumah Sakit Nurmala Sari Sukoharjo pada tahun 2011 dimana diketahui jumlah
total inkompatibilitas ABO yang mengalami hiperbilirubin adalah sebanyak 31
orang (11,4%) dari 272 orang dan berdasarkan hasil uji korelasi dengan
menggunakan chi-square (2) diketahui bahwa nilai =0,027 ( < 0,05) maka
dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna (signifikan) antara
inkompatibilitas ABO dengan angka kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir
(Aniesah, 2011). Seperti yang telah diketahui pada kehamilan Inkompatibilitas
ABO, eritrosit bayi bergolongan darah A dan B telah mengalami sensitisasi
dengan antibodi ibu bergolongan darah O sehingga eritrosit bayi akan mengalami
destruksi. Destruksi terjadi karena ibu bergolongan darah O memiliki antibodi dan
akan mengadakan reaksi Inkompatibilitas dengan eritrosit janin. Destruksi
eritrosit yang berlebihan akan meningkatkan kadar bilirubin bayi sehingga
menimbulkan ikterus.
2. Usia Gestasi
Usia gestasi dibagi menjadi 3 yaitu preterm/premature (<37 minggu),
aterm/cukup bulan dan posterm (usia kandungan > 40 minggu). Bayi yang
xiii
premature merupakan bayi yang lahir di usia kehamilan kurang dari 37 minggu
serta berat kurang dari 2500. Pada bayi premature ini kenaikan bilirubin serum
cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada kenaikan bilirubin pada bayi
cukup bulan tetapi jangka waktunya lebih lama, yang biasanya mengakibatkan
kadar yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan, karena kurang matangnya fungsi hati
pada bayi. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan
meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dL pada umur 5 hari. Bayi dikatakan cukup
bulan apabila lahir pada umur 37 minggu sampai dengan usia 40 minggu dan
beratnya 2500 gram sampai dengan 4000 gram. Peristaltik usus sudah lebih baik
dibandingkan yang preterm, sehingga ikterus akan terjadi pada bayi apabila
kekurangan asupan nutrisi atau ASI. Sedangkan bayi posterm adalah bayi yang
lebih bulan atau lahir dengan usia kandungan lebih dari 40 minggu, sehingga
organorgan tubuh dalam bayi lebih matang, sehingga pencernaanya lebih baik
dibandingkan dengan yang preterm (Sukadi, 2002).
Teori tersebut didukung oleh Anggarini (2014) yang melakukan penelitian
case control dengan sampel sebanyak 104 neonatus (52 neonatus yang
hiperbilurubin dan 52 neonatus yang tidak hiperbilirubin) di RSUD Ahmad Yani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 52 neonatus yang mengalami
hiperbilirubin diketahui sebesar 73,1% neonatus lahir dengan persalinan yang
premature. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square disimpulkan
terdapat hubungan antara persalinan premature dengan kejadian hiperbilirubin
(p=0,000; OR=6,107). Pada bayi normal hati mampu mengeluarkan bilirubin dari
tubuh, namun pada bayi prematur hati belum bekerja dengan maksimal, sehingga
bilirubin tetap berada dalam sirkulasi darah dan mengendap di dalam jaringan
tubuh. Ketika sel darah merah dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke
sirkulasi, tempat hemoglobin terpecah menjadi dua fraksi yaitu heme dan globin.
Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah
menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu zat tidak larut yang terikat pada
albumin (Anggraini, 2014).
3. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Bayi BBLR utamanya yang kurang bulan akan mengalami peningkatan
risiko terhadap infeksi karena cadangan imunologlobulin maternal menurun,
xiv
kemampuan untuk membentuk antibodi menurun dan sostem integumen rusak
(kulit tipis dan kapiler rentan). Hepar yang belum matang akhirnya membuat
konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum sempurna (Bobak dkk, 2005).
Penelitian crossectional oleh Herlina T dkk (2012) dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin dengan
jumlah sampel sebanyak 135 bayi baru lahir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dari 88 bayi yang berat badannya tidak normal 72 bayi (81,8%) mempunyai kadar
bilirubin tidak normal. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan ada hubungan
antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir (p=0,000). Bayi yang
memiliki kadar bilirubin tidak normal terjadi dalam 1 minggu pertama
kelahirannya terutama terjadi pada berat bayi lahir tidak normal/ bayi kecil (berat
lahir <2500 gram) dan bayi besar (berat lahir >4000 gram) namun tidak menutup
kemungkinan bahwa berat bayi normal juga beresiko terkena hiperbilirubinemia.
