Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi susu sapi (ASS) merupakan salah satu dari reaksi simpang (adverse
reaction) susu sapi. Kondisi ini sering disalahartikan dengan intoleransi susu sapi,
yang juga merupakan salah satu kondisi akibat reaksi simpang susu sapi. Kedua
kelainan kondisi tersebut harus dapat dibedakan dengan baik, oleh karena
memerlukan tatalaksana yang berbeda.
Susu sapi merupakan salah satu alergen penyebab tersering alergi makanan
yang disebut sebagai “the big 8 food alergens” bersama dengan telur, kedelai,
gandum, kacang tanah, kenari, ikan dan kerang. Insidensi ASS bervariasi di
berbagai usia dan angka kejadian ASS paling sering terjadi pada bayi. Angka
kejadian ASS di usia muda berkisar 2-6% dan angkanya menurun seiring
bertambahnya usia (0,1-0,5% pada usia dewasa).
Manifestasi gastrointestinal adalah salah satu gejala yang sering timbul pada
ASS. Tanda dan gejala dari ASS seringkali tidak spesifik dan sulit ditentukan
secara objektif sehingga dapat berakibat fatal dengan terjadinya failure to thrive
atau dehidrasi berat akibat diare atau muntah yang berulang. Ketelitian anamnesis
sangat diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ini dan juga dibutuhkan diet
eliminasi susu sapi dan uji provokasi untuk penegakan pasti penyakit ini
Prinsip utama dalam penatalaksanaan ASS adalah dengan menghindari susu
sapi dan makanan yang mengandung protein susu sapi. Namun pada
pelaksanaannya hal ini tidaklah mudah, mengingat pada masa tersebut diperlukan
nutrisi dan diet yang seimbang. Oleh karena itu, penatalaksanaan secara
komprehensif yang meliputi diet eliminasi, tatalaksana kegawatan, dan
pencegahan sangat diperlukan. Pada bayi dengan risiko tinggi ASS yang diberi
ASI, eliminasi diet ibu terhadap susu sapi dan makanan yang mengandung susu
sapi dapat menghilangkan gejala-gejala alergi
Pada sari kepustakaan ini akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi,
patofisiologi, diagnosis tatalaksana, pencegahan dan prognosis manifestasi
gastrointestinal pada ASS.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : By. Yunita
Tanggal Lahir : 13 November 2015
Umur : 0 tahun 17 hari
No. CM : 1-07-23-47
Alamat : Dusun Tengah, Gampong Jawa, Idi Rayeuk, Aceh
Timur
Riwayat Pernikahan : Belum Menikah
Tanggal Masuk : 25 November 2015
Tanggal Periksa : 01 Desember 2015
Tanggal Keluar : 07 Desember 2015

2.2 Anamnesis
2.2.1 Anamnesis IGD
 Keluhan utama : Sesak nafas
 Keluhan tambahan : Demam
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dating ke IGD RSUDZA dengan rujukan dari RS Sigli dengan
suspect pneumonia neonatal. Pasien datang ke IGD RSUDZA dibawa oleh
ibunya dengan keluhan sesak yang dirasakan sejak ± 5 hari SMRS dan sesak
memberat dalam 2 hari terakhir. Ibu pasien juga mengatakan bahwa
anaknya menderita demam sejak 5 hari SMRS. Demam naik turun, tidak
tentu kapan saja. Demam turun saat diberikan obat penurun panas. Menurut
ibu pasie,n anaknya juga sering tersedak saat minum susu, yaitu pada saat
usia 7 hari. Batuk dan pilek pada pasien tidak dikeluhkan oleh ibu pasien.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki riwayat DM, HT, ataupun alergi
 Riwayat Pengobatan

2
Ibu pasien mengatakan sudah pernah memberikan paracetamol saat anaknya
demam
 Riwayat Kehamilan
Ibu Pasien ANC ke dokter spesialis kandungan dan bidan secara teratur dan
tidak ada masalah pada saat kehamilan ibu.
 Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara, lahir secara pervaginam di
bidan dengan berat badan lahir 2500 gram.
 Riwayat Makanan
0 – 2 hari : ASI
2 -13 hari : ASI + Susu formula
 Riwayat Imunisasi
Pasien sudah diberi imunisasi Hepatitis B0

2.2.2 Anamnesis Lanjutan


 Keluhan utama : Bercak kemerahan pada seluruh tubuh
 Keluhan tambahan : tidak ada
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dirawat di NICU RSUDZA dengan Sepsis neonatorum dan
pneumonia neonatal. Pasien dirawat sudah 6 hari dan mengalami keluhan bercak
atau ruam kemerah-merahan yang tibul secara tiba-tiba, sehingga pasien
dikunsulkan ke divisi alergi anak. Ruam timbul pertama kali saat pasien berusia
15 hari. Keluhan pertama kali timbul disekitar perut pasien dan memberat ketika
pagi hari. Ruam kemerahan bertambah sampai punggung, tangan, kaki dan muka.
Pasien tidak mengalami muntah, diare, ataupun BAB berdarah. Pasien juga tidak
mengalami demam. Pasien mempunyai riwayat meminum susu formula saat usia
2 – 13 hari. Pasien diberikan susu formula sebanyak 1 botol (30 cc) sehari, karena
ASI ibu pasien yang tidak keluar banyak. Susu formula dihentikan pemberiannya
saat pasien dirawat di RSUDZA.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya.

3
 Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat rhinitis alergi dan ibu pasien memiliki
riwayat asma.
 Riwayat Pengobatan
Ibu pasien mengatakan sudah pernah memberikan paracetamol saat anaknya
demam
 Riwayat Kehamilan
Ibu Pasien ANC ke dokter spesialis kandungan dan bidan secara teratur dan
tidak ada masalah pada saat kehamilan ibu.
 Riwayat Persalinan
Pasien merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara, lahir secara pervaginam di
bidan dengan berat badan lahir 4000 gram.
 Riwayat Makanan
0 – 2 hari : ASI
2 -13 hari : ASI + Susu formula
 Riwayat Imunisasi
Pasien sudah diberi imunisasi Hepatitis B0

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 142 kali/menit
Frekuensi Pernafasan : 40 kali/menit
Temperatur : 36,8 ° C
b. Antropometri
Berat Badan : 2.650 g
Panjang Badan : 47 cm
Lingkar Kepala : 35 cm
Lingkar Lengan : 8,5 cm
Usia : 17 hari

4
c. Status Gizi
BB/U : 0 s/d -2 SD
PB/U : -2 s/d -3 SD
BB/PB : -1 s/d -2 SD
HA : 20 hari
Status Gizi : Normal
Kebutuhan Cairan : 2,65 kg x 100 cc/ hari
= 265 cc/hari
Kebutuhan Kalori : RDA x BBI
= (108) x 3.5 kg
= 378 kkal/hari
Kebutuhan Protein : RDA x BBI
= (2.2) x 3.5
= 7.7 g/hari

d. Status General
Kepala : Normocephali
Rambut : Warna kehitaman, sukar dicabut
Wajah : Ruam (+), macula papular eritema
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), mata cekung (-/-), pupil isokor, reflek
cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung
(+/+)
Telinga : Normotia, serumen (-/-)
Hidung : NCH (-), sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab (+), sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
macula papula hiperemi (+)
Thoraks :
Inspeksi : lesi hiperemis pada seluruh lapangan paru, Simetris,
retraksi intercostals (-), retraksi epigastrial (-),
retraksi supraclavicular (-)
Palpasi : Fremitus kanan = fremitus kiri

5
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), merintih
(-)

Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicula
sinistra
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-)

Abdomen :
Inspeksi : Lesi hiperemis makulopapular pada seluruh
lapangan abdomen, Simetris, distensi (-), massa (-),
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-), pembesaran hepar dan
lien (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal.

