Anda di halaman 1dari 52

PNEUMONIA, EPILEPSI DAN GIZI BURUK

Disusun oleh :
Royntan Tesalonika Berutu (180100003)
Eva Rehulina Simarsoit (180100008)
Hanna Tashia C. Sitanggang (180100026)
Irene Lady C. Siahaan (180100049)
George Abraham Situmorang (180100036)

Pembimbing :
dr. Ahmad Tarmizi Rangkuti, M.Ked (Ped), Sp.A

RSUD SIDIKALANG
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas berkat dan rahmatNya sehingga memampukan penulis dalam
menyelesaikan seluruh rangkaian penyusunan laporan kasus yang
berjudul “Pneumonia, Gizi Buruk dan Epilepsi” sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD Sidikalang.
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing atas bimbingan dan
arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Sidikalang.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan,
kritik dan sarannya yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan
guna perbaikan case ini di kemudian hari.
Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam
mengimplementasikan ilmu di klinis dan masyarakat.

Sidikalang, Januari 2019

Penulis
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

PNEUMONIA

1. DEFINISI

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang mengenai alveolus


dan jaringan interstisial dimana bagian tersebut berisi cairan radang, dengan
atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstisial.1,9.

Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang


terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan
tersebut tersumbat oleh eksudat yang mukopurulen, yang membentuk
bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang berdekatan.1,9.

Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu:9.

a. Pneumonia Lobaris
b. Pneumonia Interstitialis (Bronkiolitis)
c. Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia)

WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut :

1. Usia kurang dari 2 bulan


a. Pneumonia berat
• Chest indrawing (retraksi subkostal)
• Bila ada napas cepat (> 60 x/menit)
b. Pneumonia sangat berat
• Tidak mau minum/menetek
• Kejang
• Kesadaran menurun (letargis)
• Hipertermia/hipotermia
• Bradipnea atau pernapasan ireguler
2. Usia 2 bulan - 5 tahun
a. Pneumonia ringan
• Bila ada napas cepat (> 50 x/menit untuk anak usia 2
bulan - 1 tahun, > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun)
b. Pneumonia berat
• Chest indrawing (retraksi subkostal)
c. Pneumonia sangat berat
• Tidak dapat minum
• Kejang
• Kesadaran menurun
• Malnutrisi.

2. ETIOLOGI
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan
sampai 2 tahun. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai
dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan
penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus group B serta kuman
atipik Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae.3

Umur Bakteri Patogen

Neonatus E. coli, Streptococcus group B, Listeria


monocytogenes

Klebsiella sp, Enterobacteriaceae

1-3 bulan Chlamydia trachomatis


Usia Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma
prasekolah pneumoniae

Haemophillus influenzae B, Streptococcus


pneumoniae

Staphylococcus aureus

Usia sekolah Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma


pneumoniae, Streptococcus pneumoniae

3. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis
bisa sangat berbeda, bahkan pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala
dan tanda pneumonia meliputi gejala infeksi pada umumnya demam,
menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau
sakit perut.3.
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda
tersebut tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda tersebut meliputi
nafas cuping hidung, takipnea, dipsnea, dan apnea. Otot bantu nafas
interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai
pada anak-anak, namun pada neonatus bisa tanpa disertai batuk. Tanda
pneumonia berupa retraksi, perkusi redup, fremitus melemah, suara nafas
melemah dan ronki.2.
Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana. Pengukuran frekuensi nafas dilakukan dalam
keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi thoraks tidak bernilai diagnostik
karena umumnya kelainan patologisnya menyebar. Suara redup pada
perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut:3.
• Usia kurang dari 2 bulan : ≥ 60 kali per menit
• Usia 2 bulan-1 tahun : ≥ 50 kali per menit.
• Usia 1-5 tahun : ≥ 40 kali per menit.
• Usia ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali per menit.

Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.


Ronkhi basah halus khas untuk pasien anak, mungkin tidak terdengar pada
bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume thoraks biasanya
suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.

4. DIAGNOSIS
• Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului
dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain
batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut,
menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya
anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermia, penurunan
kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.3,4.
• Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu,
retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih
besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah
takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.3,4.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam,
batuk (non produktif/produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai
dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja,
dapat dijumpai panas, batuk (non produktif/produktif), nyeri dada, nyeri
kepala, dehidrasi dan letargi.3.

• Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
leukositosis hingga > 15.000/mm3 dan seringkali dijumpai dengan
dominasi neutrofil pada hitung jenis. Leukosit > 30.000/mm3 dengan
dominasi neutrofil mengarah ke pneumonia streptokokus.
Trombositosis >500.000/mm3 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah
merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus
terutama pada anak- anak kecil.3.

• Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang
utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan
untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar
paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada
bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau
beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus pneumonia.4.

5. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien pneumonia dapat dilakukan dengan terapi sesuai
dengan kuman penyebabnya dan terapi suportif. Namun karena berbagai
kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan
antibiotik secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak
memerlukan antibiotik, tapi pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan
membedakan infeksi virus dengan bakteri.3.
Antibiotik Dosis Frekuensi

Penisilin G 50.000 unit/kg/kali Tiap 4 jam

Dosis tunggal maks. 4.000.000 unit

Ampisilin 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam

Kloramfenikol 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam

Ceftriaxone 50 mg/kg/kali 1 kali/hari

Dosis tunggal maks. 2 gram

Cefuroxime 50 mg/kg/kali Tiap 8 jam

Dosis tunggal maks. 2 gram

Clindamycin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam

Dosis tunggal maks. 1,2 gram

Eritromisin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam

Dosis tunggal maks. 1 gram

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,


dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga
penyebab pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan.
Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau
vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokokkus adalah 3-4 minggu.3.

Terapi suportif yang dapat diberikan pada penderita pneumonia adalah:3.


1. Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring.
Jika berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan
terutama dalam 24-48 jam.
2. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3. Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4. Mengatasi penyakit penyerta.
5. Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata
laksana rutin yang harus diberikan.

Tatalaksana pneumonia sesuai dengan derajat pneumonia:1,9.

