Anda di halaman 1dari 34

DIARE KRONIK

Makalah dibuat
sebagai persyaratan untuk
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat

Oleh
Lorencye Tuhusula
2010-83-016

Pembimbing :
dr. Johan B. Bension, M.Med.Ed
Nip.197505232008121001

Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura


Tahun 2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Penyakit gastroenteritis (diare) hingga kini merupakan salah satu
penyebab utama kematian dan kesakitan di negara-negara berkembang.
Diperkirakan 100 juta episode diare terjadi setiap tahun pada anak di bawah
umur 5 tahun dan 80% kematian terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.1
Di Indonesia, diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150 sampai
450 per 1000 penduduk per tahun. Pada bayi kasus diare menduduki tempat
kedua setelah infeksi saluran pernafasan sebagai penyebab kematian. Dengan
upaya yang sekarang dilakukan pemerintah, angka kematian di rumah sakit
dapat ditekan menjadi kurang dari 3%.1

Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan salah satu masalah
kesehatan utama dari masyarakat di Indonesia. Dari daftar penyebab
kunjungan Poliklinik Rumah Sakit/Puskesmas/Balai pengobatan, hampir
selalu termasuk dalam kelompok 3 penyebab kunjungan ke sarana kesehatan
tersebut.5
Hipocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak
normal dan cair. Di FK UI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar
yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak
dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare apabila frekuensi buang air besar
lebih dari 4 kali, sedangkan bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak apabila
frekuensi lebih dari 3 kali.1,2

2
Batasan dari diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali sehari
dengan konsistensi lebih encer atau cair dari biasanya, dapat atau tidak disertai
dengan lendir atau darah yang timbul mendadak dan berlangsung tidak lebih
dari 2 minggu. Sedangkan diare kronik adalah diare yang berlanjut sampai
dengan 14 hari atau lebih. 2,3

Telah diketahui oleh kita bahwa dalam menghadapi seorang penderita


diare akut perlu difikirkan apakah penderita tersebut masuk di dalam
kelompok klinis diare akut yang mana dari ke-5 kelompok, yaitu : (1) diare
akut (murni) , (2) diare akut + komplikasi, (3) diare akut + penyakit penyerta
(bronkopnemoni, sepsis, ensefalitis, malnutrisi energi protein atau lainnya, (4)
diare akut yang melanjut menjadi diare kronik atau fase akut dari diare kronik,
dan (5) diare pada penyakit bedah usus.4

Masalah diare kronik adalah lebih kompleks dibanding diare akut.


Perlu diadakan pendekatan masalah (anamnesis, pemeriksaan klinis,
laboratorium dan pemeriksaan penunjang) yang sangat teliti untuk
mendapatkan diagnosis yang lebih tepat agar pengobatannya dapat berhasil.
Selanjutnya setiap faces, dilihat warna (kuning, hijau, putih atau lainnya),
penampakan (appearance) (berair, berlemak, berdarah) dan baunya (busuk,
asam atau lainnya).4

b. Tujuan Penulisan
1. Agar masyarakat dapat memahami apa itu penyakit diare dan
mengetahuai apa bahaya dari pada penyakit diare.
2. Agar masyarakat dapat memahami penyebab timbulnya penyakit diare
dan bagaimana cara pencegahan dari pada penyakit diare.
3. Agar kita juga dapat mengetahui tentang macam-macam dan tanda-
tanda penyakit diare.
4. Untuk mengajak masyarakat, agar labih memperhatikan dan menyadari
tentang perlunya kebersihan lingkungan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DIARE KRONIK
1. DEFINISI
Menurut WHO, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dibagi atas:

- Diare kronik (diare yang berkelanjutan) diare yang berlangsung lebih


dari 14 hari dan disebabkan oleh infeksi
- Diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan tidak disebabkan oleh
infeksi 5

2. ETIOLOGI
Faktor-faktor etiologi diare persisten menurut PRITECH/WHO adalah :
1) Infeksi
Kuman penyebab yang khusus

a. Kelompok yang lebih sering ditemukan pada diare kronik dari


pada diare akut.
- Enteroadherent E. Coli
- Cryptosporidium
- Enteropathogenic E. Coli
b. Kelompok yang sering dijumpai dengan frekuensi sama antara
diare kronik dan diare akut.
- Shigella
- Nontyphoid Salmonella

4
- Campylobacter jejuni
- Enterotoxigenic E. Coli
- Giardia lamblia
- Entamuba histolytica
- Clostridium lamblia

2) Faktor host

- Gizi buruk: Atrofi mukosa usus, regenerasi epitel usus berkurang,


pembentukan enzim serta penyerapannya terganggu
- Defisiensi zat imunologis
- Defisiensi enzim laktase
- Alergi makanan
3) Faktor-faktor lain
- Penanganan diare yang tidak cocok/efektif
- Penghentian ASI dan makanan
- Penggunaan obat-obat anti motilitas 5

Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis
mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak-anak 3.
Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan parasit merupakan penyebab diare
tersering. Virus, terutama Rotavirus merupakan penyebab utama (70-80 %)
diare infeksi pada anak2.3.4.5,6, virus lainnya adalah virus Norwalk,
Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus dan Minirotavirus, sedangkan sekitar
10-20 % adalah bakteri. Bakteri-bakteri yang dapat menyebabkan penyakit

5
tersebut adalah Aeromonas hydrophilia, Bacillus cereus, Campylobacter
jejuni, Clostridium defficile, Clostridium perfringens, E.coli, Plesiomonas,
Shigeloides, Salmonella spp, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae dan
Yersinia enterocolitica dan kurang dari 10% adalah parasit. Parasit yang
dapat menyebabkan penyakit adalah Balantidium coli, Capillaria
philippinensis, Cryptosporidium, Entamoeba Hystolitica, Giardia lamblia,
Isospora billi, Fasiolopsis buski, Sarcocystis suihominis, Strongiloides
stercoralis, dan Trichuris trichiura. 3

