Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus 2

GASTROENTERITIS AKUT

Oleh:
dr. Fransiska Nooril Firdhausi P H

Pendamping

(dr. H. Rohmat Pujo Santoso)

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


PROVINSI JAWA TIMUR
RSD BALUNG JEMBER
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

Diare akut adalah diare yang berlangsung ≤ 14 hari. Penyebab diare akut dapat berupa
infeksi ataupun noninfeksi. Secara patofisiologi, diare akut dapat dibagi menjadi diare
inflamasi dan noninflamasi. Berbagai patogen spesifik dapat menimbulkan diare akut. Diare
juga dapat terjadi pada pasien immunocompromised dan pasien yang di rawat di rumah sakit.
Untuk mendiagnosis diare akut diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang sesuai. Terapi terpenting pada diare akut adalah rehidrasi, lebih disenangi
melalui rute oral dengan larutan yang mengandung air, garam, dan gula. Terapi antimikrobial
empiris hanya diperlukan pada keadaan khusus.

Diare merupakan keluhan yang sering ditemukan pada dewasa. Diperkirakan pada
orang dewasa setiap tahunnya mengalami diare akut atau gastroenteritis akut sebanyak
99.000.000 kasus. Di USA, diperkirakan 8.000.000 pasien berobat ke dokter dan lebih dari
250.000 pasien dirawat di rumah sakit tiap tahunnya (1,5% merupakan pasien dewasa) yang
disebabkan diare atau gastroenteritis. Berdasarkan data WHO, angka prevalensi diare 2-3 kali
lipat lebih besar pada negara berkembang dibandingkan negara maju.

Penyakit Diare merupakan penyebab kesakitan dan kematian di Negara berkembang


terutama akibat dehidrasi dan berujung kepada syok. Di Indonesia penyakit diare merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat, karena tingginya angka kesakitan dan angka
kematian terutama pada balita. Berdasarkan SDKI tahun 2002 didapatkan insidens diare
sebesar 11 %, 55 % dari kejadian diare terjadi pada golongan balita dengan angka kematian
diare pada balita sebesar 2,5 per 1000 balita. Berdasarkan data riskesdas 2013, Insiden dan
period prevalence diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia adalah 3,5 persen dan 7,0
persen. (Riskesdas, 2013).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih
dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
1,2

Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih
dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan

Parasit.3

II. EPIDEMIOLOGI
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan

KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat.4,5
Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi
masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi masalah kesehatan.
Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap tahunnya dan 1 dari 6 orang
pasien yang berobat ke praktek umum menderita diare infeksi. Tingginya kejadian diare
di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan waterborne infections yang
disebabkan bakteri Salmonella spp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus
cereus, Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3 juta
penduduk setiap tahun. Di Afrika anak anak terserang diare infeksi 7 kali setiap tahunnya

di banding di negara berkembang lainnya mengalami serangan diare 3 kali setiap tahun. 6
Di Indonesia dari 2.812 pasien diare yang disebabkan bakteri yang datang
kerumah sakit dari beberapa provinsi seperti Jakarta, Padang, Medan, Denpasar,
Pontianak, Makasar dan Batam yang dianalisa dari 1995 s/d 2001 penyebab terbanyak
adalah Vibrio cholerae 01, diikuti dengan Shigella spp, Salmonella spp, V.
Parahaemoliticus, Salmonella typhi, Campylobacter Jejuni, V. Cholera non-01, dan

Salmonella paratyphi A.7


Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare
akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi, berpergian,

3
penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam

mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi.1,3,12

III. ETIOLOGI
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005, etiologi
diare akut dibagi menjadi 4 penyebab : bakteri, virus, parasit dan non infeksi seperti
dalam tabel 1. Pada diare akut lebih dari 90% disebabkan oleh infeksi disertai dengan
mual, muntah, demam, dan nyeri pada abdomen. Sedangkan 10% sisanya disebabkan
oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain. Pada diare kronis biasanya
disebabkan non infeksi. Berdasarkan data Depkes RI tahun 2000, penyebab diare akut
adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter, E.coli dan Entamoeba histolytica.
Sedangkan pada anak, infeksi rotavirus merupakan penyebab tersering dengan persentase
sekitar 40-60%.

Tabel 1. Penyebab penyakit diare

IV. PATOFISIOLOGI1,3,9,10
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir
dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri
seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada
pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta
mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan
diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya
minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul,
4
terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja
secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi
kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi
bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang
menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi
karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD)
atau akibat radiasi.
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus
iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi
di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan
atau adanya leukosit dalam feses.
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi
penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa,
dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau
lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.

Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria
terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang
lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan
konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran
mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan
diare terjadi akibat shiga like toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC.
5
Invasi
Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di
dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya.
Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel
epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien,
interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga
yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik
seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif
misalnya Salmonella.

Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella
dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah
Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis
hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.

Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang
secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri
dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase,
meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan
klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa
usus.
ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal dan
mengaktifkan sekresi klorida.

Peranan Enteric Nervous System (ENS)


Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor
neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus mienterikus,
neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT
juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan
prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja
pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.

6
V. FAKTOR RISIKO

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya


diare akut pada seseorang. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Baru saja bepergian ke daerah tropis, negara berkembang, kelompok perdamaian
dan sering berkemah.
2. Makanan atau keadaaan makanan yang tidak biasa : makanan laut dan shell fish,
terutama yang mentah, restoran fast food, tempat piknik.
3. Homoseksual, pekerja seks, pengguna obat intravena, resiko infeksi HIV/AIDS.
4. Baru saja menggunakan obat anti mikroba pada institusi kejiwaan dan rumah
sakit.