Ekstremitas :

Superior Inferior
Ekstremitas
Kanan Kiri Kanan Kiri

Sianosis (-) (-) (-) (-)

Edema (-) (-) (-) (-)

Pucat (-) (-) (-) (-)

e. Status Dermatologis
Tampak macula eritematous di region Fasialis, Thoracalis Posterior, dan
keempat Ekstremitas.

6
f. Status Neurologis
GCS : E4M6V5 (15)
Mata : Reflek Cahaya Langsung (+/+) Pupil Isokor Ø 3
mm/ 3 mm, Reflek Cahaya tidak langsung (+/+),
Reflek kornea (+/+)
Tanda Rangsang Meningeal: Kaku kuduk (-)
Nervus Cranialis : Tidak ada paresis
Sensorik : Tidak ada gangguan sensorik
Otonom : BAK (+), BAB (+)
Motorik : Tidak ada gangguan motorik

7
Reflek Fisiologis : Superior (+/+), Inferior (+/+)
Reflek Patologis : Superior (-/-), Inferior (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin (Tanggal 01 Desember 2015)
Hemoglobin : 20,0 gr/dl
Hematokrit : 58 %
Eritrosit : 5,9 x 106/mm3
Trombosit : 512 x 103U/L
Leukosit : 46,7 x 103/mm3
Diftell : 0/0/0/73/14/13 %
Natrium : 155 mmol/L
Kalium : 4.2 mmol/ L
Klorida : 123 mmol/L
Ureum : 113 mg/dL
Kreatinin : 0.69 mg/dL
Glukosa Darah Sewaktu : 139 mg/dL

2.4.2 Pemeriksaan Radiologi


Hasil foto toraks tanggal

Kesimpulan : Bronkopneumonia

8
2.5 Diagnosa
Sepsis Neonatorum
Pneumonia Neonatal
Dermatitis atopik ec. Alergi makanan

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Non- Medika Mentosa
 Bedrest
 Menghentikan pemberian susu formula dan memberikan ASI saja
2.6.2 Medikamentosa
 IVFD 4:1 + Ca Glukonas 6,2 cc/jam
 Inj. Meropenem 80 mg/ 8 jam
 Inj. Ranitidin 2,5 mg/ 12 jam
 Inj. Amikasin 15 mg/ 8 jam
 Hidrocortison 1% Zalf
 ASI 10cc/ 8 jam

2.7 Planning
 Cek IgE spesifik alergi
 Hentikan pemberian susu formula dan digantikan hanya dengan ASI

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

2.9 Follow Up Harian


Tanggal Pemeriksaan Terapi / Planing

01/12/2015 S/ Ruam kemerahan di wajah Th/


lengan tangan dan kaki, Demam  IVFD 4:1 + Ca Glukonas
(-) 6,2 cc/jam
O/ HR: 125 x/mnt  Inj. Meropenem 80 mg/ 8
RR: 32x/mnt

9
T: 36,8⁰C jam
 Inj. Ranitidin 2,5 mg/ 12
Kepala : Normocephali
Mata: Konj. palpebra inf. pucat (- jam
/-), sklera ikterik (-/-)  Inj. Amikasin 15 mg/ 8
Telinga : Normotia, sekret (-) jam
Hidung: NCH (-), secret (-)
Mulut : Mukosa bibir lembab (+),  Hidrocortison 1% Zalf
sianosis (-)  ASI 10cc/ 8 jam
Leher: Pembesaran KGB (-),
Thoraks:
I : Simetris
P : Sf kiri = sf kanan P/
P : Tidak dilakukan  Diet :

A: Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)


Cor: Bj I > Bj II, reguler
Abd. :
I: simetris
P: Soepel
P: Timpani
A: Peristaltik (+) kesan normal
Ekstr: Superior: edema (-/-),
pucat (-/-)
Inferior: edema (-/-), pucat (-/-)

A/ Dermatitis Atopi ec Alergi


Makanan
02/06/2015 S/ Ruam kemerahan di wajah Th/
lengan tangan dan kaki, Demam  IVFD 4:1 + Ca Glukonas
(-) 6,2 cc/jam
 Inj. Meropenem 80 mg/ 8
O/ HR: 140 x/mnt jam
RR: 35x/mnt
 Inj. Ranitidin 2,5 mg/ 12
T: 36,8⁰C
jam
Kepala : Normocephali  Inj. Amikasin 15 mg/ 8
Mata: Konj. palpebra inf. pucat (-
jam
/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, sekret (-)  Hidrocortison 1% Zalf
Hidung: NCH (-), secret (-)  ASI 10cc/ 8 jam

10
Mulut : Mukosa bibir lembab (+),
sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-),
P/
Thoraks:
 Diet :
I : Simetris
P : Sf kiri = sf kanan
P : Tidak dilakukan

A: Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)


Cor: Bj I > Bj II, reguler
Abd. :
I: simetris
P: Soepel
P: Timpani
A: Peristaltik (+) kesan normal
Ekstr: Superior: edema (-/-),
pucat (-/-)
Inferior: edema (-/-), pucat (-/-)

A/ Dermatitis Atopi ec Alergi


Makanan
03/06/2015 S/ Ruam kemerahan di wajah Th/
lengan tangan dan kaki  IVFD 4:1 + Ca Glukonas
berkurang, Demam (-) 6,2 cc/jam
 Inj. Meropenem 80 mg/ 8
O/ HR: 143 x/mnt jam
RR: 35x/mnt
 Inj. Ranitidin 2,5 mg/ 12
T: 36,1⁰C
jam
Kepala : Normocephali  Inj. Amikasin 15 mg/ 8
Mata: Konj. palpebra inf. pucat (-
jam
/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia, sekret (-)  Hidrocortison 1% Zalf
Hidung: NCH (-), secret (-)  ASI 10cc/ 8 jam
Mulut : Mukosa bibir lembab (+),
sianosis (-)
Leher: Pembesaran KGB (-),
Thoraks: P/
I : Simetris  Diet :
P : Sf kiri = sf kanan
P : Tidak dilakukan

11
A: Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Cor: Bj I > Bj II, reguler
Abd. :
I: simetris
P: Soepel
P: Timpani
A: Peristaltik (+) kesan normal
Ekstr: Superior: edema (-/-),
pucat (-/-)
Inferior: edema (-/-), pucat (-/-)

A/ Dermatitis Atopi ec Alergi


Makanan

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak
organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun.
Reaksi alergi yang terjadi ini diprovokasi oleh protein yang ada dalam
susu sapi. Susu merupakan protein yang spesifik untuk tiap spesiesnya, karenanya
protein dalam susu sapi memang sesuai untuk usus sapi, tetapi belum tentu sesuai
dengan usus manusia. Bagi kebanyakan bayi, protein susu sapi merupakan protein
asing yang pertama kali dikenalnya saat ia mendapat susu formula.

