Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN TUTORIAL KEPERAWATAN ANAK

Prematuritas dan Hiperbilirubinemia

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Keperawatan Anak
Dosen Tutor : Wiwi Mardiah, S.Kp., M.Kes.

Disusun oleh :
KELOMPOK F

Adira Candra Ningtyas 220110200076 Fauzan Juliansyah 220110200084

Aulia Fauzia M 220110200077 Gantri Septiani 220110200072

Audia Handayani 220110200078 Haya Aisya H 220110200082

Bella Nadia F 220110200083 Nabyla Nur’aeni 220110200085

Cahya Widyarahayu D 220110200080 Rahma Elfa Aulia 220110200081

Dania Iva Safitri 220110200079 Rani Ahdalita 220110200075

Delonik Nasyrah 220110200073


KASUS PEMICU 1
Bayi Z, laki-laki umur 3 hari, dirawat di RS karena lahir dengan sectio caesarea atas indikasi
gawat janin dengan APGAR: 1’= 7; 5’= 9 (usia gestasi 34 minggu); BBL: 1800 gr; dan PBL: 41
cm. Saat dilakukan pengkajian fisik, kulit Bayi Z tampak kuning di bagian wajah hingga dada,
dalam Kramer’s Rule masuk kedalam grade 2. Tanda-tanda vital HR 144 x/menit; RR 47
x/menit; dan Suhu 36,7o C. Hasil pengkajian antropometri menunjukkan BB = 1820 gr; PB = 41
cm; dan LK= 30 cm. Menurut Ibu Bayi Z, Bayi Z malas menyusu dan sucking reflex lemah.
Setelah dilakukan tes laboratorium diketahui kadar bilirubin total Bayi Z adalah 19 mg/dL. Ibu
Bayi Z mengatakan ingin bayinya segera pulang karena ingin segera meyelenggarakan prosesi
aqiqah sebagaimana dianjurkan oleh agama Islam yang dianutnya. Akan tetapi, Ibu Bayi Z juga
mengatakan dirinya takut merawat anak yang berat badannya kecil apalagi bayi ini merupakan
anak pertamanya. Ibu juga selalu bertanya kapan anaknya mulai boleh menggunakan gurita dan
bertanya bolehkah menggunakan koin yang menempel di pusar bayi karena khawatir pusarnya
bodong untuk menuruti saran dari nenek bayi tersebut.

Learning Objectives:
1. Buat analisis untuk menjelaskan kondisi yang dialami oleh pasien! (Definisi,
Prevalensi, Etiologi, Faktor Risiko, Tanda dan Gejala Klinis, Komplikasi)
Definisi (delonik)
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi meningkatnya bilirubin dalam darah
sebanyak >5 mg/dL pada bayi baru lahir atau neonatus. Gejala utama hiperbilirubinemia
ditandai dengan perubahan pada warna kulit, jaringan mukosa, sklera, dan organ yang
kekuningan. Pada kasus hiperbilirubinemia, pengobatan yang diberikan dapat berupa
fototerapi, intravena immunoglobulin (IVIG), transfusi pengganti, penghentian ASI
sementara, dan terapi medikamentosa.
Prevalensi (rani)
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 , angka
kematian neonatal (AKN) adalah 15 kematian per 1.000 kelahiran hidup, menyiratkan
bahwa 1 dari 67 anak meninggal dalam bulan pertama kehidupannya (BKKBN dkk,
2018). Kematian neonatus terbanyak di Indonesia disebabkan oleh asfiksia (37%), Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR) dan prematuritas (34%), sepsis (12%), hipotermi (7%),
ikterus neonatorum (6%), postmatur (3%), dan 2 kelainan kongenital (1%) per 1.000
kelahiran hidup (Ratuain, Wahyuningsih, & Purmaningrum, 2015).
Etiologi (delo)
1. Kelebihan Produksi
Peningkatan produksi bilirubin akan mengakibatkan pemecahan eritrosit oleh
fetus. Hal tersebut menyebabkan pendekatan masa hidup eritrosit pada neonatus
dan melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya peningkatan
hemolisis pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, defisiensi G-6-PD, dan
perdarahan tertutup.
2. Terganggunya Proses Uptake dan Konjugasi Hepar
Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar disebabkan oleh imaturitas
hepar yaitu kekurangan substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar
akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (Sindrom Crigler Najjar). Penyebab lainnya yaitu defisiensi protein Y
dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Terganggunya Transportasi
Albumin mengikat bilirubin dalam darah yang akan diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat, misalnya salisilat.
Defisiensi albumin dapat menyebabkan meningkatnya bilirubin tidak terkonjugasi
dalam darah.
4. Terganggunya Ekskresi
Terganggunya ekskresi dapat terjadi karena obstruksi di dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar yang
disebabkan oleh penyebab lain. Selain itu, pada ibu yang mengalami kesulitan
menyusui bayinya dapat menyebabkan menurunnya intake nutrient dan cairan
pada bayi. Hal tersebut akan mengakibatkan meningkatnya sirkulasi enterohepatik
karena feses mekonium pada bayi terlambat pengeluarannya.

