Disusun oleh :
KELOMPOK F
Learning Objectives:
1. Buat analisis untuk menjelaskan kondisi yang dialami oleh pasien! (Definisi,
Prevalensi, Etiologi, Faktor Risiko, Tanda dan Gejala Klinis, Komplikasi)
Definisi (delonik)
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi meningkatnya bilirubin dalam darah
sebanyak >5 mg/dL pada bayi baru lahir atau neonatus. Gejala utama hiperbilirubinemia
ditandai dengan perubahan pada warna kulit, jaringan mukosa, sklera, dan organ yang
kekuningan. Pada kasus hiperbilirubinemia, pengobatan yang diberikan dapat berupa
fototerapi, intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi pengganti, penghentian ASI
sementara, dan terapi medikamentosa.
Prevalensi (rani)
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 , angka
kematian neonatal (AKN) adalah 15 kematian per 1.000 kelahiran hidup, menyiratkan
bahwa 1 dari 67 anak meninggal dalam bulan pertama kehidupannya (BKKBN dkk,
2018). Kematian neonatus terbanyak di Indonesia disebabkan oleh asfiksia (37%), Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) dan prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%),
ikterus neonatorum (6%), postmatur (3%), dan 2 kelainan kongenital (1%) per 1.000
kelahiran hidup (Ratuain, Wahyuningsih, & Purmaningrum, 2015).
Etiologi (delo)
1. Kelebihan Produksi
Peningkatan produksi bilirubin akan mengakibatkan pemecahan eritrosit oleh
fetus. Hal tersebut menyebabkan pendekatan masa hidup eritrosit pada neonatus
dan melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya peningkatan
hemolisis pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, defisiensi G-6-PD, dan
perdarahan tertutup.
2. Terganggunya Proses Uptake dan Konjugasi Hepar
Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar disebabkan oleh imaturitas
hepar yaitu kekurangan substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar
akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (Sindrom Crigler Najjar). Penyebab lainnya yaitu defisiensi protein Y
dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Terganggunya Transportasi
Albumin mengikat bilirubin dalam darah yang akan diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat, misalnya salisilat.
Defisiensi albumin dapat menyebabkan meningkatnya bilirubin tidak terkonjugasi
dalam darah.
4. Terganggunya Ekskresi
Terganggunya ekskresi dapat terjadi karena obstruksi di dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar yang
disebabkan oleh penyebab lain. Selain itu, pada ibu yang mengalami kesulitan
menyusui bayinya dapat menyebabkan menurunnya intake nutrient dan cairan
pada bayi. Hal tersebut akan mengakibatkan meningkatnya sirkulasi enterohepatik
karena feses mekonium pada bayi terlambat pengeluarannya.
2. Ibu yang mengandung dengan usia lebih dari 25 tahun akan memiliki resiko
komplikasi kehamilan yang lebih tinggi, seperti hipertensi dan diabetes. Hal ini akan
meningkatkan resiko terjadi Hiperbilirubinemia pada anaknya (Yahya et al., 2017).
3. Bayi kelahiran kedua atau selanjutnya, dan juga yang memiliki saudara kandung
sebelumnya dengan hiperbilirubinemia berat (Devi et al., 2016).
4. Bobot lahir adalah salah satu karakteristik yang mempengaruhi hiperbilirubinemia.
Dalam penelitian yang dilakukan Nurani (2017) di Rumah Sakit Hasan Sadikin kota
Bandung, tingkat
kejadian tinggi terjadi pada ikterus dengan berat lahir rendah bayi. Neonatus yang lahir
dengan berat kurang dari 2.500 gram memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi karena
enzim metabolik belum bekerja dengan baik.
5. Bayi dengan ibu penderita diabetes berisiko mengalami hiperbilirubinemia. Menurut
Yahya et al (2017) hal terkait dengan massa sel besar yang lebih besar, konjugasi tidak
efisien oleh enzim, erythropoiesis yang tidak efektif, memicu untuk meningkatnya kadar
serum yang tidak terkonjugasi bilirubin.
6. Bayi yang lahir prematur dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, lebih beresiko
dibandingkan dengan bayi dengan usia kehamilan yang tepat. Hal ini terkait dengan
organ.
Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih
besar dari 12,9 mg/dl dan kurang dari 3% mempunyai kadar bilirubin yang lebih besar
dari 15% mg/dl. Faktor resiko untuk mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi :
diabetes pada ibu, ras (Cina, Jepang, Amerika Asli), prematuritas, obat-obatan (vitamin
k3, novobiosin), tempat yang tinggi,polisitemia, jenis kelamin laki-laki, trisomi-21,
memar kulit, sefalhematoma, induksi oksitosin, pemberian Asi, berat badan dan
kehilangan kalori, pembentukan tinja lambat, dan ada riwayat saudara yang pernah
mengalami ikterus sebelumnya. (Anisa, 2017).