1. Pneumonia Ringan
• Rawat jalan
• Kotrimoksazol (4mg/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
• Sulfametoksazol (20mg/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
• Amoksisilin 25mg/KgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.
2. Pneumonia Berat
• Oksigen untuk mempertahankan saturasi >92%, dipantau setiap 4
jam. Pada anak yang stabil dapat dilakukan uji coba tanpa
menggunakan oksigen setiap hari. Bila saturasi tetap stabil,
pemberian oksigen dapat dihentikan.
• Bila asupan per oral kurang, dapat diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat agar tidak terjadi hidrasi berlebihan
(pada pneumonia berat dapat terjadi peningkatan sekresi hormon
antidiuretik).
• Pada distres pernafasan berat, pemberian makanan per oral harus di
hindari, dapat diganti dengan NGT/ intravena dengan perhitungan
balans cairan yang ketat.
• Bila suhu ≥39%O C dapat diberikan parasetamol.
• Nebulisasi agonis β-2 dan/atau NaCl 0,9% dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance, namun bukan merupakan
terapi yang rutin dilakukan.
• Pemberian antibiotik:
- Amoksisilin 50-100mg/KgBB IV atau IM setiap 8 jam, dipantau
ketat dalam 72 jam pertama. Bila respons baik, terapi diteruskan
hingga 5 hari, kemudian dilanjutkan dengan amoksisilin oral
15mg/KgBB/kali. 3 kali sekali, selama 5 hari berikutnya. Bila
keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan
yang berat (tidak menyusu, makan atau minum: kejang, letargis,
sianosis, distres pernafasan berat). Tambahkan kloramfenikol
25mg/KgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam.
- Antibiotik lini kedua: setriakson 80-100mg/KgBB IV atau IM
satu kali sehari.
• Bila dicurigai pneumonia Staphylococcus (terdapat perburukan
klinis walaupun sudah diterapi yang ditandai dengan adanya
pneumatokel, pneumotoraks dengan efusi pleura, ditemukan bakteri
kokus Gram positif pada tes sputum, didukung oleh infeksi kulit
yang disertai pus):
- Kloksalin 50mg/KgBB IV atau IM setiap 6 jam dan gentamisin
7,5mg/KgBB IV atau IM sekali sehari. Bila respons membaik,
lanjutkan dengan kloksasilin oral 50mg/KgBB/hari, 4 kali sehari
selama 3 minggu.
6. KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri
dalam rongga thorax (seperti efusi pleura, emfisema dan perikarditis) atau
penyebaran bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi
hematologi.9.

7. PROGNOSIS

Pada era sebelum ada antibiotik, angka mortalitas pada bayi dan anak
kecil berkisar dari 20% sampai 50% dan pada anak yang lebih tua dari 3%
sampai 5%. Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas
dapat diturunkan sampai kurang dari 1%, anak dalam keadaan malnutrisi
energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang
lebih tinggi.2,9.

EPILEPSI

1. LATAR BELAKANG
Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau
penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan salah satu
penyakit neurologis yang utama Epilepsi juga merupakan penyakit yang
umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya
dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita
maupun keluarganya. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik,
disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi,
stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi
penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-
anak. Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia
berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer,
dan 80% tinggal di negara berkembang.6,8.

Laporan WHO tahun 2001 memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2


orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan
angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi
diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Epilepsi
dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi,
stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja,
permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah
keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan
formal. Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan
dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi.6,8.

2. DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak
dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang
dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif,
psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini
membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. Status
epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan
kejang.6,8,10.

3. EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan
ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. Sementara di negara
berkembang mencapai 100/100.000.
Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak
berusia di bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut di atas 65
tahun (81/100.000 kasus). Menurut Irawan Mangunatmadja dari
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
angka kejadian epilepsi pada anak cukup tinggi, yaitu pada anak usia 1 bulan
sampai 16 tahun berkisar 40 kasus per 100.000.6,8.

4. ETIOLOGI
Ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dapat dibagi menjadi beberapa
golongan, yaitu:6,8,10.
- Epilepsi idiopatik: penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari
penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik,
awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang canggih
kelompok ini makin kecil.
- Epilepsi simptomatik: isebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat),
kelainan neurodegeneratif.
- Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut
dan epilepsi mioklonik.
5. KLASIFIKASI
Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut Internasional League
Against Epilepsy (ILAE) 1981:6,10,12.

I. Kejang Parsial (Fokal)

A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

- Dengan gejala motorik


- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonomik
- Dengan gejala psikis

B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

- Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran


a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran.
b. Dengan automatisme
- Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme

C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-


klonik, tonik atau klonik).

- Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum.


- Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum.
- Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum.

II. Kejang Umum (Konvulsi / Non-konvulsi)

- Lena/absens
- Mioklonik
- Tonik
- Atonik
- Klonik
- Tonik-Klonik

III. Kejang Epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma menurut ILAE 1989:

1. Berkaitan dengan letak fokus

A. Idiopatik

- Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes


- Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Simptomatik

- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
2. Epilepsi umum

A. Idiopatik

- Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions


- Benign myoclonic epilepsy in infancy
- Childhood absence epilepsy
- Juvenile absence epilepsy
- Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
- Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
- Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

- West’s syndrome (infantile spasms)


- Lennox gastaut syndrome
- Epilepsy with myoclonic astatic seizures
- Epilepsy with myoclonic absences

C. Simptomatik

- Etiologi non spesifik


- Early myoclonic encephalopathy
- Specific disease states presenting with seizures

6. MANIFESTASI KLINIS
I. Kejang parsial simpleks

Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami


gejala berupa:6,8,10.
- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama
sebelumnya Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba
dan tidak dapat dijelaskan.
- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubuh tertentu.
- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu.
- Halusinasi.
II. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya
bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan
kemungkinan besar tidak mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:
- Gerakan seperti mencucur atau mengunyah.
- Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang / memainkan pakaiannya.
- Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya.
- Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang
- Berbicara tidak jelas seperti menggumam
III. Kejang tonik klonik (epilepsi grand-mal)

Merupakan tipe kejang yang paling sering, dimana terdapat dua tahap,
yaitu:
Tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada
serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik
saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan
yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal,
kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat:
kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang
menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam
atau lidah.

Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol,
pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih
ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

7. DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamesis dan pemeriksaan fisik


dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.6,8,10.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.


Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi
vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan
aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan


- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan pasca serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada atau tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan pertama terjadi
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan


epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus
menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan
riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro Ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan


merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold
standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung
oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal jika:

- Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal.
- Rekaman video EEG.

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk


melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan
CT-Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih
rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri
serta untuk membantu terapi pembedahan.
8. TERAPI
Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang
memerlukan pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan
neurologik permanen maupun kematian. Definisi dari status epileptikus
yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya
dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit serangan.6,8,10.

Algoritma Tatalaksana Epilepsi

Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk


pasien. Prinsip terapi farmakologi epilepsi, yakni:6,8.
- OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan
keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan
efek sampingnya.
- Terapi dimulai dengan monoterapi.
- Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat
dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan
dosis efektif. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak
dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE
kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan
bertahap perlahan-lahan.
- Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan
tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE
pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai


terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus
epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung,
riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama
merupakan status epileptikus.

Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi:

- Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA).


- Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+,
Ca2+, K+, dan Cl atau aktivitas neurotransmiter.

Penghentian pemberian OAE

Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat


dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan. Syarat umum
menghentikan OAE adalah sebagai berikut:
- Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan.
- Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
- Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari
satu OAE yang bukan utama

Obat ezogabine merupakan obat baru dan memiliki mekanisme kerja


sebagai pembuka saluran kalium, mengaktivasi gerbang saluran kalium di
otak. Akan tetapi mekanisme unik ini memiliki beberapa efek toksik yang
biasanya tidak terdapat pada obat kejang lainnya seperti retensi urine. Hal
inilah yang menyebabkan US Food and Drug Administration's (FDA's)
masih mempertimbangkan obat ini.

Pemilihan OAE pada pasien anak berdasarkan bentuk bangkitan dan sindrom.6,8.

Tipe Bangkitan OAE Lini OAE Lini Kedua OAE Lini Ketiga
Pertama
LENA VPA, LTG ESM LEV, ZNS
MIOKLONIK VPA LPM, ZNS LTG, PB
TONIK-KLONIK VPA, CBZ, PB LTG, TPM, PHT ZMS, OXC, LEV
PARSIAL CBZ, VPA, PB LTG, TPM, OXC CLB, PHT, GBP
SPASMA VGB, ACTH VPA, NTZ LTG, ZNS
INFANTIL
LENNOX- VPA LTG, TPM CLB, FBM
GASTAUT
TIDAK VPA LTG TPM, LEV
TERKLASIFIKASI

Obat Mekanisme Kerja


Karbamazepin Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja
juga pada reseptor NMDA, asetilkolin.
Fenitoin Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan
kalsium dan klorida
Fenobarbital Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan
konduktan natrium, kalium dan kalsium
Valproat Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan
ambang konduktan kalsium
Gabapentin Modulasi kalsium channel
Lamotrigin Blok konduktan natrium
Topiramat Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA.

Obat epilepsi untuk anak.6,8.

Drug Seizure Oral Dose Loading Therape Side Effects And


Type Dose utic Toxicity
(IV) Serum
Level
(µG/mL)
Carbamazepine Generalize Begin 10 - 8 – 12 Dizziness,
(Tegretol) d tonic- mg/kg/24hr drowsiness, diplopia,
clonic increase to 20- liver dysfunction,
Partial 30mg/kg/24hr tid anemia, neutropenia,
SIADH. Blood
dyscrasias rare,
hepatotoxic effects
Clobazam Adjunctiv 0,25-1 - - Dizziness, fatigue,
(Frisium) e therapy mg/kg/24hr bid or weight gain, ataxia
when tid and behavior
seizures problems.
poorly
controlled.
Clonazepam -Absence Children <30kg: Drowiness,
(Rivotri) Begin irritability, agitation,
0,05mg/kg/24hari behavioral
- Increase by abnormalities,
Myoclonic 0.05mg/kg/wk depression, excessive
-Infantile Maximum - >0.013 salivation.
spasme 0,2mg/kg/24hr
bid or tid
-Partial Children
-Lennox- >30kg:1,5mg/kg/
Gastaut 24hr tid, not to
-Akinetic exceed
20mg/24hr
Ethosuximide Absence Begin Abdominal
(Zarotin) 20mg/kg/24hr discomfort, skin-
rash, liver
- 40-100
May Increase to dysfunction,
increase maximum of leukopenia.
tonic- 440mg/kg/24hr or
clonic 1.5g/24hr,
sezures whichever is less.
Gabapentin Adjuntive -Children: 20- - Not Somnolence,
(Neurontin) therapy 50mg/kg/24hr tid. necessar dizziness, ataxia,
when -Adolescence: y to headache, tremor,
seizures 600- monitor vomiting, nystagmus,
poorly 3.600mg/24hr tid. fatigue and weight
controlled gain.
Lamotrigine Adjunctiv - Rash, dizziness,
e therapy ataxia
when:

-Partial 20- Temper tantrums,


Individualized 30mg/kg - altered sleep pattern,
-Status based in the Stevens-Johnson
epilepticus neonate Syndrome,
Depression of
cognitive function.

Phenytoiin Generalize Hirsutism, gum


(Dilantin) d tonic- hypertrophy, ataxia,
clonic skin rash, Steven-
3-9mg/kg/24hr 20mg/kg 10-20 johnson syndrome,
-Partial bid nystagmus, nausea,
vomiting,
-Status drowsiness,
epilepticus coarsening, facial
features, blood
dyscrasias.
Primidone Generalize Children <8yr: Aggressive behavior,
(Mysoline) d tonic- 10-25mg/kg/24hr personality changes,
clonic tid or qid similar to
- 6-12 phenobarbital
Partial Children >8yr:
usual
maintenance
dose. 750-
1.500mg/24hr
GIZI BURUK

1. DEFINISI
Gizi buruk adalah suatu istilah yang umum dipakai oleh kalangan gizi,
kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen Kesehatan
(2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi),
3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk
(8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi
gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-
19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).7,8,13.

2. ETIOLOGI

Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara
garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan
makanan yang kurang dan anak sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu
gizi buruk dipengaruhi oleh faktor lain seperti sosial ekonomi, kepadatan
penduduk, kemiskinan, dan lain-lain.7.

A. Faktor utama penyebab gizi buruk pada anak-anak:7.

1. Peranan diet

Anak sering tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang


terutama dalam segi protein dan karbohidratnya. Diet yang mengandung
cukup energi tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi
penderita kwashiokor, sedangkan diet kurang energi walaupun zat gizi
esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita
marasmus. Pola makan yang salah seperti pemberian makanan yang
tidak sesuai dengan usia akan menimbulkan masalah gizi pada anak.
2. Peranan penyakit infeksi

Penyakit infeksi menjadi penyebab terbesar kedua setelah asupan


makanan yang tidak seimbang. Telah lama diketahui adanya hubungan
yang erat antara malnutrisi dan penyakit infeksi terutama di negara
tertinggal maupun di negara berkembang seperti Indonesia, dimana
kesadaran akan kebersihan diri (personal hygiene) masih kurang, dan
adanya penyakit infeksi kronik seperti Tuberkulosis dan cacingan pada
anak-anak. Kaitan antara infeksi dan kurang gizi sangat sukar
diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan anak menjadi kurang gizi
yang pada akhirnya memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan
tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi baru pada anak.