Faktor Risiko (Dania)


. Faktor Resiko
Faktor – faktor yang dapat menyebabkan terjadinya BBLR adalah faktor ibu yang terdiri
dari umur
yang kurang dari 20 tahun atau umur lebih dari 35 tahun, multiparitas, jarak kelahiran
yang terlalu dekat,
penyakit menahun ibu seperti jantung, dan pekerjaan yang terlalu berat, adapun
antepartum dan pre-eklampsia atau eklampsia sedangkan faktor janin yang dapat
menyebabkan BBLR adalah cacat bawaan dan infeksi dalam rahim (Manuaba, 1998).
Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi Hiperbilirubinemia pada neonatus, yaitu:
1. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko dalam neonatal hiperbilirubinemia,
hasil ini relevan dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kromosom Y
meningkatkan risiko metabolisme bilirubin menyebabkan gangguan dan kerusakan enzim
sehingga berperan
pembentukan bilirubin (Nurani et al., 2017).

2. Ibu yang mengandung dengan usia lebih dari 25 tahun akan memiliki resiko
komplikasi kehamilan yang lebih tinggi, seperti hipertensi dan diabetes. Hal ini akan
meningkatkan resiko terjadi Hiperbilirubinemia pada anaknya (Yahya et al., 2017).
3. Bayi kelahiran kedua atau selanjutnya, dan juga yang memiliki saudara kandung
sebelumnya dengan hiperbilirubinemia berat (Devi et al., 2016).
4. Bobot lahir adalah salah satu karakteristik yang mempengaruhi hiperbilirubinemia.
Dalam penelitian yang dilakukan Nurani (2017) di Rumah Sakit Hasan Sadikin kota
Bandung, tingkat
kejadian tinggi terjadi pada ikterus dengan berat lahir rendah bayi. Neonatus yang lahir
dengan berat kurang dari 2.500 gram memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi karena
enzim metabolik belum bekerja dengan baik.
5. Bayi dengan ibu penderita diabetes berisiko mengalami hiperbilirubinemia. Menurut
Yahya et al (2017) hal terkait dengan massa sel besar yang lebih besar, konjugasi tidak
efisien oleh enzim, erythropoiesis yang tidak efektif, memicu untuk meningkatnya kadar
serum yang tidak terkonjugasi bilirubin.
6. Bayi yang lahir prematur dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu, lebih beresiko
dibandingkan dengan bayi dengan usia kehamilan yang tepat. Hal ini terkait dengan
organ.
Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih
besar dari 12,9 mg/dl dan kurang dari 3% mempunyai kadar bilirubin yang lebih besar
dari 15% mg/dl. Faktor resiko untuk mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi :
diabetes pada ibu, ras (Cina, Jepang, Amerika Asli), prematuritas, obat-obatan (vitamin
k3, novobiosin), tempat yang tinggi,polisitemia, jenis kelamin laki-laki, trisomi-21,
memar kulit, sefalhematoma, induksi oksitosin, pemberian Asi, berat badan dan
kehilangan kalori, pembentukan tinja lambat, dan ada riwayat saudara yang pernah
mengalami ikterus sebelumnya. (Anisa, 2017).
Tanda dan Gejala Klinis (rani)
Gejala pada bayi yang mengalami ikterus neonatorum yaitu:
● Kulit dan bagian putih pada mata/sklera bayi menjadi warna kuning
● Warna kuning tersebar di tubuh yang terkadang dimulai dari bagian wajah
kemudian menyebar ke dada, perut, kaki, dan telapak kaki
● Urin bayi berwarna kuning pekat
● Feses bayi berwarna pucat
● Ikterus secara klinis mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah
5-7 mg/dL.
● Terkadang, bayi dengan ikterus parah bertubuh lemah dan tidak mau
menyusu/minum ASI

