EKLAMPSIA
Disusun Oleh :
NPM: 113170073
Pembimbing :
CIREBON
2019
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkah
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Tujuan utama pembuatan
laporan kasus ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai eklampsia serta
untuk melengkapi syarat dalam menempuh program pendidikan profesi dokter di
bagian Ilmu Obstetri dan ginekologi.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pembimbing dr. Wildan Arismunandar, Sp.OG yang telah memberikan bimbingan
dalam proses penyelesaian laporan kasus ini juga untuk dukungannya baik dalam
mencari referensi yang lebih baik. Selain itu penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang berada dalam satu kelompok kepaniteraan yang
sama atas dukungan dan bantuan selama menjalani kepaniteraan ini.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Laporan kasus
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis
harapkan demi perbaikan referat yang akan datang.
.
Penulis
LEMBAR PERSETUJUAN
3
DAFTAR ISI
BAB I
STATUS PASIEN
1.2 ANAMNESIS
a. Tanggal pemeriksaan : 17 Desember 2019
b. Keluhan Utama : Tekanan darah tinggi
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang perempuan, berusia 39 tahun dengan G3P2A0 gravida 35-36
minggu datang ke IGD Kebidanan RSUD Waled pada tanggal 16 Desemberr 2018
pukul 12.25 WIB rujukan dari bidan Puskesmas Pangenan dengan keluhan tekanan
darah tinggi. Keluhan tekanan darah tinggi diketahui pasien sejak tanggal 03-12-
2019 ketika melakukan ANC di bidan sebesar 150/100 mmHg. Keluhan ini tidak
disertai dengan nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah, kejang dan pandangan
kabur. Pasien mengeluhkan kaki bengkak sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan
Mulas-mulas, keluar air-air dan keluar darah disangkal oleh pasien. Pasien
6
mengatakan bahwa gerakan janin masih dirasakan aktif. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Di puskesmas Pangenan, telah dilakukan pemeriksaan tekanan darah pasien
160/100 mmHg, dan protein urin (++). Di Puskesmas Pangenan telah diberikan
protap PEB berupa MgSO4 Loading dose secara bolus (10 cc MgSO4 dilarutkan
dengan 10 cc Aquabidest), juga diberikan Metildopa 3 x 250 mg.
d. Riwayat Penyakit Ibu :
Riwayat Penyakit Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit DM : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang serupa
dengan pasien.
f. Riwayat Ginekologi
Riwayat kanker, kista ovarium, mioma uteri, perdarahan
pervaginam diluar menstruasi disangkal.
g. Riwayat Operasi
Pasien menyangkal pernah melakukan operasi apapun.
h. Riwayat Menstruasi
- Menarche : 15 tahun
- Siklus Haid : Teratur
- Panjang Siklus : 28 hari
- Lama : 7 hari
- Dismenorhea : tidak ada
- Banyak : 2 – 3 pembalut/hari
- HPHT :
- HPL :
7
i. Riwayat Obstetri
Umur Jenis Keadaan
Tahun Tempat Jenis Penolong
No kehamil Kelamin Anak
Partus Partus Persalinan Persalinan
an Anak/ BB Sekarang
38
1 2000 Bidan Spontan Bidan P/ 3.000gr Hidup
minggu
RSUD 38
2 2010 Spontan Bidan P/ 3.200gr Hidup
waled minggu
j. Riwayat ANC
- Setiap bulan ibu selalu kontrol kehamilan di bidan dan puskesmas desa
setempat sebanyak 5x.
- Riwayat imunisasi TT pada kehamilan ini belum pernah
- Pasien juga mengaku sudah di USG oleh dokter kandungan pada usia
kehamilan 7 bulan dengan hasil USG normal.
k. Riwayat KB
Pasien tidak memiliki riwayat penggunaan KB.
l. Riwayat Pernikahan
Pasien sudah menikah 20 tahun lamanya dengan satu kali menikah.
Pertama kali menikah pasien berusia 19 tahun dan suami 23 tahun.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 70 kg
IMT : 29,1
Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah : 180/100 mmHg
- Nadi : 85 x/menit
- Respirasi : 21 x/menit
- Suhu : 36,6 ° C
a. Status Generalis
8
b. Status Obstetrik
Pemeriksaan fisik luar :
- TFU : 30 cm
- DJJ : 150 x/menit, reguler
- His : tidak ada
Palpasi :
- Leopold I : teraba lunak, TFU: 30 cm.
