Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERBILIRUBINEMIA
Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners di Departemen Anak

Disusun Oleh :

ALVINDA MUTIARA RORIMPANDEI

Kelompok 3A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
di temui pada bayi baru lahir dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam
darah >5mg/dL yang secara klinis di tandai oleh adanya ikterus dengan faktor
penyebab fisiologik dan nonfisiologik (Mathindas dkk, 2013).
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir dimana kadar
bilirubin serum total lebih dari 10mg% pada minggu pertama ditandai dengan
ikterus, dikenal dengan ikterus neonatorum yang bersifat patologis atau
hiperbilirubinemia. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir
bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus selama usia minggu pertama terdapat
pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi pretrem. Ikterus adalah gejala
diskolorasi kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa akibat penumpukan bilirubin
(Susi Wdiawati, 2017).

2. Klasifikasi
Menurut Prawirohardjo (2005), yaitu:
a. Hiperbilirubin fisiologis
- Timbulnya pada hari kedua atau ketiga.
- Kadar bilirubin indirek sesudah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
- Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%. (d) Kecepatan peningkatan
kadar bilirubin tak melebihi 1 mg%.
- Hiperbilirubin menghilang pada 10 hari pertama.
- Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
b. Hiperbilirubin patologis
- Hiperbilirubin yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir apabila kadar
bilirubin meningkat melebihi 15 mg%.
- Peningkatan kadar bilirubin 5 mg % atau lebih setiap 24 jam.
- Hiperbilirubin klinis yang menetap setelah bayi berusia > 8 hari atau 14
hari.
- Hiperbilirubin yang disertai proses hemolisis.
- Hiperbilirubin yang disertai berat lahir kurang dan 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, infeksi.
c. Metabolisme bilirubin
Meningkatnya kadar bilirubin dapat disebabkan produksi yang
berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosi yang
menua. Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. 1 gram
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free bilirubin) dan
bentuk inilah yang dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan kern
ikterus. Sumber lain kemungkinan besar dari sumsum tulang dan leher, yang
terjadi dari dua komponen, yaitu komponen non-eritrosit dan komponen
eritrosit yang terbentuk dari eritropoiesis yang tidak sempurna (Surasmi
2003).
Sebagian besar bilirubin yang terkonjungasi ini diekskresikan melalui
duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagai
di absorpasi kembali oleh mukosa usus dan terbetuklah peroses
enterohepatik. Pada janin sebagian bilirubin yang di serap kembali diekskresi
melalui plasenta pada BBL ekskresi memalui plasenta terputus, karna bila
fungsi hepar belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar
akibat hipoksa, asidosis, atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil
transferase atau kekurangan glukosa, maka keadaan bilirubin identik dalam
darah dalam meninggi. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini
terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun, sehingga terjadi akumulasi di
dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak yang akan
meningkatkan gejala sisa di kemudian hari, karna itu bayi penderita
hiperbilirubin sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila dibuktikan bukan
suatu keadaan patologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada
konsentrasi tertentu hiperbilirubin, pemeriksaan lengkap harus dilakukan
untuk mengetahui penyebabnya pengobatan pun dapat di laksanakan secara
dini. Kadar bilirubin yang menimbulkan efek patologis ini disebut
hiperbilirubinemia.

3. Etiologi
a. Peningkatan produksi :
 Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
 Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
 Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
 Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek
meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
 Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
c. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
Toksoplasmosis, Siphilis.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif.
(Maryanti, 2011).

