Makalah dibuat
sebagai persyaratan untuk
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Oleh
Lorencye Tuhusula
2010-83-016
Pembimbing :
dr. Johan B. Bension, M.Med.Ed
Nip.197505232008121001
1
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Penyakit gastroenteritis (diare) hingga kini merupakan salah satu
penyebab utama kematian dan kesakitan di negara-negara berkembang.
Diperkirakan 100 juta episode diare terjadi setiap tahun pada anak di bawah
umur 5 tahun dan 80% kematian terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.1
Di Indonesia, diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150 sampai
450 per 1000 penduduk per tahun. Pada bayi kasus diare menduduki tempat
kedua setelah infeksi saluran pernafasan sebagai penyebab kematian. Dengan
upaya yang sekarang dilakukan pemerintah, angka kematian di rumah sakit
dapat ditekan menjadi kurang dari 3%.1
Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan salah satu masalah
kesehatan utama dari masyarakat di Indonesia. Dari daftar penyebab
kunjungan Poliklinik Rumah Sakit/Puskesmas/Balai pengobatan, hampir
selalu termasuk dalam kelompok 3 penyebab kunjungan ke sarana kesehatan
tersebut.5
Hipocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak
normal dan cair. Di FK UI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar
yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak
dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare apabila frekuensi buang air besar
lebih dari 4 kali, sedangkan bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak apabila
frekuensi lebih dari 3 kali.1,2
2
Batasan dari diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali sehari
dengan konsistensi lebih encer atau cair dari biasanya, dapat atau tidak disertai
dengan lendir atau darah yang timbul mendadak dan berlangsung tidak lebih
dari 2 minggu. Sedangkan diare kronik adalah diare yang berlanjut sampai
dengan 14 hari atau lebih. 2,3
b. Tujuan Penulisan
1. Agar masyarakat dapat memahami apa itu penyakit diare dan
mengetahuai apa bahaya dari pada penyakit diare.
2. Agar masyarakat dapat memahami penyebab timbulnya penyakit diare
dan bagaimana cara pencegahan dari pada penyakit diare.
3. Agar kita juga dapat mengetahui tentang macam-macam dan tanda-
tanda penyakit diare.
4. Untuk mengajak masyarakat, agar labih memperhatikan dan menyadari
tentang perlunya kebersihan lingkungan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIARE KRONIK
1. DEFINISI
Menurut WHO, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dibagi atas:
2. ETIOLOGI
Faktor-faktor etiologi diare persisten menurut PRITECH/WHO adalah :
1) Infeksi
Kuman penyebab yang khusus
4
- Campylobacter jejuni
- Enterotoxigenic E. Coli
- Giardia lamblia
- Entamuba histolytica
- Clostridium lamblia
2) Faktor host
Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis
mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak-anak 3.
Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan parasit merupakan penyebab diare
tersering. Virus, terutama Rotavirus merupakan penyebab utama (70-80 %)
diare infeksi pada anak2.3.4.5,6, virus lainnya adalah virus Norwalk,
Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus dan Minirotavirus, sedangkan sekitar
10-20 % adalah bakteri. Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan penyakit
5
tersebut adalah Aeromonas hydrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter
jejuni, Clostridium defficile, Clostridium perfringens, E.coli, Plesiomonas,
Shigeloides, Salmonella spp, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae dan
Yersinia enterocolitica dan kurang dari 10% adalah parasit. Parasit yang
dapat menyebabkan penyakit adalah Balantidium coli, Capillaria
philippinensis, Cryptosporidium, Entamoeba Hystolitica, Giardia lamblia,
Isospora billi, Fasiolopsis buski, Sarcocystis suihominis, Strongiloides
stercoralis, dan Trichuris trichiura. 3
3. FAKTOR RESIKO
Adapun faktor resiko dari diare kronil yaitu diantaranya:
a. Gizi kurang: Akan memperlambat regenerasi mukosa usus.
b. Tidak mendapat ASI dan pemberian susu formula dapat menimbulkan
intoleransi laktosa dan hipersensitif terhadap protein susu sapi.
c. Dilahirkan premature.
d. Umur kurang dari 18 bulan, umumnya usia 6-11 bulan. Hal ini
disebabkan oleh antibodi ibu yang sudah menurun, kekebalan aktif
bayi kurang, bayi mulai terpajan pada lingkungan sekitar.