Kadar bilirubin dipengaruhi berat bayi lahir oleh karena organ hati yang belum
matang dalam memproses bilirubin, kurang protein Y dan Z dan enzim glukoronil
transferase yang belum cukup jumlahnya. Ikterus merupakan keadaan normal bayi
baru lahir, namun diperlukan pengamatan cermat antara ikterus fisiologis dan
patologis, sehingga dampak yang dihasilkan dapat dikendalikan (Surasmi, 2003).
4. Jenis Persalinan
Meskipun kejadian asfiksia, trauma, dan aspirasi mekonium bisa berkurang
dengan sectio caesaria, risiko distress pernapasan sekunder sampai takipneu
transien, defisiensi surfaktan, dan hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal
tersebut bisa berakibat terjadinya hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses
konjugasi bilirubin terhambat (Sukadi, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Mauliku dkk (2013) menunjukkan bahwa benar terdapat hubungan antara
jenis persalinan dengan kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir (p=0,014 <
=0,05) dimana dari 65 responden yang bersalin dengan persalinan normal
sebanyak 48 orang (73,8%) bayinya tidak mengalami hiperbilirubin, sedangkan
pada 27 responden yang bersalin melalui persalian tindakan/caesar sebanyak 15
orang (55,6%) bayinya mengalami hiperbilirubin.
Bayi yang dilahirkan dengan tindakan, kemungkinan pada saat lahir tidak
langsung menangis dan keterlambatan menangis ini mengakibatkan kelainan
xv
hemodinamika sehingga depresi pernapasan dapat menyebabkan hipoksia di
seluruh tubuh yang berakibat timbulnya asidosis respiratorik/metabolik yang
dapat mengganggu metabolisme billirubin (Savitri, 2009). Sarjono (2007)
menyebutkan bahwa komplikasi yang terjadi akibat persalinan dengan tindakan
dapat menimbulkan berbagai gangguan dalam masa perinatal, dimana pada masa
ini merupakan masa penting dalam awal kehidupan neonatus dan merupakan
masa-masa rawan karena organ-organ tubuh belum matur sehingga apabila terjadi
gangguan pada masa perinatal dapat mengakibatkan hambatan tumbuh kembang
neonatus itu sendiri (Sarjono, 2007).
5. Kurangnya Pemberian ASI
Breastfeeding jaundice atau sakit kuning adalah suatu kondisi pada bayi
baru lahir akibat hiperbilirubin karena kurang ASI. Dalam darah manusia terdapat
bilirubin, dan pada bayi baru lahir biasanya bilirubin meningkat karena fungsi hati
belum matang sehingga sulit untuk memproses bilirubin tersebut. Akhirnya
bilirubin yang seharusnya keluar bersama dengan feses, kembali mengendap pada
usus. Kondisi kuning yang biasanya terlihat pada hari ketiga kelahirannya ini
disebut kuning fisiologis. Perawatan utama bagi bayi kuning adalah memberikan
cukup ASI tiap 2 jam sekali (Sukadi, 2002). Sunar (2009) menyatakan bahwa
manfaat pemberian ASI bagi bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih
mampu menghadapi efek penyakit kuning (ikterus). Jumlah bilirubin dalam darah
bayi banyak berkurang seiring diberikannya kolostrum yang dapat mengatasi
kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin dan tidak diberi
pengganti ASI (Sunar, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhanti IP (2016) dengan pendekatan
case control pada 60 responden bayi baru lahir (2-10 hari) di BPM N Padang
Panjang mennjukkan ada hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan
kejadian ikterus pada bayi baru lahir (p=0,000). Dari 60 sampel bayi baru lahir
ditemukan kejadian ikterus lebih banyak pada ibu yang tidak sering melakukan
pemberian ASI pada bayinya dibanding dengan responden yang sering
memberikan ASI yaitu sebanyak 60%. Rentang frekuensi menyusui yang optimal
adalah antara 8 hingga 12 kali setiap hari, salah satu manfaat pemberian ASI bagi
bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek
xvi
penyakit kuning (ikterus). Ikterus merupakan penyakit yang sangat rentan terjadi
pada bayi baru lahir, terutama dalam 24 jam setelah kelahiran, dengan pemberian
ASI yang sering, bilirubin yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus akan
dihancurkan dan dikeluarkan melalui urin
6. Jenis Kelamin
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi neonatus laki-laki memiliki risiko
ikterik lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus perempuan, diantaranya adalah
(Tazami dkk, 2013):
a. Prevalensi Sindrom Gilbert (kelainan genetik konjugasi bilirubin) dilaporkan
lebih dari dua kali lipat ditemukan pada laki-laki (12,4%) dibandingkan pada
perempuan (4,8%)
b. Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia,
yang terkait kromosom sex (x-linked) dimana pada umumnya hanya
bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam menjaga
keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik.