4. Jenis-jenis
Menurut Prawirohardjo (2005) jenis-jenis hiperbilirubin yaitu sebagai berikut :
1) Hiperbilirubin hemolitik
Pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebabkan oleh
inkompabiliatas golongan darah ibu dan bayi, seperti:
a. Inkompabilitas Rhesus
b. Inkompabilitas ABO 20
c. Inkompabilitas golongan darah lain
d. Kelainan eritrosit conginetal
e. Defisiensi enzim G6PD
2) Hiperbilirubin Obstruktiva
Hiperbilirubin yang terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam
hati maupun diluar hati. Akibat sumbatan itu terjadi penumpukan bilirubin tidak
langsung.
3) Hiperbilirubin yang disebabkan oleh hal lain, seperti:
a. Pengaruh hormon atau obat yang mengurangi kesanggupan hepar untuk
mengadakan konjugasi bilirubin.
b. Hipolbuminemia
c. Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin tidak
langsung pada albumin misalnya, sulfafurzole, salsilat dan heparin.
d. Sindroma Griger –Najur. Penyakit ini tidak terdapat atau sangat kurang
glukoronil transferase dalam hepar.
e. Ikterus karena late feeding.
f. Asidosis metabolik.
g. Pemakian vitamin K, kalau dosis melebihi 10 mg %.
4) Kern-hiperbilirubin
Hiperbilirubin ini menimbulkan sindrom neurologis akibat pengendapan
bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak (Nelson, 2002). Pada permulaan
tanda klinik tidak jelas tetapi dapat disebutkan, seperti:
a. Letargi
b. Layuh dan malas minum
c. Hipertonik
d. Opistotonus
e. Tangisan melengking
f. Kejang. Oleh karena itu perlu mengetahui dengan baik kapan terjadinya
ikterus atau hiperbilirubinemia apakah berkepanjangan atau tingkat
intensitasnya meninggi, sehingga dapat melakukan konsultasi atau
merujuk penderita ke rumah sakit (Prawirohardjo, 2005).

5. Tanda dan Gejala


- Letargi (lemas)
- Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan oleh
rendahnya intake kalori
- Kulit berwarna kuning sampai jingga
- Nafsu makan berkurang
- Reflek hisap kurang
- Urine pekat
- Perut buncit
- Pembesaran lien dan hati
- Muntah, anoreksia.
- Feses berwarna seperti dempul.
- Pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan adanya kejang.
- Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
- Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung).
- Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
- Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetes atau infeksi.
- Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari
ke 3 -4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan derajat kuning pada
BBL menurut kramer adalah dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut (Fajria, 2014).
Untuk penilaian hiperbilirubin, Kremer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5
bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian
bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan
kaki serta tangan termasuk telapak tangan (Sarwono, 2006).

Tabel 1. Rumus Kramer


Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg %
2 Daerah 1 (+) badan bagian atas 9 mg %
3 Daerah 1,2 (+) badan bagian bawah dan 11 mg %
tungkai
4 Daerah 1,2,3 (+) lengan dan kaki di bawah lutut 12 mg%
5 Daeraha 1,2,3,4 + tangan dan kaki >12,5 mg %
(Sumber: Marrni dan Rahardjo, 2014)

Derajat I : kepala sampai leher


Derajat II : kepala, badan sampai umbilicus
Derajat III : kepala, badan, paha sampai dengan tungkai
Derajat IV : kepala, badan, paha sampai dibawah lutut
Derajat V : kepala, badan, semua ekstremitas sampai ujung jari
6. Fatofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein
Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut kern ikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusa tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati
sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.
Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar otak apabila bayi terdapat keadaan
berat badan lahir rendah (BBLR), hipoksia dan hipoglikemia. (Markum, 1991)
Secara skematis, patofisiologi hiperbilirubin dapat digambarkan pada pathway
sebagai berikut :

Anemia Hemolisis Hemoglobin

Globin Hema

Bilivirdin Feco

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/gangguan transport


bilirubin/peningkatan siklus entero hepatik), Hb dan eritrosit abnormal

Pemecahan bilirubin berlebih / bilirubin yang tidak berikatan dengan


albumin meningkat

Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar


Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik

Peningkatan bilirubin unconjugned dalam darah, pengeluaran meconeum terlambat, obstruksi


usus, tinja berwarna pucat

Diare Pengeluaran cairan Hiperbilirubinemia


empedu di usus

Bilirubin Bilirubin ikut Otak Icterus pada sklera, leher dan badan
mengendap dalam peredaran darah peningkatan bilirubin indirek > 12 mg/dl
jaringan otak menuju ke otak