e. Imunitas kurang pada anak dengan gizi buruk, terinfeksi virus seperti
campak atau AIDS.
f. Riwayat diare sebelumnya.
g. Obat- obat yang diberikan termasuk antibiotik.
h. Adanya penyakit penyerta, dan anemia. 6
4. EPIDEMIOLOGI
Pada umumnya, diare pada sebagian besar kasus akan sembuh
dalam satu minggu. Walaupun demikian, pada sebagian kasus diare
kronik, proses penyembuhan akan gagal dan akan menetap lebih dari 2
minggu. Suatu badan peneliti epidemiologis menyimpulkan bahwa
kejadian diare kronik banyak terjadi di negara yang merupakan endemik
penyakit infeksi kronis seperti infeksi HIV, yang menyebabkan enteropati
kronik 5
6
Diare kronik merupakan penyebab penting kematian pada anak di
negara berkembang. Hal tersebut karena diare yang berhubungan dengan
diare kronik semakin meningkat pada pertengahan tahun 1980-an.
Organisasi Kesehatan Dunia mengakui bahwa usaha untuk mengendalikan
diare persisten belumlah cukup. Beberapa studi sejak itu telah dilakukan
untuk dapat merumuskan strategi penatalaksanaan dan pengendalian diare
kronik. Sekitar 10 – 15 % episode diare akut akan menjadi diare kronik
yang sering menyebabkan status gizi memburuk dan meningkatkan
kematian.
Diare kronik menyebabkan 30 – 50 % dari semua kematian karena
diare di negara berkembang. Dari 8 studi komunitas di Asia dan Amerika
Latin di dapati persentase diare kronik antara 3 sampai 23% dari seluruh
kasus diare. Pada 7 studi lainnya insiden diare kronik sangat bervariasi. Di
India insiden diare kronik per tahun sekitar 7 kasus tiap 100 anak yang
berumur 4 tahun atau kurang dan 150 kasus di Brazil. Pada seluruh studi
insiden tertinggi pada anak dibawah 2 tahun. WHO dan UNICEF
memperkirakan pada tahun 1991 diare persisten terjadi 10% dari episode
diare dengan kematian sebanyak 35% pada anak di bawah 5 tahun 1,6.
Studi di Banglades, India, Peru dan Brazil mendapatkan kematian sekitar
45% atau 30-50% kematian dari diare persisten.
5. KLASIFIKASI
a. Watery stools atau tinja berair
1) Gastroenteropati alergi
- Alergi protein susu sapi
- Alergi protein kedelai
2) Defisiensi disakaridase
- Defisiensi laktase – sering sekunder
- Defisiensi Sukrase – isomaltase
- Malabsorpsi glukosa – galaktosa
3) Defek imun primer
4) Infeksi usus oleh virus, bakteri, dan parasit (Giardia)
5) CSBS (Contaminated small bowel syndrome)
7
- Obstruksi usus, malrotasi, short bowel syndrome, dan
sebagainya.
- Penyakit Hirschsprung, enterokolitis
6) Persisten postenteriting diarrhea dengan atau tanpa intoleransi
karbohidrat.
7) Diare sehubungan dengan penyakit endokrin
- Hyperparathyroidism
- Insufiensi adrenal
- Diabetes mellitus
8) Diare sehubungan dengan tumor
- Karsinoma medula tiroid
- Ganglioneuroma
- Zollinger - Ellison syndrome
9) Malabsorpsi asam empedu - cholerrhoic diarrhea
6. PATOFISIOLOGI
Mekanisme diare kronik bergantung kepada penyakit dasarnya.
Sering yang menyebabkan lebih dari satu macam sehingga efeknya
merupakan kombinasi dari penyebab-penyebab tersebut. Mekanisme
patofisiologi diare kronik dapat sebagai :
8
a. Diare osmotik
b. Diare sekretorik
c. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi
lemak
d. Defek sistem pertukaran anion
e. Kerusakan mukosa
f. Motilitas dan transit abnormal
g. Sindrom diare intraktabel
h. Mekanisme-mekanisme lain 4
Diare osmotik
Diare sekretorik
9
Pada sindrom Zollinger Ellison, hipergastrinemia menginduksi
dengan jelas sekresi lambung dan diare. 4
Dalam keadaan normal, usus halus anak adalah relatif steril. Bakteri
tumbuh lampau dapat terjadi pada setiap kondisi yang menimbulkan
stasis isi usus. Jumlah bakteri usus dapat meningkat pada bayi dengan
diare nonspesifik yang persisten dan dengan intoleransi monosakarida
sekunder. Organisme coliform biasanya predominan, walaupun bakteri
anaerob (seperti Bacteroides) mungkin meningkat secara kuantitatif.