Penelitian yang dilakukan Wilard dkk (2016) menyatakan bahwa bayi
dengan jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena ikterus. Hal ini lebih dominan
mungkin disebabkan karena faktor yang terkait seks dalam hal kerentanan host
terhadap infeksi. Kromosom X mungkin memiliki gen yang mempengaruhi fungsi
kelenjar timus dan sintesis imunoglobulin. Sedangkan laki-laki hanya memiliki
satu kromosom X sehingga lebih rentan terhadap infeksi dibanding perempuan
(Wilard dkk, 2016).
7. Komplikasi (Asfiksia, Sepsis, Sefalhematom)
Berdarkan teori yang dikemukakan oleh Martiza (2010) terdapat hubungan
antara komplikasi perinatal dengan kejadian ikterus neonatorum, meskipun
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan neonatus tanpa komplikasi. Hal
tersebut dikarenakan ikterik pada kelompok neonatus tanpa komplikasi
kemungkinan besar disebabkan oleh faktor risiko lain.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasvivin dkk (2013) di ruang NICU
RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara asfiksia dengan ikterus neonatorum (p=0,004)
dimana dari 28 responden (75,7%) dengan riwayat asfiksia sebanyak 22
responden (59,5%) mengalami ikterus. Keadaan asfiksia akan mempengaruhi
xvii
fungsi sel tubuh, menyebabkan hipoperfusi hati yang kemudian akan mengganggu
uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit.
Sedangkan penelitian crossectional yang dilakukan oleh Halisanti O (2017)
pada 70 Neonatus di RSUD Karaganyar menunjukkan bahwa dari 70 orang
neonatus didapatkan sebanyak 15 neonatus mengalami riwayat sepsis dimana 12
neonatus mengalami ikterus dan 3 noenatus tidak mengalami ikterus. Hasil uji
analisis chi-square menunjukkan nilai p=0,009 sehingga kesimpulan penelitian ini
adalah terdapat hubungan yang bermakna antara sepsis neonatorum dengan
terjadinya ikterus neonatorum. Bakteri yang menyebabkan sepsis dapat
menyerang hepar yang dapat menyumbat saluran hepar dan menyebabkan
kolestasis. Kemudian dapat menyebabkan terjadinya peningkatan destruksi
eritrosit sehingga terjadi pemecahan hemoglobin yang berlebihan di dalam sistem
retikulo endotelial oleh enzim heme oksigenase menjadi biliverdin, selanjutnya
oleh enzim biliverdin reduktase dirubah menjadi bilirubin indirek.
xx
dengan penurunan kadar bilirubin total pada hiperbilirubinemia neonatal (Dewi
AKS, 2016).
Sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Bhutani (2011) bahwa fototerapi
rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kadar Total
Bilirubin Serum (TSB) meningkat. Uji klinis telah divalidasi kemanjuran
fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan
implementasinya telah secara Drastis membatasi penggunaan transfusi tuka
(Buthani, 2011). Menurut Wong (2009) untuk mengefektifkan fototerapi, kulit
bayi harus terpajan penuh terhadap sumber cahaya dengan jumlah yang adekuat.