VI. DIAGNOSIS
Pendekatan Umum Diare Akut Infeksi Bakteri
Untuk mendiagnosis pasien diare akut infeksi bakteri diperlukan pemeriksaan
yang sistematik dan cermat. Kepada pasien perlu ditanyakan riwayat penyakit, latar
belakang dan lingkungan pasien, riwayat pemakaian obat terutama antibiotik, riwayat

perjalanan, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1,3,13 Pendekatan umum


Diare akut infeksi bakteri baik diagnosis dan terapeutik terlihat pada gambar 1.

VII. MANIFESTASI KLINIK


7
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau demam,
tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis
metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan
berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang
isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan
sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha
tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada
keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah,
pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis.
Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis
tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut.
Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian
darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini
penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi
cairan intravena tanpa alkali.

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan feses
adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap
sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan
berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap
inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan

kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.3
Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin
adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses
menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI.
Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks
yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 – 93 % dan spesifisitas 61 – 100 %

8
terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi
dengan biakan kotoran.
Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare
inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin positip,
atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses

untuk EHEC O157 : H7.1


Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus
diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan

pemeriksaan darah lengkap5,8,10,14


Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya

tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi.6

Beberapa Penyebab Diare Akut Infeksi Bakteri1,3,15,16


Infeksi non-invasif.
Stafilococcus aureus
Keracunan makanan karena stafilokokkus disebabkan asupan makanan yang
mengandung toksin stafilokokkus, yang terdapat pada makanan yang tidak tepat cara
pengawetannya. Enterotoksin stafilokokus stabil terhadap panas.
Gejala terjadi dalam waktu 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi. Sekitar
75 % pasien mengalami mual, muntah, dan nyeri abdomen, yang kemudian diikuti diare
sebanyak 68 %. Demam sangat jarang terjadi. Lekositosis perifer jarang terjadi, dan sel
darah putih tidak terdapat pada pulasan feses. Masa berlangsungnya penyakit kurang dari
24 jam.
Diagnosis ditegakkan dengan biakan S. aureus dari makanan yang terkontaminasi,
atau dari kotoran dan muntahan pasien.
Terapi dengan hidrasi oral dan antiemetik. Tidak ada peranan antibiotik dalam
mengeradikasi stafilokokus dari makanan yang ditelan.

Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri batang gram positip, aerobik, membentuk spora.
Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala muntah dan diare, dengan gejala muntah
lebih dominan.
Gejala dapat ditemukan pada 1 – 6 jam setelah asupan makanan terkontaminasi, dan
masa berlangsungnya penyakit kurang dari 24 jam. Gejala akut mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang seringkali berakhir setelah 10 jam. Gejala diare terjadi pada 8 – 16 jam
setelah asupan makanan terkontaminasi dengan gejala diare cair dan kejang abdomen.
Mual dan muntah jarang terjadi. Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Clostridium perfringens
9
C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora. Bakteri
ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan biasanya
sembuh sendiri . Gejala berlangsung setelah 8 – 24 jam setelah asupan produk-produk
daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium, kemudian diikuti dengan
mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan berakhir dalam waktu 24 jam.

Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan isolasi lebih dari 10 5 organisma


per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan makanan C perfringens . Pulasan
cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium
lainnya tidak diperlukan.
Terapi dengan rehidrasi oral dan antiemetik.

Vibrio cholerae
V cholerae adalah bakteri batang gram-negatif, berbentuk koma dan menyebabkan
diare yang menimbulkan dehidrasi berat, kematian dapat terjadi setelah 3 – 4 jam pada
pasien yang tidak dirawat. Toksin kolera dapat mempengaruhi transport cairan pada usus
halus dengan meningkatkan cAMP, sekresi, dan menghambat absorpsi cairan.
Penyebaran kolera dari makanan dan air yang terkontaminasi.
Gejala awal adalah distensi abdomen dan muntah, yang secara cepat menjadi diare
berat, diare seperti air cucian beras. Pasien kekurangan elektrolit dan volume darah.
Demam ringan dapat terjadi.
Kimia darah terjadi penurunan elektrolit dan cairan dan harus segera digantikan yang
sesuai. Kalium dan bikarbonat hilang dalam jumlah yang signifikan, dan penggantian
yang tepat harus diperhatikan. Biakan feses dapat ditemukan V.cholerae.
Target utama terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang agresif.
Kebanyakan kasus dapat diterapi dengan cairan oral. Kasus yang parah memerlukan
cairan intravena.
Antibiotik dapat mengurangi volume dan masa berlangsungnya diare. Tetrasiklin 500
mg tiga kali sehari selama 3 hari, atau doksisiklin 300 mg sebagai dosis tunggal,
merupakan pilihan pengobatan. Perbaikan yang agresif pada kehilangan cairan
menurunkan angka kematian ( biasanya < 1 %). Vaksin kolera oral memberikan efikasi
lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin parenteral.