Bilirubin terakumulasi
Kernikterus Ikterus Fototerapi
di jaringan

Resiko kerusakan Sinar dengan intensitas tinggi


Kejang
integritas kulit

Resiko cedera

Intake cairan tidak Saraf aferen


Intake Resiko
adekuat merangsang
nutrisi ↓ tinggi
hipotalamus
injury
Kulit kering dan
Ketidakseimbangan nutrisi turgor tidak elastis
kurang dari kebutuhan tubuh Vasokonstriksi
pembuluh darah
Asidosis Defisit volume
metabolik cairan tubuh
Peningkatan suhu
Ikterik tubuh
neonatus Gangguan
Resiko syok
keseimbangan
(hipovolemi)
cairan dan elektrolit
Hipertermi
Sesak

Ansietas Bayi terpisah dari orangtua


Gangguan Gangguan
pertukaran gas oksigenasi

Resiko gangguan
pola asuh
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
 Test Coomb pada tali pusat BBL
 Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody Rh-positif,
anti-A, anti-B dalam darah ibu.
 Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh-
positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
 Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
 Bilirubin total.
 Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis.
 Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24
jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5
mg/dl pada bayi praterm tegantung pada berat badan.
 Protein serum total
 Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan
terutama pada bayi praterm.
 Hitung darah lengkap
 Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
 Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (<
45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
 Glukosa
 Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl atau
test glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai
menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
 Daya ikat karbon dioksida
 Penurunan kadar menunjukkan hemolisis .
 Meter ikterik transkutan
 Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
 Pemeriksaan bilirubin serum
 Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4
hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
 Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl
antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak
fisiologis
 Smear darah perifer
 Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada penyakit
RH atau sperositis pada incompabilitas ABO
 Test Betke-Kleihauer
 Evaluasi smear darah maternal tehadap eritrosit janin.
b. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma.
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic.
d. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar
seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain
itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.

8. Penatalaksanaan
Bila kadar bilirubin serum bayi tinggi sehingga di duga akan terjadi kern ikterik,
maka perlu dilakukan penatalaksanaan khusus. Penanganan terapi khusus antara
lain:
1. Terapi sinar
Terapi sinar diberikan jika bilirubin indirek darah mencapai 15 mg %.
Terapi sinar fototerapi dilakukan selama 24 jam atau setidaknya kadar bilirubin
dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi bilirubin
dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa
harus diubah terlebih dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui
urine dan feses sehingga kadar bilirubin menurun (Marmi dan Rahardjo, 2014).
Penggunaan terapi sinar untuk mengobati hiperbilirubinemia harus
dilakukan dengan hati-hati, karena jenis pengobatan ini dapat menimbulkan
komplikasi, yaitu dapat menyebabkan kerusakan retina, dapat meningkatkan
kehilangan air tidak terasa (insenible water losses), dapat mempengaruhi
pertumbuhan serta perkembangan bayi, denyut jantung dan pernapasan tidak
teratur (Fajria, 2014).
Pelaksanaan pemberian terapi sinar dan yang perlu diperhatikan (Ladewig,
2006) antara lain:
a. Letakkan bayi tanpa mengenakan pakaian di bawah sinar fototerapi,
kecuali untuk menutupi alat kelamin, untuk memaksimalkan pajanan
terhadap sinar.
b. Tutup mata bayi saat disinar.
c. Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam.
d. Pantau asupan dan keluaran setiap 8 jam.
e. Berikan asupan cairan 25% diatas kebutuhan cairan normal. Untuk
memenuhi peningkatan kehilangan cairan yang tidak tampak mata serta
pada feces. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa,
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari
selama bayi masih diterapi sinar.
f. Reposisi bayi sedikitnya setiap 2 jam.
g. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI paling tidak setiap 3 jam.
Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan
penutup mata.
h. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan terapi sinar sebentar untuk
mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru).
Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi setiap 3 jam.
i. Pantau kadar bilirubin setiap 8 jam selama 1 hingga 2 hari pertama atau
setiap pemberian sesuai dengan protokol institusi setelah penghentian
fototerapi.
j. Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin <13 mg/dL (Fajria, 2014).
Tabel 2. Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Berdasarkan
Berat Badan Dan Bayi Baru Lahir Yang Relatif Sehat
(Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL)
Berat Badan Kurang Sehat Sakit
Fototerapi Transfusi Fototerapi Transfusi
Bulan
Tukar Tukar
<1000g 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1001-1500g 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000g 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500g 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan >2500g 15-18 20-25 12-15 18-20
(Sumber : Kosim dkk, 2012)
Tabel 3. Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Pada Bayi
Sehat Cukup Bulan
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL[umol/L])
Usia Pertimbangan Fototerapi Transfusi Transfusi
(Jam) Fototerapi Tukar Jika Tukar &
Fototerapi Fototerapi
Intensif Intensif
25- 48 ≥12 (170) ≥ (260) ≥20 (340) ≥25 (430)
49- 72 ≥15 (260) ≥ (310) ≥25 (430) ≥25 (510)
> 72 ≥17 (290) ≥ (340) ≥25 (430) ≥25 (510)
(Sumber : Kosim dkk, 2012)

