Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

EFUSI PLEURA DAN PLEURITIS TUBERKULOSA

Oleh:
Muhammad Faizal Akbar
142011101025

Pembimbing

dr. Retna Dwi Puspitarini, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
EFUSI PLEURA DAN PLEURITIS TUBERKULOSA

LAPORAN KASUS

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF/Lab. Ilmu Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Muhammad Faizal AKbar
142011101025

Pembimbing

dr. Retna Dwi Puspitarini, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU PENYAKIT DALAM
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019
3

BAB I. PENDAHULUAN

Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini terdapat
diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara industri, diperkirakan terdapat
320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika Serikat melaporkan 1,3 juta
orang setiap tahunnya menderita efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal
jantung kongestif dan pneumonia bakteri. Menurut Depkes RI (2006), kasus efusi
pleura mencapai 2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas lainnya. WHO
memperkirakan 20% penduduk kota dunia pernah menghirup udara kotor akibat
emisi kendaraan bermotor, sehingga banyak penduduk yang berisiko tinggi
penyakit paru dan saluran pernafasan seperti efusi pleura.
Efusi pleura tuberkulosis adalah penyebab tersering efusi pleura eksudat pada
pasien imunokompeten diseluruh dunia yaitu sekitar 60 % dari semua kasus
tuberkulosis ekstraparu. Insidensi adanya keterlibatan antar efusi pleura
tuberkulosis dengan tuberkulosis paru yaitu sekitar 34 – 50 %. Penyakit
tuberkulosis (TB) merupakan suatu masalah utama kesehatan masyarakat di
Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996 menyatakan
bahwa angka pertambahan TB paru Indonesia diperkirakan sebesar 8 per 10.000
penduduk setiap tahun. Tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan TB sebagai Global emergensi. Perkiraan kasus TB secara global
pada tahun 2009 adalah: Insidensi kasus 9,4 juta (8,9-9,9 juta), prevalensi kasus juta
(12-16 juta), kasus meninggal-HIV negatif 1,3 juta (1,2-1,5 juta), kasus meninggal-
HIV positif 0,38 juta (0,32-0,45 juta)..
4

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Sdr. FO
Umur : 17 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalen II Setail Genteng 4/8 Banyuwangi
Status : BPJS NPBI
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Siswa
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal MRS : 9 Januari 2019
Tanggal pemeriksaan : 15 Januari 2019
Tanggal KRS : 18 Januari 2019
No. RM : 240532

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan ibu pasien
pada tanggal 17 Januari 2019 di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.

2.2.1 Keluhan Utama


Batuk
2.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh batuk dan sesak sejak 1 tahun lalu, batuk dan sesak muncul
ketika pasien mengikuti kegiatan-kegiatan berat di sekolah. Sesak memburuk 1
bulan lalu disertai nyeri perut bagian kanan. Kemudian pasien MRS di RSH dan
diminta untuk mengeluarkan dahak, namun pasien mengeluh sulit untuk
mengeluarkan dahaknya. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan menurun dan berat
badan menurun 8 kg dalam waktu dua minggu. Tidak mual dan muntah. Pasien juga
sering mengalami demam (sumer-sumer) tetapi tidak disertai dengan menggigil,
5

keringat dingin pada malam hari disangkal. Menurut ibu pasien, di rumah tidak
terdapat anggota keluarga dengan keluhan yang sama.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit asma : Disangkal
b. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
c. Riwayat alergi : Disangkal
d. Pasien pernah didiagnosis kejang demam dan batuk asma waktu usia 3 tahun

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak didapatkan anggota keluarga yang menderita gejala dan penyakit yang
sama dengan pasien.

2.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien mengkonsumsi obat batuk dari warung namun tidak membaik. Pasien
belum pernah mengonsumsi OAT sebelumnya

2.2.6 Riwayat Sosial Lingkungan Ekonomi


Pasien adalah seorang siswa SMA. Dari riwayat lingkungan, pasien tinggal
bersama ayah, ibu dan kakak pasien di sebuah rumah yang luasnya ±50 meter
persegi, berdinding tembok dan plester semen, memiliki 3 kamar tidur, dapur, dan
kamar mandi. Sumber air berasal dari sumur. Pendapatan orang tua perbulan ±1
juta rupiah.

Kesan: Riwayat sosial lingkungan ekonomi menengah ke bawah

2.2.7 Riwayat Sanitasi LingkunganPasi


Pasien menggunakan air sumur untuk kebutuhan mandi, mencuci dan sebagai
sumber air untuk dikonsumsi. Air minum sehari-hari yang berasal dari air sumur
yang dimasak hingga mendidih. Untuk kebutuhan kakus, pasien dan keluarga
menggunakan WC.
Kesan : Riwayat sanitasi lingkungan baik.
6

2.2.8 Riwayat Gizi


Sehari pasien makan 2-3 kali. Rata-rata menu setiap harinya adalah nasi,
tempe, tahu, ikan laut, dan ayam. Pasien sehari minum air putih ± 8 gelas per hari.
Kesan: Status gizi seimbang.

2.2.9 Anamnesis Sistem


a. Sistem serebrospinal : penurunan kesadaran (-), pusing (-),
demam (-), kejang (-)
b. Sistem kardiovaskular : palpitasi (-)
c. Sistem pernapasan : sesak napas (+), batuk(+), pilek (-),
pernafasan cuping hidung (+),
retraksi dinding dada (-),
tidak ada ketertinggalan gerak.
d. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nafsu makan
menurun (+), perut membesar (-)
e. Sistem urogenital : BAK lancar, tidak ada keluhan, edema
skrotum (-)
f. Sistem integumentum : turgor kulit normal, sianosis (-),
ruam (-)
g. Sistem muskuloskeletal : tremor (-) pada keempat ekstremitas
edema (-) pada keempat ekstremitas,
atrofi (-), edema (-)
7

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : kompos mentis
Vital Sign : TD : 120/70mmHg
HR : 104x/menit
RR : 28x/menit
Tax : 37.3oC
SpO2: 98%
Pernapasan : sesak (+), batuk (+)
Kulit : turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (-)
Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Otot : tremor (-) pada keempat ekstremitas, edema (-) pada
keempat ekstremitas, atrofi (-)
Tulang : tidak ada deformitas dan krepitasi
Status gizi : BB : 45 kg
TB : 162 cm
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔) 45 45
BMI = 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)2 = 1.622 = 2.6244 = 17.146

2.3.2 Pemeriksaan Khusus


a. Kepala
- Bentuk : oval, simetris, edema (-)
- Rambut : hitam, lurus, tebal
- Mata : edema periorbita : -/-
konjungtiva anemis: -/-
sklera ikterus : -/-
eksoftalmus : -/-
refleks cahaya : +/+
mata berkunang : -/-
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (+)
8

- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)


- Mulut : sianosis (-), bau (-), plak berwarna putih di lidah (-)

b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : normal

c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S
- Auskultasi : S1S2 (+) tunggal reguler, suara tambahan (-) murmur (-)

2. Pulmo :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Bentuk thoraks normal  Bentuk thoraks normal
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketinggalan gerak -/-  Ketinggalan gerak -/-
 Deviasi trakea -
9

Palpasi: P: Palpasi:
 Letak trakea dan iktus kordis  Nyeri tekan –
normal  Ruang antar iga teraba
 Ruang antar iga teraba normal normal
 Nyeri tekan –
 Ekspansi dada
N N  Ekspansi dada
N N
N N
N N
N N
N N
 Fremitus raba
N N  Fremitus raba
N N
N N
N N
N N
N N

Perkusi : Perkusi :
S S S S

S S S S

S S S S S S S S

S S S S
10

Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
v v↓ v↓ v

v v↓ v↓ v

v v↓ v↓ v

Suara nafas tambahan: Suara nafas tambahan:


Rhonki Rhonki

- - - -

- - - -

- - - -

Wheezing Wheezing

- - - -

- - - -

- - - -

Kesan: Pemeriksaan fisik pulmo terdapat kelainan pada auskultasi

d. Abdomen
- Inspeksi : flat, striae (-), spider nervi, pelebaran vena (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal 14x/ menit
- Perkusi : timpani di semua kuadran abdomen, shifting dullness (-)
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (-), hepatomegali (-)
Kesan: Pemeriksaan fisik abdomen dalam batas normal
11

e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)

Kesan: Pemeriksaan fisik ekstremitas dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Laboratorium
1. Tanggal 9 Januari 2019

Pemeriksaan Nilai Normal


Hb (mg/dl) 12.2 13.5 - 17.5 gr/Dl
LED (mm/jam) 74/85 0-15
Leukosit (/mm3) 6.2 4.5 - 11.0 x 109/L
Hitung jenis 5/-/-/62/22/11 eos/bas/stab/seg/lim/mono
0-4/0-1/3-5/54-62/25-33/2-6
Hct (%) 37.9 41 - 53 %
Trombosit (/mm3) 116 150 - 450 x 109 /L
Faal Hati
Bil direk (mg/dL) 0.17 0.2-0.4
Bil total (mg/dL) 0.27 < 1.2
SGOT (U/L) 23 10 - 35 U/L
SGPT (U/L) 28 9 - 43 U/L
Albumin 3.5 3.4 – 4.8 gr/dL
Gula Darah
GDS 100 <200 mg/dL
Faal Ginjal
Kreatinin Serum 0.9 0.6 – 1.3 mg/dL
BUN 11 6 - 20 mg/dL
Urea 23 12 – 43 mg/dL
Asam Urat 8.1 3.4 – 7 mg/dL
Elektrolit
Natrium 137.9 135 – 155 mmol/L
Kalium 4.11 3.5 – 5.0 mmol/L
Chlorida 106.4 90 – 110 mmol/L
Calcium 2.09 2.15- 2.57 mmol/L
Magnesium 0.84 0.73 – 1.06 mmol/L
Fosfor 1.38 0.84 – 1.45 mmol/L
12

P
2. 15 Januari 2019

Pemeriksaan Nilai Normal


Mikrobiologi-parasit
BTA Scanty 4/100 lp
Transudat/ Eksudat
Warna Kuning Tras Kuning
Eks Sawo matang
Volume 3.4 cc
Kejernihan Agak keruh
PH 8.0
BJ 1010 Tras < 1015
Eks > 1015
Bau Tidak berbau
Koagulan Positif
Rivalta Positif
Leukosit Negatif Tras < 1000
Eks > 1000
Hitung jenis Tidak dapat
dihitung karena
tidak ditemukan
sel leukosit
Eritrosit 500
Glukosa 106
Albumin 2.6
Total protein 5.9 Tras < 3.0
Eks > 3.0
Kesimpulan Jadi cairan
tersebut sesuai
kriteria eksudat
13

2.4.2 Foto thoraks

Gambar 2.3 Foro thorax PA tanggal 7 Januari 2019

Gambar 2.4 Foro thorax PA tanggal 15 Januari 2019


14

Bacaan Rontgen Thoraks PA


Cor: Besar dan bentuk normal
Pulmo: Tak tampak infiltrate di paru kanan
Sinus phrenicocostalis kanan tajam dan kiri tertutup perselubungan
Tampak area air fluid level di hemithorax kiri
Tampak terpasang tube dengan tips di ICS 11 kiri
Tulang-tulang tampak baik

Kesimpulan: Fluidopneumothorax kiri dengan compressive athelectasis


paru kiri

2.5 Resume
 Seorang laki-laki datang ke IGD RS Soebandi Jember dengan keluhan: TPL
(Temporary problem list)
 Sesak
 Batuk sejak satu tahun lalu
 Nyeri dada
 Demam sumer-sumer
 RPD: usia 3 tahun menderita batuk asma
RPO: belum pernah konsumsi OAT, minum obat batuk di warung
RPK: Tidak ada keluarga yang mengeluhkan gejala dan sakit yang sama.
 Riwayat sosio ekonomi: rendah
 Pemeriksaan fisik:
Didapatkan keadaan umum pasien cukup, kesadaran kompos mentis. Pada
pemeriksaan fisik paru didapatkan fremitus raba normal, terdapat suara
vesikuler menurun dan perkusi redup di hemithorax sinistra, tidak
ditemukan rhonki maupun weezing.
 Pemeriksaan penunjang
 Lab: Lab DL, faal hati dan Faal ginjal dalam batas normal
 Pemeriksaan sputum: tidak dilakukan
15

 Foto Thorax: Fluidopneumothorax kiri dengan compressive


athelectasis paru kiri

2.6 Diagnosis Kerja


Efusi pleura sinistra dan pleuritis TB
Diagnosis banding
• Tumor Paru

2.7 Penatalaksanaan
Planing monitoring
 Observasi vital sign
 Saturasi O2
 Pemeriksaan darah lengkap
 Observasi berat badan
Planing diagnostik
 Pemeriksaan sputum
 Pemeriksaan BTA cairan pleura
 Foto thorax
Planning Terapi
 O2 Nasal 3 lpm
 Inf PZ 14 tpm
 Drip Neurobion 500 mg
 Drip Ketorolac 1 amp
Inj
 Cefoperazone 2x1
P/O
 codein 3 x 20 mg
 INH 1 x 300 mg
 Rifampisin 1 x 450 mg
 Pirazinamid 1 x 1000 mg
 Ethambutol 1 x 750 mg
16

