Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners di Departemen Medikal

di Ruang 28 RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:

Alvinda Mutiara Rorimpandei

190070300111007

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019
Laporan Pendahuluan SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

1. Definisi
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf (Silvia &
Lorraine, 2006).
SLE adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi infeksi, mulai
menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa yang
diserang oleh sistem imun disebut autoantigen (Laura K. DeLong, 2012).
SLE merupakan penyakit autoimun kronis yang tanda dan gejalanya dapat menetap
selama lebih dari enam minggu dan seringnya hingga beberapa tahun (Lupus
Foundation of America 2012).
SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu yang menyebabkan
produksi berlebihan dari autoantibodi. Pada kondisi normal tubuh manusia, antibodi
diproduksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing (virus, kuman,
bakteri, dll). Namun pada kondisi SLE, antibodi tersebut kehilangan kemampuan untuk
membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus, sel B dan
sel T berkontribusi pada respon imun penyakit SLE ini (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010).

2. Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab SLE masih belum sepenuhnya dimengerti, namun beberapa ahli
berpendapat bahwa penyebab SLE berasal dari beberapa faktor, yaitu: genetik,
lingkungan (sinar UV, obat-obatan, infeksi, trauma/kecelakaan), faktor internal (stres
emosional, stres fisik, demam, dan hormon estrogen) (Lupus Foundation of America
2012; Stichweh & Pascual 2005).
a. Faktor Genetik dan Epigenetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel HLA-
DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8 (Bertsias G., Cervera R., Boumpas DT.,
2012). Interaksi antara kerentanan gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan,
menghasilkan respons imun abnormal. Respon imun mencakup hipereaktivitas dan
hipersensitivitas limfosit T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang
tidak efektif. Hipereaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi
molekul permukaan seperti HLA-D dan CD40L, menunjukkan bahwa sel mudah
teraktivasi oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh molekul
yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua. Hasil akhir anomali
ini adalah produksi autoantibodi patogen dan pembentukan kompleks imun yang
mengikat jaringan target, menghasilkan (1)sekuestrasi dan destruksi Ig-coated
circulating cells; (2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan (3) pelepasan
kemotaksin, peptida vasoaktif, dan enzim destruktif ke jaringan (Bertsias G., Cervera
R., Boumpas DT., 2012). Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE yang
ditujukan pada kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom,
beberapa jenis RNA nukleus, dan RNA spliceosomal (Muthusamy, 2017).
Molekul intrasel yang meningkat selama aktivasi atau kerusakan sel bermigrasi
ke permukaan sel. Antigen yang dekat dengan atau terdapat di permukaan sel ini
dapat mengaktivasi sistem imun untuk menghasilkan autoantibodi. Pada individu
dengan SLE, fagositosis dan penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak
mumpuni. Jadi, pada SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang
dikenali oleh sistem imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan
dalam jangka waktu yang lebih lama, memungkinkan kerusakan jaringan
terakumulasi pada titik kritis (Maidhof W, 2012).
Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang melawan
konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum pasien dengan
SLE. Serum pasien dengan SLE dapat dikenali dari keberadaan antibodi di serum
terhadap antigen nukleus (antinuclearantibodies, atau ANA) (Maidhof W, 2012).
Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita
SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko
terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20
kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum (Isbagio H, 2009).
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA
(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen 8 MHC (Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik (Maidhof W,
2012). Penderita SLE (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen,
seperti C2,C4, atau C1q. Kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-
DR2) telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala
SLE nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala
musculoskeletal (Rindhi, 2014). Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan
sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu
terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal
membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon
imun (Muthusamy, 2017).
Genome-wide assosiation studies (GWAS) menggunakan ratusan hingga ribuan
marker single nucleotide polymoprhism (SNP) untuk penyakit SLE. GWAS telah
mengkonfirmasi kepentingan dari gen yang berkaitan dengan respon imun dan
inflamasi (HLA-DR, PTPN22, STAT4, IRF5, BLK, OX40L, FCGR2A, BANK1, SPP1,
IRAK1, TNFAIP3, C2, C4, CIq, PXK), DNA repairs (TREX1), adherence of
inflammatory cells to the endothelium (ITGAM), dan tissue response to injury (KLK1,
KLK3). Temuan ini mengedepankan pentingnya jalur sinyal Toll-like receptor (TLR)
dan interferon tipe 1 (IFN). Gen STAT4 yang merupakan faktor risiko genetik
terhadap artritis rheumatoid dan SLE dikaitkan dengan kejadian SLE berat. Salah
satu komponen penentu dari jalur-jalur ini adalah TNFAIP3 yang telah diketahui
berperan dalam 6 (enam) kelainan autoimun termasuk SLE (Bertsias G., Cervera R.,
Boumpas DT., 2012; Wahyuni, 2018).
Risiko untuk penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti metilasi
DNA dan modifikasi histon pasca translasi yang dapat terjadi baik diturunkan atau
modifikasi oleh lingkungan. Terkait dengan mekanisme epigenetik dini djelaskan
dengan fakta bahwa terdapat perbedaan bentuk SLE yang terjadi pada kembar
identik. Epigenetik menggambarkan adanya perubahan yang diwariskan dalam
ekspresi gen yang disebabkan oleh mekanisme selain perubahan urutan basa DNA
(Bertsias G., Cervera R., Boumpas DT., 2012).
 Autoantibodi
Gangguan imunologi utama pada pasien SLE adalah adanya produksi
autontibodi. Autoantibodi ini tertuju kepada molekul self yang ditemukan pada
nukleus, sitoplasma, dan permukaan sel. Antinuclear antibody (ANA) adalah
karakteristik dan ditemukan pada hampir 95% pasien. Anti-double stranded DNA
(anti dsDNA) dan anti-smith juga merupakan ciri khas SLE. Antigen untuk Anti-
Sm adalah small nuclear ribonucleoprotein (snRNP). Berikut adalah tabel terkait
jenis autoantibodi yang berperan dalam SLE dan prevalensinya (American
College of Rheumatology, 2012).
Incidence Antigen Clinical importance
% detected

Antinuclear 98 Multiple Substrat sel manusia lebih sensitive


antibodies nuclear dari murine. Pemeriksaan negatif
yang berturut-turut menyingkirkan
SLE.

Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE; Anti-dsDNA.


Titer yang tinggi berkorelasi dengan
nephritis dan tingkat aktivitas SLE.

Anti-Sm 30 Protein Spesifik untuk SLE.


complexed
to 6 species
or small
nuclear
RNA

Anti-RNP 40 Protein Titer tinggi pada sindrom dengan


complexed manifestasi polimyositis,
to U1RNA scleroderma, SLE dan mixed
connective tissue disease. Jika +
tanpa anti-DNA, resiko untuk
nephritis rendah.

Anti-Ro(SS- 30 Protein Berhubungan dengan Sjorgen’s


A) complexed Syndrome, subacute cutaneus SLE,
to y1-y5 inherited C’deficiencies, ANA-
RNA. negative SLE, SLE in eldery,
neonatal SLE, congenital
heart block. Dapat menyebabkan
nephritis.

Anti-La(SS- 10 Phosphopr Selalu berhubungan dengan anti-


B) otein Ro. Resiko nephritis rendah bila +.
Berhubungan dengan Sjorgen’s
Synd.

Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced


SLE (95%) dari pada spontaneous
SLE.
Antiphospho 50 Phospholipi 3 tipe- SLE anticoagulant (LA),
lipid d anticardiolipin (aCL), dan false
positive test for syphilis (BFP). LA
dan aCL berhubungan dengan
clotting, fetal loss,
thrombocytopenia, valvular heart
disease. Antibodi pada β2-
glycoprotein I bagian dari grup ini.

Antierythroc 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini


yte dapat mrnnyebabkan hemolisis.

Antiplatelet 30 Platelet Berhubungan dengan


surface + thrombocytopenia pada 15%
cytoplasma penderita.

Antilymphoc 70 Lymphocyt Kemungkinan berhubungan dengan


yte e surface leukopenia dan abnormal fungsi sel
T.

Antiribosom 20 Ribosomal Berhubungan dengan psikosis atau


al P protein depresi dengan CNS SLE.

 Apoptosis
Apoptosis merupakan proses yang menyebabkan kematian sel secara
terprogram atau programmed cell death. Tujuannya adalah supaya konten
intraseluler tidak terbebas ke microenvironment ekstraseluler. Pada kondisi
normal, sel apoptotis di makan oleh makrofag tanpa menginduksi inflamasi
maupun respon imun (Bertsias G., Cervera R., Boumpas DT., 2012).
Pada SLE, terjadi peningkatan apoptosis sel sehingga meningkatnya peluang
untuk terjadinya leakage dari antigen intraseluler yang mampu menginduksi
system imun dan terjadinya pembetukan immune complexes. Clearance
terhadap sel apoptotik ini oleh makrofag juga terganggu sehingga terjadinya
penumpukan antigen intraseluler (American College of Rheumatology, 2012).
Penyebab defek pada clearance sel apoptosis pada SLE masih belum jelas. Ini
mungkin terkait dengan menurunnya jumlah protein komplemen C2, C4 dan C1q
seperti yang dibahas di bagian gen. Reseptor C1q pada permukaan fagosit
sangat berperan pada clearance sel apoptosis. Penderita dengan defisiensi
homozigus pada komponen komplemen tersebut akan menunjukkan gejala yang
lebih parah (Bertsias G., Cervera R., Boumpas DT., 2012).

 Gangguan respon imun


SLE dikenal sebagai penyakit autoimun dengan berbagai penyimpangan dari
system imun dasar yang melibatkan sel B, sel T, dan sel dari monocytic lineage
yang berakibat aktivasi sel B poliklonal, peningkatan produksi autoantibodi dan
pembentukan kompleks imun. Terjadi loss of tolerance pada sel T dan sel B pada
penderita SLE. Ini menyebabkan produksi antibodi IgG yang mengenal self
antigen termasuk DNA, DNA-protein complexes dan RNA-protein complexes
(Lisnevskaia L, Murphy G, Isenberg D., 2014).
Aktivasi sel B dan T memerlukan stimulasi dari antigen yang spesifik. Bahan
kimia, DNA dan fosfolipid dari dinding sel bakteri dan antigen virus dapat memicu
produksi autoantibodi pada mencit. Self antigen seperti protein DNA dan RNA
juga bisa memicu produksi autoantibodi. Antigen-antigen ini di kenal oleh antigen
presenting cell, kemudian diproses menjadi peptide dan mempresentasikan
peptide tersebut kepada sel T. Sel T yang teraktivasi akan menstimulasi sel B
untuk memproduksi autoantibodi. Interaksi antara sel T dan sel B ini memerlukan
beberapa sitokin seperti IL-10 dan beberapa molekul aksesoris seperti
CD40/CD40L (Isbagio H, 2009).
Aktivasi sel B pada pasien SLE adalah abnormal, dimana didapatkan
peningkatan jumah sel B yang teraktivasi di sirkulasi darah perifer. Sel B pada
pasien SLE dikatakan lebih sensitif terhadap efek stimulasi sitokin seperti IL-6.
Sel B pada pasien SLE lebih cenderung untuk melakukan aktivasi poliklonal
terhadap stimuli antigen dan sitokin. Pada penderita SLE, didapatkan
peningkatan respon Th2 sekaligus produksi sitokin Th2 yang berlebihan. IL-10
merupakan sitokin yang merupakan stimulator yang poten untuk proliferasi dan
differensiasi sel B. IL-10 juga merupakan mediator potensial untuk aktivasi
poliklonal sel B pada SLE (Kuhn et al., 2015).