3.2 Epidemiologi
Sekitar 70% dari penduduk dunia mengalami intoleransi laktosa. Dari
semuanya itu, penduduk di Eropa memiliki tingkat kejadian paling rendah,
sedangkan di Asia serta Afrika memiliki tingkat kejadian toleransi laktosa yang
paling tinggi. Di Amerika terdapat lebih dari 50 juta orang menderita intoleransi
laktosa. Jenis kelamin tidak memiliki peran dalam kasus intoleransi laktosa.
Sejak lahir dan selama masa bayi, mikrovili akan membentuk laktase
sebagai akibat rangsangan laktosa yang terdapat dalam ASI atau susu foemula.
Namun selanjutnya sesudah anak disapih terjadi perbedaan antara anak di negeri
berkembang dengan anak di negeri maju, yaitu karena pada anak di negeri
berkembang biasanya tidak diberikan susu terus menerus lagi, sehingga
rangsangan terhadap mikrovili untuk membentuk laktase juga berkurang.
Intoleransi laktosa ini sering muncul pada anak usia mulai 2 tahun keatas,
karena produksi enzim laktase diprogram secara genetik untuk menurun pada usia
tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan pada usia dibawah 2 tahun dapat
menderita intoleransi laktosa (khususnya bayi-bayi prematur).

3.3 Klasifikasi
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan akibat
protein susu sapi, yang diperantarai oleh reaksi imunologi melalui IgE mediated

13
dan non IgE mediated. Reaksi pada ASS ini bisa terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas tipe I atau IV.
ASS harus dibedakan dari intoleransi susu sapi, yang juga merupakan
reaksi simpang terhadap susu sapi. Intoleransi susu sapi disebabkan karena
sesuatu komponen spesifik dari susu sapi atau karena karakteristik pejamu (seperti
intoleransi laktosa, defisiensi laktase). Sedangkan alergi susu sapi merupakan
respons imun yang abnormal terhadap susu sapi yang hanya terjadi pada pejamu
yang sensitif. Respons imun dapat diperantarai oleh antibodi (IgE) atau
diperantarai sel (cell mediated/non IgE mediated) atau gabungan keduanya (mixed
IgE mediated-cell mediated) (Gambar 1).

Gambar 1 Alergi Susu Sapi & Intoleransi Susu Sapi termasuk dalam Reaksi
Simpang terhadap Susu Sapi.

Tabel di bawah ini memperlihatkan perbedaan antara intoleransi susu sapi,


alergi susu sapi yang diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE.

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Simpang Susu Sapi


Intoleransi laktase ASS yang diperantarai IgE ASS yang tidak
diperantarai IgE
Prevalensi Tinggi Rendah Rendah
Variasi ras Tinggi Rendah Tidak diketahui
Usia rata- Remaja/dewasa Bayi Bayi dan dewasa

14
rata
Yang Laktosa Protein susu Protein susu, atau
berperan komponen lain (?)
Mekanisme Gangguan metabolik Imunologi diperantarai IgE Imunologi:
Defisiensi laktase usus - Cell mediated
- Kompleks imun
Gejala Gastrointestinal Satu atau lebih gejala pada Terutama GI &/ pernafasan
GI, kulit, pernafasan,
anafilaksis
Onset 0,5-2 jam <1 jam >1 jam – beberapa hari
Diagnostik Lactose tolerance test; Skin prick test Tidak ada tes yang
breath test; stool acidity RAST sederhana
test DBPCFC
Pencegahan
Primer - ASI Tidak diketahui
Menghindari protein susu
pada usia 0-6 bulan
Sekunder Menghindari laktosa Menghindari protein susu Menghindari protein susu
intak intak
Pilihan susu Hidrolisis laktosa atau Menghilangkan epitop Menghilangkan epitop
chromatographic alergenik alergenik
lactose removal Hidrolisis protein susu
Sumber: Critenden, 2005.

3.4 Patofisiologi
Alergi susu sapi merupakan respons imun spesifik alergen susu sapi yang
secara predominan diperantarai IgE (IgE mediated immune response) dan/atau
tidak diperantarai IgE atau seluler (cellular immune response).
Protein susu dibagi 2 fraksi utama yaitu fraksi kasein dan whey dengan
rasio 80:20. Penelitian yang dilakukan oleh Shek dkk, melaporkan bahwa kasein
merupakan alergen predominan yang menyebabkan ASS.
Komposisi susu sapi dan susu ibu (ASI), selain mempunyai beberapa
persamaan terdapat pula perbedaan yang nyata dalam tipe protein dan
homolognya yang memberi kemungkinan bagi sebagian besar protein susu untuk
dikenali sebagai asing oleh sistem imun manusia. Pada sebagian besar individu,
sistem imun dapat mengenali dan bertoleransi dengan protein susu sapi. Namun,
pada individu yang mempunyai bakat alergi, sistem imun akan tersensitisasi dan

15
bereaksi terhadap protein susu sehingga menyebabkan respons imun yang
merugikan.
Tabel di bawah ini memperlihatkan perbedaan komposisi protein susu sapi
dan ASI.
Tabel 2 Komposisi Protein Utama ASI dan Susu Sapi
Protein ASI (mg/mL) Susu sapi
(mg/mL)
α – laktalbumin 2.2 1,2
α – s1 kasein 0 11,6
α – s2 kasein 0 3,0
β – kasein 2,2 9,6
κ - kasein 0,4 3,6
γ – kasein 0 1,6
Imunoglobulin 0,8 0,6
Laktoferin 1,4 0,3
β – laktoglobulin 0 3,0
Lisozim 0,5 Trace
Serum albumin 0,4 0,4
Lain-lain 0,8 0,6

Protein susu dipinositosis oleh antigen presenting cell (APC) dan epitop
peptida dipresentasikan kepada sel T. Pada alergi yang diperantarai IgE, sel Th2
efektor berinteraksi dengan sel B melalui IL-4 untuk alih produksi kelas IgE yang
spesifik untuk protein susu yang kemudian berikatan pada permukaan mastosit
(sensitisasi). Pada kontak berikutnya, protein susu yang berikatan silang dengan
IgE pada permukaan mastosit menyebabkan sel tersebut berdegranulasi dan
terjadi pelepasan mediator dengan segera (aktivasi). Pengetahuan tentang
mekanisme yang diperantarai non IgE masih kurang. Mungkin melibatkan
aktivasi sel inflamator melalui interferon-gamma (IFN-γ). Toleransi oral dicapai
melalui anergi sel T atau aktivasi sel T regulator (T-reg) yang menekan kerja sel T
efektor (Th1 dan Th2) melalui interleukin-10 (IL-10), transforming growth
factor-beta (TGF-β) atau kontak antar sel.

