Anda di halaman 1dari 7

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Identifikasi Masalah
Setelah penulis melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir
dengan menggunakan pendekatan manajemen kebidanan dan memahami
penatalaksanaan yang dilakukan pada An. C umur 5 hari. Pada saat dilakukan
anamnesa pada Ny. Y mengatakan anaknya dalam keadaan sehat. Ny. Y
mengatakan anaknya lahir pada pada tanggal 20 Maret 2023 cukup bulan,
lahir secara normal di tolong oleh bidan. Hasil dari pemeriksaan didapatkan
tubuh bayi terlihat agak kuning dari muka sampai dada.
B. Analisa Masalah

Gambar 3.1 Pathway Ikterus Neonatorum


Penumpukan bilirubin merupakan penyebab terjadinya kuning pada bayi
baru lahir. Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM).
Hemoglobin (Hb) yang berada di dalam SDM akan dipecah menjadi bilirubin.
Satu gram Hb akan menghasilkan 34 mg bilirubin.
Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek yang larut dalam lemak dan
akan diangkut ke hati terikat oleh albumin. Di dalam hati bilirubin
dikonyugasi oleh enzim glukoronid transferase menjadi bilirubin direk yang
larut dalam air untuk kemudian disalurkan melalui saluran empedu di dalam
dan di luar hati ke usus.
Di dalam usus bilirubin direk ini akan terikat oleh makanan dan
dikeluarkan sebagai sterkobilin bersama bersama tinja. Apabila tidak ada
makanan di dalam usus, bilirubin direk ini akan diubah oleh enzim di dalam
usus yang juga terdapat di dalam air susu ibu (ASI), yaitu beta-glukoronidase
menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali dari dalam usus ke dalam
aliran darah. Bilirubin indirek ini akan diikat oleh albumin dan kembali ke
dalam hati. Rangkaian ini disebut sirkulus enterohepatik (rantai usus-hati).
Peningkatan bilirubin pada neonatus sering terjadi akibat :
1. Selama masa janin, bilirubin diekskresi (dikeluarkan) melalui plasenta ibu,
sedangkan setelah lahir harus diekskresi oleh bayi sendiri dan memerlukan
waktu adaptasi selama kurang lebih satu minggu
2. Jumlah sel darah merah lebih banyak pada neonatus
3. Lama hidup sel darah merah pada neonatus lebih singkat dibanding lama
hidup sel darah merah pada usia yang lebih tua
4. Jumlah albumin untuk mengikat bilirubin pada bayi prematur (bayi kurang
bulan) atau bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intrauterin
(dalam kandungan) sedikit.
5. Uptake (ambilan) dan konyugasi (pengikatan) bilirubin oleh hati belum
sempurna, terutama pada bayi prematur
6. Sirkulasi enterohepatik meningkat
(IDAI, 2013)
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya ikterik neonatorum,
menurut Auliasari, dkk (2019) pada penelitiannya yang berjudul “Faktor
Risiko Kejadian Ikterus Neonatorum” antaranya : inkompatibilitas ABO,
prematuritas, berat badan lahir bayi, infeksi, asfiksia dan ibu dengan riwayat
DM.
.
inkompatibilitas berat badan
prematuritas
ABO lahir bayi

Ikt
eru
s
infeksi asfiksia ibu dengan
riwayat DM.

