Anda di halaman 1dari 12

Diagnosis dan Tatalaksana pada Neonatal

Hiperbilirubinemia Et Causa Inkompatibilitas ABO


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Novella Ruana Fista Hamady | 102014197

vella_hamady@yahoo.com

Pendahuluan

Ikterus adalah masalah neonatus yang umum ditemukan. Peningkatan bilirubin


yang disertai ikterus ini dapat merupakan proses fisiologis pada bayi baru lahir,
namun dapat pula menunjukkan suatu proses patologis.1
Ikterus dapat merupakan suatu pertanda adanya penyakit (patologik) atau
adanya gangguan fungsional (fisiologik). Dikatakan ikterus patologik apabila di
dapati ikterus dengan dasar patologik atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang
disebut hiperbilirubinemia yaitu bila peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl atau
lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin serum lebih dari 15 mg/dl (250 mol/L)
pada bayi cukup bulan dan 12 mg/dl (250 mol/L) pada bayi kurang bulan.1,2
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh
bilirubin Indirek yang dapat memberikan efek toksik pada otak dan dapat
menimbulkan kematian atau cacat seumur hidup, oleh sebab itulah maka setiap bayi
yang mengalami ikterus harus mendapat perhatian, meskipun tidak semuanya
memerlukan pemeriksaan atau pengobatan yang khusus. 1-3
Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus banyak, namun penyebab yang
paling sering adalah penyakit hemolitik neonatus, antara lain karena inkompatibilitas
golongan darah (Rh, ABO), defek sel darah merah (defisiensi G6PD, sferositosis) lisis
hematom dan lain-lain.1-3
Pada Inkompatibilitas ABO, hiperbilirubinemia lebih menonjol dibandingkan
dengan anemia dan timbulnya pada 24 jam pertama. Reaksi hemolisis terjadi selagi
zat anti dari ibu masih terdapat dalam serum bayi. 3

Anamnesis

Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan
langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu
ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain:

1
1. Identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa
2. Keluhan utama, sejak kapan.
3. Riwayat penyakit sekarang
o Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan:
Sejak kapan?
Bagaimana riwayat kelahiran?
Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?
Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?
4. Keluhan penyerta/keluhan lain
5. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)
o Usia kehamilan?
o Pasien adalah anak ke-berapa?
Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan apakah terjadi hal yang
sama (ikterik juga/tidak) pada anak yang sebelumnya?
o Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit
infeksi tertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll)
o Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-
obatan tertentu?
o Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah? (jika
diketahui)
o Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus dirawat
di rumah sakit?
o Adakah riwayat diabetes melitus?
o Adakah riwayat penyakit berat yang lain?
6. Riwayat pribadi (ditujukan pada ibu pasien)
o Bagaimana riwayat vaksinasi pasien? (Lengkap/tidak)
o Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna obat-
obatan, dan lain sebagainya)
o Apakah ada riwayat alergi?
o Apakah melahirkannya cukup bulan? Normal atau tidak?
o Dimana terjadi proses kelahiran si bayi?
o Apakah si bayi minum asi?
7. Riwayat keluarga
o Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit
yang sama?
o Apakah ada riwayat penyakit yang diturunkan?4

Pada anamnesis didapatkan bahwa ibu mengatakan bayi mulai kuning sejak <24 jam
dilahirkan, bayi dilahirkan secara normal per vaginam, aktif, dan kuat menangis. Sampai saat
ini, bayi hanya menerima ASI eksklusif, dan kuat menyusu.

Pemeriksaan Fisik

2
Pemeriksaan fisik pada neonatus, terutama terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan
tanda-tanda vital mencakup tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi dan frekuensi
pernapasan bayi untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru saja dilahirkan,
setelah itu pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus pada bayi.

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan
bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari
untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. Tentukan keparahan ikterus
berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.

Selain itu dapat juga kita melakukan penilaian icterus berdasarkan penilaian Kramer.
Menurut Kramer, ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Untuk penilaian ikterus,
Kramer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5 bagian yang dimulai dari kepala dan leher,
dada sampai pusar, pusar bagian bawah sampai tumit, tumit-pergelangan kaki dan bahu
pergelangan tangan dan kaki serta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara
pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk di tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain.

Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan
adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan anemia
hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital. Temuan diagnosis yang tipikal pada bayi dengan ibu
allo-imunisasi ialah ikterik, kulit pucat dan hepatosplenomegali, hidrops fetal dapat
ditemukan pada kasus yang hebat. Ikterus yang terjadi umumnya baru bermanisfestasi segera
setelah lahir atau di dalam 24 jam pertama kehidupan bayi setelah dilahirkan dengan
peningkatan cepat dari kadar bilirubin tidak terkonjugasi. Kadang-kadang, hiperbilirubinemia
yang terkonjugasi dapat ditemukan dikarenakan disfungsi plasenta atau sistem hepatik pada
bayi-bayi dengan kasus hemolitik yang berat. Anemia yang terjadi sering oleh karena
destruksi sel darah merah yang diselimuti oleh antibodi oleh sistem retikuloendotelial dan
pada beberapa janin, anemia terjadi karena destruksi intravaskuler. Seperti yang sudah
dikatakan sebelumnya, bahwa pada kasus berat dapat ditemukan hidrops fetal dan hidrops
fetal ini merupakan hasil akhir dari kombinasi beberapa mekanisme tubuh yang terjadi di
dalam tubuh janin, yaitu oleh karena hipoksia janin, anemia, gagal jantung kongestif, dan
hipoproteinemia sekunder akibat disfungsi hepatik. Secara klinis, ikterus yang signifikan
terjadi pada 20% janin dengan inkompatibilitas ABO.5

3
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang berguna terutama ialah dengan pemeriksaan darah.


Pengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri
dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan memberikan
gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia, anisositosis,
sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa
intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat disertai
peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum
ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO. Hitung retikulosit yang rendah dapat diamati
pada bayi yang sudah melakukan transfusi intravaskuler, disertai dengan konsentrasi
hemoglobin normal, dan temuan apus darah yang normal.
Pemeriksan Coombs, terutama yang direk berguna untuk mengetahui apakah terdapat
antibodi maternal pada sirkulasi darah korda fetus. Janin kemudian dievaluasi dengan uji
Coombs direk, karena antibodi anti-sel darah merah yang dihasilkan oleh ibu Rh-negatif
umumnya diserap oleh eritrosit janin D-positif. Neonatus juga dievaluasi dengan uji Coombs
direk. Antibodi ibu yang terdeteksi pada janin saat lahir, secara bertahap lenyap dalam
periode 1 hingga 4 bulan. Jika ditemukan antibodi sel darah merah ibu, antibodi itu perlu
diidentifikasi dan ditentukan apakah IgG atau IgM. Hanya antibodi IgG yang menimbulkan
kekhawatiran karena antibodi IgM biasanya tidak melewati plasenta dan menyebabkan
hemolisis. Titer antibodi dikuantifikasi kemudian. Jika antibodinya ialah IgG dan diketahui
menyebabkan anemia hemolitik, dan jika titer di atas ambang kritis diindikasikan untuk
evaluasi lebih lanjut. Untuk antibodi titer-D, titer di bawah 1:16 biasanya tidak menyebabkan
kematian janin pada penyakit hemolitik, meskipun hal ini bervariasi antara lab. Titer yang
sama atau lebih dari kritis ini menandakan kemungkinan penyakit hemolitik yang parah.
Pemeriksaan Coombs ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu jenis direk dan indirek. Uji
Coombs indirek dan direk biasanya akan positif pada ibu dan bayi baru lahir yang terkena
pada inkompatibilitas Rh. Tidak seperti allo-imunisasi Rh, test antibodi direk akan positif
hanya pada 20-40% bayi dengan inkompatibilitas ABO.

Karena pada kasus disebutkan bahwa anak tersebut datang dengan keluhan kuning,
maka sebaiknya kita juga melakukan pemeriksaan kadar bilirubin. Pemeriksaan bilirubin
serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk
menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa
sebagai bilirubin total dan bilirubin direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari

4
selisih antara bilirubin total dan bilirubin direk. Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin
mencapai >5 mg/dl. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl,
namun jika masih <15mg/dl masih dikatakan ikterus fisiologis dan akan hilang dalam 14 hari,
sedangkan jika kadarnya >15 mg/dl maka hal tersebut sudah masuk ke dalam ikterus
patologik.6

Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi : untuk mengetahui apakah terjadi
inkompatibilitas ABO, rhesus dan abnormalitas sel darah merah.

Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada
neonatus, perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus.
Perbedaan utama metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam
bentuk bilirubin indirek.

Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :


1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin
pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada
neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat
menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang
bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh),
yang bersifat tidak larut dalam
air tetapi larut dalam lemak.7, 8

2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar
mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin
tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein ,
glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan
protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan
afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar
bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.
Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak
Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat
pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.7, 8

3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin
diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk
monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide

5
menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide
transferase (UDPG : T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin
monoglukoronide.
Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus. Isomer
bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat
diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang
terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).7, 8

4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air
dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis
menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat,
bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat. 7, 8

5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus


Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan
12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada
inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai
untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat
pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum
diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas
dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama
besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat
terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi
bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini
diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat
penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena
fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat
hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin
indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam
serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat
dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat
berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel
otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kernicterus dengan pemberian
albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada

6
umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai
kadar albumin normal telah tercapai.7, 8
2.3 ABO inkompatibilitas:

Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti
bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B. Inkompabilitas ABO nantinya akan
menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari
60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan
akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan
sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar.
Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab
hemolisis dan secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding
masalah kebidanan.

Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut


Mollison), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran
klinis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas ABO sering
ditemukan pada keadaan dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup
masing-masing menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat
melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada beberapa kasus,
penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-
48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan.
Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus
preterm. Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang
mungkin diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis
fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan perempuan.4
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d.
Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan
adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi
(antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi.
Gen C dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi
yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).

Diagnosis Kerja

Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode


paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada
pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang
dilapisi dengan IgG.

Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit
dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari
membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit.
7
Serum Coombs ditambahkan dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka
aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan antigen spesifik.

Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi


yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan,
kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat >
5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.6

Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu
menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada
saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi
darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki
antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk
membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta
dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin
akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan
hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II).
Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan
sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang
berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.

Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan


limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.
Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet
dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor
pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat
memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit,
tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik.
Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika
terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri
pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal


sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah
(hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara
normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat
mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.
Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.9

8
Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi
baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl
atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan
derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian
menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang
ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing
tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
(7,9)

Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer

Bagian tubuh yang


Zona Rata-rata serum bilirubin indirek ( mol/l)
kuning

1. Kepala dan leher 100


2. Pusat-leher 150
3. Pusat-paha 200
4. Lengan + tungkai 250
5. Tangan + kaki > 250

Penatalaksanaan

Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi


kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar,
umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO).
Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah
Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi
dikeluarkan 14 dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati
yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan
ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.

A. Transfusi tukar :

Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :


1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells)
dengan eritrosit normal.
3.Mengurangi kadar serum bilirubin

9
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari untuk menghindari
kelebihan kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus
negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak
tersedia maka untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh
positif) untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi
kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi
dengan lama pemberian transfusi 90 menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi,
bila tidak memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan
darah ibunya, namun untuk transfusi tukar berikutnya harus menggunakan
darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37C
C.Transfusi Albumin

Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat


sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko
terjadinyaoverloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.

D. Fototerapi

Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar
bilirubin. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai
terapi tunggal.

Prognosis

Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa
janin mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin
dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi
menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah
mengalami sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya
Rhesus negatif.

10
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer
antibodi diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer
di dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.

Kesimpulan

Ikterus pada bayi baru lahir yang terjadi pada 24 jam pertama ialah ikterus patologis. Ikterus
dapat disebabkan oleh pemecahan sel darah merah sehingga tertumpuknya bilirubin pada
kulit bayi dan biasa disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah terutama pada ibu
bergolongan darah O dengan bayi bergolongan darah A atau B

Daftar Pustaka

11
1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Jakarta: Direktorat Laboratorium
Kesehatan Dirjen. Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI; 2005.
2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease: High Risk Pregnancy. 2nd ed.
USA: WB. Saunders; 2009.
3. Salem L. Rh incompatibility. http:// www. Neonatology.org. 2001.
4. Miall L, Rudolf M, Levene M. Paediatrics at a glance. Second edition. USA:
Blackwell Publishing, 2007.
5. Wagle S. Hemolytic disease of newborn. Medscape 2013 May 2. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/974349-overview
6. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of pediatrics.19 th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.
7. Pendit BU, alih bahasa. Obstetri williams: panduan ringkas. Ed ke-21. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.
8. Madara B, Avery CT, Denino VP, et al. Obstetric and pediatric pathophysiology.
Canada: Jones and Bartlett Publishers; 2008.
9. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Edisi 4. Jakarta: Bagian IKA
FKUI; 1996

12

Anda mungkin juga menyukai