Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Hiperbilirubinemia
2.1.1. Definisi
Hiperbilirubenemia ( Ikterus patologis bayi baru lahir) adalah berlebihannnya
akumulasi bilirubin dalam darah (level normal 5mg/dl pada bayi normal) yang
mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, sklera
dan urin pada neonatus yang dapat menimbulaan efek patologis (Niwang,Ayu.2016).
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi.
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi pada setiap bayinya
berbeda-beda. Dapat juga diartikan sebagai icterus dengan konsentrasi bilirubin, yang
serumnya mungkin menjurus kea rah terjadinya kern icterus bila kadar bilirubin tidak
dapat dikendalikan. (Marmi,2015).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi menimbulkan kernikterus, jika tidak ditanggulangi dengan
baik. (Elli Hidayati, Martsa Rahmaswari, 2015).
Hiperbilirubenemia berat, jika tidak diobati, dapat menyebabkan kornik uterus,
suatu bentuk kerusakan sistem saraf pusat yang terutama mengenai ganglia basa
(Kennerth,Dkk. 2014)
Kadar bilirubin sebesar 10 mg/dl, pada usia 72 jam, pada bayi cukup bulan
mungkin merupakan kadar fisiologis. Kadar bilirubin 10 mg/dl pada usia 10 jam bukan
kadar fisiologis dan memerlukan perhatian segera (lihat riwayat penyakit dari ikterus
fisiologis).
2.1.2. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut bisa terjadi disebabkan karena :

1. Polychetemia
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Hemolisis ekstravaskuler
5. Cephalhematoma.
6. Eccymosis

(Niwang,Ayu.2016)
7. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat
bilirubin.Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel
otak. ( Marmi.2012)
8. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksion yang dapat merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
toksoplasmosis, siphilis. (Niwang,Ayu.2016)
9. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena
infeksi atau kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan
oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. ( Marmi.2012)
10. Obstruksi saluran pencernaan. ( Marmi.2012)

Penyebab hiperbilirubin menurut Tom Lissauer dan Avroy A. Fanroff. 2013.


Usia < 24 jam Usia 24 jam sampai 2 minggu Usia lebih dari 2 minggu I
icterus berkepanjangan
1. Hemolitik 1. Fisiologis 1. Tak Terkonjugasi:
2. Penyakit 2. Icterus akibat ASI ASI
Rhesus 3. Hemolitik Hipotiroidisme
3. Inkompatibilita 4. Infeksi 2. Terkonjugasi > 20mg/%
s ABO 5. Obstruksi gastrointestinal Sindrom hepatitis
4. Defisiensi 6. Gangguan metabolic neonatal
G6PD 7. Defek enzim hati Atresia Biliaris
5. Sferositosis 8. Sindrom Crigler-Najjar
herediter
6. Infeksi
kongenital

Breastfeeding Jaundice
Tiga puluh sembilan (19,5%) bayi ditemukan hanya mengalami dehidrasi
sebagai penyebab ikterus. Bayi-bayi ini dapat diklasifikasikan sebagai penyakit
kuning menyusui (breastdeeding jaundice), dengan penyebab asupan ASI tidak
memadai. Ini menunjukkan adanya kebutuhan akan konseling antenatal dan postnatal
yang lebih agresif terhadap ibu dan keluarga, mengenai teknik yang benar dan tepat,
untuk pembentukan dan kelanjutan pemberian ASI. Ini juga menekankan kebutuhan
akan asupan makanan dan air yang memadai dari ibu. (Rose Xavier, et al, 2016)
Pemberian ASI eksklusif merupakan faktor risiko penyakit ikterik yang
memerlukan fototerapi. Penurunan berat badan lebih dari 7% dikaitkan dengan
ikterus yang signifikan. Keberhasilan menyusui diukur dengan eksklusivitas dan
durasi pemberian ASI. Faktor risiko ibu dan bayi untuk kegagalan laktasi dapat
bersifat sosial dan fisiologis. Ini menunjukkan perlunya dukungan laktasi yang agresif
dalam pengelolaan penyakit kuning, terutama untuk prematur lanjut (35-36 minggu).
(Rose Xavier, et al, 2016)
Semakin banyak jumlah pemberian ASI, semakin rendah kadar bilirubin bayi.
Bayi baru lahir harus disusui 8 kali atau lebih setiap hari. Ibu dianjurkan untuk
menyusui bayinya secara teratur dalam 24 jam. Kolostrum ialah laksatif alami yang
membantu meningkatkan pengeluaran meconium. Dengan pemberian ASI yang
sering dan dini akan meningkatkan ekskresi meconium dan menurunkan kadar
bilirubin. (Bobak,2005)

Breastmilk Jaundice
Breastmilk jaundice atau Icterus akibat ASI. Icterus akibat ASI merupakan
unconjugated hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya terlambat (biasanya
menjelang hari ke 6-14). Sebagian bahan yang terkandung dalam ASI (beta
glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam lemak,
sehingga bilirubin indirek akan meningkat, dan kemudian akan di resorbsi oleh usus.
Bayi yang mendapati ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu
formula, mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan
asupan pada beberapa hari pertama kehidupan. (Marmi, 2015)
Breastmilk jaundice didefinisikan sebagai suatu peningkatan
hiperbilirubinemia indirek setelah minggu pertama kehidupan bayi. Ikterik akibat
menelan ASI di karenakan enzim dalam ASI menghambat kerja enzim glukoronil
transferase yang diperlukan untuk konjugasi bilirubin. Bilirubin meningkat
melampaui batas fisiologis (15-20 mg/dL) pada hari ketujuh. Kadar bilirubin
menurun 5-10 mg jika air susu dihentikan selama 12 sampai 24 jam. Ibu dianjurkan
untuk tetap mempertahankan suplai susunya selama periode tes dengan
mengeluarkannya melalui pompa. (Bobak, 2005)

FAKTOR RESIKO
Faktor resiko terjadinya hiperbilirubin antara lain:
1. Faktor Maternal
 Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
 Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
 Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
 ASI
2. Faktor Perinatal
 Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
 Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
3. Faktor Neonatus
 Prematuritas
 Faktor genetic
 Polisitemia
 Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
 Rendahnya asupan ASI
 Hipoglikemia
 Hipoalbuminemia
 Asidosis
(Dian Palupi, dkk, 2012 )
2.1.3. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel
darah merah/ RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya akan masuk sirkulasi, dimana
hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin ( protein) digunakan kembali
oleh tubuh sedengkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan
dengan albumin.
Kejadian yang paling sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada streptococcus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan
bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur
eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi
apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh onion lain, misalnya pada bayi
dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekresi misalnya
penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/extra hepatika. Pada
derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan otak . Toksisitas
ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek . Sifat indireki ini yang memungkinkan
efek patologik pada otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah. Kelainan
yang terjadi pada otak disebut ini disebut kornikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah
tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya bergantung dari
tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri.
Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat
keadaan imaturitas. Berat badan rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan
kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi. Peningkatan kadar
bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberpa keadaan. Kejadian yang paling sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban kadar bilirubin pada sek hepar
yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
eritrosit, polisitemia, gangguan pemecaha bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y dan Z
berkurang, atau pada bayi hipoksia,asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan
peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau
neonatus yang mengalami gangguan ekresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada
derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tetapi
mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak disebut kernikterus (Niwang,Ayu.2016).
(Stevry Mathindas, dkk, 2013)

2.1.4. Klasifikasi
Ikterus dibedakan menjadi 3 tipe, yakni ikterus fisiologis, ikterus patologik, dan
kern ikterus.
1. Ikterus Fisiologik
Icterus pada neonatus tidak selamanya merupakan icterus patologik. Icterus

fisiologik adalah icterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga yang tidak
memiliki dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
yang memiliki potensi menjadi kern icterus dan tidak menyebabkan suatu
morbiditas pada bayi. (Marmi,2015)
Icterus fisiologi bisa disebabkan karena hati dalam bayi belum matang, atau
disebabkan kadar penguraian sel darah merah yang cepat. Dalam kadar tinggi
bilirubin bebas ini bersifat racun sulit larut dalam air. Masalahnya organ dari
sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan
bilirubin tersebut. Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan
dan proses pembuangan bilirubin bisa berlangsung dengan lancer. Masa “matang”
organ hati pada setiap hati berbeda-beda. Namun umumnya pada hari ketujuh organ
hati mulai melakukan fungsinya dengan baik. (Marmi, 2015)
Menurut Vivian (2010), icterus fisiologis memiliki tanda-tanda sebagai berikut.
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah bayi lahir.
b. Kadar bilirubin indirect tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan
12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per hari.
d. Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%.
e. Icterus menghilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak terbukti mempunyai dengan keadaan patologis.
Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan
pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai
potensi berkembang menjadi kern icterus. Kern icterus ialah suatu perlengketan
otak akibat bilirubin indirek pada otak. (Saifuddin, 2009)