Planing edukasi
 Istirahat yang cukup
 Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga 
penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi
 Mengedukasi pasien untuk selalu kontrol ke poli paru

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

Follow Up
Selasa, 15 Januari 2019 Rabu, 16 Januari 2019
S KU: Sesak KU: Sesak
O KU: lemah KU: lemah
Kes: compos mentis Kes: compos mentis
TD: 90/70mmHg TD: 100/80mmHg
N: 82x/mnt N: 84x/mnt
RR: 26x/mnt RR: 30x/mnt
Tax: 36.5oC Tax: 36.5oC
K/L: a/i/c/d: -/-/-/+ K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Thorax: c/dbn Thorax: c/dbn
pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+ pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+
P : fr raba n/n P : fr raba n/n
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : ves +/menurun rho -/- A : ves +/menurun rho -/-
whe -/- whe -/-
Abd: flat, BU (+) normal, timpani Abd: flat, BU (+) normal, timpani
Ext: AH (+) dan edema (-) di keempat Ext: AH (+) dan edema (-) di
ekstremitas keempat ekstremitas
A Efusi pleura S + pleuritis TB Efusi pleura S + pleuritis TB
17

P  Inf PZ 14 tpm  Inf PZ 14 tpm


 Drip neurobion 500 mg  Drip neurobion 500 mg
 Drip ketorolac 1 amp  Drip ketorolac 1 amp
 p/o Codein 3 x 10 mg  p/o Codein 3 x 10 mg
 INH 1x300  INH 1x300
 Rifampisin 1x450  Rifampisin 1x450
 Pirazinamid 1x1000  Pirazinamid 1x1000
 Etambutol 1x750  Etambutol 1x750
 Konsul SP. BTKV untuk
pemasangan indwelling catheter

Kamis, 17 Januari 2019 Jumat, 18 Januari 2019


KU: sesak KU: sesak

KU: lemah KU: lemah


Kes: compos mentis Kes: compos mentis
TD: 100/80mmHg TD: 110/80mmHg
N: 76x/mnt N: 87x/mnt
RR: 30x/mnt RR: 28x/mnt
o o
Tax: 36,8 C Tax: 36,9 C
K/L:a/i/c/d:-/-/-/+ K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Thorax: c/dbn Thorax: c/dbn
pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+ pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+
P : fr raba n/n P : fr raba n/n
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : ves +/menurun rho -/- A : ves +/menurun rho -/-
whe -/- whe -/-
Abd: flat, BU (+) normal, timpani Abd: flat, BU (+) normal, timpani
Ext: AH (+) dan edema (-) di keempat Ext: AH (+) dan edema (-) di keempat
ekstremitas ekstremitas
Efusi pleura S + pleuritis TB + post Efusi pleura S + pleuritis TB + post
indwelling catheter H1 indwelling catheter H2
 Inf PZ 14 tpm  Inf PZ 14 tpm
 Drip neurobion 500 mg  Drip neurobion 500 mg
 Drip ketorolac 1 amp  Drip ketorolac 1 amp
 p/o Codein 3 x 10 mg  p/o Codein 3 x 10 mg
 INH 1x300  INH 1x300
 Rifampisin 1x450  Rifampisin 1x450
 Pirazinamid 1x1000  Pirazinamid 1x1000
 Etambutol 1x750  Etambutol 1x750
Acc KRS
18

BAB 3. PEMBAHASAN

Textbook Pasien
Anamnesis
1. Sesak +
2. Batuk +
3. Nyeri pleura +
4. Demam +
5. BB turun +
Pemeriksaan fisik
1. Takipnea +
2. Friction Rib -
3. Pengembangan dada normal hingga menurun +
4. Fremitus raba menurun +
5. Suara nafas menurun atau hilang +
6. Perkusi redup pada lapang yang berisi cairan +
7. Pelebaran interkosta +
8. Egofoni -
Pemeriksaan penunjang
1. Gambaran radiologis menunjukkan
 Penumpukkan sudut kostofrenikus +
 Perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah +
 Perselubungan pada hemithorax +
 Paru kolaps dan mendorong trakea – jantung menjauhi sisi -
yang terkena

Tabel 3.1 Perbandingan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang di text book dan pada
pasien

3.1 PLEURA

3.1.1 Anatomi Pleura

Rongga pleura, rongga perikardium, dan rongga peritoneum terbentuk dari


mesoderm dimulai pada tiga minggu kehamilan. Rongga pleura membesar tidak
tergantung dari pertumbuhan paru. Minggu ke-9 rongga pleura terpisah dari rongga
perikardium dan rongga peritoneum. Kista, divertikula dan defek terjadi pada saat
pemisahan rongga tadi.
19

Pleura dan paru terletak pada kedua sisi mediastinum di dalam cavitas
thoracis. Masing-masing pleura mempunyai dua bagian:
a. Lapisan parietalis,
Lapisan ini membatasi dinding toraks meliputi permukaan torakal
diafragma dan permukaan lateral mediastinum, dan meluas sampai ke pangkal leher
untuk membatasi permukaan bawah membrana suprapleura (apertura thoracis).
Pleura parietalis dibatasai oleh sel mesotel berdekatan dengan rongga pleura.
Supply pembuluh darah melalui arteri intercostalis, pleura parietal mengandung
sistem limfatik, hal ini seperti terlihat pada gambar 3.1.

Gambar 3.1 Pleura parietal. Dibatasi oleh sel-sel mesotel (M) berdekatan dengan rongga
pleura (PS)
20

b. Lapisan viseralis,
Lapisan ini meliputi seluruh permukaan luar paru dan meluas ke dalam
fissura interlobaris. Pleura viseralis terletak antara rongga pleura dan alveoli pada
parenkim paru dan dilapisi sel mesotel, supply pembuluh darah pleura viseralis
melalui arteri bronkialis, hal ini seperti terlihat pada gambar 3.2.

Gambar 3.2 Pleura parietal. Dibatasi oleh sel-sel mesotel (M) berdekatan dengan rongga
pleura (PS)

Kedua lapisan ini saling berhubungan satu sama lain pada lipatan pleura
yang mengelilingi alat-alat yang masuk dan keluar dari hilus pulmonalis pada setiap
paru. Pergerakan vasa pulmonalis dan bronkus dimungkinkan selama respirasi,
lipatan pleura tergantung bebas (ligamentum pulmonale).

