2. EPIDEMIOLOGI/INSIDEN KASUS
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan
80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan
sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian.
3. ETIOLOGI
a. Penyebab Ikterus fisiologis
1) Kurang protein Y dan Z
2) Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
b. Penyebab ikterus patologis
1) Peningkatan produksi:
a) Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
b) Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
c) Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
d) Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
e) Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) ,
diol (steroid).
f) Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek
meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
g) Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2) Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine,
sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dll.
3) Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi ,
Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis,dll.
4) Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5) Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif, hirschsprung.
4. PATOFISIOLOGI
Hiperbilirubinamia neonatal atau ikterus fisiologis, suatu kadar bilirubin serum total
yang lebih dari 5 mg/dl disebabkan oleh predisposisi neonatal untuk memproduksi bilirubin
dan keterbatasan kemampuan untuk mengekskresikannya. Dari definisinya, tidal ada
ketidaknormalan lain atau proses patologis yang mengakibatkan ikterus. Warna kuning
pada kulit dan membran mukosa adalah karena deposisi pigmen bilirubin tak terkonjugasi.
Sumber utama bilirubin adalah dari pemecahan hemoglobin yang sudah tua atau sel darah
merah yang mengalami hemolisis. Pada neonatus, sel darah merah mengalami pergantian
yang lebih tinggi dan waktu hidup yang lebih pendek, yang meningkatkan kecepatan
produksi bilirubin lebih tinggi. Ketidakmatangan hepar neonatal merupakan faktor yang
membatasi ekskresi bilirubin.
Bilirubin tak terkonjugasi atau indirek bersifat larut lemak dan mengikat albumin
plasma. Bilirubin kemudian diterima oleh hati, tyerdapat konjugasinya. Bilirubin
terkonjugasi atau direk diekskresikan dalam bentuk empedu ke dalam usus. Di dalam usus,
bakteri mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen. Mayoritas urobilinogen
yang sangat mampu larut diekskresikan kembali oleh hepar dan dieliminasikan ke dalam
feses, ginjal mengekskresikan 5% urobilinogen. Peningkatan kerusakan sel darah merah
dan ketidakmatangan hepar tidak hanya menambah peningkatan kadar bilirubin tetapi
bakteri usus lain dapat mendekonjugasi bilirubin yang memungkinkannya direabsorpsi ke
dalam sirkulasi dan selanjutnya meningkatkan kadar bilirubin (Betz dan Sowden, 2009)
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksiksitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tanpa mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis yang
terjadi pada otak apabila bilirubin tadi dapt menembus sawar darah otak. Kelainan yang
terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada umunya dianggap bahwa kelainan pada saraf
pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung
pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila
bayi terdapat keadaan BBLR, hipoksia, hipoglikemia.
5. PATHWAY (terlampir)
6. KLASIFIKASI
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis
( Ngastiyah,1997).
a) Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang
memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, 1997)
1. Timbul pada hari ke-2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
2. Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus
cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
4. Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
5. Ikterus hilang pada 10 hari pertama
6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu
7. Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik.
b) Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Ikterus patologis adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah, 1997) sebagai berikut :
1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah bayi
berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir
BBLR.
2. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR) dan
12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
3. Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
4. Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
5. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD, dan sepsis).
7. GEJALA KLINIS
1) Ikterus pertama kali dapat dilihat pada daerah kepala dan batang tubuh dan
berkembang ke bagian bawah
2) Ikterus dapat dilihat pada sklera, kulit dan membran mukosa
3) Urine menjadi berwarna emas gelap sampai berwarna coklat
4) Kadar bilirubin menurun setelah 5 hari dan biasanya berada dalam batas normal pada
hari kesepuluh kehidupan
8. PEMERIKSAAN FISIK
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui
yang lemah, iritabilitas.
9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a) Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar billirubin lebih dari 14
mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang
tidak fisiologis.
b) Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c) Protein serum total.
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan hapatitis dan atresia
billiari.
(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
10. PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian
ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa
furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan
billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak
begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi
untuk menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada
billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.
8. Infuse albumin
(Sumber: IDAI, 2011)
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Resiko tinggi ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan
kehilangan cairan
b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan reflek
isap
c) Hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
d) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek fototerapi
1 DIAGNOSA
a. Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan
phototerapi.
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. phototerapi
c. Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari phototerapi
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan menelan
3. INTERVENSI
DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL
Resiko tinggi Setelah di lakukan 1.Kaji BBL terhadap 1. Mengetahui ada
ketidakseimban tindakan adanya tidaknya
gan volume keperawatan hiperbilirubinemia hiperbilirubin
cairan selama 3x24 jam setia 2-4 jam lima pada bayi.
berhubungan klien membaik hari pertama
dengan dengan kriteria : kehidupan
peningkatan - Klien tidak 2.Berikan phototerapi 2. Mengurangi
kehilangan menunjukan kadar bilirubin
cairan gejala sisa pada bayi.
neurologis dan
berlanjutnya
komplikasi
phototerapi
4. EVALUASI
a) Diagnosa 1: Kebutuhan cairan pada bayi terpenuhi
b) Diagnosa 2: Kebutuhan nutrisi bayi terpenuhi
c) Diagnosa 3: Bayi tidak mengalami hipertermi
d) Diagnosa 4: Tidak terjadi kerusakan integritas pada kulit bayi
DAFTAR PUSTAKA
Bayi. EGC. Jakarta
,Missouri ; Mosby.
Jakarta : EGC