Bila kadar bilirubin serum meningkat sangat cepat atau mencapai kadar kritis,
dianjurkan untuk menggunakan fototerapi dosis ganda atau intensif, teknik ini
dengan menggunakan lampu overhead konvensional sementara itu bayi berbaring
dalam selimut fiberoptik. Warna kulit bayi tidak mempengaruhi efisiensi
pemberian fototerapi. Hasil terbaik terjadi dalam 24 sampai 48 jam pertama
fototerapi (Wong, 2009).
Penelitian lain dilakukan oleh Sidrah dkk (2015) di SVS Medical College of
Mahabubnagar Diistrict menggunakan desain penelitian case control dimana grup
case pada penelitian ini adalah 30 neonatus usia 1-10 hari dengan
hiperbilirubinemia (>11mg/dL) yang diberikan fototerapi dan grup control adalah
30 neonatus usia 1-10 hari dengan hiperbilirubinemia (<10mg/dL) dan tidak
diberikan fototerapi. Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.2 Table Comparison of Parameter Between Control and Case Before and
After Phototheraphy (Sumber: Sidrah, Priyanka T, Naaz A, dkk. 2015.
Estimation of malondialdehyde and vitamin E levels in neonatal
hyperbilirubinemia before and after phototheraphy. International Journal
of Medical Research and Health Science; 4(3):555-559
xxi
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sebelum
dilakukan fototerapi kadar total bilirubin, direct bilirubin, malondialdehyde, dan
vitamin E cenderung meningkat. Setelah dilakukan fototerapi pada sampel yang
sama diketahui bahwa terjadi penurunan kadar total bilirubin, direct bilirubin,
malondialdehyde, dan vitamin E. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan
t-test diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah
diberikan perlakukan (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fototerapi
memiliki efek yang menguntungkan dalam mengatasi hiperbilirubinemia pada
neonatal, akan tetapi jika dilihat bahwa terjadi penurunan kadar vitamin E setelah
di fototerapi maka suplementasi vitamin E perlu diberikan karena vitamin E
penting bagi neonatus untuk mencegah kerusakan oksidatif pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia (Sidrah dkk, 2015).
Hasil yang berbeda dikemukan oleh Yurdakok M (2015) melalui tinjauan
teoritis yang dilakukan olehnya. Meskipun dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa fototerapi efektif untuk menurunkan total serum bilirubin,
dalam kajian Yurkadok menyatakan bahwa perlu diketahui dan dipertimbangkan
apakah fototerapi benar-benar aman untuk bayi preterm yang kecil. Pada bayi
yang kecil (<750 gram) jika diberikan fototerapi terutama fototerapi agresif untuk
menurunkan kadar bilirubin memiliki kemungkinan meningkatkan morbiditas
hingga mortalitas pada neonatus, dimana dapat menyebabkan kerusakan otak pada
bayi prematur serta dapat menyebabkan defisit perkembangan saraf. Oleh karena
itu meskipun fototerapi diasumsikan efektif, namun perlu perhatian lebih terutama
jika dilakukan pada bayi Extremely Low Birth Weight (ELBW) sehingga strategi
terbaik adalah berikan fototerapi jika benar-benar telah dibutuhkan dan harus
sesuai dengan pedoman dan standar yang berlaku (Yurdakok M, 2015).
Dalam melakukan fototerapi tentu perlu ditentukan an posisi yang tepat agar
Pelaksanaan fototerapi secara efektif dapat dilakukan. Perbedaan pendapat masih
terjadi bagaimana posisi yang baik apakah terlentang atau posisi tertentu
dilakukan secara bergantian. Penelitian dilakukan oleh Fei dan Abdullah (2014)
yang bertujuan untuk mengetahui posisi paling efektif untuk melakukan fototerapi
pada bayi dengan hiperbilirubin. Metode pada penelitian ini adalah systematic
xxii
review, dimana semua proses dilakukan oleh reviewer secara independen.
Berdasarkan hasil review didapatkan 5 penelitian yang memiliki validitas
eksternal dan dilakukan analisis secara kualitatif. Dibawah ini adalah qualitative
evaluation of RCT dengan menggunakan alat penilaian PEDro:
Gambar 2.3 Qualitative Evaluation of RCT Using PEDro Assesment Tool (Sumber: Fei
SLW, Abdullah KL. 2014. Effect of turning vs supine position under
phototheraphy on neonates with hyperbilirubinemia: a systematic review.