3. FAKTOR RESIKO
Adapun faktor resiko dari diare kronil yaitu diantaranya:
a. Gizi kurang: Akan memperlambat regenerasi mukosa usus.
b. Tidak mendapat ASI dan pemberian susu formula dapat menimbulkan
intoleransi laktosa dan hipersensitif terhadap protein susu sapi.
c. Dilahirkan premature.
d. Umur kurang dari 18 bulan, umumnya usia 6-11 bulan. Hal ini
disebabkan oleh antibodi ibu yang sudah menurun, kekebalan aktif
bayi kurang, bayi mulai terpajan pada lingkungan sekitar.
e. Imunitas kurang pada anak dengan gizi buruk, terinfeksi virus seperti
campak atau AIDS.
f. Riwayat diare sebelumnya.
g. Obat- obat yang diberikan termasuk antibiotik.
h. Adanya penyakit penyerta, dan anemia. 6

4. EPIDEMIOLOGI
Pada umumnya, diare pada sebagian besar kasus akan sembuh
dalam satu minggu. Walaupun demikian, pada sebagian kasus diare
kronik, proses penyembuhan akan gagal dan akan menetap lebih dari 2
minggu. Suatu badan peneliti epidemiologis menyimpulkan bahwa
kejadian diare kronik banyak terjadi di negara yang merupakan endemik
penyakit infeksi kronis seperti infeksi HIV, yang menyebabkan enteropati
kronik 5

6
Diare kronik merupakan penyebab penting kematian pada anak di
negara berkembang. Hal tersebut karena diare yang berhubungan dengan
diare kronik semakin meningkat pada pertengahan tahun 1980-an.
Organisasi Kesehatan Dunia mengakui bahwa usaha untuk mengendalikan
diare persisten belumlah cukup. Beberapa studi sejak itu telah dilakukan
untuk dapat merumuskan strategi penatalaksanaan dan pengendalian diare
kronik. Sekitar 10 – 15 % episode diare akut akan menjadi diare kronik
yang sering menyebabkan status gizi memburuk dan meningkatkan
kematian.
Diare kronik menyebabkan 30 – 50 % dari semua kematian karena
diare di negara berkembang. Dari 8 studi komunitas di Asia dan Amerika
Latin di dapati persentase diare kronik antara 3 sampai 23% dari seluruh
kasus diare. Pada 7 studi lainnya insiden diare kronik sangat bervariasi. Di
India insiden diare kronik per tahun sekitar 7 kasus tiap 100 anak yang
berumur 4 tahun atau kurang dan 150 kasus di Brazil. Pada seluruh studi
insiden tertinggi pada anak dibawah 2 tahun. WHO dan UNICEF
memperkirakan pada tahun 1991 diare persisten terjadi 10% dari episode
diare dengan kematian sebanyak 35% pada anak di bawah 5 tahun 1,6.
Studi di Banglades, India, Peru dan Brazil mendapatkan kematian sekitar
45% atau 30-50% kematian dari diare persisten.

5. KLASIFIKASI
a. Watery stools atau tinja berair
1) Gastroenteropati alergi
- Alergi protein susu sapi
- Alergi protein kedelai
2) Defisiensi disakaridase
- Defisiensi laktase – sering sekunder
- Defisiensi Sukrase – isomaltase
- Malabsorpsi glukosa – galaktosa
3) Defek imun primer
4) Infeksi usus oleh virus, bakteri, dan parasit (Giardia)
5) CSBS (Contaminated small bowel syndrome)

7
- Obstruksi usus, malrotasi, short bowel syndrome, dan
sebagainya.
- Penyakit Hirschsprung, enterokolitis
6) Persisten postenteriting diarrhea dengan atau tanpa intoleransi
karbohidrat.
7) Diare sehubungan dengan penyakit endokrin
- Hyperparathyroidism
- Insufiensi adrenal
- Diabetes mellitus
8) Diare sehubungan dengan tumor
- Karsinoma medula tiroid
- Ganglioneuroma
- Zollinger - Ellison syndrome
9) Malabsorpsi asam empedu - cholerrhoic diarrhea

b. Fatty stools atau tinja berlemak


1) Insufisiensi pankreas: cystic fibrosis, celiac disease
2) Limfangiektasi usus
3) Kolestasis: atresia biliaris ekstra atau intrahepatik, hepatitis
neonatal, dan sirosis hepatis
4) Steatorea akibat obat (misal: neomycin, cholestyramine)
5) CSBS (Contaminated small bowel syndrome): short bowel
syndrome

c. Bloody stools atau tinja berdarah


1) Shigella, Salmonella, V. Campylobacter (disentri basil)
2) Disentri amuba
3) Inflammatory bowel disease: ulcerative colitis, crohn's disease
4) Pseudomembran enterokolitis. 4

6. PATOFISIOLOGI
Mekanisme diare kronik bergantung kepada penyakit dasarnya.
Sering yang menyebabkan lebih dari satu macam sehingga efeknya
merupakan kombinasi dari penyebab-penyebab tersebut. Mekanisme
patofisiologi diare kronik dapat sebagai :

8
a. Diare osmotik
b. Diare sekretorik
c. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi
lemak
d. Defek sistem pertukaran anion
e. Kerusakan mukosa
f. Motilitas dan transit abnormal
g. Sindrom diare intraktabel
h. Mekanisme-mekanisme lain 4

Diare osmotik

Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan


menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam lumen usus. Isi rongga usus
yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga
timbul diare. 4,7

Diare sekretorik

Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus


akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus
dan selanjutnya timbul diare karena peningkatan isi lumen usus.

9
Pada sindrom Zollinger Ellison, hipergastrinemia menginduksi
dengan jelas sekresi lambung dan diare. 4

Bakteri tumbuh lampau, asam empedu dan asam lemak

Dalam keadaan normal, usus halus anak adalah relatif steril. Bakteri
tumbuh lampau dapat terjadi pada setiap kondisi yang menimbulkan
stasis isi usus. Jumlah bakteri usus dapat meningkat pada bayi dengan
diare nonspesifik yang persisten dan dengan intoleransi monosakarida
sekunder. Organisme coliform biasanya predominan, walaupun bakteri
anaerob (seperti Bacteroides) mungkin meningkat secara kuantitatif.

Dekonjugasi garam-garam empedu oleh bakteri mengakibatkan


pembentukan dihydroxy bile acids ataupun menurunnya garam-garam
empedu terkonjugasi yang menimbulkan gangguan absorpsi lemak.
Lemak dalam diet dikonversi menjadi hydroxy fatty acids oleh flora kolon
(dan mungkin oleh flora usus halus yang abnormal). Kedua dihydroxy
bile acids dan-hydroxy fatty acids merupakan well-established colonic
secretagogues dan menyebabkan diare.