2. Ikterus Patologik
Icterus patologi adalah icterus yang mempunyai dasar patologi atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologi
ini misalnya jenis bilirubin saat timbulnya dan menghilangnya icterus dan
penyebabnya. Icterus yang kemungkinan menjadi patologik atau dapat dianggap
sebagai bilirubinemia ialah:
a. Icterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
b. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg%, atau lebih setiap 24 jam.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan
12,5 mg% pada pada neonatus kurang bulan.
d. Icterus yang disertai proses hemolysis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis).
e. Icterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 2000 gram yang
disebabkan karena usia dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun dan kehamilan
pada remaja, masa gestasi kurang dari 6 minggu, asfiksia, hipoksia,
hiperkopnia, hipersomolitas darah.
(Marmi, 2015)
3. Kern Ikterus
Kern icterus ialah suatu perlengketan otak akibat bilirubin indirek pada otak.
(Saifuddin, 2009)
Kern icterus mengacu pada enselopati bilirubin yang berasal dari deposit
bilirubin terutama pada batang otak (brainstem) dan nucleus serebrobasal. Warna
kuning (jaundis pada jaringan otak) dan nekrosis neuron-neuron akibat toksik
bilirubin tidak terkonyugasi (unconjugated bilirubin) yang mampu melewati sawar
darah otak karena kemudahannya lrut dalam lemak (high lipid solubility). Kern
icterus bisa terjadi pada bayi tertentu tanpa disertai dengan jaundis klinis, tetapi
umumnya berhubungan langsung pada kadar bilirubin total dalam serum. (Marmi,
2015)
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin dalam serum 20 mg%/dl dianggap
berada pada batas atas sebelum kerusakan otak dimulai. Hanya saja gejala sisa
spesifik pada bayi yang selamat yakni serebral palsy koreotoid. Gejala sisa lain
seperti retardasi mental dan ketidakmampuan sensori yang serius bisa
menggambarkan hipoksia, cedera vaskuler atau infeksi yang berhubungan dengan
kern icterus sekitar 70% bayi baru lahir yang mengalami kernicterus akan
meninggal selama periode neonatal. (Marmi, 2015)
Jenis-Jenis Hiperbilirubinemia
1) Hiperbilirubin Hemolitik
Pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebabkan oleh
inkompabiliatas golongan darah ibu dan bayi, seperti :
a) Inkompabilitas Rhesus
Bayi dengan Rh positif dari ibu Rh negative tidak selamanya menunjukkan
gejala klinik pada waktu lahir (15-20%). Gejala klinik yang dapat terlihat
adalah icterus semakin lama semakin berat disertai dengan anemia yang makin
lama makin berat pula. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolysis yang
berat, maka bayi dapat lahir dengan edema umum disertai icterus dan
pembesaran hepar. Terapi ditujukan untuk memperbaiki anemia dan
mengeluarkan bilirubin yang berlebihan dalam serum agar tidak terjadi kern
icterus.
b) Inkompabilitas ABO
Icterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan sifatnya biasanya
ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemia ringan hepar tidak membesar. Kalau
hemolisisnya berat seringkali diperlukan juga transfuse tukar untuk mencegah
terjadinya kernicterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan
kadar bilirubin serum sewaktu-waktu.
c) Inkompabilitas golongan darah lain.
Pada neonaatus dengan icterus hemolitik dimana pemeriksaan kearah
inkompatibilitas Rh dan ABO hasilnya negative sedangkan coombs test
positif, kemungkinan icterus akibat hemolysis inkompatibilitas golongan
darah lain harus dipikirkan.
d) Kelainan eritrosit conginetal
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang
menyerupai eritoblast fetalis akibat iso-imunitas. Pada penyakit ini coombs test
biasanya negative.
e) Defisiensi enzim G6PD
Hemolysis akibat defisiensi enzim G6PD. G6PD adalah enzim yang
menolong memperkuat dinding sel darah merah. Ketika mengalami
kekurangan enzim G6PD sel darah merah akan lebih mudah pecah dan
memproduksi bilirubin lebih banyak. Defisiensi G6PD merupakan salah satu
yang memerlukan transfuse tukar.
2) Hiperbilirubin Obstruktiva
Hiperbilirubin yang terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam
hati maupun diluar hati. Akibat sumbatan itu terjadi penumpukan bilirubin tidak
langsung.
3) Hiperbilirubin yang disebabkan oleh hal lain, seperti :
a. Pengaruh hormon atua obat yang mengurangi kesanggupan hepar untuk
mengadakan konjugasi bilirubin. Misalnya pada breast milk jaundice. Icterus
karena ASI ibu disebabkan Karen Hormone yang dihasilkan dalam ASI ibu
menghalangi penyingkiran bilirubin melalui usus.
b. Hipolbuminemia.
c. Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin tidak
langsung pada albumin misalnya, sulfafurzole, salsilat dan heparin.
d. Sindroma Griger – Najur. Penyakit ini tidak terdapat atau sangat kurang
glukoronil transferase dalam hepar.
e. Ikterus karena late feeding.
f. Asidosis metabolik.
g. Pemakian vitamin K, kalau dosis melebihi 10 mg %.
(Marmi, 2015)
2.1.5. Diagnosis
Penilaian
Pengamatan icterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya buatan. Paling
baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan dengan menekan sedikit kulit
yang akan diamati untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah. .
(Saifuddin, 2009)
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun masih dapat
digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada
neonates kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evident base,
pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan
alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus
segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut. Panduan WHO
mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan
cahaya matahari) Karena icterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah
kulit dan jaringan subkutan.
3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.
(Stevry Mathindas dkk, 2013)
Icterus secara klinis terdeteksi dari warna kulit saat menekan kulit dengan jari atau
pewarnaan kuning sclera saat bilirubin melewati 5 mg/dL (85 mikromol/L). Icterus
mulai muncul di kepala, menyebar ke abdomen dan kemudian kaki. Pemeriksaan
icterus lebih sulit pada bayi premature dan bayi dengan kulit gelap. Beratnya icterus
tidak dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan klinis. Tetapi bayi yang tidak
kuning secara klinis tidak akan memiliki hiperbilirubinemia yang signifikan. Bila
kuning, maka periksa juga:
1. Pucat
2. Tanda-tanda infeksi
3. Memar, sefahematoma
4. Hepatosplenomegali (hemolysis)
5. Kehilangan berat badan, dehidarsi
6. Riwayat keluarga icterus saat neonatal
(Tom Lissauer and Avroy A. Fanroff. 2013)
(Penilaian kadar bilirubin dapat dukur dengan ikterometer dan metode Kramer (Klinis).
Tabel Kramer untuk penilaian icterus
pada bayi baru lahir.
Kadar
Daerah Luas Ikterus Bilirubin
(mg%)

1 Kepala dan leher 5

Daerah 1 + badan
2 9
bagian atas
Daerah 1, 2 + badan
bagian bawah dan
3 11
tungkai
2.1.6.
Daerah 1, 2, 3 +
4 lengan dan kaki 12
dibawah tungkai
Daerah 1, 2, 3, 4 +
5 16
tangan dan kaki
(Vivian, 2010)
Pada Kern icterus gejala klinik permulaan tidak jelas, antara lain dapat
disebutkan yaitu bayi tidak mau mengisap, letargi, mata berputar, gerakan tidak
menentu (Involuntary movements), kejang, tonus otot meninggi, leher kaku, dan
akhirnya opistotonus. . (Saifuddin, 2009)
1. Contoh 1 : Kulit bayi berwarna kuning di kepala, leher dan bagian atas,
berarti jumlah bilirubin kira-kira 9 %.
2. Contoh 2 : Kulit bayi kuning seluruh badan sampai kaki dan
tangan,berarti jumlah bilirubin > 15 mg %.