Journal Of Clinical Nursing; 1-11
xxiv
selama maksimal 30 menit. Setelah 5 menit pertama, sampel akan diambil
gambarnya lagi, demikian juga dengan 5 menit berikutnya, dan dilakukan sampai
waktu penjemuran (30 menit) selesai dilakukan. Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan uji anova disimpulkan bahwa paparan sinar matahari pagi
berpengaruh terhadap penurunan tanda ikterus pada bayi baru lahir (p=0,001).
Kandungan sinar matahari yang dapat memberikan pengaruh berupa
penurunan tanda ikterus adalah sinar biru, yang merupakan komponen sinar
ultraviolet. Bilirubin dalam kulit akan menyerap cahaya secara maksimal dalam
batas wilayah warna biru (mulai dari 420-470 nm). Bilirubin tersebut akan
menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah bilirubin bebas
yang bersifat toksik menjadi isomer-isomernya, Lumirubin serta 4Z dan 15E-
bilirubin, yang pada akhirnya akan dapat diekskresi oleh hati dan ginjal tanpa
memerlukan konjugasi. Sinar biru yang merupakan kandungan dalam sinar
matahari tersebut dapat mengikat bilirubin bebas di permukaan tubuh (kulit)
sehingga mengubah sifat molekul bilirubin bebas yang semula larut dalam lemak
menjadi fotoisomer yang larut dalam air. Dengan pengubahan sifat molekul yang
dilakukan sinar biru ini pada akhirnya akan dapat mengurangi tanda ikterus yang
tampak pada bayi, sehingga pada akhirnya bayi tersebut akan sembuh dengan
level bilirubin bebas dalam batas norma (Puspitosari dkk, 2012; Dworkin, 2000)
Untuk mengetahui seberapa besar penurunan tanda ikterus tersebut dapat
diketahui melalui analisis bentuk hubungan (regresi). Berdasarkan pengujian
statistik yang dilakukan pada penelitian tersebut diperoleh tabel Model Summary
yang menunjukkan hasil yaitu koefisien korelasi (R) sebesar 0,986 yang
menunjukkan bahwa terdapat keeratan hubungan antara tanda ikterus dengan
waktu paparan sinar matahari. Selain itu juga diperoleh hasil koefisien determinasi
(R square) sebesar 0,972 dan koefisien determinasi (adjusted R square) sebesar
0,966, yang berarti bahwa 97,2% tanda ikterus ditentukan oleh waktu paparan
sinar matahari pagi. Sehingga dapat disimpulkan apabila waktu penjemuran
semakin meningkat, diperkirakan setiap menit yang ditambahkan selama
penjemuran berlangsung akan dapat menurunkan tanda ikterus sebesar 1,276 per
menitnya.
Sebagai contoh apabila bayi ikterus A setelah dilakukan pengambilan
gambar diperoleh nilai rerata tanda ikterus sebesar 160,00, maka setelah dilakukan
xxv
penjemuran selama 30 menit pada satu hari tersebut akan menurunkan nilai tanda
ikterusnya sebesar 38,38 (dari hasil perhitungan 1,276 dikali 30). Demikian pula
setelah 30 menit berikutnya pada penjemuran hari kedua maupun pada hari-hari
berikutnya. Sehingga apabila penjemuran dilakukan setiap hari dengan lama
penjemuran setiap harinya adalah 30 menit, maka diperkirakan tanda ikterus akan
menghilang setelah dijemur selama 5 hari atau lebih tergantung dari rerata nilai
tanda ikterus yang didapatkan.
Hasil perhitungan ini sesuai dengan teori di beberapa literatur yang
menyatakan bahwa warna kuning yang tampak pada kulit maupun selaput mukosa
bayi ikterus fisiologis akan menghilang dalam kurun waktu kurang lebih satu
minggu atau maksimal hingga 10 hari. Apabila kegiatan menjemur bayi ini tetap
dilanjutkan, terutama dengan cara-cara yang benar, pada akhirnya akan terjadi
kesembuhan pada penderita tersebut dengan semakin berkurangnya tanda ikterus
dan level bilirubin bebas dalam darah. Sehingga pada akhirnya nanti kadar
bilirubin bebas dalam darah tetap berada dalam batas normal dan warna kuning
yang tampak pada kulit mapun selaput mukosa lain akan hilang (Puspitosari dkk,
2012).
