Oleh:
Muhammad Faizal Akbar
142011101025
Pembimbing
LAPORAN KASUS
Oleh
Muhammad Faizal AKbar
142011101025
Pembimbing
BAB I. PENDAHULUAN
Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Secara geografis penyakit ini terdapat
diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. Di negara-negara industri, diperkirakan terdapat
320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika Serikat melaporkan 1,3 juta
orang setiap tahunnya menderita efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal
jantung kongestif dan pneumonia bakteri. Menurut Depkes RI (2006), kasus efusi
pleura mencapai 2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas lainnya. WHO
memperkirakan 20% penduduk kota dunia pernah menghirup udara kotor akibat
emisi kendaraan bermotor, sehingga banyak penduduk yang berisiko tinggi
penyakit paru dan saluran pernafasan seperti efusi pleura.
Efusi pleura tuberkulosis adalah penyebab tersering efusi pleura eksudat pada
pasien imunokompeten diseluruh dunia yaitu sekitar 60 % dari semua kasus
tuberkulosis ekstraparu. Insidensi adanya keterlibatan antar efusi pleura
tuberkulosis dengan tuberkulosis paru yaitu sekitar 34 – 50 %. Penyakit
tuberkulosis (TB) merupakan suatu masalah utama kesehatan masyarakat di
Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996 menyatakan
bahwa angka pertambahan TB paru Indonesia diperkirakan sebesar 8 per 10.000
penduduk setiap tahun. Tahun 1992, World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan TB sebagai Global emergensi. Perkiraan kasus TB secara global
pada tahun 2009 adalah: Insidensi kasus 9,4 juta (8,9-9,9 juta), prevalensi kasus juta
(12-16 juta), kasus meninggal-HIV negatif 1,3 juta (1,2-1,5 juta), kasus meninggal-
HIV positif 0,38 juta (0,32-0,45 juta)..
4
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien dan ibu pasien
pada tanggal 17 Januari 2019 di Ruang Sakura RSD dr. Soebandi Jember.
keringat dingin pada malam hari disangkal. Menurut ibu pasien, di rumah tidak
terdapat anggota keluarga dengan keluhan yang sama.
b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : normal
c. Thorax
1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S
- Auskultasi : S1S2 (+) tunggal reguler, suara tambahan (-) murmur (-)
2. Pulmo :
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
Bentuk thoraks normal Bentuk thoraks normal
Simetris Simetris
Retraksi -/- Retraksi -/-
Ketinggalan gerak -/- Ketinggalan gerak -/-
Deviasi trakea -
9
Palpasi: P: Palpasi:
Letak trakea dan iktus kordis Nyeri tekan –
normal Ruang antar iga teraba
Ruang antar iga teraba normal normal
Nyeri tekan –
Ekspansi dada
N N Ekspansi dada
N N
N N
N N
N N
N N
Fremitus raba
N N Fremitus raba
N N
N N
N N
N N
N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
10
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
Suara nafas dasar: Suara nafas dasar:
v v↓ v↓ v
v v↓ v↓ v
v v↓ v↓ v
- - - -
- - - -
- - - -
Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
d. Abdomen
- Inspeksi : flat, striae (-), spider nervi, pelebaran vena (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal 14x/ menit
- Perkusi : timpani di semua kuadran abdomen, shifting dullness (-)
- Palpasi : nyeri tekan abdomen (-), hepatomegali (-)
Kesan: Pemeriksaan fisik abdomen dalam batas normal
11
e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, tremor (-)
P
2. 15 Januari 2019
2.5 Resume
Seorang laki-laki datang ke IGD RS Soebandi Jember dengan keluhan: TPL
(Temporary problem list)
Sesak
Batuk sejak satu tahun lalu
Nyeri dada
Demam sumer-sumer
RPD: usia 3 tahun menderita batuk asma
RPO: belum pernah konsumsi OAT, minum obat batuk di warung
RPK: Tidak ada keluarga yang mengeluhkan gejala dan sakit yang sama.
