Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA

Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners di Departemen Anak

Disusun Oleh :
ALVINDA MUTIARA RORIMPANDEI
Kelompok 3A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
LAPORAN PENDAHULUAN NEONATUS PNEUMONIA
1. Definisi
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi
dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh,
bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing (Muttaqin, 2009).
Pneumonia neonatal adalah infeksi pada paru-paru, serangan mungkin terjadi
dalam beberapa jam kelahiran dan merupakan bagian yang dapat disamakan
dengan kumpulan gejala sepsis atau setelah tujuh hari dan terbatas pada paru-
paru. Tanda-tandanya mungkin terbatas pada kegagalan pernafasan atau
berlanjut ke arah syok dan kematian. Infeksi dapat ditularkan melalui plasenta,
aspirasi atau diperoleh setelah kelahiran (Caserta, 2009).

2. Epidemiologi
Sampai saat ini, penyakit pneumonia merupakan penyebab utama kematian
balita di dunia. Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak
diakibatkan oleh pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan
tuberculosis (WHO, 2007). Di Indonesia, pneumonia juga merupakan urutan
kedua penyebab kematian pada balita setelah diare. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) melaporkan bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir (period
prevalence) mengalami peningkatan pada tahun 2007 sebesar 2,1% menjadi
2,7% pada tahun 2013. Kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia tahun
2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5% (Riskesdas, 2007). Demikian juga hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), yang melaporkan bahwa
prevalensi pneumonia dari tahun ke tahun terus meningkat, yaitu 7,6% pada
tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007 (Depkes, 2013).

3. Etiologi
Penyebab dari pneumonia, yaitu:
• Bakteri: Grup B Streptokokus, Stapilokokus Aureus, Stapilokokus
Epidermidis, E. Coli, Pseudomonas, Serratia Marcescens, Klebsiella.
• Virus: RSV, Adenovirus, Enterovirus, CMV.
• Jamur: Candida.
Sedangkan menurut Duke tahun 2004, penyebab pneumonia tergantung pada
waktu onset pneumonia. Bakteri gram negative biasanya mendominasi pada
minggu pertama kehidupn awal dan bakteri gram psitif mendominasi setelanya.
Bakteri Streptococcus pneumoniae yang paling sering kali menyebabkan sekitar
25% dari pneumonia pada neonatal.

4. Klasifikasi
Berdasarkan pedoman pengendalian infeksi saluran pernapasan akut
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2011) pada balita
klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur < 2 bulan dan
umur 2 bulan sampai 5 tahun, adalah sebagai berikut:
1. Untuk golongan umur < 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
a. Pneumonia berat: ditandai dengan napas yang cepat, yaitu frekuensi
pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam yang kuat.
Tindakan: segera dirujuk ke rumah sakit.
b. Bukan pneumonia: tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam yang kuat, tidak ada napas yang cepat, frekuensi napas: kurang
dari 60 kali per menit.
Tindakan: nasehati ibu untuk tindakan perawatan di rumah seperti
menjaga kebersihan lingkungan dan memberikan nutrisi yang cukup pada
anak.

2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun diklasifikasikan menjadi 3:


a. Pneumonia berat: tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam kuat.
Tindakan: segera dirujuk ke rumah sakit.
b. Pneumonia: tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, ada
napas cepat: 2 bulan - < 12 bulan: > 50 x / menit 12 bulan - < 5 tahun: >
40 x / menit
Tindakan: nasehati ibu untuk tindakan perawatan di rumah, anjurkan ibu
untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat bila keadaan anak memburuk.
c. Batuk bukan pneumonia: tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam, tidak ada napas cepat: 2 bulan - < 12 bulan: < 50 x / menit 12
bulan - < 5 tahun: < 40 x / menit
Tindakan: bila batuk > 3 minggu, rujuk kerumah sakit.
(Kemenkes RI, 2011)
Anak dengan pneumonia akan lebih sulit bernapas jika mengalami demam
tinggi (> 38,5ºC) , sehingga perlu diterapi dengan paracetamol tiap 6 jam
selama 3 hari dengan dosis yang sesuai, sampai demamnya reda. Demam itu
sendiri bukan indikasi untuk pemberian antibiotik, kecuali pada bayi yang
berumur kurang dari 2 bulan. Bayi yang berumur kurang dari 2 bulan jika
menderita demam maka harus dirujuk, jangan diberikan paracetamol untuk
mengatasi demamnya (Kemenkes RI, 2010).