- Leopold II : punggung teraba di kiri, DJJ 150x/menit.
- Leopold III : presentasi kepala
- Leopold IV : bagian terbawah janin belum masuk PAP
Pemeriksaan fisik dalam :
- V/V : Tidak ada kelainan
- VT : Dinding vagina licin, portio tebal, belum ada pembukaan,
ketuban (+), presentasi kepala.
- Proteinuria : +2
1.4 RESUME
Seorang perempuan, berusia 39 tahun dengan G3P2A0 gravida 35-36 minggu
datang ke IGD Kebidanan RSUD Waled pada tanggal 16 Desemberr 2018 pukul
9
12.25 WIB rujukan dari bidan Puskesmas Pangenan dengan keluhan tekanan darah
tinggi. Keluhan tekanan darah tinggi diketahui pasien sejak tanggal 03-12-2019
ketika melakukan ANC di bidan sebesar 150/100 mmHg. Keluhan ini tidak disertai
dengan nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah, kejang dan pandangan kabur.
Pasien mengeluhkan kaki bengkak sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan Mulas-
mulas, keluar air-air dan keluar darah disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan
bahwa gerakan janin masih dirasakan aktif. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Di puskesmas Pangenan, telah dilakukan pemeriksaan tekanan darah pasien
160/100 mmHg, dan protein urin (++). Di Puskesmas Pangenan telah diberikan
protap PEB berupa MgSO4 Loading dose secara bolus (10 cc MgSO4 dilarutkan
dengan 10 cc Aquabidest), juga diberikan Metildopa 3 x 250 mg.
Riwayat penyakit dalam keluarga di sangkal, riwayat operasi di sangkal. Pasien
mengaku bahwa menstruasinya lancar dan pertama kali mendapatkannya yaitu usia
15 tahun dengan siklus yg teratur selama 7 hari dan mengganti pembalut 1-2 kali
dalam sehari. Riwayat ANC dilakukannya di bidan setempat secara rutin setiap
bulan, imunisasi TT belum pernah dan sudah melakukan USG di Puskesmas. Pasien
juga mengaku sudah menikah sebanyak 1 kali dengan lama pernikahan 20 tahun.
Riwayat persalinan anak pertama usia 19 tahun dengan BBL 3.000 gram lahir di
puskesmas ditolong Bidan dan anak kedua usia 9 tahun dengan BBL 3.200 gram
lahir di Rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, tekanan darah 180/100 mmHg, nadi
85x/menit, respirasi 21 x/menit, suhu 36,6 °C, berat badan 50kg,
Tinggi badan 155cm Status generalis dalam batas normal. Edem pada
ekstremitas bawah dextra et sinistra. Pada status obstetri, pemeriksaan
fisik luar TFU 30 cm, DJJ 150 x/menit, reguler, His : tidak ada. Pada
Leopold I : teraba lunak, TFU: 30 cm, Leopold II : punggung teraba
di kiri, DJJ 150x/menit, Leopold III : presentasi kepala, Leopold IV :
bagian terbawah janin belum masuk PAP. Pada Pemeriksaan fisik
dalam :V/V : Tidak ada kelainan, VT : Dinding vagina licin, portio
tebal, belum ada pembukaan, ketuban (+), presentasi kepala, Pada
hasil pemeriksaan penunjang, protein urine dipstick positif ++.
10
1.5 DIAGNOSIS
G2P0A1 gravida 39-40 minggu Kala I fase laten dengan Eklampsia
1.7 PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Protap PEB
` MgSO4 10cc + RL 10cc bolus pelan 10-15 menit
b. Maintenance PEB
MgSO4 15 cc + RL 500cc diberikan dengan kecepatan 1-2 gram/jam
(20-30 tetes per menit)
c. Metildopa 2 x 500mg
d. Inj Anbacim 2x1 gr IV
1.8 PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Epidemiologi
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi
dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). Menurut WHO, 16% kematian ibu di
negara maju disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan. Di Amerika Serikat,
hipertensi terjadi pada 5-8% kehamilan dan menyebabkan sepertiga dari total
kematian ibu. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung selama tahun 2005 – 2010,
hipertensi dalam kehamilan menjadi penyebab 25,2% kematian ibu yang terdiri dari
16,5% eklamsia dan 2,9% preeklamsia berat dan impending eclampsia.