Lapisan parietalis dan lapisan visceralis pleura di pisahkan satu dengan yang
lain oleh suatu ruangan sempit, yaitu kavum pleura. Kavum pleura mengandung
sedikit cairan pleura yang meliputi permukaan pleura sebagai lapisan tipis dan
memungkinkan kedua lapisan pleura bergerak satu dengan yang lain dengan sedikit
pergesekan seperti dijelaskan pada gambar 3.3.
21

Gambar 3.3 Anatomi Pleura

3.1.2 Fungsi Cavum Pleura


• Fungsi kavum pleura yaitu menjaga gerakan paru relatif lebih besar dari
dinding dada. Perlekatan pleura menyebabkan gerak paru saat inspirasi dan
ekspirasi tidak akan bebas. Perlekatan pleura pada satu sisi hanya sebagian kecil
yang akan mempengaruhi faal paru kontralateral, apabila didapat penebalan pleura
pada perlekatan pleura tersebut maka kelainan paru akan lebih terpengaruh oleh
penebalan pleura dibanding dengan perlekatan pleura.
Pleura viseralis merupakan pendukung mekanis paru sehingga
mempengaruhi bentuk dari paru, membatasi ekspansi paru serta membantu
ekspirasi paru. Jaringan ikat dibawah mesotel berhubungan dengan parenkim paru,
oleh karena itu pleura viseralis membantu distribusi tekanan negatif pleura ke
seluruh paru.
22

Fisiologi Ruang Pleura adalah sebagai berikut:


a. Tekanan dalam ruang pleura lebih rendah dari tekanan dari jaringan interstisial
pleura, hal ini bisa menerangkan adanya aliran cairan ke dalam rongga pleura.
b. Membran pleura menahan cairan dan protein. Permeabilitas terhadap protein
sangat rendah.
c. Mesotelium tidak mempunyai beda potensial yang semestinya didapat apabila
ada transport aktif yang melewati. Cairan pleura lebih alkalis dengan bikarbonat
yang lebih tinggi daripada plasma, perbedaan ini tidak dipengaruhi oleh
mesotelium.
d. Cairan pada rongga pleura masuk dengan lambat 0,5 ml / jam pada manusia.
e. Kadar protein cairan pleura sangat rendah.
f. Cairan pleura keluar melewati stoma pada pleura parietalis dengan diameter 10-
12 μm dan kemudian masuk saluran limfe pleura.

3.1.3 Absorbsi dan Reabsorbsi Cairan Pleura


Tekanan intrapleura lebih rendah daripada tekanan interstisial jaringan
pleura. Perbedaan tekanan ini menyebabkan terjadinya perpindahan cairan masuk
ke dalam rongga pleura. Cairan yang telah disaring melewati pembuluh darah
sistemik kemudian akan mengalir dengan gradien tekanan melewati lapisan
mesotelial ke dalam rongga pleura. Gradien tekanan tersebut dari tekanan tinggi
mikrovaskuler sistemik pleura ke dalam jaringan interstisial dan dari jaringan
interstisial ke dalam rongga pleura. Cairan itu memasuki rongga pleura, cairan
pleura tersebut mengalir dengan lambat memenuhi seluruh rongga pleura.
Penelitian in vitro telah ditemukan bahwa mesotelium mempunyai sedikit resistensi
terhadap pergerakan cairan dan protein. Cairan dan protein dari mikrovaskuler
pleura dapat mengalir melalui mesotelium selama ada gradien tekanan ke dalam
rongga pleura. Ukuran dan permukaan yang melebar, tekanan subatmosfer, dan
kebocoran membran pada pleura akan memudahkan rongga pleura terakumulasi
oleh cairan.
Cairan dan protein keluar melalui stomata pleura parietal dan sistem
limfatik pleura. Sistem limfatik ini mempunyai kapasitas yang besar untuk absorbsi,
hingga 30 kali tingkat pengeluaran biasa dan dengan demikian akan
23

mempertahankan keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Filtrat


mikrovaskuler yang berasal dari darah arteri mengalir menembus lapisan mesotelial
menuju rongga pleura. Cairan pleura keluar melalui stomata limfatik ke dalam
sistem limfatik pleura parietal, skema produksi dan absorbs cairan pleura dijelaskan
pada gambar 3.4.

Gambar 3.4 Skema produksi dan absorbsi cairan pleura

3.2 EFUSI PLEURA


3.2.1 Definisi
Efusi pleura berasal dari dua kata, yaitu efusi yang berarti ekstravasasi
cairan ke dalam jaringan atau rongga tubuh, sedangkan pleura yang berarti
membran tipis yang terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Sehingga dapat disimpulkan efusi pleura merupakan ekstravasasi cairan
yang terjadi diantara lapisan viseralis dan parietalis. Efusi pleura dapat berupa
cairan jernih, transudat, eksudat, darah dan pus.
Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10-20 ml cairan yang
berfungsi sebagai pelumas. Efusi Pleura terjadi apabila produksi meningkat
minimal 30 kali normal melewati kapasitas maksimum ekskresi dan atau gangguan
pada absorbsinya. Cairan pleura terakumulasi jika pembentukan cairan pleura
melampauai absoprsi yang mampu dilakukan oleh limfatik. Cairan yang melebihi
24

normal akan menimbulkan gangguan jika tidak bisa diserap oleh pembuluh darah
dan pembuluh limfe

3.2.2 Etiologi
Efusi pleura secara umum diklasifikasikan menjadi efusi pleura transudat
dan efusi pleura eksudat berdasarkan mekanisme pembentukan dan proses kimiawi
cairan pleura. Eksudat terbentuk dari proses inflamasi yang terjadi di pleura
sehingga menyebabkan permeabilitas membran meningkat dan molekul – molekul
besar (protein) dapat lewat serta gangguan pada pengaliran sistem limfatik.
Transudat terbentuk dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dan hidrostatik
dengan membran pleura tetap intak. Tabel 2 menjelaskan etiologi dari efusi pleura .
Transudat Eksudat
Congestive Heart Failure Infeksi paru
Sindroma Nefotik Penyakit kolagen
Peritoneal dialisis GIT disease
Sindroma Vena Kava Superior Drug-Induced Pleural Disease
SIrosis Hepatis Tumor
Tabel 3.2 Etiologi terbentuknya transudate dan eksudat pada pleura

Efusi pleura transudat berbeda dengan efusi pleura eksudat. Efusi pleura
transudat tidak ada respon inflamasi, aktivasi dari kaskade koagulasi maupun
peningkatan permeabilitas membran sel dan protein. Tabel 3.3 menjelaskan
beberapa perbedaan antara efusi pleura transudat dan efusi pleura eksudat.
Jenis Pemeriksaan Transudat Eksudat
Rivalta - +
Berat Jenis <1,016 >1,016
Protein < 3 gr/100 cc >3 gr/100 cc
Rasio protein pleura: protein serum < 0.5 > 0.5
LDH (Lactic Dehydrogenase) < 200 IU > 200 IU
Rasio LDH cairan Pleura: LDH serum < 0.6 > 0.6
Leukosit < 1000/ mm3 > 1000/ mm3
Tabel 3.3 Perbedaan antara transudat dan eksudat pada cairan pleura
25