Adanya asam-asam empedu bebas dalam lumen jejunum nampaknya


mempunyai efek negatif terhadap absorpsi monosakarida. Reseksi distal
ileum menyebabkan keluarnya asam-asam empedu dekonjugasi menuju
kolon, dimana dekonjugasi bakteri menginduksi pembentukan

10
diarrheogenic dihydroxy bile acids atau yang disebut juga oleh beberapa
penulis dengan cholerrhoeic diarrhoea.4

Tidak adanya mekanisme absorpsi ion secara aktif yang biasanya


terdapat dalam keadaan normal

Contoh klasik ialah penyakit congenital chloridorrhea. Pada


penyakit ini, penderita tidak mampu mengabsorpsi klorida secara aktif
karena defek pada sistem penukaran anion ileum. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya absorpsi cairan, asidifikasi isi lumen usus dan konsentrasi
klorida tinggi dalam cairan tidak terabsorpsi yang tinggal dalam lumen
ileum dan kolon. Konsentrasi klorida tinja jauh melebihi kombinasi
konsentrasi natrium dan kalium. 4

Kerusakan mukosa

Berkurangnya permukaan mukosa atau kerusakan permukaan


mukosa dapat mengakibatkan terganggunya permeabilitas air dan
elektrolit. Pada celiac sprue terdapat hilangnya daerah permukaan dan
menurunnya effective pore size mukosa jejunum yang nyata. Kerusakan
epitel usus halus yang difus terjadi pada kebanyakan tipe enteritis karena
infeksi, penyakit Crohn dan pada penyakit penyakit kolon seperti kolitis
ulseretiva, kolitis granulomatosa dan kolitis infeksiosa. 4

Motilitas usus yang abnormal

Kelainan motilitas usus menyebabkan gangguan digesti dan/atau


absorpsi. Berkurangnya motilitas memudahkan terjadinya stasis dan
bakteri tumbuh lampau, sedangkan kenaikan motilitas akan
mengakibatkan transit nutrisi yang cepat di usus dan menimbulkan kontak
lama dengan mukosa yang inadekuat. Berkurangnya motilitas usus
terdapat pada diabetes dan skleroderma. Motilitas usus yang bertambah
berhubungan dengan isi usus yang meninggi (seperti pada diare osmotik),
inflamasi usus dan keadaan-keadaan terdapatnya circulating humoral
agents (seperti prostaglandin dan serotonin) yang meningkat secara aktif.
Pada short bowel syndrome (sering pasca-bedah), terdapat daerah
permukaan absorpsi yang inadekuat dikombinasi dengan transit cepat yang
akan mengakibatkan diare. Hipersekresi lambung pada transient

11
hypergastrinemia juga dapat menghasilkan diare segera sesudah operasi.
Bayi dengan usus halus kurang dari 40 cm jarang dapat hidup, terutama
bila valvula ileosekal direseksi. 4

Sindrom diare kronik

Kebanyakan bayi dengan severe, protracted diarrhoea akan


menunjukkan perubahan mukosa usus halus berupa atrofi vilus,
Kehilangan nutrien yang melanjut dan masuknya kalori yang inadekuat
mengakibatkan deplesi protein yang bermakna dan malnutrisi. Pada
terjadinya deplesi protein, regenerasi morfologik dan fungsional usus
halus akan terganggu, ini menimbulkan malabsorpsi yang menyeluruh dan
diare yang terus menerus, dan terjadilah lingkaran setan.

Mekanisme lain

Defisiensi seng (Zn) berhubungan dengan diare kronik seperti pada


akrodermatitis enteropatika. Mekanisme diare pada gastroenteropati
alergik masih perlu diselidiki, walaupun terdapat alasan untuk meduga
bahwa mukosa rusak dan fungsi terganggu. Hal ini sebaiknya dibahas
tersendiri pada pembahasan alergi susu sapi atau cow's milk protein
sensitive enteropathy, CMPSE.

7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran yang tampak pada dasarnya merupakan akibat dari diare itu
sendiri (akut maupun kronis) akan terjadi yakni :
 Dehidrasi
 Gangguan elektrolit dan asam basa
 Gangguan gizi (oleh karena intake kurang namun output bertambah)
 Hipoglikemi
 Gangguan sirkulasi darah 5,8,9

8. DIAGNOSIS

12
a. Riwayat penyakit
Penting untuk menilai anak dengan diare kronik. Perlu ditanyakan
pada penderita : saat mulainya diare serta adanya gejala ekstraintestinal
seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas. Adanya gejala gejala lain
utama yang dapat menduga diagnosis seperti tinja yang abnormal dan
failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare sesudah
diberikan susu, buah buahan (defisiensi sukrase-isomaltase), hubungan
dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare sesudah
gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome). Tentang tinja
hendaknya diperinci frekuensi, penampakan, konsistensi dan adanya darah
atau lendir. Khusus tentang bau dan floating, walaupun nilainya terbatas,
perlu ditanyakan. Riwayat diet yang terperinci sangat penting. Riwayat
diare yang profus sesudah pengobatan antibiotik memberi dugaan adanya
enterokolitis pseudomembranosa.

b. Pemeriksaan fisik

Perlu dicatat pada standard anthropometric chart. Perhatian khusus


perlu diberikan pada keadaan umum pasien, status hidrasi, gejala
kehilangan berat badan (wasting of buttocks and shoulder girdle, wrinkling
of thighs), pemeriksaan abdomen (distensi, nyeri, hepatosplenomegali,
thickened bowel loops, bunyi usus), ekskoriasi pantat, finger clubbing,
edema perifer dan manifestasi kulit. Pemeriksaan anorektal adalah penting
pada anak dengan diare. Rectal toucher perlu dilakukan, bila terdapat tinja
berdarah.

c. Pemeriksaan laboratorium
 Tinja : Nampaknya, konsistensi dan lain-lain, pH dan clinitest
setiap hari dengan cara bedside diagnosis, pemeriksaan tinja untuk
fat globules, leukosit dan reducing substances, pewarnaan Gram,
biakan dan pemeriksaan untuk telur cacing dan parasit