16
Gambar 2. Mekanisme Reaksi Alergi Susu Sapi

Manifestasi gastrointestinal pada alergi susu sapi terutama disebabkan


oleh mekanisme reaksi alergi yang tidak diperantarai IgE. Pada beberapa kasus
juga dapat disebabkan oleh gabungan reaksi alergi yang diperantarai IgE dan yang
tidak diperantarai IgE (mixed IgE and non IgE-mediated allergy).

3.5 Manifestasi Klinis


3.5.1 Alergi Susu Mediasi IgE
Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang
terjadi setelah meminum susu. Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi
IgE akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan
mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ. Gejala yang dapat
timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri perut, sulit
bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. Gejala pada kulit merupakan gejala
paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat muncul tanpa
adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset munculnya gejala
dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi namun mayoritas reaksi
muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama setelah terpapar.
Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis
atopi. Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis
atopi yang sedang sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan yang

17
memperparah eksema. Makanan yang berpengaruh ialah susu sapi, dengan
ditemukannya IgE spesifik pada kebanyakan pasien.

Reaksi cepat Reaksi Lambat


Anafilaksis Diare kronis, diare berdarah, anemia
Urtikaria akut defisiensi besi, konstipasi, muntah kronis,
Dermatitis Atopi kolik
Akut angioedema Terganggunya pertumbuhan
Sesak Enteropati dengan kehilangan protein
Rhinitis dengan hipoalbuminemia
Batuk kering Sindrom enterokolitis
Muntah Esofagogastroenteropati eosinofilik yang
Edema laryngeal diketahui dari biopsi
Asma akut dengan stres
pernapasan
Tabel 2.2 Onset reaksi cepat dan lambat alergi susu sapi pada anak-anak.(3)

Gambar 2.2 Dermatitis atopi pada bayi pada wajah akibat alergi protein.

3.5.2 Alergi Susu Sapi Gastrointestinal


Gastroenteropathies Eosinofilik
Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada
dinding usus. Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang
diinduksi susu, oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi protein
makanan. Prevalensi kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat. Diagnosis
banding dari eosinofilia usus sangat luas dan meliputi inflamatory bowel disease,

18
infeksi parasit, sindrom hipereosinofilia dan hipersensitivitas obat. Tidak ada tes
diagnostik yang patognomonis dan diagnosis alergi eosinofilia gastroenterologi
harus berdasarkan keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau oral food challenges.

Colitis Akibat Makanan dan Susu Sapi (Food and cow’s milk colitis)
Alergi susu sapi merupakan salah satu penyebab yang umum dari
terjadinya kehilangan darah kronis dan anemia pada masa neonatal, dengan darah
samar atau perdarahan rectum pada feses dan diare, meskipun begitu diare
berdarah yang masif jarang terjadi. Pendarahan rektal merupakan gejala yang
mengkhawatirkan tetapi pada umumnya jinak dan self limiting tetapi dapat
dikaitkan dengan alergi susu pada sekitar 20% kasus. Bayi yang terkena dapat
timbul dengan pendarahan anus yang terisolasi dengan mengeluarkan lendir pada
jam pertama kehidupan, dapat melalui dalam rahim, atau sebelum 3 sampai 6
bulan pertama kehidupan tetapi biasanya tetap dalam kondisi umum yang sangat
baik. Biopsi rektal menunjukkan peradangan eosinofilik yang khas dengan erosi
epitel, microabscess atau fibrosis. Gejala diakibatkan oleh protein susu sapi yang
terkandung dalam susu formula atau ASI, dan setengah dari pasien ini didiagnosis
ketika menggunakan ASI eksklusif.
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga
dapat bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang.
Kemajuan klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam
waktu lima hari setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu
mengalami kegagalan, diet bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya
sembuh dalam beberapa bulan, sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan
antara 6 dan 12 bulan.

Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)


Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi
menunjukkan prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama
mempengaruhi orang-orang berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin
banyak pula dilaporkan dalam literatur-literatur pediatrik. Penyakit ini
didefinisikan dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada esofagus, dan terkait
dengan gejala refluks yang resisten terhadap terapi proton pump inhibitor (PPI).

19
Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidaknyamanan,
disfagia dan cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering.
Gejala pada anak-anak biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau
regurgitasi dan anoreksia, atau kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat
menampilkan berbagai gambaran dari area normal sampai putih atau merah
merata dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek tracheiformis yang khas.
Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/
Lapang pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan
impaksi makanan. Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi makanan
dengan campuran mediasi IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak dan
remaja.
Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat
melibatkan berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semi-
unsurnya dapat menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien ini.
Namun demikian, penggunaan steroid topikal atau sistemik sering dibutuhkan,
terutama jika makanan penyebab tidak dapat diidentifikasi secara jelas atau jika
peradangan sudah berlangsung lama.

Enterokolitis yang Diinduksi Protein Makanan (Food protein-induced


enterocolitis)
Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus
menerus dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok
hipovolemik. Gejala dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau
minum. Anak-anak dengan gejala-gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya
sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut adalah leukositosis yang dipenuhi
oleh sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya belum jelas namun
diketahui dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon
memperlihatkan abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini
dapat juga disebabkan oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya
reaksi terhadap kedelai, ikan, nasi, kentang dan ayam.
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah
usia 2-3 tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien
dengan enterokolitis yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi

20
klinis yang tidak jelas harus dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi
dan biopsi yang bertujuan untuk menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik.