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering kedua
morbiditas dan mortalitas perinatal. Dampak jangka panjang pada bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan preeklamsia seperti berat badan lahir rendah akibat
persalinan prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat turut
menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan
berat badan lahir rendah atau mengalami pertumbuhan janin terhambat juga
memiliki risiko penyakit metabolik pada saat dewasa.
WHO memperkirakan kasus preeklamsia tujuh kali lebih tinggi di negara
berkembang dibandingkan dengan negara maju. Prevalensi preeklamsia di negara
maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di negara berkembang adalah 1,8% - 18%.
Insiden preeklamsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.
Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya
penurunan yang nyata terhadap insiden preeklamsia, berbeda dengan insiden
infeksi yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.
Preeklamsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklamsia
berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah
pasca persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit
kardiometabolik dan komplikasi lainnya.
Selain masalah kedokteran, preeklamsia juga menimbulkan masalah ekonomi,
karena biaya yang dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi. Dari analisis yang
dilakukan di Amerika memperkirakan biaya yang dikeluarkan mencapai 3 milyar
dollar Amerika pertahun untuk morbiditas maternal, sedangkan untuk morbiditas
15
neonatal mencapai 4 milyar dollar Amerika per tahun. Biaya ini akan bertambah
apabila turut menghitung beban akibat dampak jangka panjang preeklampsia.
4. Diagnosis
Hipertensi didiagnosis setelah dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama. Cara untuk mengurangi kesalahan pemeriksaan
tekanan darah:
Pemeriksaan dimulai ketika pasien dalam keadaan tenang. Berdasarkan
American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang
dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah
pemeriksaan.
Sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa atau yang setara, namun
apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau
tensimeter otomatis yang sudah divalidasi.
Pengukuran dilakukan pada posisi duduk posisi dengan manset setingkat
jantung.
Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan
agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.
Gunakan bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi) pada pengukuran tekanan
darah diastolik.
Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus
dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan
yang tertinggi.
2. 2 PREEKLAMPSIA
Preeklamsia adalah sindroma spesifik pada kehamilan yang dapat melibatkan
banyak sistem organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak
dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik
akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklamsia ditegakkan dengan
adanya protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, gejala dan gangguan
lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklamsia.
1. Faktor Risiko
Penyebab preeklamsia belum diketahui pasti. Namun, penyakit ini lebih sering
ditemukan pada wanita hamil dengan karakteristik berikut:
16
b) Faktor Imunologis
18
a) Vasospasme
Aktivasi endotel sistemik menyebabkan vasospasme yang meningkatkan
resistensi sehingga terjadi hipertensi. Kerusakan endotel sistemik juga
menyebabkan kebocoroan interstisial dan komponen darah, termasuk platelet dan
fibrinogen. Dengan berkurangnya aliran darah karena gangguan distribusi akibat
vasospasme dan kebocoran interstisial, iskemia dari jaringan akan menyebabkan
nekrosis, perdarahan, dan kerusakan target organ.
b) Kerusakan Sel Endotel
Faktor plasenta disekresikan ke sirkulasi maternal dan menyebabkan aktivasi
dan gangguan fungsi endotel vaskular sistemik. Sel endotel yang rusak atau
teraktivasi memproduksi lebih sedikit nitrit oksida dan menghasilkan substansi
yang mendukung koagulasi dan meningkatkan sensitivitas terhadap vasopresor.
c) Peningkatan Respon Vasopresor
Wanita dengan preeklamsia awitan dini mengalami peningkatan reaktivitas
vaskular terhadap norepinefrin dan angiotensin II. Dibandingkan dengan kehamilan
normal, produksi prostasiklin endotel (PGI2) yang merupakan vasodilator dan
penghambat agregasi platelet lebih rendah pada preeklamsia. Sekresi thromboxane
A2 oleh platelet yang merupakan vasokonstriktor dan stimulator agregasi platelet
juga meningkat, sehingga rasio prostasiklin:thromboxane A2 menurun. Hal ini
meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II dan menyebabkan vasokonstriksi
dan berujung pada hipertensi.