b. Faktor Lingkungan
Berdasarkan literatur, dari sinar UV (dari matahari dan/atau bola lampu
fluorosens), obat-obatan (golongan antibiotika: Tetrasiklin, Penicillin, anti-fungal,
golongan sulfa; dan golongan non-antibiotika: anti-convulsan, antihipertensi, pil
kontrasepsi), infeksi, demam, trauma/kecelakaan, stres emosional (perceraian,
kematian anggota keluarga, kondisi sakit, atau masalah kehidupan lainnya), dan
stres fisik (kelelahan, pembedahan, kekerasan, kehamilan, persalinan) dapat
meningkatkan resiko SLE (Lupus Foundation of America 2012; Nadhiroh 2007;
Stichweh & Pascual 2005).
Paparan kepada cahaya matahari dikenal sebagai faktor yang bias menginduksi
dan menyebabkan eksaserbasi SLE sistemik dan kutaneus. Sinar UV, khususnya
UVB merupakan trigger utama pada penderita SLE. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan menyebabkan kematian sel keratinosit yang akhirnya menyebabkan
peningkatan antigen sitoplasma dan nukleus. Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita SLE, dan memegang peranan dalam fase
induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator (Rahman A, Isenberg DA., 2008).
Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena SLE berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatic, dikenal sebagai
penyebab SLE-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan SLE yang diinduksi
obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir (Rindhi, 2014).
Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita SLE.
Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit
(Isbagio H, 2009). Obat seperti antikonvulsan dan antibiotik (khususnya minocycline)
dapat menyebabkan SLE. Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid (Astuti, 2008). Beberapa obat antirematik dapat
menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE (Lockshin, M.
D., 2007).
Menelan jumlah yang sangat besar kecambah 6 alfalfa juga dapat menyebabkan
SLE, pemicu aktif muncul menjadi L-canvanine. Asam amino esensial L-canavanine
dicurigai sebagai penyebab SLE. Pajanan terhadap asam amino ini menyebabkan
manifestasi singkat autoimun pada manusia (Isbagio H, 2009).
Dari virus dan bakteri dalam memicu SLE tetap jelas meskipun perlu penelitian
yang cukup besar. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah
penting dalam menyebabkan SLE (Muthusamy, 2017). Virus rubella, sitomegalovirus
dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. Infeksi virus Epstein-
Barr (EBV) juga dikaitkan dengan timbulnya SLE karena meginduksi respon imun
spesifik dengan molecular mimicracy dan mengganggu regulasi imun (Lupus
Foundation of America 2012; Tekano, Jenny, 2007).

c. Faktor Hormonal
SLE berhubungan erat dengan estrogen, seperti yang sering terjadi pada wanita
usia reproduksi. Insiden SLE meningkat setelah pubertas dan menurun setelah
menopause. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian
menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan
sistem imun (Lupus Foundation of America 2012).
Peningkatan konsentrasi estrogen memfasilitasi respon humoral yang berakibat
peningkatan proliferasi sel B dan produksi antibody (Isbagio H, 2009). Peningkatan
estrogen juga menyebabkan inhibisi respon sel T seperti proliferasi dan penghasilan
IL-2. Estrogen memperparah SLE dengan memperpanjang survival sel autoimun,
meningkatkan produksi sitokin tipe Th2 dan menstimulsi sel B untuk memproduksi
antibodi. Inhibisi respon Th1 dan peningkatan ekspresi CD40L pada sel T penderita
lupus meningkatkan kinerja Th2 dan akhirnya menyebabkan hiperaktifitas sel B
(Lupus Foundation of America 2012).
Kesuburan penderita SLE sama dengan populasi wanita bukan SLE. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya
ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60%
eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum
konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Pengaruh kehamilan pada
SLE terhadap fetus adalah adanya kemungkinan peningkatan risiko terjadi fetal heart
block (kongenital) sebesar 2%. Kejadian ini berhubungan dengan adanya antibodi
anti Ro/SSA atau anti La/SSB. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan
eklampsia juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor
predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS) (Kasjmir, Yoga dkk.,
2011).

3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, stress, infeksi) (Lupus Foundation of America 2012). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat
senyawa kimia atau obat-obatan (Astuti, 2008; Isbagio H, 2009).
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel
T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali (Lupus Foundation of America, 2012).
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu (Bertsias G., Cervera R., Boumpas DT.,
2012):
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun
sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun: sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekuler

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibodi (American College of Rheumatology, 2012).
Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun
akan mengaktivasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang
merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif amin seperti histamin yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular yang akan memudahkan
mengendapnya kompleks imun Bertsias G., Cervera R., Boumpas DT., 2012).
Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/system, sehingga
menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut. Sistem komplemen juga
akan menyebabkan lisis selaput sel, sehingga akan memperberat kerusakan jaringan
yang terjadi (Lisnevskaia L, Murphy G, Isenberg D., 2014). Kondisi inilah yang
menimbulkan manifestasi klinik SLE bergantung pada organ/sistem mana yang terkena.
Pada plasenta proses tersebut akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidua
(Kasjmir, Yoga dkk., 2011).
4. Pathway

Genetik Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan

System regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibodi

Penumpukan kompleks imun Kerusakan jaringan

Muskuloskeletal Integumen Kardiovaskuler Respirasi Vaskuler Darah

Pembengkakan sendi Lesi akut Perikarditis Penumpukan Inflamasi Pembekuan


pada kulit cairan pada pd arterior darah dalam
pleura terminalis vena
Nyeri tekan, rasa Penumpukan
nyeri ketika bergerak Pasien merasa cairan efusi
malu dengan pada Efusi Lesi Stroke dan
kondisinya perikardium pleura popular emboli paru
Nyeri akut diujung
kaki, tumit
Gangguan Penebalan Ekspansi dan siku Jumlah
citra tubuh perikardium dada tidak trombosit
adekuat berkurang
Resiko
Kerusakan
infeksi
Kontraksi integritas
jantung Ketidakefektif kulit
an pola nafas Perdarahan

Penurunan
Anemia
curah
jantung

Ketidakefektifan
perfusi jaringan
perifer
5. Gejala dan Minfestasi Klinis
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu (Kasjmir, Yoga dkk., 2011):
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan
berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis.
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butter•ly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik.
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,
gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit
lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya.
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik)
yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR). Berikut
adalah tabel terkait kriteria diagnosis SLE (Kasjmir, Yoga dkk., 2011).
Tabel 2. Kriteria Diagnosis SLE
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
(Butterfly rash) cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.

Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratolitik dan sumbatan folikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofi.
Fotosensitifitas Ruam kulit atau bercak yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis
Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.

Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial fricton rub atau


Perikarditis terdapat bukti efusi pericardium.
Gangguan Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
renal dilakukanpemeriksaan kuantitatif.
Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran
Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
neurologi metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit).

Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan


metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit).
Gangguan Anemia hemolitik dengan retikulosis.
hemodinamik Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih.
Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih.
Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan.
Gangguan Anti--DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal
imunologik Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap anti gen nuklear Sm
Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:
kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard, atau
Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Antibodi anti Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
nuclear positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
(ANA) waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang
diperlukan.
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Keparahan dapat
bervariasi dari ringan ke sedang hingga parah atau bahkan membahayakan hidup.
Karena perbedaan multisistem dari manifestasi klinisnya, lupus telah menggantikan sifilis
sebagai great imitator.
1) Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif. Penurunan berat
badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat badan, khususnya
pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi 7 lebih jelas pada
tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling
umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Aktivitas
penyakit, efek samping pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan factor
psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional.
2) Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam
yang telah ada sebelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan
(exagerrated sunburn), atau gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan
sinar matahari atau sumber cahaya buatan. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas,
yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung yang membagi
lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly rash. Ruam ini
dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat
meradang, bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini
hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat di wajah, leher, dan kulit kepala. Lupus kutis akut
dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar ultraviolet.
Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpajan sinar
matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V di leher) tanpa pajanan sinar
matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo reticularis, eritema
periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau
kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul
akibat lesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia
bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid 8 dikepala. Ulkus oral dan nasal
cukup sering terjadi dan harus dibedakan dari infeksi virus maupun jamur. Mata dan
mulut kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi autoimun pada
kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin tumpang tindih dengan sindrom Sjögren.
Umumnya mata dan mulut kering merupakan efek samping pengobatan.
3) Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan
nyeri, bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah
deformitas Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun berkurang dan tidak
terbukti secara radiologis menyebabkan destruksi kartilago dan tulang. Kelemahan
otot biasanya merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria, namun
myositis dengan peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasanya merupakan
gejala yang tumpang tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur
tendon dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid. Osteonekrosis
(nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan
gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia,
dan talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat
disebabkan oleh penyakit, efek samping pengobatan, glucocorticoid with drawal
syndrome, endokrinopati, dan faktor psikogenik.
4) Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal posisional dan
terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi, atau dalam
kasus kronik penebalan dan fibrosis perikardium. Tamponade atau hemodinamik
konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis
jarang terjadi, namun harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada
tidak khas, perubahan EKG minimal, aritmia, atau perubahan hemodinamik.
Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati dilatasi, dengan tanda gagal jantung
kiri.
Endokarditis trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali tidak
menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup
aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis prematur dengan angina pektoris dan infark
miokardium merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang yang
paling serius.Fenomena Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari,
sering ditemukan pada SLE. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien
SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien
SLE. aPL dapat menyebabkan trombosis arteri dan vena spontan pada semua
ukuran pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C
dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya
trombosis, namun defisiensi faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan
terjadinyatrombosis vena dibanding trombosis arteri.
5) Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi
dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain
mungkin hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru, 10
pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk, hemoptisis, serta infiltrate
paru jarang terjadi namun dapat membahayakan hidup. Pneumonitis lupus kronik
dengan perubahan fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan
perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Emboli paru rekuren
disebabkan oleh antibody antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.
6) Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak
menimbulkan gejala sampai glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang
menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimal, termasuk
proteinuria ringan dan hematuria mikroskopik; sindrom nefrotik, dengan proteinuria
berat, hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi; atau
sindrom nefritik, dengan hipertensi, sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada
sediaan sedimen urin, dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan
peningkatan kreatinin serum dan uremia.
7) Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang
merujuk pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki
manifestasi obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang,
khorea, ataksia, stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini diagnosis
dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti
peningkatan kadar protein, pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada CT
scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea; atau
bahkan pada biopsi leptomeningeal, dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatif
lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus ini, cairan
serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal, dan diagnosis banding dari
penyakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan.
Masalah lain adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering
ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang berat dan
menyerupai migren yang hanya responsif terhadap glukokortikoid merupakan kasus
yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat menggambarkan
vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.
8) Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, khas
untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan
komplikasi abdomen yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan
dengan terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis
dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan
kegawatan bedah akut. Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit
atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang dihubungkan
dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan dengan hepatitis
autoimun melalui gambaran histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat menyebabkan perlemakan
hati dengan peningkatan transaminase ringan.
9) Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan temuan yang sering
namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat
disebabkan oleh hemolisis, dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin
rendah, dan kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi.
Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis eritropoietin dan 12
mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan
perdarahan ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan. Leukopenia dan
limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng
dkk menghubungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada
pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan oleh glukokortikoid. Trombositopenia
ringan (100000 sampai 150 000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.
Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl), disebabkan oleh
antibodiantiplatelet, dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkin
didiagnosis sebagai purpura trombositopenik idiopatik.
10) Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit
aktif. Mata kering dapat menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom Sjögren.
Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optik atau oklusi
arteri atau vena retina.
11) Late Lupus Syndrome
Sindrom ini disebabkan oleh kerusakan organ tahap akhir akibat SLE dan efek
samping pengobatan, khususnya akibat penggunaan glukokortikoid jangka panjang.
Sindrom ini dikenali dengan penyakit arteriosklerotik luas, atrofi kulit,
osteoporosis,osteonekrosis, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, insufisiensi
adrenal, gangguan kognitif, depresi, dan deconditioning. Keadaan ini dapat
membatasi long-termsurvival dan kualitas hidup pasien.