3.6 Diagnosis
Proses diagnosis alergi susu sapi pada dasarnya adalah sama dengan
proses diagnosa alergi makanan. Seperti penyakit pada umumnya, proses diagnosa
dimulai dari penelusuran dan evaluasi riwayat penyakit, dilanjutkan dengan
pemeriksaan klinis secara seksama. Hal yang khusus dilakukan dalam investigasi
alergi makanan adalah pembuatan catatan harian diet, uji eliminasi dan provokasi,
uji kulit, dan pemeriksaan kadar IgE.
Dalam anamnesis, perhatian difokuskan pada reaksi alergi yang terjadi,
dan kaitannya dengan makanan yang dimakannya. Setelah berbagai bahan
makanan yang dicurigai menjadi penyebab alergi diperoleh, diagnosa
dikonfirmasi dengan pemeriksaan berupa uji eliminasi dan uji provokasi.
Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang menjadi
tersangka, dalam hal ini adalah protein susu sapi, selama 2 minggu. Dalam kurun
waktu ini diobservasi apakah gejala alergi yang ada berkurang atau tidak. Bila
gejala berkurang, dapat dilanjutkan uji provokasi untuk mengkonfirmasinya lagi,
yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan dicatat reaksi yang
terjadi. Jika makanan tersangka memang penyebab alergi, maka gejala akan
berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat diprovokasi.
Di samping penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai juga
adalah dengan pemeriksaan kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang meninggi
dalam darah dapat dipergunakan sebagai petunjuk status alergi pada pasien, dan
memang kadar IgE ini seringkali didapatkan meninggi pada penderita alergi susu
sapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Hidvegi dkk, diduga kadar total
IgE serum dan IgG anti- -casein memiliki nilai prognostik; yaitu bila didapatkan
peningkatan pada awal penyakit, toleransi terhadap susu sapi akan dicapai lebih
lambat atau bahkan dapat pula sifat alergi yang terjadi bersifat menetap.
Uji kulit yang dilakukan, disebut skin prick tests. Namun demikian perlu
diketahui bahwa uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena
tingginya hasil positif palsu. Interpretasi ini perlu diperhatikan, sebab bila
tatalaksana dilakukan berdasarkan hasil positif ini, maka dapat saja terjadi

21
penghindaran makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, tes
ini juga memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi, dengan demikian bila
didapatkan hasil yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil
kemungkinannya.
Walau demikian dalam praktek klinisnya sehari-hari, diagnosa lebih sering
ditegakkan berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji eliminasi dan provokasi.
Pemeriksaan secara laboratoris hanya bersifat pelengkap. Sedangkan penggunaan
uji kulit pada anak, selain karena masalah akurasinya yang kurang, perlu juga
dipertimbangkan faktor ketidaknyamanan yang akan timbul, mengingat penderita
umumnya berusia di bawah 2-3 tahun.
Walaupun tampaknya mudah, pada beberapa keadaan diagnosis dapat menjadi
sulit dan membingungkan. Hal ini terjadi misalnya karena adanya reaktivasi dari
makanan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah protein susu sapi dapat
menimbulkan alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam bentuk lain
seperti es krim, keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai bahan
dasarnya.

3.7 Pemeriksaan Penunjang


Selain dari manifestasi klinis yang ada, untuk mendiagnosis adanya alergi
susu sapi pada anak dapat dilakukan beberapa tes penunjang atau tes diagnostik.
Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi terhadap susu sapi, yaitu:

3.7.1 Skin Prick Test


SPT merupakan tes yang cepat dan tidak mahal untuk mendeteksi
sensitisasi mediasi kelainan IgE dan dapat dikerjakan pada bayi dengan baik. Nilai
prediksi negatif adalah baik (>95%) dan dipastikan dengan tidak adanya reaksi
mediasi IgE. Meskipun, hasil respon yang positif tidak pasti menunjukan bahwa
makanan merupakan penyebabnya (kurang spesifik), dan hanya menunjukan
sensitivitas terhadap makanan (atopi, pada keadaan tidak adanya gejala alergi).
SPT kurang begitu berguna pada kelainan alergi usus yang sensitif
terhadap makanan daripada alergi yang dimediasi oleh IgE. Pada alergi mediasi
non IgE, seperti Food protein-induced enterocolitis atau colitis akibat susu
menghasilkan hasil tes yang negatif. Meskipun begitu, SPT bergunan dalam

22
mengeluarkan diagnosis banding alergi mediasi IgE atau dalam keadaan patologi
yang disebabkan mekanisme kombinasi, khususnya esofagitis eosinofilik dimana
SPT dapat membantu mengetahui penyebab dari alergennya.

Gambar 2.3 Skin Prick’s Test.

3.7.2 Atophy Patch Test


Pada tes ini, makanan diberikan selama 48 jam pada kulit menggunakan
patch yang tertutup. Tes positif menunjukan terjadinya eritema, indurasi dan/atau
lesi vesikulus yang muncul 24 -48 jam kemudian pada lokasi patch. Secara
teoritis mekanismenya sama dengan mekanisme limfosit sel T yang serupa
dengan terjadinya mekanisme enteropati. Meskipun begitu, sel T dari lokasi yang
berbeda mengekspresikan marker awal yang berbeda, seperti CLA (Cutaneus
Lymphocyte Antigen) untuk kulit dan α4β7-integrin untuk usus, yang mana dapat
merubah sensitivitas dan spesifisitas dari tes. Tes ini telah diteliti pada kasus
dermatitis yang parah dimana sensitivitasnya sekitar 65%. Telah ditunjukkan
bahwa tes ini membantu untuk mengetahui penyebab makanan pada esofagitis
pada anak-anak tetapi seringkali hasilnya negatif pada pasien dewasa.

23
Gambar 2.4 Atopy Patch Test.

3.7.3 Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food
Challenge)
Bila diagnosis masih belum jelas, oral food challenge merupakan standar
emas. Sebuah protokol diterbitkan oleh Bock SA pada tahun 1988 dan protokol
standar telah diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinical
Immunology pada tahun 2004. Pasien mencerna, lebih dari 2 jam, secara progresif
meningkatkan jumlah dari makanan yang diduga membuat alergi. Prosedur
dihentikan ketika muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah makanan
yang dimakan sudah mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul. Karena
terdapat reaksi anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga medis
yang terlatih, dan kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dan
dapat menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis, namun
pemeriksaan ini merupakan indikasi pasti pada pasien dengan diagnosis yang
tidak jelas.
Dasar dari diagnosis food-induced gastrointestinal allergy ialah respon
terhadap diet eliminasi, dengan timbulnya gejala yang berulang ketika diberikan
makanan atau susu. Disebabkan reaksi alergi biasanya tertunda, diet eliminasi
harus dilakukan untuk setidak-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum diberikan
tantangan makanan (food challenge). Namun, identifikasi penyebab makanan
seringkali berat dan dokter kadang-kadang harus meresepkan diet ketat yang
"oligo-antigen".

24
Pada beberapa sindrom alergi seperti food protein-induced enterocolitis,
tantangan pemberian makanan dapat menyebabkan reaksi klinis berbahaya yang
mengarah kepada syok hipovolemik. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk
memasang jalur intravena dan memiliki supervisi medis dengan fasilitas resusitasi
dan penatalaksanaan segera.

3.7.4 Uji In Vitro


Dalam uji in vitro seperti ECP (Eosinophilic Cationic Protein), tes aktivasi
basophil atau tes proliferasi limfosit tidak menunjukkan sensitivitas atau
spesifisitas dalam mendiagnosis alergi makanan.
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Edit Hidvégi dan rekan-
rekan (2001) yang menyimpulkan bahwa normalisasi kadar serum ECP dapat
menjadi indikasi berhentinya alergi susu sapi. Oleh karena itu, pengukuran serum
ECP mungkin dapat membantu dalam menentukan waktu yang optimal untuk
mengulang uji pemberian tantangan makanan, sehingga hasilnya akan cenderung
lebih negatif. Penurunan kadar yang signifikan dari serum ECP 2 jam setelah uji
awal pemberian tantangan makanan dapat dijelaskan oleh fakta bahwa protein ini
dikeluarkan ke dalam lumen usus.