Riwayat sosio ekonomi: rendah
Pemeriksaan fisik:
Didapatkan keadaan umum pasien cukup, kesadaran kompos mentis. Pada
pemeriksaan fisik paru didapatkan fremitus raba normal, terdapat suara
vesikuler menurun dan perkusi redup di hemithorax sinistra, tidak
ditemukan rhonki maupun weezing.
Pemeriksaan penunjang
Lab: Lab DL, faal hati dan Faal ginjal dalam batas normal
Pemeriksaan sputum: tidak dilakukan
15
2.7 Penatalaksanaan
Planing monitoring
Observasi vital sign
Saturasi O2
Pemeriksaan darah lengkap
Observasi berat badan
Planing diagnostik
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan BTA cairan pleura
Foto thorax
Planning Terapi
O2 Nasal 3 lpm
Inf PZ 14 tpm
Drip Neurobion 500 mg
Drip Ketorolac 1 amp
Inj
Cefoperazone 2x1
P/O
codein 3 x 20 mg
INH 1 x 300 mg
Rifampisin 1 x 450 mg
Pirazinamid 1 x 1000 mg
Ethambutol 1 x 750 mg
16
Planing edukasi
Istirahat yang cukup
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada keluarga
penyebab, perjalanan penyakit, perawatan, prognosis, komplikasi serta
usaha pencegahan komplikasi
Mengedukasi pasien untuk selalu kontrol ke poli paru
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
Follow Up
Selasa, 15 Januari 2019 Rabu, 16 Januari 2019
S KU: Sesak KU: Sesak
O KU: lemah KU: lemah
Kes: compos mentis Kes: compos mentis
TD: 90/70mmHg TD: 100/80mmHg
N: 82x/mnt N: 84x/mnt
RR: 26x/mnt RR: 30x/mnt
Tax: 36.5oC Tax: 36.5oC
K/L: a/i/c/d: -/-/-/+ K/L:a/i/c/d:-/-/-/+
Thorax: c/dbn Thorax: c/dbn
pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+ pulmo/ I : simetri +/+, retraksi +/+
P : fr raba n/n P : fr raba n/n
P : sonor/sonor P : sonor/sonor
A : ves +/menurun rho -/- A : ves +/menurun rho -/-
whe -/- whe -/-
Abd: flat, BU (+) normal, timpani Abd: flat, BU (+) normal, timpani
Ext: AH (+) dan edema (-) di keempat Ext: AH (+) dan edema (-) di
ekstremitas keempat ekstremitas
A Efusi pleura S + pleuritis TB Efusi pleura S + pleuritis TB
17
BAB 3. PEMBAHASAN
Textbook Pasien
Anamnesis
1. Sesak +
2. Batuk +
3. Nyeri pleura +
4. Demam +
5. BB turun +
Pemeriksaan fisik
1. Takipnea +
2. Friction Rib -
3. Pengembangan dada normal hingga menurun +
4. Fremitus raba menurun +
5. Suara nafas menurun atau hilang +
6. Perkusi redup pada lapang yang berisi cairan +
7. Pelebaran interkosta +
8. Egofoni -
Pemeriksaan penunjang
1. Gambaran radiologis menunjukkan
Penumpukkan sudut kostofrenikus +
Perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah +
Perselubungan pada hemithorax +
Paru kolaps dan mendorong trakea – jantung menjauhi sisi -
yang terkena
Tabel 3.1 Perbandingan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang di text book dan pada
pasien
3.1 PLEURA
Pleura dan paru terletak pada kedua sisi mediastinum di dalam cavitas
thoracis. Masing-masing pleura mempunyai dua bagian:
a. Lapisan parietalis,
Lapisan ini membatasi dinding toraks meliputi permukaan torakal
diafragma dan permukaan lateral mediastinum, dan meluas sampai ke pangkal leher
untuk membatasi permukaan bawah membrana suprapleura (apertura thoracis).
Pleura parietalis dibatasai oleh sel mesotel berdekatan dengan rongga pleura.
Supply pembuluh darah melalui arteri intercostalis, pleura parietal mengandung
sistem limfatik, hal ini seperti terlihat pada gambar 3.1.