Escherichia coli patogen


E. coli patogen adalah penyebab utama diare pada pelancong. Mekanisme patogen
yang melalui enterotoksin dan invasi mukosa. Ada beberapa agen penting, yaitu :
1. Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
2. Enterophatogenic E. coli (EPEC).
3. Enteroadherent E. coli (EAEC).
4. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
5. Enteroinvasive E. Coli (EIHEC)

10
Kebanyakan pasien dengan ETEC, EPEC, atau EAEC mengalami gejala ringan yang
terdiri dari diare cair, mual, dan kejang abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana
pasien melakukan BAB lima kali atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini
rata-rata 5 hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi sangat
jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih. Lekositosis sangat jarang terjadi.
ETEC, EAEC, dan EPEC merupakan penyakit self limited, dengan tidak ada gejala sisa.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk E coli, lekosit feses jarang
ditemui, kultur feses negatif dan tidak ada lekositosis. EPEC dan EHEC dapat diisolasi
dari kultur, dan pemeriksaan aglutinasi latex khusus untuk EHEC tipe O157.
Terapi dengan memberikan rehidrasi yang adekuat. Antidiare dihindari pada penyakit
yang parah. ETEC berespon baik terhadap trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon
yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan
mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan diare EAEC. Antibiotik harus dihindari
pada diare yang berhubungan dengan EHEC.

Infeksi Invasif
Shigella
Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme
Shigella menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon
melalui enterotoksin dan invasi bakteri.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam, BAB
berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare
cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian. Lamanya gejala
rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah menetap selama 3
– 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif, dan status karier kronis
dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernapasan,
gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis
oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri.
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur
feses dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung dari
keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk
mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri. Trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik
yang dianjurkan.

Salmonella nontyphoid
Salmonella nontipoid adalah penyebab utama keracunan makanan di Amerika Serikat.
Salmonella enteriditis dan Salmonella typhimurium merupakan penyebab. Awal penyakit

11
dengan gejala demam, menggigil, dan diare, diikuti dengan mual, muntah, dan kejang
abdomen. Occult blood jarang terjadi. Lamanya berlangsung biasanya kurang dari 7 hari.
Pulasan kotoran menunjukkan sel darah merah dan sel darah putih se. Kultur darah
positip pada 5 – 10 % pasien kasus dan sering ditemukan pada pasien terinfeksi HIV.
Terapi pada Salmonella nonthypoid tanpa komplikasi dengan hidrasi adekuat.
Penggunaan antibiotik rutin tidak disarankan, karena dapat meningkatan resistensi
bakteri. Antibiotik diberikan jika terjadi komplikasi salmonellosis, usia ekstrem ( bayi
dan berusia > 50 tahun), immunodefisiensi, tanda atau gejala sepsis, atau infeksi fokal
(osteomilitis, abses). Pilihan antibiotik adalah trimetoprim-sulfametoksazole atau
fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau norfloxacin oral 2 kali sehari selama 5 – 7 hari
atau Sephalosporin generasi ketiga secara intravena pada pasien yang tidak dapat diberi
oral.

Salmonella typhi
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi adalah penyebab demam tiphoid. Demam
tiphoid dikarakteristikkan dengan demam panjang, splenomegali, delirium, nyeri
abdomen, dan manifestasi sistemik lainnya. Penyakit tiphoid adalah suatu penyakit
sistemik dan memberikan gejala primer yang berhubungan dengan traktus
gastrointestinal. Sumber organisme ini biasanya adalah makanan terkontaminasi.
Setelah bakterimia, organisma ini bersarang pada sistem retikuloendotelial,
menyebabkan hiperplasia, pada lymph nodes dan Peyer pacthes di dalam usus halus.
Pembesaran yang progresif dan ulserasi dapat menyebabkan perforasi usus halus atau
perdarahan gastrointestinal.
Bentuk klasik demam tiphoid selama 4 minggu. Masa inkubasi 7-14 hari. Minggu
pertama terjadi demam tinggi, sakit kepala, nyeri abdomen, dan perbedaan peningkatan
temperatur dengan denyut nadi. 50 % pasien dengan defekasi normal. Pada minggu kedua
terjadi splenomegali dan timbul rash. Pada minggu ketiga timbul penurunan kesadaran
dan peningkatan toksemia, keterlibatan usus halus terjadi pada minggu ini dengan diare
kebiru-biruan dan berpotensi untuk terjadinya ferforasi. Pada minggu ke empat terjadi
perbaikan klinis.
Diagnosa ditegakkan dengan isolasi organisme. Kultur darah positif pada 90% pasien
pada minggu pertama timbulnya gejala klinis. Kultur feses positif pada minggu kedua dan
ketiga.
Perforasi dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi selama jangka waktu penyakit.
Kolesistitis jarang terjadi, namun infeksi kronis kandung empedu dapat menjadi karier
dari pasien yang telah sembuh dari penyakit akut.
Pilihan obat adalah klorampenikol 500 mg 4 kali sehari selama 2 minggu. Jika terjadi
resistensi, penekanan sumsum tulang, sering kambuh dan karier disarankan sepalosporin
generasi ketiga dan flourokinolon. Sepalosforin generasi ketiga menunjukkan effikasi
sangat baik melawan S. Thypi dan harus diberikan IV selama 7-10 hari, Kuinolon seperti
ciprofloksasin 500 mg 2 kali sehari selama 14 hari, telah menunjukkan efikasi yang tinggi

12
dan status karier yang rendah. Vaksin thipoid oral (ty21a) dan parenteral (Vi)
direkomendasikan jika pergi ke daerah endemik.