3.7.5 Dosis Antibodi Serum IgE


Pemeriksaan kuantitif dari antibodi IgE spesifik terhadap makanan sering
menjadi langkah yang berikutnya. Alergen yang diduga diikat ke matriks padat
dan dipaparkan ke serum pasien. Antibodi IgE spesifik untuk alergen mengikat ke
matriks protein dan dideteksi menggunakan antibodi spesifik sekunder pada
bagian Fc dari IgE manusia. Hampir sama dengan skin test, sensitisasi dapat
muncul tanpa reaksi klinis, dan tes tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
alergi makanan tanpa adanya riwayat klinis alergi makanan. Meskipun begitu,
meningkatnya konsentrasi dari spesifik IgE akibat makanan berhubungan dengan
meningkatnya kemungkinan reaksi klinis.
Meskipun memiliki sensitivitas yang baik, pada sebagian kecil pasien
dengan reaksi gejala klinis alergi yang sesuai namun serum IgE spesifik akibat
makanan tidak dapat dideteksi.

25
3.8 Tatalaksana
Bila diagnosis Alergi Susu Sapi (ASS) sudah ditegakkan maka susu sapi
harus dihindarkan dengan ketat supaya toleran dapat cepat tercapai. Eliminasi
susu sapi direncanakan selama 6 – 18 bulan. Bila gejala menghilang, dapat dicoba
provokasi setelah eliminasi 6 bulan. Bila gejala tidak timbul lagi berarti anak
sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali,
maka eliminasi dilanjutkan kembali sampai 1 tahun dan seterusnya. Umumnya
bayi akan toleran sekitar umur 3 tahun. 50 % akan toleran pada usia 2 tahun, 60%
pada usia 4 tahun, dan 80% pada usia 6 tahun Keluarga pasien, teman, guru harus
dijelaskan mengenai keadaan pasien supaya harus membaca label setiap makanan
siap olah sebelum dikonsumsi.
1. Pemakaian susu kedele sebagai pengganti dapat dipilih, tetapi 0-40% ASS
akan alergi juga terhadap susu kedele. Zeiger dkk mendapatkan hanya
14% ASS yang alergi susu kedele pada anak usia <3.5 tahun. Susu
pengganti diberikan susu kedele, walaupun dilaporkan 30 – 50% dari ASS
akan alergi juga susu kedele. Bila alergi terhadap susu sapi dan susu
kedele diberikan susu sapi hidrosilat.
2. gejala yang ditimbulkan ASS diobati secara simptomatis.

Mengeliminasi protein susu sapi dari makanan adalah satu – satunya yang
terbukti sebagai terapi pada saat ini
ASI. Ibu yang menyusui harus mengeliminasi produk susu dari
makanannya. Terdapat kontroversi tentang penilaian lainnya, karena anak – anak
memiliki peningkatan resiko terhadap alergi makanan lainnya, adalah suatu hal
yang bijak bagi seorang ibu untuk mengeliminasi allergen lain seperti susu kedele,
telur, daging sapi. Bagaimanapun juga ini menjadi tekanan tersendiri bagi ibu dan
mungkin memprovokasi kegagalan pemberian ASI. Pendekatan praktisnya
dimulai dengan eliminasi protein susu sapi dan eliminasi produk lain hanya jika
anak memperlihatkan gejala.
Susu Formula. Formula digantikan dengan formula hipoalergi yang
berdasarkan protein susu yang terhidrolisasi secara ekstensif. Terdapat
pengalaman terbatas dengan hidrolisasi dibandingkan dengan sumber lainnya
seperti susu kedele dan kolagen. Sumber proteinnya mungkin berdasarkan protein

26
air dadih yang terhidrolisasi ekstensif (eHW) dan kasein (eHC). Anak yang tidak
toleran terhadap eHW mungkin dapat mentoleransi eHC, begitupun sebaliknya.
Makanan keras. Tidak dibutuhkan untuk menunda pemberian makanan
keras. Kebanyakan anak dapat mentoleransi makanan lainnya (non-susu) ketika
dikenalkan setelah umur 4 bulan. Pada anak yang alergi berat, makanan keras
adalah pilihan yang bijak: hanya satu atau dua makanan baru per 3 harinya.
Konseling. Diagnosis alergi susu sapi memiliki imbas yang besar pada
sebuah keluarga. Edukasi yang sesuai pada orang tua dan pengasuh adalah hal
yang penting. Mereka butuh belajar tidak hanya strategi pencegahan, seperti
membaca label makanan dan menghindari situasi yang beresiko tinggi, tetapi juga
harus mengenal gejala dan tanda awal dan juga tatalaksanan untuk reaksi akut.

27
28
29
3.9 Pencegahan
Strategi pencegahan ASS terdiri dari 3 tingkat, yaitu (1) pencegahan
primer terhadap sensitisasi awal; (2) pencegahan sekunder terhadap pencetus
reaksi alergi; (3) pencegahan tersier dengan induksi toleransi pada individu yang
telah tersensitisasi.

3.9.1 Pencegahan Primer terhadap Sensitisasi


Riwayat atopi pada keluarga merupakan faktor risiko terjadinya ASS.
Pemberian ASI selama 4-6 bulan merupakan strategi perlindungan yang sangat
penting untuk mencegah ASS, terutama pada bayi dengan risiko. Sejumlah kecil
protein susu sapi yang diminum oleh ibu dapat ditansfer kepada bayinya melalui
ASI, sehingga ASI eksklusif tidak menjamin bayi tersebut terbebas dari ASS.
Pada bayi yang berisiko timbul ASS, ibu dianjurkan untuk menghindari makanan
yang mengandung protein susu sapi selama masa menyusui.
Pada bayi yang tidak dapat ASI karena berbagai alasan, maka diberikan susu
formula. Dari beberapa penelitian prospektif, pemberian susu formula yang
terhidrolisis (baik partially hydrolyzed formulas maupun eHF) pada awal masa
bayi, memberikan perlindungan yang lebih baik dibanding formula yang
mengandung protein susu sapi intak, khususnya pada bayi yang berisiko (riwayat
atopi pada keluarga).
Dengan melakukan microbial challenge dalam bentuk probiotik yang
terkandung dalam makanan (misalnya Lactobacillus dan Bifidobacterium pada
produk susu yang difermentasi) dapat memperbaiki ketidakseimbangan Th1/Th2
dan menginduksi aktivitas sel T regulator pada binatang percobaan.
Saat ini probiotik mulai banyak ditambahkan kedalam susu formula bayi
bersamaan dengan oligosakarida (prebiotik), yang dapat menginduksi
berkembangnya mikrobiota Bifidobacterium di intestinal. Hal ini menyerupai efek
yang ditimbulkan oleh ASI. Namun demikian, penggunaan probiotik, prebiotik,
dan berbagai komponen parasit intestinal untuk mencegah alergi masih terus
diteliti.
Regulatory cytokines dalam ASI, seperti transforming growth factor-beta
(TGF-𝛃), memegang peranan penting dalam menimbulkan berbagai respon yang

30
sesuai terhadap antigen makanan selama fase awal bayi, ketika sistem imun
saluran gastrointestinal sedang berkembang.
Susu sapi formula umumnya kurang mengandung regulatory cytokines.
Penttila dkk melakukan uji coba pada tikus, diperoleh hasil bahwa penambahan
immunoregulatory factor ke dalam susu sapi akan memperkuat timbulnya
toleransi oral tehadap berbagai antigen makanan. Kapasitas immunoregulatory
dari ASI diharapkan dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan tolerogenisitas
terhadap susu formula di masa yang akan datang.