2. Tranfusi Pengganti / Tukar


Dilakukan apabila fototerapi tidak dapat mengendalikan kadar bilirubin dengan
tujuan mencegah peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Transfusi tukar
merupakan cara yang dilakukan dengan tindakan pengambilan darah dari
donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai
sebagian besar darah pasien tertukar. Pemberian transfusi tukar dilakukan
apabila kadar bilirubin 20mg/dL, kenaikan kadar bilirubin yang cepat yaitu 0,3-
1 mg/jam, anemia berat dengan gejala gagal jantung dan kadar hemoglobin
tali pusat 14mg/dL, dan uji coombs direk positif. Tujuan transufi tukar:
- Menurunkan kadar bilirubin indirek
- Mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis
- Membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis
- Mengoreksi anemia
Cara pelaksanaan transfusi tukar:
- Dianjurkan pasien bayi berpuasa 3-4 jam sebelum transfusi tukar.
- Pasien disiapkan di kamar khusus.
- Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada bayi. Baringkan pasien
dalam keadaan telentang, buka pakaian pada daerah perut, tutup mata
dengan kain tidak tembus cahaya.
- Pasang monitor jantung, alarm jantung diatur diluar batas 100 –180 kali /
menit.
- Lakukan transfusi tukar dengan protap.
 Masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis
 Melalui kateter, darah bayi dihisap sebanyak 20 cc dimasukkna ke
dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi 28
diambil lagi sebanyk 20 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukkan
darah pengganti dengan jumlah yang sama, demikian siklus pengganti
tersebut diulang sampai selesai.
 Kecepatan menghisap dan memasukkan darah ke dalam tubuh bayi
diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar
berkisar 140 –180 cc/ kg BB tergantung pada tinggi kadar bilirubin
sebelum transfusi tukar (Prawirohardjo, 2005).
- Lakukan observasi keadaan umum pasien, catat jumlah darah yang keluar
dan masuk.
- Atur posisi setiap 6 jam.
- Lakukan pengawasan adanya perdarahan tali pusat.
- Suhu tubuh dipantau dan dijaga dalam batas normal.
- Periksa kadar hemoglobin dan bilirubin tiap 12 jam (Fajria, 2014)
Tabel 4. Indikasi Transfusi Tukar pada BBLR
Berat Badan (gram) Kadar Bilirubin (mg/dL)
<1000 10-12
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
Sumber : (Usman,Ali, 2014)
Darah yang digunakan sebagai darah pengganti (donor darah) ditetapkan
berdasarkan penyebab hiperbilirubinemia. Adapun darah donor yang
digunakan untuk transfusi tukar:
a) Darah yang digunakan golongan O
b) Gunakan darah baru (usia < 7 hari), wholee blood.
c) Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapakan sebelum
dipersiapkan sebelum persalinan harus golongan O dengan Rhesus (-),
lakukan cross match terhadap ibu. Jika darah dipersiapkan setelah
kelahiran, caranya sama, hanya cross match dengan bayinya.
d) Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-)
atau Rhesus yang sma dengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap
ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B.
Biasanya memiliki eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk
memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
e) Pada penyakit hemolitik isomun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di cross match terhadap ibu. Pada
hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah donor
terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.
f) Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange ), yaitu 160
ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan
transfusi tukar sekitar 87% (Usman,Ali, 2014).