3.2.3 Patofisiologi
Rongga pleura normal mengandung kurang lebih 1-20 ml cairan yang
merupakan keseimbangan antara produksi oleh pleura parietalis dan absorpsi oleh
pleura viseralis. Produksi tersebut dapat dipertahankan karena adanya
keseimbangan antara tekanan hidrostatik pleura parietalis (9cm H2O) dan tekanan
koloid osmotik pleura viseralis (10cm H2O). Akumulasi cairan pleura dapat terjadi
apabila:
a. Tekanan osmotik koloid menurun dalam darah, misalnya pada hipoalbumin.

b. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler (peradangan, neoplasma),


tekanan hidrostatik (gagal jantung), dan tekanan negative intrapleura

3.2.4 Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Volume paru akan berkurang dengan volume cairan pleura sebesar 1/3
hemitoraks sedangkan dinding toraks volumenya akan bertambah dengan volume
cairan 2/3 hemitoraks. Gejala klinis yang paling sering diantaranya nyeri pleura,
batuk dan sesak napas. Nyeri pleura disebabkan adanya peradangan pada pleura
parietalis. Batuk disebabkan inflamasi pada pleura atau terjadi kompresi pada
dinding bronkus. Sesak disebabkan oleh karena otot napas teregang oleh karena
pembesaran pada dinding dada dan otot diafragma yang rendah sehingga
menyebabkan kerja otot napas tidak efisien.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipneu dan friction rub.
Pengembangan dada dapat normal sampai menurun, hal ini dipengaruhi juga oleh
jumlah cairan pleura, seperti dijelaskan pada tabel 3.4.

Ukuran efusi pleura


Temuan
< 300 ml 300-1500 ml >1500 ml
Takipneu Tidak ada Ada Ada signifikan
Pengembangan dada Normal Menurun menurun
Fremitus raba Normal Menurun Tidak ada
Suara napas Vesikuler Menurun Tidak ada
Dorongan trakea Tidak ada Tidak ada Ada
Dorongan mediastinum Tidak ada Tidak ada Ada
Pelebaran interkosta Tidak ada Kadang Ada
Egofoni Tidak ada Ada Ada
Tabel 3.4 Pemeriksaan fisik pada efusi pleura
26

3.2.5 Diagnosis Efusi Pleura


Pemeriksaan yang penting pada pasien yang dicurigai mengalami efusi
pleura yaitu pemeriksaan radiologi dada seperti USG dada atau rontgen dada posisi
lateral decubitus. Saat ini, USG dada lebih direkomendasikan untuk melakukan
evaluasi efusi pleura serta panduan torakosentesis dibandingkan rontgen dada.
Namun, pemeriksaan rontgen dada relatif lebih mudah dan cepat dilakukan serta
lebih banyaknya fasilitas.
Evaluasi pertama yang harus dilakukan pada pasien dengan efusi pleura
yaitu memastikan apakah cairan tersebut adalah transudat atau eksudat. Efusi pleura
transudat terjadi ketika terdapat faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan
dan penyerapan cairan pleura. Penyebab terseringnya adalah gagal jantung kiri dan
sirosis. Sementara itu, efusi pleura eksudat terjadi karena adanya faktor lokal yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Penyebab terseringnya
adalah pneumonia bakterial, keganasan, infeksi virus, dan emboli paru.
Untuk membedakan kedua jenis cairan tersebut, kita dapat menentukan
melalui pemeriksaan kadar laktat dehydrogenase (LDH) dan protein cairan pleura.
Cairan dapat disimpulkan sebagai eksudat apabila memenuhi salah satu kriteria
berikut:
– Protein cairan pleura/protein sering >0.5
– LDH cairan pleura/LDH serum >0.6
– LDH cairan pleura lebih dari dua pertiga batas atas nilai normal untuk serum
Jika tidak ada satu pun kondisi yang memenuhi kriteria, dapat disimpulkan
bahwa cairan tersebut bukanlah eksudat melainkan transudat. Dengan
menggunakan kriteria tersebut, terdapat sekitar 25% transudat yang teridentifikasi
sebagai eksudat. Jika salah satu kriteria terpenuhi, tetapi secara klinis pasien
dipikirkan mengalami efusi pleura transudate, perlu dilakukan pengukuran
perbedaan antara kadar protein di dalam serum dan cairan pleura. Jika gradien
melebihi 3.1 g/dL dapat kita simpulkan bahwa cairan tersebut adalah transudat.

Pasien yang mengalami efusi pleura eksudat perlu mendapatkan evaluasi


cairan pleura lebih lanjut berupa tampilan cairan pleura, kadar glukosa, hitung jenis,
27

gambaran mikrobiologis (kultur, pewarnaan gram, kuman TB) dan sitologi. Pada
kadar glukosa cairan pleura kurang dari 60 mg/dL, dipertimbangkan penyebab efusi
pleura tersebut antara lain adalah keganasan, infeksi bakteri serta rheumatoid
pleuritis. Jika masih belum dapat ditentukan diagnosis setelah pemeriksaan di atas,
pertimbangkan penyebabnya adalah emboli paru, yang mana perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan paru atau spiral CT. Perlu dievaluasi juga adanya penanda
untuk TB. Apabila masih tidak ditemukan juga penyebabnya, tetapi gejala
mengalami perbaikan, selanjutnya pasien diobservasi. Namun, apabila tidak terjadi
perbaikan gejala, pertimbangkan torakoskopi atau image-guided pleural biopsi.