Paparan sinar matahari seperti yang telah dipaparkan diatas memang
dikatakan dapat dijadikan alternatif penanganan untuk hiperbilirubinemia karena
kemampuannya untuk mengurangi kadar total serum bilirubin. Tetapi menurut
kajian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics (2004), paparan sinar
matahari langsung tidak dianjurkan untuk peanganan karena hal tersebut dapat
menimbulkan sejumlah masalah klinis yang cukup berbahaya. Misalnya bahaya
radiasi sinar ultraviolet (100-400 nm) dari paparan sinar matahari secara serius
dapat merusak kulit manusia bahkan hingga kerusakan permanen. Selain itu
inframerah yang ada pada sinar matahari bisa menyebabkan hipertermia dan
dehidrasi utamanya pada neonatus yang rentan. Oleh karena itu American
Academy of Pediatrics tidak merekomendasikannya untuk pengobatan
hiperbilirubinemia (American Academy of Pediatrics, 2004).
Tetapi, sebuah penelitian dilakukan oleh Vreman HJ dkk (2010) dalam
upaya mengatasi bahaya paparan sinar matahari dengan melakukan evaluasi
terhadap sembilan semi-transparent plastic window-tinting films dan melihat
bagaimana kemampuan 9 item trsebut dalam menghalangi radiasi sinar ultraviolet
xxvi
(UVA), inframerah (IR) dan mentransmisikan sinar biru terapeutik (400-520 nm)
untuk perwatan bayi baru lahir yang mengalami ikterus. Pengujian didalam
ruangan dengan menggunakan lampu, sedangkan pengujian luar ruangan adalah
dengan paparan sinar matahari. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Gambar 2.4 Light and Heat for lamp and sunlight through 9 flexible window-tinting
films with attached liner (Sumber: Vreman HJ, Slusher TM, Wong RJ, dkk.
2013. Evaluation of window-tinting films for sunlight phototheraphy.
Journal Of Tropical Pediatrics; 59(6): 496-501
xxvii
2.4 Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Terhadap Kejadian
Hiperbilirubinemia pada Neonatus
xxix
(2011) salah satunya bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh menyusui dengan
frekuensi penyakit kuning (ikterus) dimana data diperoleh dari 313 rekam medis
pasien (ibu-anak) di RS Buddhist Tzu Chi Dalin yang akan di tinjau secara
retrospektif. Sampel penelitian di bagi menjadi 3 grup yaitu ASI eksklusif
(n=161), mixed/ASI+Formula (n=80) dan susu formula (n=72). Hasil penelitian
dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 2.5 Comparison of BWL and TSB Among Three Different Feeding Type
Groups (Sumber: Chen CF, Hsu MC, Shen CH. Influence of breastfeeding
on weight loss, jaundice, and waste elimination in neonates. 2011.
Pediatrics and Neonatology; 52:85-92
BAB III
RINGKASAN
xxxi
lahir. 4 studi mempelajari bahwa fototerapi efektif menurunkan kadar total serum
bilirubin dan derajat ikterus, 1 studi mempelajari fototerapi efektif menurunkan
kadar TSB, tapi terjadi pula penurunan kadar vitamin E yang berperan dalam
mencegah kerusakan oksidatif, 1 studi mempelajari fototerapi kurang efektif
terutama bagi bayi preterm dengan extremely low birth weight, dan 2 studi
mempelajari bahwa posisi telentang merupakan posisi terbaik untuk fototerapi
konvensional. Metode lain adalah dengan paparan sinar matahari dimana 2 studi
mempelajari paparan sinar matahari dapat menjadi alternatif untuk menurunkan
kadar bilirubin dan tanda ikterus, 1 studi mempelajari paparan sinar matahari
langsung cukup berbahaya (radiasi sinar UV dan inframerah), dan 1 studi
mempelajari menghindari bahaya paparan langsung dapat digunakan filter pada
saat menjemur bayi. Studi mengenai pencegahan hiperbilirubin dengan pemberian
ASI menunjukkan 4 studi mempelajari pemberian ASI secara adekuat dan inisiasi
menyusu dini dapat mencegah terjadinya ikterus pada bayi, tetapi 1 studi
menyatakan bahwa pemberian ASI meningkatkan kadar bilirubin yang
diakibatkan oleh late onset.