Pemeriksaan
Bayi cukup bulan yang menjadi kuning harus diperiksa kadar bilirubin
transkutan. Tetapi, pengukuran serum harus dilakukan bila:
 Bayi < 24 jam
 Pengukuran transkutan bilirubinometer > 14,5 mg/dL (250 mikromol/L)
 Bilirubin transkutan tidak tersedia
 Bayi < 34 minggu usia kehamilan
 Sedang dalam terapi dengan fototerapi.
Pemerksaan lanjutan, selain dari bilirubin total, yang dapat diperlukan:
 Bilirubin direk
 Hitung DL, hitung retikulosit, dan hapusan bagi morfologi sel darah
 Volume sel darah/hematocrit
 Golongan darah (ibu dan bayi)
 Tes antibody direk
Pertimbangkan:
 Pemeriksaan G6PD
 Kultur mikrobiologi darah, urin, dan cairan serebrospinal untuk infeksi
(Marmi,
2015)
Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis icterus
neonatorum serta untuk menentu-kan perlunya intervensi lebih lanjut.
Pelaksanaan pemeriksaan serum Bilirubin total perlu dipertimbangkan karena hal
ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas
neonatus. (Stevry Mathindas dkk, 2013)
Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan prinsip kerja
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang gelombang 450 nm).
Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang
sedang diperiksa. (Stevry Mathindas dkk, 2013)
Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh karena itu,
ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas,
antara lain dengan metode oksidaseperoksidase. Prinsip cara ini yaitu
berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin dimana
bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas,
tata laksana icterus neonatorum akan lebih terarah. Pemecahan heme
menghasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan
hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan
dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin. (Stevry Mathindas dkk,
2013).
Diagnosis Banding

(Fitria, dkk 2007)


2.1.6 Penatalaksanaan
Perlunya pengobatan dipastikan dengan memetakan kadar bilirubin total
pada grafik bilirubin terhadap usia dalam jam. Ini akan menentukan apakah:
1. Tidak perlu dilakukan pengobatan
2. Perlu mengulangi pemeriksaan bilirubin dalam 6-12 jam
3. Indikasi fototerapi atau transfuse tukar.
Terapi akan berubah tergantung kadar absolut bilirubin yang dicapai dan
tingkat kenaikan pada pengukuran serial (bila bilirubin naik > 0,5 mg/dL/jam).
a. Pencegahan hiperbilirubin
1. Pencegahan penyakit kuning neonatal yang terbaik dicapai melalui
perhatian terhadap status risiko bayi, melalui pendidikan orang tua, dan
melalui perencanaan yang matang dari tidak lanjut (Maryanti , 2011).
2. Faktor risiko klinis termasuk usia kehamilan kurang dari 38 minggu,
vakum pada saat bersalin, pemberian ASI ekslusif saudara yang lebih
tua dengan penyakit kuning neonatal yang di butuhkan fototerapi,
kenaikan =6 mg/dl /hari (=100 µ mol / L/ hari) secara total kadar
bilirubin serum, dan hematoma atau memar yang luas. Berat badan lahir
juga berhubungan dengan resiko pengembangan penyakit kuning
siginfikan semakin tinggi berat lahir semakin tinggi resiko (Maryanti ,
2011).
3. Cara paling mudah untuk mengatasi hiperbilirubin pada bayi dengan
cara pemberian ASI sesering mungkin agar cepat terjadi pergantian
cairan dalam tubuh bayi, serta menjemur bayi pada jam 7 sampai jam 9
pagi, bila hiperbilirubin pada bayi mempunyai kadar hiperbilirubin
cukup tinggi harus di lakukan fototrapi dimana bayi di beri sinar biru
yang diarahkan kekulit sehingga proses kimia pada molekul bilirubin di
bawah jaringan kulit, sehingga bilirubin dapat segera di buang tanpa
perlu metabolism terlebih dahulu oleh hati. Dikhawatirkan akan
menybabkan klerusakan otak bayi, maka kemungkinan dilakukan
tranfusi harus dipenuhi jika hiperbilirubin pada bayi mencapai kadar
bilirubin yang sangat tinggi (Maryanti 2011).
4. Pemberian makanan dini pada neonatus dapat mengurangi terjadinya
icterus pada neonatus, karena pemberian makanan yang dini akan terjadi
pendorongan gerakan usus dan meconium lebih cepat dikeluarkan,
sehingga peredaran enterohepatik bilirubin berkurang. Menyusui bayi
dengan ASI. Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan
feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti
diketahui bahwa ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar BAB dan BAK. Akan tetapi pemberian ASI harus berada
dibawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus ASI justru
meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice) (Marmi,
2015).

b. Penatalaksanaan medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan
hiperbilirubin diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
hiperbilirubin, pengobatan mempunyai tujuan menghilangkan anemia,
menghilangkan antibody maternal dan eritrosit tersensiasi meningkatan serum
albumin di badan, menurunkan serum bilirubin. Metode terapi
hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, infuse albumin
dan therapi obat.
1) Fototerapi (Terapi sinar)
Terapi sinar atau fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi
dengan transfuse tukar untuk menurunkan bilirubin. Bila neonates dipapar
dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan
bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar
bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan
kurang dari 1000 gram harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5
mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan fototerapi
profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir
rendah.
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar
bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan
fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah
larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati, terapi sinar juga
berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga
menimbulkan resiko yang lebih fatal, sinar yang muncul dari lampu
tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi, seluruh pakaiannya di
lepas kecuali mata dan alat kelaminnya harus ditutup dengan kain
berwarna hitam yang bertujuan untuk mengurangi efek cahaya berlebihan
dari lampu tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan terapi sinar adalah:
a Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam,
untuk menghindari turunnya energy yang dihasilkan oleh lampu yang
digunakan.
b Pakaian bayi dibuka agara bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena
sinar
c Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya
untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat
pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk memberi rangsang
visual pada neonatus. Pemantauan iritasi mata dilakukan tiap 6 jam
dengan membuka penutup mata.
d Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya untuk melindungi kemaluan dari efek foto terapi.
e Posisi lampu 20-30cm diatas tubuh bayi, untuk mendapatkan energy
yang optimal.
f Posisis bayi diubah setiap 8 jam agar tubuh mendapat penyinaran
seluas mungkin
g Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekalii atau sewaktu-waktu bila perlu
h Pemasukan cairan, pengeluaran feses dan urin, serta pengeluaran
muntah juga diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi.
i Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsusmsi cairan ditingkatkan.
j Lamanya terapi sinar dicatat.
Tabel Komplikasi Foto terapi
Abnormalitas Mekanisme penyebab
Tanning (perubahan Induksi sintesis dan atau disperse cahaya
warna kulit) ultraviolet
Syndrome bayi Penurunan ekskresi hepatic dari foto produk
Bronze bilirubin
Diare Bilirubin menginduksi sekresi usus
Intoleransi laktosa Trauma fotosintesis pada eritrosit laktosa
Kulit terbakar Paparan berlebihan karena emisi gelombang
pendek lampu fluorense
Dehidrasi Peningkatan kehilangan air yang tidak disadari
karena energy foton yang diarbsorbsi
Ruam Kulit Trauma fotosintesis pada sel mast kulit
pelepasan histamin
(Marmi, 2015)
Hasil penelitian pengukuran derajat ikterik pada bayi ikterik setelah
dilakukan fototerapi pada pengukuran jam ke 24 dan 36 jam menunjukkan
sebagian besar berada pada tingkat derajat 3 sebesar 43,5% yaitu yang
meliputi daerah ikterik dibawah umbilikus hingga tungkai atas. Pada
pengukuran jam ke 24 dari 20 responden semua responden mengalami
penurunan derajat ikterik setelah dilakukan fototerapi dan pada jam ke 36 dari
sejumlah 15 responden semuanya mengalami penurunan derajat ikterik
setelah dilakukan fototerapi. Sehingga setelah dilakukan terapi menggunakan
fototerapi semua reponden mengalami penurunan Pengaruh Fototerapi
Terhadap Derajat Ikterik Pada Bayi Baru Lahir Di Rsud Dr. Moewardi
Surakarta (Dahru Bunyaniah) tingkat derajat ikterik pada bayi ikterik.
Menurut Bhutani (2011) Fototerapi rumah sakit merupakan tindakan yang
efektif untuk mencegah kadar Total Bilirubin Serum (TSB) meningkat. Uji
klinis telah divalidasi kemanjuran fototerapi dalam mengurangi
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang berlebihan, dan implementasinya
telah secara drastis membatasi penggunaan transfusi tukar. Menurut Keren, et
al (2008) gambaran untuk penilaian perkembangan ikterik atau jaundice pada
bayi baru lahir diantaranya dimulai dari grade 1 daerah muka atau wajah dan
leher, grade 2 daerah dada dan punggung, grade 3 daerah perut dibawah pusar
sampai lutut, grade 4 daerah lengan dan betis dibawah lutut, grade 5 daerah
sampai telapak tangan dan kaki.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran pemberian fototerapi dapat
menurunkan derajat ikterik pada bayi baru lahir di RSUD Dr. Moewardi pada
jam ke 24 dan 36. Menurut Kosim (2012) fototerapi intensif adalah fototerapi
dengan menggunakan sinar bluegreen spectrum (panjang gelombang 430-490
nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2 (diperiksa dengan radio
meter, atau diperkirakan dengan menempatkan Pengaruh Fototerapi Terhadap
Derajat Ikterik Pada Bayi Baru Lahir Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta (Dahru
Bunyaniah ) 16 bayi langsung di bawah sumber sinar dan kulit bayi yang
terpajan lebih luas. Menurut Bhutani (2011) untuk mengurangi efek samping
fototerapi maka dokter dan rumah sakit harus memastikan bahwa perangkat
fototerapi digunakan harus sepenuhnya menerangi luas permukaan tubuh
pasien, memiliki tingkat radiasi dari ≥ 30 μW cm-2 nm- 1 (dikonfirmasi
dengan akurasi dengan radiometer spektral yang sesuai) selama waveband
sekitar 460-490 nm, dan diimplementasikan secara tepat waktu.
2) Transfusi Tukar (Exchange transfusion)
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit
yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit
yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan
albumin yang masih bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatannya
dangan bilirubin.
Transfusi bursa umumnya hanya dilakukan jika tingkat kerusakan sel
darah merah mungkin terjadi melebihi kemampuan fototerapi untuk
mengendalikan kadar bilirubin. Namun ini sangat mungkin terjadi pada
bayi dengan tes Coombs positif yang sudah anemia (karena janin
hemolisis) saat lahir, dan hemoglobin darah tali pusat kurang dari 130 g / l
berfungsi untuk mengidentifikasi Sebagian besar bayi-bayi ini. Fungsi
transfusi tukar:
a Penghapusan antibodi maternal
b Pelepasan sel darah merah berlapis antibodi sebelum mereka
melakukan hemolitik
c Memperbaiki anemia
d Menurunkan total bilirubin, jika cukup waktu untuk equilibrasi antara
tingkat intravaskular dan ekstravaskular.
Transfusi pertukaran hanya boleh dilakukan setelah semua risiko yang
menyertainya. Dianggap, bahkan di tangan yang berpengalaman, 1% bayi
mungkin mengalami peredaran darah secara tiba-tiba ditangkap selama
atau segera setelah prosedur. Ini harus menanggapi intervensi segera
menggunakan pendekatan yang diadopsi saat berhadapan dengan
perhentian peredaran darah saat lahir tapi juga bayi perlu dipantau secara
ketat, dan staf perlu siap untuk kemungkinan seperti itu jika memang
demikian bukan untuk membuktikan fatal. Emboli udara bisa membunuh
dalam beberapa menit, dan teknik yang salah dapat menyebabkannya
hipotensi atau hipervolemia mendadak, atau perkenalkan sepsis nanti.
Penggunaan darah donor lebih banyak dari lima hari dapat menyebabkan
hiperkalemia serius dan aritmia. Darah lurus Dari kulkas pada suhu 4ºC
bisa menimbulkan tekanan dingin yang besar. (WHO dalam Pocket Book
Of Obstetric, Neonatal And Paediatric Emergencies Including Major
Trauma)
Tabel. Indikasi bagi fototerapi dan transfuse tukar pada bayi dengan usia
kehamilan > 35 minggu (di adaptasi dari Pengelolaan hiperbilirubinemia pada bayi
baru lahir dengan usia kehamilan 35 minggu atau lebih. Pediatrics 2004;114;297-
316)
Fototerapi Transfusi Tukar
Risiko Risiko Risiko
Usia Risiko Risiko Risiko
tinggi tinggi sedang
sedang rendah rendah
> 8 mg/dL > 10 mg/dL > 12 mg/dL >15 mg/dL >17 mg/dL > 19 mg/dL
24 (137 (171 (205 (257 (291 (325
jam
mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L)