9. Komplikasi
a. Retardasi mental : kerusakan neurologis
b. Gangguan pendengaran dan penglihatan
c. Kematian.
d. Kernikterus.

10. Pencegahan
a. Perawatan antenatal yang baik dan pemeriksa kehamilan yang teratur untuk
mencegah sedini mungkin terjadinya infeksi pada janin dan hipoksia, misalnya
karena kesulitan jalan lahir dan lilitan tali pusat.
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan masa
kehamilan dan kelahiran, contoh :sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
c. Memenuhi kebutuhan atau nutrisi
1. Beri minum sesuai kebutuhan. Karena bayi malas minum, berikan
berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dot berikan pakai sendok. Jika
tidak dapat habis berikan melalui sonde.
2. Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika
bukan ASI) mungkin perlu ganti susu.
d. Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus
1. Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar pukul 7
–8 selama 15 –30 menit).
2. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 7 mg% ulang
esok harinya.
3. Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segera
hubungi dokter, bayi perlu terapi.
e. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan
1. Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan.
2. Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya.
3. Mencegah terjadinya infeksi (memperhatikan cara bekerja aseptik).
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Biasa ditemukan pada bayi baru lahir sampai  minggu I, Kejadian
ikterus  :  60 % bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang bulan. Perhatian
utama  :  ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar bilirubin > 5mg/dl dalam 24
jam.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan, dokter. Atau data obyektif : lahir
prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia dan asfiksia.
3) Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan saluran
cerna dan hati ( hepatitis )
5) Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
6) Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu terhadap bayi yang
ikterus.
c. Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
1) Aktivitas / Istirahat
 Letargi, malas.
2) Sirkulasi
 Mungkin pucat menandakan anemia.
3) Eliminasi
 Bising usus hipoaktif.
 Pasase mekonium mungkin lambat.
 Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.
 Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
4) Makanan / Cairan
 Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui
daripada menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum ( reflek
menghisap dan menelan lemah, sehingga BB bayi mengalami
penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limfa,
hepar.
5) Neuro sensori
 Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran
ekstraksi vakum.
 Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada
dengan inkompatibilitas Rh berat.
 Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat opistotonus dengan
kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih,
aktivitas kejang (tahap krisis).
6) Pernafasan
 Riwayat asfiksia
7) Keamanan
 Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus
 Dapat mengalami ekimosis berlebihan, ptekie, perdarahan intracranial.
 Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan berlanjut
pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi Bronze)
sebagai efek samping fototerapi.
8) Seksualitas
 Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan
retardasi pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi dengan ibu
diabetes.
 Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia.
 Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan perempuan.
9) Penyuluhan / Pembelajaran
 Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier, fibrosis
kistik.
 Faktor keluarga : missal riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan
sebelumnya, penyakit hepar, fibrosis kristik, kesalahan metabolisme
saat lahir (galaktosemia), diskrasias darah (sferositosis, defisiensi
gukosa-6-fosfat dehidrogenase.
 Faktor ibu, seperti diabetes ; mencerna obat-obatan (missal, salisilat,
sulfonamide oral pada kehamilan akhir atau nitrofurantoin (Furadantin),
inkompatibilitas Rh/ABO, penyakit infeksi (misal, rubella,
sitomegalovirus, sifilis, toksoplamosis).
 Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm, kelahiran
dengan ekstrasi vakum, induksi oksitosin, perlambatan pengkleman tali
pusat, atau trauma kelahiran.