B. Faktor lain penyebab gizi buruk pada anak:7.

1. Peranan sosial ekonomi.

Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan


masalah sosial ekonomi, dan kemiskinan. Data di indonesia dan negara
lain menunjukan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi
dengan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat terutama
masalah kemiskinan yang pada akhirnya mempengaruhi ketersedian
makanan serta keragaman makanan yang dikonsumsi.

2.Peranan kepadatan penduduk.


Dalam kongresnya di Roma pada tahun 1974, World Food
Organization memaparkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk
yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan pangan
maupun bahan makanan setempat yang memadai merupakan sebab
utama krisis pangan. Marasmus dapat terjadi jika suatu daerah terlalu
padat penduduknya dengan keadaan higiene yang buruk.
3. KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Wellcome pada MEP berat dapat digunakan sampai
usia lebih dari 20 tahun. Klasifikasi menurut Wellcome ini sangat sederhana
karena hanya melihat % BB/U dan ada atau tidaknya edema. Terdapat
kategori kurang gizi ini meliputi anak dengan PEM sedang atau yang
mendekati PEM berat tapi tanpa edema, pada keadaan ini % BB/U berada
diatas 60%.7,8,13.

Tabel 1. Klasifikasi MEP berat menurut Wellcome Trust

Kwashiorkor Kurang Gizi 60-80% BB/U


Kwashiorkor Marashmus < 60% BB/U

Tabel 2. Klasifikasi MEP berat menurut Gomez

Normal >90 % BB/U


Grade I (Malnutrisi Ringan) 75-89,9 % BB/U
Grade II (Malnutrisi Sedang) 60-74,9 % BB/U
Grade III (Malnutrisi Berat) < 60 % BB/U

ANTROPOMETRI

1. Berat Badan

Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang paling sederhana,


mudah diukur dan diulang dan merupakan indeks untuk status nutrisi sesaat.
Hasil pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar Berat
Badan/Umur (BB/U) dan Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB). Adapun
interpretasi pengukuran berat badan yaitu: BB/U dibandingkan dengan
acuan standar (CDC 2000) dan dinyatakan dalam persentase:

- 120% : Disebut gizi lebih


- 80 – 120% : Disebut gizi baik
- 60 – 80% : Tanpa edema; gizi kurang dengan edema; gizi buruk
(kwashiorkor)
- <60% : Gizi buruk : tanpa edema (marasmus) dengan
edema (marasmus – kwashiorkor)

2. Tinggi Badan

Tinggi badan pasien harus diukur pada tiap kunjungan . Pengukuran


berat badan akan memberikan informasi yang bermakna kepada dokter
tentang status nutrisi dan pertumbuhan fisis anak. Seperti pada pengukuran
berat badan, untuk pengukuran tinggi badan juga diperlukan informasi umur
yang tepat, jenis kelamin dan baku yang diacu yaitu CDC 2000. Interpretasi
dari TB/U dibandingkan standar baku berupa:

- 90 – 110% : Baik / normal


- 70 – 89% : Tinggi kurang
- <70% : Tinggi sangat kurang

3. Rasio Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Rasio BB/TB bila dikombinasikan dengan berat badan menurut umur


dan tinggi badan menurut umur sangat penting dan lebih akurat dalam
penilaian status nutrisi karena ia mencerminkan proporsi tubuh serta dapat
membedakan antar “wasting” dan “stunting” atau perawakan pendek.
Indeks ini digunakan pada anak perempuan hanya sampai tinggi badan 138
cm, dan pada anak lelaki sampai tinggi badan 145 cm. Setelah itu rasio
BB/TB tidak begitu banyak artinya, karena adanya percepatan tumbuh
(growth spurt). Keuntungan indeks ini adalah tidak diperlukannya faktor
umur, yang seringkali tidak diketahui secara tepat.

𝐵𝐵
x 100% = (BB terukur saat itu) / (BB standar sesuai untuk TB terukur) x 100% .
𝑇𝐵

Interpretasi di nilai sebagai berikut:

- >120% : Obesitas
- 110 – 120% : Overweight
- 90 – 110% : Normal
- 70 – 90% : Gizi kurang
- <70% : Gizi buruk

4. MANIFESTASI KLINIS
Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua
bagian besar, yaitu marasmus dan kwashiorkor. Sedangkan marasmus-
kwashiorkor gejala klinisnya dapat ditemukan secara bersamaan. Berikut
adalah perbedaan gejala klinis dari marasmus dan kwashiorkor.7,13.

5. DIAGNOSIS
Diagnosis marasmus dibuat berdasarkan gambaran klinis, tetapi untuk
mengetahui penyebab harus dilakukan anamnesis makanan dan kebiasaan
makan anak serta riwayat penyakit yang lalu. Pada awalnya, terjadi
kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan
sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga
menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang. Lemak pada
daerah pipih adalah bagian terakhir yang hilang sehingga untuk beberapa
waktu muka bayi tampak relatif normal sampai nantinya menyusut dan
berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar dan gambaran usus dapat
dengan mudah dilihat. Terjadi atrofi otot dengan akibat hipotoni. Suhu
biasanya subnormal, nadi mungkin lambat, dan angka metabolisme basal
cenderung menurun.7.
Mula-mula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian menjadi lesu dan nafsu
makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul diare dengan
buang air besar sering, tinja berisi mucus dan sedikit. Ciri dari marasmus
antara lain:7,13,14.

- Penampilan wajah seperti orangtua, terlihat sangat kurus


- Perubahan mental
- Kulit kering, dingin dan kendur
- Rambut kering, tipis dan mudah rontok
- Lemak subkutan menghilang sehingga turgor kulit berkurang
- Otot atrofi sehingga tulang terlihat jelas
- Sering diare atau konstipasi
- Kadang terdapat bradikardi
- Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
- Kadang frekuensi pernafasan menurun

Selain itu marasmus harus dapat dibedakan dengan kasus malnutrisi


lainnya yaitu kwashiokor agar tidak terjadi kesalahan dalam penegakkan
diagnosa yang dapat berpengaruh pada tindak lanjut kasus ini. Kwashiorkor
merupakan sindroma klinis akibat dari malnutrisi protein berat (MEP berat)
dengan masukan kalori yang cukup. Bentuk malnutrisi yang paling serius
dan paling menonjol di dunia saat ini terutama yang berada didaerah industri
belum berkembang. Kwashiorkor berarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak
yang tidak lagi menghisap, gejalanya dapat menjadi jelas sejak masa bayi
awal sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya sesudah menyapih dari ASI.
Walaupun penambahan tinggi dan berat badan dipercepat dengan
pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan tinggi dan berat badan
anak normal. Ciri dari Kwashiorkor menurut antara lain:7,13,14.

- Perubahan mental sampai apatis


- Sering dijumpai edema
- Atrofi otot
- Gangguan sistem gastrointestinal
- Perubahan rambut dan kulit
- Pembesaran hati
- Anemia

6. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan terhadap gizi buruk dapat dilaksanakan dengan
baik bila penyebabnya diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana
dan prasarana kesehatan yang baik untuk pelayanan kesehatan dan
penyuluhan gizi. Beberapa di antaranya ialah:7,13.
1 Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber
energi yang paling baik untuk bayi.
2 Ditambah dengan pemberian makanan tambahan bergizi dan berprotein
serta energi tinggi pada anak sejak umur 6 bulan ke atas.
3 Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan
dan kebersihan perorangan.
4 Pemberian imunisasi.
5 Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu
kerap.
6 Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat
merupakan usaha pencegahan jangka panjang.
7 Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang
endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.

7. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada penderita gizi buruk adalah pemberian
makanan yang tepat seperti diet tinggi kalori dan tinggi protein serta
mencegah kekambuhan. Penderita gizi buruk tanpa komplikasi dapat
berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan yang
baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi,
syok, asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit.
Berikut adalah tabel sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk.7,13.
Kebutuhan Zat Gizi anak gizi buruk menurut Fase Pemberian Makanan.13.

Zat Gizi Stabilisasi Transisi Rehabilitasi


Energi 80-100 100-150 150-
Kkal/KgBB/hari Kkal/KgBB/hari. 220Kkal/KgBB/hari.
Protein 1-1,5 g/KgBB/hari 2-3g/KgBB/hari 4-6g/KgBB/hari.
Cairan 130mL/KgBB/haro 150mL/KgBB/hari. 150-200mL/KgBB/hari.
atau
100mL/KgBB/hari
bila edema berat.
Medikamentosa:13.

• Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Rehidrasi


oral dengan cara Resomal, rehidrasi secara parental hanya pada
dehidrasi berat atau syok.
• Atasi/cegah hipoglikemia.
• Atasi gangguan elektrolit.
• Atasi/cegah hipotermia
• Antibiotik (bila tidak jelas ada infeksi, dapat diberikan
kotrimoksazol selama 5 hari, bila terdapat infeksi nyata, berikan
ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan oral sampai 7 hari,
ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari).
• Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai dengan pedoman.
• Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6bulan: 50.000 SI, 6-12 bulan:
100.000 SI dan >1 tahun: 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari
ke-15 atau sebelum pulang.
• Multivitamin-mineral, khusus asal folat hari pertama 5mg,
selanjutnya 1 mg per hari.
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Arjuna Monang Sinaga
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 6 tahun
Tanggal lahir : 22 Juli 2012
Tempat lahir : Juma Sianak
Rekam medis : 08 63 52
Tanggal masuk RS : 03 Desember 2018
Lama rawat : 12 hari
Alamat : Juma Sianak

II. IDENTITAS ORANGTUA

Identitas Ayah Ibu


Nama Saut Sinaga Detta Sihombing
Umur 42 tahun 38 tahun
Agama Kristen Protestan Kristen Protestan
Suku/bangsa Batak/Indonesia Batak/Indonesia
Pekerjaan Petani Petani
Riwayat Penyakit - -
Alamat Juma Sianak Juma Sianak

III. RIWAYAT KELAHIRAN


Jenis Persalinan : Normal
Tempat lahir : Juma Sianak
Tanggal Lahir : 22 Juli 2012
Ditolong oleh : Bidan
BB Lahir : 2600 gram
PB Lahir :-
Usia Kehamilan : 9 bulan
IV. IMUNISASI
Orangtua os tidak ingat
V. PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Tanggal 6 Januari 2016 os pernah dirawat dengan diagnosa dehidrasi
ringan sedang + epilepsi + gizi buruk tipe marasmus
Tanggal 12 Oktober 2016 os pernah dirawat dengan diagnosa gizi buruk
tipe marasmus + epilepsi grandmal

VI. KETERANGAN MENGENAI SAUDARA OS


Os merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara

VII. ANAMNESE MENGENAI PENYAKIT O.S.

Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan Utama : Bengkak seluruh tubuh.

Telaah : Bengkak dialami os sejak 1 minggu yang lalu. Os juga


mengeluhkan batuk disertai sesak nafas kurang lebih 1
minggu. Demam tidak dijumpai. Nyeri kepala (-), mual
muntah (-), jantung berdebar-debar (-), BAB (+) normal,
BAK (+) normal. Makanan os bubur nasi + sayur + tahu/telur
(±1 kali seminggu)

RPO :-

RPT : Epilepsi, ISPA, Gizi Buruk tipe Marasmus

RPK :-
PEMERIKSAAN FISIK
• Status Present : Compos mentis
Sensorium : GCS (E: 4 V: 5 M: 6)
Anemi (+), ikterik (-), dypsnoe (-), sianosis (-), edema (+)
Status Gizi : kurva CDC 3/12/2018 → 81,96 (malnutrisi ringan)
16/12/2018 → 56,5 (malnutrisi berat)
3/12/2018 Berat Badan (10 kg), Tinggi Badan (85 cm),
16/12/2018 Berat Badan (6,9 kg), Tinggi Badan (85 cm)
• Status Lokalisata :

Kepala : Rambut : Hitam dan rapuh


Mata : Mata cekung (-)
Edema Palpebra (+/+)
Refleks cahaya (+/+)
Pupil isokor, diameter 2 mm
Conjungtiva palpebra inferior pucat (+/+)
Telinga : Bentuk normal, hiperemis (-/-)
Hidung : Sekret (-), septum deviasi (-)
Mulut : Mukosa bibir dalam batas normal
T1– T1

Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)


Kaku Kuduk (-)

Dada : Simetris fusiformis


Retraksi (+)
Iga gambang (-)
HR : 80 x/menit, reguler/ireguler, desah (-)
RR : 28 x/menit, reguler/ireguler, ronki (-/-)

Perut : Distensi (+)


Undulasi (+)
Peristaltik (+) normal
Anggota Gerak : Nadi 80 x/menit
TD 110/80 mmHg,
Capillary refil time : >2 detik
Pitting edema (+/+)
Refleks fisiologis : Biceps ( + ), Triceps ( + ), tendon lutut ( + ), tendon
Achiles ( + )

Refleks patologis : Babinski (-), Oppenheim (-), Gordon (-), Schaefer (-),
Gordon (-), Chadok (-)

