Anda di halaman 1dari 36

PENGARUH FOTOTERAPI, PAPARAN SINAR MATAHARI

PAGI, DAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU TERHADAP


KEJADIAN HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

Tinjauan Kepustakaan

Oleh:

Andini Octaviana Putri


101614153013

Dosen:
Dr. Risa Etika, dr., Sp.A(K)
Martono Tri Utomo, dr., Sp.A(K)

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER KESEHATAN IBU DAN ANAK
SURABAYA
2017
i
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan............................................................................ 2
BAB II MINI REVIEW..................................................................................

2.1. Hiperbilirubinemia pada Neonatus............................................. 3


2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Hiperbilirubinemia
pada Neonatus................................................................. 3
2.1.2 Etiologi Hiperbilirubinemia pada Neonatus.................... 4
2.1.3 Patofisiologi Hiperbilirubinemia pada Neonatus............ 5
2.1.4 Diagnosis Hiperbilirubinemia pada Neonatus................. 7
2.1.5 Faktor RisikoHiperbilirubinemia pada Neonatus............ 8
2.2. Pengaruh Fototerapi Terhadap Kejadian Hiperbilirubinemia
pada Neonatus............................................................................ 14
2.3 Pengaruh Paparan Sinar Matahari Pagi Terhadap Kejadian
Hiperbilirubinemia pada Neonatus............................................ 19
2.3 Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Terhadap Kejadian
Hiperbilirubinemia pada Neonatus............................................ 24
BAB III RINGKASAN.................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR SINGKATAN

AKB : Angka Kematian Bayi


ASI : Air Susu Ibu
BBLR : Bayi Berat Lahir Rendah
ELBW : Extremely Low Birth Weight
IMD : Inisiasi Menyusu Dini
IR : Inframerah
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
RCT : Randomized Controlled Trial
SDKI : Survei Demografi Kesehatan Indonesia
TSB : Total Serum Bilirubin
UVA : Ultraviolet
WHO : World Health Organization

iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman

2.1. Derajat Ikterus pada Neonatus Menurut Kramer


..........................................................................................................
..........................................................................................................
8

2.2. Indikasi Fototerapi Berdasarkan TSB


..........................................................................................................
..........................................................................................................
15

2.3 Indikasi Fototerapi BBLR


..........................................................................................................
..........................................................................................................
31

DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman

2.1. Metabolisme Bilirubin pada Neonatus


..........................................................................................................
..........................................................................................................
6

2.2. Table Comparison of Parameter Between Control and Case


Before and After Phototheraphy
iv
..........................................................................................................
..........................................................................................................
17

2.3. Qualitative Evaluation of RCT Using PEDro Assesment Tool


..........................................................................................................
..........................................................................................................
19

2.4. Light and Heat for lamp and sunlight through 9 flexible window-
tinting films with attached liner
..........................................................................................................
..........................................................................................................
23

2.5. Comparison of BWL and TSB Among Three Different Feeding


Type Groups
...........................................................................................
...........................................................................................
26

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Program pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa ini masih
diprioritaskan pada upaya peningkatan derajat Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
salah satunya adalah kesehatan bayi baru lahir atau neonatus. Status derajat
kesehatan masyarakat dapat dilihat dari angka kematian ibu dan bayi. Tingginya
Angka Kematian Bayi (AKB) khususnya neonatal sebanyak 10 jiwa per tahun dan
99% terjadi di negara berkembang (World Health Organization, 2013). Menurut
data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), Angka Kematian Bayi
(AKB) sebesar 34 per 1.000 kelahiran pada hidup SDKI 2007 turun menjadi 32
per1.000 KH pada SDKI tahun 2012 dimana lebih dari tiga perempat dari semua
kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas
kematian bayi terjadi pada periode neonatus (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Beberapa penyelidikan kematian neonatal di beberapa rumah sakit di
Indonesia menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kematian
neonatal adalah faktor ibu (high risk mother) dan faktor bayi (high risk infant).
Termasuk dalam high risk infant antara lain BBLR, prematur, asfiksia dan ikterus
neonatorum. Masa neonatal merupakan masa kritis bagi kesehatan bayi karena
harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauteri ke kehidupan ekstrauteri.
Kemungkinan timbul masalah atau penyulit pada masa ini yang bila tidak
ditangani dengan baik akan dapat membahayakan kesehatan atau mendatangkan
kematian bagi bayi. Kondisi darurat neonatal yang sering dijumpai, dari beberapa
rumah sakit pendidikan ditemukan bahwa salah satu penyebab terjadinya
kematian neonatus adalah peningkatan kadar bilirubin darah (ikterus). Kejadian
ikterus pada bayi baru lahir berkisar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada
bayi kurang bulan (Kosim dkk, 2012; Winkjosastro, 2011).
Bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi yang
paling sering ditemukan. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang lahir akan datang
kembali ke rumah sakit untuk dirawat pada minggu pertama kehidupannya
disebabkan oleh hiperbilirubinemia (Kosim dkk, 2012). Menurut Sukadi (2002)
bahwa penyebab hiperbillirubin saat ini masih merupakan faktor predisposisi.
vi
Yang sering ditemukan antara lain dari faktor maternal seperti komplikasi
kehamilan (inkontabilitas golongan darah ABO dan Rh), dan pemberian air susu
ibu (ASI), faktor perinatal seperti infeksi, dan trauma lahir (cephalhermaton), dan
faktor neonatus seperti prematuritas, rendahnya asupan ASI, dan faktor genetik
serta jenis kelamin (Sastroasmoro, 2007). Selain itu, faktor risiko terjadinya
hiperbillirubin diantaranya pada bayi kurang bulan atau kehamilan usia <37
minggu, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan jenis persalinan (Sukadi,
2002).
Berbagai upaya dilakukan untuk menangani permasalahan hiperbilirubin
pada neonatus. Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah seperti
memberikan ASI secara adekuat serta melalui IMD untuk mencegah tingginya
kadar bilirubin pada anak dimana berdasarkan beberapa hasil penelitian
menyatakan bahwa kedua cara tersebut cukup mampu mengendalikan kadar
bilirubin neonatus, serta dapat dilakukan pula penatalaksanaan hiperbilirubinemia
dengan menjemur anak di bawah sinar matahari pagi serta melakukan
fototerapi/terapi sinar untuk dimana hal-hal tersebut dilaksanakan dengan tujuan
agar mampu menurunkan insidensi hiperbilirubin pada neonatus (CMNRP, 2015).

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari tinjauan kepustakaan ini adalah mempelajari tentang
hiperbilirubinemia pada neonatus terkait dengan definisi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, serta faktor risiko yang mempengaruhinya. Serta, tinjauan kepustakaan
ini juga mempelajari pengaruh pemberian Air Susu Ibu (ASI), paparan sinar
matahari dan pemberian fototerapi terhadap hiperbilirubinemia pada neonatus.

BAB II

vii
MINI REVIEW

2.1 Hiperbilirubinemia pada Neonatus


2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Hiperbilirubinemia merupakan keadaan terjadinya peningkatan kadar
plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi atau lebih dari presentil 90 (Kosim dkk, 2012).
Hiperbiluribinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning dan keadaan ini
terjadi akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan
kulit (Kosim dkk, 2012). Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang
tidak mempunyai dasar patologis serta kadarnya tidak melewati kadar yang
membahayakan (Fakultas Kedokteran UI, 2007). Umumnya terjadi pada bayi baru
lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi
kurang bulan kenaikan bilirubin cenderung sama atau sedikit lebih lambat,
puncaknya dicapai pada hari ke-4 dan ke-7, bergantung pada waktu yang
diperlukan untuk mencapai mekanisme mature dalam metabolisme dan ekskresi
bilirubin. Kadar puncaknya 8-12 mg/dL dan kadar tersebut tidak dicapai sebelum
hari ke-5 sampai ke-7 dan ikterus jarang diamati sesudah hari ke-10 (Behrman,
1999)
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut sebagai hiperbilirubinemia.
Adapun hal-hal yang menunjukkan hiperbilirubinemia adalah sebagai berikut
(Fakultas Kedokteran UI, 2007):
a. Ikterus (kuning ) terjadi dalam 24 jam pertama (sebelum umur 24 jam).
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus kurang bulan atau melebihi
12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
c. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg% serta peningkatan bilirubin total
serum lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d. Ikterus disertai dengan proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G-6-PD dan sepsis)