2. Diagnosa keperawatan yang sering muncul


1) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin
indirek dalam darah, ikterus pada sclera, leher dan badan.
2) Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan
tindakan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi
3) Risiko tinggi cedera terhadap keterlibatan SSP berhubungan dengan
peningkatan bilirubin indirek dalam darah yang bersifat toksik tehhadap otak.
4) Risiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping
fototerapi berhubungan dengan pemaparan sinar dengan intensitas tinggi.
5) Risiko terjadi gangguan suhu tubuh akibat efek samping
fototerapi berhubungan dengan efek mekanisme regulasi tubuh.
6) Risiko tinggi cedera akibat komplikasi tindakan transfusi tukar berhubungan
dengan prosdur invasif, profil darah abnormal.
3. Intervensi keperawatan
Diagnosis
Tujuan Intervensi
Keperawatan
Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor warna dan keadaan kulit setiap 4-8 jam
kulit berhubungan keperawatan selama ......x24 jam, 2. Monitor keadaan bilirubin direk dan indirek ( kolaborasi dengan dokter
dengan peningkatan diharapkan integritas kulit kembali dan analis )
kadar bilirubin indirek baik/ normal dengan 3. Ubah posisi miring atau tengkurap. Perubahan posisi setiap 2 jam
dalam darah, ikterus kriteria hasil : berbarengan dengan perubahan posisi lakukan massage dan monitor
pada sclera leher dan  Kadar bilirubin dalam batas keadaan kulit
badan. normal ( 0,2 – 1,0 mg/dl ) 4. Jaga kebersihan kulit dan kelembaban kulit/ Memandikan dan
 Kulit tidak berwarna kuning/ pemijatan bayi
warna kuning mulai berkurang
 Tidak timbul lecet akibat
penekanan kulit yang terlalu lama
Kurang pengetahuan Setelah diberikan asuhan 1. Berikan informasi tentang penyebab,penanganan dan implikasi masa
keluarga mengenai keperawatan selama ......x 24 jam, datang dari hiperbilirubinemia. Tegaskan atau jelaskan informasi
kondisi, prognosis dan diharapkan pengetahuan keluarga sesuai kebutuhan.
kebutuhan tindakan bertambah dengan kriteria hasil : 2. Tinjau ulang maksud dari mengkaji bayi terhadap peningkatan kadar
berhubungan dengan  Mengungkapkan pemahaman bilirubin ( mis., mengobservasi pemucatan kulit di atas tonjolan tulang
kurangnya paparan tentang penyebab, tindakan, atau perubahan perilaku ) khususnya bila bayi pulang dini.
informasi dan kemungkinan hasil 3. Diskusikan penatalaksanaan di rumah dari ikterik fisiologi ringan atau
hiperbilirubinemia sedang, termasuk peningkatan pemberian makan, pemajanan
 Melatih orang tua bayi langsung pada sinar matahari dan program tindak lanjut tes serum.
memandikan, merawat tali pusat 4. Berikan informasi tentang mempertahankan suplai ASI melalui
dan pijat bayi . penggunaan pompa payudara dan tentang kembali menyusui ASI bila
ikterik memerlukan pemutusan menyusui.
5. Kaji situasi keluarga dan system pendukung.berikan orangtua
penjelasan tertulis yang tepat tentang fototerapi di rumah, daftarkan
teknik dan potensial masalah.
6. Buat pengaturan yang tepat untuk tes tindak lanjut dari bilirubin serum
pada fasilitas laboratorium.
7. Diskusikan kemungkinan efek-efek jangka panjang dari
hiperbilirubinemia dan kebutuhan terhadap pengkajian lanjut dan
