Disusun oleh :
Royntan Tesalonika Berutu (180100003)
Eva Rehulina Simarsoit (180100008)
Hanna Tashia C. Sitanggang (180100026)
Irene Lady C. Siahaan (180100049)
George Abraham Situmorang (180100036)
Pembimbing :
dr. Ahmad Tarmizi Rangkuti, M.Ked (Ped), Sp.A
RSUD SIDIKALANG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur, penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas berkat dan rahmatNya sehingga memampukan penulis dalam
menyelesaikan seluruh rangkaian penyusunan laporan kasus yang
berjudul “Pneumonia, Gizi Buruk dan Epilepsi” sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD Sidikalang.
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing atas bimbingan dan
arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Sidikalang.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan,
kritik dan sarannya yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan
guna perbaikan case ini di kemudian hari.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam
mengimplementasikan ilmu di klinis dan masyarakat.
Penulis
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMONIA
1. DEFINISI
a. Pneumonia Lobaris
b. Pneumonia Interstitialis (Bronkiolitis)
c. Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia)
2. ETIOLOGI
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan
sampai 2 tahun. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai
dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan
penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B serta kuman
atipik Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae.3
Staphylococcus aureus
3. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis
bisa sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala
dan tanda pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam,
menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut.3.
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda
tersebut tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda tersebut meliputi
nafas cuping hidung, takipnea, dipsnea, dan apnea. Otot bantu nafas
interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai
pada anak-anak, namun pada neonatus bisa tanpa disertai batuk. Tanda
pneumonia berupa retraksi, perkusi redup, fremitus melemah, suara nafas
melemah dan ronki.2.
Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana. Pengukuran frekuensi nafas dilakukan dalam
keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi thoraks tidak bernilai diagnostik
karena umumnya kelainan patologisnya menyebar. Suara redup pada
perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut:3.
• Usia kurang dari 2 bulan : ≥ 60 kali per menit
• Usia 2 bulan-1 tahun : ≥ 50 kali per menit.
• Usia 1-5 tahun : ≥ 40 kali per menit.
• Usia ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali per menit.
4. DIAGNOSIS
• Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului
dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain
batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut,
menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya
anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermia, penurunan
kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.3,4.
• Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu,
retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih
besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah
takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.3,4.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk (non produktif/produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja,
dapat dijumpai panas, batuk (non produktif/produktif), nyeri dada, nyeri
kepala, dehidrasi dan letargi.3.
• Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
leukositosis hingga > 15.000/mm3 dan seringkali dijumpai dengan
dominasi neutrofil pada hitung jenis. Leukosit > 30.000/mm3 dengan
dominasi neutrofil mengarah ke pneumonia streptokokus.
Trombositosis >500.000/mm3 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah
merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus
terutama pada anak- anak kecil.3.
• Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan
untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar
paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada
bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau
beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus pneumonia.4.
5. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien pneumonia dapat dilakukan dengan terapi sesuai
dengan kuman penyebabnya dan terapi suportif. Namun karena berbagai
kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan
antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak
memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan
membedakan infeksi virus dengan bakteri.3.
Antibiotik Dosis Frekuensi
1. Pneumonia Ringan
• Rawat jalan
• Kotrimoksazol (4mg/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
• Sulfametoksazol (20mg/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
• Amoksisilin 25mg/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
2. Pneumonia Berat
• Oksigen untuk mempertahankan saturasi >92%, dipantau setiap 4
jam. Pada anak yang stabil dapat dilakukan uji coba tanpa
menggunakan oksigen setiap hari. Bila saturasi tetap stabil,
pemberian oksigen dapat dihentikan.
• Bila asupan per oral kurang, dapat diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat agar tidak terjadi hidrasi berlebihan
(pada pneumonia berat dapat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik).
• Pada distres pernafasan berat, pemberian makanan per oral harus di
hindari, dapat diganti dengan NGT/ intravena dengan perhitungan
balans cairan yang ketat.