d) Protein Angiogenik dan Antiangiogenik
Vaskulogenesis plasenta terjadi 21 hari setelah konsepsi. Gangguan
keseimbangan angiogenik menggambarkan jumlah berlebih dari faktor
antiangiogenik yang distimulasi oleh perburukan hipoksia pada hubungan
uteroplasenta. Trofoblast pasien preeklamsia memproduksi protein antiangiogenik
berlebih yang masuk ke sirkulasi maternal.
Protein pertama adalah soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) yang
merupakan reseptor VEGF. Peningkatan kadar sFlt-1 menyebabkan inaktivasi dan
penurunan free placental growth factor (PIGF) dan VEGF sehingga terjadi
disfungsi endotel. Protein kedua adalah soluble endoglin (sEng) yang menghambat
20
berbagai transforming growth factor beta (TGF-β) untuk berikatan dengan reseptor
endotel sehingga menurunkan vasodilatasi endotel.
5. Patofisiologi
a) Kardiovaskular
22
c) Hati
Gangguan fungsi hati, peningkatan kadar enzim hati, ikterus, edema,
perdarahan, dan regangan kapsul hati. Nyeri pada kuadran kanan atas atau daerah
23
epigastrik pada preeklamsia berat terjadi karena peregangan kapsul Glisson akibat
edema atau perdarahan hati. Terjadinya hemolisis, trombositopenia, disertai dengan
nekrosis hepatoseluler yang meningkatkan enzim hati disebut dengan sindrom
HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, dan low platelet).
d) Otak
Terjadi kerusakan pada otak yang meliputi hipoksia, edema, dan gangguan
pembuluh darah otak. Manifestasi klinis yang dapat terjadi:
Sakit kepala dan skomata: terjadi karena hiperperfusi pada lobus
oksipital.
Kejang: sebelumnya disebutkan bahwa kejang disebabkan oleh
vasospasme dan edema otak. Namun, iskemia uteroplasenta juga
menyebabkan produksi molekul seperti neurokinin B, sitokin inflamasi,
endotein, dan tissue plasminogen activator yang menstimulasi resepor
saraf eksitatori dan mengganggu eksitabilitas saraf karena dihasilkan
neurotransmitter eksitasi yang berlebihan.
Perubahan status mental: terjadi karena edema otak yang tergeneralisasi.
e) Mata
Iskemia, perdarahan, edema papil, dan ablasio retina. Dapat terjadi
pandangan mata buram, diplopia, hingga kebutaan.
f) Paru
Iskemia, nekrosis, edema, perdarahan, dan gangguan pernapasan hingga
apneu.
g) Perfusi Uteroplasenta
Gangguan pada perfusi uteroplasenta dapat menyebabkan terjadinya
nekrosis, solusio plasenta, hambatan perumbuhan janin, dan gawat janin.
6. Diagnosis
a) Kriteria Diagnosis Preeklamsia
Hipertensi: Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau
90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
Dan
24
Protein urin: Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin
dipstik > positif 1.
Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu dibawah
ini:
Trombositopeni: Trombosit < 100.000 / mikroliter
Gangguan ginjal: Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana
tidak ada kelainan ginjal lainnya.
Gangguan Hati: Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik/regio kanan atas abdomen.
Edema Paru
Gejala Neurologis: Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth
Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
b) Kriteria Diagnosis Preeklamsia Berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklamsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklamsia atau disebut dengan preeklamsia berat. Kriteria
terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklamsia ringan, dikarenakan setiap
preeklamsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan
peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.
Diagnosis preeklamsia berat dipenuhi jika didapatkan salah satu kondisi
klinis dibawah ini:
Hipertensi: Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama.
Trombositopenia: Trombosit < 100.000/mikroliter
Gangguan ginjal: Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana
tidak ada kelainan ginjal lainnya.
25
b) Preeklamsia Berat
1) Perawatan Ekspektatif pada Preeklamsia Berat:
Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklamsia berat
dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu
dan janin yang stabil.