> 11 mg/dL > 13 mg/dL > 15 mg/dL > 17 mg/dL > 19 mg/dL > 22 mg/dL
(188 (222 (257 (291 (325 (376
48 jam
mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L)

> 13 mg/dL > 15 mg/dL > 18 mg/dL > 18 mg/dL > 21 mg/dL > 24 mg/dL
(222 (257 (308 (308 (359 (410
72 jam
mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L)

> 14 mg/dL > 17 mg/dL > 20 mg/dL > 19 mg/dL > 22 mg/dL > 25 mg/dL
(239 (291 (340 (325 (376 (428
96 jam
mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L) mikromol/L)

Resiko rendah > 38 minggu dan kondisinya baik. Risiko sedang ≤ 38


minggu da nada factor resiko atau 35-37 minggu dan kondisinya baik.
Resiko tinggi < 35-37 minggu da nada factor resiko. Faktror resiko –
penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargis yang jelas,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis atau bila diperiksa albumin <3.0 gr/dL (30
gr/L)
(Tom Lissauer and Avroy A. Fanroff. 2013)
3) Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan
faktor imunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat
menurunkan kemungkinan dilakukannya transfuse tukar. . (Stevry Mathindas,
dkk, 2013)
4) Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI
selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian
pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih terdapat perbedaan
pendapat. . (Stevry Mathindas, dkk, 2013)
5) Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif
diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan. Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi
pertentangan oleh karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat
mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya melalui urin sehingga dapat
menurunkan kerja siklus enterohepatika. (Stevry Mathindas, dkk, 2013)

2.1.8. Komplikasi
Ikterus pada neonatus mungkin tidak menjadi penyebab utama dari
kematian bayi, namun merupakan penyebab penting dari morbiditas pada
periode neonatal dan seterusnya (Mahmud dkk, 2015 dalam Aiswarya dan
Sajeeth, 2016).
Menurut Tom Lissauer dan Avroy A. Fanaroff (2013), komplikasi yang
mungkin timbul dari hiperbilirubinemia berat adalah kernicterus. Kernikterus
menggambarkan enselopati bilirubin akut atau kronis. Pada enselopati
bilirubin akut ada hipotonia, letargi, tidak mau makan, iratibilitas, tangisan
nada tinggi (high pitched cry), demam, apnea,
hipertoni dengan pelengkungan leher dan badan (opistotonus), kejang, koma,
dan kematian. Pada enselopati bilirubin kronis ada kerusakan neurologis yang
permanen akibat dari tertumpuknya bilirubin tidak terkonyugasi di basal
ganglia dan nukelus batang otak. Konsekuensi jangka panjang termasuk
dysplasia gigi dengan pewarnaan kuning gigi, kehilangan pendengaran
sensorineural frekuensi tinggi, paralisis mata melirik ke atas dan kesulitan
belajar. Kernikterus jarang terjadi pada Negara maju (Tom Lissauer dan Avroy
A. Fanroff, 2013).
Kernikterus (enselopati biliaris) adalah suatu kerusakan otak akibat
adanya bilirubin indirek pada otak. Kern icterus ditandai degan kadar bilirubin
darah yang tinggi (>20 mg% pada bayi cukup bulan atau >18 mg% pada bayi
dengan berat lahir rendah) dsiertai dengan gejala kerusakan otak berupa mata
berputar, letargi, kejang, tak mau mnegisap, tonus otot meningkat, leher kaku
dan sianosis, serta juga diikuti dengan ketulian, gangguan berbicara dan
retardasi mental di kemudian hari (Vivian, 2010).
2.1.1. Prognosis
Baik buruknya prognosis hiperbilirubinemia tergantung pada penyebab
yang mendasarinya. Hiperbilirubinemia akan menghasilkan prognosis dengan
diagnosis dan pengobatan yang tepat (Epocrates, 2015).
Neonates dengan hiperbilirubinemia keadaannya sungguh membaik
setelah diberikannya terapi fototerapi dan atau transfuse tukar (Epocrates,
2015).
Kern-ikterus seharusnya dapat dicegah jika manajemen
hiperbilirubinemia dilakukan pada waktu yang tepat (Epocrates, 2015).
Kern icterus memiliki prognosis yang buruk yakni meneyebabkan
kematian neonatal, atau multisystem manifestasi akut dan gangguan jangka
panjang, termasuk cerebral palsy, dan kecacatan pemrosesan suara, visual,
pendengaran dan lainnya (Bhutania VK and Wong RJ, 2013).
Untuk neonates dengan anemia hemolitik akibat ketidakcocokan
kelompok darah, hemolysis bukan lagi sebagai masalah begitu antibody ibu
hilang (Epocrates, 2015).
Pada bayi dengan atresia biliaris memerlukan operasi dalam dua bulan
pertama kehidupan untuk prognosis yang lebih baik (Gotze T, dkk, 2015).
Untuk neonates dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi, prognosis
tergantung pada etiologi kondisi. Pada bayi dengan sindrom Zellweger,
prognosisnya buruk, sebagian besar bayi baru lahir meninggal selama tahun
pertama atau bertahan dengan keterbelakangan mental parah dan kejang. Bayi
dengan cacat metabolic/genetic lainnya memiliki prognosis mereka
bergantung pada pengelolaan defisiensi enzim spesifik dan akumulasi
metabolit. Beberapa etiologi infeksius membaik dengan perawatan yang
spesifik. Pengobatan suportif dilakukan untuk para survivor kern-ikterus.
Pengobatan rehabilitative direkomendasikan untuk deficit neurologis spesifik
(Epocrates, 2015).