viii
e. Ikterus disertai berat lahir <2000 gr, masa gestasi <36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, trauma lahir pada kepala,
hipoglikemi, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah
f. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,
lertagis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea
atau suhu yang tidak stabil)
g. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan
2.1.2 Etiologi Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Penyebab yang melatarbelakangi terjadinya hiperbilirubinemia adalah
adanya beberapa gangguan pada produksi, transport, konjugasi, atau ekskresi
bilirubin. Setiap penyakit atau gangguan yang meningkatkan produksi bilirubin
atau yang mengganggu transport atau metabolisme bilirubin bertumpang tindih
dengan ikterus fisiologis. Beberapa penyebab neonatal hiperbilirubinemia adalah
sebagai berikut (Martin, 2004; Kosim dkk, 2012; Martono, dkk, 2017):
1. Peningkatan Produksi Bilirubin
Faktor yang meningkatkan penghancuran hemoglobin juga meningkatkan
kadar bilirubin. Penyebab peningkatan hemolisis meliputi inkompabilitas
tipe/golongan darah, hemoglobinopati, defisiensi enzim (defisiensi ini adalah
penyakit genetik terkait-X yang merupakan bawaan wanita yang diderita oleh bayi
laki-laki Afrika, Asia, dan keturunan Mediterania), sferositosis, ekstravasasi darah
(sefalhematoma dan memar), sepsis, dan polistemia.
2. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Gangguan
transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Faktor yang menurunkan kadar albumin darah atau
menurunkan kemampuan mengikat albumin antara lain keadaan hipotermia,
asidosis, atau hipoksia atau konsumsi obat yang bersaing dengan bilirubin
memperebutkan tempat mengikat albumin (misalnya: aspirin, sulfonamide, dan
ampisilin).
3. Konjugasi Bilirubin
Seperti halnya imaturitas sistem enzim pada neonatus, faktor lain dapat
mengganggu konjugasi bilirubin di hati yang meliputi:
a. Dehidrasi, kelaparan, hipoksia, dan sepsis (oksigen dan glukosa diperlukan
untuk konjugasi)
ix
b. Infeksi TORCH (toksoplasmosis, lain-lain, rubella, sitomegalovirus, herpes)
c. Infeksi virus lain (misalnya: hepatitis virus pada neonatus)
d. Infeksi bakteria lain, terutama yang disebabkan oleh E.coli
e. Gangguan metabolic dan endokrin yang mengubah aktivitas enzim UDP-GT
(misalnya: penyakit Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert)
f. Gangguan metabolic lain, seperti hipotiroidisme dan galaktosemia.
4. Ekskresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan di ekskresikan dalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan di ekskresikan melalui
feses. Bayi baru lahir mempunyai konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang
relatif tinggi didalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat.
Faktor yang dapat mengganggu ekskresi bilirubin yaitu obstruksi hepatic,
obstruksi akibat sumbat empedu karena peningkatan viskositas empedu, saturasi
pembawa protein yang diperlukan untuk mengeksresi bilirubin terkonjugasi ke
dalam system bilier serta adanya infeksi, kelainan congenital lain, dan hepatitis
neonatal idiopatik.
2.1.3 Patofisiologi Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah bilirubin
yang larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam
hati. Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang
dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum
Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis. Gambar dibawah ini adalah proses
metabolisme bilirubin pada neonatus

x
Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin pada Neonatus

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .


Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma
juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi
apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu (Hansen dkk, 2016).
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila bilirubin menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati
sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.
Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan hipoglikemia (Hansen dkk, 2016).
2.1.4 Diagnosis Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Diagnosis hiperbilirubinemia dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut (Mansjoer, 2000)
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui:
1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu dengan dabetes
mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal)
2. Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
3. Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
4. Riwayat inkompatibilitas darah
5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
2. Pemeriksaan Fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
xi
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau
kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan
dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya (Mansjoer, 2000).

Tabel 2.1 Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer


Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9
Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan
3 11
tungkai
Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah
4 12
tungkai
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16
Sumber: Mansjoer A, 2000. Hal 504

3. Pemeriksaan Klinik
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah
lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar.
2.1.5 Faktor Risiko Kejadian Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa penyebab yang
melatarbelakangi terjadinya hiperbilirubinemia adalah adanya beberapa gangguan
baik pada produksi, transport, konjugasi, atau ekskresi bilirubin (Kosim dkk,
2012). Tetapi perlu diperhatikan pula berbagai faktor risiko yang dapat
memungkinkan neonatus mengalami hiperbilirubin atau dapat memperberat
xii
kejadian hiperbilirubinemia. Faktor-faktor risiko tersebut secara umum
dipaparkan sebagai berikut:
1. Inkompabilitas golongan darah ABO
Salah satu penyebab ikterik patologis atau hiperbilirubinemia adalah
inkompabilitas ABO atau ketidakcocokan golongan darah. Inkomptabilitas ABO
terjadi pada 12% kehamilan, Ibu biasanya memiliki golongan darah O dan janin
memiliki golongan darah A, B atau AB. Kondisi ini terjadi pada perkawinan yang
inkompatibel dimana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum
darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga
tidak jarang apabila janin yang dilahirkan hidup, maka dapat terjadi ikterus yang
dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia (Wagle, 2010).
Apriliastuti DA (2008) melakukan penelitian kepada 65 ibu melahirkan dan
didapatkan hasil 23 bayi dari ibu tersebut mengalami hiperbilirubin serta kejadian
hiperbilirubin akibat inkompabilitas ABO ditemukan sebanyak 21,74% atau 5
bayi dari 23 bayi yang mengalami hiperbilirubin (Apriliastuti, 2008). Hasil
penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aniesah di
Rumah Sakit Nurmala Sari Sukoharjo pada tahun 2011 dimana diketahui jumlah
total inkompatibilitas ABO yang mengalami hiperbilirubin adalah sebanyak 31
orang (11,4%) dari 272 orang dan berdasarkan hasil uji korelasi dengan
menggunakan chi-square (2) diketahui bahwa nilai =0,027 ( < 0,05) maka
dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang bermakna (signifikan) antara
inkompatibilitas ABO dengan angka kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir
(Aniesah, 2011). Seperti yang telah diketahui pada kehamilan Inkompatibilitas
ABO, eritrosit bayi bergolongan darah A dan B telah mengalami sensitisasi
dengan antibodi ibu bergolongan darah O sehingga eritrosit bayi akan mengalami
destruksi. Destruksi terjadi karena ibu bergolongan darah O memiliki antibodi dan
akan mengadakan reaksi Inkompatibilitas dengan eritrosit janin. Destruksi
eritrosit yang berlebihan akan meningkatkan kadar bilirubin bayi sehingga
menimbulkan ikterus.
2. Usia Gestasi
Usia gestasi dibagi menjadi 3 yaitu preterm/premature (<37 minggu),
aterm/cukup bulan dan posterm (usia kandungan > 40 minggu). Bayi yang