intervensi dini
Risiko tinggi cedera Setelah diberikan asuhan 1. Periksa resus darah ABO
terhadap keterlibatan keperawatan selama...........x24 2. Tinjau catatan intrapartum terhadap factor resiko yg khusus, seperti
SSP berhubungan jam, diharapkan kadar bilirubin berat badan lahir rendah (BBLR) atau IUGR, prematuritas, proses
dengan peningkatan menurun dengan kriteria hasi l: metabolic abnormal, cedera vaskuler, sirkulasi abnormal, sepsis, atau
bilirubin indirek dalam  Kadar bilirubin indirek dibawah polisitemia
darah yang bersifat 12 mg/dl pada bayi cukup bulan 3. Perhatikan penggunaan ekstrator vakum untuk kelahiran. Kaji bayi
toksik terhadap otak. pada usia 3 hari terhadap adanya sefalohematoma dan ekimosis atau petekie yang
 Resolusi ikterik pada akhir berlebihan
minggu pertama kehidupan 4. Tinjau ulang kondisi bayi pada kelahiran, perhatikan kebutuhan
 SSP berfungsi  dengan normal terhadap resusitasi atau petunjuk adanya ekimosis atau petekie yang
berlebihan, stress dingin, asfiksia, atau asidosis
5. Pertahankan bayi tetap hangat dan kering, pantau kulit dan suhu inti
dengan sering
6. Mulai memberikan minum oral awal dengan 4 sampai 6 jam setelah
kelahiran, khusus bila bayi diberi ASI. Kaji bayi terhadap tanda-tanda
hipoglikemia. Dapatkan kadar Dextrostix, sesuai indikasi.
7. Evaluasi tingkat nutrisi ibu dan prenatal; perhatikan kemungkinan
hipoproteinemia neonates, khususnya pada bayi praterm.
8. Perhatikan usia bayi pada awitan ikterik; bedakan tipe ikterik (mis,
fisiologis, akibat ASI, atau patologis)
9. Gunakan meter ikterik transkutaneus.
10. Kaji bayi terhadap kemajuan tanda-tanda dan perubahan perilaku;
tahap I meliputi neurodepresan (mis., letargi, hipotonia, atau
penurunan/tidak adanya reflek). Tahap II meliputi neurohiperefleksia
(mis,. Kedutan,kacau mental, opistotonus, atau demam). Tahap III
ditandai dengan tidak adanya manifestasi klinis. Tahap IV meliputi
gejala sisa seperti palsi serebra atau retardasi mental
11. Pantau pemeriksaan laboratorium, sesuai indikasi :
a. Bilirubin direk dan indirek.
b. Tes Coombs darah tali pusat direk/indirek
c. Kekuatan combinasi karbondioksida (CO2)
d. Jumlah retikulosit dan smear perifer.
e. Hb/Ht
f. Protein serum total
g. Hitung kapasitas ikatan plasma bilirubin-albumin
h. Hentikan menyusui ASI selama 24-48 jam, sesuai indikasi. Bantu
ibu sesuai kebutuhan dengan pemompaan panyudara dan
memulai lagi menyusui
12. Berikan agens indikasi enzim (fenobarbital, etanol) bila dibutuhkan.
Risiko tinggi Setelah diberikan asuhan 1. Pantau masukan dan haluan cairan; timbang berat badan bayi 2 kali
kekurangan volume keperawatan  selama .....x 24 jam, sehari.
cairan akibat efek cairan tubuh neonatus adekuat 2. Perhatikan tanda- tanda dehidrasi (mis: penurunan haluaran urine,
samping dengan kriteria hasil : fontanel tertekan, kulit hangat atau kering dengan turgor buruk, dan
fototerapi berhubunga  Tugor kulit baik mata cekung).
n dengan pemaparan  Membran mukosa lembab 3. Perhatikan warna dan frekuensi defekasi dan urine.
sinar dengan intensitas  Intake dan output cairan 4. Tingkatkan masukan cairan per oral sedikitnya 25%. Beri air diantara
tinggi. seimbang menyusui atau memberi susu botol.