Manajemen ekspektatif pada preeklamsia berat juga direkomendasikan
untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan
tersedianya perawatan intensif bagi maternal dan neonatal.
28
Bila setelah 2 kali 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap
sebagai kegagalan pengobatan medisinal dan harus diterminasi.
2) Pemberian Magnesium Sulfat
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklamsia adalah untuk
mencegah dan mengurangi angka kejadian eklamsia, serta mengurangi morbiditas
dan mortalitas maternal serta perinatal. Salah satu mekanisme kerjanya adalah
menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh
darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat
juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan
dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron,
yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang. Efek samping minor
yang terbanyak ditemukan adalah flushing.
Pemberian magnesium sulfat pada preeklamsia berat:
Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama
eklamsia.
Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap
eklamsia pada pasien preeklamsia berat.
Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklamsia
berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadi
kejang/eklamsia atau kejang berulang.
Evaluasi kadar magnesium serum secara rutin tidak direkomendasikan.
Pemberian magnesium sulfat tidak direkomendasikan untuk diberikan
secara rutin ke seluruh pasien preeklamsia, jika tidak didapatkan gejala
pemberatan (preeklamsia tanpa gejala berat).
Cara pemberian magnesium sulfat melalui intravena secara kontinyu:
30
Dosis Awal: 4 gram MgSO4 (10 cc MgSO4 40%) dilarutkan dalam 100
cc ringer laktat, diberikan selama 15-20 menit.
Dosis Pemeliharaan: 10 gram MgSO4 (25 cc MgSO4 40%) dilarutkan
dalam 500 cc ringer laktat, kecepatan 1-2 gram/jam (20-30 tetes/menit).
Syarat-syarat pemberian magnesium sulfat:
Harus tersedia antidotum MgSO4 yaitu kalsium glukonas 10% (1 gram
dalam 10 cc) diberikan IV dalam waktu 3-5 menit.
Refleks patella (+) kuat.
Frekuensi pernapasan ≥ 16 kali per menit.
Produksi urin ≥ 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/KgBB/jam).
Magnesium sulfat dihentikan bila:
Ada tanda-tanda intoksikasi
Setelah 24 jam pascasalin
Dalam 6 jam pascasalin sudah terjadi perbaikan tekanan darah
(normotensif).
3) Pemberian Antihipertensi pada Preeklampsia Berat
Indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan adalah untuk
keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular. Pemberian
antihipertensi berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat sesuai dengan
penurunan tekanan arteri rata – rata.
Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi
berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110
mmHg.
Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan
diastolik < 110 mmHg.
Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short
acting, hydralazine, dan labetalol parenteral.
Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin,
metildopa, labetalol.
4) Pengelolaan Aktif
Cara terminasi kehamilan:
Belum inpartu:
31
b) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit
Pemeriksaan elektrolit (Na, K, Ca, Cl), kadar glukosa, analisa gas darah,
asam urat
Pemeriksaan fungsi ginjal: urea, kreatinin
Pemeriksaan fungsi hati: SGOT, SGPT
Punksi lumbal bila ada indikasi
Roentgen toraks
CT-Scan bila diduga ada perdarahan otak
Pemeriksaan USG, KTG
2. Diagnosis Banding
Untuk menegakkan diagnosis eklamsia, keadaan-keadaan lain yang
menyebabkan kejang dan koma seperti uremia, keracunan, tetanus, epiplepsi,
histeria, ensefalitis, meningitis, tumor otak, pecah aneurisma otak, dan gangguan
hati harus disingkirkan. Namun demikian, semua ibu dalam masa kehamilan dan
masa yang mengalami kejang dan hipertensi harus dianggap sebagai penderita
eklamsia sampai terbukti bukan.
3. Tatalaksana
a) Sikap Dasar
Tujuan pengobatan eklamsia adalah:
Mencegah kejang berulang
Menurunkan/mengendalikan tekanan darah
Mengatasi hemokonsentrasi dan memperbaiki diuresis dengan
pemberian cairan, misalnya ringer laktat. Cairan harus diberikan hati-hati
karena dapat menimbulkan hiperhidrasi dan edema paru. Oleh sebab itu,
produksi urine dan tekanan vena sentral harus dipantau:
- Urine tidak boleh kurang dari 30 cc/jam.