xiii
premature merupakan bayi yang lahir di usia kehamilan kurang dari 37 minggu
serta berat kurang dari 2500. Pada bayi premature ini kenaikan bilirubin serum
cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada kenaikan bilirubin pada bayi
cukup bulan tetapi jangka waktunya lebih lama, yang biasanya mengakibatkan
kadar yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan, karena kurang matangnya fungsi hati
pada bayi. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan
meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dL pada umur 5 hari. Bayi dikatakan cukup
bulan apabila lahir pada umur 37 minggu sampai dengan usia 40 minggu dan
beratnya 2500 gram sampai dengan 4000 gram. Peristaltik usus sudah lebih baik
dibandingkan yang preterm, sehingga ikterus akan terjadi pada bayi apabila
kekurangan asupan nutrisi atau ASI. Sedangkan bayi posterm adalah bayi yang
lebih bulan atau lahir dengan usia kandungan lebih dari 40 minggu, sehingga
organorgan tubuh dalam bayi lebih matang, sehingga pencernaanya lebih baik
dibandingkan dengan yang preterm (Sukadi, 2002).
Teori tersebut didukung oleh Anggarini (2014) yang melakukan penelitian
case control dengan sampel sebanyak 104 neonatus (52 neonatus yang
hiperbilurubin dan 52 neonatus yang tidak hiperbilirubin) di RSUD Ahmad Yani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 52 neonatus yang mengalami
hiperbilirubin diketahui sebesar 73,1% neonatus lahir dengan persalinan yang
premature. Hasil uji statistik dengan menggunakan chi square disimpulkan
terdapat hubungan antara persalinan premature dengan kejadian hiperbilirubin
(p=0,000; OR=6,107). Pada bayi normal hati mampu mengeluarkan bilirubin dari
tubuh, namun pada bayi prematur hati belum bekerja dengan maksimal, sehingga
bilirubin tetap berada dalam sirkulasi darah dan mengendap di dalam jaringan
tubuh. Ketika sel darah merah dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke
sirkulasi, tempat hemoglobin terpecah menjadi dua fraksi yaitu heme dan globin.
Bagian globin (protein) digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah
menjadi bilirubin tidak terkonjugasi, suatu zat tidak larut yang terikat pada
albumin (Anggraini, 2014).
3. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Bayi BBLR utamanya yang kurang bulan akan mengalami peningkatan
risiko terhadap infeksi karena cadangan imunologlobulin maternal menurun,

xiv
kemampuan untuk membentuk antibodi menurun dan sostem integumen rusak
(kulit tipis dan kapiler rentan). Hepar yang belum matang akhirnya membuat
konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum sempurna (Bobak dkk, 2005).
Penelitian crossectional oleh Herlina T dkk (2012) dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin dengan
jumlah sampel sebanyak 135 bayi baru lahir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dari 88 bayi yang berat badannya tidak normal 72 bayi (81,8%) mempunyai kadar
bilirubin tidak normal. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan ada hubungan
antara berat bayi lahir dengan kadar bilirubin bayi baru lahir (p=0,000). Bayi yang
memiliki kadar bilirubin tidak normal terjadi dalam 1 minggu pertama
kelahirannya terutama terjadi pada berat bayi lahir tidak normal/ bayi kecil (berat
lahir <2500 gram) dan bayi besar (berat lahir >4000 gram) namun tidak menutup
kemungkinan bahwa berat bayi normal juga beresiko terkena hiperbilirubinemia.
Kadar bilirubin dipengaruhi berat bayi lahir oleh karena organ hati yang belum
matang dalam memproses bilirubin, kurang protein Y dan Z dan enzim glukoronil
transferase yang belum cukup jumlahnya. Ikterus merupakan keadaan normal bayi
baru lahir, namun diperlukan pengamatan cermat antara ikterus fisiologis dan
patologis, sehingga dampak yang dihasilkan dapat dikendalikan (Surasmi, 2003).
4. Jenis Persalinan
Meskipun kejadian asfiksia, trauma, dan aspirasi mekonium bisa berkurang
dengan sectio caesaria, risiko distress pernapasan sekunder sampai takipneu
transien, defisiensi surfaktan, dan hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal
tersebut bisa berakibat terjadinya hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses
konjugasi bilirubin terhambat (Sukadi, 2002). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Mauliku dkk (2013) menunjukkan bahwa benar terdapat hubungan antara
jenis persalinan dengan kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir (p=0,014 <
=0,05) dimana dari 65 responden yang bersalin dengan persalinan normal
sebanyak 48 orang (73,8%) bayinya tidak mengalami hiperbilirubin, sedangkan
pada 27 responden yang bersalin melalui persalian tindakan/caesar sebanyak 15
orang (55,6%) bayinya mengalami hiperbilirubin.
Bayi yang dilahirkan dengan tindakan, kemungkinan pada saat lahir tidak
langsung menangis dan keterlambatan menangis ini mengakibatkan kelainan

xv
hemodinamika sehingga depresi pernapasan dapat menyebabkan hipoksia di
seluruh tubuh yang berakibat timbulnya asidosis respiratorik/metabolik yang
dapat mengganggu metabolisme billirubin (Savitri, 2009). Sarjono (2007)
menyebutkan bahwa komplikasi yang terjadi akibat persalinan dengan tindakan
dapat menimbulkan berbagai gangguan dalam masa perinatal, dimana pada masa
ini merupakan masa penting dalam awal kehidupan neonatus dan merupakan
masa-masa rawan karena organ-organ tubuh belum matur sehingga apabila terjadi
gangguan pada masa perinatal dapat mengakibatkan hambatan tumbuh kembang
neonatus itu sendiri (Sarjono, 2007).
5. Kurangnya Pemberian ASI
Breastfeeding jaundice atau sakit kuning adalah suatu kondisi pada bayi
baru lahir akibat hiperbilirubin karena kurang ASI. Dalam darah manusia terdapat
bilirubin, dan pada bayi baru lahir biasanya bilirubin meningkat karena fungsi hati
belum matang sehingga sulit untuk memproses bilirubin tersebut. Akhirnya
bilirubin yang seharusnya keluar bersama dengan feses, kembali mengendap pada
usus. Kondisi kuning yang biasanya terlihat pada hari ketiga kelahirannya ini
disebut kuning fisiologis. Perawatan utama bagi bayi kuning adalah memberikan
cukup ASI tiap 2 jam sekali (Sukadi, 2002). Sunar (2009) menyatakan bahwa
manfaat pemberian ASI bagi bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih
mampu menghadapi efek penyakit kuning (ikterus). Jumlah bilirubin dalam darah
bayi banyak berkurang seiring diberikannya kolostrum yang dapat mengatasi
kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering mungkin dan tidak diberi
pengganti ASI (Sunar, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhanti IP (2016) dengan pendekatan
case control pada 60 responden bayi baru lahir (2-10 hari) di BPM N Padang
Panjang mennjukkan ada hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan
kejadian ikterus pada bayi baru lahir (p=0,000). Dari 60 sampel bayi baru lahir
ditemukan kejadian ikterus lebih banyak pada ibu yang tidak sering melakukan
pemberian ASI pada bayinya dibanding dengan responden yang sering
memberikan ASI yaitu sebanyak 60%. Rentang frekuensi menyusui yang optimal
adalah antara 8 hingga 12 kali setiap hari, salah satu manfaat pemberian ASI bagi
bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi efek

xvi
penyakit kuning (ikterus). Ikterus merupakan penyakit yang sangat rentan terjadi
pada bayi baru lahir, terutama dalam 24 jam setelah kelahiran, dengan pemberian
ASI yang sering, bilirubin yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus akan
dihancurkan dan dikeluarkan melalui urin
6. Jenis Kelamin
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi neonatus laki-laki memiliki risiko
ikterik lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus perempuan, diantaranya adalah
(Tazami dkk, 2013):
a. Prevalensi Sindrom Gilbert (kelainan genetik konjugasi bilirubin) dilaporkan
lebih dari dua kali lipat ditemukan pada laki-laki (12,4%) dibandingkan pada
perempuan (4,8%)
b. Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia,
yang terkait kromosom sex (x-linked) dimana pada umumnya hanya
bermanifestasi pada laki-laki. Enzim G6PD sendiri berfungsi dalam menjaga
keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik.
Penelitian yang dilakukan Wilard dkk (2016) menyatakan bahwa bayi
dengan jenis kelamin laki-laki lebih rentan terkena ikterus. Hal ini lebih dominan
mungkin disebabkan karena faktor yang terkait seks dalam hal kerentanan host
terhadap infeksi. Kromosom X mungkin memiliki gen yang mempengaruhi fungsi
kelenjar timus dan sintesis imunoglobulin. Sedangkan laki-laki hanya memiliki
satu kromosom X sehingga lebih rentan terhadap infeksi dibanding perempuan
(Wilard dkk, 2016).
7. Komplikasi (Asfiksia, Sepsis, Sefalhematom)
Berdarkan teori yang dikemukakan oleh Martiza (2010) terdapat hubungan
antara komplikasi perinatal dengan kejadian ikterus neonatorum, meskipun
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan neonatus tanpa komplikasi. Hal
tersebut dikarenakan ikterik pada kelompok neonatus tanpa komplikasi
kemungkinan besar disebabkan oleh faktor risiko lain.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hasvivin dkk (2013) di ruang NICU
RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara asfiksia dengan ikterus neonatorum (p=0,004)
dimana dari 28 responden (75,7%) dengan riwayat asfiksia sebanyak 22
responden (59,5%) mengalami ikterus. Keadaan asfiksia akan mempengaruhi
xvii
fungsi sel tubuh, menyebabkan hipoperfusi hati yang kemudian akan mengganggu
uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit.
Sedangkan penelitian crossectional yang dilakukan oleh Halisanti O (2017)
pada 70 Neonatus di RSUD Karaganyar menunjukkan bahwa dari 70 orang
neonatus didapatkan sebanyak 15 neonatus mengalami riwayat sepsis dimana 12
neonatus mengalami ikterus dan 3 noenatus tidak mengalami ikterus. Hasil uji
analisis chi-square menunjukkan nilai p=0,009 sehingga kesimpulan penelitian ini
adalah terdapat hubungan yang bermakna antara sepsis neonatorum dengan
terjadinya ikterus neonatorum. Bakteri yang menyebabkan sepsis dapat
menyerang hepar yang dapat menyumbat saluran hepar dan menyebabkan
kolestasis. Kemudian dapat menyebabkan terjadinya peningkatan destruksi
eritrosit sehingga terjadi pemecahan hemoglobin yang berlebihan di dalam sistem
retikulo endotelial oleh enzim heme oksigenase menjadi biliverdin, selanjutnya
oleh enzim biliverdin reduktase dirubah menjadi bilirubin indirek.