13
 Darah : darah lengkap, serum elektrolit, karoten, kalsium,
magnesium, fosfatase lindi, cholesterol, waktu protrombin,
elektroforesis serum protein, imunoglobulin.
 Kadar klorida keringat, foto toraks dan abdomen.
 Adanya reducing substances dalam tinja yang ber pH rendah
disertai erithema natum, menyarankan adanya malabsorpsi
karbohidrat. Sukrosa bukan reducing substance dan diperlukan
acid hydrolisis sebelum ditambahkan tablet clinitest. Sering terjadi
defisiensi laktase sekunder yang mengikuti gastroenteritis. One
hour xylose absorption test dianjurkan. Pemberian formula bebas
atau rendah laktosa akan mengatasi masalahnya.
Walaupun lebih jarang, malabsorpsi monosakarida dapat terjadi
pada diare yang berat dan malnutrisi. Mengenai intoleransi
karbohidrat primer (tidak biasa), yang paling sering terlihat ialah
difisiensi sukrase - isomaltase, sedang malabsorpsi glukosa -
galaktosa jarang dan alaktasia kongenital sangat jarang. Bila
terdapat dugaan intoleransi karbohidrat, seharusnya dilakukan
pemeriksaan toleransi (laktosa, sukrosa dan glukosa) untuk
menetapkan diagnosis. Test breath hydrogen saat ini dimasukkan
dalam evaluasi malabsorpsi karbohidrat, tetapi digunakan secara
terbatas.
Adanya leukosit cukup banyak dalam tinja bersama sama dengan
lendir dan bakteri menduga adanya Shigella, Salmonella, bentuk
invasif Escherichia coli (EIEC) atau enterokolitis pseudomembranosa.
Pada penyakit tifoid, tinja mengandung sel-sel mononuklear. Kolitis
ulseratif selalu dihubungkan dengan banyak leukosit polimorfonuklear
(dan kadang kadang eosinofil), sedang pada disenteri amoeba tidak
atau sedikit mengandung leukosit, terkecuali bila terdapat infeksi
bakteri sekunder.
Biakan tinja dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat
tentang flora usus dan kontaminasi. Tidak cukup untuk hanya

14
mengetahui bahwa tidak ada kuman patogen. Pewarnaan Gram tinja
segar memberikan informasi tambahan. Pemeriksaan yang sederhana
ini memungkinkan kita untuk mendiagnosis suatu overgrowth
stafilokokus, streptokok atau candida.
Pemeriksaan parasit harus dikerjakan dari tinja segar. Giardia
lamblia (dan kadang kadang cacing trichuris trichiura) ialah parasit
yang dianggap menyebabkan diare kronik. Adanya banyak butir
lemak secara mikroskopik (kriteria Drumney) menunjukkan
kemungkinan adanya insufisiensi pankreas. Serum karoten 100 mg per
dl atau lebih menyingkirkan kemungkinan malabsorpsi lemak kronik,
sedang, kurang dari 50 mg menyatakan adanya kemungkinan
malabsorpsi lemak
Pada pemeriksaan darah tepi bila ditemukan acanthocyte dan kadar
kolesterol yang rendah, memberi petunjuk adanya
abetalipoproteinemia atau hipobetalipoproteinemeia. Dalam hal ini,
elektroforesis serum lipoproptein dianjurkan untuk membuat
diagnosis. Pada bayi dengan diare, lesi mukokutan dan alopesia serta
kadar Zn serum rendah mendukung diagnosis akrodermatitis
enteropatika, penyakit ini memerlukan pengobatan dengan Zn.
Pada pasien yang tinjanya berdarah dianjurkan pemeriksaan
kolonoskopi atau sigmoidoskopi dengan atau tanpa biopsi rektum.
Infeksi Salmonella dan Shigella, maupun chronic inflammatory bowel
disease, dapat menyebabkan tinja berdarah. Pada kolitis alergik,
kenaikan jumlah eosinofil mungkin terlihat di lamina propria. Anak
dengan diare profus selama atau sesudah pengobatan dengan
antibiotik memerlukan kolonoskopi atau sigmoidoskopi untuk
menyingkirkan enterokolitis pseudomembranosa.
Pendekatan diagnostik meliputi juga pemeriksaan tinja yang
dilakukan hati-hati dengan tekanan pada adanya excess reducing
substances maupun pemeriksaan parasit (Giardia, Candida, Trichuris
trichiura), bakteri dan virus. Pada masalah yang lebih kronik,

15
dilakukan biopsi usus halus (pada bayi: sedikitnya yang berat
badannya 3,5 kg) untuk mencari kemungkinan adanya enteropati.
Tindakan mengeliminasi diet yang diikuti dengan pemberian
makanan yang dicurigai merupakan peranan yang penting untuk
membuat diagnosis. Memang sangat sering diagnosis pada kelompok
anak ini dilakukan secara retrospektif. Labenthal (1979)
mengemukakan bahwa biopsi usus halus pada intractable diarrhoea
penting dan berguna dan ditemukan 96% kasus-kasusnya
menyebabkan atrofi mukosa.
Kerusakan usus halus akan mengakibatkan malabsorpsi lemak dan
karbohidrat. Hal ini akan digunakan oleh bakteri untuk membentuk
asam-asam organik dan akan meninggikan osmolalitas isi usus,
kenaikan sekresi cairan dan menstimulasi motilitas. Di samping itu,
proliferasi bakteri akan menimbulkan dekonjugasi asam empedu dan
produksi endotoksin yang menyebabkan melanjutnya sekresi air dan
elektrolit.

9. PENATALAKSANAAN DIARE KRONIK


a. Penatalaksanaan Umum , Resusitasi dan Stabilisasi

Penatalaksanaan diare kronik meliputi rehidrasi entera/parenteral, nutrisi dan


medikamentosa.

b. Terapi rehidrasi cairan

Menurut dalam garis besar pengobatan diare dapat dikategorikan ke dalam


beberapa jenis yaitu:

1) Pengobatan Cairan
Untuk menentukan jumlah cairan yang perlu diberikan kepada penderita
diare, harus diperhatikan jumlah cairan yang harus diberikan sama
dengan hal-hal sebagai berikut:

16
2) Jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan/muntah muntah PWL
(Previous Water Losses) ditambah dengan,
3) Banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin dan pernafasan
NWL (Normal Water Losses) ditambah dengan,
4) Banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus
berlangsung CWL (Concomitant water losses).