6. Klasifikasi
Ada tiga jenis type lupus:
a. Cutaneous Lupus. Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya
terbatas pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka,
leher, atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit
yang terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski
terdapat beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah
ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi tidak gatal (Tekano, Jenny, 2007).
b. Discoid Lupus. Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam
organ. Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan
kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun
organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat
memasuki masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain
penyakit ini dapat menjadi aktif (flare) (Ward et al., 2009).
c. Drug-induced lupus. Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem
syaraf. Obat yang umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis
hidralazin (untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk
penanganan detak jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang
memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4% dari orang yang
mengkonsumsi obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4%
itu, sedikit sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka
gejala lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya (Ward et al., 2009).
Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus
selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang organ atau
sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meski
begitu, pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau
jaringan lain (American College of Rheumatology, 2012).
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium dan mungkin tidak
memenuhi kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR) (Tabel 2), yang
didefinisikan dan divalidasi untuk keperluan uji klinis.
 Derajat Keparahan Penyakit SLE
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan
adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
a) Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
b) Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
c) Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia <20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis
vena atau arteri.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Jika SLE dicurigai berdasarkan temuan klinis (tabel 2) maka dilakukan pengujian
laboratorium untuk mendukung diagnosis. Tingkat sedimentasi eritrosit yang tinggi
merupakan karakteristik untuk SLE aktif, protein C-reaktif biasanya normal atau hanya
sedikit meningkat. Hitung darah standar atau diferensial dapat mengungkapkan
sitopenia seperti trombositopenia dan/atau leukopenia dan limfopenia, serta perubahan
hematologis lebih lanjut seperti anemia hemolitik autoimun. Parameter ginjal harus
mencakup kreatinin serum, status urin dan sedimen. Antibodi antinuklear (ANA) harus
dianalisis dengan tes imunofluoresensi tidak langsung (sel HEp-2) (Kuhn, 2015).
1. Pemeriksaan dan monitoring setelah di diagnosis SLE
 Pemeriksaan laboratorium
- Erythrocyte sedimentation rate
- Blood count, differential blood count
- Creatinine
- Urinary status and sediment
- Antinuclear antibodies (ANA) (HEp-2 cell test with fluorescence pattern)
 Pemeriksaan laboratorium lebih lanjut setelah skrining positif (terutama dalam
kasus ANA positif)
- Further differentiation of ANA (particularly anti-Sm, -Ro/SSA, -La/SSB, -
U1RNP antibodies, etc.)
- Anti-dsDNA antibodies (ELISA; confirmation by radioimmunoassay or
immunofluorescence test with Crithidia luciliae)
- Complement C3, C4
- Antiphospholipid antibodies, lupus anticoagulant
- Glomerular filtration rate; 24-hour urine (if urine protein positive), alternatively:
protein/creatinine ratio in single urine sample; investigation for dysmorphic
erythrocytes in sediment
- Liver enzymes; lactate dehydrogenase; creatine kinase in presence of
muscular symptoms
- Further laboratory tests depending on clinical symptoms
- Screening for comorbidities
- Assessment of vaccination status (vaccination recommendations)
 Tindak lanjut (SLE: setiap 3 hingga 6 bulan tergantung pada perjalanan penyakit;
lupus nephritis: awalnya setiap 2 hingga 4 minggu untuk 2 hingga 4 bulan
pertama)
- Medical history (including new symptoms, comedication, infections), physical
examination
- Evaluate disease activity with standardized score
- Evaluate damage according to standardized score (1 ×/year)
- Repeat screening for comorbidities (at least 1 ×/year)
- Ocular examination in patients taking hydroxychloroquine or chloroquine:
baseline, then every 6 months (currently being revised by the German Society
of Rheumatology in light of recommendations from the USA) (e30, e31)
- Laboratory tests
- Erythrocyte sedimentation rate
- C-reactive protein (in suspected infection or pleurisy)
- Blood count, differential blood count
- Creatinine
- Liver enzymes
- Urinary status (protein/creatinine ratio, 24-hour urine and microscopic
examination of urinary sediment as needed)
- Complement C3, C4
- Anti-dsDNA antibodies
- Instrument-based diagnostics as needed
Pada pasien dengan ANA positif dan pola fluoresensi yang homogen, akan berguna
untuk menentukan antibodi anti-dsDNA. Temuan ELISA (sensitivitas tinggi, spesifisitas
rendah) harus dikonfirmasi oleh radioimmunoassay (RIA, juga dikenal sebagai uji Farr;
spesifisitas tinggi, cocok untuk pemantauan). Alternatif untuk RIA, yang tidak tersedia di
semua laboratorium karena kebutuhan bahan radioaktifnya, adalah tes imunofluoresensi
Crithidia luciliae (spesifisitas tinggi, sensitivitas rendah). Selain antibodi anti-dsDNA
(prevalensi 70 hingga 98%), antibodi anti-Sm (prevalensi 14 hingga 40%) adalah antibodi
penanda spesifik SLE. C3 dan C4 harus ditentukan sebagai indikator konsumsi
komplemen atau kekurangan.
Jalannya SLE ditandai oleh eksaserbasi dan remisi; Namun, titer ANA tidak
berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Sebaliknya, antibodi anti-dsDNA sering meningkat
beberapa bulan sebelum penyakit kambuh, sejalan dengan penurunan faktor
komplemen. Sebagai akibatnya, aktivitas penyakit harus dipantau secara ketat
khususnya terkait dengan keterlibatan ginjal.
2. Pemeriksaan diagnostik lebih lanjut tergantung pada gejala SLE dan harus dilakukan
bekerjasama dengan spesialis medis dari disiplin ilmu yang sesuai. Dalam kasus
manifestasi kulit, dokter kulit harus dikonsultasikan untuk biopsi kulit dan/atau lesi
membran mukosa oral (histologi/imunofluoresensi) untuk keperluan diagnosis
banding. Pemeriksaan Diagnostik khusus organ yang sesuai dengan kebutuhan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Pemeriksaan Diagnostik
Kulit/membran Biopsi: histologi, imunofluoresensi jika diindikasikan
mukosa mulut
Persendian Sinar-X konvensional, Arthrosonography, Magnetic
resonance imaging (MRI)
Otot Creatine kinase, Elektromiografi, MRI, Biopsi otot
Ginjal Sonografi dan Biopsi ginjal
Paru/Jantung Rontgen dada, Thoracic high-resolution computed
tomography (HR-CT), Tes fungsi paru-paru termasuk
kapasitas difusi, Bilas bronchoalveolar,
(Transesophageal) ekokardiografi, Kateterisasi jantung,
MRI Jantung, Skintigrafi miokard, Angiografi koroner
Mata Funduscopy/investigasi khusus pada pasien dengan
antimalaria
Sistem saraf pusat Elektroensefalografi, MRI kranial, teknik MRI khusus jika
dan perifer diindikasikan, Computed tomography, Analisis cairan
serebrospinal, Transcranial Doppler/angiography,
Pemeriksaan neuropsikiatri, Pengukuran kecepatan
konduksi saraf

8. Penatalaksanaan
Secara garis besar, penatalaksanaan SLE meliputi penatalaksanaan non
farmakologis dan penatalaksanaan farmakologis seperti berikut (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011):
1) Penatalaksanaan Non Farmakologis
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi,
sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang
berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar
yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan mencakup
penatalaksanaan umum dan terapi konservatif. Bentuk penanganan umum pasien
dengan SLE antara lain :
a) Edukasi/Konseling
Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi
atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan
latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu
pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi
dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik
berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang
cukup memadai tentang berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi,
dan derajat keparahan penyakit yang berbeda-beda, sehingga penderita SLE
memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang berlebihan.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik
akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan
keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE
dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan
kesehariannya.
b) Rehabilitasi
Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga
30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama
lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar
1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk
mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau
dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau
spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical
nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien
dengan nyeri atau kekakuan otot.
c) Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
dari pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang
berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga
peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya
mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi
aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.
d) Merokok
Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena
Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang
terkandung pada rokok.
e) Cuaca
Pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya
menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.
f) Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma
fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen
limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK
(Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit,
sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya.
Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik
sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan
memperbaiki penyakitnya.
g) Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang
berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa minyak ikan yang mengandung eicosapentanoic acid dan
docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-
lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita
dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali
normal.
h) Sinar UV
Sinar UV mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320
dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama
pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu
tersebut.
i) Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan
memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan
penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis
jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.
2) Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan
dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap
pasien. Tabel berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta
pemantauannya (Nugroho, 2015).

Tabel 4. Jenis, Dosis obat yang dipakai pada SLE serta Pemantauannya
Tabel 5. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui
Tabel 6. Rekomendasi terapi lupus nefritis
Tabel 7. Penilaian Aktivitas Penyakit SLE Menggunakan MEX-SLEDAI
(bila terdapat gambaran deskripsi pada saat pemeriksaan atau dalam 10 hari)
Bobot Deskripsi Definisi
8 Gangguan Psikosa. Gangguan kemampuan melaksanakan ak•vitas
neurologis fungsi normal dikarenakan gangguan persepsi realitas.
Termasuk: halusinasi, inkoheren, kehilangan berasosiasi, isi
pikiran yang dangkal, berfikir yang •dak logis, bizzare,
disorganisasi atau bertingkah laku kataton. Eksklusi :uremia
dan pemakaian obat.
CVA (Cerebrovascular accident ) : Sindrom baru. Eksklusi
arteriosklerosis.
Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau
pemakaian obat.
Sindrom otak organik : Keadaan berubahnya fungsi mental
yang ditandai dengan gangguan orientasi, memori atau
fungsi intelektual lainnya dengan onset yang cepat,
gambaran klinis
yang berfluktuasi. Seperti : a) kesadaran yang berkabut
dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran
dan ketidakmampuan memberikan perha• an terhadap
lingkungan, disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan
persepsi; berbicara melantur; insomnia atau perasaan
mengantuk sepanjang hari; meningkat atau menurunnya
ak•vitas psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi
atau penggunaan obat.
Mononeuritis: Defi sit sensorik atau motorik yang baru disatu
atau lebih saraf kranial atau perifer.
Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol
BAK/BAB dengan onset yang baru. Eksklusi penyebab
lainnya.
6 Gangguan Castc, Heme granular atau sel darah merah. Haematuria. >5
GInjal /lpb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi) Proteinuria.
Onset baru, >0.5g/l pada random spesimen. Peningkatan
kreatnine (> 5 mg/dl).
4 Vaskulitis Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages. Data biopsi atau
angiogram dari vaskulitis.
3 Hemolisis Hb<12.0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%.
Trombositopeni Trombositopeni : < 100.000. Bukan disebabkan oleh obat.
3 Miositis Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan
dengan peningkatan CPK.
2 Artritis Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi.
2 Gangguan Ruam malar. Onset baru atau malar erithema yang menonjol.
Mukokutaneous Mucous ulcers. Oral atau nasopharyngeal ulserasi dengan
onset baru atau berulang. Abnormal Alopenia. Kehilangan
sebagaian atau seluruh rambut atau mudahnya rambut
rontok.
2 Serositis Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi
pleura pada pemeriksaan fisik.
Pericarditis. Terdapatnya nyeri pericardial atau terdengarnya
rub.
Peritonitis. Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan
rebound tenderness (Eksklusi penyakit intra-abdominal).
1 Demam Demam > 38o C sesudah eksklusi infeksi.
Fatigue Fa!gue yang tidak dapat dijelaskan.
1 Lekopenia Sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat.
Limfopeni Limfosit < 1200.mm3, bukan akibat obat.
TOTAL SKOR MEX-SLEDAI