• Bila suhu ≥39%O C dapat diberikan parasetamol.
• Nebulisasi agonis β-2 dan/atau NaCl 0,9% dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance, namun bukan merupakan
terapi yang rutin dilakukan.
• Pemberian antibiotik:
- Amoksisilin 50-100mg/KgBB IV atau IM setiap 8 jam, dipantau
ketat dalam 72 jam pertama. Bila respons baik, terapi diteruskan
hingga 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan amoksisilin oral
15mg/KgBB/kali. 3 kali sekali, selama 5 hari berikutnya. Bila
keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat (tidak menyusu, makan atau minum: kejang, letargis,
sianosis, distres pernafasan berat). Tambahkan kloramfenikol
25mg/KgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam.
- Antibiotik lini kedua: setriakson 80-100mg/KgBB IV atau IM
satu kali sehari.
• Bila dicurigai pneumonia Staphylococcus (terdapat perburukan
klinis walaupun sudah diterapi yang ditandai dengan adanya
pneumatokel, pneumotoraks dengan efusi pleura, ditemukan bakteri
kokus Gram positif pada tes sputum, didukung oleh infeksi kulit
yang disertai pus):
- Kloksalin 50mg/KgBB IV atau IM setiap 6 jam dan gentamisin
7,5mg/KgBB IV atau IM sekali sehari. Bila respons membaik,
lanjutkan dengan kloksasilin oral 50mg/KgBB/hari, 4 kali sehari
selama 3 minggu.
6. KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri
dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, emfisema dan perikarditis) atau
penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi.9.
7. PROGNOSIS
Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak
kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3%
sampai 5%. Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas
dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi
energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang
lebih tinggi.2,9.
EPILEPSI
1. LATAR BELAKANG
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau
penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan salah satu
penyakit neurologis yang utama Epilepsi juga merupakan penyakit yang
umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya
dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita
maupun keluarganya. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik,
disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi,
stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi
penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-
anak. Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia
berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer,
dan 80% tinggal di negara berkembang.6,8.
2. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak
dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang
dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Status
epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.6,8,10.
3. EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan
ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. Sementara di negara
berkembang mencapai 100/100.000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak
berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut di atas 65
tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan
sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000.6,8.
4. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dapat dibagi menjadi beberapa
golongan, yaitu:6,8,10.
- Epilepsi idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil.
- Epilepsi simptomatik: isebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
kelainan neurodegeneratif.
- Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik.
5. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut Internasional League
Against Epilepsy (ILAE) 1981:6,10,12.
- Lena/absens
- Mioklonik
- Tonik
- Atonik
- Klonik
- Tonik-Klonik
A. Idiopatik
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
2. Epilepsi umum
A. Idiopatik
C. Simptomatik
6. MANIFESTASI KLINIS
I. Kejang parsial simpleks
Merupakan tipe kejang yang paling sering, dimana terdapat dua tahap,
yaitu:
Tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada
serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik
saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan
yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang
menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam
atau lidah.
Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol,
pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih
ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
7. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
3. Pemeriksaan penunjang
- Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal.
- Rekaman video EEG.
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom.6,8.
Tipe Bangkitan OAE Lini OAE Lini Kedua OAE Lini Ketiga
Pertama
LENA VPA, LTG ESM LEV, ZNS
MIOKLONIK VPA LPM, ZNS LTG, PB
TONIK-KLONIK VPA, CBZ, PB LTG, TPM, PHT ZMS, OXC, LEV
PARSIAL CBZ, VPA, PB LTG, TPM, OXC CLB, PHT, GBP
SPASMA VGB, ACTH VPA, NTZ LTG, ZNS
INFANTIL
LENNOX- VPA LTG, TPM CLB, FBM
GASTAUT
TIDAK VPA LTG TPM, LEV
TERKLASIFIKASI
1. DEFINISI
Gizi buruk adalah suatu istilah yang umum dipakai oleh kalangan gizi,
kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen Kesehatan
(2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi),
3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk
(8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi
gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-
19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).7,8,13.