 Nadi, respirasi dalam batas 5. Pantau turgor kulit

normal (N: 120-160 x/menit, RR 6. Berikan cairan per parenteral sesuai indikasi

: 35 x/menit ), suhu ( 36,5-37,5


C)
Risiko terjadi Setelah diberikan asuhan 1. Pantau kulit neonates dan suhu inti setiap 2 jam atau lebih sering
gangguan suhu tubuh keperawatan  sampai setabil( mis; suhu aksila) dan Atur suhu incubator dengan tepat
akibat efek samping selama ......x 24 jam, diharapkan 2. Monitor  nadi, dan respirasi
fototerapi berhubunga tidak terjadi gangguan suhu tubuh 3. Monitor intake dan output
n dengan efek dengan kriteria hasil : 4. Pertahankan suhu tubuh 36,50C-370C jika demam lakukan kompres/
mekanisme regulasi  Suhu tubuh dalam rentang axilia
tubuh. normal (36,50C-370C ) 5. Cek tanda-tanda vital setiap 2-4 jam sesuai yang dibutuhkan
 Nadi dan respirasi dalam batas 6. Kolaborasi pemberian antipiretik jika demam.
normal ( N : 120-160 x/menit,
RR : 35 x/menit )
 Membran mukosa lembab
Risiko tinggi cedera Setelah diberikan asuhan 1. Perhatikan kondisi tali pusat bayi sebelum transfuse bila vena umbilical
akibat komplikasi keperawatan, selama ......x 24 jam, digunakan. Bila tali pusat kering, berikan pencucian salin selama 30-60
tindakan transfusi diharapkan tidak terjadi komplikasi menit sebelum prosedur
tukar berhubungan dari transfusi tukar dengan kriteria 2. Pertahankan puasa selama 4 jam sebelum prosedur atau aspirat isi
dengan prosedur hasil : lambung
invasif, profil darah  Menyelesaikan transfusi tukar 3. Jamin ketersediaan alat resusitatif.
abnormal. tanpa komplikasi 4. Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur.
 Menunjukkan penurunan kadar Tempatkan bayi di bawah penyebar hangat dengan servomekanisme.
bilirubin serum. Hangatkan darah sebelum penginfusan dengan menempatkan di
dalam incubator, hangatkan baskom berisi air ataau penghangat
darah.
5. Pastikan golongan darah serta faktor Rh bayi dan ibu. Perhatkan
golongan darah dan factor Rh darah untuk ditukar.
6. Jamin kesegaran darah. Darah yang diberi heparin lebih disukai.
7. Pantau  nadi, warna dan frekuensi pernapasan/kemudahan sebelum,
selama dan setelah transfuse.Lakukan pengisapan jika diperlukan.
8. Catat tanda-tanda atau kejadian selama transfuse, pencatatan jumlah
darah yang diambil dan diinjeksikan.
9. Pantau tanda-tanda keseimbangan elektrolit ( mis; gugup, aktivitas
kejang, dan apnea; hiperefleksia,; bradikardia; atau diare )
10. Kaji bayi terhadap perdarahan bedlebihan dari lokasi I V setelah
transfuse.
11. Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
a. Kadar Hb/Ht sebelum dan setelah transfuse
b. Kadar bilirubin serum segera setelah prosedur, kemudian setiap 4
jam
c. Protein serum total
d. Kalsium dan kalium serum
e. Glukosa
f. Kadar pH serum
12. Berikan albumin sebelum transfuse bila diindikasikan
13. Berikan obat-obatan sesuai indikasi :
 Kalsium glukonat 5 %
 Natrium bikarbonat
 Protamin sulfat
DAFTAR PUSTAKA

Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan
Nasional.

Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta : Salemba
Medika.

Luluk Fajria. Ikterus Neonatorum : PROFESI Vol.10, No.3 September 2013-Februari


2014.

Markum, H. (1991). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.

Marmi, Rahardjo. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta. 2016.

Mansyoer, Arid dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Mathindas, Stefry, dkk. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus : Jurnal Biomedik. Vol.5, No. 1,
S4-10. Maret 2013.

Muslihatum, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Yogyakarta : Fitramaya.

Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo: Jakarta. 2014.

Susi Wdiawati. Hubungan sepsis neonatorum, BBLR dan asfiksia dengan kejadian ikterus
pada bayi baru lahir : Riset Informasi Kesehatan. Vol.6, No.1 Juni 2017.

Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : JNPKKR/POGI dan Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai