Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN ANALISIS PROSEDUR PEMASANGAN INFUS DAN

PEMBERIAN CAIRAN PADA ANAK


Laporan Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Profesi Ners Departemen Anak
yang Dibimbing Oleh Ns. Nurona Azizah, S.Kep, M.Biomed.

Oleh :
Kelompok 3A – Kelompok 2

Alvinda Mutiara Rorimpandei 190070300111007


Azka Qothrunnada 190070300111004
Oktavia Indriyani 190070300111060
Achmad Novan Zubairi 190070300111064
Arum Sekarini Cahyaningtias 190070300111037

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
PROSEDUR PEMASANGAN INFUS

Link video : https://www.youtube.com/watch?v=PbJbjGzwLho (Pemasangan infus pada


Balita)

Dalam prosedur pemasangan infus pada video terdapat beberapa pelaksanaan yang
setelah disesuaikan dengan SOP di RSUD Saiful Anwar Malang, RS Pertamina Tanjung, RS
Citama Bogor dan RS Persada Malang didapatkan beberapa perbedaan langkah-langkah
pelaksanaan pada video dengan beberapa SOP yang didapatkan. Kelebihan dan
kekurangan pelaksanaan prosedur pemasangan infus pada video diantaranya :

KELEBIHAN :
1. Sebelum melakukan tindakan, perawat melakukan perkenalan dengan
menyampaikan nama perawat, tujuan tindakan, dan meminta inform consent kepada
orangtua anak.
2. Pada pelaksanaan pemasangan infus pada balita, perawat telah menggunakan
handscoon sebagai APD. Penggunaan APD tersebut penting dilakukan perawat
sebagai alat perlindungan diri. Pada beberapa SOP yang sudah didapatkan tidak
mencantumkan perawat untuk memakai handscoon, tetapi pada praktiknya
(pelaksanaan pemasangan infus di video) perawat sudah mengenakan handscoon.
Karena pemasangan infus sendiri beresiko tinggi untuk perawat terkontaminasi dari
cairan pasien (darah).
3. Pemasangan tourniquet yang dilakukan oleh perawat sudah sesuai dengan beberapa
referensi SOP yang didapatkan yaitu sekitar 5 – 10 cm dari daerah insersi infus.
Dengan jarak pemasangan tourniquet tersebut diharapkan dapat membendung vena
lebih optimal. Karena jika terlalu dekat maka akan mengganggu proses masuknya
kanula infus pada vena pasien, sedangkan jika jarak terlalu jauh maka akan
menyebabkan hasil bendungan tidak optimal dan vena kemungkinan tidak nampak.
4. Pemberian spalek atau papan pada tangan pasien di pelaksanaan pemasangan infus
pasien balita opsional menyesuaikan dengan kondisi pasien apakah kooperatif atau
tidak. Beberapa SOP yang didapatpun tidak mewajibkan untuk pemakaian spalek
untuk pemasangan infus pada anak. Pemberian spalek sendiri untuk mencegah
pergeseran dari infus yang sudah dipasang, karakteristik anak sendiri pergerakan
yang tidak terkontrol, tidak dapat menahan ketidaknyamanan sehingga infus yang
terpasang tanpa spalek akan beresiko untuk macet atau bahkan lepas. Sehingga
pemberian spalek pada pemasangan infus untuk balita dapat diberikan.
KEKURANGAN
1. Beberapa SOP dari rumah sakit yang sudah didapat menampilkan mengenai
persiapan alat dan bahan, tetapi pada video belum ditunjukkan adanya persiapan
alat. Dengan ditampilkan alat yang dibutuhkan oleh perawat saat melaksanakan
prosedur dapat meminimalisir alat tertinggal atau kurang, sehingga menghemat
waktu perawat dalam satu kali waktu pemasangan infus pada pasien.
2. Perawat tidak melakukan cuci tangan 6 langkah pada 5 moment cuci tangan untuk
tenaga medis di ruangan. Cuci tangan 6 langkah sesuai dengan 5 momen bertujuan
agar saat hendak melakukan tindakan ke pasien perawat atau tenaga medis tidak
memberikan media penyebaran mikroorganisme pada pasien. Dengan menunjukkan
adanya prosedur cuci tangan 6 langkah dapat membersihkan seluruh bagian tangan
sehingga meminimalisir perpindahan mikroorganisme dari tangan perawat ke pasien.
3. Perawat tidak melakukan identifikasi pasien saat melakukan prosedur pemasangan
infus. Melakukan identifikasi pasien dengan sedikitnya 2 identitas pasien mencegah
untuk perawat salah memberikan penanganan. Dengan melakukan identifikasi pasien
kembali sebelum melakukan prosedur dengan menanyakan nama, mencocokkan
nomor registrasi, atau tanggal lahir dapat mencegah terjadinya kejadian tidak
diinginkan.
4. Pelaksanaan tindakan perawat menggunakan teknik usapan desinfektan satu kali
usapan dengan arah keluar/kebawah tidak sesuai dengan SOP desinfektan yang
direkomendasikan yaitu dengan arah sirkuler sejauh 2 – 5cm pada daerah yang akan
ditusuk. Pemberian teknik sirkuler digunakan agar daerah yang sudah didesinfeksi
tidak terkontaminasi.
5. Perawat memberikan plester tidak tembus pandang pada area insersi/lokasi
penusukan, pada pelaksanaan pemasangan infus menggunakan plaster hipafik.
Penggunaan plaster tembus pandang bertujuan untuk memudahkan perawat
memantau adanya tanda-tanda phlebitis atau inflamasi pada area penusukan.
6. Pelaksanaan pemasangan infus tidak memberikan perlak sebagai alas. Pemberian
perlak sebagai alas untuk pemasangan infus baik dilakukan untuk mencegah cairan
pasien (darah) bercecer atau menetes pada linen.
7. Perawat tidak menuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus di lokasi
pemasangan infus pasien. Penulisan waktu penting untuk dokumentasi serta
memantau flebitis dan kapan penggantian venvlon/abokat akan dilakukan.