Klasifikasi Berdasarkan Pedoman MTBS


Berdasarkan pedoman MTBS pneumonia dapat diklasifikasikan secara
sederhana berdasarkan gejala yang ada. Klasifikasi ini bukanlah merupakan
diagnose medis dan hanya bertujuan untuk membantu para petugas kesehatan
yang berada di lapangan untuk menentukan tindakan yang perlu diambil,
sehingga anak tidak terlambat penanganan. Klasifikasi tersebut adalah:
a. Pneumonia berat atau penyakit sangat berat, apabila terdapat gejala :
 Ada tanda bahaya umum, seperti anak tidak bisa minum atau menetek,
selalu memuntahkan semuanya, kejang atau anak letargis/tidak sadar.
 Terdapat tarikan dinding dada ke dalam.
 Terdapat stridor ( suara napas bunyi ‘grok-grok’ saat inspirasi )
b. Pneumonia, apabila terdapat gejala napas cepat, batasan nafas cepat
adalah:
 Anak usia 2 – 12 bulan apabila frekuensi napas 50 x/menit atau lebih.
 Anak Usia 1 – 5 tahun apabila frekuensi napas 40 x/menit atau lebih.
 Batuk bukan Pneumonia, apabila tidak ada tanda – tanda atau
penyakit sangat berat.

5. Manifestasi Klinik
Gejala klinis tergantung pada lokasi, tipe kuman dan tingkat berat penyakit.
Beberapa diantaranya yaitu:
a) Tachypnea (laju pernafasan >60 kali/menit).
b) Dengkur ekspirasi mungkin terjadi.
c) Perekrutan otot aksesori pernapasan, seperti cuping hidung dan retraksi di
subcostal, interkostal, atau situs suprasternal, dapat terjadi.
d) Sekresi saluran napas dapat bervariasi secara substansial dalam kualitas dan
kuantitas, tetapi yang paling sering sedalam-dalamnya dan kemajuan dari
serosanguineous untuk penampilan yang lebih bernanah, putih, kuning, hijau,
atau perdarahan warna dan tekstur krim atau chunky tidak jarang terjadi. Jika
aspirasi mekonium, darah, atau cairan properadangan lainnya dicurigai,
warna dan tekstur lain bisa dilihat.
e) Rales, rhonchi, dan batuk adalah semua diamati lebih jarang pada bayi
dengan radang paru-paru daripada individu yang lebih tua. Jika ada, mereka
mungkin disebabkan oleh proses menyebabkan peradangan, seperti gagal
jantung kongestif, kondensasi dari gas humidified diberikan selama ventilasi
mekanik, atau tabung endotracheal perpindahan. Meskipun alternatif
penjelasan yang mungkin, temuan ini akan dimintakan pertimbangan cermat
pneumonia dalam diagnosis diferensial.
f) Sianosis pusat jaringan, menyiratkan deoxyhemoglobin konsentrasi sekitar 5
g/dL atau lebih dan konsisten dengan kerusakan pertukaran gas dari disfungsi
paru berat seperti radang paru-paru, meskipun penyakit jantung bawaan
struktural, hemoglobinopathy, polisitemia, dan hipertensi pulmonal (dengan
atau tanpa parenkim terkait lainnya penyakit paru-paru) harus
dipertimbangkan.
g) Peningkatan pernapasan seperti peningkatan menghirup oksigen konsentrasi,
ventilasi tekanan positif, atau tekanan saluran udara positif terus menerus
umumnya diperlukan sebelum pemulihan dimulai.
h) Bayi dengan pneumonia dapat bermanifestasi asimetri suara napas dan dada
yang menyatakan kebocoran udara atau perubahan emphysematous
sekunder obstruksi jalan napas parsial.

Selain gejala klinis di atas, dapat juga muncul gambaran klinis APGAR Score
rendah, segera setelah lahir terjadi distress nafas, perfusi perifer yang buruk,
letargi, tidak mau minum, tidak mau minum, distensi abdomen, suhu tidak stabil,
dan asisdosis metabolic.