2.2 Konsep Manajemen Kebidanan Hiperbilirubinemia pada Neonatus


2.2.1 PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada:
Tanggal :
Jam :
Tempat :
Oleh :
A. DATA SUBJEKTIF
Data ini bisa didapat dengan cara anamnesa yaitu tanya jawab antara klien
dengan petugas kesehatan maupun antara petugas kesehatan dengan orang
lain yang mengetahui keadaan / kondisi klien. Anamnesa dapat dilakukan
pada pertama kali klien datang (secara lengkap) dan anamnesa selanjutnya /
ulang untuk hal yang diperlukan saja setelah melakukan review data yang
lalu. Hal – hal yang perlu dikaji dalam dat subjektif, meliputi :
1) Biodata
a Biodata Bayi
a) Nama Bayi
Dikaji untuk memudahkan tenaga kesehatan dalam
mengidentifikasi
b) Umur Bayi
Untuk mengetahui berapa umur bayi yang nanti akan disesuaikan
dengan tindakan yang akan dilakukan, dan untuk mengetahui
tingkat keparahan ikterus yaitu jika timbul pada 24 jam sesudah
kelahiran termasuk ikterus patologis sedangkan jika timbul pada
hari kedua–ketiga termasuk ikterus fisiologis.

c) Tanggal/jam
Untuk mengetahui kapan bayi lahir, sesuai atau tidak dengan
perkiraan lahienya, dan untuk menegtahui tingkat kenaikan
kadar bilirubin pada bayi cukup bulan atau bayi kurang bulan.
d) Jenis Kelamin
Untuk mengetahui jenis kelamin bayi dan membedakan dengan
bayi yang lain.
e) Anak ke
Dikaji untuk mengetahi apakah anak sebelumnya (jika ada)
mengalami hal serupa.
b. Biodata Orang Tua
(1) Nama klien
Dimaksudkan agar lebih mengenal klien sehingga tercipta
hubungan interpersonal yang baik, sehingga bidan lebih mudah
dalam memberikan asuhannya karena klien lebih kooperatif.
(2) Umur Klien
Dikaji menurut tanggal lahir ibu. Untuk mengetahui apakah
umur klien termasuk dalam usia produktif atau usia beresiko
tinggi.
(3) Pendidikan
Dikaji menurut ijazah terakhir ibu. Dimaksudkan untuk
mengetahui tingkat pendidikan dan tingkat intelegensi klien,
sehingga bidan bisa menyesuaikan cara pemberian Konseling,
Informasi dan Edukasi (KIE) dengan kemampuan daya tangkap
klien.
(4) Pekerjaan
Pekerjaan suami dan ibu sendiri untuk mengetahui bagaimana
taraf hidup dan sosial ekonominya agar nasehat kita sesuai, juga
mengetahui apakah pekerjaan mengganggu atau tidak, misalnya
bekerja di pabrik rokok, mungkin zat yang dihisap akan
berpengaruh pada janin.
75.32% ibu pernah terpapar merokok baik di rumah mereka atau
di tempat kerja. Banyak penelitian membuktikan bahwa merokok
atau paparan asap akan berdampak buruk pada janin dan dapat
menyebabkan banyak komplikasi neonatal. (Aiswarya dan
Sajeeth, 2016)
(5) Agama
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui agama atau kepercayaan
yang dianut klien, sehingga bidan secara tidak langsung dapat
menyesuaikan pemberian KIE yang sesuai dengan ajaran-ajaran
maupun norma-norma agama atau kepercayaan yang dianut.
(6) Alamat
Ditanyakan untuk maksud mempermudah hubungan bila
diperlukan bila keadaan mendesak. Dengan diketahuinya alamat
tersebut, bidan dapat mengetahui tempat tinggal pasien/klien dan
lingkunganya. Dengan tujuan untuk mempermudah
menghubungi keluarganya, menjaga kemungkinan bila ada nama
ibu yang sama, untuk dijadikan saat kunjungan rumah.
2) Keluhan Utama
Keluhan utama dikaji untuk mengetahui apa yang terjadi pada
klien/bayi. Pada kasus BBL dengan hiperbilirubinemia terkait dengan
keluhan, yang perlu dikaji adalah sejak kapan bayi mengalami icterus /
menjadi kuning, serta susah menyusu atau tidak.
3) Riwayat Kesehatan Ibu
Pada kasus bayi dengan hiperbilirubinemia hal yang perlu dikaji
terkait dengan riwayat kesehatan ibu adalah apakah ibu memiliki penyakit
seperti diabetes, hepatitis, darah tinggi. Diabetes, darah tinggi dan hepatitis
pada ibu merupakan factor resiko yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia pada neonates. Riwayat TORCH juga harus dikaji terkait
dengan kasus ini. Karena salah satu etiologi dari hiperbilirubinemia salah
satunya adalah adanya infeksi TORCH. dengan menanyakan apakah ibu
pernah mengalami diare lama dan batuk lama yang tidak sembuh-sembuh
(HIV), apakah pada kemaluan ibu terdapat buntil-bintil seperti kutil, dan
infeksi pada kemaluan yang lainnya.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada kasus bayi dengan hiperbilirubinemia hal yang perlu dikaji terkait
dengan kesehatan keluarga adalah apakah ada yg menderita penyakit
hepatitis.
5) Riwayat Menstruasi
Pada kasus bayi dengan hiperbilirubinemia hal yang perlu dikaji terkait
dengan riwayat menstruasi adalah HPHT digunakan untuk menentukan UK
dan HPL, untuk menetukan apakah bayi yang di lahirkan sudah cukup bulan
atau premature. Prematuritas adalah salah satu penyebab dari kejadian
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. (Anggraini, 2014)
6) Riwayat kehamilan, persalinan, dan postnatal yang lalu
Apabila ibu merupakan multigravida, maka riwayat kehamilan, persalinan
yang lalu perlu dikaji untuk mengetahui apakah ada factor resiko yang
menyebabkan hiperbilirubin pada anak yang sekarang.
a. Riwayat kehamilan
Riwayat kehamilan lalu yang perlu dikaji adalah
 Apakah ibu pernah mengalami abortus atau keguguran atau bayi
meninggal dalam kandungan. apabila bayi meninggal dalam
kandungan kaji penyebabnya, apakah terkait dengan ketidakcocokan
antara golongan darah ibu dan bayi atau sebab lainnya.
 Apakah pernah mengalami demam saat hamil.
 Apakah ibu pernah tes gula selama hamil (riwayat diabetes
gestasional), apakah ibu mengalami darah tinggi saat hamil.
b. Riwayat persalinan
Riwayat persalinan yang perlu dikaji adalah
(1) Ibu melahirkan pada usia kehamilan kurang bulan atau cukup bulan.
(2) Apakah ibu mengalami ketuban pecah dini, ketuban keruh atau
ketuban berwarna hijau.
(3) Bagaimana proses persalinannya (persalinan normal atau dengan
tindakan seperti vakum)
(4) Bayi lahir langsung menangis spontan atau tidak.
(5) Jenis kelamin anak dan berat badan lahir anak.
c. Riwayat Postnatal
Riwayat persalinan yang perlu dikaji adalah
(1)Apakah anak sebelumnya pernah mengalami icterus/tidak
(2)Apakah ibu menyusui anaknya, dan apakah ASInya lancar
(3)Apakah pada anak sebelumnya pernah mengalami demam tinggi atau
kejang pada hari-hari pertama kehidupan.
7) Riwayat kehamilan, persalinan dan postnatal sekarang
a. Riwayat kehamilan
Riwayat kehamilan yang perlu dikaji adalah
 Kehamilan ke berapa.
Untuk mengetahui ibu merupakan primigravida atau multigravida.
Menurut penelitian primipara merupakan salah satu factor resiko
hiperbilirubinemia pada naonatus terkait dengan breastfeeding
jaundice. (Rose Xavier, et al, 2016)
 Apakah ibu pernah mengalami abortus atau keguguran. Abortus,
menunjukkan hubungan dengan sejarah kebidanan masa lalu.
Pada pasien dengan aborsi sebelumnya atau lebih menunjukkan
hubungan yang signifikan dengan adanya hiperbilirubinemia
neonatal. (D.Sumangala dan Bindu Vijaykumar, 2017).
 Apakah ibu pernah mengalami bayi meninggal dalam kandungan.
Apabila bayi meninggal dalam kandungan kaji penyebabnya,
apakah terkait dengan ketidakcocokan antara golongan darah ibu
dan bayi atau sebab lainnya.
 Kaji golongan darah ibu.
(6) Hasil penelitian menunjukan bahwa kejadian hiperbilirubenimia
sering terjadi pada ibu yang bergolongan darah O. Hal tersebut
sejalan dengan teori bahwa kejadian hiperbilurin akan beresiko
lebih tinggi pada ibu yang memiliki golongan darah O dan berbeda
golongan darah dengan bayinya. . (Elli Hidayati, Martsa
Rahmaswari, 2015)
 Apakah pernah mengalami demam saat hamil. Demam pada saat
hamil merupakan tanda-tanda infeksi. Atau mungkin ada beberapa
tanda-tanda infeksi pada kemaluan seperti bintil-bintil atau seperti
jengger ayam, kemaluan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari
ibu ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko
hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital
virus herpes, sifilis kongenital, rubela, dan sepsis. (Stevry
Mathindas, dkk, 2013)
 Apakah ibu sudah pernah suntik TT.
 Apakah ibu pernah tes gula selama hamil (riwayat diabetes
gestasional), apakah ibu mengalami darah tinggi saat hamil.
Darah tinggi dan diabetes gestasional, peneilitian menunjukkan
hubungan antara komplikasi kehamilan dan icterus pada neonatal.
Presentase dari diabetes gestasional menunjukkan hubungan yang
sangat signifikan dengan adanya icterus pada neonates, serta disusul
oleh hipertensi dan IUGR (D.Sumangala dan Bindu Vijaykumar,
2017).
d. Riwayat persalinan
Riwayat persalinan yang perlu dikaji adalah
Ibu melahirkan pada usia kehamilan kurang bulan atau cukup
bulan.Prematuritas adalah salah satu penyebab dari kejadian
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Yetti (2014) mengenai hubungan antara prematuritas
dengan kejadian hiperbilirubinemia di dapatkan hasil bahwa persalinan
prematur memiliki peluang 6,107 kali lebih besar mengalami hiperbilirubin
dibandingkan dengan persalinan maturitas (Anggraini, 2014).
Pada bayi dengan persalinan prematur hiperbilirubin terjadi karena belum