3.9.2 Pencegahan Sekunder: Pemberian Protein Susu Sapi yang


Hipoalergenik
Bagi individu yang sudah tersensitisasi susu sapi, pencegahan ASS
dilakukan dengan menghindari protein susu sapi intak. Pembuatan susu formula
hipoalergenik dilakukan dengan cara menghancurkan epitop alergenik melalui
proses hidrolisis protein susu sapi yang menyeluruh menjadi peptida-peptida yang
berukuran lebih kecil, yaitu < 1500 kDa.7 Formula ini telah berhasil mencegah
timbulnya gejala alergi pada sebagian besar bayi dan terbukti efektif baik untuk
reaksi alergi IgE mediated maupun non IgE mediated.
Pada sebagian kecil kasus ASS, eHF masih dapat menimbulkan gejala alergi
pada bayi yang sangat sensitif, sehingga untuk mengatasinya diperlukan AAF.

3.9.3 Pencegahan Tersier dengan Induksi Toleransi pada Individu yang


telah Tersensitisasi (Imunoterapi Spesifik)
Pencegahan tersier dilakukan untuk menyembuhkan gejala dan tanda alergi,
antara lain dengan imunoterapi. Spesific immunotherapy (SIT) bertujuan untuk
menginduksi pengaturan sistem imun pada individu yang tersensitisasi, dengan
cara mengontrol paparan terhadap alergen dan sering dimodifikasi untuk
mencegah timbulnya reaksi simpang.
Selain SIT, pencegahan tersier dilakukan dengan oral desensitisasi. Meglio dkk
membuat protokol desensitisasi oral pada anak ASS IgE mediated yang berat.
Menurut protokol tersebut peningkatan dosis protein susu sapi secara bertahap
selama beberapa bulan meningkatkan toleransi terhadap susu sapi pada sebagian

31
besar penderita. Namun hasilnya masih perlu dikonfirmasi denngan penelitian
lebih lanjut.

3.10 Prognosis
Alergi susu sapi adalah suatu kelainan yang berlangsung sementara. Pada
suatu penelitian dikatakan bahwa pada usia 3 tahun, 85% anak akan mengalami
toleransi alamiah terhadap protein susu sapi. Penelitian baru-baru ini
memperlihatkan bahwa ASS yang diperantarai IgE dapat menetap sampai usia 8
tahun pada 15-58% anak. Berdasarkan beberapa penelitian, bayi ASS non-IgE
mediated mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi dibanding bayi ASS
yang memiliki kadar IgE tinggi. Selain itu, bayi ASS IgE mediated mempunyai
risiko yang lebih besar untuk timbulnya alergi terhadap makanan lain, asma, dan
rhinokonjungtivitis sebelum usia 10 tahun.
Alergi susu sapi karena IgE mediated sebanyak 86% akan mengalami
perbaikan pada usia 5 tahun, tetapi 14% anak menunjukkan gejala yang menetap
pada usia 5 dan 10 tahun. Oleh karena itu, anak yang berusia ≥ 6 tahun dan masih
menderita ASS IgE mediated, kecil kemungkinannya untuk sembuh spontan
dalam jangka waktu yang singkat.

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien mengalami keluhan bercak atau ruam kemerahan yang timbul secara
tiba-tiba dan memberat. Ruam kemerahan terjadi pada daerah muka, perut,
tangan, dan kaki. Keluhan tidak diikuti demam. Berdasarkan keluhan pasien kita
bisa melihat pasien mengalami keluhan pada kulit. Sehingga kita bisa menarik
kesimpulan, ruam kemerahan pada kulit bisa merupakan urtikaria ataupun
dermatitis atopi.
Keluhan pasien dialami pertama kali pada malam hari, ruam kemerahan
timbul pada perut pasien saja. Namun pada keesokan harinya, ruam bertambah
pada muka, punggung, kaki dan tangan, Kejadian ini terjadi cepat. Bila dilihat dari
perjalanan penyakit pasien, ruam kemerahan yang terjadi merupakan proses reaksi
alergi tipe cepat.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 pajanan dengan antigen mengaktifkan
sel Th2 yang merangsang sel B berkembang menjadi plasma yang memproduksi
IgE. Molekul IgE yang lepas diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel
mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara
antigen dan IgE yang diikat oleh sel mast, memacu pelepasan mediator
farmakologis dari sel mast dan basofil antara lain histamin, LT dan PG, serta
berbagai sitokin. Akibat dari pelepasan histamin menyebabkan dilatasi pada
pembuluh darah dibawah kulit, sehingga kulit berwarna merah, dan juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapler sehingga cairan dan sel eosinofil
keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan pembengkakan kulit local.
Pasien saat usia 2 - 13 hari pasien memiliki riwayat diberikan susu formula
oleh orang tuanya dikarenakan ASI ibu yang tidak keluar. Setiap hari pasien
diberikan susu formula sebanya 1 botol (30cc) per hari. Keluhan pasien timbul
saat usia pasien 15 hari. Bila dilihat dari hal ini bisa disimpulkan pasien
mengalami alergi susu sapi .
Hal ini terjadi karena komposisi susu sapi dan susu ibu (ASI), selain
mempunyai beberapa persamaan terdapat pula perbedaan yang nyata dalam tipe
protein dan homolognya yang memberi kemungkinan bagi sebagian besar protein
susu untuk dikenali sebagai asing oleh sistem imun manusia. Pada sebagian besar

33
individu, sistem imun dapat mengenali dan bertoleransi dengan protein susu sapi.
Namun, pada individu yang mempunyai bakat alergi, sistem imun akan
tersensitisasi dan bereaksi terhadap protein susu sehingga menyebabkan respons
imun yang merugikan.
Protein susu dibagi 2 fraksi utama yaitu fraksi kasein dan whey dengan rasio
80:20. Penelitian yang dilakukan oleh Shek dkk, melaporkan bahwa kasein
merupakan alergen predominan yang menyebabkan ASS.
Bila dilihat dari onset kejadian keluhan, sejak pajanan pertama terhadap
susu sapi sampai timbulnya keluhan adalah 13 hari. Hal ini sesuai dengan
manifestasi klinik dari alergi susu sapi. Gejala ASS biasanya dimulai pada usia 6
bulan pertama. 28% timbul setelah 3 hari setelah minum susu sapi, 41% setelah 7
hari dan 68% setelah 1 bulan. Berbagai manifestasi klinis dapat muncul pada
ASS. Manifestasi klinis yang paling sering timbul pada kulit. Selain itu gejala
klinis yang mungkin timbul adalah :
 Kulit : urtikaria, pruritus, dermatitis atopi
 Saluran nafas : hidung tersumbat, rhinitis, batuk berulang, dan asma
 Saluran cerna : muntah, kolik, konstipasi, diare, BAB berdarah.