6. Patofisiologi
Menurut pengelompokannya, patofisiologi dari pneumonia pada anak-anak
adalah:
a) Transplasenta (Kongenital Pneumonia):
Kuman/agent masuk melalui plasenta mengikuti sistem peredaran darah janin
(hematogen) sampai ke paru-paru janin menimbulkan gejala pneumonia yang
disebut juga Early Onset Pneumoni (pada umur 3 hari pertama).
b) Ascending Pneumonia (Post Amnionistis Pneumonia):
Kuman/agent dari flora vagina menular secara ascending menyebar ke
chorionic plate menimbulkan gejala amnionitis menyebabkan bayi aspirasi
dan masuk ke paru-paru. Predisposisi adalah persalinan premature, ketuban
pecah sebelum persalinan, persalinan memanjang dengan dilatasi serviks,
atau pemeriksaan obstetri yang sering.
c) Transnatal Pneumonia:
Onsetnya berlangsung lambat, proses infeksi selalu terjadi pada paru-paru
dan penyebab terbanyak adalah grup B Streptokokus.
d) Nosokomial Pneumonia:
Pneumonia yang didapat selama perawatan di rumah sakit dengan factor
predisposisi antara lain BBL<1500 gram, dirawat lama, penyakit dasar berat,
prosedur invasif banyak, perawatan ventilator terkontaminasi.

Sedangkan menurut Suriadi (2001) patofisiologi pada pneumonia dapat


dijelaskan sebagai berikut:
a. Adanya gangguan pada terminal jalan nafas dan alveoli oleh mikroorganisme
patogen yaitu virus dan bakteri (Streptococcus Aureus, Haemophillus
Influenzae dan Streptococcus Pneumoniae).
b. Terdapat infiltrat yang biasanya mengenai pada multiple lobus, terjadinya
destruksi sel dengan meninggalkan debris cellular ke dalam lumen yang
mengakibatkan gangguan fungsi alveolar dan jalan nafas.
c. Pada kondisi anak ini dapat akut dan kronik misalnya: Cystic Fibrosis (CF),
aspirasi benda asing dan konginetal yang dapat meningkatkan resiko
pneumonia.

Adanya etiologi seperti jamur dan inhalasi mikroba ke dalam tubuh manusia
melalui udara, aspirasi organisme, hematogen dapat menyebabkan reaksi
inflamasi hebat sehingga membran paru-paru meradang dan berlobang. Dari
reaksi inflamasi akan timbul panas, anoreksia, mual, muntah serta nyeri pleuritis.
Selanjutnya RBC, WBC dan cairan keluar masuk alveoli sehingga terjadi sekresi,
edema dan bronkospasme yang menimbulkan manifestasi klinis dyspnoe,
sianosis dan batuk, selain itu juga menyebabkan adanya partial oklusi yang akan
membuat daerah paru menjadi padat (konsolidasi). Konsolidasi paru
menyebabkan meluasnya permukaan membran respirasi dan penurunan rasio
ventilasi perfusi, kedua hal ini dapat menyebabkan kapasitas difusi menurun dan
selanjutnya terjadi hipoksemia.
PATHWAY
7. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan radiology (Chest X-Ray):
Teridentifikasi adanya penyebaran (misal lobus dan bronchial), menunjukkan
multiple abses/infiltrat, empiema (Staphylococcus), penyebaran atau lokasi
infiltrasi (bacterial), penyebaran/extensive nodul infiltrat (viral).
b) Pemeriksaan laboratorium:
1) DL, Serologi, LED: leukositosis menunjukkan adanya infeksi bakteri,
menentukan diagnosis secara spesifik, LED biasanya meningkat.
2) Elektrolit: Sodium dan Klorida menurun, bilirubin biasanya meningkat.
3) Analisis gas darah dan Pulse oximetry menilai tingkat hipoksia dan
kebutuhan O2.
4) Pewarnaan Gram/Cultur sputum dan darah: untuk mengetahui oganisme
penyebab.
5) Analisa cairan lambung, bila leukosit (+) menunjukkan adanya inflamasi
amnion (risiko pneumonia tinggi).
c) Pemeriksaan fungsi paru-paru: volume mungkin menurun, tekanan saluran
udara meningkat, kapasitas pemenuhan udara menurun dan hipoksemia.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan antara lain:


1. Kajian foto thorak– diagnostic, digunakan untuk melihat adanya infeksi di
paru dan status pulmoner (untuk mengkaji perubahan pada paru)
2. Nilai analisa gas darah, untuk mengevaluasi status kardiopulmoner
sehubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dengan hitung jenis untuk menetapkan adanya
anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram (darah) untuk seleksi awal antimikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin– mengesampingkan kemungkinan TB jika anak
tidak berespons terhadap pengobatan
6. Jumlah leukosit– leukositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru, digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan
luas dan beratnya penyakit dan membantu mendiagnosis keadaan
8. Spirometri statik, digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah – spesimen darah untuk menetapkan agens penyebabnya
seperti virus dan bakteri
10. Kultur cairan pleura– spesimen cairan dari rongga pleura untuk
menetapkan agens penyebab seperti bakteri dan virus
11. Bronkoskopi, digunakan untuk melihat dan memanipulasi cabang-cabang
utama dari pohon trakeobronkhial; jaringan yang diambil untuk diuji
diagnostik, secara terapeutik digunakan untuk menetapkan dan
mengangkat benda asing.
12. Biopsi paru– selama torakotomi, jaringan paru dieksisi untuk melakukan
kajian diagnostik.
13. Leukosit, umumnya pneumonia bakteri didapatkan leukositosis dengan
predominan polimorfonuklear. Leukopenia menunjukkan prognosis yang
buruk.
14. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-100.000/mm.
Protein di atas 2,5 g/dl dan glukosa relatif lebih rendah dari glukosa darah.
15. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus meningkat dan
dapat menyokong diagnosa.
16. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.
Pemeriksaan mikrobiologik
1. Spesimen: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau
sputum darah, aspirasi trachea fungsi pleura, aspirasi paru.
2. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau
aspirasi paru.
Pemeriksaan imunologis
1. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepa
2. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap kuman
penyebab.
3. Spesimen: darah atau urin.
4. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis, ELISA, latex
agglutination, atau latex coagulation.

Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap


mikroorganisme penyebab pneumonia.
1. Pneumonia pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari infiltrasi
ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata (bronkopneumonia)
kedua lapangan paru atau konsolidasi pada satu lobus (pneumonia
lobaris). Anak dan anak-anak gambaran konsolidasi lobus jarang
ditemukan.
2. Pneumonia streptokokus, gambagan radiologik menunjukkan
bronkopneumonia difus atau infiltrate interstisialis. Sering disertai efudi
pleura yang berat, kadang terdapat adenopati hilus.
Pneumonia stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas pada
permulaan penyakit. Infiltrat mula=mula berupa bercak-bercak, kemudian
memadat dan mengenai keseluruhan lobus atau hemithoraks. Perpadatan
hemithoraks umumhya penekanan (65%), < 20% mengenai kedua paru.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama
seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan antibiotik yang dimulai secara empiris
dengan antibiotik berspektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri
patogen diketahui, pemberian antibiotik diubah menjadi antibiotik yang
berspektrum sempit sesuai dengan patogennya (Depkes RI, 2005). Antibiotik
yang digunakan pada pneumonia anak dibagi menjadi dua, yaitu antibiotik injeksi
intravena dan antibiotik oral. Pada bayi berumur < 2 bulan pemberian antibiotik
oral merupakan tindakan pra rujukan dan diberikan jika bayi masih bisa minum.
Bila bayi tidak bisa minum maka diberikan dengan injeksi intra muskular
(Kemenkes RI, 2010). Berdasarkan efikasi klinis untuk eradikasi mikroba atau
sesuai protokol terapi, lama pemberian antibiotik untuk infeksi pneumonia adalah
5-7 hari (Kemenkes RI, 2011).
Tabel. Dosis dan frekuensi pengunaan antibiotik pada pneumonia anak
Nama Antibiotik Dosis
Ampisillin BBL <7hari:30 mg/kg setiap 12 jam. BBL 7-21 hari: 30 mg/kg
setiap 8 jam.
BBL 21-28 hari:30 mg/kg tiap 6 jam.
Anak 1 bulan- 18 tahun:25 mg/kg (max: 500 mg) setiap 6 jam
Ceftriaxon BBL: 20-50 mg/kg 1x sehari (IV selama 60 menit). Anak
1bulan – 12 tahun dengan BB <50 kg: 50-80 kg 1 x sehari (IV
atau IM) dan BB≥50 kg: 1 g 1x sehari.
Anak 12-18 tahun:1 g 1x sehari.
Gentamicin Satu kali sehari untuk anak umur 1 bulan -18 tahun: 7 mg/kg.
Chloramphenicol BBL ≤14 hari: 12,5 mg/kg 2 xsehari. BBL 14-28 hari12,5
mg/kg 2-4x sehari.
Anak 1bulan - 18 tahun: 12,5 mg/kg setiap 6 jam.
Cefotaxime BBL<7hari:25 mg/kg setiap 12 jam. BBL 7-21 hari: 25 mg/kg
setiap 8 jam.
BBL 21-28 hari:25 mg/kg tiap 6-8 jam.
Anak 1 bulan - 18 tahun:50 mg/kg setiap 8-12 jam
Cefuroxime Anak 3bulan -2 tahun: 10mg/kg (max125 mg) 2x sehari Anak
2 tahun - 12 tahun 15 mg/kg (max 250 mg) 2x sehari
Anak 12 tahun -18 tahun: 250 mg 2 x sehari.
(BNFC, 2011-2012)