maturnya fungsi hepar, bayi prematur memiliki kadar zat besi yang tinggi
dalam sel darah merahnya. Proses pemecahan hemoglobin terjadi pada
akhir usia sel darah merah yaitu 120 hari, sedangkan bayi prematur
memiliki sel darah merah yang jangka usianya pendek yaitu 80-90 hari,
karena itu sel darah merah harus diganti dalam waktu yang lebih cepat.
Pada penelitian ini juga diperoleh bahwa bayi yang lahir prematur rata-rata
memiliki berat badan lahir rendah yaitu <2500 gram, sehingga berat bayi
lahir rendah juga mempengaruhi terjadinya hiperbilirubin. (Anggraini,
2014)
(7) Apakah ibu mengalami ketuban pecah dini, ketuban keruh atau
ketuban berwarna hijau.
Pasien dengan PPROM menunjukkan hubungan yang signifikan
dengan terjadinya ikterus neonatal yang disebabkan oleh
prematuritas terkait. (D.Sumangala dan Bindu Vijaykumar, 2017).
Ketuban keruh bahkan berwarna hijau (mekoneal) menandakan
bahwa telah terjadi fetal distress. Ketuban mekoneal dapat
menyebabkan bayi asfiksi saat lahir.
(8) Bagaimana proses persalinannya (persalinan normal atau dengan
tindakan seperti vakum). Bayi yang dilahirkan secara ekstraksi
vacum dan ekstrasi forcep mempunyai kecenderungan terjadinya
perdarahan tertutup di kepala, seperti caput sudccadenaum dan
cepalhematoma yang merupakan factor resiko terjadinya
hiperbilirubin pada bayi. (Elli Hidayati, Martsa Rahmaswari, 2015)
(9) Bayi lahir langsung menangis spontan atau tidak. Bayi lahir dengan
asfiksi adalah penyebab penting terjadinya icterus pada neonates.
Dan rendahnya APGAR score pada menit pertama dan kelima
diketahui sangat mempengaruhi atas kejadian neonatal
hiperbilirubinemia lahir (D.Sumangala dan Bindu Vijaykumar,
2017)
(10) Jenis kelamin anak dan berat badan lahir anak.
2.1.9. Hiperbilirubin terjadi pada bayi berat badan lahir rendah
karena fungsi hepar yang belum matang atau terdapat gangguan
fungsi hepar seperti hipoksia, hipoglikemi, asidosis, dan lain-lain
sehingga mengakibatkan kadar bilirubin meningkat. (Elli Hidayati,
Martsa Rahmaswari, 2015)
2.1.10. Penelitian menunjukkan bahwa berat badan bayi baru
lahir < 2500 menunjukkan kaitan yang signifikan antara berat lahir
dan kejadian neonates dengan hiperbilirubinemia. lahir
(D.Sumangala dan Bindu Vijaykumar, 2017)
2.1.11.
e. Riwayat Postnatal
2.1.12. Riwayat persalinan yang perlu dikaji adalah
(4) Apakah anak sebelumnya pernah mengalami icterus/tidak
2.1.13. Salah satu faktor risiko klinis termasuk usia kehamilan kurang
dari 38 minggu, vakum pada saat bersalin, pemberian ASI ekslusif
saudara yang lebih tua dengan penyakit kuning neonatal yang di
butuhkan fototerapi, dan hematoma atau memar yang luas. (Maryanti ,
2011) .
(5) Apakah ibu menyusui anaknya, dan apakah ASInya lancar.
Untuk mengetahui apakah ibu sudah mampu untuk memeberikan
asupan yang cukup untuk bayinya. Menurut penelitian primipara
merupakan salah satu factor resiko hiperbilirubinemia pada naonatus
terkait dengan breastfeeding jaundice. (Rose Xavier, et al, 2016)
(6) Bagaimana pemberian ASI, berapa jam sekali.
Pemberian ASI, dikaji untuk mengetahui apakah pemberian ASI
kepada bayi sudah adekuat untuk menghindarkan bayi dari dehidrasi.
Bayi yang kelaparan dan / atau dehidrasi, mungkin berisiko tinggi
terhadap bilirubin encephalopaty ((D.Sumangala dan Bindu
Vijaykumar, 2017)
(7) Apakah pada anak sebelumnya pernah mengalami demam tinggi atau
kejang pada hari-hari pertama kehidupan. Demam tinggi bisa
menandakan adanya infeksi.
8) Data Psikososial
(8) Apakah ibu senang dengan kelahiran anaknya?
(9) Apabila ada ibu yang tidak menyusui bayinya, maka ditanyakan alasan
mengapa ibu tidak menyusui bayinya.
(10) Apakah ibu mengkonsumsi obat-obatan, merokok, atau minum alcohol
sebelum, selama maupun sesudah melahirkan.
(11) Siapa yang merawatnya apakah bayi dirawat oleh kedua orang tua
kandung, oleh neneknya, atau diasuh oleh orang lain
9) Pola Pemenuhan Kebutuhan
 Nutrisi
2.1.14. Dikaji apakah bayi diberi ASI secara eksklusif, setiap berapa
jam, atau bayi malah tidak mau menyusu. Apakah bayi diberi
makanan/minuman tambahan?
 Eliminasi
2.1.15. Dikaji BAB terakhir dan ditanyakan bagaimana warna
fesesnya. Apakah feses berwarna gelap (mekoneal) atau tampak pucat
(berwarna seperti dempul).
2.1.16. BAK terakhir ditanyakan, dan apakah warna urinnya normal
atau warna urine gelap (bilirubinuria). Pada neonates dengan
hiperbilirubin obstruktiv, seperti pada atresia biliaris, maka feses akan
berwarna seperti dempul dan terjadi bilirubinuria karena meningkatnya
konsentrasi bilirubin yang tidak dapat di ekskresikan melalui usus,
tetapi melalui ginjal. (Marmi, 2015)
 Istirahat
2.1.17. Dikaji berapa jam bayi tidur. Apakah bayi tidur terus menerus,
atau setiap 2 jam dibangunkan untuk menyusu. Pola istirahat dikaji
untuk mengetahui seberapa serinng bayi dapat disusui.
 Aktifitas
2.1.18. Apakah bayi bergerak aktif, lemas, atau kejang.
2.1.19.
2.1.1 DATA OBYEKTIF
1) Pemeriksaan umum, meliputi :
a) Keadaan umum
2.1.20. Dikaji pada saat pertama kali pasien datang. Lihat apakah
pasien tampak baik atau tampak lemah.
b) Kesadaran : composmentis/apatis//delirium/somnolen/stupor/coma
c) Suhu
2.1.21. Suhu normal bayi baru lahir adalah 36,5-37-5. Suhu lebih dari
38°C menandakan adanya kemungkinan infeksi. (Marmi, 2015)
d) Pernafasan
2.1.22. Pernafasan normal pada bayi baru lahir adalah 40-60x/menit
(Marmi, 2015)
e) Gerakan
2.1.23. Gerakan perlu dikaji apakah anak masih bergerak
normal, atau kejang
f) Berat badan
2.1.24. Penelitian menunjukkan bahwa berat badan bayi baru
lahir < 2500 menunjukkan kaitan yang signifikan antara berat lahir
dan kejadian neonates dengan hiperbilirubinemia. lahir
(D.Sumangala dan Bindu Vijaykumar, 2017)
2.1.25. Berat badan saat ini harus dibandingkan dengan berat
badan saat lahir/berat badan sebelumnya untuk menegtahui
seberapa besar penurunan berat badan yang dialami oleh bayi. Bayi
biasanya mengalami penurunan berat badan dalam beberapa hari
pertama yang harus kembali normal pada hati ke-10. Bayi dapat
ditimbang pada hari ke-3 atau ke-4 untuk mengkaji jumlah
penurunan berat badan. Tetapi bila bayi tumbuh dan minum dengan
baik, hal ini tidak diperlukan, sebaiknya dilakukan penimbangan
pada hari ke-10 untuk memastikan bahwa berat badan lahir telah
kembali. (Johnson, 2005 dalam Pitria, 2016)
2.1.26.
2) Pemeriksaan fisik
i. Inspeksi
 Kepala
2.1.27. Adakah caput susadenum, atau cepalhematoma
 Wajah
2.1.28. Pewarnaan pada muka bagaimana apakah pucat,
kuning, atau biru.
 Mata
2.1.29. Cekung atau tidak, pewarnaan pada konjungtiva pucat,
kemerahan atau putih, dan warna sklera kuning atau merah
muda.
 Hidung
2.1.30. Adakah pernafasan cuping hidung
 Leher
2.1.31. Tampak ikterik/tidak, leher kaku dan akhirnya
epistotonus pada kernicterus.
 Dada
2.1.32. Bagaimana pergerakan dadam dilihat adakah retraksi
dinding dada atau dada tidak bergerak. (terjadi apne, cyanosis,
dispnea pada keadaan kernikterus. Serta pewarnaan pada
bagian dada apakah kuning atau kemerahan.
 Abdomen
2.1.33. Kembung atau tidak, dilihat apakah ada tanda-tanda
pembesaran organ, dilihat keadaan tali pusat apakah kering
atau basah, apakah terdapat tanda-tanda infeksi tali pusat atau
tidak, serta pewarnaan pada bagian abdomen kuning atau
kemerahan.
 Anus
2.1.34. Dilihat adanya pengeluaran feses. Apabila ada
pengeluaran feses maka dilihat warnanya. Apakah feses
berupa mekoneum atau feses berwarna pucat (tinja berwarna
seperti dempul)
 Ekstrimitas : pewarnaan pada bagian ekstremitas apakah
kuning atau tidak. tonus otot meninggi atau tidak.
 Refleks.
2.1.35. Dilihat apakah ada tremor, reflek moro dan menghisap
ada/tidak, bayi kejang/tidak.
ii. Palpasi
 Abdomen
2.1.36. Adakah pembesaran pada organ terutama pada hati.
2.1.37.
3) Pemeriksaan penunjang
1. Bilirubin serum , indirek dan indirek : peningkatan bilirubin diatas 10
mg/dl pada bayi aterm atau 12 mg/dl pada BBLR 2.
2. Serial level bilirubin total, lebih atau sama dengan 0,5 mg/jam samapi 20
mg/dl mengindikasikan resiko kernikterus dan kebutuhan transfusi tukar
tergantung dari berat badan bayi dan umur kehamilan.
3. Golongan darah ibu dan bayi, serologi darah tali pusat. Golongan darah dan
faktor Rh pada ibu dan bayi untuk menentukan resiko incompatibilitas, Rh
ayah juga diperiksa jika Rh ibu negatif
4. Pemeriksaan DL. Hb dan HCT : Hb kurang dari 14 gr% dan HCT kurang
dari 42% menandakan adanya proses hemolitik. Hb dari tali pusat kurang
dari 12 g/dl indikasi diperlukaannya transfusi tukar. Hitung retikulosit,
meningkat pada hemolisis.
5. Leukosit darah untuk memantau adanya infeksi, menurun sampai dibawah
5000/mm3, mengindikasikan terjadinya infeksi
6. Cooombs test
2.1.38. - Coombs test (direct) pada darah tali pusat setelah persalinan, positif
bila antibodi
terbentuk pada bayi.
2.1.39. - Coombs test (indirect) pada darah tali pusat, positif bila antibodi
terdapat pada
darah ibu.