Pasien tidak mengalami keluhan muntah, diare, ataupun BAB berdarah. Hal
ini bisa menyimpulkan, reaksi alergi yang terjadi pada pasien bukan merupakan
reaksi alergi tipe lambat. Manifestasi klinis dari alergi susu sapi pasien tidak
mempengaruhi sistem gastrointestinal. Manifestasi gastrointestinal pada alergi
susu sapi terutama disebabkan oleh mekanisme reaksi alergi yang tidak
diperantarai IgE. Sehingga menyimpulkan alergi susu sapi pada pasien berkaitan
dengan IgE.
Sebagian besar ASS pada bayi adalah tipe cepat yang diperantarai oleh IgE
dan gejala utama adalah ruam kulit, eritema periorbital, angioedema, urtikaria,
dan anafilaksis, sedangkan bila gejala lambat dan mengenai saluran cerna berupa
kolik, muntah, dan diare biasanya bukan diperantarai oleh IgE
Pasien direncanakan dilakukan pemeriksaan IgE spesifik susu sapi.
Pemeriksaan IgE dapat dilakukan dengan uji IgE RAST (Radio Allergo Sorbent
Test). Pada pasien ini tidak cukup hanya dengan pemeriksaan kadar IgE, kareba

34
kadar IgE dapat juga tinggi pada orang normal dan kadar normal tidak bisa
menyingkirkan ASS, sehingga untuk menghindari negative palsu maka dapat
dilakukan pemeriksaab uji kulit. Uji kulit yang paling sering dipakai adalah skin
prick test. Bila hasil uji kulit positif kemungkinan ASS 50% karena prediksi
positif akurasinya <50%, sedangkan bila hasil uji kulit negatif berarti ASS yang
diperantarai oleh IgE dapat disingkirkan. Uji kulit pada usia < 1 tahun sering
memberikan hasil negative palsu, tetapi bila hasilnya positif maka dugaan sangat
mungkin ASS.
Bila salah satu uji kulit atau kadar IgE spesifik positif dan disertai pada
anamnesis dan pemeriksaan fisis dugaan ASS, maka dilanjutkan dengan uji
eliminasi dan provokasi susu sapi. Salah satu cara provokasi adalah dengan
Double Blind Placebo Control Food Chalange (DBPCFC) dan cara ini merupakan
baku emas dari ASS.

BAB V
KESIMPULAN

Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak
organ dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein di
dalam susu sapi. Alergi susu sapi seringkali diduga terjadi pada pasien, disertai
banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi sebagai akibat alergi pada susu
dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat diketahui dengan baik.
Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada ibu yang
memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan semenjak
masih dalam kandungan.

35
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus penatalaksanaan alergi susu sapi. UKK Alergi & Imunologi,
Gastroenterohepatologi, Gizi & Metabolik IDAI 2009.
2. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et al.
Guidelines for the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy in
infants. Arch Dis Child. 2007;92;902-8.
3. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GJ, Day AS, et al.
Guidelines for the use of infant formulas to treat cow’s milk protein allergy: an
Australian consensus panel opinion. MJA. 2008; 188: 109-12.
4. Crittenden RS, Bennett LE. Cow’s Milk Allergy: A Complex Disorder. Journal
of the American College of Nutrition. 2005;24: 582-91S.
5. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician.
2008;54:1258-64
6. Hays T, Wood RA. Systematic Review of the Role of Hydrolyzed Infant

36
Formulas in Allergy Prevention Arch Pediatr Adolesc Med. 2005;159:810-6
7. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C. Guidelines for the diagnosis and
management of cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child.
2013;92:902-8.

8. Kneepkens CM, Meijer Y. Clinical practice. Diagnosis and treatment of


cow’s milk allergy.2009. Eur J Pediatr. 2009;168:891-6.

9. Benhamou AH, Michela G, Dominique C, Eigenmann PA. An overview of


cow’s milk allergy in children. Pediatr in rev. 2009;139:300-7.

10. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K. Guidelines for the use of infant
formulas to treat cow’s milk protein allergy: an Australian consensus panel
opinion. . MJA. 2008;188:109-12.

11. Bonéa J, Clavera A, Guallara I, Plazab AM. Allergic proctocolitis, food-


induced enterocolitis: immune mechanisms, diagnosis and treatment. Allergo
et Immunopathol. 2009;37(1):36-42.

12. Aanpreung P, Atisook K. Hematemesis in infants induced by cow's milk


allergy. Asian Pas J Allergy Immunol. 2003;21:211-6.

13. García-Ara C, Boyano-Martínez T, Díaz-Pena JM, Martín-Muñoz F, Reche-


Frutos M, Martín-Esteban M. Specific IgE levels in the diagnosis of
immediate hypersensitivity to cows’ milk protein in the infant. J Allergy Clin
Immunol 2013;107:185-90.

14. Canani RB, Ruotolo S, Auricchio L, Caldore M, Porcaro F, Manguso F.


Diagnostic accuracy of the atopy patch test in children with food allergy-
related gastrointestinal symptoms. Allergy. 2007;62:738-43.

15. Mauro C, Claudia M, Tullio F, Sandra L, Stefano MS, Valentina P, dkk.


Correlation between skin prick test using commercial extract of cow’s milk
protein and fresh milk and food challenges. Pedatr Allergy Immunol.
2007;18:583-8.

16. Zapatero L, Alonso E, Fuentes V, Martínez MI. Oral desensitization in


children with cow’s milk allergy J Invest Allergol Clin Imunol.
2008;18(5):389-96.

17. Hays T, Wood RA. A systematic review of the role of hydrolyzed infant
formulas in allergy prevention. Arch Pediatr Adolesc Med. 2005;159:810-6.

18. Høst A, Halken S. A prospective study of cow milk allergy in Danish infants
during the first 3 years of life. Clinical course in relation to clinical and
immunological type of hypersensitivity reaction. Allergy 1990;45:587-96.

37
19. Saarinen KM, Pelkonen AS, Mäkelä MJ, Savilahti E. Clinical course and
prognosis of cow’s milk allergy are dependent on milk-specific IgE status. J
Allergy Clin Immunol. 2005;116:869–75.

20. Skripak JM, Matsui EC, Mudd K, Wood RA. The natural history of IgE-
mediated cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol 2007;120:1172-7.

38

Anda mungkin juga menyukai