Algoritma penatalaksanaan SLE

Ket:
- TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh.
- KS adalah kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin,
OAINS obat anti inflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.
 Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.
a) Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat
awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurang- kurangnya 15 (SPF 15).
b) Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara (lihat algoritme terapi SLE).
c) Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan SLE berat sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan
obat-obatan.
- Glukokortikoid Dosis Tinggi : Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40
– 60 mg/hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang
kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian
metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g/hari selama 3 hari bertutut-turut.
- Obat Imunosupresan atau Sitotoksik : Terdapat beberapa obat kelompok
imunosupresan/sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin,
siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan
tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan
imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.

Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiin•lamasi dan imunosupresi. Dosis
KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan pato•isiologi dan
farmakokinetiknya. Terminologi pembagian kortikosteroid:

 Indikasi Pemberian Kortikosteroid


Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis
rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang
sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse
diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus,
lupus cerebral.
Tabel 8. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid Pada Reumatologi
Tabel 9. Efek Samping Yang Sering Ditemui Pada Pemakaian Kortikosteroid

 Cara Pemberian Kortikosteroid


Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa,
induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan
dosis 0,5-1 gram metilprednisolon (MP).
Prosedur tindakan:
1. Periksalah penderita dengan seksama, jika terdapat infeksi, pastikan inisial
antibiotik telah diberikan.
2. Periksa tanda vital dan keadaan pasien sebelum pemberian pulse terapi
3. Jelaskan kepada penderita tentang makna pemberian pulse metilprednisolon dan
kemungkinan efek sampingnya, jika penderita/ keluarga menyetujui mintalah
tanda tangan pada surat persetujuan tindakan (informed consent).
4. Pasang infus pada penderita sesuai prosedur
5. Masukkan methylprednisolon (500 atau 1000 mg) ke dalam NaCl 0,9 % 100 cc
dan diberikan dalam 1 jam
6. Monitor tekanan darah dan tanda vital lain setiap 15 menit selama pemberian
pulse terapi
7. Jika didapatkan tekanan darah meningkat atau menurun drastis, pemberian
dihentikan sementara, atasi tekanan darah. Jika tekanan darah telah teratasi
pemberian dapat dilanjutkan dengan kecepatan yang lebih perlahan, dan tetap
dimonitor
8. Bilas dengan NaCl 0,9% 10-20 cc setelah infus selesai
9. Pemberian diulang pada hari berikutnya dengan cara dan dosis yang sama, total
pemberian 3 hari berturut-turut.
 Cara pengurangan dosis kortikosteroid
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis KS mulai dikurangi
segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati
untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan de isiensi kortisol yang muncul
akibat penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara
bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari
penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg
setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5
mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison <20 mg/hari. Selanjutnya
dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.
 Sparing agen kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan
dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering
digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil,
siklofosfamid dan metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk
mengurangi efek samping KS.

3) Observasi
Batasan operasional observasi adalah dilakukannya secara aktif menyangkut gejala
dan tanda baru terkait dengan perjalanan penyakit dan efek pengobatan/efek
sampingnya, baik yang dapat diperkirakan maupun tidak memerlukan observasi
yang tepat. Proses ini dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan adalah:
a) Anamnesis : demam, penurunan BB, kelelahan, rambut rontok meningkat, nyeri
dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap kali
pasien SLE datang berobat.
b) Fisik : Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran
mukosa, lesi vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan •isik yang
baik. Bantuan pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis mata perlu dilakukan
bila dicurigai adanya perburukan fungsi mata atau jika klorokuin/hidroksiklorokuin
diberikan.
9. Komplikasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-sel
tetapi hanya 50% yang menderita nefritis SLE (peradangan ginjal yang menetap)
pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis
atau pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita SLE. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias terjadi
pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang,
pesikosa, sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan
sistem saraf yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita SLE bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru.
Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor
pembekuan darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada SLE bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut
timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita SLE mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jaringan
tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan
bahu sering merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal hidung.
Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.
10. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, gatal-gatal, kaku,
demam, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari
pasien.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu apakah pernah menderita penyakit
ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah, riwayat pemakaian obat-obatan
hidralazin, prokainamid,isoniazid, kontrasepsi oral dll, riwayat terinfeksi virus dan
Terekspos bahan kimia.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Apa pasien pernah/sedang mengalami misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam
discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan: artaralgia/arthritis, demam,
kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut, nausea, vomitus, kesulitan makan.
a. Mulai kapan keluhan dirasakan.
b. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
c. Keluhan-keluhan lain menyertai.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun dan atau infeksi berulang.
5) Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang sama
atau penyakit autoimun yang lain
7) Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau
efusi pleura.
b) B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup
pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
dibawah atau sisi lateral tangan.
c) B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif),
orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan
kejang-kejang.
d) B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus)
e) B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan agen cedera.


2. Ketidakstabilan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan defisit imunologi.

3. Perencanaan/Intervensi
a) Nyeri akut/kronis berhubungan dengan agen cedera.
Tujuan: nyeri berkurang
Intervensi:
NOC: Pain control, Pain level
NIC: Pain management
1. Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen nyeri
2. Tingkat istirahat dan tidur yang adekuat
3. Kelola antianalgesik
4. Jelaskan pada pasien penyebab nyeri
5. Lakukan tehnik nonfarmakologis ( relaksasi masase punggung)

b) Ketidakstabilan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi.