7. Direct bilirubin level, meningkat jika terjadi infeksi atau gangguan


hemolisis Rh
8. Pemeriksaan G6PD
9. Kultur mikrobiologi darah, urin, dan cairan serebrospinal untuk infeksi

2.1 IDENTIFIKASI DIAGNOSIS DAN MASALAH


Dx : By Ny “X” usia ….. (jam/hari) dengan hiperbilirubinemia derajat
I/II/III/IV/V sejak hari ke …
Dx dapat ditegakkan berdasarkan temuan-temuan yang ada pada Ds, Do serta Data
penunjang, jika ada. Penentuan derajat pada diagnosis hiperbilirubin dapat
ditentukan dari tabel Kramer. Diagnose banding juga dapat ditegakkan apabila ada
temuan-temuan seperti yang sudah dijelaskan pada tinjauan teori pada bab 1.
Ds :
Ds harus berisi data-data yang menunjang diagnose yang ditegakkan
- Tanggal dan jam lahir anak
- Ibu mengatakan anaknya menjadi kuning pada daerah… sejak kapan…
- Anak masih mau menyusu/anak tidak mau menyusu.
- Pemberian ASInya bagaimana
- dll
Do :
Do harus berisi data-data yang menunjang diagnose yang ditegakkan, mulai dari
pemeriksaan umum, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Do harus
berisi data-data focus yang menunjang penegakan diagnose. Misalkan:
- Disebutkan pada bagian mana saja terjadi icterus
- Bagaimana warna tinja
- Bagaimana hasil pemeriksaan lab yang dapat menunjang diagnose (jika
ada)
- dll…
2.2 IDENTIFIKASI DIAGNOSA POTENSIAL
Diagnosa potensial pada penyakit ikterus antar lain : terjadi akumulasi
bilirubin dalam darah sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus)
tampak kekuningan dan muncul pewarnaan kuning pada permukaan kulit, bayi
mengalami dehidrasi/kekurangan cairan, serta berpotensial juga terjadi kern
ikterus.

2.3 IDENTIFIKASI KEBUTUHAN SEGERA


Antisipasi yang dilakukan pada neonatus dengan ikterus adalah memberikan
asi secara ekslusif, melakukan pemeriksaan laboratorium berupa cek bilirubin 24
jam sekali, , serta bila kadar bilirubin < 10 mg/dl pada bayi prematur dan < 12,5
mg/dl pada bayi cukup bulan maka lakukan fototerapi.
Apabila bidan dalam tindakan mandiri, maka apabila menemui tanda-tanda
icterus yang mengarah ke kondisi patologi segera rujuk supaya bayi cepat
mendapat pemeriksaan lanjutan dan penanganan untuk mencegah komplikasi yang
mungkin akan terjadi.

2.4 INTERVENSI
Intervensi pada kasus hiperbilirubinemia tergantung pada seberapa kadar
bilirubin pada tubuh bayi. Bidan dapat melakukan perencanaan terhadap tindakan
mandiri, kolaborasi maupun rujukan.
Dx : By Ny “X” usia ….. (jam/hari) dengan hiperbilirubinemia derajat
I/II/III/IV/V sejak hari ke …

Tujuan :
- menurunkan kadar bilirubin yang berlebih pada bayi baru lahir
sehingga kadar bilirubin dalam tubuh berada pada kadar yang
normal yang ditandai dengan kulit tidak lagi berwarna kuning.
- Mencegah komplikasi yang dapat disebabkan oleh adanya
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Kriteria hasil
- k/u : baik
- kesadaran : composmentis
- warna kulit bayi tidak kuning
- bayi mau menyusu

Intervensi
Tanda-tanda Warna kuning pada kulit dan sclera mata (tanpa hepatomegaly,
perdarahan kulit dan kejang-kejang)
Kategori Normal Fisiologik Patologik
Penilaian
Daerah icterus 1 1+2 1 sampai 4 1 sampai 5 1 sampai 5
(rumus kremer).
>3 >3 >3 >3
Kuning hari ke: 1-2
5-9 mg% 11-15 mg% >15-20 > 20 mg%
Kadar bilirubin ≤5 mg%
mg%
Penanganan
Tindakan 1. Anjurkan ibu 1. Terus diberi ASI 1. Rujukan ke rumah
mandiri untuk terus eksklusif sakit
2. Jemur di bawah sinar
menyusui
matahari pagi jam 7-9
bayi dengan
selama 30 menit
ASI
3. Anjurkan untuk terapi
eksklusif
sinar
2. Ajarkan cara
menyusui
yang benar
ASI yang
benar.
3. Jemur di
bawah sinar
matahari
pagi jam 7-9
selama 30
menit
4. Nasihat bila
semakin
kuning,
kembali
Tindakan Sama dengan 1. Terapi sinar
2. Pemantauan bayi dan pemberian
kolaborasi diatas
cairan selama terapi sinar
3. Apabila keadaan tidak membaik
dengan foto terapi maka konsultasi
dengan dokter untuk pemberian
terapi lain atau pemeriksaan lainnya

1. Pengambilan sampel darah ibu dan bayi untuk


dilakukan pemeriksaan melalui golongan
darah ibu dan bayi
2. Pemantauan keadaan bayi setelah bayi
dilakukan pemeriksaan hiperbilirubin melalui
golongan darah ibu dan bayi
Pemantauan bayi dan pemberian cairan pada bayi
setelah transfuse tukar

Rasional Intervensi.

Tindakan 1. Lakukan penilaian dan pemeriksaan pada bayi.