Tanda dan Gejala Klinis (rani)
Gejala pada bayi yang mengalami ikterus neonatorum yaitu:
● Kulit dan bagian putih pada mata/sklera bayi menjadi warna kuning
● Warna kuning tersebar di tubuh yang terkadang dimulai dari bagian wajah
kemudian menyebar ke dada, perut, kaki, dan telapak kaki
● Urin bayi berwarna kuning pekat
● Feses bayi berwarna pucat
● Ikterus secara klinis mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah
5-7 mg/dL.
● Terkadang, bayi dengan ikterus parah bertubuh lemah dan tidak mau
menyusu/minum ASI
Komplikasi (Dania)
Penyebab kesakitan atau komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir
rendah antara lain : hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit,
hiperbilirubinemia (ikterus), infeksi, gangguan pernafasan, dan anemia. BBLR sering
dikaitkan dengan hiperbilirubin karena hubungannya dengan faktor kematangan hepar,
sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum sempurna atau bisa
juga karena disebabkan gangguan pertumbuhan hati pada bayi dismatur yang beratnya
kurang dibandingkan dengan bayi biasa. BBLR yang berhubungan dengan kejadian
ikterus tersebut sesuai dengan penelitian Riyanti Imron dan Diana Metti (2015). Dalam
penelitian tersebut diketahui bahwa dari 315 bayi terdapat bayi dengan berat badan lahir
rendah sejumlah 105 bayi (33,3%) dan hiperbilirubinemia berjumlah 111 bayi (35,2%).
BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan yang banyak
sekali pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum stabil (Surasmi, dkk.,
2002).
a. Ketidakstabilan suhu tubuh
Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan segera setelah
lahir bayi
dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini
memberi pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi. Hipotermia juga terjadi karena
kemampuan untuk mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi panas
sangat terbatas karena pertumbuhan otototot yang belum cukup memadai,
ketidakmampuan untuk menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang
akibat lemak coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu
tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan sehingga
mudah kehilangan panas.
b. Gangguan pernafasan
Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
sehingga mudah terjadi periodik apneu. Disamping itu lemahnya reflek batuk, hisap, dan
menelan dapat mengakibatkan resiko terjadinya aspirasi.
c. Imaturitas imunologis
Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta selama
trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin
terjadi pada minggu
terakhir masa kehamilan. Akibatnya, fagositosis dan pembentukan antibodi menjadi
terganggu. Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan
seperti bayi cukup bulan sehingga bayi mudah menderita infeksi.
d. Masalah gastrointestinal dan nutrisi
Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun, lambatnya
pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak berkurang, defisiensi
enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, dan zat
besi dalam tubuh, meningkatnya resiko NEC (Necrotizing Enterocolitis). Hal ini
menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat dan penurunan berat badan bayi.
e. Imaturitas hati
Adanya gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin menyebabkan timbulnya
hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi perdarahan. Kurangnya
enzim glukoronil transferase sehingga konjugasi bilirubin direk belum sempurna dan
kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar
berkurang.
f. Hipoglikemi
Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena
terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya pemberian glukosa.
Bayi berat lahir rendah
dapat mempertahankan kadar gula darah selama 72 jam pertama dalam kadar 40 mg/dl.
Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi. Keadaan hipotermi juga
dapat menyebabkan hipoglikemi karena stress dingin akan direspon bayi dengan
melepaskan noreepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi paru. Efektifitas ventilasi
paru menurun sehingga kadar oksigen darah berkurang. Hal ini menghambat
metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis anaerob yang berakibat pada
penghilangan glikogen lebih banyak sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak
adekuat dapat menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu timbulnya
hipoglikemi.
Pada bayi dengan umur 3 hari, kadar bilirubin mencapai puncak kira-kira
18 mg/dL. Apabila nilainya diatas 18 mg/dL maka dikatakan
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. (Suriadi & Yuliani, 2010).
Pemeriksaan bilirubin serum pada bayi merupakan penegakan diagnosis
ikterus neonatorum dan juga untuk menentukan adanya intervensi lebih
lanjut. Pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena
hal tersebut merupakan tindakan invasif dan dianggap bisa meningkatkan
morbiditas neonatus (Mathindas, Wilar & Wahani, 2013).
- Ultrasonograf (USG)
5. Jelaskan isu/peka budaya dan aspek etik legal berdasarkan Kasus Bayi Z tersebut!
Perawatan tali pusar sangatlah penting, terutama bagi ibu yang akan melahirkan,
karena setiap hari ibu semakin mengetahui perkembangan bayinya. Perawatan tali pusar
yang baik dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan bedak kulit dan obat-obatan
herbal tradisional yang tidak steril (Depkes RI, 2016). Pada kenyataannya, masih banyak
ibu-ibu yang mengikuti tradisi budaya yang ada di masyarakat saat ini. Misalnya, ramuan
tradisional diletakkan atau dililitkan di sekitar tali pusar agar tali pusar cepat lepas
(puput) atau ditutup dengan uang logam agar bagian tengahnya tidak menggembung.
Padahal, tindakan-tindakan tersebut akan membahayakan bayi. Pemberian ramuan,
ampas kopi, dan koin dapat menyebarkan kuman. Akibat yang akan terjadi dari
pemberian tindakan-tindakan tersebut yaitu infeksi atau tetanus yang akan sangat
berbahaya karena angka kematiannya tinggi (Zacharia, 2016).
Kode etik keperawatan Indonesia yang berhubungan dengan kasus di atas yaitu
mengenai tanggung jawab perawat terhadap tugas yang memiliki bunyi “Perawat dengan
senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien dalam melaksanakan
tugas keperawatan serta mempertimbangkan kemampuan secara matang jika menerima
atau mengalih tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan”.
Dalam kasus bayi Z, perawat menghadapi situasi yang sulit dimana Ibu bayi Z
menginginkan bayinya segera dipulangkan untuk menjalan proses aqiqah. Dengan kode
etik keperawatan yang menjadi dasar dari pengambilan keputusan, keselamatan nyawa
bayi Z tentu harus dipentingkan.
Dari enam asas etik keperawatan yang ada, maka asas etik yang berkaitan dengan
kasus di atas adalah sebagai berikut :
a. Asas autonomy (asas menghormati otonomi).
Perawat dituntut untuk menghormati apa yang menjadi hak klien. Ibu Bayi Z
sebagai wali memiliki hak penuh untuk memutuskan segala sesuatu yang
berkenaan dengan kesehatan Bayi Z. Peran perawat dalam hal ini adalah
melaksanakan dan menghormati keputusan yang diambil oleh Ibu Bayi Z.
b. Asas beneficence (asas manfaat)
Dengan berdasar asas manfaat ini, perawat dapat mempertimbangkan tindakan
apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi Bayi Z tanpa melakukan
tindakan yang bukan kewenangannya, jika keputusan yang diambil oleh Ibu Bayi
Z tidak memberikan manfaat untuk proses kesembuhan Bayi Z atau bahkan telah
memperburuk kondisi kesehatannya.
Berdasarkan norma dan budaya, perawat harus menyampaikan kepada keluarga
pasien mengenai dampak positif dan negatif dari tindakan dan keputusan yang akan
diambil oleh keluarga dan perawat, serta apa yang akan terjadi apabila tindakan dan
keputusan tersebut tidak dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Y. (2016). Hubungan Antara Persalinan Prematur Dengan Hiperbilirubin Pada
Neonatus. Jurnal kesehatan, 5(2).
Damanik, R. (2019). Hubungan Perawatan Tali Pusat Dengan Kejadian Infeksi Pada Bayi
Baru Lahir di RSUD Dr. Pirngadi Medan 2019. Jurnal Keperawatan Priority,
2(2), 51-60.
DEWI, L. A. (2018). Penerapan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pada Bayi Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) Dengan Reflek Hisap Lemah Di Ruang Perinatologi Rsud
Sleman Yogyakarta (Doctoral dissertation, poltekkes kemenkes yogyakarta).
Nursalam, D. (2014). Manajemen Keperawatan" Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional.
Noviani, Vera. (2019). GAMBARAN FAKTOR IBU YANG MEMPENGARUHI
ANGKA KEJADIAN HIPERBILIRUBIN DI RSUD MAJALAYA TAHUN 2019.
Bandung : Universitas Bhakti Kencana, Fakultas Ilmu Kesehatan.
Suyanti, Siti A. (2019). PENGARUH FOTOTERAPI TERHADAP PENURUNAN KADAR
BILIRUBIN PADA IKTERUS NEONATORUM DI RUANG PERINATOLOGI
RSUD KOTA KENDARI TAHUN 2018. Kendari: Poltekkes Kemenkes Kendari