Anda di halaman 1dari 17

DIAGNOSIS DAN TERAPI DIARE KRONIK DAN DIARE PERSISTEN

Pendahuluan
Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama
masyarakat di Indonesia. Dengan tatalaksana yang baik kejadian diare akan sembuh dalam 3
6 hari. Hanya 2530% kasus berlangsung 714 hari dan 515% lebih dari 14 hari. Kasus diare
persisten dan kronik ini walaupun sedikit, namun penting karena penatalaksanaannya sulit,
sering sulit menentukan penyebabnya dan memerlukan pemeriksaan yang khusus, memiliki
risiko kematian yang tinggi, serta menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat
badan 3x lebih banyak daripada diare yang berakhir kurang dari 7 hari.1
Definisi
Diare kronik diartikan sebagai buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan berlangsung lebih dari
14 hari. Di negara berkembang diare kronik umumnya disebabkan infeksi intestinal yang dikenal
juga sebagai diare protracted.2 Menurut Yati Sunarto, mendefinisikan diare persisten sebagai
diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi umumnya infeksi, sedangkan diare
kronik mempunyai etiologi noninfeksi. Menurut hasil pertemuan WHO pada tahun 1988,
sebagaimana dikutip oleh Matthai,4 mendefinisikan diare persisten sebagai episode diare yang
diduga karena infeksi yang proses terjadinya secara akut tetapi kemudian berlanjut sampai
lebih dari 14 hari, hal ini tidak termasuk diare kronik/kambuh seperti tropical sprue, gluten
sensitive enteropathy, atau kelainan herediter yang lain.
Terdapat variasi definisi diare kronik dan diare persisten, karena terdapat perbedaan
kejadian diare di negara maju dengan negara berkembang. Menurut Bhutta5 diare kronik adalah
episode diare yang berlangsung lebih dari dua minggu yang sebagian besar disebabkan oleh
diare akut yang berkepanjangan karena infeksi, sedangkan The American Gastroenterological
Association mendefinisikan sebagai diare yang terjadi lebih dari 4 minggu dengan penyebab
noninfeksi dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Di Indonesia digunakan pengertian
diare persisten sebagai diare 14 hari dengan dasar etiologi infeksi dan diare kronik sebagai
diare 14 hari dengan dasar etiologi noninfeksi. 5,6
Patofisiologi
Mekanisme diare dikenal ada dua, pertama diare sekretorik dan kedua diare osmotik. Pada
umumnya mekanisme diare terdiri atas dua kombinasi mekanisme tersebut. Diare sekretorik
menyebabkan feses berair dalam jumlah besar. Pada diare sekretorik, ion dipompa dalam
1

lumen usus oleh endogenous dan exogenous secretagogues. Tidak terdapat kerusakan
intestinum. Osmolaritas dan ion gap pada tingkat normal. Pada diare osmotik, diare tetap
berlangsung apabila makanan per oral diberikan, diare akan berkurang apabila nutrisi per oral
dihentikan.2 Dalam pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and
Nutrition (CAPGAN), dihasilkan suatu konsep bahwa paparan predisposisi infeksi serta
noninfeksi menyebabkan proses yang dapat memicu kerusakan mukosa usus sehingga terjadi
diare kronik.7
Faktor-faktor penyebab diare kronik:
1. Infeksi bakteri/infestasi parasit yang sudah resisten terhadap antibiotik/antiparasit, disertai
overgrowth

bakteri

nonpatogen

seperti

Pseudomonas,

Klebsiela,

Streptokokus,

Stafilokokus, dsb.
2. Kerusakan epitel usus
Pada tahap awal sebagai akibat kerusakan epitel usus terjadi kekurangan enzim laktase
dan protease dengan akibat terjadinya maldigesti dan malabsorbsi karbohidrat serta protein
dan pada tahap lanjut setelah terjadi malnutrisi menyebabkan atrofi mukosa lambung,
mukosa usus halus disertai penumpulan vili, serta kerusakan hepar dan pankreas, terjadilah
defisiensi enzim-enzim yang dikeluarkan oleh organ-organ tersebut, menyebabkan
maldigesti dan malabsorbsi semua nutrien. Makanan yang tidak dapat dicerna dengan baik
tersebut akan menyebabkan tekanan koloid osmotik di dalam lumen usus meninggi,
menyebabkan osmotik diare. Selain itu juga akan menyebabkan overgrowth bakteri
sehingga terjadi dekonjugasi dan dehidroksilasi asam empedu. Dekonjugasi dan
dehidroksilasi asam empedu ini merupakan zat toksik terhadap epitel usus dan
menyebabkan gangguan pembentukan ATP-ase yang sangat penting sebagai sumber
energi dalam absorsi makanan.
Kerusakan mukosa dapat juga disebabkan oleh bakteri spesifik seperti E. coli, Shigella,
Salmonella, Campylobacter, atau defek sisa infeksi oleh beberapa patogen.
3. Gangguan imunologis
Usus merupakan organ utama untuk daya pertahanan tubuh. Defisiensi sekretori IgA (sIgA)
dan cell mediated immunity akan menyebabkan tidak mampu mengatasi infeksi bakteri dan
parasit dalam usus. Akibatnya bakteri, virus, parasit, dan jamur akan masuk ke dalam usus
dan berkembangbiak dengan leluasa, terjadi overgrowth dengan akibat lebih lanjut berupa
diare persisten dan malabsorbsi makanan yang lebih berat.1,4

Defisiensi zat
imun

Infeksi dan overgrowth


bakteri
Kerusakan epitel
usus

Laktase
menurun

Protease
menurun
MALNUTRITIO
N

Hepar
Dekonjugasi dan
Dehidroksilasi
asam empedu
ATP-ase

Atrofi mukosa
lambung dan vili
usus
Gastrin, HCl, pepsin,
sekretin turun
Maldigesti/m
al-

Pankreas
Pankreozimi
n dan
polipeptida
pankreas
Absorbsi
protein asing
naik

Sekresi dan
motilitas
turun

Tekanan koloid osmotik


naik

Alergi sensitisasi

DIARE
KRONIK

Gambar 1 Proses sekresi, absorbsi, dan motilitas dalam usus


Sumber: Suraatmaja dkk.1

Epidemiologi
Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan jumlah penderita diare hanya 10% dari
keseluruhan kasus. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang sekitar 715%
setiap tahun dan menyebabkan kematian 3654%.1,4 Sebuah penelitian berbasis komunitas
sebagaimana dikutip oleh Matthai4 menunjukkan setiap 100 anak di bawah usia 4 tahun, tujuh
kasus diare persisten terjadi setiap tahun dan hal ini bertanggung jawab terhadap sepertiga
sampai setengah dari kematian akibat diare.
Di RSUD Dr Moewardi Surakarta, kebanyakan penderita juga mengalami defisiensi sistem
imunitas (HIV), jumlah kejadian penderita pada tahun 2011 sebanyak 5 kasus diare persisten.
3

Etiologi
Penyebab diare kronik dapat infeksi dan noninfeksi.2 Infeksi merupakan penyebab terbanyak
diare kronik/persisten di negara berkembang, sedangkan noninfeksi lebih banyak didapatkan di
negara maju.8
Terdapat dua faktor utama yang dapat menjelaskan mekanisme terjadinya diare kronik:7,9
1. Faktor intralumen: berkaitan dengan proses pencernaan di dalam lumen usus, termasuk
gangguan sekresi enzim dan brush border membrane.
2. Faktor mukosal: berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan
yang berhubungan dengan segala proses yang menyebabkan perubahan integritas
membran mukosa usus atau gangguan fungsi transpor protein.
Etiologi Infeksi dan Noninfeksi Diare Persisten dan Diare Kronik
1. Etiologi Infeksi
a. Bakteri: EPEC, Shigella, Salmonella, S. aureus, P. aeruginosa, Klebsiela, Enterobakter.
Menurut penelitian Soeparto di Surabaya, seperti dikutip Soenarto, 3 enteropatogen
penyebab diare adalah Salmonella sp (11,9%), E. coli (9%), Entamoeba histolytica
(6,8%), Staphylococcus aureus (4%), serta Salmonella typhi, Moganella morgagni,
Klebsiela, dan Enterobakter dengan jumlah masing-masing kurang dari 2%.
b. Virus & protozoa: Adenovirus, Enterovirus, amubiasis, giardiasis
c. Small intestinal bacterial overgrowth
Pertumbuhan bakteri yang berlebihan/overgrowth di usus halus dapat menyebabkan
interaksi antara mikroorganisme dan enterosit. Dapat juga akibat dekonjugasi,
dehidroksilasi garam empedu (bile salt), dan hidroksilasi asam lemak akibat
proliferasi abnormal bakteri di daerah intestinum proksimal.
d. Postenteritis syndrome
Postenteritis syndrome merupakan keadaan patologis akibat kerusakan

mukosa

intestinal yang persisten setelah diare akut. Penderita lebih sensitif terhadap antigen
makanan, sekunder akibat defisiensi disakaridase, akibat infeksi atau reinfeksi kuman
patogen enteral sebagai penyebab sindrom postenteritis. Diare postenteritis juga
disebabkan karena perubahan mikroflora akibat infeksi dan atau akibat pemberian
antibiotik.
e. Tropical sprue: merupakan sindrom yang ditandai oleh diare akut atau kronik, penurunan
berat badan, dan malabsorbsi nutrisi yang terjadi pada penduduk atau pengunjung
daerah beriklim tropis atau subtropis. Penyebab penyakit ini tidak diketahui dengan
pasti, tetapi diduga infeksi bakteri akibat cedera usus, stasis, dan pertumbuhan bakteri
4

yang berlebihan. Pada penyakit ini sering ditemukan defisisiensi asam folat, vitamin
f.

B12, dan zat besi.10


Whipple disease: merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri gram
positif Tropheryma whippelii yang menyebabkan sindrom malabsorbsi, gangguan pada
sendi, sistem saraf pusat, dan sistem kardiovaskular.11
Infeksi enteral merupakan penyebab umum diare kronik baik di negara

berkembang maupun di negara maju, kuman penyebabnya dapat sama atau berbeda. Di
negara berkembang Entero-adheren E. coli dan Cryptosporidium parvum merupakan
penyebab diare kronik di samping Rotavirus dan Norovirus yang juga merupakan
penyebab diare kronik yang tidak berat, sedangkan Cytomegalovirus dan Clostridium
difficile merupakan penyebab diare berat pada anak. Beberapa kuman opurtinistik juga
dapat menyebabkan diare berat dan lama pada populasi tertentu seperti diare pada
penderita AIDS. HIV secara langsung sebagai penyebab diare maupun enteropati.2
2. Etiologi Noninfeksi
a. Diare yang berhubungan dengan substansi eksogen
1) Intake berlebihan minuman berkarbonat
2) Diet yang mengandung sorbitol, manitol, atau xilitol
3) Intake antasid atau laxative yang mengandung laktulose atau Mg(OH0)2 secara
berlebihan
4) Intake yang berlebihan minuman yang mengandung methylxanthines (cola, teh,
kopi)
b. Gangguan enzimatik dan hormonal
1) Sindrom Shwachman-Diamond
2) Isolated pancreatic enzyme deficiency
3) Pankreatitis kronik
4) Congenital or acquired lactase deficiency
5) Congenital or acquired sucrose-isomaltose deficiency
6) Defisiensi tripsinogen dan enterokinase
7) Kolestasis kronik
8) Use of bile acid malabsorption
9) Sindrom Johanson-Blizzard
10) Sindrom Pearson
11) Malabsorpsi nutrien
12) Malabsorpsi glukosagalaktosa
13) Malabsorpsi fruktosa
Diare kronik dapat disebabkan maldigesti akibat kelainan eksokrin pankreas.
Pada sistik fibrosis, insufisiensi pankreas menimbulkan malabsorpsi lemak dan
protein. Neutropenia, perubahan tulang, dan kehilangan protein menyebabkan
exocrine

pancreatic

hypoplasia

pada

sindrom

Shwachman-Diamond.

Pada
5

malabsorpsi lemak dan atau protein dapat ditemukan spesifik defek enzim pankreas.
Pankreatitis familial akibat mutasi gen tripsinogen kemungkinan berkaitan dengan
insufisiensi pancreas dan diare kronik.
Malabsorpsi karbohidrat dan intoleransi laktosa berkaitan dengan defisiensi
molekul laktase atau sukrase-isomaltase atau malabsorpsi glukosa-galaktosa
kongenital. Intoleransi laktosa sering diakibatkan defisiensi laktase sekunder yaitu
akibat kerusakan mukosa intestinum progresif, terkait usia hilangnya aktivitas laktase,
sekitar 80% terjadi ruam pada kulit berwarna, sebagai penyebab diare kronik pada
anak yang minum susu sapi.
c. Gangguan imunologis
1) Alergi makanan (alergi susu sapi, alergi soya, dll)
2) Celiac disease
Celiac Disease merupakan kondisi terjadinya penurunan absorpsi akibat
berkurangnya luas permukaan intestinum. Hal ini akibat kelainan genetik yang
menyebabkan intoleransi gluten permanen. Gluten menginduksi atrofi vili yang
menurunkan luas permukaan fungsi absorpsi yang bersifat reversibel terhadap
implementasi diet ketat bebas gluten.
3) Eosinophylic gastroenteritis
Pada anak terutama bayi, CMPSA dan alergi makanan lain juga dapat muncul
sebagai diare kronik. Eosinophilic gastroenteritis merupakan tanda kas infiltrasi
eosinofilik pada dinding intestinum yang erat hubungannya dengan atopi.
4) Inflammatory bowel disease
5) Autoimmune enteropathy
6) Sindrom IPEX (Immunodysregulation polyendocrinopathy enteropathy X linked
syndrome)
7) Imunodefisiensi primer dan sekunder
Pada anak yg lebih besar dan remaja, inflammatory bowel disease termasuk Crohn
disease, ulcerative colitis, dan intermediate colitis merupakan penyebab diare kronik
paling sering.
d. Gangguan struktur anatomi
1) Terminal ileum resection
2) Congenital or acquired short bowel
3) Micrivillus inclusion disease
4) Tufting enteropathy
5) Phenotypic diarrhea
6) Defisiensi heparin-sulfat
7) Defisiensi 2 and 64 integrin
8) Limfangiektasia
9) Enteric anendocrinosis (neorogenin-3 mutation)
6

Kelainan hepar dapat menyebabkan penurunan garam empedu yang mengakibatkan


gangguan absoprsi lemak. Hilangnya asam empedu kemungkinan disebabkan
penyakit ileum terminalis, seperti penyakit Crohn atau akibat reseksi ileum. Primary
bile acid malabsorption pada neonatus dan bayi muda dapat disertai diare kronik,
karena gangguan absorpsi lemak akibat mutasi bile transporter pada ileum.
e. Gangguan transpor elektrolit dan metabolit
1) Cystic fibrosis
2) Congenital chloride diarrhea
3) Congenital sodium diarrhea
4) Acrodermatitis enteropathica
5) Selective folate deficiency
6) Abetalipoproteinemia
f. Gangguan motilitas
1) Penyakit Hirschprung
2) Chronic intestinal pseudo-obstruction (neurogenic and myopathic)
3) Tirotoksikosis
g. Penyakit keganasan
1) Neuroendocrine hormone-secreting tumors (APUDomas such VIPoma)
2) Zollinger-Ellison
3) Mastositoma
4) Limfoma
h. Diare kronik nonspesifik
1) Functional diarrhea
2) Toddlers diarrhea
3) Irritable bowel syndrome
4) IPEX, immunodysregulation polyendrocrinopathy enteropathy X-linked syndrome
i. Diare akibat malnutrisi: kwashiorkor, marasmus
Penyebab diare kronik berdasarkan usia2
1. 0 sampai 30 hari:
a. Microvillus inclusion disease
b. Congenital short bowel syndrome
c. Alergi makanan
d. Penyakit Hirschsprung
e. Malrotasi dengan partial blockage
f. Limfangiektasia neonatal
g. Malabsorpsi garam empedu primer
h. Pseudoobstruksi intestinal
2. 1 sampai 24 bulan:
a. Jus apel dan pear nectar
b. Enteropati autoimun
c. Infeksi intestinal
d. Short gut
e. Alergi makanan
f. Functional diarrhea
g. Celiac disease
7

h.
i.
j.
k.

Cystic fibrosis
Diare postgastroenteritis
Tufting enteropathy
Pseudoobstruksi intestinal

3. 2 sampai 18 tahun:
a. Jus apel dan pear nectar
b. Clostridium difficile karena antibiotik
c. Infeksi intestinal
d. Intoleransi laktosa
e. Irritable bowel syndrome
f. Celiac disease
g. Diare postgastroenteritis
Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis pada diare kronik sangat penting bukan saja untuk mengetahui lamanya diare
tetapi sekaligus juga harus dapat mengungkap penyebab diare kronik, derajat beratnya
malabsorbsi, menemukan penyakit yang mendasari diare kronik, serta menentukan derajat
malnutrisi dan failure to thrive.
Karena itu, selain anamnesis mengenai diare akut harus ditanyakan pula:
a. Penanganan yang telah dilakukan
b. Makanan yang diberikan sebelum dan selama diare, serta reaksi pada pemberian
makanan tersebut
c. Obat-obatan yang diberikan
d. Kemampuan pencernaan sebelum dan selama sakit untuk menentukan intoleransi.
2. Pemeriksaan fisis
Penilaian status hidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.
3. Pemeriksaan laboratorium
Darah: hitung darah lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat,
kalsium, feritin, LED, CRP.
Feses: tes enzim pankreas, pH, kultur feses.
Di bawah ini dipaparkan lebih lanjut pemeriksaan rutin maupun khusus untuk penegakan
diagnosis diare kronik pada anak:
Pemeriksaan rutin
Pemeriksaan
Makroskopis
feses
Mikroskopis
feses

Indikasi

Arti pemeriksaan dan apa yang harus


dicari
Rutin
Terdapatnya darah menunjukkan disentri,
biasanya Shigella
Diare akut dan kronik yang Terdapatnya trofozoid dan atau kista
tidak
bereaksi
terhadap untuk mendiagnosis giardiasis dan
pemberian cairan dan makanan amebiasis. Terdapatnya sel darah merah
8

serta pengobatan antimikrob


Anamnesis terdapatnya infeksi
cacing
Biakan
feses Pengamatan
etiologi
diare
dan sensitivitas
kronik (terutama bila gizinya
buruk)
pH feses dan Diare kronik yang berhubungan
zat reduksi
dengan intoleransi terhadap
karbohidrat.
Sewaktu diberi oralit, feses
yang keluar bertambah banyak

sebagai bukti kuman invasif, misalnya


Shigella
Terdapatnya telur atau cacing
Terdapat bakteri penyebab, bersamasama
dengan
kepekaan
terhadap
antibiotik
Rendahnya pH ditambah terdapatnya
gula (tes benedict atau clinitest tablet)
menunjukkan penyerapan karbohidrat
seperti laktosa, sukrosa, dan glukosa
yang buruk.

Pemeriksaan laboratorium lanjutan


Indikasi
Malabsorbsi/ Maldigesti
1. Karbohidrat

2. Protein

3. Lemak

Evaluasi status imunitas

Kontaminasi usus
Kerusakan hepar
CMPSE
Akrodermatitis enteropatika
Kolitis alergika
Intractable diarrhea
Kelainan bawaan (malrotasi,
stenosis, hirschprung)
Sumber: Suraatmaja dkk. 1

Pemeriksaan Laboratorium
-

pH feses
Tes reduksi glukosa (klinites)
Breath hydrogen test
Biopsi usus (morfologi, penentuan disakaridase)
Tes intoleransi, termasuk tes D Xilose
Analisis cairan duodenum: antitripsin,
kemotripsin, pH, enterokinase
- Tripsinogen serum
- Bentiro mide test
- Alfa 1 antitripsin
- Analisis cairan duodenum: lipase, ko-lipase
konsentrasi asam empedu
- Tes Van de Kamer
- Tes absorpsi lipiodol
- Biopsi usus
Respons humoral imun
Tes defisiensi sel B
Tes defisiensi sel T
Tes respons mukosa
Intubasi duodenum
One hour xylose absorption test
Fosfatase lindi
Zinc serum
Eosinofil pada lamina propria
Biopsi usus (atrofi mukosa)
Radiografi

Menurut Guarino dan Brinski (2011) 2 ada Beberapa Tahapan untuk Diagnosis Anak
dengan Diare Kronik:
9

1. Tahap 1
Pemeriksaan mikrobiologi intestinal: kultur feses, pemeriksaan parasit, virus, elektrolit feses,
H2 breath test, skrining untuk celiac disease (transglutaminase 2 autoantibodi),
pemeriksaan noninvasif untuk fungsi intestinal, fungsi pankreas, sweat test dan inflamasi
intestinal, serta tes alergi makanan.
2. Tahap 2
Pemeriksaan morfologi usus: pemeriksaan histologi usus, morfometri, PAS staining,
pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
3. Tahap 3
Pemeriksaan khusus dengan imunohistokimia intestinal, antibodi antienterosit, kromogranin
serum dan ketekolamin, autoantibodi, pengukuran Se homocholic acid taurine, penilaian
aktivitas enzimatik brush border, serta pemeriksaan motilitas dan elektrofisiologis.
Tahapan langkah diagnostik tersebut sering kali sulit diterapkan di negara berkembang
seperti di Indonesia. Di Surakarta, pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis
yaitu pemeriksaan feses rutin, kultur feses, pH feses, pemeriksaan enzim, tes sudan, profil
imunitas (CD4), tes HIV, biopsi endoskopi, dan pemeriksaan radiologi. Beberapa penelitian
dilakukan di India yang juga merupakan negara berkembang untuk mencari pendekatan
diagnostik yang tepat sesuai dengan kondisi sarana prasarana yang ada di negara tersebut.
Dalam sebuah penelitiannya di India membagi pendekatan diagnostik bayi dengan diare
menjadi dua tahap, tahap pertama menentukan tipe diare dan yang kedua mencari
kemungkinan etiologi yang spesifik.4 Meskipun dikerjakan di negara berkembang, pendekatan
diagnostik ini masih banyak yang belum dapat dikerjakan di Surakarta.
1. Tahap 1
a. Tipe diare osmotik atau sekretorik: dengan pemeriksaan pH feses, tes eliminasi
makanan, elektrolit feses, serta osmotic gap pada feses dan breath hydrogen tests.
b. Tipe fatty diarrhea: dengan pemeriksaan sudan, asam steatokrit dan tes lemak 72 jam.
c. Tipe enteropati protein: dengan pemeriksaan alpa-1 antitripsin feses.
d. Tipe insufisiensi pankreas: dengan pemeriksaan fecal elastase/chymotrypsin, tes
sekretin.
2. Tahap 2
a. Cows milk

protein

allergy

(CAMPS):

pemeriksaan

profil

imunoglobulin,

proktosigmoideskopi dengan biopsi


b. Celiac disease: pemeriksaan serologis IgA antiendomyseal, biopsi usus, dan tes
respons terhadap diet bebas gluten selama 812 minggu.
c. Giardiasis/amebiasis: pemeriksaan mikroskopis feses segar selama tiga hari berturutturut. Pemeriksaan endoskopi aspirat duodenum atau biopsi.
10

d. Diare yang berhubungan dengan proses imunologi: pemeriksaan profil imunoglobulin


dan tes HIV.
e. Cystic fibrosis: penegakan diagnosis yang dapat dilakukan dengan melihat gambaran
f.

klinis dan sweat chloride test.


Diare intraktabel: dengan pemeriksaan elektrolit feses, gambaran klinis, dan tes
eliminasi makanan. Apabila dicurigai atrofi vili usus, maka dilakukan pemeriksaan hasil
biopsi usus dengan mikroskop elektron, pemeriksaan antibodi antienterosit dan

antikolonik, serta pemeriksaan genetika.


g. Diare yang berhubungan dengan proses sekresi hormon dengan pemeriksaan gastrin
serum, VIP, somatostatin, dan kalsitonin. Pemeriksaan terdapatnya tumor dengan CT
scan atau MRI.
Dalam penelitian lain di India dibuat suatu algoritma pendekatan diagnosis dan tatalaksana
anak dengan diare kronik/persisten didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana di
Rumah Sakit Umum di India, sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 2. 12

11

Diare kronik/persisten

Usia anak??

>2 tahun

<2 tahun
Telur atau parasit
dalam feses??
Curiga
malabsorbsi
laktosa

Telur/parasit dalam feses??

Diare kronik
nonspesifik (anak
normal)

Diet bebas
laktosa
Modifiksai
diet

Berespons
baik

Positif

Giardiasis,
infeksi
cacing

Terapi yang
sesuai
Amati gejala
yang
mengikuti
gastroenteritis

Defisiensi primer

Negatif

Tidak pasti

Tropical
enteropathy
??
skrining
penyakit
Koch

Defisiensi
laktase
sekunder

Coba dengan
terapi empiris
dan
suplementasi

Tidak
berespons

Skrining
celiac
disease

Dirujuk ke level pusat


kesehatan yang lebih
tinggi

Gambar 2 Alogaritma tatalaksana diare kronik/persisten


Sumber: Garg12

12

Terapi
1. Penilaian awal, resusitasi, dan stabilisasi
Penilaian status hidrasi dan rehidrasi secepatnya. Sering kali didapatkan gangguan elektrolit
sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit.
Rehidrasi enteral/parenteral:
a. Tanpa malnutrisi
Pada dehidrasi ringan/sedang, tetap diupayakan memberikan terapi rehidrasi oral. Kalau
perlu cairan diberikan melalui pipa nasogastrik sampai anak dapat minum
Oralit efektif untuk sebagian besar penderita diare kronik. Pada sebagian kecil penderita
mungkin terjadi gangguan absorbsi monosakarida (glukosa) sehingga diare menjadi
berat. Pada kasus demikian dilakukan rehidrasi intravena. Cara pemberian cairan
intravena sama dengan pemberian pada diare akut.
b. Dengan malnutrisi
Cairan yang diberikan cairan rehidrasi untuk malnutrisi (ceremal)/rehydration solution for
malnutrition (Resomal), yaitu cairan yang mengandung gula dan larutan elektrolit seperti
KCl, kalium sitrat, magnesium chlorida, Zinc asetat, dan cuprum sulfat yang dapat
diberikan secara per oral atau bila perlu dengan sonde lambung. Infus hanya diberikan
dalam keadaan dehidrasi berat/syok dan muntah yang tidak terkendali.
2. Pemberian nutrisi
a. Kebutuhan energi sebanyak 100 kcal/kgBB/hari, sedangkan kebutuhan protein 23
gram/kgBB/hari. Dapat diberikan diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet
berbahan dasar daging ayam.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Mattos dkk. yang membandingkan diet
berbahan dasar yogurt, kedelai, kasein, dan asam amino pada anak dengan diare
persisten, didapatkan bahwa anak yang mendapat diet berbahan dasar yogurt dan asam
amino secara signifikan mengalami penurunan jumlah feses dan durasi diare,
sedangkan diet berbahan dasar kasein dan kedelai tidak menunjukkan manfaat yang
bermakna.
b. Pemberian mikronutrien dengan suplementasi multivitamin dan mineral minimal 2 RDA
selama 2 minggu. Satu RDA untuk anak usia 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram,
zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg, dan magnesium
80 mg.3

13

c. Probiotik
Probiotik memiliki efek yang menguntungkan seperti memperbaiki malabsorbsi laktosa,
meningkatkan ketahanan alami terhadap infeksi usus, memperbaiki pencernaan, dan
dapat menstimulasi gastrointestinal.1
Pemberian nutrisi pada anak dengan diare kronik merupakan hal penting yang harus
diperhatikan. Pada anak dengan steatorrhea, susu dengan medium chain triglyseride
(MCT) dapat menjadi sumber lemak yang utama dan diet bebas laktosa harus diberikan
pada anak dengan diare kronik sesuai dengan rekomendasi WHO. Formula bebas
sukrosa diindikasikan pada defisiensi sukrase isomaltase.2
3. Terapi farmakologis
a. Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan dalam tatalaksana anak dengan diare
kronik/persisten karena dapat mengubah/overgrowth flora usus, sehingga diare
bertambah buruk. Antibiotik hanya diberikan bila ada tanda infeksi intestinal maupun
ekstraintestinal.
b. Pemberian obat pengeras feses (kaolin, pektin, arang aktif, atapulgit, dan smectite) dan
obat antidiare (difenoksilat dan loperamid) tidak dianjurkan. Obat-obatan ini berbahaya
karena mempengaruhi motilitas usus yang justru menghambat pengeluaran bakteri
bersama feses dan memberi kesempatan kepada bakteri untuk lebih lama dalam tubuh
dan berkembang biak dalam usus
c. Pemberian kolestiramin (anion exchange, resin) mengikat asam empedu yang toksis
untuk usus menjadi kompleks yang tidak larut dan dikeluarkan bersama feses sehingga
stimulasi terhadap usus hilang. Dosis 420 gram cukup efektif dalam mengurangi jumlah
feses. Pemberian bismut subsalisilat juga dapat mengikat asam empedu seperti
kolestiramin.
4. Mikronutrien seperti vit A, B12, asam folat, Zn, dan Fe sangat berguna untuk regenerasi
mukosa dan reaksi imunologis.
5. Follow up
Diare kronik berhubungan dengan

gangguan

status

nutrisi

penderita

sehingga

membutuhkan perhatian khusus dan terapi harus dimulai segera. Pemantauan diperlukan
untuk memantau tumbuh kembang anak dan pemantauan hasil terapi. Anak yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan terapi membutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk mencari
kemungkinan diare intraktabel; kebutuhan cairan 50% harus diberikan secara intravena.
Diare ini banyak ditemukan di negara maju, berhubungan dengan kelainan genetik.2,3
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana diare persisten/diare kronik pada anak:1
1. Pemberian obat antidiare

14

Obat antidiare tidak boleh diberikan pada anak diare. Obat antidiare yang masih sering
digunakan yaitu klorpromasin, glukokortikoid, somatostatin, opium alkaloid (papaverin,
kodein), dan sintetik alkaloid (difenoksilat/lomotil dan loperamid/imodium)
Obat antidiare berperan dalam menghambat sekresi cairan dan elektrolit dengan jalan
menghambat pembentukan siklik AMP-mediated/proses sekresi Ca dependen. Sering kali
obat ini mempunyai efek penghambat peristaltik, hal tersebut sangat penting dalam
pengeluaran mikroorganisme bersama feses sehingga menyebabkan overgrowth organisme
tersebut.
Obat pengeras feses (absorben), seperti kaolin, pektin, arang aktif, atapulgit, dan
smectite juga tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita dengan diare. Pemberian
obat ini memang sedikit memberikan perubahan pada feses tetapi tidak ada bukti obat ini
dapat mengurangi lama serta beratnya diare dan tidak mengurangi kehilangan cairan dan
elektrolit,

bahkan

megurangi

efektivitas

antibiotik.

Pemberian

arang

aktif

dapat

menyebabkan pengikatan terhadap obat, enzim pencernaan, dan mikronutrien usus.


2. Pemberian air susu ibu
Bayi diare harus tetap mendapatkan ASI. Menurut Lebenthal sebagaimana dikutip oleh
Suraatmaja dkk.1, pemberian ASI pada penderita diare sangat tepat karena ASI mempunyai
sifat antiinfeksi, hipoalergenik, osmolalitasnya rendah, dan mengandung epidermal growth
factor (EGF) yang membantu mempercepat regenerasi epitel usus. Pada penelitian yang
dilakukan Suharyono, dinyatakan bahwa pemberian ASI pada diare akut dapat menurunkan
morbiditas diare kronik, dan pemberian pada diare kronik dapat menurunkan mortalitas,
kejadian intoleransi gula dan lemak dan mengurangi lamanya diare dan lama perawatan.
3. Pemberian susu formula
Pada penderita diare kronik stadium awal sering mengalami kerusakan epitel usus dan
terjadi maldigesti laktosa akibat kekurangan enzim disakaridase, oleh karenanya pada
penderita ini dapat diberikan susu formula rendah atau bebas laktosa.
4. Formula tempe
Formula tempe dapat dipakai sebagai alternatif dalam pencegahan dan pengobatan diare
kronik pada anak. Tempe merupakan makanan yang difermentasikan, dan mudah dicerna
dengan kandungan serat yang rendah, kandungan protein yang cukup tinggi, kandungan
lemak yang baik untuk pencernaan dan cukup mengandung vitamin dan mineral yang
menguntungkan bagi penderita diare dengan keuntungan biologis yang setara dengan
daging sapi.
5. Peran mikroflora dalam tatalaksana diare
Bifidobakterium dan lactobacillus yang terdapat dalam usus sangat penting dalam
penghambatan bakteri patogen. Oleh karenanya saat ini banyak susu maupun preparat
15

yang mengandung bakteri lactobacillus serta bifidobakterium (probiotik) dan preparat yang
memacu pertumbuhan flora normal usus (prebiotik) maupun preparat yang mengandung
keduanya (sinbiotik).
6. Pemberian cairan rehidrasi peroral disesuaikan apakah penderita diare mengalami
malnutrisi ataukah tidak. (Suraatmaja, 2005)
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi yaitu malnutrisi dan failure to thrive, yang akan
memudahkan terjadinya infeksi sekunder.
KESIMPULAN
1. Suplementasi mikronutrien, pengaturan diet dan terapi supportif yang baik cukup dalam
tatalaksana diare pada kebanyakan anak diatas usia 6 tahun. Akan tetapi dibutuhkan
formula khusus apabila tidak berespons.
2. Dengan tatalaksana yang tepat pada diare akut diharapkan dapat menurunkan insiden diare
persisten pada anak
3. Keterbatasan sarana dan prasarana penunjang diagnosis menjadi suatu masalah tersendiri,
sehingga dibutuhkan suatu perhatian agar penyebab diare persisten/kronik dapat diketahui
dengan pasti dan tatalaksana yang sesuai.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Mangku G. Diare kronik. Dalam: Suraatmaja S, penyunting.


Kapita Selekta gastroenterologi anak. Jakarta: Sagung Seto; 2005. hlm. 2541.
2. Guarino A,

Branski D. Chronic diarrhea. Dalam: Kliegman RM, penyunting. Nelson

textbook of pediatrics. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. hlm. 133946.


3. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H,
penyunting. Buku ajar gastroenterologi hepatologi. Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2010. hlm. 12131.
4. Matthai J. Chronic and persistent diarrhea in infants and young children: status statement.
Indian Pediatr. 2011 January;48:3741.
5. Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle: 2006:64.
6. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG. Gangguan absorbsi-sekresi;
sindroma diare. Edisi ke - 2. Seri Gramik; Gastroenterologi anak.
7. Field M. Intestinal ion transport and the patophysiology of diarrhea. J Clin Invest.
2003;111(7).
8. Grishan RE. Chronic diarrhea. Dalam: Kliegman RM, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders; 2007. hlm. 1908.
9. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children: part II. Clinical approach and management.
Saudi J Gastroenterol: 1995;1:816.
10. Clarke

RC.

Tropical

sprue.

(diunduh

Februari

2012).

Tersedia

dari:

2012)

Tersedia

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/182986-workup.
11. Roberts

IM,

Whipple

disease.

(diunduh

Februari

http://emedicine.medscape.com/article/183350-overview#a0101.
12. Garg P. Evaluation of an alogarithm for persistent/chronic diarrhea in children at a
community Hospital Adjoining Slums in Agra, Nort India. South East Asian. J Trop Med
Public Health. 2006 May;37(3):50813.

17

Anda mungkin juga menyukai