10
diarrheogenic dihydroxy bile acids atau yang disebut juga oleh beberapa
penulis dengan cholerrhoeic diarrhoea.4
Kerusakan mukosa
11
hypergastrinemia juga dapat menghasilkan diare segera sesudah operasi.
Bayi dengan usus halus kurang dari 40 cm jarang dapat hidup, terutama
bila valvula ileosekal direseksi. 4
Mekanisme lain
7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran yang tampak pada dasarnya merupakan akibat dari diare itu
sendiri (akut maupun kronis) akan terjadi yakni :
Dehidrasi
Gangguan elektrolit dan asam basa
Gangguan gizi (oleh karena intake kurang namun output bertambah)
Hipoglikemi
Gangguan sirkulasi darah 5,8,9
8. DIAGNOSIS
12
a. Riwayat penyakit
Penting untuk menilai anak dengan diare kronik. Perlu ditanyakan
pada penderita : saat mulainya diare serta adanya gejala ekstraintestinal
seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas. Adanya gejala gejala lain
utama yang dapat menduga diagnosis seperti tinja yang abnormal dan
failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare sesudah
diberikan susu, buah buahan (defisiensi sukrase-isomaltase), hubungan
dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah
gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome). Tentang tinja
hendaknya diperinci frekuensi, penampakan, konsistensi dan adanya darah
atau lendir. Khusus tentang bau dan floating, walaupun nilainya terbatas,
perlu ditanyakan. Riwayat diet yang terperinci sangat penting. Riwayat
diare yang profus sesudah pengobatan antibiotik memberi dugaan adanya
enterokolitis pseudomembranosa.
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan laboratorium
Tinja : Nampaknya, konsistensi dan lain-lain, pH dan clinitest
setiap hari dengan cara bedside diagnosis, pemeriksaan tinja untuk
fat globules, leukosit dan reducing substances, pewarnaan Gram,
biakan dan pemeriksaan untuk telur cacing dan parasit
13
Darah : darah lengkap, serum elektrolit, karoten, kalsium,
magnesium, fosfatase lindi, cholesterol, waktu protrombin,
elektroforesis serum protein, imunoglobulin.
Kadar klorida keringat, foto toraks dan abdomen.
Adanya reducing substances dalam tinja yang ber pH rendah
disertai erithema natum, menyarankan adanya malabsorpsi
karbohidrat. Sukrosa bukan reducing substance dan diperlukan
acid hydrolisis sebelum ditambahkan tablet clinitest. Sering terjadi
defisiensi laktase sekunder yang mengikuti gastroenteritis. One
hour xylose absorption test dianjurkan. Pemberian formula bebas
atau rendah laktosa akan mengatasi masalahnya.
Walaupun lebih jarang, malabsorpsi monosakarida dapat terjadi
pada diare yang berat dan malnutrisi. Mengenai intoleransi
karbohidrat primer (tidak biasa), yang paling sering terlihat ialah
difisiensi sukrase - isomaltase, sedang malabsorpsi glukosa -
galaktosa jarang dan alaktasia kongenital sangat jarang. Bila
terdapat dugaan intoleransi karbohidrat, seharusnya dilakukan
pemeriksaan toleransi (laktosa, sukrosa dan glukosa) untuk
menetapkan diagnosis. Test breath hydrogen saat ini dimasukkan
dalam evaluasi malabsorpsi karbohidrat, tetapi digunakan secara
terbatas.
Adanya leukosit cukup banyak dalam tinja bersama sama dengan
lendir dan bakteri menduga adanya Shigella, Salmonella, bentuk
invasif Escherichia coli (EIEC) atau enterokolitis pseudomembranosa.
Pada penyakit tifoid, tinja mengandung sel-sel mononuklear. Kolitis
ulseratif selalu dihubungkan dengan banyak leukosit polimorfonuklear
(dan kadang kadang eosinofil), sedang pada disenteri amoeba tidak
atau sedikit mengandung leukosit, terkecuali bila terdapat infeksi
bakteri sekunder.