Terapi untuk neonatus - 2 bulan: Ampisillin + Gentamicin Terapi untuk usia > 2 bulan:
a. Lini pertama: ampisillin, bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan bisa ditambahkan
chloramphenicol.
b. Lini kedua: ceftriaxon
(IDAI, 2009)

Antibiotik Intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat
per oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat.
Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah
mendapat antibiotik secara intravena (IDAI, 2009).
Tabel. Pilihan antibiotik oral untuk pneumonia anak
Amoksisilin Beri 2 kali
Kotrimoksasol sehari
Umur atau Beri 2 kali sehari selama 3 hari selama
berat Badan 3 hari
Tablet Tablet Anak Sirup/5 ml 40 Sirup 125
Dewasa 20 mg + 80 mg mg + Kaplet mg/5 ml
80 mg + 400 200 mg 500 mg
mg
2- < 4 bulan 2,5 ml 5 ml
4- < 6 kg ¼ 1 (0,5 sendok ¼ (1 sendok
takar) takar)
4- < 12 bulan 5 ml 10 ml
6- < 10 kg ½ 2 (1 sendok ½ (2 sendok
takar) takar)
1 - < 3 tahun 7,5 ml 12,5 ml
10 - < 16 kg ¾ 2,5 (1,5 sendok 2/3 (2,5
takar) sendok
takar)
3- < 5 tahun 10 ml 15 ml
16- < 19 kg 1 3 (2 sendok ¾ (3 sendok
takar) takar)

(Kemenkes RI, 2010)

Tabel. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia anak


Umur atau berat badan Antibiotik Frekuensi Dosis
< 2 bulan Ampisilin dan Setiap 12 jam 100 mg/kgBB
(< 4 kg) Gentamisin 2,5 mg/kgBB
2 bulan - 5 tahun Ampisilin dan Setiap 6 jam 50 mg/kgBB
(4-19 kg) Gentamisin Setiap 24 jam 7,5 mg/kgBB
Diberikan selama 5 hari.

Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik pada anak <5 tahun karena efektif
melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi
dengan baik dan murah (IDAI, 2009). Penggunaan antibiotik ampisillin juga dianjurkan untuk
terapi empirik pada anak (IDAI, 2009), menurut Depkes RI (2005) terapi antibiotik pada
pasien pneumonia berdasarkan patogen penyebabnya.
Tabel. Pilihan antibiotik intravena untuk pneumonia anak
Antibiotik Dosis Frekuensi Keterangan
Penisilin G 50.000 unit/kg/kali Tiap 4 jam S. pneumonia
Dosis tunggal maks.
4.000.000 unit
Cefuroxime 50 mg/kg/kali Tiap 8 jam S. pneumoniae, H.
Dosis tunggal maks. Influenza
2 gram
Ampisilin 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam S. pneumoniae, H.
Influenza
Ceftriaxone 50 mg/kg/kali Satu kali sehari S. pneumoniae, H.
Dosis tunggal maks. Influenza
2 gram
Kloramfenikol 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam S. pneumoniae, H.
Influenza
Clindamycin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam S. aureus, S.
Dosis tunggal maks. pneumoniae,
1,2 gram (alternatif untuk anak
alergi
beta laktam, lebih
jarang
menimbulkan flebitis
pada
pemberian IV
daripada
eritromisin)

(IDAI, 2009)
Terapi pendukung untuk penderita pneumonia adalah:
a. Diberi oksigen pada pasien yang menunjukkan gejala sesak napas dan
hipoksemia.
b. Pengeluaran sputum dapat diatasi dengan melakukan fisioterapi dada.
c. Hidrasi yang cukup bisa melalui parenteral.
d. Pasien dengan penderita demam dapat diberikan antipiretik.
e. Bronkodilator untuk pasien dengan bronkospasme.
f. Pemberian nutrisi yang cukup.
(Depkes RI, 2005)
 Terapi Oksigen
 Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
 Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen
(berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang
cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang
stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian
oksigen setelah saat ini tidak berguna
 Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan
nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi
muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen
harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu.
 Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak
ditemukan lagi.
 Perawatan Penunjang
 Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat
 Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh
anak, hilangkan dengan alat pengisap secara perlahan.
 Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak tetapi
hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
Kebutuhan total cairan per hari seorang anak dihitung dengan formula berikut:
100 ml/kgBB untuk 10 kg pertama, lalu 50 ml/kgBB untuk 10 kg berikutnya,
selanjutnya 25 ml/kgBB untuk setiap tambahan kg BB-nya. Sebagai contoh,
seorang bayi dengan berat 8 kg mendapatkan 8 x 100 ml = 800 ml setiap
harinya, dan bayi dengan berat 15 kg (10 x 100) + (5 x 50) = 1250 ml per hari.
Berikan anak sakit cairan dalam jumlah yang lebih banyak daripada jumlah di
atas jika terdapat demam (tambahkan cairan sebanyak 10% setiap 1°C
demam)
 Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
 Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan
rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi,
jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena
akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan
bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung
yang sama.
 Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri
makanan sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam
menerimanya.
 Pemantauan
Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan oleh dokter
minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari akan tampak
perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan dinding dada, bebas
demam dan anak dapat makan dan minum).

9. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul akibat pneumonia pada adalah:
- Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.
- Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli
paru dan infark miokard akut.
- ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
- Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
- Sepsis
- Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
- Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
- Abses paru dan efusi pleura
10. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa:
 Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nomor RM, Nama
penanggung jawab, hubungan dengan pasien, alamat.
 Riwayat antenatal: pemeriksaan selama hamil (ANC), hari pertama haid
terakhir (HPHT), tapsiran partus (TP).
 Riwayat intranatal: perdarahan, ketuban pecah, gawat janin, demam,
keputihan, riwayat terapi.
 Riwayat penyakit ibu: DM, Asma, Hepatitis B, TB, Hipertensi, jantung dan
lainnya.
 Riwayat persalinan: cara persalinan (spontan, section, forceps) dan
indikasinya
 KU bayi saat persalinan: activity tonus reflex (ATR), tangisan, nadi,
pernafasan, kelainan fisik, berat badan, panjang badan, lingkar lengan,
lingkar dada, APGAR score.
b. Pemeriksaan fisik
 Breathing
Frekuensi napas cepat dan dangkal, gerakan dinding toraks dapat
berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup, retraksi
sternum dan intercostal space. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat
terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas
tambahan berupa ronkhi basah halus di lapangan paru yang terkena,
kadang disertai dengan sputum.
 Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas
jantung tidak mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat,
icterus, CRT memanjang (>3 det).
 Brain
Klien dengan pneumonia berat biasanya mengalami penurunan kesadaran,
didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi jaringanberat. Perlu
dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek pupil terhadap cahaya
 Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, oleh karena itu perawat perlu
memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari
syok. Dikaji pula kelainan pada genetalia dan pola eliminasi urine.
 Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola
eliminasi alvi, adakah kelainan pada anus.
 Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, dikaji pula adakah
kelainan pada tulang yang kemungkinan karena trauma persalinan atau
kongenital, bagaimana ATR (activity tonus respon).