Gambar 3.1 Pleura parietal. Dibatasi oleh sel-sel mesotel (M) berdekatan dengan rongga
pleura (PS)
20
b. Lapisan viseralis,
Lapisan ini meliputi seluruh permukaan luar paru dan meluas ke dalam
fissura interlobaris. Pleura viseralis terletak antara rongga pleura dan alveoli pada
parenkim paru dan dilapisi sel mesotel, supply pembuluh darah pleura viseralis
melalui arteri bronkialis, hal ini seperti terlihat pada gambar 3.2.
Gambar 3.2 Pleura parietal. Dibatasi oleh sel-sel mesotel (M) berdekatan dengan rongga
pleura (PS)
Kedua lapisan ini saling berhubungan satu sama lain pada lipatan pleura
yang mengelilingi alat-alat yang masuk dan keluar dari hilus pulmonalis pada setiap
paru. Pergerakan vasa pulmonalis dan bronkus dimungkinkan selama respirasi,
lipatan pleura tergantung bebas (ligamentum pulmonale).
Lapisan parietalis dan lapisan visceralis pleura di pisahkan satu dengan yang
lain oleh suatu ruangan sempit, yaitu kavum pleura. Kavum pleura mengandung
sedikit cairan pleura yang meliputi permukaan pleura sebagai lapisan tipis dan
memungkinkan kedua lapisan pleura bergerak satu dengan yang lain dengan sedikit
pergesekan seperti dijelaskan pada gambar 3.3.
21
normal akan menimbulkan gangguan jika tidak bisa diserap oleh pembuluh darah
dan pembuluh limfe
3.2.2 Etiologi
Efusi pleura secara umum diklasifikasikan menjadi efusi pleura transudat
dan efusi pleura eksudat berdasarkan mekanisme pembentukan dan proses kimiawi
cairan pleura. Eksudat terbentuk dari proses inflamasi yang terjadi di pleura
sehingga menyebabkan permeabilitas membran meningkat dan molekul – molekul
besar (protein) dapat lewat serta gangguan pada pengaliran sistem limfatik.
Transudat terbentuk dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dan hidrostatik
dengan membran pleura tetap intak. Tabel 2 menjelaskan etiologi dari efusi pleura .
Transudat Eksudat
Congestive Heart Failure Infeksi paru
Sindroma Nefotik Penyakit kolagen
Peritoneal dialisis GIT disease
Sindroma Vena Kava Superior Drug-Induced Pleural Disease
SIrosis Hepatis Tumor
Tabel 3.2 Etiologi terbentuknya transudate dan eksudat pada pleura
Efusi pleura transudat berbeda dengan efusi pleura eksudat. Efusi pleura
transudat tidak ada respon inflamasi, aktivasi dari kaskade koagulasi maupun
peningkatan permeabilitas membran sel dan protein. Tabel 3.3 menjelaskan
beberapa perbedaan antara efusi pleura transudat dan efusi pleura eksudat.
Jenis Pemeriksaan Transudat Eksudat
Rivalta - +
Berat Jenis <1,016 >1,016
Protein < 3 gr/100 cc >3 gr/100 cc
Rasio protein pleura: protein serum < 0.5 > 0.5
LDH (Lactic Dehydrogenase) < 200 IU > 200 IU
Rasio LDH cairan Pleura: LDH serum < 0.6 > 0.6
Leukosit < 1000/ mm3 > 1000/ mm3
Tabel 3.3 Perbedaan antara transudat dan eksudat pada cairan pleura
25
3.2.3 Patofisiologi
Rongga pleura normal mengandung kurang lebih 1-20 ml cairan yang
merupakan keseimbangan antara produksi oleh pleura parietalis dan absorpsi oleh
pleura viseralis. Produksi tersebut dapat dipertahankan karena adanya
keseimbangan antara tekanan hidrostatik pleura parietalis (9cm H2O) dan tekanan
koloid osmotik pleura viseralis (10cm H2O). Akumulasi cairan pleura dapat terjadi
apabila:
a. Tekanan osmotik koloid menurun dalam darah, misalnya pada hipoalbumin.