SARAN
1. Prosedur pelaksanaan medis dan asuhan keperawatan hendaknya dilakukan sesuai
dengan standar operasional yang berlaku pada masing-masing ruangan. Namun
tetap tidak melupakan prinsip dari seluruh pelaksanaan tindakan. Pemberian salam,
memperkenalkan diri, identifikasi pasien, menjelaskan prosedur dan tujuannya,
inform consent, serta persiapan lingkungan untuk memberi kepercayaan dan
kenyamanan pada pasien maupun keluarga.
2. Pelaksanaan cuci tangan 6 langkah pada 5 moment cuci tangan selalu ditekankan
pada prosedur terutama prosedur aseptik untuk meminimalisir penyebaran
mikroorganisme dari pasien satu ke pasien lainnya. Sehingga pencantuman cuci
tangan 6 langkah perlu dimasukkan dalam poin prosedur SOP.
3. Persiapan lingkungan perlu dilakukan perawat sebelum melakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan. Seperti menyiapkan pencahayaan yang cukup, memberi
pasien privasi seperti memberi sketsel atau menutup dengan tirai. Selain
memberikan privasi kepada pasien, juga menghindari pasien lain untuk takut jika
dilakukan prosedur yang sama.
4. Perawat sebaiknya melakukan tindakan/mengkondisikan diri untuk membantu pasien
dalam mengenalkan tindakan yang dilakukan, karena pasien adalah anak-anak.
Selama proses hospitalisasi, anak akan beralih dari “zona nyamannya” dan akan
dihadapkan dengan berbagai bentuk kejadian seperti suasana lingkungan yang baru,
perubahan pola interaksi sosial dan berbagai bentuk tindakan medis yang dapat
menjadi sebuah stimulus kecemasan dan frustasi bagi mereka (Hager, 2010). Dalam
prosedur pemasangan infus, anak tentunya akan mengalami rasa sakit (nyeri)
dengan tingkat skala nyeri yang berbeda. Keterbatasan pengetahuan pada anak usia
bawah tiga tahun dapat menyebabkan anak mengalami berbagai hal yang bersifat
traumatis dan rasa takut yang berlebih (Suririnah, 2010). Ketakutan tersebut dapat
menyebabkan anak menjadi tidak kooperatif (menolak atau tidak bersedia) dalam
menjalankan beberapa tindakan perawatan selama di rumah sakit . Dalam kondisi
seperti ini, anak dapat menunjukan respon seperti menangis, berteriak, memukul,
menendang, melemparkan diri ke lantai, membenturkan kepala ke tembok, dan lain-
lain. Jadi diperlukan inovasi perawat untuk membuat anak kooperatif dan nyaman
selama hospitalisasi, seperti perawat menggunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk anak seperti berbicara dengan nada rendah dan lambat agar anak mengerti,
kontak mata yang ekspresif, bercerita tentang mainan atau kesukaan anak-anak.
Selain itu perawat bisa menggunakan media seperti mainan boneka, robot-robotan,
aksesoris dalam baki, atau yang lainnya (Topcu, 2019; Asih, 2012).
5. Perlu dilakukan pendokumentasian setelah perawat melakukan tindakan insersi
pemasangan infus yang berupa tanggal insersi, lokasi insersi, ukuran venvlon/abocat,
tipe infueset (makro/mikro), jenis cairan yang diberikan. Pendokumentasian yang
lengkap akan membantu perawat dalam memonitoring kondisi insersi serta
mencegah resiko infeksi, pembengkakan atau phlebitis sehingga dapat terdeteksi
lebih awal (Park, Soon Mi dkk. 2015).
6. Praktik pelaksanaan SOP yang sudah dibuat perlu dilakukan evaluasi setiap jangka
waktu tertentu untuk menciptakan prosedur perawatan yang terbaik dan sesuai
dengan guideline yang terbaru. Sehingga pelaksanaan dapat lebih optimal dan
didapatkan standar operasional prosedur yang terbaik.
PEMBERIAN CAIRAN

A. Jenis Selang Infus, Jenis Kateter Intravena Dan Cara Menghitung Tetesan Infus
1. Makro drip
Infus set makro sering dipakai untuk pasien dewasa karena pada infus set ini
debit cairan yang dikeluarkan lebih besar, sehingga diharapkan pemenuhan cairan
untuk pasien lebih cepat namun untuk kasus tertentu ada kalanya infus set makro
juga dapakai untuk anak-anak.

Rumus penghitungan tetesan infus untuk infus set makro

Jumlah tetesan permenit = Jumlah kebutuhan caitan (ml) x faktor tetes makro

Waktu dalam menit

Keterangan faktor tetes makro = 20

Jadi dengan rumus diatas kita dapat menghitung jumlah tetesan yang harus
diatur agar kebutuhan cairan pasien dapat sesuai dengan yang diharapkan.

 Contoh soal penghitungan tetesan infus makro


Apabila seorang pasien datang kerumah sakit dan setelah diperiksa, dokter
menginstruksikan agar diberikan cairan RL sebanyak 500ml dalam waktu 1 jam
menggunakan infus set makro.
Jawab penyelesaian:

Jumlah tetesan permenit = 500 ml x 20

60

Jumlah tetesan permenit = 10.000

60

Jumlah tetesan permenit = 166,7

Jadi, berdasarkan perhitungan diatas untuk memasukkan cairan RL sejumlah


500ml dalam waktu 1 jam kita harus mengatur tetesan infus dalam satu menit 166,7
tpm, namun biasanya dibulatkan menjadi 167.
Catatan: ubahlah waktu yang diberikan kedalam bentuk menit.
2. Mikro drip
Infus set makro sering dipakai untuk pasien anak-anak karena pada infus set ini
debit cairan yang dikeluarkan 3x lebih sedikit dibandingkan infus set makro, namun
pada kasus tertentu ada kalanya infus set mikro juga dapakai untuk dewasa. Berikut
rumus menghitung tetesan infus untuk set infus mikro. Sebenarnya rumus yang
dugunakan sama saja dengan rumus yang digunakan menhitung tetesan infus untuk
set infus makro, Namun yang membedakan hanyalah faktor tetesnya.

Rumus penghitungan tetesan infus untuk infus set mikro

Jumlah tetesan permenit = Jumlah kebutuhan caitan (ml) x faktor tetes mIkro

Waktu dalam menit

Keterangan faktor tetes makro = 60

Jadi dengan rumus diatas kita dapat menghitung jumlah tetesan yang harus
diatur agar kebutuhan cairan pasien dapat sesuai dengan yang diharapkan

 Contoh soal penghitungan tetesan infus mIkro


Apabila seorang pasien datang kerumah sakit dan setelah diperiksa, dokter
menginstruksikan agar diberikan cairan NaCl sebanyak 500ml dalam waktu 2 jam
menggunakan infus set mikro.
Jawab penyelesaian:

Jumlah tetesan permenit = 500 ml x 60

120

Jumlah tetesan permenit = 30.000

120

Jumlah tetesan permenit = 250

Jadi, berdasarkan perhitungan diatas untuk memasukkan cairan NaCl sejumlah


500ml dalam waktu 2 jam kita harus mengatur tetesan infus dalam satu menit 250
tpm.
Catatan: ubahlah waktu yang diberikan kedalam bentuk menit
B. Penghitungan Kebutuhan Cairan
1. Jumlah Cairan
Cairan yang diberikan pada anak tersebut adalah cairan maintenance
(rumatan) untuk memenuhi kebutuhan cairan harian anak karena intake per oral yag
kurang sehingga diberikan cairan IVFD.

Tabel 1. Kebutuhan Cairan Rumatan

(Hospital Care for Children , 2016)

Rumus penghitungan cairan rumatan pada anak (harian):

Atau Formula 4 : 2 : 1 (per jam)


10 Kg pertama x 100 = ….. 10 Kg pertama x 4 = …..
10 Kg kedua x 50 = …... 10 Kg kedua x 2 = …...
Sisa nya x 20 = …... Sisa nya x 1 = …...
+ +

Catatan:

Bila anak demam maka kebutuhan cairan akan meningkat  setiap kenaikkan
1oC membutuhkan terapi cairan tambahan sebanyak:
10% x kebutuhan cairan rutin

2. Jenis Cairan Infus


A. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular.
Perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitial.
1) Cairan isotonis
Osmolaritas mendekati serum darah sehingga cairan akan bertahan
dalam pembuluh darah. Indikasi pemberian untuk pasien hipovlemi. Risiko
cairan ini adalah terjadinya oberload pada pasien CHF dan hipertensi.
Contohnya adalah Ringer Laktat (RL), NaCl 0.9%.
2) Cairan hipotonis
Osmolaritas lebih rendah dibandingkan serum darah sehingga cairan
akan ditarik dari intravaskuler ke jaringan (osmolaritas rendah ke tinggi).
Digunakan untuk pasien dehidrasi, hiperglikemia dengan ketoasidosis
diabetic. Komplikasi antara lain kolaps kardiovaskuler dan peningkatan
tekanan intracranial. Contoh cairan Dextrose 5% dalam ½ Normal saline.
3) Cairan hipertonis
Osmolaritas lebih tinggi dibandingkan serum sehingga menarik cairan
dari jaringan ke intravaskuler. Bermanfaat dalam menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, mengurangi edema. Risiko pemberian cairan
hipertonis adalah hypernatremia dan hiperkloremia. Contoh cairan seperti NS
3%, NS 5%, Dextrose 5% dalam RL.

B. Cairan Koloid
Cairan koloid memiliki berat molekul yang tinggi dan cenderung lama di
intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada deficit cairan berat
seperti syok hipovolemik, penderita hipoalbuminemia berat, dan kehilangan
protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Contoh cairan koloid antara lain :
1) Dextran
2) Hetastarch
3) Gelatin
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, S. & Relina, D. Modul Keperawatan Anak I. Yudha English Gallery.


Fatriansari, Asih. 2012. Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Anak dan Tingkat
Kepuasan Keluarga yang Anaknya Menjalani Hospitalisasi di RSUD Al Ihsan
Provinsi Jawa Barat. M.Sc Thesis, Universitas Indonesia.
Hager, L. 2010. Stres dan emosional edisi 2. Batam: Interaksara.
Park S. M. Jeong I. S. Kim K. L. Park K. J. Jung M. J. Jun S. S. 2015. The effect of
Intravenous Infiltration Management Program for Hospitalized Children. Journal of
Pediatric Nursing: Elsevier.
Roespandi, hanny. Nurhamzah, waldi. 2016. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di
Rumah Sakit. Hospital Care for Children (Global Resource for Addressing The
Quality of Care). diakses di http://www/ichc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-
anak-di-rumah-sakit. Pada tanggal Selasa, 23 Juni 2020. Pukul 12.20 WIB.
Suririnah. 2010. Buku pintar mengasuh batita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suta, P. & Sucandra, I. 2017. Terapi Cairan. Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi FK UNUD
RSUP Sanglah.
Topcu, S.Y., Kostak, M.A., Semerci, R. and Guray, O., 2019. Effect of gum chewing on pain
and anxiety in Turkish children during intravenous cannulation: A randomized
controlled study. Journal of Pediatric Nursing.

Anda mungkin juga menyukai