2.2 Pengaruh Fototerapi Terhadap Kejadian Hiperbilirubinemia pada


Neonatus

Cara kerja fototerapi adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk


yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu atau urin. Ketika
bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga
terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin
yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin adalah
produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah
kecil bilirubin plasama tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang
diiekskresikan lewat urin (Ministry of Health Malaysia, 2003).
Terapi sinar diharapkan dapat menurunkan bilirubin serum total sebesar 1-2
mg/dL dalam 4-6 jam apabila hal tersebut tidak terjadi maka terapi sinar
dinyatakan gagal (Martono dkk, 2017). Fototerapi menggunakan panjang
gelombang 425-475 nm. Intensitas cahanyanya 6-12 watt/cm2 per nm. Cahaya
diberikan pada jarak 35-50 cm dengan bola lampu 6-8 buah terdiri dari biru
(F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluoroscent tubes.
Kadar bilirubin diukur setiap 24 jam. Fototerapi akan dihentikan jika kadar
bilirubin <13 mg/dL dan jika mendekati jumlah indikasi transfusi tukar (Health
xviii
Technology Assesment, 2004). Indikasi fototerapi berdasarkan total serum
bilirubin (TSB) menurut WHO dan indikasi fototerapi untuk bayi BBLR dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Indikasi Fototerapi Berdasarkan TSB


BCB Sehat Bayi Faktor Risiko*
Usia (Hari)
Mg/dL mol/dL Mg/dL mol/dL
1 Kuning terlihat pada bagian tubuh manapun
2 15 260 13 220
3 18 310 16 270
=4 20 340 17 290
Sumber: WHO dalam HTA, 2004
*faktor risiko meliputi bayi kecil (<2500 gram), prematur (<37 minggu), hemolisis, dan sepsis

Tabel 2.3 Indikasi Fototerapi BBLR


Berat Badan (gram) Kadar Bilirubin (mg/dL)
<1000 Fototerapi dimulai dalam usia 24 jam pertama
1000-1500 7-9
1500-2000 10-12
2000-2500 13-15
Sumber: Cloherty, 2004

Efektivitas fototerapi untuk penatalaksanaan hiperbilirubin pada neonatus


dapat ditinjau melalui penelitian yang dilakukan oleh Simsek FM dkk (2014).
Penelitian ini dilakukan pada 250 bayi usia 15 hari dengan lama kehamilan 36
minggu selama bulan april-september di Rumah Sakit Umraniye. Kelompok studi
dibagi menjadi dua grup yaitu kelompok yang diberikan fototerapi dan kelompok
yang tidak diberikan fototerapi. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan
analisis dengan menggunakan uji korelasi spearman diketahui terdapat perbedaan
rata-rata yang signifikan total serum bilirubin (TSB) dan transcutaneous bilirubin
(TcB) forehead dan sternum antara kelompok yang diberi fototerapi dengan
kelompok yang tidak diberi fototerapi, dimana kelompok yang diberikan
fototerapi memiiki kadar bilirubin yang lebih rendah (p=0,001) (Simsek dkk,
2014).
xix
Penelitian lain dilakukan oleh Hosea MK dkk (2015) dengan melakukan
studi deskriptif pada rekam medis 100 bayi dengan hiperbilirubinemia (kadar TSB
5mg/dL) di bangsal Departemen Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hasil
penelitian menunjukkan semua neonatus(100%) dengan hiperbilirubinemia yang
dirawat di RSUD Dr. Soetomo sembuh dan tidak ada pasien yang mengalami
komplikasi dan meninggal. Kesembuhan pasien tersebut sebesar 68% terjadi
dikarenakan pemberian fototerapi >24 jam pada neonatus (Hosea dkk, 2015).
Penelitian pre-eksperimental dengan one group pretest-postest design
dilakukan oleh Bunyaniah (2013) di RSUD Dr. Moewardi. Dilakukan pengukuran
derajat ikterik pada 35 bayi ikterik setelah dilakukan fototerapi pada pengukuran
jam ke 24 dan 36 jam dan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar berada
pada tingkat derajat 3 sebesar 43,5% yaitu yang meliputi daerah ikterik dibawah
umbilikus hingga tungkai atas. Pada pengukuran jam ke 24 dari 20 responden
semua responden mengalami penurunan derajat ikterik setelah dilakukan
fototerapi. Pada jam ke 36 dari sejumlah 15 responden semuanya mengalami
penurunan derajat ikterik setelah dilakukan fototerapi. Sehingga setelah dilakukan
terapi menggunakan fototerapi semua responden mengalami penurunan tingkat
derajat ikterik pada bayi ikterik. Dalam pengujian statistik dengan menggunakan
analisis wilcoxon signed ranks test hasil terdapat pengaruh pemberian fototerapi
terhadap derajat ikterik pada bayi baru lahir pada jam ke 24 (p=0,000) dan
terdapat pengaruh pemberian fototerapi terhadap derajat ikterikpada bayi baru
lahir pada jam ke 36 (p=0,006).
Penelitian Bunyaniah tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Dewi AKS (2016) dimana hasil penelitian menunjukkan Rerata kadar bilirubin
total sebelum dilakukanfototerapi 15,31,94 mg/dL dan setelah dilakukan
fototerapi 24 jam 12,81,88 mg/dL/hari. Penurunan kadar bilirubin 2,50,8 mg/dL
dalam 24 jam (turun 16,3% dalam 24 jam) dengan p=0,001. Kadar bilirubin pada
usia kehamilan 35 sampai <37 minggu dengan rerata penurunan kadar bilirubin
2,25 mg/dL/24 jam, dan pada usia 37-42 minggu dengan kadar 2,6 mg/dL/24 jam
Komplikasi jangka pendek fototerapi, yaitu hipertermi 1 (2,3%) dan eritema 12
(27,3%) pasien sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh fototerapi

xx
dengan penurunan kadar bilirubin total pada hiperbilirubinemia neonatal (Dewi
AKS, 2016).
Sesuai dengan teori yang dikemukan oleh Bhutani (2011) bahwa fototerapi
rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kadar Total
Bilirubin Serum (TSB) meningkat. Uji klinis telah divalidasi kemanjuran
fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan
implementasinya telah secara Drastis membatasi penggunaan transfusi tuka
(Buthani, 2011). Menurut Wong (2009) untuk mengefektifkan fototerapi, kulit
bayi harus terpajan penuh terhadap sumber cahaya dengan jumlah yang adekuat.
Bila kadar bilirubin serum meningkat sangat cepat atau mencapai kadar kritis,
dianjurkan untuk menggunakan fototerapi dosis ganda atau intensif, teknik ini
dengan menggunakan lampu overhead konvensional sementara itu bayi berbaring
dalam selimut fiberoptik. Warna kulit bayi tidak mempengaruhi efisiensi
pemberian fototerapi. Hasil terbaik terjadi dalam 24 sampai 48 jam pertama
fototerapi (Wong, 2009).
Penelitian lain dilakukan oleh Sidrah dkk (2015) di SVS Medical College of
Mahabubnagar Diistrict menggunakan desain penelitian case control dimana grup
case pada penelitian ini adalah 30 neonatus usia 1-10 hari dengan
hiperbilirubinemia (>11mg/dL) yang diberikan fototerapi dan grup control adalah
30 neonatus usia 1-10 hari dengan hiperbilirubinemia (<10mg/dL) dan tidak
diberikan fototerapi. Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.2 Table Comparison of Parameter Between Control and Case Before and
After Phototheraphy (Sumber: Sidrah, Priyanka T, Naaz A, dkk. 2015.
Estimation of malondialdehyde and vitamin E levels in neonatal
hyperbilirubinemia before and after phototheraphy. International Journal
of Medical Research and Health Science; 4(3):555-559