Biakan tinja dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat
tentang flora usus dan kontaminasi. Tidak cukup untuk hanya
14
mengetahui bahwa tidak ada kuman patogen. Pewarnaan Gram tinja
segar memberikan informasi tambahan. Pemeriksaan yang sederhana
ini memungkinkan kita untuk mendiagnosis suatu overgrowth
stafilokokus, streptokok atau candida.
Pemeriksaan parasit harus dikerjakan dari tinja segar. Giardia
lamblia (dan kadang kadang cacing trichuris trichiura) ialah parasit
yang dianggap menyebabkan diare kronik. Adanya banyak butir
lemak secara mikroskopik (kriteria Drumney) menunjukkan
kemungkinan adanya insufisiensi pankreas. Serum karoten 100 mg per
dl atau lebih menyingkirkan kemungkinan malabsorpsi lemak kronik,
sedang, kurang dari 50 mg menyatakan adanya kemungkinan
malabsorpsi lemak
Pada pemeriksaan darah tepi bila ditemukan acanthocyte dan kadar
kolesterol yang rendah, memberi petunjuk adanya
abetalipoproteinemia atau hipobetalipoproteinemeia. Dalam hal ini,
elektroforesis serum lipoproptein dianjurkan untuk membuat
diagnosis. Pada bayi dengan diare, lesi mukokutan dan alopesia serta
kadar Zn serum rendah mendukung diagnosis akrodermatitis
enteropatika, penyakit ini memerlukan pengobatan dengan Zn.
Pada pasien yang tinjanya berdarah dianjurkan pemeriksaan
kolonoskopi atau sigmoidoskopi dengan atau tanpa biopsi rektum.
Infeksi Salmonella dan Shigella, maupun chronic inflammatory bowel
disease, dapat menyebabkan tinja berdarah. Pada kolitis alergik,
kenaikan jumlah eosinofil mungkin terlihat di lamina propria. Anak
dengan diare profus selama atau sesudah pengobatan dengan
antibiotik memerlukan kolonoskopi atau sigmoidoskopi untuk
menyingkirkan enterokolitis pseudomembranosa.
Pendekatan diagnostik meliputi juga pemeriksaan tinja yang
dilakukan hati-hati dengan tekanan pada adanya excess reducing
substances maupun pemeriksaan parasit (Giardia, Candida, Trichuris
trichiura), bakteri dan virus. Pada masalah yang lebih kronik,
15
dilakukan biopsi usus halus (pada bayi: sedikitnya yang berat
badannya 3,5 kg) untuk mencari kemungkinan adanya enteropati.
Tindakan mengeliminasi diet yang diikuti dengan pemberian
makanan yang dicurigai merupakan peranan yang penting untuk
membuat diagnosis. Memang sangat sering diagnosis pada kelompok
anak ini dilakukan secara retrospektif. Labenthal (1979)
mengemukakan bahwa biopsi usus halus pada intractable diarrhoea
penting dan berguna dan ditemukan 96% kasus-kasusnya
menyebabkan atrofi mukosa.
Kerusakan usus halus akan mengakibatkan malabsorpsi lemak dan
karbohidrat. Hal ini akan digunakan oleh bakteri untuk membentuk
asam-asam organik dan akan meninggikan osmolalitas isi usus,
kenaikan sekresi cairan dan menstimulasi motilitas. Di samping itu,
proliferasi bakteri akan menimbulkan dekonjugasi asam empedu dan
produksi endotoksin yang menyebabkan melanjutnya sekresi air dan
elektrolit.
1) Pengobatan Cairan
Untuk menentukan jumlah cairan yang perlu diberikan kepada penderita
diare, harus diperhatikan jumlah cairan yang harus diberikan sama
dengan hal-hal sebagai berikut:
16
2) Jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan/muntah muntah PWL
(Previous Water Losses) ditambah dengan,
3) Banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin dan pernafasan
NWL (Normal Water Losses) ditambah dengan,
4) Banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus
berlangsung CWL (Concomitant water losses).