Tujuan : suhu stabil
Intervensi:
NOC: hermoregulation
NIC: Fever treatment, Temperature regulation
1. Monitoring suhu berkala
2. Monitoring warna dan suhu kulit
3. Monitoring WBC,Hb dan Hct
4. Monitoring intake output
5. Beri kompres pada lipatan paha dan axila
6. Kolaborasi pemberian
Antipireutik
Cairan intravena
7. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada mukosa mulut.
Tujuan : nutrisi dapat terpenuhi
Intervensi:
NOC: Activity tolerance, Energy conservation, Nutritional status:energy
NIC: Nutrition Management, Fluid Management
1. Monitor intake nutrisi
2. Informasikan pada pasien dan keluarga tentang manfaat nutrisi
3. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan.
4. Atur posisi semifowler tinggi selama makan
5. Kelola pemberian antiemetic
6. Anjurkan banyak minum
DAFTAR PUSTAKA

America, L.F. 2012. Understanding Lupus. Available at: www.lupus.org. Diakses pada 04
Desember 2019.
American College of Rheumatology. 2012. Systemic Lupus Erythematosus (Junvile).
http://www.rheumatology.org/I-Am-A/PatientCaregiver/DiseasesConditions/
Systemic-Lupus-Erythematosus-Juvenile. Diakses pada 04 Desember 2019.
Asuhan Keperawatan Anak dengan SLE. 2017. Program Studi Ilmu Keperawatan . Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_peneliti
an_1_dir/3bd26838561de03985bfae69c574e734.pdf. Diakses pada 04 Desember
2019.
Fatmawati. 2018. Regulasi Diri pada Penyakit Kronis—Systemic Lupus Erythematosus:
Kajian Literatur. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto, Jawa Timur.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 21 No.1, Maret 2018, hal 43-50 pISSN
1410-4490, eISSN 2354-9203 DOI: 10.7454/jki.v21i1.542. http://jki.ui.ac.id/in
dex.php/jki/article/view/542/607.
Foundation, S.L.E.L., 2012. About lupus. Available at: www.lupusny.org. Diakses pada 04
Desember 2019.
Isbagio, H., Kasjmir, YI., Setyohadi, B., dan Suarjuna, N., 2010. Lupus Eritematosus
Sistemik. Dalam: Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., editors Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi V. Jakarta: InternaPublishing.
Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk
Diagnosis dan Pengelolaan SLE Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia.
Kuhn et al.,. 2015. The Diagnosis and Treatment of Systemic Lupus Erythematosus.
Deutsches Ärzteblatt International. 112: 423–32. https://www.ncbi.nlm.nih.
gov/pmc/articles/PMC4558874/pdf/Dtsch_Arztebl_Int-112-0423.pdf.
Laura K. DeLong, MD, M., 2012. Vitamin D Status, Disease Specific and Quality of Life
Outcomes in Patients With Cutaneous Lupus-Full Text View-ClinicalTrials.gov,
Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE (Ni Putu Wulan P.S.) 219
Atlanta, Georgia, United States, 30322. Available at: https://clinicaltrials.gov
/ct2/show/NCT01 498406. Diakses pada 04 Desember 2019.
Lockshin, M. D., 2007,Biology of the sex and age distribution of systemic lupus
erythematosus, Arthritis Care & Research, 57(4),608-611, cit Irawati, S., Prayitno,
A., Angel, dan Safitri, R.H., 2015, Studi Pendahuluan Profil Penggunaan Obat dan
Kepatuhan terhadap Pengobatan pada Pasien EFEK SAMPING PENGOBATAN
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK PADA PASIEN LUPUS DI INSTALASI
RAWAT JALAN RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA PERIODE MARET 2016
YUTSKHINA MUSAARAH Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari
http://etd.repository.ugm.ac.id/ 83 Lupus di Komunitas, Jurnal Sains Farmasi &
Klinis 2(1): 78 – 83, Ikatan Apoteker Indonesia, Sumatera Barat.
Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007. Diagnosis And Management Of Systemic Lupus
Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2. Published By
Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.
Maidhof W, Hilas O. 2012. Lupus: An Overview of the Disease And Management Options.
P&T. Vol.37.
Muthusamy. 2017. Systemic Lupus Erythematosus. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4b5af7f9d2503f
55a347e689e5d7f2ab.pdf. Diakses pada 04 Desember 2019.
Nadhiroh, F., 2007. Lupus: penyakit seribu wajah dominan menyerang wanita. Pdf.
Nugroho, CG., Yuktiana Kharisma, Dicky Santosa., 2015. Gambaran Umum
Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus pada Pasien Rawat Jalan di
Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung. dari: Prosiding Penelitian Sivitas Akademika
Unisba.http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/dokter/article/download/1298/pdf.
Diakses pada 04 Desember 2019.
Putri, A., 2014. Prevalensi Manifestasi Oral Pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus di
Komunitas Lupus (Cinta Kupu) Sumatera Utara. Medan. Skripsi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.http://repository.usu.ac.id/bitstream
/handle/123456789/41834/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y. Diakses
pada 04 Desember 2019.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Stichweh, D. & Pascual, V., 2005. Systemic lupus erythematosus in children. An Pediatr
(Barc), 63(4), pp.321–329. Available at: www.analesdepediatria.org/en/pdf/13079
815/S300/. Diakses pada 04 Desember 2019.
Sari. 2014. Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE. Fakultas Keperawatan,
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-
219. https://pdfs.semanticscholar.org/c00c/d8fbd7f32f4dc88d3e5949532875d5
9e5d25.pdf. Diakses pada 04 Desember 2019.
Pertiwi. 2010. Pemeriksaan Autoantibodi pada SLE. http://cyber.unissula.ac.id/journal
/dosen/publikasi/210199051/8151dr_danis_mjlah_sultan_agung_vol_xlvi_no_120
_pebruari_2010.pdf. Diakses pada 04 Desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai