GASTROENTERITIS AKUT
Oleh:
dr. Fransiska Nooril Firdhausi P H
Pendamping
1
BAB I
PENDAHULUAN
Diare akut adalah diare yang berlangsung ≤ 14 hari. Penyebab diare akut dapat berupa
infeksi ataupun noninfeksi. Secara patofisiologi, diare akut dapat dibagi menjadi diare
inflamasi dan noninflamasi. Berbagai patogen spesifik dapat menimbulkan diare akut. Diare
juga dapat terjadi pada pasien immunocompromised dan pasien yang di rawat di rumah sakit.
Untuk mendiagnosis diare akut diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang sesuai. Terapi terpenting pada diare akut adalah rehidrasi, lebih disenangi
melalui rute oral dengan larutan yang mengandung air, garam, dan gula. Terapi antimikrobial
empiris hanya diperlukan pada keadaan khusus.
Diare merupakan keluhan yang sering ditemukan pada dewasa. Diperkirakan pada
orang dewasa setiap tahunnya mengalami diare akut atau gastroenteritis akut sebanyak
99.000.000 kasus. Di USA, diperkirakan 8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih dari
250.000 pasien dirawat di rumah sakit tiap tahunnya (1,5% merupakan pasien dewasa) yang
disebabkan diare atau gastroenteritis. Berdasarkan data WHO, angka prevalensi diare 2-3 kali
lipat lebih besar pada negara berkembang dibandingkan negara maju.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
1,2
Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih
dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan
Parasit.3
II. EPIDEMIOLOGI
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan
KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.4,5
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan.
Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1 dari 6 orang
pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi. Tingginya kejadian diare
di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan waterborne infections yang
disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus
cereus, Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap tahunnya
di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali setiap tahun. 6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab terbanyak
adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V.
Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan
3
penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam
III. ETIOLOGI
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005, etiologi
diare akut dibagi menjadi 4 penyebab : bakteri, virus, parasit dan non infeksi seperti
dalam tabel 1. Pada diare akut lebih dari 90% disebabkan oleh infeksi disertai dengan
mual, muntah, demam, dan nyeri pada abdomen. Sedangkan 10% sisanya disebabkan
oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain. Pada diare kronis biasanya
disebabkan non infeksi. Berdasarkan data Depkes RI tahun 2000, penyebab diare akut
adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E.coli dan Entamoeba histolytica.
Sedangkan pada anak, infeksi rotavirus merupakan penyebab tersering dengan persentase
sekitar 40-60%.
IV. PATOFISIOLOGI1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir
dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri
seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada
pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta
mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya
minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul,
4
terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja
secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi
bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang
menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi
karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD)
atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus
iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi
di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan
atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa,
dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau
lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.
Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria
terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang
lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan
konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran
mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan
diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
5
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di
dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya.
Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel
epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien,
interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga
yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik
seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif
misalnya Salmonella.
Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah
Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis
hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.
Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri
dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase,
meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan
klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa
usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal dan
mengaktifkan sekresi klorida.
6
V. FAKTOR RISIKO
VI. DIAGNOSIS
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat
Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan feses
adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap
sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan
berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap
inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan
kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin
adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses
menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI.
Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks
yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %
8
terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi
dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin positip,
atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses
Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala muntah
lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi, dan
masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam
setelah asupan makanan terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen.
Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.
Clostridium perfringens
9
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora. Bakteri
ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan biasanya
sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan produk-produk
daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan
mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.
Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan menyebabkan
diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada
pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi transport cairan pada usus
halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan.
Penyebaran kolera dari makanan dan air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare
berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah.
Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera digantikan yang
sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan, dan penggantian
yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan
cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500
mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal,
merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan
menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral memberikan efikasi
lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.
10
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala ringan yang
terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana
pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini
rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat
jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi.
ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses jarang
ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi
dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada penyakit
yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon
yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan
mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari
pada diare yang berhubungan dengan EHEC.
Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme
Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon
melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam, BAB
berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare
cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian. Lamanya gejala
rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap selama 3
– 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis
dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernapasan,
gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis
oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur
feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung dari
keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk
mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik
yang dianjurkan.
Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika Serikat.
Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan penyebab. Awal penyakit
11
dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang
abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur darah
positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi
bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi
dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal
(osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau
fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari
atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi
oral.
Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid. Demam
tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali, delirium, nyeri
abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit
sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus
gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial,
menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus.
Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau
perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu
pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan
temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua
terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran
dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare
kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi
perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90% pasien
pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada minggu kedua dan
ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu penyakit.
Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier
dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika terjadi
resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan sepalosporin
generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi
sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti
ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi
12
dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi)
direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.
Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus, sering
ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi
pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai
sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan
demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%.
Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa
berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat ditemukan
adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon, namun
pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat
atau pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan,
eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit
diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.
Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya gastroenteritis. V
parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi
kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan
dengan membuat kultur feses yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi
elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun
pasien dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.
Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai dengan
antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus.
Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah yang paling
sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat diikuti
dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah
dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi pada mulut.
Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam
1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat
dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid
dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.
13
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi akibat
makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah asupan
makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama diare
infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic
Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli
0157 dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif
tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis
mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12 kali
perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen
berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan
abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam
terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit.
Lekositosis sering terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau
timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%),
trombositopenia (<150 x 109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa
HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare. Faktor
resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti
diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS
akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir
dan 30% akan mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura
dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya
dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan vaskuler.
Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC.
Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko
HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat
memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.
Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi yang
berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi, penyakit
hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim
sulfametoksazole.
14
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Kebanyakan
kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke
daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen, demam, muntah dan diare
berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur
feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah tritoprim
sulfametoksazole.
IX. PENATALAKSANAAN
Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana
harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena
diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. 17 Idealnya,
cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium
bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. 2,4 Cairan seperti itu
tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan
mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking
soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk
diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak
mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. 3 Jika terapi intra vena diperlukan,
cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor
dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral
sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari
badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara : dikutip dari 8
BD plasma, dengan memakai rumus :
BD Plasma−1,025
Kebutuhan cairan = x Berat badan (Kg) x 4 ml
0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% x KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% x KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% x KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 1)
15
skor
Kebutuhan cairan = x 10% x KgBB x 1 liter
15
Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan
cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan saat
itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan mental seperti
bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter pada
orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada fase
akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus : Na2 x BW2 = Na1 x BW1,
BW1 : Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50%
untuk wanita
Na2 : Kadar natrium plasma sekarang
Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena
40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi
seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi
lingkungan, persisten atau penyel amatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan
16
pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2),
tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16
(Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan
dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat
mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari
dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.9
17
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna.
Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam
X. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan secara
mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan elektrolit melalui
XI. PROGNOSIS
Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik dengan
morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan
mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalits
berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada infeksi EHEC
19
BAB III
LAPORAN KASUS GASTROENTERITIS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Tanjung Rejo
Status : Menikah
No. RM : 291295
Waktu MRS : 22 Desember 2020
Waktu Pemeriksaan : 22 Desember 2020
II. Anamnesis
a. Keluhan utama : Berak cair
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh berak cair sejak ± 5 hari SMRS. Berak dikeluhkan sebanyak 7 kali
dalam sehari, berwarna kecokelatan, berlendir, tidak berdarah, tidak berbau busuk dan
tidak berampas. Berak dikatakan terus-menerus, volume tiap berak cair kurang lebih
setengah gelas belimbing. Pasien mengeluhkan nyeri perut yang hilang timbul, dirasakan
seperti melilit terutama saat akan berak. Pasien juga mengeluh muntah sebanyak kurang
lebih 2 kali sehari, dengan volume 30 – 50 cc tiap muntah, isi sisa makanan dan air, tanpa
darah maupun lendir. Makan dan minum dikatakan semakin berkurang karena pasien
mual. BAK dikatakan keluar sedikit.
Pasien sempat rawat inap di Puskesmas Wuluhan, dirawat selama 2 hari namun
keluhan tidak membaik sehingga dirujuk ke RSD Balung.
c. Riwayat Pengobatan :
Pasien dirawat di Puskesmas Wuluhan dan mendapatkan terapi infus RL dan injeksi
ondansetron 4 mg.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Menurut pengakuan pasien, pasien tidak memiliki riwayat DM, hipertensi dan
penyakit kronis lainnya. Riwayat operasi disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
Saat ini tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien. Riwayat penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit hati, diabetes dan asma pada
keluarga disangkal oleh keluarga pasien.
f. Riawayat Alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki alergi terhadap obat apa pun.
20
g. Riwayat Psikososial :
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya berada di rumah,
memasak, membersihkan rumah dan mengurus cucu. Pasien mengatakan dirinya jarang
mencuci tangan dengan sabun sampai bersih sebelum makan atau sesudah BAB.
Makanan di rumah biasanya dimasak sendiri dan untuk minum menggunakan air sumur
yang dimasak sampai matang. Pasien tidak mengetahui kriteria air yang layak minum.
Riwayat makan makanan pedas maupun berminyak disangkal.
Status generalis
Kepala-Leher
Kulit : Berwarna sawo matang, ikterus (-), sianosis (-)
21
tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, mukosa mulut tidak
ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB -/-
Thorax
Inspeksi :
Bentuk dan ukuran : Bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris
Permukaan dada : Papula (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-).
Iga dan sela iga : Pelebaran ICS (-)
Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis : cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis : Tidak tampak deviasi
Tipe pernafasan : Torako-abdominal
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi :
Bentuk : Simetris
Umbilicus : Masuk merata
22
Permukaan Kulit : Tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),massa (-),
vena kolateral (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider navy (-).
Distensi (-)
Ascites (-)
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
23
MCV 80.7 fl Neutrofil 75.6 %
MCH 26.6 pg Limfosit 13.8 %
MCHC 33.0 g/dL Monosit 10.5 %
Plt 237 GDS 89 mg/dl
Kreatinin 2,3 Urea 74
SGOT 41 SGPT 28
Natrium 128 mmol/L
Kalium 3,6 mmol/L
Chlorida 101 mmol/L
V. Diagnosis Kerja
1. Diagnosis utama: Gastroenteritis e.c susp. bacterial infection
2. Diagnosis komplikasi: Dehidrasi Sedang dengan Acute Kidney Injury dan
hiponatremia ringan (electrolyte imbalance)
VIII. Konseling :
a. Penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular sehingga keluarga juga
harus memisahkan peralatan makan penderita
24
b. Menjelaskan kepada pasien tentang gejala-gejala pada penyakit gastroenteritis dan
risiko penyulit yang mungkin terjadi
c. Menganjurkan pasien agar selalu mencuci tangan sebelum makan, menghindari
makan di luar sembarangan dan selalu menggunakan air bersih
d. Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.
IX. Follow Up
24-12-2020 Keluhan membaik, berak cair (-) - Infus Asering 2200 cc/24 jam
KU: cukup - O2 NRM 10 lpm
S : 36,80C TD: 110/60mmhg - Injeksi Lanzoprazol 1 x 30mg
P : 19 x/mnt N : 78x/mnt - Injeksi Metoklorpamid 3 x 1
ampul
- Injeksi Cefuroxim 3x1gr
25
BAB IV
PEMBAHASAN
I. Aspek Klinis
Pada kasus ini, pasien adalah seorang wanita berumur 59 tahun dengan keluhan
utama berak cair. Berak cair sejak 5 hari, setiap harinya sebanyak 7 kali, berwarna
kecokelatan, berlendir, tidak berdarah, tidak berbau busuk dan tidak berampas. Berak
dikatakan terus-menerus, volume tiap berak cair kurang lebih setengah gelas belimbing.
Pasien juga mengeluh muntah sebanyak kurang lebih 2 kali sehari, dengan volume 30 – 50 cc
tiap muntah, isi sisa makanan dan air. Pasien sempat rawat inap di Puskesmas Wuluhan,
dirawat selama 2 hari namun keluhan tidak membaik sehingga dirujuk ke RSD Balung.
Pasien punya kebiasaan jarang mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan
sesudah makan, pasien tidak mengetahui kriteria air yang layak minum.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/46 mmHg. Frekuensi nadi:
92 x/menit, laju pernapasan : 24 x/menit, suhu aksila : 36,3 oC, berat badan : 55 kg, tinggi
badan : 155 cm, status gizi : normal dengan IMT 22.89 kg/m 2. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan mata cekung, bibir pecah-pecah dan kering, bising usus (+) meningkat dan nyeri
tekan epigastrium (+) dan umbilikal dengan VAS 4. Pada pemeriksaan penunjang,
didapatkan peningkatan nilai leukosit hingga 23.440, kreatinin 2,3 mg/dl, bun 74 mg/dl dan
natrium 128 mmol/L.
Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang
terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.
Hasil pemeriksaan penunjang pasien didapatkan peningkatan yang tinggi pada leukosit,
menunjukkan adanya kemungkinan infeksi oleh bakteri. Pemeriksaan lanjutan yang
seharusnya dilakukan adalah pemeriksaan feses lengkap atau kultur feses. Faal ginjal pasien
juga ditemukan meningkat, mengindikasikan adanya gagal ginjal akut yang dapat disebabkan
oleh keadaan diare pasien yang menyebabkan dehidrasi. Klasifikasi AKI (menurut ADQI
2007) yang masuk adalah kriteria injury, yakni peningkatan kreatinin serum melebihi sama
dengan 2 kali nilai dasar. Hal ini diperkuat dengan keluhan pasien yang menyatakan bahwa
urinnya keluar sedikit. Keadaan hiponatremia pada pasien merupakan gejala hiponatremia
ringan karena masih bernilai >120 mmol/L, keadaan ini dapat disebabkan oleh mual dan
muntah yang dikeluhkan pasien.
Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan infus asering 2200cc/24 jam,
masker O2 NRM 10 lpm, injeksi Lanzoprazol 1 x 30mg, injeksi Metoklorpamid 3 x 1 ampul
dan injeksi Cefuroxim 3x1gr.
26
II. Resume
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien menderita
gastroenteritis disertai dengan komplikasi berupa dehidrasi sedang, AKI dan imbalans
elektrolit. Pasien kurang memiliki pengetahuan tentang penyakitnya sehingga melakukan
pola hidup yang salah, yakni jarang mencuci tangan sebelum makan dan bekerja. Pasien
mengaku selalu memasak air sampai benar-benar masak, namun tidak memiliki pengetahuan
mengenai air yang layak minum. Pasien tidak memiliki penyakit komorbid, namun tetap
harus melakukan pola hidup yang baik untuk mencegah timbulnya penyakit di kemudian
hari. Sedangkan keluarga pasien sebagai kelompok risiko tinggi tertular, dianjurkan untuk
menghindari menggunakan alat makan yang sama dengan pasien, berperilaku hidup dengan
pola makan yang sehat dan bergizi serta menghindari makan di luar sembarangan.
BIOLOGIS
Usia : Usia pasien 59 tahun. Lansia merupakan
kelompok rentan terkena diare dibandingkan usia muda.
Hal ini diakibatkan karena menurunnya fungsi organ tubuh,
sehingga aktivitas dan metabolisme tubuh otomatis
menurun yang diikuti dengan menurunnya energi dan
kapasitas pencernaan menurun yang umum dimulai usia 50
tahun.
PERILAKU LINGKUNGAN
Tidak cuci tangan
Ketersediaan air
sebelum dan sesudah
bersih dan layak
makan. GASTROENTERITIS
minum yang kurang
AKUT
Pengetahuan pasien
yang kurang mengenai
air yang layak minum.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al
editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical
Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management of
Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors.
28
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella & Salmonella
Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current Diagnosis and
Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 584 - 66.
17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy Handbook. 5 th
ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M, Marpaung B,
Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap Gastroenterologi-Hepatologi Update
2003. Medan: Divisi Gastroentero-hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003.
67-79. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.
29