gambaran mikrobiologis (kultur, pewarnaan gram, kuman TB) dan sitologi. Pada
kadar glukosa cairan pleura kurang dari 60 mg/dL, dipertimbangkan penyebab efusi
pleura tersebut antara lain adalah keganasan, infeksi bakteri serta rheumatoid
pleuritis. Jika masih belum dapat ditentukan diagnosis setelah pemeriksaan di atas,
pertimbangkan penyebabnya adalah emboli paru, yang mana perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan paru atau spiral CT. Perlu dievaluasi juga adanya penanda
untuk TB. Apabila masih tidak ditemukan juga penyebabnya, tetapi gejala
mengalami perbaikan, selanjutnya pasien diobservasi. Namun, apabila tidak terjadi
perbaikan gejala, pertimbangkan torakoskopi atau image-guided pleural biopsi.
Efusi pleura tereabsorpsi secara spontan pada 65% penderita. Kriteria yang
menunjukan pada pleuritis tuberkulosis primer antara lain:
• Uji tuberkulin positif.
• Rontgen Toraks dalam satu tahun terakhir menunjukan tidak adanya kelainan
pada parenkim paru.
• Adenopati hilar dengan atau tanpa kelainan parenkim.
2. Post primer pleuritis TB
Efusi pleura yang terjadi diakibatkan penyakit paru pada orang dengan usia
lebih lanjut. Pleuritis TB ini terjadi akibat proses reaktivasi dari infeksi primer yang
mungkin terjadi jika penderita mengalami imunitas yang rendah.
3. Pleuritis TB yang terjadi akibat pecahnya kavitas ke dalam rongga pleura
dimana akan menyebabkan empiema atau piopneumotoraks.
4. Pleuritis TB yang merupakan komplikasi dari TB milier
Penyebaran secara hematogen atau secara limfogen jarang terjadi. Masa
inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks
primer pada penyebaran limfogen. Kuman tuberkulosis masuk ke sirkulasi darah
dan menyebar ke seluruh tubuh pada penyebaran hematogen. Basil tuberkulosis
dapat juga masuk ke pembuluh darah setelah operasi pembedahan pada organ yang
terkontaminasi dengan basil tuberkulosis.
Pleuritis TB menggambarkan aktivasi sistem imun spesifik seluler di rongga
pleura. Mycobacterium tuberculosis mencapai rongga tersebut melalui ruptur dari
subpleura 6- 12 minggu setelah infeksi primer, dan bisa juga dari perluasan
langsung fokus infeksi di vertebra meskipun jarang. Penelitian yang dilakukan di
Maryland, USA dan Edinburgh, UK menunjukkan efusi Pleura TB lebih sering
terjadi pada kasus relaps TB daripada kasus baru.
Penelitian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa neutrofil
merupakan sel yang predominan pada fase inisial dan setelah hari ke tiga sel
limfosit menjadi predominan. Cairan pleura pada TB banyak mengandung sel – sel
limfosit. Sel- sel limfosit tersebut adalah T-helper tipe 1 (Th1) dan perbandingan
29
antara Cluster of Differentiation 4 (CD4) dengan CD8 di cairan pleura adalah 4.3,
sementara pada darah perifer 1.6.
Komponen seluler tersebut mencerminkan reaksi imun dari pleuritis TB
dengan sel - sel mesotelial, neutrofil, limfosit, monosit dan sitokin-sitokin yang
terlibat. Hipotesis yang paling mungkin untuk patogenesis efusi pleura TB
menunjukkan bahwa sel-sel endotelial dan mesotelial adalah pelaku utama yang
mengawali proses patogenesis penyakit tersebut.
Sel mesotelial memiliki peranan yang besar dalam menginisiasi respons
inflamasi pada rongga pleura karena sel tersebut yang pertama kali menginvasi
rongga pleura. Inflamasi pleura tidak hanya berhubungan dengan masuknya
sejumlah besar sel-sel inflamasi tetapi juga dengan transport protein dan perubahan
permeabilitas pleura. Sel mesotelial pleura melepaskan kemokin yang secara
langsung membuat terjadinya migrasi sel-sel fagosit ke dalam rongga pleura.
Sel - sel ini bergerak ke tempat terjadinya rangsangan proses inflamasi yang
berasal dari mycobacteria tuberculosis melalui ekspresi kemokin pada sel – sel
mesotelial pleura, melepaskan interleukin-1 hingga interleukin-6, Tumor Necroting
Factor-alfa, interleukin-8, Neutrophil Activating Protein-2 (NAP2), makrophage
inflamatory protein (MIP-1) dan monocyte chemoattractant protein (MCP-1).
Interleukin-8 dan NAP-2 bersifat kemotaktik terhadap neutrofil, limfosit, atau
keduanya, sementara MIP-1 dan MCP-1 bersifat kemotaktik terhadap monosit dan
makrofag. Interferon-γ di induksi oleh ekspresi MIP-1 dan MCP-1 dalam sel
mesotel pada sebuah studi reverse transcription-polymerase chain reaction, hal ini
memperlihatkan bahwa Th1 dan Th2 meregulasi C-C kemokin di sel mesotel dan
hal ini berkaitan dengan penarikan mononuclear ke dalam pleura seperti pada
gambar 5.
Infeksi M. tuberkulosis pada monosit dan makrofag akan menginduksi
sekresi Matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) dan infeksi langsung pada sel-sel
tersebut oleh M. tuberkulosis secara in vivo merupakan sumber utama sekresi
MMP-9. Matrix metalloproteinase merupakan mediator yang berperan penting
dalam proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Beberapa peneliti yang
mengungkapkan bahwa MMP-9 tersebut berhubungan dengan pembentukan
30
granuloma dan nekrosis kaseosa pada pleura. Sitokin yang berperan pada induksi
MMP-9 adalah TNF- α dan IL-1β. Sitokin tersebut akan merangsang sel mesotelial,
sel endotelial dan fibroblas untuk menghasilkan MMP-9. Tumor Necroting Factor-
α sendiri juga diperlukan untuk pembentukan granuloma tersebut.
3.3.4 Radiologi
Cairan pleura pada posisi tegak mengalami gravitasi pada bagian paling
bawah toraks yang memberikan gambaran sinar-X dada sebagai lesi opak homogen
menutupi paru bawah yang biasanya relative radioopak dengan permukaan atas
cekung berjalan dari lateral atas ke medial bawah (meniscus sign), hilangnya garis
diafragma, seperti pada gambar 3.5. Cairan berkumpul di bagian posterior pada
awalnya, kemudian menuju ruang kostofrenikus di bagian lateral. Cairan yang
terdeteksi pada foto dada posteroanterior standar, yang ditandai oleh penumpulan
sudut kostofrenikus, efusi pleura telah mencapai volume 200-300 ml. Efusi
bertambah luas akan menyebabkan pergeseran mediastinum ke kontralateral. Efusi
31
pleura dapat berupa transudat, eksudat, darah (hematotoraks) dan empiema (nanah).
Empiema dengan efusi pleura sulit dibedakan melalui foto dada biasa walaupun
pada empiema biasanya encapsulated karena adanya adhesive dari permukaan
pleura, seperti pada gambar 3.6.
Efusi pleura umumnya unilateral dengan ukuran kecil sampai sedang. Efusi
masif ditemukan pada 12-29 % kasus dan tuberkulosis adalah salah satu dari tiga
penyebab terbanyak efusi eksudat pleura yang masif. Keganasan dan empiema
adalah penyebab terbanyak efusi eksudat masif yang lain. Penelitian sebelumnya
32
menyebutkan bahwa efusi masif pleura lebih sering terjadi pada pasien dengan HIV
positif. Kurang dari 10 % efusi TB bilateral dan umumnya terjadi pada pasien
dengan HIV positif.