2. ETIOLOGI
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara
garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan
makanan yang kurang dan anak sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu
gizi buruk dipengaruhi oleh faktor lain seperti sosial ekonomi, kepadatan
penduduk, kemiskinan, dan lain-lain.7.
1. Peranan diet
ANTROPOMETRI
1. Berat Badan
2. Tinggi Badan
𝐵𝐵
x 100% = (BB terukur saat itu) / (BB standar sesuai untuk TB terukur) x 100% .
𝑇𝐵
- >120% : Obesitas
- 110 – 120% : Overweight
- 90 – 110% : Normal
- 70 – 90% : Gizi kurang
- <70% : Gizi buruk
4. MANIFESTASI KLINIS
Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua
bagian besar, yaitu marasmus dan kwashiorkor. Sedangkan marasmus-
kwashiorkor gejala klinisnya dapat ditemukan secara bersamaan. Berikut
adalah perbedaan gejala klinis dari marasmus dan kwashiorkor.7,13.
5. DIAGNOSIS
Diagnosis marasmus dibuat berdasarkan gambaran klinis, tetapi untuk
mengetahui penyebab harus dilakukan anamnesis makanan dan kebiasaan
makan anak serta riwayat penyakit yang lalu. Pada awalnya, terjadi
kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan
sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga
menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang. Lemak pada
daerah pipih adalah bagian terakhir yang hilang sehingga untuk beberapa
waktu muka bayi tampak relatif normal sampai nantinya menyusut dan
berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar dan gambaran usus dapat
dengan mudah dilihat. Terjadi atrofi otot dengan akibat hipotoni. Suhu
biasanya subnormal, nadi mungkin lambat, dan angka metabolisme basal
cenderung menurun.7.
Mula-mula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian menjadi lesu dan nafsu
makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul diare dengan
buang air besar sering, tinja berisi mucus dan sedikit. Ciri dari marasmus
antara lain:7,13,14.
6. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan terhadap gizi buruk dapat dilaksanakan dengan
baik bila penyebabnya diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana
dan prasarana kesehatan yang baik untuk pelayanan kesehatan dan
penyuluhan gizi. Beberapa di antaranya ialah:7,13.
1 Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber
energi yang paling baik untuk bayi.
2 Ditambah dengan pemberian makanan tambahan bergizi dan berprotein
serta energi tinggi pada anak sejak umur 6 bulan ke atas.
3 Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan
dan kebersihan perorangan.
4 Pemberian imunisasi.
5 Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu
kerap.
6 Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat
merupakan usaha pencegahan jangka panjang.
7 Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang
endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada penderita gizi buruk adalah pemberian
makanan yang tepat seperti diet tinggi kalori dan tinggi protein serta
mencegah kekambuhan. Penderita gizi buruk tanpa komplikasi dapat
berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan yang
baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi,
syok, asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit.
Berikut adalah tabel sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk.7,13.
Kebutuhan Zat Gizi anak gizi buruk menurut Fase Pemberian Makanan.13.