xxi
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sebelum
dilakukan fototerapi kadar total bilirubin, direct bilirubin, malondialdehyde, dan
vitamin E cenderung meningkat. Setelah dilakukan fototerapi pada sampel yang
sama diketahui bahwa terjadi penurunan kadar total bilirubin, direct bilirubin,
malondialdehyde, dan vitamin E. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan
t-test diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah
diberikan perlakukan (p<0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fototerapi
memiliki efek yang menguntungkan dalam mengatasi hiperbilirubinemia pada
neonatal, akan tetapi jika dilihat bahwa terjadi penurunan kadar vitamin E setelah
di fototerapi maka suplementasi vitamin E perlu diberikan karena vitamin E
penting bagi neonatus untuk mencegah kerusakan oksidatif pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia (Sidrah dkk, 2015).
Hasil yang berbeda dikemukan oleh Yurdakok M (2015) melalui tinjauan
teoritis yang dilakukan olehnya. Meskipun dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa fototerapi efektif untuk menurunkan total serum bilirubin,
dalam kajian Yurkadok menyatakan bahwa perlu diketahui dan dipertimbangkan
apakah fototerapi benar-benar aman untuk bayi preterm yang kecil. Pada bayi
yang kecil (<750 gram) jika diberikan fototerapi terutama fototerapi agresif untuk
menurunkan kadar bilirubin memiliki kemungkinan meningkatkan morbiditas
hingga mortalitas pada neonatus, dimana dapat menyebabkan kerusakan otak pada
bayi prematur serta dapat menyebabkan defisit perkembangan saraf. Oleh karena
itu meskipun fototerapi diasumsikan efektif, namun perlu perhatian lebih terutama
jika dilakukan pada bayi Extremely Low Birth Weight (ELBW) sehingga strategi
terbaik adalah berikan fototerapi jika benar-benar telah dibutuhkan dan harus
sesuai dengan pedoman dan standar yang berlaku (Yurdakok M, 2015).
Dalam melakukan fototerapi tentu perlu ditentukan an posisi yang tepat agar
Pelaksanaan fototerapi secara efektif dapat dilakukan. Perbedaan pendapat masih
terjadi bagaimana posisi yang baik apakah terlentang atau posisi tertentu
dilakukan secara bergantian. Penelitian dilakukan oleh Fei dan Abdullah (2014)
yang bertujuan untuk mengetahui posisi paling efektif untuk melakukan fototerapi
pada bayi dengan hiperbilirubin. Metode pada penelitian ini adalah systematic
xxii
review, dimana semua proses dilakukan oleh reviewer secara independen.
Berdasarkan hasil review didapatkan 5 penelitian yang memiliki validitas
eksternal dan dilakukan analisis secara kualitatif. Dibawah ini adalah qualitative
evaluation of RCT dengan menggunakan alat penilaian PEDro:

Gambar 2.3 Qualitative Evaluation of RCT Using PEDro Assesment Tool (Sumber: Fei
SLW, Abdullah KL. 2014. Effect of turning vs supine position under
phototheraphy on neonates with hyperbilirubinemia: a systematic review.
Journal Of Clinical Nursing; 1-11

Dengan menggunaka PEDro Assesment Tool, diketahui bahwa satu dari 4


studi/penelitian diatas memiliki kualitas yang tinggi. Selanjutnya berdasarkan
studi Randomized Controlled Trial (RCT) tersebut diketahui bahwa meletakkan
bayi pada posisi telentang selama fototerapi sama efektifnya dengan membolak-
balik posisi bayi tersebut karena trial ini ternyata tidak menemukan penurunan
total serum bilirubin (TSB) dan lama tinggal di rumah sakit pada neonatus (Fei
dkk,2014). Akan tetapi menurut National Institute for Halth and Care Excellence
menyatakan bahwa menempatkan bayi dalam posisi telentang merupakan posisi
terbaik pada dua hingga tiga jam saat fototerapi konvensional dilakukan (National
Institute for Health and Care Excellence, 2010).

2.3 Pengaruh Paparan Sinar Matahari Pagi Terhadap Kejadian


Hiperbilirubinemia pada Neonatus
xxiii
Penanganan ikterus neonatorum dapat dilakukan dengan berbagai cara
sesuai dengan jenisnya. Untuk ikterus neonatorum patologis akan ditangani
dengan beberapa cara, yaitu: pemberian obat, transfusi tukar darah (exchange
transfusion), dan fototerapi yang dilakukan selama 2 x 24 jam sampai 3 x 24 jam
di rumah sakit. Namun untuk fototerapi tidak semua rumah sakit memiliki alat ini,
sedangkan di lain pihak, biaya yang diperlukan untuk fototerapi tidaklah murah,
terutama bagi para orang tua yang kurang mampu. Oleh karena itu, fenomena di
masyarakat yang dapat kita amati, apabila menjumpai penyakit kuning yang
sangat mengganggu bagi masyarakat ini, dilakukan penanganan dengan cara
menjemur bayi tersebut dibawah sinar matahari. Konon, masyarakat meyakini
bahwa tindakan tersebut akan dapat menghilangkan kuning pada bayi baru lahir
tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salih F pada tahun 2001
dimana efisiensi sinar matahari diukur dengan membandingkan dengan unit
fototerapi, sedangkan pengurangan kadar bilirubin dipantau secara
spektrofotometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan sinar matahari
sama efektifnya dengan fototerapi. Berdasarkan hasil uji pengobatan ikterus
neonatal unit fototerapi biasanya di operasikan pada jarak 50 cm (intensitas
cahayanya enam kali lebih kecil dari sinar matahari) hanya 16% bilirubin yang di
isomerisasi dalam 5 menit paparan pertama. Saat unit fototerapi ditempatkan pada
jarak 17 cm dan bayi dipaparkan sinar matahari pada periode waktu yang sama
maka sekitar 65% bilirubin dapat di isomerasi. Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa paparan sinar matahari 6,5 kali lebih efektif daripada unit
fototerapi. Dengan demikian, sinar matahari dapat dianggap sebagai sumber
fototerapi alternatif untuk pengobatan ikterus neonatal, terutama bagi daerah atau
masyarakat yang kurang mampu untuk melakukan fototerapi bagi anak mereka
(Salih F, 2001).
Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian dengan desain quasi-
experimental yang dilakukan oleh Puspitosari dkk (2012) pada bayi baru lahir
berusia <1 minggu yang mengalami ikterus fisiologis. Sampel akan diambil
gambarnya (foto) pada area yang menunjukkan tanda ikterus sebelum perlakuan.
Kemudian sampel dijemur dibawah sinar matahari pagi, antara pukul 06.00-07.00

xxiv
selama maksimal 30 menit. Setelah 5 menit pertama, sampel akan diambil
gambarnya lagi, demikian juga dengan 5 menit berikutnya, dan dilakukan sampai
waktu penjemuran (30 menit) selesai dilakukan. Berdasarkan analisis statistik
dengan menggunakan uji anova disimpulkan bahwa paparan sinar matahari pagi
berpengaruh terhadap penurunan tanda ikterus pada bayi baru lahir (p=0,001).
Kandungan sinar matahari yang dapat memberikan pengaruh berupa
penurunan tanda ikterus adalah sinar biru, yang merupakan komponen sinar
ultraviolet. Bilirubin dalam kulit akan menyerap cahaya secara maksimal dalam
batas wilayah warna biru (mulai dari 420-470 nm). Bilirubin tersebut akan
menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah bilirubin bebas
yang bersifat toksik menjadi isomer-isomernya, Lumirubin serta 4Z dan 15E-
bilirubin, yang pada akhirnya akan dapat diekskresi oleh hati dan ginjal tanpa
memerlukan konjugasi. Sinar biru yang merupakan kandungan dalam sinar
matahari tersebut dapat mengikat bilirubin bebas di permukaan tubuh (kulit)
sehingga mengubah sifat molekul bilirubin bebas yang semula larut dalam lemak
menjadi fotoisomer yang larut dalam air. Dengan pengubahan sifat molekul yang
dilakukan sinar biru ini pada akhirnya akan dapat mengurangi tanda ikterus yang
tampak pada bayi, sehingga pada akhirnya bayi tersebut akan sembuh dengan
level bilirubin bebas dalam batas norma (Puspitosari dkk, 2012; Dworkin, 2000)
Untuk mengetahui seberapa besar penurunan tanda ikterus tersebut dapat
diketahui melalui analisis bentuk hubungan (regresi). Berdasarkan pengujian
statistik yang dilakukan pada penelitian tersebut diperoleh tabel Model Summary
yang menunjukkan hasil yaitu koefisien korelasi (R) sebesar 0,986 yang
menunjukkan bahwa terdapat keeratan hubungan antara tanda ikterus dengan
waktu paparan sinar matahari. Selain itu juga diperoleh hasil koefisien determinasi
(R square) sebesar 0,972 dan koefisien determinasi (adjusted R square) sebesar
0,966, yang berarti bahwa 97,2% tanda ikterus ditentukan oleh waktu paparan
sinar matahari pagi. Sehingga dapat disimpulkan apabila waktu penjemuran
semakin meningkat, diperkirakan setiap menit yang ditambahkan selama
penjemuran berlangsung akan dapat menurunkan tanda ikterus sebesar 1,276 per
menitnya.
Sebagai contoh apabila bayi ikterus A setelah dilakukan pengambilan
gambar diperoleh nilai rerata tanda ikterus sebesar 160,00, maka setelah dilakukan

xxv
penjemuran selama 30 menit pada satu hari tersebut akan menurunkan nilai tanda
ikterusnya sebesar 38,38 (dari hasil perhitungan 1,276 dikali 30). Demikian pula
setelah 30 menit berikutnya pada penjemuran hari kedua maupun pada hari-hari
berikutnya. Sehingga apabila penjemuran dilakukan setiap hari dengan lama
penjemuran setiap harinya adalah 30 menit, maka diperkirakan tanda ikterus akan
menghilang setelah dijemur selama 5 hari atau lebih tergantung dari rerata nilai
tanda ikterus yang didapatkan.
Hasil perhitungan ini sesuai dengan teori di beberapa literatur yang
menyatakan bahwa warna kuning yang tampak pada kulit maupun selaput mukosa
bayi ikterus fisiologis akan menghilang dalam kurun waktu kurang lebih satu
minggu atau maksimal hingga 10 hari. Apabila kegiatan menjemur bayi ini tetap
dilanjutkan, terutama dengan cara-cara yang benar, pada akhirnya akan terjadi
kesembuhan pada penderita tersebut dengan semakin berkurangnya tanda ikterus
dan level bilirubin bebas dalam darah. Sehingga pada akhirnya nanti kadar
bilirubin bebas dalam darah tetap berada dalam batas normal dan warna kuning
yang tampak pada kulit mapun selaput mukosa lain akan hilang (Puspitosari dkk,
2012).
Paparan sinar matahari seperti yang telah dipaparkan diatas memang
dikatakan dapat dijadikan alternatif penanganan untuk hiperbilirubinemia karena
kemampuannya untuk mengurangi kadar total serum bilirubin. Tetapi menurut
kajian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics (2004), paparan sinar
matahari langsung tidak dianjurkan untuk peanganan karena hal tersebut dapat
menimbulkan sejumlah masalah klinis yang cukup berbahaya. Misalnya bahaya
radiasi sinar ultraviolet (100-400 nm) dari paparan sinar matahari secara serius
dapat merusak kulit manusia bahkan hingga kerusakan permanen. Selain itu
inframerah yang ada pada sinar matahari bisa menyebabkan hipertermia dan
dehidrasi utamanya pada neonatus yang rentan. Oleh karena itu American
Academy of Pediatrics tidak merekomendasikannya untuk pengobatan
hiperbilirubinemia (American Academy of Pediatrics, 2004).
Tetapi, sebuah penelitian dilakukan oleh Vreman HJ dkk (2010) dalam
upaya mengatasi bahaya paparan sinar matahari dengan melakukan evaluasi
terhadap sembilan semi-transparent plastic window-tinting films dan melihat
bagaimana kemampuan 9 item trsebut dalam menghalangi radiasi sinar ultraviolet

xxvi
(UVA), inframerah (IR) dan mentransmisikan sinar biru terapeutik (400-520 nm)
untuk perwatan bayi baru lahir yang mengalami ikterus. Pengujian didalam
ruangan dengan menggunakan lampu, sedangkan pengujian luar ruangan adalah
dengan paparan sinar matahari. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Gambar 2.4 Light and Heat for lamp and sunlight through 9 flexible window-tinting
films with attached liner (Sumber: Vreman HJ, Slusher TM, Wong RJ, dkk.
2013. Evaluation of window-tinting films for sunlight phototheraphy.
Journal Of Tropical Pediatrics; 59(6): 496-501

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa, transmisi radiasi


sinar biru yang di filter dengan menggunakan film berkisar antara 24-83%,
transmisi sinar ultravolet adalah 0,1-7,1% dan reduksi panas inframerah untuk
paparan lampu sebesar 6-12 derajat celcius sedangkan untuk sinar matahari
sebesar 5-10%. Data menunjukkan bahwa low-cost-window-tinting-film secara
efektif dapat menurunkan paparan sinar UV dan Inramerah dan dapat
menawarkan hasil yang signifikan untuk terapi light blue (Vreman HJ dkk, 2010).

xxvii
2.4 Pengaruh Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Terhadap Kejadian
Hiperbilirubinemia pada Neonatus

Ibu yang telah melahirkan dianjurkan untuk menyusui bayinya paling


sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama tanpa ditambah cairan lain.
Menyusui yang efektif akan memasok glukosa ke hati, mendorong kolonisasi usus
dengan flora normal, dan meningkatkan motilitas usus yang akhirnya akan
membantu produksi enzim yang diperlukan untuk konjugasi dan juga menurunkan
reabsorbsi enterohepatik. Bayi yang diberi minum ASI lebih awal dengan efektif
dan pemberian kolostrum diyakini dapat mengurangi kejadian hiperbilirubinemia
fisiologis. Keefektifan ini meliputi frekuensi, durasi, serta tata cara pemberian ASI
yang benar.
Hasil sebuah studi kepustakaan (literature review) yang dilakukan oleh
Fernanda M dkk (2017) menunjukkan bahwa ASI eksklusif memberikan pengaruh
terhadap kesehatan bayi baru lahir. Bayi baru lahir dengan pemberian ASI yang
tidak adekuat diketahui memiliki kadar indirect bilirubin yang tinggi pada minggu
awal kelahirannya. Hasil studi yang dilakukan Carvalho (1982) dalam Fernanda
M dkk (2017) menyimpulkan bahwa ibu yang memberikan ASI nya secara cepat
dan tepat kepada bayinya akan mempercepat waktu sirkulasi bilirubin
enterohepatik dan menurunkan kadar bilirubin indirect, selain itu menyusui lebih
awal akan menyediakan cairan dan energi yang cukup serta memulihkan berat
lahir terutama pada anak premature.
Sejalan dengan penelitian Fernanda, penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Lin (2008) yang berjudul The Impact of Breast Feeding on Early Neonatal
Jaundice menunjukkan tingkat pemberian ASI selama pasien dirawat meningkat
dari 92,18 % menjadi 97,15% dan seiring dengan meningkatnya tingkat
pemberian ASI diketahui ada hubungan yang signifikan kejadian
hiperbilirubinemia dengan pemberian ASI (p=0,002) (Lin Y, 2008).
Pemberian ASI sejak awal seperti melakukan inisiasi menyusu dini (IMD)
tentu memberikan manfaat bagi bayi. Kolostrum yang keluar saat menyusui secara
dini dapat mencegah timbunlnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir. Penelitian
dilakukan oleh Suryandari (2013) pada bayi baru lahir yang diberikan kolostrum
dini (30 bayi) dan tidak diberikan kolostrum dini (30 bayi) di RSU Prof. Dr.
xxviii
Margono Soekarjo. Hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden yang tidak
diberi kolostrum dini, sebanyak 27 (45%) responden mengalami ikterus fisiologis,
serta berdasarkan hasil uji mann-whitney diketahui p=0,000 sehingga dapat
disimpulkan ada perbedaa kejadian ikterus fisiologis pada bayi baru lahir dengan
pemberian kolostrum. Maka dapat dikatakan bahwa pemberian kolostrum dini
dapat menurunkan waktu kejadian ikterus fisiologis pada bayi baru lahir. Dengan
pemberian kolostrum secara dini yaitu 6 jam setelah proses persalinan dapat
mempercepat proses pengeluaran feses yang di dalamya terdapat birilubin direct
dan indirect sehingga tidak terjadi penumpukan birilubin dalam darah
(Suryondari, 2013).
Penelitian cohort juga dilakukan oleh Pohlman MN dkk (2015) untuk
mengatahu ihubungan inisiasi menyusu dini (IMD) dengan ikterus neonatorum
dimana responden pada penelitian ini adalah 65 pasang ibu-bayi baru lahir di
RSUD Wates Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak
71,1% ibu yang tidak IMD bayinya mengalami ikterus . Diperoleh p-value sebesar
0,000 yang artinya menunjukkan bahwa adanya hubungan inisiasi menyusu dini
terhadap kejadian ikterus neonatorum (Pohlman dkk, 2015).
Menyusui terutama Inisiasi menyusu dini (IMD) memiliki manfaat penting
untuk bayi diantaranya adalah bayi yang diberi kesempatan inisiasi menyusu dini
lebih dulu mendapatkan kolostrum daripada yang tidak diberi kesempatan. Bayi-
bayi yang disusui dalam satu jam pertama kelahiran dan terus disusui secara
teratur akan cenderung lebih awal mengeluarkan mekonium dan mengalami
kejadian sakit kuning fisiologi yang lebih rendah. Salah satu manfaat inisiasi
menyusu dini dan kotak kulit dengan kulit untuk bayi adalah menjaga kolonisasi
kuman yang aman dari ibu di dalam perut bayi sehingga memberikan
perlindungan terhadap infeksi, bilirubin akan lebih cepat normal dan
mengeluarkan mekonium lebih cepat sehingga menurunkan kejadian ikterus bayi
baru lahir. Inisiasi menyusu dini memfasilitasi pertumbuhan flora normal usus
bayi yang berperan dalam proses konversi bilirubin. Pemberan ASI secara rutin
juga menunjang proses konjugasi bilirubin di hepar (Levene dkk, 2008)
Terlepas dari berbagai manfaat ASI eksklusif, beberapa studi sebelumnya
melaporkan bahwa gangguan pada bayi salah satunya hiperbilirubinemian dapat
terjadi pada anak yang disusui. Suatu penelitian dilakukan oleh Chen CF dkk

xxix
(2011) salah satunya bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh menyusui dengan
frekuensi penyakit kuning (ikterus) dimana data diperoleh dari 313 rekam medis
pasien (ibu-anak) di RS Buddhist Tzu Chi Dalin yang akan di tinjau secara
retrospektif. Sampel penelitian di bagi menjadi 3 grup yaitu ASI eksklusif
(n=161), mixed/ASI+Formula (n=80) dan susu formula (n=72). Hasil penelitian
dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 2.5 Comparison of BWL and TSB Among Three Different Feeding Type
Groups (Sumber: Chen CF, Hsu MC, Shen CH. Influence of breastfeeding
on weight loss, jaundice, and waste elimination in neonates. 2011.
Pediatrics and Neonatology; 52:85-92

Berdasarkan hasil penelitian diatas diketahui bahwa terdapat hubungan yang


signifikan antara hiperbilirubinemia dengan menyusui (p=0,001). Seperti yang
dilihat pada hasil penelitian diatas bahwa total serum bilirubin (TSB) yang berada
pada rentang >8 mg/dL sebanyak 93,1% ditemukan pada bayi yang diberikan ASI
secara eksklusif. Akan tetapi perlu diperhatikan pula bahwa persentase tertinggi
kadar TSB 15 mg/dL juga terletak pada bayi yang diberikan ASI secara eksklusif
(22,0%) maka untuk bayi dalam kondisi ini perlu dipersiapkan untuk dilakukan
fototerapi. Keadaan kadar bilirubin yang tinggi pada anak yang diberikan ASI
dapat dijelaskan bahwa pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk
neonatal jaundice yaitu early (yang berhubungan dengan breastfeeding)dimana ini
berhubungan dengan proses pemberian minum dan late (berhubungan dengan
ASI) dimana bentuk late onset ini berhubungan dengan kandungan ASI yang
mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi. Penyebab late onset dihubungkan
dengan adanya faktor spesifik dari ASI yaitu 2-20-pregnanidiol yang
mempengaruhi aktifitas UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit,
peningkatan aktifitas lipoprotein lipase, penghambatan konjugasi akibat
xxx
peningkatan asam lemak unsatured; atau -glukorunidase atau adanya faktor lain
yang menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik (Chen CF dkk, 2011; Kosim
dkk, 2012)

BAB III
RINGKASAN

Hiperbilirubinemia pada neonatus adalah keadaan terjadinya peningkatan


kadar bilirubin akibat adanya gangguan pada saat proses produksi, transportasi,
konjugasi, atau ekskresi dari bilirubin dalam tubuh manusia. Beberapa studi
menunjukkan faktor risiko hiperbilirubinemia antara lain inkompabilitas golongan
darah ABO, usia gestasi, pemberian ASI eksklusif, jenis kelamin, bayi berat lahir
rendah, jenis persalinan, hingga komplikasi/infeksi yang terjadi pada bayi baru

xxxi
lahir. 4 studi mempelajari bahwa fototerapi efektif menurunkan kadar total serum
bilirubin dan derajat ikterus, 1 studi mempelajari fototerapi efektif menurunkan
kadar TSB, tapi terjadi pula penurunan kadar vitamin E yang berperan dalam
mencegah kerusakan oksidatif, 1 studi mempelajari fototerapi kurang efektif
terutama bagi bayi preterm dengan extremely low birth weight, dan 2 studi
mempelajari bahwa posisi telentang merupakan posisi terbaik untuk fototerapi
konvensional. Metode lain adalah dengan paparan sinar matahari dimana 2 studi
mempelajari paparan sinar matahari dapat menjadi alternatif untuk menurunkan
kadar bilirubin dan tanda ikterus, 1 studi mempelajari paparan sinar matahari
langsung cukup berbahaya (radiasi sinar UV dan inframerah), dan 1 studi
mempelajari menghindari bahaya paparan langsung dapat digunakan filter pada
saat menjemur bayi. Studi mengenai pencegahan hiperbilirubin dengan pemberian
ASI menunjukkan 4 studi mempelajari pemberian ASI secara adekuat dan inisiasi
menyusu dini dapat mencegah terjadinya ikterus pada bayi, tetapi 1 studi
menyatakan bahwa pemberian ASI meningkatkan kadar bilirubin yang
diakibatkan oleh late onset.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. 2004. Management of hyperbilirubinemia in


the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Clinical Practice
Guidlines. Pediatrics; 114:297-316

Anggraini Y. 2014. Hubungan antara persalinan prematur dengan hiperbilirubin


pada neonatus. Jurnal Kesehatan; 5 (2): 109-112

Aniesah. 2011. Hubungan inkompabilitas ABO dengan angka kejadian


hiperbilirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Nirmala Suri Sukoharjo.
Skripsi. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Surakarta

xxxii
Aprillastuti DA. 2008. Kejadian hiperbilirubin akibat inkompabilitas ABO.
Artikel Publikasi. Boyolali: Akademi Kebidanan Estu Utomo Boyolali

Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. 2000. Ikterus dan hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir. Nelson Textbook of Pediatric. Philadelphia: WB
Saunders Co. Hal.610-616

Bhutani V. 2011. Phototherapy to prevent severe neonatal hyperbilirubinemia in


the newborn infant 35 or more weeks of gestationa. Journal of the
American Academy of Pediatric; 128 (4):1046-1052

Bunyaniah D. 2013. Pengaruh fototerapi terhadap derajat ikterik pada bayi baru
lahir di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Naskah Publikasi. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Carvalho M, Klaus MH, Merkatz RB. 1982. Frequency of breastfeeding and


serum bilirubin concentration. Am J Dis Child; 136:737738

Champlain Maternal Newborn Regional Program (CMNRP). 2015. Newborn


hyperbilirubinemia; A self-learning module. Hal. 1-24

Chen CF, Hsu MC, Shen CH. Influence of breastfeeding on weight loss, jaundice,
and waste elimination in neonates. 2011. Pediatrics and Neonatology; 52:85-
92

Cloherty JP, Martin CR. 2004. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP,
Eichenwaald EC, Stark AR, penyunting. Manual of Neonatal Care. Edisi ke-
5. Philadelphia: Lippincolt Williams & Wilkins, 2004. hal 185-221

Dewi AKS. 2016. Efektivitas fototerapi terhadap penurunan kadar bilirubin total
pada hiperbilirubinemia neonatal di RSUP Sanglah. Sari Pediatri; 18 (2): 81-
86

Dworkin, Paul H. 2000. Pediatrics national medical series for independent Study.
USA: Lippincott Williams and Wilkins

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Buku Kuliah 3: Ilmu kesehatan


anak. Jakarta: Infomedika
Fei SLW, Abdullah KL. 2014. Effect of turning vs supine position under
phototheraphy on neonates with hyperbilirubinemia: a systematic review.
Journal Of Clinical Nursing; 1-11
Fernanda M, Almeida MD, Cecilia MD. 2017. Neonatal Jaundice and
breastfeeding. Neo Review Article Nutrition; 6 (7): 282-288

Halisanti O. 2017. Hubungan antara sepsis neonatorum dengan terjadinya ikterus


neonatorum di RSUD Karanganyar. Artikel Publikasi. Surakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

xxxiii
Hansen WR. 2016. Neonatal jaundice. Online;
(http://emedicine.medscape.com/article/974786, diakses pada 6 juni 2017)

Hasvivin, Sri W, Adriani K. 2013. Hubungan frekuensi pemberian ASI, riwayat


asfiksia, dan berat badan lahir dengan angka kejadian ikterus neonatorum di
Ruang NICU RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar. Prosiding
Kedokteran; 2(6)

Health Technology Assesment. 2004. Tatalaksana ikterus neonatorum. Jakarta:


Unit Pengkajian Teknologi Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI.

Herlina T, Suparji, Amalia R. 2012. Hubungan antara berat bayi lahir dengan
kadar bilirubin bayi baru lahir di Ruang Perinatologi RSUD Dr. Harjono
Ponorogo. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes; 3 (3):133-137

Hosea MK, Etika R, Lestari P. 2015. Hyperbilirubinemia treatment of neonatus in


Dr. Soetomo Hospital Surabaya. Folia Medica Indonesiana; 51(3): 183-186

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Survei Demografi dan


Kesehatan Indonesia 2012, Laporan Pendahuluan, BPS, BKKBN. Jakarta:
Kemenkes RI

Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, dkk. 2012. Buku ajar neonatologi. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia

Levene MI, Tudehope DI, Sinha SK.. 2008. Essential neonatal medicine. London:
Blackwell Publishing.

Lin Y. 2008. The impact of breastfeeding on early neonatal jaundice. Clinical


Neonatology; 15(1): 1-12

Mansjoer A. 2000. Kapita selekta kedokteran jilid 2. Jakarta: EGC

Martin CR, Cloherty JP. 2004. Neonatal hiperbilirubinemia. Manual of neonatal


care. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins: 185-221.

Martiza L. 2010. Ikterus. Dalam: Juffrie M, Oswari H, Arief S, Rosalina I. Buku


ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 263-84

Martono TU, Kartika D, Etika R, dkk. 2017. Manajemen hiperbilirubinemia pada


neonatus. Surabaya: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Mauliku NE, Nurjanah A. 2013. Faktor-faktor ibu bersalin yang berhubungan


dengan kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira
Cimahi. Artikel Publikasi. Cimahi: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ahmad
Yani

xxxiv
Ministry of Health Malaysia. 2003. Management of jaundice in healthy term
newborn. Kuala Lumpur: Health Technology Assesment Unit Medical
Development Ministry of Health Malaysia; hal. 1-22

National Institute for Health and Care Excellence (NICE). 2010. Recognition and
treatment of neonatal jaundice. Neonatal Jaundice (CG98). online:
(http://guidance.nice.org.uk/cg98, diakses pada 4 juni 2017)

Pohlman MN, Nursanti I, Anto YV. 2015. Hubungan inisiasi menyusu dini dengan
ikterus neonatorum di RSUD Wates Yogyakarta. Media Ilmu Kesehatan;
4(2):96-103

Puspitosari RD, Sumarno, Susatia. 2012. Pengaruh paparan sinar matahari pagi
terhadap penurunan tanda ikterus pada ikterus neonatorum fisiologis. Jurnal
Kedokteran Brawijaya; XXII (3)

Ramadhanti IP. 2016. Hubungan frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus
pada BBL 2-10 hari di BPMN Padang Panjang Tahun 2016. Artikel
Penelitian. Bukit Tinggi: Stikes Prima Nusantara

Sarjono A. 2007. Hiperbilirubinemia pada neonatus: pendekatan kadar bilirubin


bebas. Jakarta: Berkala Ilmu Kedokteran.

Shalih FM. 2001. Can sunlight replace phototheraphy units in the treatment of
neonatal jaundice? An in vitro study. Photodermatology, Pothoimmunology,
and Photomedicine; 17(6):272-277

Sidrah, Priyanka T, Naaz A, dkk. 2015. Estimation of malondialdehyde and


vitamin E levels in neonatal hyperbilirubinemia before and after
phototheraphy. International Journal of Medical Research and Health
Science; 4(3):555-559

Simsek FM, Narter F, Erguven M. 2014. Comparison of trancutaneous and total


serum bilirubin measurement in turkish newborns. The Turkish Journal of
Pediatrics; 56: 612-617

Sukadi. 2002. Diktat kuliah perinatologi: ilmu kesehatan anak. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran

Sunar DP. 2009. Buku pintar ASI eksklusif. Yogyakarta: Diva Press

Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan bayi risiko tinggi. Jakarta: EGC.

Suryandari AE. 2013. Perbedaan waktu pemberian kolostrum terhadap kejadian


ikterus fisiologis pada bayi baru lahir di RSU. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Tahun 2013. Jurnal Involusi Kebidanan; 3 (5): 1-12

xxxv
Tazami RM, Mustarim, Syah S. 2013. Gambaran faktor risiko ikterus neonatorum
pada neonatus di ruang perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi. Artikel
Penelitian. Jambi: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Jambi

Vreman HJ, Slusher TM, Wong RJ, dkk. 2013. Evaluation of window-tinting films
for sunlight phototheraphy. Journal Of Tropical Pediatrics; 59(6): 496-501

Wagle S. 2010. Hemolytic disease of newborn. (online);


http://emedicine.medscape.com/article/974349-overview, diakses pada 25
mei 2017

Wilar R, Daud D, As'ad S, dkk. 2016. A comparison of neutrophil gelatinase-


associated lipocalin and immature to total neutrophil ratio for diagnosing
early-onset neonatal sepsis. Paediatrica Indonesiana. 56(2):107-110

Wong DL. 2009. Buku ajar keperawatan pediatrik. Diterjemahkan oleh Agus S,
Neti J, Kuncoro. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

World Health Organization. 2013. Maternal mortality. Department of


Reproductive Health and Research WHO

Yurdakok M. 2015. Phototheraphy in the newborn: whats new?. Journal of


Pediatric and Neonatal Individualized Medicine; 4(2): 1-26

xxxvi

Anda mungkin juga menyukai