3.3 PLEURITIS TUBERKULOSIS


3.3.1 Definisi
Pleuritis tuberkulosis adalah penyebab tersering efusi pleura eksudat pada
pasien imunokompeten diseluruh dunia yaitu sekitar 60 % dari semua kasus
tuberkulosis ekstraparu. Insidensi adanya keterlibatan antar efusi pleura
tuberkulosis dengan tuberkulosis paru yaitu sekitar 34 – 50 %.
3.3.2 Patogenesis
Keterlibatan pleura pada penderita tuberkulosis dapat dipengaruhi melalui
berbagai cara yang berbeda:
a. Pleuritis TB primer
Efusi pleura terjadi dalam beberapa bulan setelah infeksi primer pada anak-
anak dan orang dewasa muda.17 Hipotesis saat ini mengatakan bahwa terjadinya
efusi ini disebabkan oleh karena pecahnya fokus subpleura di paru yang masuk ke
dalam rongga pleura yang mengakibatkan antigen mikobakterium masuk ke rongga
pleura dan terjadi interaksi dengan limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi
hipersensitivitas lambat. Limfosit T akan melepaskan limfokin yang akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein
dimana akan menghasilkan suatu akumulasi cairan pleura. Cairan yang dihasilkan
pada umumnya eksudat tapi bisa serousanguineous dan biasanya mengandung
sedikit mikobakterium tuberkulosis. Tiga puluh persen penderita di jumpai tanpa
kelainan radiologis yang memperlihatkan keterlibatan daripada parenkim paru.
28

Efusi pleura tereabsorpsi secara spontan pada 65% penderita. Kriteria yang
menunjukan pada pleuritis tuberkulosis primer antara lain:
• Uji tuberkulin positif.
• Rontgen Toraks dalam satu tahun terakhir menunjukan tidak adanya kelainan
pada parenkim paru.
• Adenopati hilar dengan atau tanpa kelainan parenkim.
2. Post primer pleuritis TB
Efusi pleura yang terjadi diakibatkan penyakit paru pada orang dengan usia
lebih lanjut. Pleuritis TB ini terjadi akibat proses reaktivasi dari infeksi primer yang
mungkin terjadi jika penderita mengalami imunitas yang rendah.
3. Pleuritis TB yang terjadi akibat pecahnya kavitas ke dalam rongga pleura
dimana akan menyebabkan empiema atau piopneumotoraks.
4. Pleuritis TB yang merupakan komplikasi dari TB milier
Penyebaran secara hematogen atau secara limfogen jarang terjadi. Masa
inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks
primer pada penyebaran limfogen. Kuman tuberkulosis masuk ke sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh pada penyebaran hematogen. Basil tuberkulosis
dapat juga masuk ke pembuluh darah setelah operasi pembedahan pada organ yang
terkontaminasi dengan basil tuberkulosis.
Pleuritis TB menggambarkan aktivasi sistem imun spesifik seluler di rongga
pleura. Mycobacterium tuberculosis mencapai rongga tersebut melalui ruptur dari
subpleura 6- 12 minggu setelah infeksi primer, dan bisa juga dari perluasan
langsung fokus infeksi di vertebra meskipun jarang. Penelitian yang dilakukan di
Maryland, USA dan Edinburgh, UK menunjukkan efusi Pleura TB lebih sering
terjadi pada kasus relaps TB daripada kasus baru.
Penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa neutrofil
merupakan sel yang predominan pada fase inisial dan setelah hari ke tiga sel
limfosit menjadi predominan. Cairan pleura pada TB banyak mengandung sel – sel
limfosit. Sel- sel limfosit tersebut adalah T-helper tipe 1 (Th1) dan perbandingan
29

antara Cluster of Differentiation 4 (CD4) dengan CD8 di cairan pleura adalah 4.3,
sementara pada darah perifer 1.6.
Komponen seluler tersebut mencerminkan reaksi imun dari pleuritis TB
dengan sel - sel mesotelial, neutrofil, limfosit, monosit dan sitokin-sitokin yang
terlibat. Hipotesis yang paling mungkin untuk patogenesis efusi pleura TB
menunjukkan bahwa sel-sel endotelial dan mesotelial adalah pelaku utama yang
mengawali proses patogenesis penyakit tersebut.
Sel mesotelial memiliki peranan yang besar dalam menginisiasi respons
inflamasi pada rongga pleura karena sel tersebut yang pertama kali menginvasi
rongga pleura. Inflamasi pleura tidak hanya berhubungan dengan masuknya
sejumlah besar sel-sel inflamasi tetapi juga dengan transport protein dan perubahan
permeabilitas pleura. Sel mesotelial pleura melepaskan kemokin yang secara
langsung membuat terjadinya migrasi sel-sel fagosit ke dalam rongga pleura.
Sel - sel ini bergerak ke tempat terjadinya rangsangan proses inflamasi yang
berasal dari mycobacteria tuberculosis melalui ekspresi kemokin pada sel – sel
mesotelial pleura, melepaskan interleukin-1 hingga interleukin-6, Tumor Necroting
Factor-alfa, interleukin-8, Neutrophil Activating Protein-2 (NAP2), makrophage
inflamatory protein (MIP-1) dan monocyte chemoattractant protein (MCP-1).
Interleukin-8 dan NAP-2 bersifat kemotaktik terhadap neutrofil, limfosit, atau
keduanya, sementara MIP-1 dan MCP-1 bersifat kemotaktik terhadap monosit dan
makrofag. Interferon-γ di induksi oleh ekspresi MIP-1 dan MCP-1 dalam sel
mesotel pada sebuah studi reverse transcription-polymerase chain reaction, hal ini
memperlihatkan bahwa Th1 dan Th2 meregulasi C-C kemokin di sel mesotel dan
hal ini berkaitan dengan penarikan mononuclear ke dalam pleura seperti pada
gambar 5.
Infeksi M. tuberkulosis pada monosit dan makrofag akan menginduksi
sekresi Matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) dan infeksi langsung pada sel-sel
tersebut oleh M. tuberkulosis secara in vivo merupakan sumber utama sekresi
MMP-9. Matrix metalloproteinase merupakan mediator yang berperan penting
dalam proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Beberapa peneliti yang
mengungkapkan bahwa MMP-9 tersebut berhubungan dengan pembentukan
30

granuloma dan nekrosis kaseosa pada pleura. Sitokin yang berperan pada induksi
MMP-9 adalah TNF- α dan IL-1β. Sitokin tersebut akan merangsang sel mesotelial,
sel endotelial dan fibroblas untuk menghasilkan MMP-9. Tumor Necroting Factor-
α sendiri juga diperlukan untuk pembentukan granuloma tersebut.

3.3.3 Manifestasi Klinis


Tuberkulosis merupakan suatu penyakit yang kronis akan tetapi efusi pleura
tuberkulosis sering manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut.
Sepertiga penderita durasinya kurang dari satu minggu dan dua pertiga ditemukan
dalam waktu satu bulan. Penelitian lain ditemukan 63% penderita sebagai suatu
penyakit akut yang menyerupai pneumoni yang akut.
Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah batuk (71-94%), demam
(71-100%), nyeri dada (78-82%) dan sesak nafas.18 Nyeri berupa nyeri pleuritik
yang dirasakan terutama pada akhir inspirasi dan bertambah berat dengan adanya
pergerakan napas dalam, nyeri dirasakan didaerah aksila dan menjalar sepanjang
nervus interkostalis.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pengembangan dada yang menurun,
fremitus raba dan suara napas yang menurun, adanya dorongan trakea dan
mediastinum, namun hal ini dipengaruhi oleh jumlah cairan pleura yang ada.