17
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah
tangga untuk mencegah dehidrasi, seperti air tajin, larutan gula garam,
kuah sayur-sayuran, dan sebagainya. Pengobatan dapat dilaukan di
rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10
ml/kg BB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50-100 ml, 1-5 tahun
adalah 100-200 ml, 5-12 tahun adalah 200-300 ml dan dewasa adalah
300-400 ml setiap BAB, atau dapat juga diberikan dapat diberikan CRO
sebanyak 5-10cc/kg BB setiap buang air besar dengan tinja cair untuk
mencegah dehidrasi. Pada bayi, oralit dapat diberikan dengan cara
berselang-selang dengan cairan yang tidak mengandung kadar Na seperti
air putih atau ASI.
Rehidrasi dengan menggunakan clear fluid (air putih, cairan rumah
tangga, sari buah, dsb) akan memberikan hasil tidak optimal. Karena,
kandungan natriumnya kurang. Sebaiknya, pemberian jus buah dan coal
dapat memperbesar keadaan diare, karena mengandung osmolaritas
tinggi di samping kadar Na yang rendah.
Cairan oralit yang dianjurkan oleh WHO-ORS, tiap 1 liter
mengandung osmolalitas 333 mOsm/L, glukosa 20 g/L, kalori 85 cal/L.
Elektrolit yang dikandung meliputi sodium 90 mEq/L, kalium 20 mEq/L,
klorida 80 mEq/L, bikarbonat 30 mEq/L.
Dehidrasi Ringan-Sedang
Pada keadaan dehidrasi ringan-sedang, pasien terlihat gelisah,
sangat haus, dan buang air kecil mulai berkurang. Mata agak cekung,
tidak ada air mata, turgor (kekenyalan kulit) menurun, dan mulut kering.
Rehidrasi dilaksanakan dengan memberikan CRO.
Penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang harus dirawat di
sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit.
Makanan tidak perlu dibatasi, karena meneruskan pemberian
makanan (early feeding) akan mempercepat penyembuhan. Bila disertai
muntah, CRO dapat diberikan secara bertahap; dengan peningkatan
18
jumlah sesuai dengan kemajuan daya terima pasien. Tindakan ini perlu di
bawah pengawasan, sehingga dapat dilaksanakan dalam suatu ruang
observasi yang dikenal dengan Ruang Upaya Rehidrasi Oral atau Ruang
Rawat Sehari.
Pada akhir jam ke 3-4, pasien dapat dipulangkan untuk mendapat
terapi rumatannya di rumah, atau tetap diobservasi untuk mendapat terapi
lebih lanjut bila dehidrasi masih berlangsung. Suatu hal yang paling
penting sebelum memulangkan pasien adalah orangtua harus paham betul
dalam menyiapkan dan memberikan CRO dengan benar. 4, 9, 11, 12
Ada beberapa cairan rehidrasi oral:
a) Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3 dan
glukosa, yang dikenal dengan nama oralit.
Tabel 5. Kebutuhan cairan yang spesifik per kelompok umur
Kebutuhan cairan yang Jumlah kebutuhan cairan
spesifik per kelompok
umur
Umur
Bayi baru lahir 80-100 mL/kg/hari
Bayi 120-130 mL/kg/hari
2 tahun 115-125 mL/kg/hari
6 tahun 90-100 mL/kg/hari
15 tahun 70-85 mL/kg/hari
18 tahun 40-50 L/kg/hari
19
terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-
akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-
akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebakan
oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebakan
kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli
diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat
osmolaritas yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru lebih
mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko
terjadinya hipernatremia.
Oralit
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah.
Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan,
namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit
baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan
suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja
hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain
itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan
UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.
20
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar,
dengan ketentuan:
1. Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali
BAB
2. Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200 ml tiap BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa,
maka sisa larutan harus dibuang.
Cara membuatnya:
- Masukkan ½ sendok teh peras garam ke dalam 1 liter air bersih dan
matang,
- Juga masukan 8 sendok teh penuh bubuk sereal.
- Didihkan selama 5 sampai 7 menit sampai menjadi bubur encer.
Cepat dinginkan dan mulai berikan kepada anak diare.
Untuk diperhatikan, cicipi minuman ini setiap kali sebelum diberikan
kepada penderita untuk meyakinkan minuman tidak basi. Pada cuaca
panas, minuman sereal seperti ini bisa basi dalam beberapa jam saja.
Cara membuatnya:
- Masukkan ½ sendok teh peras garam ke dalam 1 liter air bersih dan
matang,
- Juga masukkan 8 sendok teh peras gula. Aduk rata.