Mandiri R/ sebelum membuat rencana dan penatalaksanaan asuhan, maka
bidan harus melakukan penilaian terhadap icterus. Penilaian
dilakukan untuk menetukan berat ringannya icterus yang dialami
bayi, penegakan diagnosis, dan peenentuan keputusan klinik apakah
bayi akan ditatalaksanai secara mandiri, kolaborasi atau rujukan.
2. Jelaskan apa yang sedang dialami oleh bayi dan jelaskan hasil
pemeriksaan pada keluarga.
R/ penjelasan yang diberikan diharapkan dapat memberikan
gambaran kepada keluarga tentang apa yang dialami oleh dan
keadaan bayi.
3. Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI eksklusif
setiap 2 jam sekali.
R/ ada hubungan antara jumlah pemerian ASI selama 3 hari pertama
dengan kadar bilirubin. Semakin banyak jumlah pemberian ASI
semakin rendah kadar bilirubin bayi. Bayi baru lahir harus disusui 8
kali atau lebih setiap hari. Ibu dianjurkan untuk menyusui bayinya
secara teratur dalam 24 jam. Kolostrum ialah laksatif alami yang
membantu meningkatkan pengeluaran meconium. Dengan
pemberian ASI yang sering dan dini akan meningkatkan ekskresi
meconium dan menurunkan kadar bilirubin. (Bobak,2005)
4. Ajarkan ibu cara menyusui yang benar.
R/ kurangnya asupan ASI yang diterima oleh bayi salah satunya
dikarenakan oleh teknik menyusui yang kurang benar. Dengan
teknik menyusui yang kurang benar, ASI yang keluar tidak
maksimal sehingga bayi tidak akan mendapat asupan yang cukup.
Dengan sedikitnya intake ASI, meconium yang dikeluarkan juga
sedikit yang artinya bilirubin yang dapat dikeluarkan dari tubuh bayi
juga sedikit. Maka itu bidan harus mengajarkan cara menyusui yang
benar mulai dari posisi ibu, dan bagaimana posisi bayi supaya bayi
bisa mendapatkan ASI yang optimal.
5. KIE tentang kebutuhan gizi berkaitan dengan produksi ASI.
R/ dengan gizi seimbang dan intake yang adekuat pada ibu
diharapkan ASI dapat berproduksi secara adekuat sehingga bayi
bisa mendapatkan ASI secara optimal untuk mencegah dehidrasi
dan bisa menurunkan kadar bilirubin pada tubuh bayi.
6. Anjurkan ibu untuk menjemur bayinya dibawah sinar matahari
antara pukul 7-9 selama 30 menit dengan posisi berbeda-beda.
R/ terapi dengan sinar matahari cukup mudah untuk dilakukan.
Pukul 7-9 adalah waktu yang tepat dimana sinar ultraviolet cukup
efektif mengurangi kadar bilirubin. Hindari posisi yang membuat
bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.
(Marmi, 2015)
7. Anjurkan untuk segera kembali apabila bayi semakin kuning
R/ dengan ibu segera kembali apabila menemui bayinya semakin
kuning, diharapkan bayi dapat segera dirujuk sehingga mendapat
penatalaksanaan lanjutan yang dapat mencegah terjadinya
komplikasi.

Tindakan 8. Jelaskan pada ibu dan/keluarga tentang terapi yang harus


Kolaborasi dijalani oleh bayi
(langkah R/ dengan penjelasan yang jelas diharapkan keluarga mengetahui
1-7 sama keadaan abayinya dan kooperatif saat bayi dilakukan tindakan.
9. Berikan terapi sinar pada bayi
dengan
R/ dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan
tindakan
menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ
mandiri)
hati, terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak
terus meningkat (marmi, 2015)
10. Anjurkan ibu untuk memompa ASInya dan diletakkan pada
botol bayi.
R/ dengan ibu selalu memompa ASI diharapkan ASI tetap dapat
berproduksi walaupun tidak secara langsung disusukan kepada bayi,
serta mencegah adanya bendungan ASI. Selain itu, ASI perah dapat
diberikan kepada bayi oleh tenaga kesehatan selama terapi sinar
untuk mencegah bayi dehidrasi.
11. Pantau TTV bayi selama terapi sinar.
2.1.40. R/ pemantauan tanda-tanda vital bertujuan untuk mengetahui
apakah bayi dalam keadaan normal atau tidak. Pemantauan suhu
dilakukan setiap 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
(Marmi,2015)
2.1.41. Pemantauan suhu secara cermat untuk menghindari dehidrasi.
(Cunningham, 2006)
12. Pantau pemasukan cairan, pengeluaran feses dan urin, serta
pengeluaran muntah juga diukur, dicatat dan dilakukan
pemantauan tanda dehidrasi.
2.1.42. R/ pada fototerapi terjadi peningkatan kehilangan cairan yang
tidak dapat dihitung, dan tinja sedikit cair, lebih sering berperan
pada kehilangan cairan. Dengan pemantauan pemasukan dan
pengeluaran cairan diharapkan dapat mencegah bayi dari dehidrasi.
(Tom Lissauer dan Avroy A. Fanroff. 2013)
13. Apabila keadaan tidak membaik dengan fototerapi maka
konsultasi dengan dokter untuk pemberian terapi lain atau
pemeriksaan lainnya
R/ dengan selalu memantau keadaan bayi diharapkan tenaga
kesehatan dapat mengetahui perkembangan bayi terhadap terapi
yang diberikan. Apabila terjadi sesuatu yang tidak normal maka
segera konsultasi dengan dokter supaya bayi mendapatkan terapi
lanjutan pada waktu yang tepat sehingga dapat mencegah bayi dari
komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
14. Ambil sampel darah ibu dan bayi untuk dilakukan
pemeriksaan melalui golongan darah ibu dan bayi.
R/ pemeriksaan sampel darah ibu dan bayi dilakukan untuk
mengetahui adanya penyebab yang mengakibatkan
hiperbilirubinemia pada bayi yang berkaitan dengan darah.
15. Pantau keadaan bayi setelah bayi dilakukan pemeriksaan
hiperbilirubin melalui golongan darah ibu dan bayi.
R/ pemantauan dilakukan untuk memastikan keadaan bayi normal
atau tidak
16. Pantau keadaan bayi dan cairan pada bayi setelah transfuse
tukar.
R/ pemantauan dilakukan untuk memastikan keadaan bayi normal
atau ada perubahan reaksi transfusi (Tacykardia, bradikardia,
distress nafas, perubahan tekanan darah secara dramatis,
ketidakstabilan temperatur, dan rash)
Tindakan 1. Lakukan penilaian dan pemeriksaan pada bayi.
R/ sebelum membuat rencana dan penatalaksanaan asuhan, maka
Rujukan
bidan harus melakukan penilaian terhadap icterus. Penilaian
dilakukan untuk menetukan berat ringannya icterus yang dialami
bayi, penegakan diagnosis, dan peenentuan keputusan klinik apakah
bayi akan ditatalaksanai secara mandiri, kolaborasi atau rujukan.
2. Jelaskan apa yang sedang dialami oleh bayi dan jelaskan hasil
pemeriksaan pada keluarga.
R/ penjelasan yang diberikan diharapkan dapat memberikan
gambaran kepada keluarga tentang apa yang dialami oleh dan
keadaan bayi dan keluarga kooperatid terhadap tindakan yang akan
dilakukan.
3. Stabilisasi pasien sebelum dirujuk apabila mengalami susah
nafas atau kejang
R/ untuk mengurangi trauma yang dapat terjadi akibat kurangnya
penanganan awal dan untuk stabilisasi kondisi bayi.
4. Jelaskan kepada keluarga mengapa bayi harus di rujuk serta
jelaskan dampak apabila bayi tidak di rujuk.
R/ dengan diberikannya penjelasan, dihadarpkan keluarga dapat
kooperatif dengan tindakan yang akan dilakukan, dan bisa bekerja
sama untuk tindakan rujukan.
5. Beri keluarga surat persetujuan atau surat penolakan rujukan.
R/ surat persetujuan atau penolakan adalah sebagai bukti bahwa
keluarga menyetujui atau menolak tindakan yang akan dilakukan
6. Rujuk pasien.
R/ dengan merujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas
yang lebih lengkap, diharapkan bayi mendapatkan penanganan
secara tepat sehingga dapat mencegah komplikasi yang mungkin
bisa terjadi dengan prinsip baksokuda

2.5 IMPLEMENTASI
Pelaksanaan asuhan kebidanan mengacu pada rencana tindakan yang telah
disusun berdasarkan diagnosa dan kebutuhan pasien.

2.6 EVALUASI
Evaluasi atau hasil yang diharapkan dari asuhan pada neonatus adalah tidak
terjadi akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit (terutama) dan sklera bayi
(neonatus) tampak kekuningan serta tidak terjadi komplikasi yang lebih berat

Anda mungkin juga menyukai