- Tekanan vena sentral tidak melebihi 6-8 cm H2O.
Mengatasi hipoksia dan asidosis dengan mengusahakan agar penderita
memperoleh O2 dan mempertahankan kebebasan jalan napas.
Semua kehamilan dengan eklamsia dan impending eclampsia harus harus
diakhiri tanpa memandang usia kehamilan dan keadaan janin, dilakukan
34
multipara lebih buruk, terutama bila usia ibu melebihi 35 tahun) serta oleh keadaan
sewaktu penderita masuk rumah sakit. Kematian akibat eklamsia sebesar ± 5%.
Diuresis juga mempengaruhi prognosis. Jika produksi urine > 800 cc/24 jam
atau 200 cc/6 jam, prognosis menjadi lebih baik. Sebaliknya, oliguria dan anuria
merupakan gejala-gejala yang memperparah diagnosis. Gejala-gejala lain yang
memberatkan prognosis yaitu:
Koma yang lama
Nadi > 120x/menit
Suhu > 39°C
Tekanan darah > 200 mmHg
Kejang > 10 kali serangan
Proteinuria > 10 gram/hari
Tidak ada edema
2. 4 HIPERTENSI KRONIS
Hipertensi kronis terjadi pada sekitar 5% kehamilan. Ketika terjadi tekanan
darah tinggi sebelum usia kehamilan 20 minggu, biasanya disebabkan oleh
hipertensi kronis. Faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi kronis adalah
gangguan pada aktivitas saraf simpatis, aktivitas angiotensin II, dan genetik. Faktor
risiko lainnya adalah obesitas, dyslipidemia, dan kurangnya aktivitas fisik.
1. Diagnosis
Deteksi adanya hipertensi sekunder
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, gula darah
Deteksi adanya preeklamsia: kreatinin, elektrolit, asam urat, enzim hati,
platelet, dan urinalisis
Elektrokardiogram, ekokardigram dapat memperlihatkan kardiomegali
2. Tatalaksana
Penurunan tekanan darah yang terlalu agresif tidak disarankan karena
mengganggu aliran darah uteroplasenta. Obat antihipertensi disarankan pada pasien
dengan tekanan darah sistolik lebih dari 150/100 mmHg atau telah terjadi kerusakan
target organ. Penanganan superimposed preeklamsia sama seperti pengananan
preeklamsia.
36
enzim hati, kreatinin, hematokrit, platelet, dan LDH. Pertumbuhan janin juga harus
dipantau.
Sekitar 15-25% pasien dengan hipertensi gestasional mengalami preeklamsia.
Pasien dengan tekanan darah < 160/110 mmHg tidak memiliki peningkatan risiko
terjadinya kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat, abrupsio plasenta,
atau kematian janin dalam kandungan. Pasien dengan hipertensi gestasional berat
(> 160/110 mmHg) memiliki peningkatan risiko kelahiran prematur, pertumbuhan
janin terhambat, dan abrupsio plasenta.
Antihipertensi tidak direkomendasikan pada pasien tanpa hipertensi
gestasional berat. Persalinan direkomendasikan pada usia kehamilan 39-40 minggu.
Penanganan hipertensi gestasional berat sama dengan preeklamsia berat.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Williams Obstetrics 25th ed. New York: McGraw Hill Medical, 2018.
2. Goodwin TM, DeCherney A, Nathan L, Laufer N. Current diagnosis and
treatment obstetrics and gynecology 11th ed. New York: McGraw Hill
Medical, 2012.
3. Martaadisoebrata D, Wirakusumah FF, Effendi JS. Obstetri patologi: ilmu
kesehatan reproduksi edisi 3. Jakarta: EGC, 2013.
4. POGI. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) tentang
Preeklampsia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
2015.
5. American College of Obstetricians and Gynecologists. Hypertension in
pregnancy. ACOG technical bulletin no. 219. Int J Gynecol Obstet.
1996;53:175-83.
6. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG Practice
Bulletin No. 125: Chronic hypertension in pregnancy. Obstetrics and
gynecology. 2012 Feb;119(2 Pt 1):396.
7. Wasseff S. Mechanisms of convulsions in eclampsia. Medical hypotheses.
2009 Jan 1;72(1):49-51.