DAFTAR PUSTAKA
xxxii
Aprillastuti DA. 2008. Kejadian hiperbilirubin akibat inkompabilitas ABO.
Artikel Publikasi. Boyolali: Akademi Kebidanan Estu Utomo Boyolali
Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. 2000. Ikterus dan hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir. Nelson Textbook of Pediatric. Philadelphia: WB
Saunders Co. Hal.610-616
Bunyaniah D. 2013. Pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru
lahir di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Naskah Publikasi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Chen CF, Hsu MC, Shen CH. Influence of breastfeeding on weight loss, jaundice,
and waste elimination in neonates. 2011. Pediatrics and Neonatology; 52:85-
92
Cloherty JP, Martin CR. 2004. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwaald EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal Care. Edisi ke-
5. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins, 2004. hal 185-221
Dewi AKS. 2016. Efektivitas fototerapi terhadap penurunan kadar bilirubin total
pada hiperbilirubinemia neonatal di RSUP Sanglah. Sari Pediatri; 18 (2): 81-
86
Dworkin, Paul H. 2000. Pediatrics national medical series for independent Study.
USA: Lippincott Williams and Wilkins
xxxiii
Hansen WR. 2016. Neonatal jaundice. Online;
(http://emedicine.medscape.com/article/974786, diakses pada 6 juni 2017)
Herlina T, Suparji, Amalia R. 2012. Hubungan antara berat bayi lahir dengan
kadar bilirubin bayi baru lahir di Ruang Perinatologi RSUD Dr. Harjono
Ponorogo. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes; 3 (3):133-137
Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, dkk. 2012. Buku ajar neonatologi. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia
Levene MI, Tudehope DI, Sinha SK.. 2008. Essential neonatal medicine. London:
Blackwell Publishing.
xxxiv
Ministry of Health Malaysia. 2003. Management of jaundice in healthy term
newborn. Kuala Lumpur: Health Technology Assesment Unit Medical
Development Ministry of Health Malaysia; hal. 1-22
National Institute for Health and Care Excellence (NICE). 2010. Recognition and
treatment of neonatal jaundice. Neonatal Jaundice (CG98). online:
(http://guidance.nice.org.uk/cg98, diakses pada 4 juni 2017)
Pohlman MN, Nursanti I, Anto YV. 2015. Hubungan inisiasi menyusu dini dengan
ikterus neonatorum di RSUD Wates Yogyakarta. Media Ilmu Kesehatan;
4(2):96-103
Puspitosari RD, Sumarno, Susatia. 2012. Pengaruh paparan sinar matahari pagi
terhadap penurunan tanda ikterus pada ikterus neonatorum fisiologis. Jurnal
Kedokteran Brawijaya; XXII (3)
Ramadhanti IP. 2016. Hubungan frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus
pada BBL 2-10 hari di BPMN Padang Panjang Tahun 2016. Artikel
Penelitian. Bukit Tinggi: Stikes Prima Nusantara
Shalih FM. 2001. Can sunlight replace phototheraphy units in the treatment of
neonatal jaundice? An in vitro study. Photodermatology, Pothoimmunology,
and Photomedicine; 17(6):272-277
Sukadi. 2002. Diktat kuliah perinatologi: ilmu kesehatan anak. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran
Sunar DP. 2009. Buku pintar ASI eksklusif. Yogyakarta: Diva Press
Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan bayi risiko tinggi. Jakarta: EGC.
xxxv
Tazami RM, Mustarim, Syah S. 2013. Gambaran faktor risiko ikterus neonatorum
pada neonatus di ruang perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi. Artikel
Penelitian. Jambi: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi
Vreman HJ, Slusher TM, Wong RJ, dkk. 2013. Evaluation of window-tinting films
for sunlight phototheraphy. Journal Of Tropical Pediatrics; 59(6): 496-501
Wong DL. 2009. Buku ajar keperawatan pediatrik. Diterjemahkan oleh Agus S,
Neti J, Kuncoro. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
xxxvi