Campylobakter
Spesies Campylobakter ditemukan pada manusia C. Jejuni dan C. Fetus, sering
ditemukan pada pasien immunocompromised.. Patogenesis dari penyakit toksin dan invasi
pada mukosa.
Manifestasi klinis infeksi Campylobakter sangat bervariasi, dari asimtomatis sampai
sindroma disentri. Masa inkubasi selama 24 -72 jam setelah organisme masuk. Diare dan
demam timbul pada 90% pasien, dan nyeri abdomen dan feses berdarah hingga 50-70%.
Gejala lain yang mungkin timbul adalah demam, mual, muntah dan malaise. Masa
berlangsungnya penyakit ini 7 hari.
Pulasan feses menunjukkan lekosit dan sel darah merah. Kultur feses dapat ditemukan
adanya Kampilobakter. Kampilobakter sensitif terhadap eritromisin dan quinolon, namun
pemakaian antibiotik masih kontroversi. Antibiotik diindikasikan untuk pasien yang berat
atau pasien yang nyata-nyata terkena sindroma disentri. Jika terapi antibiotik diberikan,
eritromisin 500 mg 2 kali sehari secara oral selama 5 hari cukup efektif. Seperti penyakit
diare lainnya, penggantian cairan dan elektrolit merupakan terapi utama.

Vibrio non-kolera
Spesies Vibrio non-kolera telah dihubungkan dengan mewabahnya gastroenteritis. V
parahemolitikus, non-01 V. kolera dan V. mimikus telah dihubungkan dengan konsumsi
kerang mentah. Diare terjadi individual, berakhir kurang 5 hari. Diagnosa ditegakkan
dengan membuat kultur feses yang memerlukan media khusus. Terapi dengan koreksi
elektrolit dan cairan. Antibiotik tidak memperpendek berlangsungnya penyakit. Namun
pasien dengan diare parah atau diare lama, direkomendasikan menggunakan tetrasiklin.

Yersinia
Spesies Yersinia adalah kokobasil, gram-negatif. Diklasifikasikan sesuai dengan
antigen somatik (O) dan flagellar (H). Organisme tersebut menginvasi epitel usus.
Yersinia menghasilkan enterotoksin labil. Terminal ileum merupakan daerah yang paling
sering terlibat, walaupun kolon dapat juga terinvasi.
Penampilan klinis biasanya terdiri dari diare dan nyeri abdomen, yang dapat diikuti
dengan artralgia dan ruam (eritrema nodosum atau eritema multiforme). Feses berdarah
dan demam jarang terjadi. Pasien terjadi adenitis, mual, muntah dan ulserasi pada mulut.
Diagnosis ditegakkan dari kultur feses. Penyakit biasanya sembuh sendiri berakhir dalam
1-3 minggu. Terapi dengan hidrasi adekuat. Antibiotik tidak diperlukan, namun dapat
dipertimbangkan pada penyakit yang parah atau bekterimia. Kombinasi Aminoglikosid
dan Kuinolon nampaknya dapat menjadi terapi empirik pada sepsis.

13
Enterohemoragik E Coli (Subtipe 0157)
EHEC telah dikenal sejak terjadi wabah kolitis hemoragik. Wabah ini terjadi akibat
makanan yang terkontaminasi. Kebanyakan kasus terjadi 7-10 hari setelah asupan
makanan atau air terkontaminasi. EHEC dapat merupakan penyebab utama diare
infeksius. Subtipe 0157 : H7 dapat dihubungkan dengan perkembangan Hemolytic
Uremic Syndrom (HUS). Centers for Disease Control (CDC) telah meneliti bahwa E Coli
0157 dipandang sebagai penyebab diare berdarah akut atau HUS. EHEC non-invasif
tetapi menghasilkan toksin shiga, yang menyebabkan kerusakan endotel, hemolisis
mikroangiopatik, dan kerusakan ginjal.
Awal dari penyakit dengan gejala diare sedang hingga berat (hingga 10-12 kali
perhari). Diare awal tidak berdarah tetapi berkembang menjadi berdarah. Nyeri abdomen
berat dan kejang biasa terjadi, mual dan muntah timbul pada 2/3 pasien. Pemeriksaan
abdomen didapati distensi abdomen dan nyeri tekan pada kuadran kanan bawah. Demam
terjadi pada 1/3 pasien. Hingga 1/3 pasien memerlukan perawatan di rumah sakit.
Lekositosis sering terjadi. Urinalisa menunjukkan hematuria atau proteinuria atau
timbulnya lekosit. Adanya tanda anemia hemolitik mikroangiopatik (hematokrit < 30%),

trombositopenia (<150 x 109/L), dan insufiensi renal (BUN >20 mg/dL) adalah diagnosa
HUS.
HUS terjadi pada 5-10% pasien dan di diagnosa 6 hari setelah terkena diare. Faktor
resiko HUS, usia (khususnya pada anak-anak dibawah usia 5 tahun) dan penggunaan anti
diare.Penggunaan antibiotik juga meningkatkan resiko. Hampir 60% pasien dengan HUS
akan sembuh, 3-5% akan meninggal, 5% akan berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir
dan 30% akan mengalami gejala sisa proteinuria. Trombosit trombositopenik purpura
dapat terjadi tetapi lebih jarang dari pada HUS.
Jika tersangka EHEC, harus dilakukan kultur feses E. coli. Serotipe biasanya
dilakukan pada laboratorium khusus.
Terapi dengan penggantian cairan dan mengatasi komplikasi ginjal dan vaskuler.
Antibiotik tidak efektif dalam mengurangi gejala atau resiko komplikasi infeksi EHEC.
Nyatanya pada beberapa studi yang menggunakan antibiotik dapat meningkatkan resiko
HUS. Pengobatan antibiotik dan anti diare harus dihindari. Fosfomisin dapat
memperbaiki gejala klinis, namun, studi lanjutan masih diperlukan.

Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi yang
berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi, penyakit
hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim
sulfametoksazole.
14
Plesiomonas
Plesiomanas shigelloides adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Kebanyakan
kasus berhubungan dengan asupan kerang mentah atau air tanpa olah dan perjalanan ke
daerah tropik, Gejala paling sering adalah nyeri abdomen, demam, muntah dan diare
berdarah. Penyakit sembuh sendiri kurang dari 14 hari. Diagnosa ditegakkan dari kultur
feses.
Antibiotik dapat memperpendek lamanya diare. Pilihan antibiotik adalah tritoprim
sulfametoksazole.

IX. PENATALAKSANAAN
Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana
harus dilakukan pada semua pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena

diare hebat yang memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. 17 Idealnya,
cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium

bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. 2,4 Cairan seperti itu
tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan
mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral
pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking
soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk
diberikan untuk mengganti kalium.. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak

mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya. 3 Jika terapi intra vena diperlukan,
cairan normotonik seperti cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor
dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral
sesegera mungkin.
Jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari

badan. Kehilangan cairan dari badan dapat dihitung dengan memakai cara : dikutip dari 8
BD plasma, dengan memakai rumus :
BD Plasma−1,025
Kebutuhan cairan = x Berat badan (Kg) x 4 ml
0,001
Metode Pierce berdasarkan keadaan klinis :
- Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan 5% x KgBB
- Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan 8% x KgBB
- Dehidrasi berat, kebutuhan cairan 10% x KgBB
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor (tabel 1)

15
skor
Kebutuhan cairan = x 10% x KgBB x 1 liter
15

Goldbeger (1980) mengemukakan beberapa cara menghitung kebutuhan cairan : dikutip


dari 18

Cara I :
- Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis dehidrasi lainnya, maka kehilangan
cairan kira-kira 2% dari berat badan pada waktu itu.
- Bila disertai mulut kering, oliguri, maka defisit cairan sekitar 6% dari berat badan saat
itu.
- Bila ada tanda-tanda diatas disertai kelemahan fisik yang jelas, perubahan mental seperti
bingung atau delirium, maka defisit cairan sekitar 7 -14% atau sekitar 3,5 – 7 liter pada
orang dewasa dengan berat badan 50 Kg.
Cara II :
Jika penderita dapat ditimbang tiap hari, maka kehilangan berat badan 4 Kg pada fase
akut sama dengan defisit air sebanyak 4 liter.
Cara III :
Dengan menggunakan rumus : Na2 x BW2 = Na1 x BW1,

Na1 : Kadar Natrium plasma normal

BW1 : Volume air badan normal, biasanya 60% dari berat badan untuk pria dan 50%

untuk wanita
Na2 : Kadar natrium plasma sekarang

BW2 : volume air badan sekarang

Anti biotik
Pemberian antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena
40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi

seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi
lingkungan, persisten atau penyel amatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan

16
pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan (tabel 2),

tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.1,5,9,16

Obat anti diare


Kelompok antisekresi selektif
Terobosan terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril
yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga enkephalin dapat
bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi dari elektrolit
sehingga keseimbangan cairan dapat dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini
tersedia di bawah nama hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang

dapat pula digunakan lebih aman pada anak.14


Kelompok opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi difenoksilat
dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x sehari, loperamid 2 – 4
mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek kelompok obat tersebut meliputi
penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi
feses dan mengurangi frekwensi diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup
aman dan dapat mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala

demam dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10


Kelompok absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan
atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau toksin-toksin.
Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang
dapat merangsang sekresi elektrolit.
Zat Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya

(Strerculia), Ispraghulla, Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan
dalam lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak dapat
mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/ 2x sehari

dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet.9
17
Probiotik
Kelompok probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan
memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna.
Syarat penggunaan dan keberhasilan mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam

jumlah yang adekuat.3,7,19

X. KOMPLIKASI
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan secara
mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan elektrolit melalui

feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik.1,8


Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak tecapai

rehidrasi yang optimal.9,12,14


Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah infeksi
EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk terjadinya
HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah
merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah infeksi C.
jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita infeksi C. jejuni
beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan motorik dan
memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme dimana
infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena

Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.1

XI. PROGNOSIS

Dengan penggantian Cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan terapi
antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat baik dengan
morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan penyakit, morbiditas dan
mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia. Di Amerika Serikat, mortalits
berhubungan dengan diare infeksius < 1,0 %. Pengecualiannya pada infeksi EHEC

dengan mortalitas 1,2 % yang berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.1


18
XII.PENCEGAHAN

Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya dapat


dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering mencuci tangan
setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia
harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus terjaga dari kotoran
manusia.
Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama, ini harus diberikan
perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan makanan, atau air
yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang
keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus
direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau sungai,
harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air
rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan yang
tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua
daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus
yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel
yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena
kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas
dan ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah untuk V.
colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak
direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi
imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan
sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi
hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin tipoid
oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan
memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

19
BAB III
LAPORAN KASUS GASTROENTERITIS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. S
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Tanjung Rejo
Status : Menikah
No. RM : 291295
Waktu MRS : 22 Desember 2020
Waktu Pemeriksaan : 22 Desember 2020

II. Anamnesis
a. Keluhan utama : Berak cair
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh berak cair sejak ± 5 hari SMRS. Berak dikeluhkan sebanyak 7 kali
dalam sehari, berwarna kecokelatan, berlendir, tidak berdarah, tidak berbau busuk dan
tidak berampas. Berak dikatakan terus-menerus, volume tiap berak cair kurang lebih
setengah gelas belimbing. Pasien mengeluhkan nyeri perut yang hilang timbul, dirasakan
seperti melilit terutama saat akan berak. Pasien juga mengeluh muntah sebanyak kurang
lebih 2 kali sehari, dengan volume 30 – 50 cc tiap muntah, isi sisa makanan dan air, tanpa
darah maupun lendir. Makan dan minum dikatakan semakin berkurang karena pasien
mual. BAK dikatakan keluar sedikit.
Pasien sempat rawat inap di Puskesmas Wuluhan, dirawat selama 2 hari namun
keluhan tidak membaik sehingga dirujuk ke RSD Balung.
c. Riwayat Pengobatan :
Pasien dirawat di Puskesmas Wuluhan dan mendapatkan terapi infus RL dan injeksi
ondansetron 4 mg.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Menurut pengakuan pasien, pasien tidak memiliki riwayat DM, hipertensi dan
penyakit kronis lainnya. Riwayat operasi disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
Saat ini tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien. Riwayat penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit hati, diabetes dan asma pada
keluarga disangkal oleh keluarga pasien.
f. Riawayat Alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki alergi terhadap obat apa pun.

20
g. Riwayat Psikososial :
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya berada di rumah,
memasak, membersihkan rumah dan mengurus cucu. Pasien mengatakan dirinya jarang
mencuci tangan dengan sabun sampai bersih sebelum makan atau sesudah BAB.
Makanan di rumah biasanya dimasak sendiri dan untuk minum menggunakan air sumur
yang dimasak sampai matang. Pasien tidak mengetahui kriteria air yang layak minum.
Riwayat makan makanan pedas maupun berminyak disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/46 mmHg
Frekuensi nadi : 92 x/menit
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu : 36,3 oC
SPO2 : 88%
Nyeri : 4-5, Reg. epigastrium dan umbilikal
Berat badan : 55 Kg
Tinggi badan : 155 Cm
BMI : 22,89 Kg/m2 (BMI Normal)

Status generalis
Kepala-Leher
Kulit : Berwarna sawo matang, ikterus (-), sianosis (-)

Kepala : Bentuk normal, tidak teraba benjolan, rambut berwarna hitam


terdistribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata OD : Bentuk normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak


ikterik, palpebral superior et inferior tidak edema, pupil bulat
dengan diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata
cekung (+)
OS : Bentuk normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
palpebral superior et inferior tidak edema, pupil bulat dengan
diameter kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), mata cekung (+)
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret, tidak ada
serumen
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada sekret
Mulut : Bentuk normal, perioral tidak sianosis, bibir pecah-pecah dan
kering, lidah tampak normal, arkus faring simetris, letak uvula di

21
tengah, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, mukosa mulut tidak
ada kelainan
Leher : Pembesaran KGB -/-

Thorax
Inspeksi :
 Bentuk dan ukuran : Bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-),
pergerakan dinding dada simetris
 Permukaan dada : Papula (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-).
 Iga dan sela iga : Pelebaran ICS (-)
 Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis : cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis : Tidak tampak deviasi
 Tipe pernafasan : Torako-abdominal

Palpasi

 Trakea : Tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS V


linea parasternal sinistra
 Nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-).
 Gerakan dinding dada : Simetris kiri dan kanan
 Fremitus vocal : Simetris kiri dan kanan

Perkusi

 Sonor seluruh lapang paru


 Batas paru-hepar : Inspirasi ICS VI, Ekspirasi ICS VI
 Batas paru-jantung :
 Kanan : ICS II linea parasternalis dekstra
 Kiri : ICS IV linea mid clavicula sinistra

Auskultasi

 Cor : S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).


 Pulmo :
 Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru
 Rhonki (-/-)
 Wheezing (-/-)

Abdomen

Inspeksi :

 Bentuk : Simetris
 Umbilicus : Masuk merata
22
 Permukaan Kulit : Tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),massa (-),
vena kolateral (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider navy (-).
 Distensi (-)
 Ascites (-)

Auskultasi

 Bising usus (+) meningkat


 Metallic sound (-)
 Bising aorta (-)

Perkusi

 Timpani pada seluruh lapang abdomen (+)


 Nyeri ketok (-)
 Hepatosplenomegali (-)

Palpasi

 Nyeri tekan epigastrium (+) dan umbilikal, VAS 4


 Massa (-)
 Hepar / lien: tidak teraba
 Ginjal kanan & kiri tidak teraba, vesika urinaria kosong
 Turgor kulit agak kurang

Ekstremitas

Inguinal-genitalia-anus : tidak diperiksa

IV. Pemeriksaan Penunjang


Hb 12.1 g/dl WBC 23.4
Rbc 4.55 Eosinofil 0.0 %
Hct 36.7% Basofil 0.1 %

23
MCV 80.7 fl Neutrofil 75.6 %
MCH 26.6 pg Limfosit 13.8 %
MCHC 33.0 g/dL Monosit 10.5 %
Plt 237 GDS 89 mg/dl
Kreatinin 2,3 Urea 74
SGOT 41 SGPT 28
Natrium 128 mmol/L
Kalium 3,6 mmol/L
Chlorida 101 mmol/L

