HIPERBILIRUBINEMIA
Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners di Departemen Anak
Disusun Oleh :
Kelompok 3A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
di temui pada bayi baru lahir dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam
darah >5mg/dL yang secara klinis di tandai oleh adanya ikterus dengan faktor
penyebab fisiologik dan nonfisiologik (Mathindas dkk, 2013).
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir dimana kadar
bilirubin serum total lebih dari 10mg% pada minggu pertama ditandai dengan
ikterus, dikenal dengan ikterus neonatorum yang bersifat patologis atau
hiperbilirubinemia. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir
bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus selama usia minggu pertama terdapat
pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi pretrem. Ikterus adalah gejala
diskolorasi kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa akibat penumpukan bilirubin
(Susi Wdiawati, 2017).
2. Klasifikasi
Menurut Prawirohardjo (2005), yaitu:
a. Hiperbilirubin fisiologis
- Timbulnya pada hari kedua atau ketiga.
- Kadar bilirubin indirek sesudah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
- Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%. (d) Kecepatan peningkatan
kadar bilirubin tak melebihi 1 mg%.
- Hiperbilirubin menghilang pada 10 hari pertama.
- Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
b. Hiperbilirubin patologis
- Hiperbilirubin yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir apabila kadar
bilirubin meningkat melebihi 15 mg%.
- Peningkatan kadar bilirubin 5 mg % atau lebih setiap 24 jam.
- Hiperbilirubin klinis yang menetap setelah bayi berusia > 8 hari atau 14
hari.
- Hiperbilirubin yang disertai proses hemolisis.
- Hiperbilirubin yang disertai berat lahir kurang dan 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, infeksi.
c. Metabolisme bilirubin
Meningkatnya kadar bilirubin dapat disebabkan produksi yang
berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosi yang
menua. Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. 1 gram
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free bilirubin) dan
bentuk inilah yang dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan kern
ikterus. Sumber lain kemungkinan besar dari sumsum tulang dan leher, yang
terjadi dari dua komponen, yaitu komponen non-eritrosit dan komponen
eritrosit yang terbentuk dari eritropoiesis yang tidak sempurna (Surasmi
2003).
Sebagian besar bilirubin yang terkonjungasi ini diekskresikan melalui
duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagai
di absorpasi kembali oleh mukosa usus dan terbetuklah peroses
enterohepatik. Pada janin sebagian bilirubin yang di serap kembali diekskresi
melalui plasenta pada BBL ekskresi memalui plasenta terputus, karna bila
fungsi hepar belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar
akibat hipoksa, asidosis, atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil
transferase atau kekurangan glukosa, maka keadaan bilirubin identik dalam
darah dalam meninggi. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini
terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun, sehingga terjadi akumulasi di
dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak yang akan
meningkatkan gejala sisa di kemudian hari, karna itu bayi penderita
hiperbilirubin sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila dibuktikan bukan
suatu keadaan patologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada
konsentrasi tertentu hiperbilirubin, pemeriksaan lengkap harus dilakukan
untuk mengetahui penyebabnya pengobatan pun dapat di laksanakan secara
dini. Kadar bilirubin yang menimbulkan efek patologis ini disebut
hiperbilirubinemia.
3. Etiologi
a. Peningkatan produksi :
Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
Defisiensi G6PD ( Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase ).
Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek
meningkat misalnya pada berat badan lahir rendah.
Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine.
c. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
Toksoplasmosis, Siphilis.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif.
(Maryanti, 2011).
4. Jenis-jenis
Menurut Prawirohardjo (2005) jenis-jenis hiperbilirubin yaitu sebagai berikut :
1) Hiperbilirubin hemolitik
Pada umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebabkan oleh
inkompabiliatas golongan darah ibu dan bayi, seperti:
a. Inkompabilitas Rhesus
b. Inkompabilitas ABO 20
c. Inkompabilitas golongan darah lain
d. Kelainan eritrosit conginetal
e. Defisiensi enzim G6PD
2) Hiperbilirubin Obstruktiva
Hiperbilirubin yang terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik dalam
hati maupun diluar hati. Akibat sumbatan itu terjadi penumpukan bilirubin tidak
langsung.
3) Hiperbilirubin yang disebabkan oleh hal lain, seperti:
a. Pengaruh hormon atau obat yang mengurangi kesanggupan hepar untuk
mengadakan konjugasi bilirubin.
b. Hipolbuminemia
c. Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin tidak
langsung pada albumin misalnya, sulfafurzole, salsilat dan heparin.
d. Sindroma Griger –Najur. Penyakit ini tidak terdapat atau sangat kurang
glukoronil transferase dalam hepar.
e. Ikterus karena late feeding.
f. Asidosis metabolik.
g. Pemakian vitamin K, kalau dosis melebihi 10 mg %.
4) Kern-hiperbilirubin
Hiperbilirubin ini menimbulkan sindrom neurologis akibat pengendapan
bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak (Nelson, 2002). Pada permulaan
tanda klinik tidak jelas tetapi dapat disebutkan, seperti:
a. Letargi
b. Layuh dan malas minum
c. Hipertonik
d. Opistotonus
e. Tangisan melengking
f. Kejang. Oleh karena itu perlu mengetahui dengan baik kapan terjadinya
ikterus atau hiperbilirubinemia apakah berkepanjangan atau tingkat
intensitasnya meninggi, sehingga dapat melakukan konsultasi atau
merujuk penderita ke rumah sakit (Prawirohardjo, 2005).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan derajat kuning pada
BBL menurut kramer adalah dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut (Fajria, 2014).
Untuk penilaian hiperbilirubin, Kremer membagi tubuh bayi baru lahir dalam 5
bagian yang dimulai dari kepala dan leher, dada sampai pusat, pusat bagian
bawah sampai tumit, tumit pergelangan kaki dan bahu pergelangan tangan dan
kaki serta tangan termasuk telapak tangan (Sarwono, 2006).
Globin Hema
Bilivirdin Feco
Bilirubin Bilirubin ikut Otak Icterus pada sklera, leher dan badan
mengendap dalam peredaran darah peningkatan bilirubin indirek > 12 mg/dl
jaringan otak menuju ke otak
Bilirubin terakumulasi
Kernikterus Ikterus Fototerapi
di jaringan
Resiko cedera
Resiko gangguan
pola asuh
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium.
Test Coomb pada tali pusat BBL
Hasil positif test Coomb indirek menunjukkan adanya antibody Rh-positif,
anti-A, anti-B dalam darah ibu.
Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh-
positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus.
Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi incompatibilitas ABO.
Bilirubin total.
Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5 mg/dl yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis.
Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi 5 mg/dl dalam 24
jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 1,5
mg/dl pada bayi praterm tegantung pada berat badan.
Protein serum total
Kadar kurang dari 3,0 gr/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan
terutama pada bayi praterm.
Hitung darah lengkap
Hb mungkin rendah (< 14 gr/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (<
45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
Glukosa
Kadar dextrostix mungkin < 45% glukosa darah lengkap <30 mg/dl atau
test glukosa serum < 40 mg/dl, bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai
menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
Daya ikat karbon dioksida
Penurunan kadar menunjukkan hemolisis .
Meter ikterik transkutan
Mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum.
Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4
hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl
antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak
fisiologis
Smear darah perifer
Dapat menunjukkan SDM abnormal/ imatur, eritroblastosis pada penyakit
RH atau sperositis pada incompabilitas ABO
Test Betke-Kleihauer
Evaluasi smear darah maternal tehadap eritrosit janin.
b. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma.
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstra hepatic.
d. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar
seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain
itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
8. Penatalaksanaan
Bila kadar bilirubin serum bayi tinggi sehingga di duga akan terjadi kern ikterik,
maka perlu dilakukan penatalaksanaan khusus. Penanganan terapi khusus antara
lain:
1. Terapi sinar
Terapi sinar diberikan jika bilirubin indirek darah mencapai 15 mg %.
Terapi sinar fototerapi dilakukan selama 24 jam atau setidaknya kadar bilirubin
dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi bilirubin
dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa
harus diubah terlebih dahulu oleh organ hati dan dapat dikeluarkan melalui
urine dan feses sehingga kadar bilirubin menurun (Marmi dan Rahardjo, 2014).
Penggunaan terapi sinar untuk mengobati hiperbilirubinemia harus
dilakukan dengan hati-hati, karena jenis pengobatan ini dapat menimbulkan
komplikasi, yaitu dapat menyebabkan kerusakan retina, dapat meningkatkan
kehilangan air tidak terasa (insenible water losses), dapat mempengaruhi
pertumbuhan serta perkembangan bayi, denyut jantung dan pernapasan tidak
teratur (Fajria, 2014).
Pelaksanaan pemberian terapi sinar dan yang perlu diperhatikan (Ladewig,
2006) antara lain:
a. Letakkan bayi tanpa mengenakan pakaian di bawah sinar fototerapi,
kecuali untuk menutupi alat kelamin, untuk memaksimalkan pajanan
terhadap sinar.
b. Tutup mata bayi saat disinar.
c. Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam.
d. Pantau asupan dan keluaran setiap 8 jam.
e. Berikan asupan cairan 25% diatas kebutuhan cairan normal. Untuk
memenuhi peningkatan kehilangan cairan yang tidak tampak mata serta
pada feces. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa,
tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari
selama bayi masih diterapi sinar.
f. Reposisi bayi sedikitnya setiap 2 jam.
g. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI paling tidak setiap 3 jam.
Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan
penutup mata.
h. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan terapi sinar sebentar untuk
mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru).
Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi setiap 3 jam.
i. Pantau kadar bilirubin setiap 8 jam selama 1 hingga 2 hari pertama atau
setiap pemberian sesuai dengan protokol institusi setelah penghentian
fototerapi.
j. Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin <13 mg/dL (Fajria, 2014).
Tabel 2. Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Berdasarkan
Berat Badan Dan Bayi Baru Lahir Yang Relatif Sehat
(Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL)
Berat Badan Kurang Sehat Sakit
Fototerapi Transfusi Fototerapi Transfusi
Bulan
Tukar Tukar
<1000g 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1001-1500g 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000g 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500g 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan >2500g 15-18 20-25 12-15 18-20
(Sumber : Kosim dkk, 2012)
Tabel 3. Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Pada Bayi
Sehat Cukup Bulan
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL[umol/L])
Usia Pertimbangan Fototerapi Transfusi Transfusi
(Jam) Fototerapi Tukar Jika Tukar &
Fototerapi Fototerapi
Intensif Intensif
25- 48 ≥12 (170) ≥ (260) ≥20 (340) ≥25 (430)
49- 72 ≥15 (260) ≥ (310) ≥25 (430) ≥25 (510)
> 72 ≥17 (290) ≥ (340) ≥25 (430) ≥25 (510)
(Sumber : Kosim dkk, 2012)
9. Komplikasi
a. Retardasi mental : kerusakan neurologis
b. Gangguan pendengaran dan penglihatan
c. Kematian.
d. Kernikterus.
10. Pencegahan
a. Perawatan antenatal yang baik dan pemeriksa kehamilan yang teratur untuk
mencegah sedini mungkin terjadinya infeksi pada janin dan hipoksia, misalnya
karena kesulitan jalan lahir dan lilitan tali pusat.
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan masa
kehamilan dan kelahiran, contoh :sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
c. Memenuhi kebutuhan atau nutrisi
1. Beri minum sesuai kebutuhan. Karena bayi malas minum, berikan
berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dot berikan pakai sendok. Jika
tidak dapat habis berikan melalui sonde.
2. Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika
bukan ASI) mungkin perlu ganti susu.
d. Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus
1. Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar pukul 7
–8 selama 15 –30 menit).
2. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah 7 mg% ulang
esok harinya.
3. Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segera
hubungi dokter, bayi perlu terapi.
e. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan
1. Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan.
2. Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lingkungannya.
3. Mencegah terjadinya infeksi (memperhatikan cara bekerja aseptik).
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Biasa ditemukan pada bayi baru lahir sampai minggu I, Kejadian
ikterus : 60 % bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang bulan. Perhatian
utama : ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar bilirubin > 5mg/dl dalam 24
jam.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan, dokter. Atau data obyektif : lahir
prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia dan asfiksia.
3) Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan saluran
cerna dan hati ( hepatitis )
5) Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
6) Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahan ortu terhadap bayi yang
ikterus.
c. Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
1) Aktivitas / Istirahat
Letargi, malas.
2) Sirkulasi
Mungkin pucat menandakan anemia.
3) Eliminasi
Bising usus hipoaktif.
Pasase mekonium mungkin lambat.
Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.
Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
4) Makanan / Cairan
Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih disusui
daripada menyusu botol. Pada umumnya bayi malas minum ( reflek
menghisap dan menelan lemah, sehingga BB bayi mengalami
penurunan). Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limfa,
hepar.
5) Neuro sensori
Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran
ekstraksi vakum.
Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada
dengan inkompatibilitas Rh berat.
Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat opistotonus dengan
kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih,
aktivitas kejang (tahap krisis).
6) Pernafasan
Riwayat asfiksia
7) Keamanan
Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus
Dapat mengalami ekimosis berlebihan, ptekie, perdarahan intracranial.
Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan berlanjut
pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi Bronze)
sebagai efek samping fototerapi.
8) Seksualitas
Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan
retardasi pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi dengan ibu
diabetes.
Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia.
Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan perempuan.
9) Penyuluhan / Pembelajaran
Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier, fibrosis
kistik.
Faktor keluarga : missal riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan
sebelumnya, penyakit hepar, fibrosis kristik, kesalahan metabolisme
saat lahir (galaktosemia), diskrasias darah (sferositosis, defisiensi
gukosa-6-fosfat dehidrogenase.
Faktor ibu, seperti diabetes ; mencerna obat-obatan (missal, salisilat,
sulfonamide oral pada kehamilan akhir atau nitrofurantoin (Furadantin),
inkompatibilitas Rh/ABO, penyakit infeksi (misal, rubella,
sitomegalovirus, sifilis, toksoplamosis).
Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm, kelahiran
dengan ekstrasi vakum, induksi oksitosin, perlambatan pengkleman tali
pusat, atau trauma kelahiran.
normal (N: 120-160 x/menit, RR 6. Berikan cairan per parenteral sesuai indikasi
Khosim, M. Sholeh, dkk. 2008. Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta : Perpustakaan
Nasional.
Lia Dewi, Vivian Nanny, 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak balita. Jakarta : Salemba
Medika.
Marmi, Rahardjo. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta. 2016.
Mansyoer, Arid dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Mathindas, Stefry, dkk. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus : Jurnal Biomedik. Vol.5, No. 1,
S4-10. Maret 2013.
Muslihatum, Wafi Nur. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Yogyakarta : Fitramaya.
Susi Wdiawati. Hubungan sepsis neonatorum, BBLR dan asfiksia dengan kejadian ikterus
pada bayi baru lahir : Riset Informasi Kesehatan. Vol.6, No.1 Juni 2017.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : JNPKKR/POGI dan Yayasan Bina Pustaka.