Ada 2 jenis pengobatan cairan yaitu:

1) Cairan Rehidrasi Oral (CRO) 12


Salah satu cara untuk mengatasi dehidrasi adalah dengan memberikan
minuman rehidrasi pada anak. Minuman rehidrasi dapat membantu
mencegah atau mengatasi dehidrasi. Pemberian cairan pengganti (cairan
rehidrasi) baik yang diberikan secara oral (diminumkan) maupun
parenteral (melalui infus) telah berhasil menurunkan angka kematian
akibat dehidrasi pada ribuan anak yang menderita diare. Oralit
merupakan cairan rehidrasi oral (CRO) yang mengandung elektrolit (Na,
K, Cl, HCO3) dan glukosa telah terbukti dapat mengganti cairan saluran
secara efektif dan memberikan dehidrasi. Saat ini telah banyak cairan
rehidrasi oral di pasaran dengan berbagai nama.
Pengamatan klinis merupakan langkah awal yang penting dalam
serangkaian penanganan diare pada anak, terutama dalam hal penentuan
derajat dehidrasi.
Kita mengenal 3 status dehidrasi pada seorang anak yang mengalami
diare, yaitu (1) tanpa dehidrasi ; (2) dehidrasi ringan sedang ; (3)
dehidrasi berat. Tetapi cairan yang diberikan pun disesuaikan dengan
derajat dehidrasi yang ada.

Diare Tanpa Dehidrasi 12


Pada keadaan tanpa dehidrasi, secara klinis pasien masih terlihat
aktif dan buang air kecil masih berlangsung normal. Pada keadaan ini
tidak perlu membatasi pemberian makanan dan minuman.

17
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah
tangga untuk mencegah dehidrasi, seperti air tajin, larutan gula garam,
kuah sayur-sayuran, dan sebagainya. Pengobatan dapat dilaukan di
rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10
ml/kg BB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50-100 ml, 1-5 tahun
adalah 100-200 ml, 5-12 tahun adalah 200-300 ml dan dewasa adalah
300-400 ml setiap BAB, atau dapat juga diberikan dapat diberikan CRO
sebanyak 5-10cc/kg BB setiap buang air besar dengan tinja cair untuk
mencegah dehidrasi. Pada bayi, oralit dapat diberikan dengan cara
berselang-selang dengan cairan yang tidak mengandung kadar Na seperti
air putih atau ASI.
Rehidrasi dengan menggunakan clear fluid (air putih, cairan rumah
tangga, sari buah, dsb) akan memberikan hasil tidak optimal. Karena,
kandungan natriumnya kurang. Sebaiknya, pemberian jus buah dan coal
dapat memperbesar keadaan diare, karena mengandung osmolaritas
tinggi di samping kadar Na yang rendah.
Cairan oralit yang dianjurkan oleh WHO-ORS, tiap 1 liter
mengandung osmolalitas 333 mOsm/L, glukosa 20 g/L, kalori 85 cal/L.
Elektrolit yang dikandung meliputi sodium 90 mEq/L, kalium 20 mEq/L,
klorida 80 mEq/L, bikarbonat 30 mEq/L.

Dehidrasi Ringan-Sedang
Pada keadaan dehidrasi ringan-sedang, pasien terlihat gelisah,
sangat haus, dan buang air kecil mulai berkurang. Mata agak cekung,
tidak ada air mata, turgor (kekenyalan kulit) menurun, dan mulut kering.
Rehidrasi dilaksanakan dengan memberikan CRO.
Penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang harus dirawat di
sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit.
Makanan tidak perlu dibatasi, karena meneruskan pemberian
makanan (early feeding) akan mempercepat penyembuhan. Bila disertai
muntah, CRO dapat diberikan secara bertahap; dengan peningkatan

18
jumlah sesuai dengan kemajuan daya terima pasien. Tindakan ini perlu di
bawah pengawasan, sehingga dapat dilaksanakan dalam suatu ruang
observasi yang dikenal dengan Ruang Upaya Rehidrasi Oral atau Ruang
Rawat Sehari.
Pada akhir jam ke 3-4, pasien dapat dipulangkan untuk mendapat
terapi rumatannya di rumah, atau tetap diobservasi untuk mendapat terapi
lebih lanjut bila dehidrasi masih berlangsung. Suatu hal yang paling
penting sebelum memulangkan pasien adalah orangtua harus paham betul
dalam menyiapkan dan memberikan CRO dengan benar. 4, 9, 11, 12
Ada beberapa cairan rehidrasi oral:
a) Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3 dan
glukosa, yang dikenal dengan nama oralit.
Tabel 5. Kebutuhan cairan yang spesifik per kelompok umur
Kebutuhan cairan yang Jumlah kebutuhan cairan
spesifik per kelompok
umur
Umur
Bayi baru lahir 80-100 mL/kg/hari
Bayi 120-130 mL/kg/hari
2 tahun 115-125 mL/kg/hari
6 tahun 90-100 mL/kg/hari
15 tahun 70-85 mL/kg/hari
18 tahun 40-50 L/kg/hari

b) Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen-komponen


di tabel diatas misalnya: larutan gula, air tajin, cairan-cairan yang
tersedia di rumah dan lain-lain, disebut CRO tidak lengkap.
Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan
muntah
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi
dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar
biasa diare di Asia Selatan yang terutama disebabkan karena disentri,
yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh,

19
terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-
akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-
akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebakan
oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebakan
kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli
diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat
osmolaritas yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru lebih
mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko
terjadinya hipernatremia.

Oralit
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah.
Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan,
namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit
baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan
suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja
hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain
itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan
UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.

Tabel 6. Komposisi Oralit Baru


Oralit Baru Osmolaritas Mmol/liter
Rendah
Natrium 75
Klorida 65
Glucose, anhydrous 75
Kalium 20
Sitrat 10
Total Osmolaritas 245
Ketentuan pemberian oralit formula baru adalah12:
a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang
untuk persediaan 24 jam

20
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar,
dengan ketentuan:
1. Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali
BAB
2. Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200 ml tiap BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa,
maka sisa larutan harus dibuang.

Cara Membuat Cairan Rehidrasi


1. Dibuat dengan bubuk sereal dan garam
Bahan yang terbaik adalah tepung beras. Namun anda bisa
menggunakan jagung pipil yang sudah dihaluskan, tepung terigu,
sejenis gandum, atau kentang matang yang dihaluskan.

Cara membuatnya:

- Masukkan ½ sendok teh peras garam ke dalam 1 liter air bersih dan
matang,
- Juga masukan 8 sendok teh penuh bubuk sereal.
- Didihkan selama 5 sampai 7 menit sampai menjadi bubur encer.
Cepat dinginkan dan mulai berikan kepada anak diare.
Untuk diperhatikan, cicipi minuman ini setiap kali sebelum diberikan
kepada penderita untuk meyakinkan minuman tidak basi. Pada cuaca
panas, minuman sereal seperti ini bisa basi dalam beberapa jam saja.

2. Dibuat dengan gula dan garam


Anda dapat menggunakan gula kasar, gula coklat atau gula putih, atau
sirop gula.

Cara membuatnya:

- Masukkan ½ sendok teh peras garam ke dalam 1 liter air bersih dan
matang,
- Juga masukkan 8 sendok teh peras gula. Aduk rata.

21
Perhatian sebelum menambahkan gula, cicipi dulu dan pastikan
minumannya tidak seasin air mata Orang tua harus waspada dan
mengetahui tanda-tanda jika diare si anak memburuk. Bawa anak ke
fasilitas pelayanan kesehatan atau ke dokter jika kondisinya tidak
membaik dalam 3 hari atau buang air besar cair bertambah sering,
muntah berulang-ulang, makan atau minum sangat sedikit, terdapat
demam dan tinja anak  berdarah.

2. Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP) 12


Cairan Ringer Laktat sebagai cairan rehidrasi parenteral tunggal.
Selama pemberian cairan parenteral ini, setiap jam perlu dilakukan
evaluasi jumlah cairan yang keluar bersama tinja dan muntah dan
perubahan tanda-tanda dehidrasi.
1) Dehidrasi Berat
Pada dehidrasi berat, selain tanda klinis pada dehidrasi ringan-
sedang, juga terlihat kesadaran menurun, lemas, malas minum, mata
sangat cekung, mulut sangat kering, pola napas yang sangat cepat dan
dalam, denyut nadi cepat, dan kekenyalan kulit sangat menurun. Pada
keadaan ini, pasien harus segera dirawat untuk mendapat terapi
rehidrasi parenteral (melalui infus).
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus
diberi oralit sampai cairan infus terpasang. Pemberian tersebut
dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin
tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena.
Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat. Lakukan
evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan IV dipercepat.
Pemberian susu formula khusus pada bayi diare hanya pada
kasus yang terindikasi. Pemberian susu yang mengandung rendah atau
bebas laktosa hanya diberikan kepada anak yang secara klinis jelas
memperlihatkan gejala intoleransi laktosa (tidak dapat mencerna
laktosa yang terdapat di dalam susu).
Sebagian besar diare pada anak terutama pada bayi disebabkan
oleh virus, oleh karena itu antibiotik pada bayi dengan diare hanya
diberikan pada kasus tertentu saja. Pemberian obat antidine yang

22
banyak beredar saat ini meskipun dari beberapa laporan
memperlihatkan hasil yang baik dalam hal lama dan frekuensi diare.
Tetapi, hal ini belum dimasukkan ke dalam rekomendasi penanganan
diare pada anak. Secara singkat, pemahaman gejala dehidrasi dan
penanganan yang benar merupakan kunci keberhasilan anak dengan
terapi diare.

Tabel 8. Kebutuhan elektrolit menurut Ament ME, 1993


Elektrolit Dosis anak (mEq/kg/24 Dosis bayi
jam) (mEq/kg/24
jam)

Na 3–4 2–8

K 2–3 2–6

Cl 2–4 0–6

Ca 0,5 – 1 0,9 – 2,3

Fosfat 2 1 – 1,5

Mg 0,25 – 0,5 0,25 – 0,5

a. Hipernatremia
(Na>155 mEq/L), koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap
dengan pemberian dekstrosa 5% + 1/2 salin. Penurunan kadar Na tidak
boleh lebih dari 10 mEq per hari karena bias menyebabkan edem otak.

b. Hiponatremia
(Na < 130 mEq/L), koreksi kadar Na dilakukan bersamaan dengan
koreksi cairan rehidrasi yaitu dengan memakai ringer laktat atau normal
salin, atau dengan memakai rumus :

Kadar Na koreksi (mEq/L)= 125 - kadar Na serum x 0,6 x BB diberikan


dalam 24 jam

c. Hiperkalemia
(K > 5 mEq/L), koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glikonas 10
% 0,5 -1 ml/KgBB IV perlahan-lahan dalam 5 – 10 menit, sambil
memantau detak jantung.

23
d. Hipokalemia
(K< 3,5 mEq/L), koreksi dilakukan menurut kadar K.

- Jika kadar K 2,5-3,5 mEq/L, berikan 75 mEq/KgBB per oral per hari
dibagi 3 dosis
- Jika kadar K < 2,5 mEq/L : berikan secara drip intravena dengan dosis
:
a. 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam
dalam 4 jam pertama
b. 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB dalam
20 jam berikutnya.

Pemberian Nutrisi

1. Nutrisi enteral
Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat
diterima untuk mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi
penderita dengan saluran pencernaan yang masih berfungsi jalur enteral
dapat ditempuh melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal, gastrostomi atau
jejunostomi dengan feeding tube.

Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat


dikategorisasikan dalam 3 macam diet :

a. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan


dipakai untuk pasien dengan fungsi usus yang normal.
b. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul
rendah dan dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi
gastrointestinal.
c. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai
bercabang untuk pemakaian pada elsefolapati hepatic dan pasien
dengan perubahan kadar asam amino lain atau kesalahan metabolisme
bawaan (inborn errors of metabolism).
Kandungan formula yang ditetapkan meliputi :

a) Karbohidrat

24
Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili
menjadi monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit.
Terdapat 4 enzim  oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili yaitu
maltase (glukosa amilase (glukosa a-dekstrinase), lactase dan trehalase.
Semua enzim ini berkurang pada penyakit yang mengenai mukosa usus
halus. Laktase merupakan enzim yang paling peka dan paling akhir pulih
apabila terjadi kerusakan mukosa.

b) Lemak
Lemak merupakan nutrient yang paling padat kandungan kalorinya.
Pemberian lemak pada penderita diare kronik sangat penting karena
sering disertai keterbatasan pemasukan kalori.

c) Protein
Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein
utuh. protein hidrolisat, asam amino atau gabungan.

d) Vitamin dan mineral


Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak kendatipun dan
pemasukan kalori yang cukup apabila terdapat malabsorbsi lemak. atau
terjadi interaksi obat/nutrient dengan diet yang sangat khusus.

Pemberian melalui pipa nasagastrik diperlukan apabila pasien


tidak mampu atau tidak mau menerima makanan secara oral, namun
keadaan saluran gastrointestinalnya masih berfungsi. Pemberian nutrisi
dilakukan dengan meningkatkan kecepatan dan kadar formula secara
bertahap sampai mencapai kebutuhan nutrisi.

2. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi tubuh melalui jalur intravena. Nutrient khusus terdiri atas air,
dekstrosa. asam amino, emulsi lemak. mineral,  vitamin. trace elemen. 
Jalur ini jangan digunakan apabila penderita masih mempunyai saluran
gastrointestinal yang masih berfungsi serta masih dimungkinkan
pemberian secara peroral, enteral atau gastrostorni. Pada umumnya
tidak digunakan untuk waktu kurang dari 5 hari

25
Kebutuhan pada nutrisi parenteral

a.   Kalori

Tabel 9. Kebutuhan kalori per berat badan

Umur Perkiraan kebutuhan kalori per hari


(kkal/kg)

Neonatus

Berat badan lahir rendah 150

Berat badan lahir normal 100-200

Anak 0 – 10 kg 100

11 – 20 kg 1000 kkal/kg + 50 kkal/kg untuk setiap kg > 10


kg

> 20 kg 1500 kkal/kg + 20 kkal/kg untuk setiap kg >


20 kg

Pada beberapa keadaan diperlukan penambahan kebutuhan kalori: panas


(12% per setiap setiap kenaikan 1°C di atas 37°C) gagal jantung (15 - 20 %),
pembedahan besar (20 -30% kombosio sampai 100%), dan sepsis berat (25%).

b.   Cairan

Tabel 10. Kebutuhan cairan sesuai umur

Berat badan Kebutuhan cairan (ml/kg)

< 10 kg 100

10 – 20 kg 1000 ml + 50 ml/kg untuk setiap kg > 10


kg

>20 kg 1500 ml + 20 ml/kg untuk setiap kg > 20


kg

c.   Karbohidrat

- Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non protein yang


memberikan 3,4 kka1/gram dalam bentuk monohidrat
- Keterbatasannya adalah terjadinya phlebitis apabila kadar > 10 - l2,5%

26
- Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan
respon tubuh dalam memproduksi insulin endogen dan mencegah
terjadinya glikosuria.
d.   Asam amino 

Tabel 11. Kebutuhan asam amino menurut usia

Umur Kebutuhan (gr Mulai pemberian


protein/kg/hari)

Bayi prematur 2,5 – 3 0,5 gram


protein/kg/hari
dinaikkan 0,5 gram
protein/kg/hari

Bayi 0 – 1 tahun 2,5 – 3 1 gram


protein/kg/hari
Anak 2 – 13 1,5 – 2 dinaikkan 0,5 gram
tahun protein/kg/hari
Remaja – dewasa 1 – 1,5

 e.    Lemak

- Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak menyediakan asam


lemak essensial untuk pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang
perkembangan yang normal.
- Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan 10% (1 kkal/ml) dan
20% (2 kka1/ml)
- Minimal 2-4% dari kebutuhan kalori total diberikan berupa lemak
intravena untuk menghindari terjaadinya defisiensi asam lemak. yang
dapat dicapai dengan penggunaan 0,5-1 gram emulsi lemak/kg/hari
- Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada neonatus dalam 2 hari
dengan tanda kecepatan pertumbuhan yang lambat, kulit kering
bersisik, pertumbuhan rambut berkurang. trombositopeni, peka
terhadap infeksi dan gangguan penyembuhan luka.

3. Medikamentosa

27
a. Obat anti diare

Tidak perlu diberikan obat anti diare seperti kaolin, pektin, difenoksilat
(Lomotil). Tidak satu pun daripada obat-obat ini memberi efek positif pada
patofisiologi. Penelitian baru-baru ini memberi petunjuk bahwa obat-obat
yang memperlambat motilitas usus justru akan memperpanjang lamanya
enteritis karena infeksi.

b. Obat anti mikroba

Pengobatan antibiotik pada umumnya tidak dianjurkan, bahkan hal ini akan
mengubah flora usus dan menimbulkan keadaan diare menjadi lebih buruk.
Untuk membersihkan isi usus anak dengan infeksi usus karena bakteri,
fungsi peristaltik ternyata lebih efektif walaupun pada anak lebih besar
antibiotik sebaiknya tidak diberikan, namun pada neonatus, anak yang sakit
serius (sepsis atau lainnya), anak dengan defisiensi imunologi dan anak
dengan protracted diarrhoea yang sangat berat, dianjurkan tetap diberikan.
Metronidazole merupakan obat yang efektif dan aman untuk Giardia
lamblia .

c. Kortikosteroid

Anak dengan kolitis ulserativa, paling tidak pada serangan pertama


memberi respons baik hanya terhadap enema steroid, beberapa anak
mendapat kombinasi steroid rektal dan sistemik.

d. Imunosupresif

Obat imunosupresif (azathioprine) digunakan pada penyakit Crohn dan ini


pun hanya diberikan bila pengobatan konvensional tidak mungkin. Efek
samping segera yang terbanyak ialah penekanan sumsum tulang, karena itu
pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan darah secara teratur.

e. Kolestiramin

Penggunaan kolestiramin pada diare kronik, terutama untuk malabsorpsi


asam empedu (pada reseksi akhir ileum) dan pada infeksi usus karena
bakteri (untuk mengikat endotoksin) sangat bermanfaat.

f. Operasi

Bila diare kronik terjadi pada kasus-kasus bedah seperti misalnya penyakit
Hirschsprung, enterokolitis nekrotik, maka sering terdapat indikasi untuk

28
melakukan operasi. Tindakan ini hendaknya dilakukan setelah keadaan
umum pasien membaik. 4

10. KOMPLIKASI
a. Dehidrasi
b. Renjatan hipovolemi
c. Kejang
d. Bakterimi
e. KEP
f. Hipoglikemia
g. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus 10

11. PENCEGAHAN
- Perhatikan kebersihan dan gizi yang seimbang.
- Menjaga kebersihan dengan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan dan kebersihan dari makanan yang kita makan.
- Penggunaan jamban yang benar.
- Imunisasi campak
- Hindari penggunaan antibiotik dan antidiare pada anak dengan diare akut.
- Berikanlah terapi nutrisi yang adekuat pada setiap anak dengan diare akut
untuk mencegah terjadinya gangguan gizi untuk memutus lingkaran setan
diare-malnutrisi-diare.
- Galakkan penggunaan ASI.1,2,5

29
12. EDUKASI
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui mulut (orofecal)
antara lain melalui makanan/minuman yang tercemar tinja dan atau kontak
langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku khusus dapat
menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya
diare. Perilaku tersebut antara lain adalah :

1. Tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan.
Resiko untuk menderita diare berat beberapa kali lebih besar pada bayi
yang tidak diberi ASI daripada yang diberi ASI penuh. Resiko kematian
karena diare juga lebih besar.

2. Menggunakan botol susu


Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh kumsn yang
berasal dari tinja dan sukar dibersihkan. Sewaktu susu dimasukkan ke
dalam botol yang tidak bersih, akan terjadi kontaminasi kuman, dan bila
tidak segera diminum, kuman akan tumbuh.

3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar.


Bila makanan dimasak dan disimpan untuk digunakan kemudian, keadaan
ini memudahkan terjadinya pencemaran, misalnya kontak dengan
permukaan alat-alat yang terpapar. Bila makanan disimpan beberapa jam
pada suhu kamar, kuman dapat berkembang biak

4. Menggunakan air minum yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari
tinja.

30
Air mungkin terpapar di sumbernya atau pada saat disimpan di rumah.
Pencemaran di rumah dapat terjadi kalau tempat penyimpanan tidak
tertutup, atau apabila tangan tecemar kuman mengenai air sewaktu
mengambilnya dari tempat penyimpanan

5. Tidak mencuci tangan sesudah BAB, atau sebelum memasak makanan.


6. Membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar
Sering dianggap bahwa tinja bayi tidak berbahaya, padahal sesungguhnya
mengandung virus ataupun bakteri dalam jumlah besar. Tinja binatang
dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia.6

BAB III

31
KESIMPULAN

1. Diare merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di


negara berkembang.
2. Diperkirakan 100 juta episode diare terjadi setiap tahun pada anak di
bawah umur 5 tahun dan 80% kematian terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan.1
3. Diare kronik adalah diare akut yang berlanjut sampai dengan 14 hari atau
lebih.
4. Sekitar 10 – 15 % episode diare akut akan menjadi diare kronik yang
sering menyebabkan status gizi memburuk dan meningkatkan kematian.
5. Pada bayi kasus diare menduduki tempat kedua setelah infeksi saluran
pernafasan sebagai penyebab kematian
6. Etiologi diare kronik terdiri dari faktor infeksi, faktor penderita , faktor-
faktor lain
7. Diare kronik diklasifikasikan menjadi watery stools atau tinja berair, fatty
stools atau tinja berlemak, bloody stools atau tinja berdarah
8. Patofisiologi diare kronik bergantung pada penyakit dasarnya, antara lain
terdiri atas diare osmotic, diare sekretorik, bakteri tumbuh lampau,
malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak, defek sistem pertukaran
anion, kerusakan mukosa, motilitas dan transit abnormal, sindrom diare
intraktabel dan mekanisme-mekanisme lain
9. Diagnosis diare kronik ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang
10. Manifestasi diare kronik dapat berupa dehidrasi, gangguan elektrolit dan
asam basa, gangguan gizi, hipoglikemi, gangguan sirkulasi darah
11. Penatalaksanaan diare kronik meliputi rehidrasi enteral / parenteral, nutrisi
dan medikamentosa.
12. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah KEP dan failure to thrive,
yang akan memudahkan terjadinya infeksi sekunder.

32
DAFTAR PUSTAKA

33
1. Sunato. Gastroenterologi. Dalam : Hasan R, Alatas H. Editor. Buku Kuliah
Kesehatan Anak Jilid I. FK UI, Jakarta 1991: 283-294
2. WHO. Reading in Diarrhoe. Medical Education Project, 1998
3. Guandalini, Stefano. Diarrhea Dalam : emedicine. Online 2013. Available
From http://www.emedicine.com
4. Suharyono. Diare Kronik dalam Gastroenterologi Anak Praktis.Balai Penerbit
FKUI, Jakarta 1988.
5. Suryaatmaja, Sudaryat.Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Diare akut,
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RS Sanglah – Denpasar. Penerbit
Sagung Seto. Edisi pertama. Jakarta. 2005. Hal 1-24
6. Firmansyah. Agus, dkk. Modul Pelatihan Tata Laksana Diare pada Anak.
Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Jakarta. 2007
7. Boyle J Timothy. Diare Kronik. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin
AM. Editor bahasa Indonesia : Wahab AS. Nelson ilmu kesehatan anak vol 1.
Edisi ke-15 Cetakan I. Jakarta: EGC, 2000
8. Ditjen PPM.Diare pada anak. Buku ajar Diare. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI. 1999.
9. Staf Pengajar IKA FKUI. Gastroenterologi. Dalam : Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak. Jilid 1. Jakarta : FKUI, 1998
10. Markum, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jilid I, Gaya baru, Jakarta, 1999, hal 448-468.
11. Pusponegoro, H.D,dkk.Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Diare Akut, edisi I, Penerbit Badan Penerbit IDAI,
2005. 49:52.
12. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto
SSY, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar
Gastroentero-hepatologi:jilid 1. Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI
2011; 121-136.

34

Anda mungkin juga menyukai