Pleuritis TB hampir selalu unilateral dimana efusi pleura biasanya sedikit
sampai sedang dan jarang masif. Penelitian yang dilakukan oleh Luis Valdes dkk
terhadap 254 penderita efusi pleura tuberkulosis ditemukan efusi di kanan 55,9%
penderita, efusi pleura di kiri 42,5% penderita dan bilateral efusi 1,6% penderita
serta 81,5% penderita mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga hemitoraks.
Infeksi primer atau reinfeksi pleuritis TB cukup sulit untuk dibedakan.
Kriteria radiologis biasanya dapat digunakan untuk membedakan hal itu. TB primer
bermanifestasi sebagai limfadenopati atau ditemukan infiltrasi pada lobus bawah.
Karakterisitik untuk kasus relaps TB sering dihubungkan dengan usia lanjut,
kebiasaan merokok, kebiasaan minum alkohol, penurunan berat badan yang
signifikan, ditemukannya mikobakterium pada sputum dan volume efusi pleura
yang sedikit. 8-20 % pasien dengan TB pulmoner mempunyai gambaran radiologi
atipikal dan sering dibutuhkan pemeriksaan imunologi lanjutan.
3.3.5 Diagnosis
Diagnosis pleuritic TB ditegakkan melalui analisa klinis, radiologis, biokimia,
mikrobiologi, pemeriksaan sitologi dari cairan pleura dan biopsi spesimen pleura.
Kriteria efusi pleura tuberkulosis menurut Nagesh tahun 2001 adalah bila
memenuhi salah satu kriteria di bawah ini dan disertai cairan pleura:
a. Biopsi jarum halus kelenjar getah bening menunjukkan gambaran peradangan
granulomatosis.
b. Gambaran histopatologis biopsi pleura menunjukkan gambaran peradangan
granulomatosis
c. Pemeriksaan sputum BTA (mikroskopis atau biakan) positif, gambaran
radiologis sesuai dengan TB Paru dan perbaikan respons klinis dengan
pemberian OAT.
33
3.3.9 Komplikasi
Penebalan pleura, empiema, dan infeksi dinding toraks merupakan
komplikasi tersering. Penebalan pleura adalah komplikasi paling sering. Insidennya
bervariasi menurut waktu evaluasi dan derajat penebalannya. Komplikasi setelah
35
terapi menghasilkan penebalan pleura lebih dari 2 mm pada 43% – 50% pasien dan
penebalan lebih dari 10 mm pada 20% pasien. Hubungan antara penebalan pleura
dengan beberapa variabel (konsentrasi glukosa yang rendah pada cairan pleura, Ph
level rendah, kadar lysozyme dan TNF-α yang tinggi, ditemukannya
mikobakterium di cairan pleura atau biopsi, tingkat efusi yang tinggi, durasi gejala,
kadar hemoglobin yang rendah, dan penurunan berat badan) ditemukan lemah.
Empiema tuberkulosis termasuk komplikasi yang luar biasa, yang
normalnya berhubungan dengan adanya fistula bronkopleural. Respons dari terapi
medis tergantung oleh lokasi efusi pleura dan tebal pleura itu sendiri, pada kasus
ini harus dipertimbangkan drainasi dan dekortikasi. Penatalaksanaan thoracentesis
dan terapi medis selama 24 bulan dilaporkan menghasilkan respons terapi yang
baik.
36
DAFTAR PUSTAKA
Aditama TY. MOTT dan MDR. J Respir Indon. 2004; 24:157-9Sinha K (2012)
Now, 2-hr Test to Detect Drug-Resistant TB. The Times of India: 18–20.
http://articles.timesofindia.indiatimes.com/20120201/india/31012478_1_mdr-
tb-tb-cases-single-drug-resistant-case. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2018.
Danusantoso, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit paru. Penerbit Hipokrates. Jakarta:
2000.
Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson dan Loscalzo. 2016. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. USA: Mc Graw Hill Education Press.
PAPDI. 2011. Hemoptisis dalam Panduan Pelayanan Medik. Edisi II. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Pitoyo, C. W. 2011. Hemoptisis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.