Gambar 3.2 fishbone Ikterus Neonatorum


1. Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas ABO disebut juga dengan ketidakcocokan antara
golongan darah ibu dan bayi. Inkompatibilitas ABO terjadi pada ibu
yang memiliki golongan darah O sedangkan bayi memiliki golongan
darah A atau B. Ibu yang memiliki golongan darah O secara alamiah
mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada sirkulasinya (Nartono,
2013). Jika janin memiliki golongan darah A atau B, eritroblastosis
dapat terjadi yang secara alamiah dapat membentuk anti-A atau anti-B
berupa antibodi IgM (Immunoglobulin M) yang tidak melewati plasenta.
Pada sebagian ibu juga relatif mempunyai kadar IgG (Immunoglobulin
G) anti-A atau anti-B yang tinggi yang berpotensi sebagai penyebab
eritroblastosis karena melewati plasenta. Ibu yang memiliki golongan
darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu
golongan darah B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih tinggi
daripada ibu dengan golongan darah A (Ozcan, 2017) . Golongan darah
yang berbeda ini juga dapat menyebabkan hemolisis atau penghancuran
sel darah merah pada neonatus yang menyebabkan peningkatan
produksi bilirubin. Peningkatan produksi bilirubin ini yang
menyebabkan ikterus neonatorum (Maryanti, 2011)
Menurut peneliti, adanya hubungan antara inkompatibilitas ABO
dengan kejadian ikterus neonatorum di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
disebabkan karena ibu yang memiliki golongan darah O dan bayi
memiliki golongan darah A atau B dapat menyebabkan hemolisis pada
neonatus sehingga kadar bilirubin meningka. Pada kasus ini Ny. Y
bergolongan darah O+ dan bayi memiliki golongan darah A+
2. Prematuritas
Prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi pada bayi baru lahir. Hal ini dikarenakan aktivitas uridine
diphosphat glukoronil transferase (UDPGT) hepatik yang menurun
pada bayi prematur, sehingga bilirubin konjugasi juga menurun. Selain
itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah merah yang
pendek pada bayi prematur yang menyebabkan bilirubin tak
terkonjugasi yang banyak dalam darah.
Neonataus yang lahir prematur memiliki risiko yang lebih besar
untuk terjadi ikterus neonatorum. Hal ini disebabkan hampir seluruh
organ tubuh pada neonatus yang prematur masih belum sempurna
sehingga enzim pada hepar belum matang dan bilirubin tak terkonjugasi
tidak dikonjugasikan secara efektif. Selain itu, bilirubin yang berbahaya
adalah bilirubin yang tidak diikat oleh albumin. Neonatus yang lahir
prematur memiliki kadar serum bilirubin yang rendah, sehingga kadar
bilirubin tak terkonjugasi yang bebas meningkat yang dapat
menyebabkan hiperbilirubin dan menimbulkan ikterus neonatorum
(Susilowati, 2017). Pada kasus By. A tidak lahir dengan preterm. By. A
lahir dengan masa gestasi 39 minggu 3 hari aterm.
3. Berat Badan Lahir Bayi
Bayi berat lahir normal maupun bayi berat lahir rendah dapat
berisiko terjadinya ikterus neonatorum. Kematangan pada organ bayi
BBLR belum maksimal dibandingkan dengan bayi yang memiliki berat
badan lahir normal. Proses pengeluaran bilirubin melalui organ hepar
yang belum matang menyebabkan terjadinya ikterus pada bayi.
Sehingga terjadi penumpukan bilirubin dan menyebabkan warna kuning
pada permukaan kulit.
Pada kondisi BBLR, ikterus neonatorum disebabkan karena
kematangan organ hepar yang belum maksimal sehingga konjugasi
bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi tidak maksimal.
Proses konjugasi yang tidak maksimal ini dapat menyebabkan proses
pengeluaran bilirubin melalui hepar terganggudan dapat menyebabkan
penumpukkan bilirubin dan warna kuning pada permukaan kulit
(Yaestin, 2017). Dalam kasus By. A tidak lahir dengan berat badan lahir
rendah.
4. Infeksi
Hal ini didukung teori yang menyatakan Maryanti et all
(2011) Infeksi kongenital dapat mengenai vena porta intrahepatik
maupun ekstrahepatik akan menyebabkan peningkatan bilirubin
sehingga terjadi ikterus. Bayi yang terkena mungkin memiliki
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang ringan, stigma lain dari infeksi
kongenital akan terlibat.
5. Asfiksia
Keadaan asfiksia dapat menyebabkan hipoperfusi hati yang akan
mengganggu uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit, serta produksi
bilirubin tak terkonjugasi yang meningkat melebihi kemampuan untuk
mengeluarkannya. Hal ini yang dapat menyebabkan ikterus neonatorum.
Selain itu, ikterus neonatorum yang disebabkan oleh asfiksia
dikarenakan pada masa neonatus ini fungsi organ hepar belum maksimal
sehingga proses glukoronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal
atau jika terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis
atau kekurangan glukosa sehingga dapat menyebabkan kadar bilirubin
tak terkonjugasi dalam darah meningkat (Rohani, 2017).
6. Ibu dengan Riwayat DM
Pada neonatus yang dilahirkan dari ibu yang memiliki riwayat
DM akan meningkatkan risiko terjadinya hiperbilirubin. Hal ini
dikarenakan proses konjugasi yang tidak efektif karena enzim
glucuroniltransferase belum sempurna sehingga kadar bilirubin tak
terkonjugasi meningkat. Tidak hanya itu, neonatus yang dilahirkan dari
Ibu yang memiliki riwayat DM memiliki sumber bilirubin lain yang
berasal dari proses eritropoesis yang belum efektif. Prekursor sel darah
merah yang beredar di pembuluh darah terjebak di lien dan dihancurkan.
Pemecahan sel darah merah ini memberikan kontribusi terhadap beban
bilirubin tambahan ke hati. Sistem proses bilirubin yang tidak efektif
pada neonatus yang lahir dari ibu yang memiliki riwayat DM ini
menghasilkan kenaikan yang lebih cepat dari konsentrasi puncak serum
bilirubin pada bayi (Biade, 2018). Dalam kasus ini Ny. Y ibu dari By. A
tidak memiliki riwayat penyakit Diabetus Mellitus.
C. Penatalaksanaan
Penatalaksaan dan implementasi yang dilakukan terhadap By. A adalah
memotivasi ibu untuk menyusui lebih sering dan memperhatikan kecukupan
ASI serta memberi KIE tentang ASI eksklusif.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Indanah, dkk (2019) dengan
judul “Efektifitas Pemberian ASI terhadap Penurunan Kadar Bilirubin”
menunjukan hasil Berdasarkan Tabel 4 didapatkan hasil bahwa kadar bilirubin
sebelum dan sesudah pemberian ASI tiap 2 jam maupun 3 jam sama sama
mengalami penurunan yang signifikan. Hal tersebut dapat dilihat pada p
value; 0,000 (α 0,05). Analisis bivariat juga dilakukan dengan uji statistik
terhadap penurunan kadar bilirubin pada kedua kelompok dengan menggunan
uji Independent sample T test . Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna penurunan kadar bilirubin dengan pemberian ASI 2
jam maupun pemberian ASI 3 jam. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan p
value ; 0,786 (α 0,05). Namun berdasarkan rata rata penurunan kadar
bilirubin, pada kelompok bayi yang diberikan ASI tiap 2 jam (12x/hari)
menunjukkan penurunan yang lebih besar (7,179) dibandingkan kadar
bilirubin pada kelompok bayi yang diberikan ASI tiap 3 jam (8x /hari)(7,019)
(Tabel 5).
ASI merupakan nutrisi terbaik bagi bayi karena dalam ASI mengandung
antibody, protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin. Sebagian bahan yang
terkandung dalam ASI yaitu beta glukoronidase akan memecah bilirubin
menjadi bentuk yang larut dalam lemak sehingga bilirubin indirek akan
meningkat dan kemudian akan direabsorbsi oleh usus. Pemberian ASI ini
akan meningkatkan motilitas usus dan juga menyebabkan bakteri introduksi
ke usus. ASI adalah makanan terbaik bagi bayi dan memiliki keseimbangan
nutrisi yang tepat, tersedia secara biologis, mudah dicerna, melindungi bayi
dari penyakit dan memiliki sifat anti-inflamasi. ASI mampu menurunkan
angka kesakitan dan kematian bayi, pemberian ASI secara optimal dapat
mencegah kematian balita.
Untuk mengendalikan kadar bilirubin pada bayi baru lahir dapat
dilakukan pemberian ASI sedini mungkin. Bayi yang diberi minum lebih awal
dengan efektif dan pemberian kolostrum dapat mengurangi kejadian
hiperbilirubin fisiologis. Keefektifan ini meliputi frekuensi, durasi, serta tata
cara pemberian ASI yang benar. Pemberian ASI pada bayi dianjurkan 2-3 jam
sekali atau 8-12 kali dalam sehari untuk beberapa hari pertama karena
menurunnya asupan kalori dapat menyebabkan dehidrasi dan dapat
menyebabkan terjadinya icterus.
Penatalaksanaan lain yang diberikan yaitu fototerapi 1x24 jam.
Fototerapi rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah
kadar Total Bilirubin Serum (TSB) meningkat. Uji klinis telah divalidasi
kemanjuran fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
yang berlebihan, dan implementasinya telah secara drastis membatasi
penggunaan transfusi tukar (Bhutani, 2011). Mekanisme Kerja Fototerapi
Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan
mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan
melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi
reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi
isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari
plasma melalui empedu. Bilirubin adalah produk terbanyak degradasi
bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak
terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat
urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara
langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja
yang bisa diekskresikan lewat urin (Sastroasmoro, dkk, 2004).
Menurut jurnal penelitian dari Nur, dkk (2021) dengan judul “Pengaruh
Pemberian Air Susu Ibu dan Fototerapi terhadap Ikterus Neonatorum di
Ruang Perinatologi RSUD Pasaman Barat” menunjukan hasil bahwa
responden dari 13 responden yang diberikan ASI , sebanyak 6 responden
(46,2%) masih ikterus neonatorum dan 7 responden (53,8%) tidak mengalami
ikterus. Dari uji statistik didapatkan nilai p=0,027 (p<0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian ASI dengan kejadian ikterus
neonatorum. Sedangkan dari 26 responden yang diberikan fototerapi,
sebanyak 24 responden (92,3%) tidak mengalami ikterus dan 2 responen
(7,7%) mengalami ikterus. Dari uji statistik didapatkan nilai p=0,009. Artinya,
p<0,01, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna
antara fototerapi dengan kejadian ikterus neonatorum.
Selain itu, juga diberikan penjelasan dan motivasi ibu untuk selalu
menjaga kehangatan suhu bayi, perawatan tali pusat dan memberikan
informasi mengenai tanda-tanda bahaya pada bayi.

Anda mungkin juga menyukai