VIII. DIAGNOSIS

Gizi buruk dengan edema berat (Kwashiorkor) + Epilepsi + Anemia

IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi
03-12-2018
Hemoglobin : 9,8 g%
Eritrosit : 3,38 103/mm3
Leukosit : 4,3 103/mm3
Hematokrit : 26,5 %
MCV : 78,4 FL
MCH : 29,0 Pg
MCHC : 37,0 g%
Trombosit : 222 103/mm3
LED :-
KGD Ad Random : 121 mg/dl
Golongan darah : A+

08-12-2018
Hemoglobin : 8,9 g%
Eritrosit : 2,92 103/mm3
Leukosit : 6,2 103/mm3
Hematokrit : 23,8 %
MCV : 81,5 FL
MCH : 30,5 Pg
MCHC : 37,4 g%
Trombosit : 161 103/mm3
LED : 20 mm/jam
Albumin : 3,81

14-12-2018
Hemoglobin : 9,2 g%
Eritrosit : 3,14 103/mm3
Leukosit : 8,1 103/mm3
Hematokrit : 25,8 %
MCV : 82,2 FL
MCH : 29,3 Pg
MCHC : 35,7 g%
Trombosit : 955 103/mm3
LED : 15 mm/jam
Faal Hati
SGOT : 56,9 U/L
SGPT : 49,0 U/L
Gamma GT : 66,0 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 9,9 mg/dl
Creatinin : 0,79 mg/dl
Uric Acid : 1,1 mg/dl
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Thorax: Bronkopneumonia dd TB Paru aktif
X. Terapi

• IVFD D5% 5 gtt/i (mikro)


• Inj. Ampisilin 500 mg/ 6 jam
• Inj. Gentamisin 40 mg/ 12 jam
• Asam folat 1x5 mg (hari I) selanjutnya 1x1 mg
• Vitamin C 1x50 mg
• B complex 1x1/2 tab
• Setelah 10 jam F75 130 cc/3 jam
• Pasang NGT

XI. Follow-up Pasien

Tanggal 04-12-2018 05-12-2018


S Badan lemas (+) Badan terasa lemas
Nyeri kepala (-) Mencret (+) 1x
Kejang (-) Muntah (-)
BAB hitam (-) Batuk (+)
Nyeri perut (-)
O Sens: Compos mentis Sens: Compos mentis
Conjungtiva anemis (+/+) Conjungtiva anemis (+/+)
Wajah sembab (+) Wajah sembab (+)
Edema palpebra (+/+) Edema palpebra (+/+)
Pembesaran KGB leher (-) Pembesaran KGB leher (-)
Thorax: Cor: BJ I-II Normal, Thorax: Cor: BJ I-II Normal,
Murmur (–) Murmur (–)
Dada: Simetris, Ronki (+/+) Dada: Simetris, Ronki (+/+)
Abdomen: undulasi (+), Abdomen: undulasi (+),
peristaltik (+) N peristaltik (+) N
CRT >2 detik CRT >2 detik
Pitting edema (+/+) Pitting edema (+/+)
A Gizi buruk dengan edema Gizi buruk dengan edema berat
berat (Kwashiorkor) + (Kwashiorkor) + Epilepsi +
Epilepsi + Anemia + Sepsis + Anemia + Sepsis +
Bronkopneumonia Bronkopneumonia + Cerebral
palsy
P • O2 1 L via nasal kanul • O2 1 L via nasal kanul
• IVFD D5% 5 gtt/i • IVFD D5% 5 gtt/i (mikro)
(mikro) • Inj. Cefotaxime 500 mg/ 12
• Inj. Cefotaxime 500 mg/ jam
12 jam • Asam folat 1x1 mg (hari II)
• Asam folat 1x1 mg (hari • Vitamin C 1x50 mg
I) • B complex 1x1/2 tab
• Vitamin C 1x50 mg • F75 100 cc/3 jam (hari II)
• B complex 1x1/2 tab • Cotrimoxazole syr 2x2 cth
• F75 100 cc/3 jam • GG 40 mg
• Cotrimoxazole syr 2x2 3x1
• Salbutamol 0,75 mg
cth
Tanggal 06-12-2018 07-12-2018
S Badan lemas (+) Lemas (+)
Mencret (-) Demam (-)
Batuk (+) Batuk (+)
Sesak (+) Sesak nafas (+)
Mencret (-)
O Sens: Compos mentis Sens: Compos mentis
Pembesaran KGB leher (-) Pembesaran KGB leher (-)
Thorax: Cor: BJ I-II Normal, Thorax: Cor: BJ I-II Normal,
Murmur (–) Murmur (–)
Dada: Simetris, Ronki (+/+), Dada: Simetris, Ronki (+/+),
retraksi intercostal (+) retraksi intercostal (+)
Abdomen: peristaltik (+) N Abdomen: peristaltik (+) N
A Gizi buruk dengan edema Gizi buruk dengan edema berat
berat (Kwashiorkor) + (Kwashiorkor) + Epilepsi +
Epilepsi + Anemia + Sepsis + Anemia + Sepsis +
Bronkopneumonia + Cerebral Bronkopneumonia + Cerebral
palsy palsy
P • O2 1-2 L via nasal kanul • O2 1-2 L via nasal kanul
• IVFD D5% 5 gtt/i • IVFD D5% 5 gtt/i (mikro)
(mikro) • Inj. Cefotaxime 500 mg/ 12
• Inj. Cefotaxime 500 mg/ jam
12 jam • Asam folat 1x1 mg (hari IV)
• Asam folat 1x1 mg (hari • Vitamin C 1x50 mg
III) • B complex 1x1/2 tab
• Vitamin C 1x50 mg • F100 100 cc/3 jam (hari II)
• B complex 1x1/2 tab • Cotrimoxazole syr 2x2 cth
• F100 100 cc/3 jam (hari • GG 40 mg
3x1
I) • Salbutamol 0,75 mg
• Cotrimoxazole syr 2x2 • Nebul Meptin ½ respul +
cth NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam
• GG 40 mg
• Salbutamol 0,75 mg • Tanggal 8-12-2018 cek darah
rutin

Tanggal 08-12-2018 09-12-2018


S Mencret (+) Mencret (+) 2x
Batuk (+) Batuk (+)
Dahak sulit keluar
Sens: Compos mentis Sens: Compos mentis
Pembesaran KGB leher (-) Pembesaran KGB leher (-)
Thorax: Cor: BJ I-II Normal, Thorax: Cor: BJ I-II Normal,
O Murmur (–) Murmur (–)
Dada: Simetris, Ronki (+/+), Dada: Simetris, Ronki (+/+),
retraksi intercostal (+) retraksi intercostal (+)
Abdomen: peristaltik (+) N Abdomen: peristaltik (+) N
Gizi buruk dengan edema berat Gizi buruk dengan edema berat
(Kwashiorkor) + Epilepsi + (Kwashiorkor) + Epilepsi +
A Anemia + Sepsis + Anemia + Sepsis +
Bronkopneumonia + Cerebral Bronkopneumonia + Cerebral
palsy palsy
• O2 1-2 L via nasal kanul • O2 1-2 L via nasal kanul
• IVFD D5% 5 gtt/i (mikro) • IVFD D5% 5 gtt/i (mikro)
• Inj. Cefotaxime 500 mg/ • Inj. Cefotaxime 500 mg/ 12
12 jam jam
• Asam folat 1x1 mg (hari • Asam folat 1x1 mg (hari VI)
V) • Vitamin C 1x50 mg
• Vitamin C 1x50 mg • B complex 1x1/2 tab
P • B complex 1x1/2 tab • F100 110 cc/3 jam
• F100 100 cc/3 jam (hari • Cotrimoxazole syr 2x2 cth
III) • GG 40 mg 3x1
• Cotrimoxazole syr 2x2 cth • Salbutamol 0,75 mg
• GG 40 mg • Nebul Meptin ½ respul +
• Salbutamol 0,75 mg NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam
• Nebul Meptin ½ respul + • Zinc syr 1x1 cth
NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam
• Zinc syr 1x1 cth
Tanggal 10-12-2018 11-12-2018
Mencret (+) 2x Mencret (+) 2x
S
Batuk (+) Batuk (+)
Demam (-) Dahak sulit keluar
Sesak (+)
Sens: Compos mentis Sens: Compos mentis
BB : 7,5 kg BB : 7,5 kg
Pernafasan cuping hidung Pernafasan cuping hidung (+/+)
O (+/+) Dada: Simetris, Ronki (+/+),
Dada: Simetris, Ronki (+/+), retraksi intercostal (+)
retraksi intercostal (+) Abdomen: peristaltik (+) N
Abdomen: peristaltik (+) N
Gizi buruk dengan edema berat Gizi buruk dengan edema berat
(Kwashiorkor) + Epilepsi + (Kwashiorkor) + Epilepsi +
A Anemia + Sepsis + Anemia + Sepsis +
Bronkopneumonia + Cerebral Bronkopneumonia + Cerebral
palsy palsy
• O2 1-2 L via nasal kanul • O2 1-2 L via nasal kanul
• IVFD D5% 5 gtt/i (mikro) • IVFD D5% 5 gtt/i (mikro)
• Inj. Cefotaxime 500 mg/ • Inj. Cefotaxime 500 mg/ 12
12 jam jam
• Asam folat 1x1 mg (hari • Asam folat 1x1 mg (hari
VII) VIII)
• Vitamin C 1x50 mg • Vitamin C 1x50 mg
P • B complex 1x1/2 tab • B complex 1x1/2 tab
• F100 110 cc/3 jam • F100 120 cc/3 jam
• Cotrimoxazole syr 2x2 cth • Cotrimoxazole syr 2x2 cth
• GG 40 mg • GG 40 mg 3x1
• Salbutamol 0,75 mg • Salbutamol 0,75 mg
• Nebul Meptin ½ respul + • Nebul Meptin ½ respul +
NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam
• Zinc syr 1x1 cth • Zinc syr 1x1 cth
Tanggal 12-12-2018 13-12-2018
S Batuk (+) Batuk (+)
Demam (-) Sesak (+)
Kejang (+)
Sens: Compos mentis Sens: Compos mentis
BB : 7 kg BB : 6,9 kg
Pernafasan cuping hidung Pernafasan cuping hidung (+/+)
O (+/+) Dada: Simetris, Ronki (+/+),
Dada: Simetris, Ronki (+/+), retraksi intercostal (+)
retraksi intercostal (+) Abdomen: peristaltik (+) N
Abdomen: peristaltik (+) N
Gizi buruk dengan edema berat Gizi buruk dengan edema berat
(Kwashiorkor) + Epilepsi + (Kwashiorkor) + Epilepsi +
A Anemia + Sepsis + Anemia + Sepsis +
Bronkopneumonia + Cerebral Bronkopneumonia + Cerebral
palsy palsy
• O2 1-2 L via nasal kanul • O2 1-2 L via nasal kanul
• IVFD D5% 5 gtt/i (mikro) • IVFD D5% 5 gtt/i (mikro)
• Inj. Cefotaxime 500 mg/ • Inj. Cefotaxime 500 mg/ 12
12 jam jam
• Asam folat 1x1 mg (hari • Asam folat 1x1 mg (hari X)
IX) • Vitamin C 1x50 mg
• Vitamin C 1x50 mg • B complex 1x1/2 tab
P • B complex 1x1/2 tab • F100 120 cc/3 jam
• F100 120 cc/3 jam • Cotrimoxazole syr 2x2 cth
• Cotrimoxazole syr 2x2 cth • GG 40 mg 3x1
• GG 40 mg • Salbutamol 0,75 mg
• Salbutamol 0,75 mg • Nebul Meptin ½ respul +
• Nebul Meptin ½ respul + NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam
NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam • Zinc syr 1x2 cth
• Zinc syr 1x2 cth
• Depakene syr 2x2,5 cc

Tanggal 14-12-2018 15-12-2018


S Batuk (+) Batuk (-)
Demam (-) Sesak (-)
Kejang (+) 1x Kejang (-)
Demam (-)
Sens: Compos mentis Sens: Compos mentis
BB : 6,9 kg BB : 6,9 kg
Pernafasan cuping hidung Pernafasan cuping hidung (+/+)
O (+/+) Dada: Simetris, Ronki (+/+),
Dada: Simetris, Ronki (+/+), retraksi intercostal (+)
retraksi intercostal (+) Abdomen: peristaltik (+) N
Abdomen: peristaltik (+) N
Gizi buruk dengan edema berat Gizi buruk dengan edema berat
(Kwashiorkor) + Epilepsi + (Kwashiorkor) + Epilepsi +
A Anemia + Sepsis + Anemia + Sepsis +
Bronkopneumonia + Cerebral Bronkopneumonia + Cerebral
palsy palsy
• O2 1-2 L via nasal kanul • IVFD D5% 5 gtt/i (mikro)
• IVFD D5% 5 gtt/i (mikro) • B complex 1x1/2 tab
• B complex 1x1/2 tab • F100 135 cc/3 jam
• F100 120 cc/3 jam • Cotrimoxazole syr 2x2 cth
• Cotrimoxazole syr 2x2 cth • GG 40 mg 3x1
• GG 40 mg • Salbutamol 0,75 mg
• Salbutamol 0,75 mg • Nebul Meptin ½ respul +
P • Nebul Meptin ½ respul + NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam
NaCl 0,9 % 2,5 cc/ 8 jam • Zinc syr 1x2 cth
• Zinc syr 1x2 cth • Depakene syr 2x2,5 cc
• Depakene syr 2x2,5 cc • Aspirin 2x20 mg (hari I)
• Vit. A 1x200.000 IU
• Azitromisin 1x100 mg (hari
I)
• Vit. C 1x50 mg

Tanggal 16-12-2018
Demam (-)
S
Kejang (-)
Mual (-)
Muntah (-)
Sens: Compos mentis
Pembesaran KGB leher (-)
O
Dada: Simetris
Abdomen: peristaltik (+) N
Gizi buruk dengan edema berat (Kwashiorkor) + Epilepsi +
A Anemia + Sepsis + Bronkopneumonia + Cerebral palsy

• B complex 1/2 tab


• Vit. C 50 mg 1x1 pulv
• Cotrimoxazole syr 2x2 cth
P • GG 40 mg
3x1 pulv
• Salbutamol 0,75 mg
• Zinc syr 1x2 cth (20 mg)
• Depakene syr 2x2,5 cc
• Aspirin 2x20 mg (hari II)
• Azitromisin 1x100 mg (hari II)

Pada tanggal 16 Desember 2018 os pulang berobat jalan dengan terapi:


• B complex 1/2 tab
1x1 pulv
• Vit. C 50 mg
• Cotrimoxazole syr 2x2 cth
• GG 40 mg
3x1 pulv
• Salbutamol 0,75 mg
• Zinc syr 1x2 cth (20 mg)
• Depakene syr 2x2,5 cc
• Aspirin 2x20 mg (hari II) → diberikan selama 5 hari
• Azitromisin 1x100 mg (hari II) → diberikan selama 5 hari
• Kontrol kembali ke poliklinik anak 3 hari kemudian

XII. Prognosis
• Quo ad vitam : Dubia ad bonam.
• Quo ad functionam : Dubia ad bonam.
• Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Seorang anak laki-laki usia 6 tahun diantar ke IGD RSUD Sidikalang


dengan keluhan bengkak seluruh tubuh. Hal ini telah dialami os sejak 1
minggu sebelum masuk RS. Os juga mengeluhkan batuk disertai sesak nafas
kurang lebih 1 minggu. Demam, nyeri kepala, mual, muntah, jantung
berdebar-debar tidak dijumpai. BAB dan BAK normal. Sebelumnya os
memiliki riwayat kejang berulang. Os juga pernah dirawat pada tanggal 6
Januari 2016 dengan diagnosis dehidrasi ringan sedang + epilepsi + gizi
buruk tipe marasmus dan pada tanggal 12 Oktober 2016 dengan diagnosis
gizi buruk tipe marasmus dan + epilepsi grandmal. Status gizi os buruk
dengan berat badan 10 kg dan tinggi badan 85 cm. Dari pemeriksaan fisik
didapati edema kedua palpebra, conjungtiva palpebra anemis, retraksi
subkostal, RR 28 x/menit, dijumpai distensi abdomen dan undulasi cairan,
dan pada ekstremitas dijumpai pitting edema. Pada pemeriksaan
laboratorium didapati penurunan hemoglobin, penurunan leukosit, dan
penurunan hematokrit, pemeriksaan radiologi didapati gambaran
bronkopneumonia dd TB paru aktif. Diagnosa anak tersebut adalah
Bronkopneumonia + Epilepsi + Gizi buruk tipe Marasmus-Kwashiorkor +
Anemia + Sepsis.

SARAN
1. Pneumonia merupakan manifestasi dari rendahnya daya tahan tubuh
sesorang akibat adanya peningkatan kuman patogen yang menyerang
saluran pernafasan. Oleh karena itu sangat diperlukan menjaga daya
tahan tubuh dengan memperhatikan nutrisi dan daya tahan tubuh
terutama untuk ibu agar lebih memperhatikan kesehatan anak karena
anak lebih rentan terkena penyakit yang disebabkan daya tahan tubuh
anak yang masih lemah.
2. Memberitahukan kepada orangtua bahwa kualitas hidup pada anak
dengan epilepsi dapat terkontrol dengan penanganan yang tepat.
Sehingga penanganan ketika anak kejang sangat penting untuk diketahui
orangtua.
3. Pentingnya melakukan pamantauan pertumbuhan balita di Posyandu,
memberikan penyuluhan dan konseling menyusui, dan makanan
pendamping ASI (MPASI) serta pemberian makanan tambahan untuk
mencukupi kebutuhan gizi anak.
4. Pentingnya pendidikan dan pelatihan secara khusus bagi petugas
kesehatan dalam melakukan pengukuran antropometri secara tepat
sehingga didapatkan data status gizi yang tepat.
5. Bagi ibu dan keluarga agar selalu memantau pertumbuhan dan
perkembangan sejak bayi dalam kandungan secara rutin agar tumbuh
secara optimal.
6. Sebaiknya ibu memperhatikan kebutuhan makanan anak yang
mengandung zat gizi yang baik sesuai angka kecukupan gizi (AKG).
DAFTAR PUSTAKA

1. Karen J, Marcdante. Robert M. Kliegman. Et. All. Pneumonia. Nelson


Textbook of Pediatrics. Ed. VI. Elsevier. 2011;124:527-34.
2. Alberta Medical Association. Guideline for The Diagnosa and Management
of Community Acquired Pneumonia Pediatric. 2001
3. Alsagaff H, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru
dan Saluran Napas FK Unair: Surabaya. 2004
4. Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Pedoman Diagnosis dan
Terapi. Surabaya. 2006
5. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009
6. Fitri Octaviana, 2008, Epilepsi,
http://www.dexamedica.com/images/publication_upload0901091706360012
31472906MEDICINU S_NOV_DES%2708.pdf. Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo.
Jakarta.
7. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk (Buku 1). Depkes RI, Direktorat
Jendral Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Jakarta: 2005
8. Buku Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009.
9. Pneumonia. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014;174-76.
10. Epilepsi. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014; 98-102.
11. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, Et.
all. ILAE Official Report: A Practical Clinical Definition of Epilepsy.
Epilepsia. 2014 Apr;55(4):475-82.
12. Blume WT, Luders HO, Mizrahi E, Tassinari C, Emde Boas W, Engel J.
Glossary of Descriptive Terminology for Ictal Semiology: Report of The
ILAE Task Force on Classification and Terminology. Epilepsia.
2001;42(9):1212-18.
13. Gizi Buruk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014;123-25.
14. Susanto JC, Mexitalia. Nasar SS. Malnutrisi Akut dan Terapi Nutrisi Berbasis
Komunitas. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 2011.

Anda mungkin juga menyukai