Komplikasi (Dania)
Penyebab kesakitan atau komplikasi langsung yang dapat terjadi pada bayi berat lahir
rendah antara lain : hipotermia, hipoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit,
hiperbilirubinemia (ikterus), infeksi, gangguan pernafasan, dan anemia. BBLR sering
dikaitkan dengan hiperbilirubin karena hubungannya dengan faktor kematangan hepar,
sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum sempurna atau bisa
juga karena disebabkan gangguan pertumbuhan hati pada bayi dismatur yang beratnya
kurang dibandingkan dengan bayi biasa. BBLR yang berhubungan dengan kejadian
ikterus tersebut sesuai dengan penelitian Riyanti Imron dan Diana Metti (2015). Dalam
penelitian tersebut diketahui bahwa dari 315 bayi terdapat bayi dengan berat badan lahir
rendah sejumlah 105 bayi (33,3%) dan hiperbilirubinemia berjumlah 111 bayi (35,2%).
BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan yang banyak
sekali pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum stabil (Surasmi, dkk.,
2002).
a. Ketidakstabilan suhu tubuh
Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan segera setelah
lahir bayi
dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini
memberi pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi. Hipotermia juga terjadi karena
kemampuan untuk mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi panas
sangat terbatas karena pertumbuhan otototot yang belum cukup memadai,
ketidakmampuan untuk menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang
akibat lemak coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu
tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan sehingga
mudah kehilangan panas.

b. Gangguan pernafasan
Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah
sehingga mudah terjadi periodik apneu. Disamping itu lemahnya reflek batuk, hisap, dan
menelan dapat mengakibatkan resiko terjadinya aspirasi.
c. Imaturitas imunologis
Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta selama
trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin
terjadi pada minggu
terakhir masa kehamilan. Akibatnya, fagositosis dan pembentukan antibodi menjadi
terganggu. Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan
seperti bayi cukup bulan sehingga bayi mudah menderita infeksi.
d. Masalah gastrointestinal dan nutrisi
Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun, lambatnya
pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak berkurang, defisiensi
enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, dan zat
besi dalam tubuh, meningkatnya resiko NEC (Necrotizing Enterocolitis). Hal ini
menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat dan penurunan berat badan bayi.
e. Imaturitas hati
Adanya gangguan konjugasi dan ekskresi bilirubin menyebabkan timbulnya
hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi perdarahan. Kurangnya
enzim glukoronil transferase sehingga konjugasi bilirubin direk belum sempurna dan
kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar
berkurang.
f. Hipoglikemi
Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena
terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya pemberian glukosa.
Bayi berat lahir rendah
dapat mempertahankan kadar gula darah selama 72 jam pertama dalam kadar 40 mg/dl.
Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi. Keadaan hipotermi juga
dapat menyebabkan hipoglikemi karena stress dingin akan direspon bayi dengan
melepaskan noreepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi paru. Efektifitas ventilasi
paru menurun sehingga kadar oksigen darah berkurang. Hal ini menghambat
metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis anaerob yang berakibat pada
penghilangan glikogen lebih banyak sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak
adekuat dapat menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu timbulnya
hipoglikemi.