V. Diagnosis Kerja
1. Diagnosis utama: Gastroenteritis e.c susp. bacterial infection
2. Diagnosis komplikasi: Dehidrasi Sedang dengan Acute Kidney Injury dan
hiponatremia ringan (electrolyte imbalance)

VI. Anjuran Penatalaksanaan Penyakit


a. Promotif : Menjelaskan tentang penyakit gastroenteritis dan komplikasinya berupa
dehidrasi, AKI dan electrolyte imbalance. Menjelaskan tentang PHBS dan
menerangkan mengenai kriteria air yang layak minum.
b. Preventif :
- Selalu mencuci tangan sebelum makan minum dan sesudah BAB dengan air
mengalir dan sabun
- Memastikan air yang digunakan dalam rumah tangga selalu bersih dan dimasak
sampai sungguh-sungguh matang
c. Kuratif :
 Terapi Medikamentosa :
- Infus Asering 2200 cc/24 jam
- O2 NRM 10 lpm
- Injeksi Lanzoprazol 1 x 30mg
- Injeksi Metoklorpamid 3 x 1 ampul
- Injeksi Cefuroxim 3x1gr
 Terapi nonmedikamentosa :
- Memperbaiki gaya hidup yang kurang sehat. Anjurkan kepada pasien dan
keluarga pasien untuk selalu mengonsumsi makanan yang dimasak hingga
matang, makanan yang bergizi, juga hindari makan sembarangan.

VII. Prognosis : Dubia at bonam

VIII. Konseling :
a. Penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular sehingga keluarga juga
harus memisahkan peralatan makan penderita
24
b. Menjelaskan kepada pasien tentang gejala-gejala pada penyakit gastroenteritis dan
risiko penyulit yang mungkin terjadi
c. Menganjurkan pasien agar selalu mencuci tangan sebelum makan, menghindari
makan di luar sembarangan dan selalu menggunakan air bersih
d. Menganjurkan pasien mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.

IX. Follow Up

Tanggal Catatan Instruksi


23-12-2020 Berak cair (+), membaik dibanding - Infus Asering 2200 cc/24 jam
sebelumnya - O2 NRM 10 lpm
KU: cukup - Injeksi Lanzoprazol 1 x 30mg
S : 36,50C TD: 120/80 mmhg - Injeksi Metoklorpamid 3 x 1
P : 20 x/mnt N : 82x/mnt ampul
- Injeksi Cefuroxim 3x1gr

24-12-2020 Keluhan membaik, berak cair (-) - Infus Asering 2200 cc/24 jam
KU: cukup - O2 NRM 10 lpm
S : 36,80C TD: 110/60mmhg - Injeksi Lanzoprazol 1 x 30mg
P : 19 x/mnt N : 78x/mnt - Injeksi Metoklorpamid 3 x 1
ampul
- Injeksi Cefuroxim 3x1gr

25
BAB IV
PEMBAHASAN

I. Aspek Klinis
Pada kasus ini, pasien adalah seorang wanita berumur 59 tahun dengan keluhan
utama berak cair. Berak cair sejak 5 hari, setiap harinya sebanyak 7 kali, berwarna
kecokelatan, berlendir, tidak berdarah, tidak berbau busuk dan tidak berampas. Berak
dikatakan terus-menerus, volume tiap berak cair kurang lebih setengah gelas belimbing.
Pasien juga mengeluh muntah sebanyak kurang lebih 2 kali sehari, dengan volume 30 – 50 cc
tiap muntah, isi sisa makanan dan air. Pasien sempat rawat inap di Puskesmas Wuluhan,
dirawat selama 2 hari namun keluhan tidak membaik sehingga dirujuk ke RSD Balung.
Pasien punya kebiasaan jarang mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan
sesudah makan, pasien tidak mengetahui kriteria air yang layak minum.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/46 mmHg. Frekuensi nadi:
92 x/menit, laju pernapasan : 24 x/menit, suhu aksila : 36,3 oC, berat badan : 55 kg, tinggi
badan : 155 cm, status gizi : normal dengan IMT 22.89 kg/m 2. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan mata cekung, bibir pecah-pecah dan kering, bising usus (+) meningkat dan nyeri
tekan epigastrium (+) dan umbilikal dengan VAS 4. Pada pemeriksaan penunjang,
didapatkan peningkatan nilai leukosit hingga 23.440, kreatinin 2,3 mg/dl, bun 74 mg/dl dan
natrium 128 mmol/L.

Gastroenteritis akut (GEA) adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan
berlangsung kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare yang
terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus, Bakteri, dan Parasit.
Hasil pemeriksaan penunjang pasien didapatkan peningkatan yang tinggi pada leukosit,
menunjukkan adanya kemungkinan infeksi oleh bakteri. Pemeriksaan lanjutan yang
seharusnya dilakukan adalah pemeriksaan feses lengkap atau kultur feses. Faal ginjal pasien
juga ditemukan meningkat, mengindikasikan adanya gagal ginjal akut yang dapat disebabkan
oleh keadaan diare pasien yang menyebabkan dehidrasi. Klasifikasi AKI (menurut ADQI
2007) yang masuk adalah kriteria injury, yakni peningkatan kreatinin serum melebihi sama
dengan 2 kali nilai dasar. Hal ini diperkuat dengan keluhan pasien yang menyatakan bahwa
urinnya keluar sedikit. Keadaan hiponatremia pada pasien merupakan gejala hiponatremia
ringan karena masih bernilai >120 mmol/L, keadaan ini dapat disebabkan oleh mual dan
muntah yang dikeluhkan pasien.

Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan infus asering 2200cc/24 jam,
masker O2 NRM 10 lpm, injeksi Lanzoprazol 1 x 30mg, injeksi Metoklorpamid 3 x 1 ampul
dan injeksi Cefuroxim 3x1gr.

26
II. Resume

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa pasien menderita
gastroenteritis disertai dengan komplikasi berupa dehidrasi sedang, AKI dan imbalans
elektrolit. Pasien kurang memiliki pengetahuan tentang penyakitnya sehingga melakukan
pola hidup yang salah, yakni jarang mencuci tangan sebelum makan dan bekerja. Pasien
mengaku selalu memasak air sampai benar-benar masak, namun tidak memiliki pengetahuan
mengenai air yang layak minum. Pasien tidak memiliki penyakit komorbid, namun tetap
harus melakukan pola hidup yang baik untuk mencegah timbulnya penyakit di kemudian
hari. Sedangkan keluarga pasien sebagai kelompok risiko tinggi tertular, dianjurkan untuk
menghindari menggunakan alat makan yang sama dengan pasien, berperilaku hidup dengan
pola makan yang sehat dan bergizi serta menghindari makan di luar sembarangan.

III. Kerangka Konsep Masalah Pasien

BIOLOGIS
Usia : Usia pasien 59 tahun. Lansia merupakan
kelompok rentan terkena diare dibandingkan usia muda.
Hal ini diakibatkan karena menurunnya fungsi organ tubuh,
sehingga aktivitas dan metabolisme tubuh otomatis
menurun yang diikuti dengan menurunnya energi dan
kapasitas pencernaan menurun yang umum dimulai usia 50
tahun.

PERILAKU LINGKUNGAN
Tidak cuci tangan
Ketersediaan air
sebelum dan sesudah
bersih dan layak
makan. GASTROENTERITIS
minum yang kurang
AKUT
Pengetahuan pasien
yang kurang mengenai
air yang layak minum.

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Masalah Pasien

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et al
editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York: Lange Medical
Books, 2003. 225 - 68.
2. Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management of
Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51.
3. Lung E, Acute Diarrheal Disease. In: Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors.

Current Diagnosis and Treatment in Gastroenterology. 2 nd edition. New York: Lange


Medical Books, 2003. 131 - 50.
4. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Mentri Kesehatan Republik Indonesia. Available
from : http://www.depkes.go.id/downloads/SK1216-01.pdf
5. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management of acute
diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2002;17: S54-S71.
6. Jones ACC, Farthing MJG. Management of infectious diarrhoea. Gut 2004; 53:296-305.
7. Tjaniadi P, Lesmana M, Subekti D, et al. Antimicrobial Resistance of Bacterial Pathogens
Associated with Diarrheal Patiens in Indonesia. Am J Trop Med Hyg 2003; 68(6): 666-10.
8. Hendarwanto. Diare akut Karena Infeksi, Dalam: Waspadji S, Rachman AM, Lesmana LA,
dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Pusat Informasi dan
Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI ;1996. 451-57.
9. Soewondo ES. Penatalaksanaan diare akut akibat infeksi (Infectious Diarrhoea). Dalam :
Suharto, Hadi U, Nasronudin, editor. Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini
Dalam Pengelolaan Beberapa penyakit Tropik Infeksi. Surabaya : Airlangga University
Press, 2002. 34 – 40.
10. Rani HAA. Masalah Dalam Penatalaksanaan Diare Akut pada Orang Dewasa. Dalam: Setiati
S, Alwi I, Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine
2002. Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2002. 49-56.
11. Tatalaksana Penderita Diare. Available from : http://www.depkes.go.id/downloads/diare.pdf.
12. Thielman NM, Guerrant RL. Acute Infectious Diarrhea. N Engl J Med 2004;350:1: 38-47.
13. Kolopaking MS. Penatalaksanaan Muntah dan Diare akut. Dalam: Alwi I, Bawazier LA,
Kolopaking MS, Syam AF, Gustaviani, editor. Prosiding Simposium Penatalaksanaan
Kedaruratan di Bidang Ilmu penyakit Dalam II. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2002. 52-70.
14. Nelwan RHH. Penatalaksanaan Diare Dewasa di Milenium Baru. Dalam: Setiati S, Alwi I,
Kasjmir YI, dkk, Editor. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2001.
Jakarta: Pusat Informasi Penerbitan Bagian Penyakit Dalam FK UI, 2001. 49-56.
15. Procop GW, Cockerill F. Vibrio & Campylobacter. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et
al, Editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease, New York: Lange
Medical Books, 2003. 603 - 13.

28
16. Procop GW, Cockerill F. Enteritis Caused by Escherichia coli & Shigella & Salmonella
Species. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK,et al, Editors. Current Diagnosis and
Treatment in Infectious Disease, New York: Lange Medical Books, 2003. 584 - 66.

17. Wells BG, DiPiro JT, Schwinghammer TL, Hamilton CW. Pharmacotherapy Handbook. 5 th
ed. New York: McGraw-Hill, 2003. 371-79.
18. Zein,U. Gastroenteritis Akut pada Dewasa. Dalam : Tarigan P, Sihombing M, Marpaung B,
Dairy LB, Siregar GA, Editor. Buku Naskah Lengkap Gastroenterologi-Hepatologi Update
2003. Medan: Divisi Gastroentero-hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 2003.
67-79. Isaulauri E. Probiotics for Infectious Diarrhoea. Gut 2003; 52: 436-7.

29

Anda mungkin juga menyukai