3.3.4 Radiologi
Cairan pleura pada posisi tegak mengalami gravitasi pada bagian paling
bawah toraks yang memberikan gambaran sinar-X dada sebagai lesi opak homogen
menutupi paru bawah yang biasanya relative radioopak dengan permukaan atas
cekung berjalan dari lateral atas ke medial bawah (meniscus sign), hilangnya garis
diafragma, seperti pada gambar 3.5. Cairan berkumpul di bagian posterior pada
awalnya, kemudian menuju ruang kostofrenikus di bagian lateral. Cairan yang
terdeteksi pada foto dada posteroanterior standar, yang ditandai oleh penumpulan
sudut kostofrenikus, efusi pleura telah mencapai volume 200-300 ml. Efusi
bertambah luas akan menyebabkan pergeseran mediastinum ke kontralateral. Efusi
31

pleura dapat berupa transudat, eksudat, darah (hematotoraks) dan empiema (nanah).
Empiema dengan efusi pleura sulit dibedakan melalui foto dada biasa walaupun
pada empiema biasanya encapsulated karena adanya adhesive dari permukaan
pleura, seperti pada gambar 3.6.

Gambar 3.5 Efusi pleura: A. Thoraks PA; B. Lateral Dekubitus

Gambar 3.6 Empiema

Efusi pleura umumnya unilateral dengan ukuran kecil sampai sedang. Efusi
masif ditemukan pada 12-29 % kasus dan tuberkulosis adalah salah satu dari tiga
penyebab terbanyak efusi eksudat pleura yang masif. Keganasan dan empiema
adalah penyebab terbanyak efusi eksudat masif yang lain. Penelitian sebelumnya
32

menyebutkan bahwa efusi masif pleura lebih sering terjadi pada pasien dengan HIV
positif. Kurang dari 10 % efusi TB bilateral dan umumnya terjadi pada pasien
dengan HIV positif.
Pleuritis TB hampir selalu unilateral dimana efusi pleura biasanya sedikit
sampai sedang dan jarang masif. Penelitian yang dilakukan oleh Luis Valdes dkk
terhadap 254 penderita efusi pleura tuberkulosis ditemukan efusi di kanan 55,9%
penderita, efusi pleura di kiri 42,5% penderita dan bilateral efusi 1,6% penderita
serta 81,5% penderita mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga hemitoraks.
Infeksi primer atau reinfeksi pleuritis TB cukup sulit untuk dibedakan.
Kriteria radiologis biasanya dapat digunakan untuk membedakan hal itu. TB primer
bermanifestasi sebagai limfadenopati atau ditemukan infiltrasi pada lobus bawah.
Karakterisitik untuk kasus relaps TB sering dihubungkan dengan usia lanjut,
kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol, penurunan berat badan yang
signifikan, ditemukannya mikobakterium pada sputum dan volume efusi pleura
yang sedikit. 8-20 % pasien dengan TB pulmoner mempunyai gambaran radiologi
atipikal dan sering dibutuhkan pemeriksaan imunologi lanjutan.

3.3.5 Diagnosis
Diagnosis pleuritic TB ditegakkan melalui analisa klinis, radiologis, biokimia,
mikrobiologi, pemeriksaan sitologi dari cairan pleura dan biopsi spesimen pleura.
Kriteria efusi pleura tuberkulosis menurut Nagesh tahun 2001 adalah bila
memenuhi salah satu kriteria di bawah ini dan disertai cairan pleura:
a. Biopsi jarum halus kelenjar getah bening menunjukkan gambaran peradangan
granulomatosis.
b. Gambaran histopatologis biopsi pleura menunjukkan gambaran peradangan
granulomatosis
c. Pemeriksaan sputum BTA (mikroskopis atau biakan) positif, gambaran
radiologis sesuai dengan TB Paru dan perbaikan respons klinis dengan
pemberian OAT.
33

d. Pemeriksaan bilasan bronkoalveolar (broncholaveolar lavage, BAL) BTA


positif, gambaran radiologis sesuai dengan gambaran radiologis TB paru dan
perbaikan respons klinis dengan pemberian OAT.
e. Cairan pleura BTA positif (langsung atau biakan) dan perbaikan respons klinis
dengan pemberian OAT.
f. Gambaran klinis, gambaran radiologis sesuai dengan gambaran radiologis TB
paru dan perbaikan respons klinis dengan pemberian OAT.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratorium secara konvensional yaitu
secara apusan dan kultur masih sulit untuk ditegakkan karena sensitivitasnya masih
rendah, dimana pertumbuhan kuman di cairan pleura adalah sedikit. Pemeriksaan
yang lebih murah, cepat, lebih sensitif, dan spesifik sangat diperlukan.

3.3.6 Analisis Cairan Pleura


Analisis cairan pleura digunakan untuk menilai kemungkinan penderita
suatu efusi pleura tuberkulosis, dimana cairan pleuranya hampir selalu eksudat.
Penelitian Luis Valdes dkk ditemukan 98,8 % cairan pleuranya bersifat eksudat.
Cairan pleura pada penderita efusi pleura tuberkulosis mengadung limfosit dengan
kandungan eosinofil < 10% dan sel mesotel kurang dari 5%. Dua penyebab utama
efusi pleura eksudat yaitu oleh karena proses infeksi (pneumoni dan tuberkulosis)
dan keganasan. Kedua proses tersebut pada analisis cairan pleura secara kimiawi
memberikan hasil yang sama, sehingga diperlukan suatu uji diagnosis lain di dalam
penegakan efusi pleura tuberkulosis.