Hiperbilirubin dapat menyebabkan gangguan pendengaran, apabila bilirubin tak


terkonjugasi melewati bloodbrain barrier, bilirubin tersebut juga di timbulkan di daerah
ganglia basalis, dan juga pada daerah vestibule–cochlear nucleus dan sebagai akibatnya
adalah sebagi terjadi gangguan pendengaran sensori neural, zamia dkk (2004) telah
melaporkan bahwa 33% bayi baru lahir dengan kadar bilirubin 15-25 mg/dl mengalami
kehilangan gelombang kompleks pada IV dan V pada pemeriksaan auditory brainstem
responses
(ABR). Dengan demikian didapatkan hubungan yang signifikanantara hyperbilirubinemia
dengan gangguan pendengaran pada bayi, mereka menemukan bahwa pada keadaan
hiperbilirubinemis berat didapatkan
beberapa kerusakan pada koklea terutama trauma pada sel rambut bagia luar, keadaan ini
juga ditemukaan pada hiperbilirubin sedang (<20 mg/dl) yang juga dapat menyebabkan
gangguan pendengaran.
Beberapa kasus hiperbilirubinemia yang tidak teratasi dapat menyebabkan komplikasi.
Jika kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaan ini
disebut kren ikterus). Yang memiliki efek jangka panjang yaitu keterbelakangan mental,
kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli, dan mata
tidak dapat digerakkan keatas.

2. Bagaimana patofisiologi/ mekanisme munculnya gejala pada kasus Bayi Z tersebut?


Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang disebabkan
oleh adanya kerusakan sel darah merah. Bayi pada kasus lahir dengan section caesaria
dengan premature, pada bayi prematur hati belum bekerja dengan maksimal, sehingga
bilirubin tetap berada dalam sirkulasi darah dan mengendap di dalam jaringan tubuh.
Ketika sel darah merah dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat
hemoglobin terpecah menjadi dua fraksi yaitu heme dan globin. Bagian globin (protein)
digunakan lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi,
suatu zat tidak larut yang terikat pada albumin.
Bilirubin tak terkonjugasi terikat menjadi asam glukuronat di retikulum
endoplasmik retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut
air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke
usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus
besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja
B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke
dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Kembalinya bilirubin tak
terkonjugasi ke sirkulasi pada neonatus yang prematur menyebabkan bilirubin tersebut
mengendap pada jaringan tubuh sehingga tubuh bayi tampak berwarna kuning. Hal
tersebutlah yang disebut hiperbilirubinemia.

3. Jelaskan data fokus (pengkajian), pemeriksaan penunjang, beserta kemungkinan


masalah yang akan muncul dan penatalaksanaan pada kasus Bayi Z tersebut!
1) Identitas
Nama : Bayi Z
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 3 hari
2) Pengkajian Fisik
Keadaan umum : kulit Bayi Z tampak kuning di bagian wajah dan dada (Kramer’s
Rule Grade 2) dan berat badan kecil.
TTV :
- HR : 144x/menit
- RR : 47x/menit
- Suhu : 36,7 0 C.
- BB : 1820 gr
- PB : 41 cm
- LK= 30 cm
3) Fokus pengkajian
- Nutrisi : Bayi Z malas menyusu (berat badan kurang)
- Aktivitas / Istirahat : Bayi Z malas menyusu dan suckingreflex lemah
- Keamanan : Bayi memakai gurita, koin menempel di pusar
bayi
- Pengetahuan : Ibu Bayi Z mengatakan dirinya kurang paham
tentang perawatan bayinya yang berat badannya kecil apalagi bayi ini
merupakan anak pertamanya.
4) Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan bilirubin serum.

Pada bayi dengan umur 3 hari, kadar bilirubin mencapai puncak kira-kira
18 mg/dL. Apabila nilainya diatas 18 mg/dL maka dikatakan
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. (Suriadi & Yuliani, 2010).
Pemeriksaan bilirubin serum pada bayi merupakan penegakan diagnosis
ikterus neonatorum dan juga untuk menentukan adanya intervensi lebih
lanjut. Pemeriksaan serum bilirubin total perlu dipertimbangkan karena
hal tersebut merupakan tindakan invasif dan dianggap bisa meningkatkan
morbiditas neonatus (Mathindas, Wilar & Wahani, 2013).

- Ultrasonograf (USG)

Pemeriksaan USG digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang


kantong empedu yang mungkin mempengaruhi warna kulit bayi (Suriadi
& Yuliani, 2010).
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada bayi prematur dan BBLR adalah sebagai berikut:

- Jumlah sel darah putih: 18.000/mm3 . Neutrofil meningkat hingga 23.000-


24.000/mm3 hari pertama setelah lahir dan menurun bila ada sepsis.
- Hematokrit (Ht): 43%-61%. Peningkatan hingga 65% atau lebih
menandakan polisitemia, sedangkan penurunan kadar menunjukkan
anemia atau hemoragic prenatal/perinatal.
- Hemoglobin (Hb): 15-20 gr/dl. Kadar hemoglobin yang rendah
berhubungan dengan anemia atau hemolisis yang berlebihan.
- Bilirubin total: 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl pada 1-2
hari, dan 12 gr/dl pada 3-5 hari.
- Destroxis: tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama setelah kelahiran
rata-rata 40-50 mg/dl dan meningkat 60-70 mg/dl pada hari ketiga.
- Pemantauan elektrolit (Na, K, Cl): dalam batas normal pada awal
kehidupan.
- Pemeriksaan analisa gas darah
5) Kemungkinan masalah yang muncul
a. Bilirubin encephalopathy adalah sebuah gejala kerusakan otak parah yang
dihasilkan dari deposisi unconjugated bilirubin di sel otak. Jika bayi
mengalami ikterus parah, ada risiko bilirubin (yang beracun bagi sel-sel
otak) akan masuk ke otak, akibatnya suatu kondisi yang disebut
ensefalopati bilirubin akut akan terjadi pada bayi. Pengobatan segera dapat
mencegah kerusakan yang terjadi secara signifikan. Berikut ini dapat
mengindikasikan ensefalopati bilirubin akut pada bayi dengan ikterus:
- Kelesuan atau kesulitan terjaga
- Menangis dengan nada tinggi
- Kemampuan mengisap atau makan rendah
- Bagian leher dan tubuh belakang melengkung
- Demam
- Muntah
Faktor yang mempengaruhi bilirubin encephalopathy:
- Asidosis
- Menurunnya level serum albumin
- Infeksi intrakranial seperti meningitis dan fluktuasi mendadak di
dalam tekanan darah
b. Kernicterus merupakan terwarnainya sel otak dan nekrosis sel otak yang
dihasilkan dari pewarnaan kronik dan permanen. Kernicterus adalah
sindrom yang terjadi terjadi jika ensefalopati bilirubin akut menyebabkan
kerusakan permanen pada otak. Kernicterus dapat menyebabkan:
- Gerakan tidak disadari dan tidak terkontrol (athetoid cerebral palsy)
- Tetap menatap ke atas
- Gangguan pendengaran
- Perkembangan enamel gigi yang tidak benar
c. Cerebral palsy merupakan kelainan motorik yang banyak ditemukan pada
anak-anak. William Little yang pertama kali mempublikasikan kelainan ini
pada tahun 1843, menyebutnya dengan istilah “cerebral diplegia”, sebagai
akibat dari prematuritas atau asfiksia neonatorum. (Soetjiningsih, 1995).
Faktor resiko CP antara lain prematuritas, BBLR, hiperbilirubinemia dan
sebagainya. Salah satu contoh Bentuk CP yang sering terjadi adalah
athetosis, hal ini disebabkan karena frekuensi yang tinggi pada anak–anak
yang lahir dengan mengalami hiperbilirubinemia tanpa mendapatkan
terapi yang diperlukan untuk mencegah peningkatan konsentrasi
unconjugated bilirubin.
d. ADHD
ADHD adalah gangguan perkembangan yang ditandai perilaku
impulsif, hiperaktif, dan sulit memusatkan perhatian.Faktor risiko
terjadinya ADHD yaitu prematuritas, rendahnya skor APGAR,
hiperbilirubinemia, berat badan lahir rendah (BBLR), ensefalopati dan
cacat lahir (Gardener, 2011). Bayi pengidap ADHD biasanya sensitif
terhadap suara dan cahaya, sering menangis, suka menjerit, sulit tidur,
sulit konsumsi ASI, dan tidak senang saat digendong.

Referensi : Hockenberry & Wilson, 2013, 2015


B. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan hiperbilirubinemia adalah sebagai
berikut :
a. Apabila terjadi resiko tinggi cedera karena dampak peningkatan kadar billirubin,
maka intervensi yang dapat dilakukan adalah mengkaji dan mengawasi dampak
perubahan kadar bilirubin, seperti adanya jaundice, konsentrasi urine, letargi,
kesulitan makan, refleks moro, adanya tremor, iritabilitas, memantau hemoglobin
dan hematokrit, serta pencatatan penurunan.
b. Melakukan fototerapi dengan mengatur waktu sesuai dengan prosedur. Fototerapi
merupakan tindakan dengan memberikan terapi melalui sinar yang menggunakan
lampu. Lampu yang digunakan sebaiknya tidak melebihi dari 500 jam untuk
menghindari turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu.
c. Transfusi tukar merupakan cara yang dilakuakan dengan tujuan mencegah
peningkatan kadar billirubin dalam darah. Pemberian transfusi tukar dilakukan
apabila kadar bilirubin indirek 20 mg%,

Referensi : Hidayat, 2008

4. Buat asuhan keperawatan pada Bayi Z menggunakan evidence-based practice/ hasil


penelitian terkait (analisis data, diagnosis keperawatan, dan rencana asuhan
keperawatan)!
Data yang
Etiologi Diagnosis Outcomes Intervensi
Menyimpang
(Cahya Ketidakade Menyusui Tidak Setelah dilakukan Intervensi Utama :
Widyarahayu) kuatan Efektif b.d intervensi Konseling laktasi
DO : refleks ketidakadekuatan keperawatan 2x24 Observasi :
- Bayi menghisap refleks menghisap jam, diharapkan -Identifikasi keadaan
malas bayi bayi d.d bayi status menyusui emosional ibu saat akan
menyus malas menyusui, membaik dengan dilakukan konseling
sucking reflex kriteria hasil : menyusui
- Sucking lemah, BBL - Hisapan bayi -Identifikasi tujuan dan
reflex 1800gr. meningkat keinginan menyusui
lemah - Berat badan Terapeutik :
- BBL : bayi meningkat - Gunakan teknik
1800 gr - Bayi rajin mendengarkan aktif
DS : - menyusu - Berikan pujian terhadap
perilaku ibu yang benar
Edukasi :
- Ajarkan tehnik
menyusui yang tepat
sesuai dengan kebutuhan
ibu
Intervensi Pendukung :
Observasi :
- Monitor pernafasan
bayi
- Monitor tanda vital dan
perdarahan setelah
melahirkan
Terapeutik :
-Berikan ibu kesempatan
untuk rawat gabung
-Fasilitasi ibu untuk
posisi semi fowler
-Fasilitasi ibu untuk
menemukan posisi yang
nyaman
-Buka pakaian bagian
atas ibu
-Hindari membersihkan
dada ibu dari keringat
-Buka pakaian bayi,
kenakan popok, dan topi
bayi
-Letakkan bayi dengan
posisi tengkurap
langsung di antara
payudara ibu
-Berikan kehangatan
pada bayi
-Berikan waktu pada bayi
ketika kegiatan menyusu
dimulai
-Berikan kesempatan
pada ibu untuk
memposisikan dan
menggendong bayi
dengan benar
-Pindahkan bayi setelah
bayi selesai menyusu
dengan melepas sendiri
puting ibu
Edukasi :
-Anjurkan memberi
kesempatan bayi sampai
lebih dari 1 jam atau
sampai bayi
menunjukkan
tanda-tanda siap
menyusu
(Haya Aisya H) Peningkata Ikterik Neonatus Setelah dilakukan Fototerapi Neonatus
DO: n produksi b.d peningkatan intervensi (I.03091)
- Bayi bilirubin kadar bilirubin d.d keperawatan 2x24 Observasi:
tampak kulit kuning jam, diharapkan 1. Monitor ikterik pada
kuning di adaptasi neonatus sklera dan kulit bayi