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Arjuna Monang Sinaga
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 6 tahun
Tanggal lahir : 22 Juli 2012
Tempat lahir : Juma Sianak
Rekam medis : 08 63 52
Tanggal masuk RS : 03 Desember 2018
Lama rawat : 12 hari
Alamat : Juma Sianak
RPO :-
RPK :-
PEMERIKSAAN FISIK
• Status Present : Compos mentis
Sensorium : GCS (E: 4 V: 5 M: 6)
Anemi (+), ikterik (-), dypsnoe (-), sianosis (-), edema (+)
Status Gizi : kurva CDC 3/12/2018 → 81,96 (malnutrisi ringan)
16/12/2018 → 56,5 (malnutrisi berat)
3/12/2018 Berat Badan (10 kg), Tinggi Badan (85 cm),
16/12/2018 Berat Badan (6,9 kg), Tinggi Badan (85 cm)
• Status Lokalisata :
Refleks patologis : Babinski (-), Oppenheim (-), Gordon (-), Schaefer (-),
Gordon (-), Chadok (-)
VIII. DIAGNOSIS
a. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
03-12-2018
Hemoglobin : 9,8 g%
Eritrosit : 3,38 103/mm3
Leukosit : 4,3 103/mm3
Hematokrit : 26,5 %
MCV : 78,4 FL
MCH : 29,0 Pg
MCHC : 37,0 g%
Trombosit : 222 103/mm3
LED :-
KGD Ad Random : 121 mg/dl
Golongan darah : A+
08-12-2018
Hemoglobin : 8,9 g%
Eritrosit : 2,92 103/mm3
Leukosit : 6,2 103/mm3
Hematokrit : 23,8 %
MCV : 81,5 FL
MCH : 30,5 Pg
MCHC : 37,4 g%
Trombosit : 161 103/mm3
LED : 20 mm/jam
Albumin : 3,81
14-12-2018
Hemoglobin : 9,2 g%
Eritrosit : 3,14 103/mm3
Leukosit : 8,1 103/mm3
Hematokrit : 25,8 %
MCV : 82,2 FL
MCH : 29,3 Pg
MCHC : 35,7 g%
Trombosit : 955 103/mm3
LED : 15 mm/jam
Faal Hati
SGOT : 56,9 U/L
SGPT : 49,0 U/L
Gamma GT : 66,0 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 9,9 mg/dl
Creatinin : 0,79 mg/dl
Uric Acid : 1,1 mg/dl
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax: Bronkopneumonia dd TB Paru aktif
X. Terapi
Tanggal 16-12-2018
Demam (-)
S
Kejang (-)
Mual (-)
Muntah (-)
Sens: Compos mentis
Pembesaran KGB leher (-)
O
Dada: Simetris
Abdomen: peristaltik (+) N
Gizi buruk dengan edema berat (Kwashiorkor) + Epilepsi +
A Anemia + Sepsis + Bronkopneumonia + Cerebral palsy
XII. Prognosis
• Quo ad vitam : Dubia ad bonam.
• Quo ad functionam : Dubia ad bonam.
• Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
SARAN
1. Pneumonia merupakan manifestasi dari rendahnya daya tahan tubuh
sesorang akibat adanya peningkatan kuman patogen yang menyerang
saluran pernafasan. Oleh karena itu sangat diperlukan menjaga daya
tahan tubuh dengan memperhatikan nutrisi dan daya tahan tubuh
terutama untuk ibu agar lebih memperhatikan kesehatan anak karena
anak lebih rentan terkena penyakit yang disebabkan daya tahan tubuh
anak yang masih lemah.
2. Memberitahukan kepada orangtua bahwa kualitas hidup pada anak
dengan epilepsi dapat terkontrol dengan penanganan yang tepat.
Sehingga penanganan ketika anak kejang sangat penting untuk diketahui
orangtua.
3. Pentingnya melakukan pamantauan pertumbuhan balita di Posyandu,
memberikan penyuluhan dan konseling menyusui, dan makanan
pendamping ASI (MPASI) serta pemberian makanan tambahan untuk
mencukupi kebutuhan gizi anak.
4. Pentingnya pendidikan dan pelatihan secara khusus bagi petugas
kesehatan dalam melakukan pengukuran antropometri secara tepat
sehingga didapatkan data status gizi yang tepat.
5. Bagi ibu dan keluarga agar selalu memantau pertumbuhan dan
perkembangan sejak bayi dalam kandungan secara rutin agar tumbuh
secara optimal.
6. Sebaiknya ibu memperhatikan kebutuhan makanan anak yang
mengandung zat gizi yang baik sesuai angka kecukupan gizi (AKG).
DAFTAR PUSTAKA