3.3.7 Apusan dan Kultur Cairan Pleura


Diagnosis pasti dari efusi pleura tuberkulosis dengan ditemukan basil
tuberkulosis pada sputum, cairan pleura, dan biopsi pleura. Pemeriksaan apusan
cairan pleura secara Ziehl Neelsen walaupun cepat dan tidak mahal akan tetapi
sensitivitasnya rendah. Pemeriksaan kultur cairan pleura lebih sensitif, pada kultur
diperlukan 10 sampai 100 basil tuberkulosis, tetapi kultur memerlukan waktu yang
lebih lama.
34

3.3.8 Pengobatan Efusi Pleura TB


Efusi Pleura TB tanpa terapi akan sembuh dengan sendirinya dalam 2 – 4
bulan, tetapi jika tidak ada terapi yang diberikan, kemungkinan untuk berkembang
menjadi TB paru adalah 65 % (92 dari 114 kasus) pada 5 tahun terakhir. Paduan
obat untuk efusi pleura TB di Indonesia adalah 2RHZE/4RH. Fase inisial selama 2
bulan menggunakan rifampisin, pirazinamid, isoniazid, etambutol diikuti fase
lanjutan selama 4 bulan dengan menggunakan rifampisin dan isoniazid setiap hari.
Etambutol memang harus diberikan pada pasien yang hidup di daerah dengan
resistensi primer > 4% terhadap isoniazid, daerah yang dilaporkan memiliki level
yang tinggi terhadap resistensi mikroorganisme, menerima obat anti-TB
sebelumnya atau terpapar dengan pasien Multi Drug Resisten TB. Penyembuhan
total setelah pengobatan 6 bulan dilaporkan berjumlah 75% dan secara praktis
100% dari semua kasus setelah pengobatan selama 14 bulan. Efusi pleura
meningkat selama terapi fase inisial pada beberapa pasien mungkin bukan
merupakan indikasi kegagalan terapi.
Regimen terapi yang sama juga direkomendasikan untuk pasien positif HIV,
terapi diperpanjang jika respons klinis dan biologis rendah atau kurang optimal.
Pengobatan yang telah disebutkan diatas, cairan harus dievakuasi seoptimal
mungkin, sesuai keadaan pasien dan evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan.
Kortikosteroid dapat diberikan dengan cara tappering off pada pleuritis TB tanpa
lesi di paru. Kortikosteroid sistemik telah ditujukan untuk terapi pleuritis TB karena
pleuritis TB berhubungan dengan inflamasi dan fibrosis sehingga peran steroid
diharapkan dapat mengurangi inflamasi pleura tersebut sehingga dapat mengurangi
sekuel fibrotik. Dosis steroid yang digunakan adalah prednisone 40-50 mg/hari
diturunkan selama 4-8 minggu.

3.3.9 Komplikasi
Penebalan pleura, empiema, dan infeksi dinding toraks merupakan
komplikasi tersering. Penebalan pleura adalah komplikasi paling sering. Insidennya
bervariasi menurut waktu evaluasi dan derajat penebalannya. Komplikasi setelah
35

terapi menghasilkan penebalan pleura lebih dari 2 mm pada 43% – 50% pasien dan
penebalan lebih dari 10 mm pada 20% pasien. Hubungan antara penebalan pleura
dengan beberapa variabel (konsentrasi glukosa yang rendah pada cairan pleura, Ph
level rendah, kadar lysozyme dan TNF-α yang tinggi, ditemukannya
mikobakterium di cairan pleura atau biopsi, tingkat efusi yang tinggi, durasi gejala,
kadar hemoglobin yang rendah, dan penurunan berat badan) ditemukan lemah.
Empiema tuberkulosis termasuk komplikasi yang luar biasa, yang
normalnya berhubungan dengan adanya fistula bronkopleural. Respons dari terapi
medis tergantung oleh lokasi efusi pleura dan tebal pleura itu sendiri, pada kasus
ini harus dipertimbangkan drainasi dan dekortikasi. Penatalaksanaan thoracentesis
dan terapi medis selama 24 bulan dilaporkan menghasilkan respons terapi yang
baik.
36

DAFTAR PUSTAKA

Aditama TY. MOTT dan MDR. J Respir Indon. 2004; 24:157-9Sinha K (2012)
Now, 2-hr Test to Detect Drug-Resistant TB. The Times of India: 18–20.
http://articles.timesofindia.indiatimes.com/20120201/india/31012478_1_mdr-
tb-tb-cases-single-drug-resistant-case. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2018.

Bidwell, J. L., dan R. W. Pachner. 2005. Hemoptysis: diagnosis and management.


American Family Physician Journal. 72 (7): 1253-1260.

Danusantoso, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit paru. Penerbit Hipokrates. Jakarta:
2000.

Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson dan Loscalzo. 2016. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. USA: Mc Graw Hill Education Press.

Konsensus Tuberkulosis Paru. Diunduh dari:


http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf. Diakses tanggal 9 Oktober
2018.

Kosasih, A., A. D. Susanto, T. R. Pakki, dan T. Martini T. 2008. Diagnosis dan


Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru dalam Praktek Sehari-hari. Jakarta:
Sagung Seto, 2008.

Macias, A. A, Sanchez. F. Salvador, et al. 2019. Epidemiology and diagnosis of


pleural tuberculosis in a low incidence country with high rate of immigrant
population: A retrospective study. Denmark: Elsevier

Mahmud, T. dan A, Naveed. 2018. Clinico-Radiological characteristics of patients


with Pleural Tuberculosis and misuse of Antibiotics prior to diagnosis.
Pakistan: Pak J ChestMed.

Martin A, Paasch F, Docx S, Fissette K, Imperiale B, Ribón W, González LA,


Werngren J, Engström A, Skenders G, Juréen P, Hoffner S, del Portillo P,
Morcillo N, Palomino JC. Multicentre laboratory validation of the colorimetric
redox indicator (CRI) assay for the rapid detection of extensively drug-resistant
(XDR) Mycobacterium tuberculosis . J Antimicrob Chemother. 2011;66:827–
833. Diakses tanggal 8 Oktober 2018.
37

PAPDI. 2011. Hemoptisis dalam Panduan Pelayanan Medik. Edisi II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. Diunduh dari:


http://www.scribd.com/doc/3616799/PEDOMAN-NASIONAL-
PENANGGULANGAN-TUBERKULOSIS-2014. Diakses tanggal 4 Oktober
2018.

Peraturan Menteri Kesehatan- Penanggulangan Tuberkulosis 2016. Diakses


tanggal 10 Oktober 2018.

Pitoyo, C. W. 2011. Hemoptisis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Soeroso, H. L., H. Sugito, R. S. Parhusip, Sumari dan Usman. 1992. Hemoptisis


masif. Cermin Dunia Kedokteran. 80: 1-5.

TB paru. Diunduh dari: www.tbindonesia.or.id/tbnew/arsip/article/140. Diakses


tanggal 10 Oktober 2018.

Wesnawa, M. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Pleuritis Tuberkulosis. Bali: CDK

World Health Organization. 2018. Tuberculosis paru. http://www.who.int/tb/en/.


Diakses tanggal 11 Oktober 2018.

Ward, J. P. T., J. Ward, R. M. Leach, dan C. M. Wiener. 2008. Tuberkulosis paru


dalam At A Glance Sistem Respirasi. Jakarta: Erlangga.

Yoga,Chandra. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta: 2006.

Anda mungkin juga menyukai