bagian membaik dengan 2. Identifikasi kebutuhan
wajah kriteria hasil: cairan sesuai dengan
hingga - Kulit usia gestasi dan berat
dada kuning badan
- Kramer menurun 3. Monitor suhu dan
grade 2 tanda vital setiap 4
- Kadar jam sekali
bilirubin 4. Monitor efek samping
total 19 fototerapi
mg/dL Terapeutik:
DS: - 1. Siapkan lampu
fototerapi dan
inkubator atau kotak
bayi
2. Lepaskan pakaian bayi
kecuali popok
3. Berikan penutup mata
4. Ukur jarak antara
lampu dan permukaan
kulit bayi
5. Biarkan tubuh bayi
terpapar sinar
fototerapi secara
berkelanjutan
6. Ganti segera alas dan
popok bayi jika
BAB/BAK
7. Gunakan linen
berwarna putih agar
memantulkan cahaya
sebanyak mungkin
Edukasi:
1. Anjurkan ibu
menyusui sekitar
20-30 menit
2. Anjurkan ibu
menyusui sesering
mungkin
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemeriksaan darah
vena bilirubin direk
dan indirek
(Nabyla Ketidak Risiko Setelah dilakukan Manajemen Cairan
Nur’aeni) adekuatan Ketidakseimbanga intervensi (I.03098)
DO : refleks n Cairan b.d tidak keperawatan 2x24 Observasi:
- Bayi menghisap adekuatnya refleks jam, diharapkan 1. Monitor status
malas bayi menghisap bayi keseimbangan hidrasi
menyus d.d bayi malas cairan dengan 2. Monitor berat
- Sucking menyusui, sucking kriteria hasil: badan harian
reflex reflex lemah, BBL - Intake dan 3. Monitor berat
lemah 1800gr. output badan sebelum dan
- BBL : cairan sesudah dialisis
1800 g seimbang
DS : - 4. Monitor hasil
pemeriksaan
laboraturium
5. Monitor status
hemodinamik, jika
tersedia
Terapeutik:
1. Catat intake-output
dan hitung balance
cairan 24 jam
2. Berikan asupan
cairan, sesuai
kebutuhan
3. Berikan cairan
intravena, jika
perlu
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemberian
diuretik, jika perlu
(Nabyla Peningkata Risiko Gangguan Setelah dilakukan Perawatan Integritas
Nur’aeni) n kadar Integritas Kulit intervensi Kulit (I.11353)
DO: bilirubin b.d. perubahan keperawatan 2x24 Observasi:
- Bayi pigmentasi d.d. jam, diharapkan 1. Identifikasi
tampak Peningkatan kadar kontrol risiko penyebab
kuning di bilirubin dengan kriteria: gangguan
bagian 1. Integritas integritas kulit
wajah jaringan : Terapeutik:
hingga kulit dan 1. Ubah posisi 2 jam
dada membran jika tirah baring
mukosa.
- Kramer - Integritas 2. Lakukan pemijatan
grade 2 kulit yang pada area
- Kadar baik bisa penonjolan tulang,
bilirubin dipertahank jika perlu
total 19 an (sensasi, 3. Bersihkan perineal
mg/dL elastisitas, dengan air hangat,
DS: - hidrasi) terutama selama
- Perfusi periode diare
jaringan 4. Gunakan produk
baik. berbahan
2. Kontrol petrolium atau
resiko. minyak pada kulit
integritas kering
kulit 5. Gunakan produk
neonatus berbahan
kembali ringan/alami dan
membaik hipoalergik pada
- Faktor kulit sensitif
resiko 6. Hindari produk
teridentifika berbahan dasar
si alkohol pada kulit
kering
Edukasi:
1. Anjurkan
menggunakan
pelembab
2. Anjurkan minum
air yang cukup
3. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
4. Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrem
5. Anjurkan
menggunakan tabir
surya SPF minimal
30 saat berada di
luar rumah
6. Anjurkan mandi
dan menggunakan
sabun secukupnya

5. Jelaskan isu/peka budaya dan aspek etik legal berdasarkan Kasus Bayi Z tersebut!
Perawatan tali pusar sangatlah penting, terutama bagi ibu yang akan melahirkan,
karena setiap hari ibu semakin mengetahui perkembangan bayinya. Perawatan tali pusar
yang baik dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan bedak kulit dan obat-obatan
herbal tradisional yang tidak steril (Depkes RI, 2016). Pada kenyataannya, masih banyak
ibu-ibu yang mengikuti tradisi budaya yang ada di masyarakat saat ini. Misalnya, ramuan
tradisional diletakkan atau dililitkan di sekitar tali pusar agar tali pusar cepat lepas
(puput) atau ditutup dengan uang logam agar bagian tengahnya tidak menggembung.
Padahal, tindakan-tindakan tersebut akan membahayakan bayi. Pemberian ramuan,
ampas kopi, dan koin dapat menyebarkan kuman. Akibat yang akan terjadi dari
pemberian tindakan-tindakan tersebut yaitu infeksi atau tetanus yang akan sangat
berbahaya karena angka kematiannya tinggi (Zacharia, 2016).
Kode etik keperawatan Indonesia yang berhubungan dengan kasus di atas yaitu
mengenai tanggung jawab perawat terhadap tugas yang memiliki bunyi “Perawat dengan
senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien dalam melaksanakan
tugas keperawatan serta mempertimbangkan kemampuan secara matang jika menerima
atau mengalih tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan”.
Dalam kasus bayi Z, perawat menghadapi situasi yang sulit dimana Ibu bayi Z
menginginkan bayinya segera dipulangkan untuk menjalan proses aqiqah. Dengan kode
etik keperawatan yang menjadi dasar dari pengambilan keputusan, keselamatan nyawa
bayi Z tentu harus dipentingkan.
Dari enam asas etik keperawatan yang ada, maka asas etik yang berkaitan dengan
kasus di atas adalah sebagai berikut :
a. Asas autonomy (asas menghormati otonomi).
Perawat dituntut untuk menghormati apa yang menjadi hak klien. Ibu Bayi Z
sebagai wali memiliki hak penuh untuk memutuskan segala sesuatu yang
berkenaan dengan kesehatan Bayi Z. Peran perawat dalam hal ini adalah
melaksanakan dan menghormati keputusan yang diambil oleh Ibu Bayi Z.
b. Asas beneficence (asas manfaat)
Dengan berdasar asas manfaat ini, perawat dapat mempertimbangkan tindakan
apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi Bayi Z tanpa melakukan
tindakan yang bukan kewenangannya, jika keputusan yang diambil oleh Ibu Bayi
Z tidak memberikan manfaat untuk proses kesembuhan Bayi Z atau bahkan telah
memperburuk kondisi kesehatannya.
Berdasarkan norma dan budaya, perawat harus menyampaikan kepada keluarga
pasien mengenai dampak positif dan negatif dari tindakan dan keputusan yang akan
diambil oleh keluarga dan perawat, serta apa yang akan terjadi apabila tindakan dan
keputusan tersebut tidak dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Y. (2016). Hubungan Antara Persalinan Prematur Dengan Hiperbilirubin Pada
Neonatus. Jurnal kesehatan, 5(2).
Damanik, R. (2019). Hubungan Perawatan Tali Pusat Dengan Kejadian Infeksi Pada Bayi
Baru Lahir di RSUD Dr. Pirngadi Medan 2019. Jurnal Keperawatan Priority,
2(2), 51-60.
DEWI, L. A. (2018). Penerapan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pada Bayi Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR) Dengan Reflek Hisap Lemah Di Ruang Perinatologi Rsud
Sleman Yogyakarta (Doctoral dissertation, poltekkes kemenkes yogyakarta).
Nursalam, D. (2014). Manajemen Keperawatan" Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional.
Noviani, Vera. (2019). GAMBARAN FAKTOR IBU YANG MEMPENGARUHI
ANGKA KEJADIAN HIPERBILIRUBIN DI RSUD MAJALAYA TAHUN 2019.
Bandung : Universitas Bhakti Kencana, Fakultas Ilmu Kesehatan.
Suyanti, Siti A. (2019). PENGARUH FOTOTERAPI TERHADAP PENURUNAN KADAR
BILIRUBIN PADA IKTERUS NEONATORUM DI RUANG PERINATOLOGI
RSUD KOTA KENDARI TAHUN 2018. Kendari: Poltekkes Kemenkes Kendari

Anda mungkin juga menyukai