vella_hamady@yahoo.com
Pendahuluan
Anamnesis
Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan
langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu
ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain:
1
1. Identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa
2. Keluhan utama, sejak kapan.
3. Riwayat penyakit sekarang
o Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan:
Sejak kapan?
Bagaimana riwayat kelahiran?
Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?
Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?
4. Keluhan penyerta/keluhan lain
5. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)
o Usia kehamilan?
o Pasien adalah anak ke-berapa?
Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan apakah terjadi hal yang
sama (ikterik juga/tidak) pada anak yang sebelumnya?
o Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit
infeksi tertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll)
o Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-
obatan tertentu?
o Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah? (jika
diketahui)
o Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus dirawat
di rumah sakit?
o Adakah riwayat diabetes melitus?
o Adakah riwayat penyakit berat yang lain?
6. Riwayat pribadi (ditujukan pada ibu pasien)
o Bagaimana riwayat vaksinasi pasien? (Lengkap/tidak)
o Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna obat-
obatan, dan lain sebagainya)
o Apakah ada riwayat alergi?
o Apakah melahirkannya cukup bulan? Normal atau tidak?
o Dimana terjadi proses kelahiran si bayi?
o Apakah si bayi minum asi?
7. Riwayat keluarga
o Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit
yang sama?
o Apakah ada riwayat penyakit yang diturunkan?4
Pada anamnesis didapatkan bahwa ibu mengatakan bayi mulai kuning sejak <24 jam
dilahirkan, bayi dilahirkan secara normal per vaginam, aktif, dan kuat menangis. Sampai saat
ini, bayi hanya menerima ASI eksklusif, dan kuat menyusu.
Pemeriksaan Fisik
2
Pemeriksaan fisik pada neonatus, terutama terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital mencakup tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi dan frekuensi
pernapasan bayi untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru saja dilahirkan,
setelah itu pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus pada bayi.
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan
bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari
untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus
berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.
Selain itu dapat juga kita melakukan penilaian icterus berdasarkan penilaian Kramer.
Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus,
Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher,
dada sampai pusar, pusar bagian bawah sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu
pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara
pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain.
Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan
adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan anemia
hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital. Temuan diagnosis yang tipikal pada bayi dengan ibu
allo-imunisasi ialah ikterik, kulit pucat dan hepatosplenomegali, hidrops fetal dapat
ditemukan pada kasus yang hebat. Ikterus yang terjadi umumnya baru bermanisfestasi segera
setelah lahir atau di dalam 24 jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan dengan
peningkatan cepat dari kadar bilirubin tidak terkonjugasi. Kadang-kadang, hiperbilirubinemia
yang terkonjugasi dapat ditemukan dikarenakan disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada
bayi-bayi dengan kasus hemolitik yang berat. Anemia yang terjadi sering oleh karena
destruksi sel darah merah yang diselimuti oleh antibodi oleh sistem retikuloendotelial dan
pada beberapa janin, anemia terjadi karena destruksi intravaskuler. Seperti yang sudah
dikatakan sebelumnya, bahwa pada kasus berat dapat ditemukan hidrops fetal dan hidrops
fetal ini merupakan hasil akhir dari kombinasi beberapa mekanisme tubuh yang terjadi di
dalam tubuh janin, yaitu oleh karena hipoksia janin, anemia, gagal jantung kongestif, dan
hipoproteinemia sekunder akibat disfungsi hepatik. Secara klinis, ikterus yang signifikan
terjadi pada 20% janin dengan inkompatibilitas ABO.5
3
Pemeriksaan Penunjang
Karena pada kasus disebutkan bahwa anak tersebut datang dengan keluhan kuning,
maka sebaiknya kita juga melakukan pemeriksaan kadar bilirubin. Pemeriksaan bilirubin
serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk
menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa
sebagai bilirubin total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari
4
selisih antara bilirubin total dan bilirubin direk. Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin
mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl,
namun jika masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari,
sedangkan jika kadarnya >15 mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus
patologik.6
Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi : untuk mengetahui apakah terjadi
inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah.
Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada
neonatus, perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus.
Perbedaan utama metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam
bentuk bilirubin indirek.
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar
mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin
tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein ,
glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan
protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan
afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.
Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak
Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat
pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.7, 8
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk
monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide
5
menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide
transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin
monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus. Isomer
bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat
diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang
terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).7, 8
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air
dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat,
bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat. 7, 8
6
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai
kadar albumin normal telah tercapai.7, 8
2.3 ABO inkompatibilitas:
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti
bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B. Inkompabilitas ABO nantinya akan
menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari
60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan
akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan
sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar.
Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab
hemolisis dan secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding
masalah kebidanan.
Diagnosis Kerja
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit
dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari
membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit.
7
Serum Coombs ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka
aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan antigen spesifik.
Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu
menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada
saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi
darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki
antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta
dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin
akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan
hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II).
Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan
sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang
berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.
8
Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi
baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl
atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan
derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian
menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang
ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing
tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
(7,9)
Penatalaksanaan
A. Transfusi tukar :
9
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari untuk menghindari
kelebihan kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus
negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak
tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh
positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi
kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi
dengan lama pemberian transfusi 90 menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi,
bila tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan
darah ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan
darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37C
C.Transfusi Albumin
D. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar
bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai
terapi tunggal.
Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa
janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin
dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi
menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah
mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya
Rhesus negatif.
10
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer
antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer
di dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.
Kesimpulan
Ikterus pada bayi baru lahir yang terjadi pada 24 jam pertama ialah ikterus patologis. Ikterus
dapat disebabkan oleh pemecahan sel darah merah sehingga tertumpuknya bilirubin pada
kulit bayi dan biasa disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah terutama pada ibu
bergolongan darah O dengan bayi bergolongan darah A atau B
Daftar Pustaka
11
1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Jakarta: Direktorat Laboratorium
Kesehatan Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI; 2005.
2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease: High Risk Pregnancy. 2nd ed.
USA: WB. Saunders; 2009.
3. Salem L. Rh incompatibility. http:// www. Neonatology.org. 2001.
4. Miall L, Rudolf M, Levene M. Paediatrics at a glance. Second edition. USA:
Blackwell Publishing, 2007.
5. Wagle S. Hemolytic disease of newborn. Medscape 2013 May 2. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/974349-overview
6. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of pediatrics.19 th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
7. Pendit BU, alih bahasa. Obstetri williams: panduan ringkas. Ed ke-21. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.
8. Madara B, Avery CT, Denino VP, et al. Obstetric and pediatric pathophysiology.
Canada: Jones and Bartlett Publishers; 2008.
9. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Edisi 4. Jakarta: Bagian IKA
FKUI; 1996
12