21
Perhatian sebelum menambahkan gula, cicipi dulu dan pastikan
minumannya tidak seasin air mata Orang tua harus waspada dan
mengetahui tanda-tanda jika diare si anak memburuk. Bawa anak ke
fasilitas pelayanan kesehatan atau ke dokter jika kondisinya tidak
membaik dalam 3 hari atau buang air besar cair bertambah sering,
muntah berulang-ulang, makan atau minum sangat sedikit, terdapat
demam dan tinja anak berdarah.
22
banyak beredar saat ini meskipun dari beberapa laporan
memperlihatkan hasil yang baik dalam hal lama dan frekuensi diare.
Tetapi, hal ini belum dimasukkan ke dalam rekomendasi penanganan
diare pada anak. Secara singkat, pemahaman gejala dehidrasi dan
penanganan yang benar merupakan kunci keberhasilan anak dengan
terapi diare.
Na 3–4 2–8
K 2–3 2–6
Cl 2–4 0–6
Fosfat 2 1 – 1,5
a. Hipernatremia
(Na>155 mEq/L), koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap
dengan pemberian dekstrosa 5% + 1/2 salin. Penurunan kadar Na tidak
boleh lebih dari 10 mEq per hari karena bias menyebabkan edem otak.
b. Hiponatremia
(Na < 130 mEq/L), koreksi kadar Na dilakukan bersamaan dengan
koreksi cairan rehidrasi yaitu dengan memakai ringer laktat atau normal
salin, atau dengan memakai rumus :
c. Hiperkalemia
(K > 5 mEq/L), koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glikonas 10
% 0,5 -1 ml/KgBB IV perlahan-lahan dalam 5 – 10 menit, sambil
memantau detak jantung.
23
d. Hipokalemia
(K< 3,5 mEq/L), koreksi dilakukan menurut kadar K.
- Jika kadar K 2,5-3,5 mEq/L, berikan 75 mEq/KgBB per oral per hari
dibagi 3 dosis
- Jika kadar K < 2,5 mEq/L : berikan secara drip intravena dengan dosis
:
a. 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam
dalam 4 jam pertama
b. 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB dalam
20 jam berikutnya.
Pemberian Nutrisi
1. Nutrisi enteral
Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat
diterima untuk mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi
penderita dengan saluran pencernaan yang masih berfungsi jalur enteral
dapat ditempuh melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau
jejunostomi dengan feeding tube.
a) Karbohidrat
24
Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili
menjadi monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit.
Terdapat 4 enzim oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili yaitu
maltase (glukosa amilase (glukosa a-dekstrinase), lactase dan trehalase.
Semua enzim ini berkurang pada penyakit yang mengenai mukosa usus
halus. Laktase merupakan enzim yang paling peka dan paling akhir pulih
apabila terjadi kerusakan mukosa.
b) Lemak
Lemak merupakan nutrient yang paling padat kandungan kalorinya.
Pemberian lemak pada penderita diare kronik sangat penting karena
sering disertai keterbatasan pemasukan kalori.
c) Protein
Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein
utuh. protein hidrolisat, asam amino atau gabungan.
2. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi tubuh melalui jalur intravena. Nutrient khusus terdiri atas air,
dekstrosa. asam amino, emulsi lemak. mineral, vitamin. trace elemen.
Jalur ini jangan digunakan apabila penderita masih mempunyai saluran
gastrointestinal yang masih berfungsi serta masih dimungkinkan
pemberian secara peroral, enteral atau gastrostorni. Pada umumnya
tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari
25
Kebutuhan pada nutrisi parenteral
a. Kalori
Neonatus
Anak 0 – 10 kg 100
b. Cairan
< 10 kg 100
c. Karbohidrat
26
- Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan
respon tubuh dalam memproduksi insulin endogen dan mencegah
terjadinya glikosuria.
d. Asam amino
e. Lemak
3. Medikamentosa
27
a. Obat anti diare
Tidak perlu diberikan obat anti diare seperti kaolin, pektin, difenoksilat
(Lomotil). Tidak satu pun daripada obat-obat ini memberi efek positif pada
patofisiologi. Penelitian baru-baru ini memberi petunjuk bahwa obat-obat
yang memperlambat motilitas usus justru akan memperpanjang lamanya
enteritis karena infeksi.
Pengobatan antibiotik pada umumnya tidak dianjurkan, bahkan hal ini akan
mengubah flora usus dan menimbulkan keadaan diare menjadi lebih buruk.
Untuk membersihkan isi usus anak dengan infeksi usus karena bakteri,
fungsi peristaltik ternyata lebih efektif walaupun pada anak lebih besar
antibiotik sebaiknya tidak diberikan, namun pada neonatus, anak yang sakit
serius (sepsis atau lainnya), anak dengan defisiensi imunologi dan anak
dengan protracted diarrhoea yang sangat berat, dianjurkan tetap diberikan.
Metronidazole merupakan obat yang efektif dan aman untuk Giardia
lamblia .
c. Kortikosteroid
d. Imunosupresif
e. Kolestiramin
f. Operasi
Bila diare kronik terjadi pada kasus-kasus bedah seperti misalnya penyakit
Hirschsprung, enterokolitis nekrotik, maka sering terdapat indikasi untuk
28
melakukan operasi. Tindakan ini hendaknya dilakukan setelah keadaan
umum pasien membaik. 4
10. KOMPLIKASI
a. Dehidrasi
b. Renjatan hipovolemi
c. Kejang
d. Bakterimi
e. KEP
f. Hipoglikemia
g. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus 10
11. PENCEGAHAN
- Perhatikan kebersihan dan gizi yang seimbang.
- Menjaga kebersihan dengan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan dan kebersihan dari makanan yang kita makan.
- Penggunaan jamban yang benar.
- Imunisasi campak
- Hindari penggunaan antibiotik dan antidiare pada anak dengan diare akut.
- Berikanlah terapi nutrisi yang adekuat pada setiap anak dengan diare akut
untuk mencegah terjadinya gangguan gizi untuk memutus lingkaran setan
diare-malnutrisi-diare.
- Galakkan penggunaan ASI.1,2,5
29
12. EDUKASI
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui mulut (orofecal)
antara lain melalui makanan/minuman yang tercemar tinja dan atau kontak
langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku khusus dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya
diare. Perilaku tersebut antara lain adalah :
1. Tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan.
Resiko untuk menderita diare berat beberapa kali lebih besar pada bayi
yang tidak diberi ASI daripada yang diberi ASI penuh. Resiko kematian
karena diare juga lebih besar.
4. Menggunakan air minum yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari
tinja.
30
Air mungkin terpapar di sumbernya atau pada saat disimpan di rumah.
Pencemaran di rumah dapat terjadi kalau tempat penyimpanan tidak
tertutup, atau apabila tangan tecemar kuman mengenai air sewaktu
mengambilnya dari tempat penyimpanan
BAB III
31
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Sunato. Gastroenterologi. Dalam : Hasan R, Alatas H. Editor. Buku Kuliah
Kesehatan Anak Jilid I. FK UI, Jakarta 1991: 283-294
2. WHO. Reading in Diarrhoe. Medical Education Project, 1998
3. Guandalini, Stefano. Diarrhea Dalam : emedicine. Online 2013. Available
From http://www.emedicine.com
4. Suharyono. Diare Kronik dalam Gastroenterologi Anak Praktis.Balai Penerbit
FKUI, Jakarta 1988.
5. Suryaatmaja, Sudaryat.Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Diare akut,
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RS Sanglah – Denpasar. Penerbit
Sagung Seto. Edisi pertama. Jakarta. 2005. Hal 1-24
6. Firmansyah. Agus, dkk. Modul Pelatihan Tata Laksana Diare pada Anak.
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Jakarta. 2007
7. Boyle J Timothy. Diare Kronik. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin
AM. Editor bahasa Indonesia : Wahab AS. Nelson ilmu kesehatan anak vol 1.
Edisi ke-15 Cetakan I. Jakarta: EGC, 2000
8. Ditjen PPM.Diare pada anak. Buku ajar Diare. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI. 1999.
9. Staf Pengajar IKA FKUI. Gastroenterologi. Dalam : Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta : FKUI, 1998
10. Markum, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jilid I, Gaya baru, Jakarta, 1999, hal 448-468.
11. Pusponegoro, H.D,dkk.Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Diare Akut, edisi I, Penerbit Badan Penerbit IDAI,
2005. 49:52.
12. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto
SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar
Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI
2011; 121-136.
34