2. Diagnosa Keperawatan (Yang Mungkin Muncul)


a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial,
pembentukan edema, dan penumpukan sekret.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak efektif.
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi
oksigen.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kegagalan mekanisme
pengaturan
e. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh

3. Rencana Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan inflamasi bronchial,
pembentukan edema, dan penumpukan sekret. .
Tujuan: jalan napas bersih dan efektif.
Kriteria evaluasi:
- Bunyi napas bersih, tidak ada bunyi napas tambahan.
- Tanda vital dalam batas normal terutama frekuensi napas < 60x/menit.
- Batuk efektif.
- Sianosis tidak ada.
- Tidak ada retraksi sternum dan intercostal space.
- Nafas cuping hidung tidak ada.
Rencana intervensi
- Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan pergerakan dada.
Rasional: takipnea, pernafasan dangkal sering terjadi karena
ketidaknyamanan.
- Auskultasi area paru, catat penurunan atau tak ada aliran udara dan bunyi
napas.
Rasional: penurunan aliran darah terjadi pada area konsolidasi dengan
cairan, krakels terdengar sebagai respon terhadap pengumpulan
cairan/secret.
- Penghisapan sesuai indikasi.
Rasional: merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik
pada pasien yang tidak mampu melakukan batuk efektif karena adanya
penurunan tingkat kesadaran.
- Evaluasi status mental, catat adanya kebingungan, disorientasi.
Rasional: menurunnya perfusi otak dapat menyebabkan perubahan
sensorium
- Kolaborasi dalam pemberian obat mukolitik, bronkodilator
Rasional: obat mukolitik membantu untuk mengencerkan sekret,
bronkodilator mengurangi edema dan sebagai vaso dilatasi bronkus.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
efektif
Tujuan: pola nafas efektif.
Kriteria evaluasi:
- Pernafasan teratur (RR 30-40 kali/menit).
- Tanda vital dalam batas normal (nadi 100-130 kali/menit).
- Tidak ada penggunaan otot bantu napas.
- Napas cuping hidung tidak ada.
Rencana intervensi:
- Evaluasi frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya
pernapasan seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan
volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat
mencegah komplikasi.
- Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi tinggi bila tidak ada
kontraindikasi. .
Rasional: merangsang ekspansi paru. efektif pada pencegahan dan
perbaikan kongesti paru.
- Berikan oksigen dengan head box atau sesuai indikasi
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke paru untuk kebutuhan
sirkulasi.
- Kaji ulang laporan foto dada dan pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat
terjadinya komplikasi.
c. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi
O2.
Tujuan: pertukaran gas efektif.
Kriteria evaluasi:
- Hasil AGD dalam batas normal. .
- Sianosis tidak ada.
- Pasien tidak pucat.
Rencana intervensi:
- Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat adanya upaya pernapasan
seperti dispnea, penggunaan otot bantu pernapasan.
Rasional: kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, penurunan
volume sirkulasi. Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat
mencegah komplikasi.
- Pertahankan pemberian oksigen Head box sesuai indikasi.
Rasional: meningkatkan pengiriman oksigen ke otak untuk kebutuhan
sirkulasi.
- Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium ( AGD ).
Rasional: untuk memantau kefektifan terapi pernapasan dan mencatat
terjadinya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Bradley, J.S., 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants


and Children Older Than 3 Month of Age: Clinical Practice Guideline by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of
America. IDSA Guideline : Pediatric Community Pneumonia Guideline., p. 1-44.
Bulechek G, dkk. 2008. Nursing Interventions Clarification (NIC). Firth Edition. Mosby :
Lowa city.
Moorhead S, dkk. 2000. Nursing Outcames Clasification (NOC).Third Edition.Mosby :
Lowa city.
Muttaqin, Arif, 2009, Pengantar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler, Jakarta: Salemba.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak,Orang
Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer
Morgan, Geri. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik Edisi 2. Jakarta: EGC
Muscari, M.E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Eds : 3. Jakarta : EGC
Nanda Internasional.2012.Diagnosis Keperawatan 2012-2014. EGC : Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia di Indonesia. Jakarta.
Setyoningrum, R.A. 2006. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI :
Pneumonia. FK Unair RSUD Dr. Soetomo. Surabaya)
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika
Syahrir, Muhammad, dkk., 2008. Guideline Ilmu Penyakit Paru.Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai