Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

DIARE

DOKTER PEMBIMBING :
Dr. Syaifun Niam, SpPD

DISUSUN OLEH :
Ayu Windyaningrum
406127035

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
RSUD KOTA SEMARANG
PERIODE 17 Februari 2014 – 27 April 2014

1
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ayu Windyaningrum


NIM : 406127035
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Tarumanagara Jakarta
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Periode Kepaniteraan Klinik : 17 Februari 2014 – 27 April 2014
Judul referat : Diare
Diajukan : April 2014
Pembimbing : dr. Syaifun Niam, SpPD

Mengetahui:
Pembimbing,

(dr. Syaifun Niam, SpPD)

2
BAB I
PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang
Penyakit gastroenteritis (diare) hingga kini merupakan salah satu penyebab utama kematian
dan kesakitan di negara-negara berkembang. Diperkirakan 100 juta episode diare terjadi setiap
tahun pada anak di bawah umur 5 tahun dan 80% kematian terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan.1

Di Indonesia, diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150 sampai 450 per 1000
penduduk per tahun. Pada bayi kasus diare menduduki tempat kedua setelah infeksi saluran
pernafasan sebagai penyebab kematian. Dengan upaya yang sekarang dilakukan pemerintah, angka
kematian di rumah sakit dapat ditekan menjadi kurang dari 3%. 1

Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama dari
masyarakat di Indonesia. Dari daftar penyebab kunjungan Poliklinik Rumah Sakit/Puskesmas/Balai
pengobatan, hampir selalu termasuk dalam kelompok 3 penyebab kunjungan ke sarana kesehatan
tersebut.5

Hipocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair. Di FK
UI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer
dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare apabila frekuensi buang air

3
besar lebih dari 4 kali, sedangkan bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak apabila frekuensi lebih
dari 3 kali.1,2

Batasan dari diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi
lebih encer atau cair dari biasanya, dapat atau tidak disertai dengan lendir atau darah yang timbul
mendadak dan berlangsung tidak lebih dari 2 minggu. Sedangkan diare kronik adalah diare yang
berlanjut sampai dengan 14 hari atau lebih. 2,3
Telah diketahui oleh kita bahwa dalam menghadapi seorang penderita diare akut perlu
difikirkan apakah penderita tersebut masuk di dalam kelompok klinis diare akut yang mana dari ke-5
kelompok, yaitu : (1) diare akut (murni) , (2) diare akut + komplikasi, (3) diare akut + penyakit
penyerta (bronkopnemoni, sepsis, ensefalitis, malnutrisi energi protein atau lainnya, (4) diare akut
yang melanjut menjadi diare kronik atau fase akut dari diare kronik, dan (5) diare pada penyakit
bedah usus.4
Masalah diare kronik adalah lebih kompleks dibanding diare akut. Perlu diadakan
pendekatan masalah (anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang)
yang sangat teliti untuk mendapatkan diagnosis yang lebih tepat agar pengobatannya dapat
berhasil. Selanjutnya setiap faces, dilihat warna (kuning, hijau, putih atau lainnya), penampakan
(appearance) (berair, berlemak, berdarah) dan baunya (busuk, asam atau lainnya). 4

B. Tujuan
Penulisan Referat ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai diare kronik serta
penatalaksanaan yang baik dan benar sehingga segala komplikasi yang mungkin timbul dapat
diatasi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DIARE KRONIK
1. DEFINISI
Menurut WHO, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dibagi atas:
-
Diare kronik (diare yang berkelanjutan) diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan
disebabkan oleh infeksi
-
Diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dan tidak disebabkan oleh infeksi 5

2. ETIOLOGI
Faktor-faktor etiologi diare persisten menurut PRITECH/WHO adalah :
1. Infeksi
Kuman penyebab yang khusus
a. Kelompok yang lebih sering ditemukan pada diare kronik dari pada diare akut.
-
Enteroadherent E. Coli
-
Cryptosporidium
-
Enteropathogenic E. Coli

5
b. Kelompok yang sering dijumpai dengan frekuensi sama antara diare kronik dan diare
akut.
-
Shigella
-
Nontyphoid Salmonella
-
Campylobacter jejuni
-
Enterotoxigenic E. Coli
-
Giardia lamblia
-
Entamuba histolytica
-
Clostridium lamblia
2. Faktor host
-
Gizi buruk: Atrofi mukosa usus, regenerasi epitel usus berkurang, pembentukan
enzim serta penyerapannya terganggu
-
Defisiensi zat imunologis
-
Defisiensi enzim laktase
-
Alergi makanan
3. Faktor-faktor lain
-
Penanganan diare yang tidak cocok/efektif
-
Penghentian ASI dan makanan
-
Penggunaan obat-obat anti motilitas 5

Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang
dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak-anak 3. Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan

6
parasit merupakan penyebab diare tersering. Virus, terutama Rotavirus merupakan penyebab
utama (70-80 %) diare infeksi pada anak 2.3.4.5,6, virus lainnya adalah virus Norwalk, Astrovirus,
Calcivirus, Coronavirus dan Minirotavirus, sedangkan sekitar 10-20 % adalah bakteri. Bakteri-
bakteri yang dapat menyebabkan penyakit tersebut adalah Aeromonas hydrophilia, Bacillus
cereus, Campylobacter jejuni, Clostridium defficile, Clostridium perfringens, E.coli, Plesiomonas,
Shigeloides, Salmonella spp, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae dan Yersinia enterocolitica
dan kurang dari 10% adalah parasit. Parasit yang dapat menyebabkan penyakit adalah
Balantidium coli, Capillaria philippinensis, Cryptosporidium, Entamoeba Hystolitica, Giardia
lamblia, Isospora billi, Fasiolopsis buski, Sarcocystis suihominis, Strongiloides stercoralis, dan
Trichuris trichiura. 3

3. FAKTOR RESIKO
1. Gizi kurang: Akan memperlambat regenerasi mukosa usus.
2. Tidak mendapat ASI dan pemberian susu formula dapat menimbulkan intoleransi laktosa dan
hipersensitif terhadap protein susu sapi.
3. Dilahirkan premature.
4. Umur kurang dari 18 bulan, umumnya usia 6-11 bulan. Hal ini disebabkan oleh antibodi ibu
yang sudah menurun, kekebalan aktif bayi kurang, bayi mulai terpajan pada lingkungan
sekitar.
5. Imunitas kurang pada anak dengan gizi buruk, terinfeksi virus seperti campak atau AIDS.
6. Riwayat diare sebelumnya.
7. Obat- obat yang diberikan termasuk antibiotik.
8. Adanya penyakit penyerta, dan anemia. 6

4. EPIDEMIOLOGI
Pada umumnya, diare pada sebagian besar kasus akan sembuh dalam satu minggu.
Walaupun demikian, pada sebagian kasus diare kronik, proses penyembuhan akan gagal
dan akan menetap lebih dari 2 minggu. Suatu badan peneliti epidemiologis menyimpulkan
bahwa kejadian diare kronik banyak terjadi di negara yang merupakan endemik penyakit
infeksi kronis seperti infeksi HIV, yang menyebabkan enteropati kronik 5

7
Diare kronik merupakan penyebab penting kematian pada anak di negara
berkembang. Hal tersebut karena diare yang berhubungan dengan diare kronik
semakin meningkat pada pertengahan tahun 1980-an. Organisasi Kesehatan Dunia
mengakui bahwa usaha untuk mengendalikan diare persisten belumlah cukup.
Beberapa studi sejak itu telah dilakukan untuk dapat merumuskan strategi
penatalaksanaan dan pengendalian diare kronik. Sekitar 10 – 15 % episode diare
akut akan menjadi diare kronik yang sering menyebabkan status gizi memburuk
dan meningkatkan kematian.
Diare kronik menyebabkan 30 – 50 % dari semua kematian karena diare di negara
berkembang. Dari 8 studi komunitas di Asia dan Amerika Latin di dapati persentase diare kronik
antara 3 sampai 23% dari seluruh kasus diare. Pada 7 studi lainnya insiden diare kronik sangat
bervariasi. Di India insiden diare kronik per tahun sekitar 7 kasus tiap 100 anak yang berumur 4
tahun atau kurang dan 150 kasus di Brazil. Pada seluruh studi insiden tertinggi pada anak
dibawah 2 tahun. WHO dan UNICEF memperkirakan pada tahun 1991 diare persisten terjadi
10% dari episode diare dengan kematian sebanyak 35% pada anak di bawah 5 tahun 1,6. Studi di
Banglades, India, Peru dan Brazil mendapatkan kematian sekitar 45% atau 30-50% kematian dari
diare persisten.

5. KLASIFIKASI
A. Watery stools atau tinja berair
1. Gastroenteropati alergi
- Alergi protein susu sapi
- Alergi protein kedelai
2. a. Defisiensi disakaridase
- Defisiensi laktase – sering sekunder
- Defisiensi Sukrase – isomaltase
b. Malabsorpsi glukosa – galaktosa
3. Defek imun primer
4. Infeksi usus oleh virus, bakteri, dan parasit (Giardia)
5. CSBS (Contaminated small bowel syndrome)
- Obstruksi usus, malrotasi, short bowel syndrome, dan sebagainya.
- Penyakit Hirschsprung, enterokolitis

8
6. Persisten postenteriting diarrhea dengan atau tanpa intoleransi karbohidrat.
7. Diare sehubungan dengan penyakit endokrin
- Hyperparathyroidism
- Insufiensi adrenal
- Diabetes mellitus
8. Diare sehubungan dengan tumor
- Karsinoma medula tiroid
- Ganglioneuroma
- Zollinger - Ellison syndrome
9. Malabsorpsi asam empedu - cholerrhoic diarrhea

B. Fatty stools atau tinja berlemak


1. Insufisiensi pankreas
- Cystic fibrosis, celiac disease
2. Limfangiektasi usus
3. Kolestasis
- Atresia biliaris ekstra atau intrahepatik
- Hepatitis neonatal
- Sirosis hepatis
4. Steatorea akibat obat (misal: neomycin, cholestyramine)
5. CSBS (Contaminated small bowel syndrome)
- Short bowel syndrome

C. Bloody stools atau tinja berdarah


1. Shigella, Salmonella, V. Campylobacter (disentri basil)
2. Disentri amuba
3. Inflammatory bowel disease
- Ulcerative colitis
- Crohn's disease
4. Pseudomembran enterokolitis. 4
6. PATOFISIOLOGI

9
Mekanisme diare kronik bergantung kepada penyakit dasarnya. Sering yang menyebabkan
lebih dari satu macam sehingga efeknya merupakan kombinasi dari penyebab-penyebab
tersebut. Mekanisme patofisiologi diare kronik dapat sebagai :
a. Diare osmotik
b. Diare sekretorik
c. Bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak
d. Defek sistem pertukaran anion
e. Kerusakan mukosa
f. Motilitas dan transit abnormal
g. Sindrom diare intraktabel
h. Mekanisme-mekanisme lain 4

1. Diare osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan
osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke
dalam lumen usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkannya sehingga timbul diare. 4,7

2. Diare sekretorik

10
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul
diare karena peningkatan isi lumen usus.

Pada sindrom Zollinger Ellison, hipergastrinemia menginduksi dengan jelas sekresi


lambung dan diare. 4

3. Bakteri tumbuh lampau, asam empedu dan asam lemak


Dalam keadaan normal, usus halus anak adalah relatif steril. Bakteri tumbuh lampau
dapat terjadi pada setiap kondisi yang menimbulkan stasis isi usus. Jumlah bakteri usus
dapat meningkat pada bayi dengan diare nonspesifik yang persisten dan dengan intoleransi
monosakarida sekunder. Organisme coliform biasanya predominan, walaupun bakteri
anaerob (seperti Bacteroides) mungkin meningkat secara kuantitatif.
Dekonjugasi garam-garam empedu oleh bakteri mengakibatkan pembentukan
dihydroxy bile acids ataupun menurunnya garam-garam empedu terkonjugasi yang
menimbulkan gangguan absorpsi lemak. Lemak dalam diet dikonversi menjadi hydroxy fatty
acids oleh flora kolon (dan mungkin oleh flora usus halus yang abnormal). Kedua dihydroxy

11
bile acids dan-hydroxy fatty acids merupakan well-established colonic secretagogues dan
menyebabkan diare.
Adanya asam-asam empedu bebas dalam lumen jejunum nampaknya mempunyai
efek negatif terhadap absorpsi monosakarida. Reseksi distal ileum menyebabkan keluarnya
asam-asam empedu dekonjugasi menuju kolon, dimana dekonjugasi bakteri menginduksi
pembentukan diarrheogenic dihydroxy bile acids atau yang disebut juga oleh beberapa
penulis dengan cholerrhoeic diarrhoea.4

4. Tidak adanya mekanisme absorpsi ion secara aktif yang biasanya terdapat dalam keadaan
normal
Contoh klasik ialah penyakit congenital chloridorrhea. Pada penyakit ini, penderita
tidak mampu mengabsorpsi klorida secara aktif karena defek pada sistem penukaran anion
ileum. Hal ini mengakibatkan berkurangnya absorpsi cairan, asidifikasi isi lumen usus dan
konsentrasi klorida tinggi dalam cairan tidak terabsorpsi yang tinggal dalam lumen ileum dan
kolon. Konsentrasi klorida tinja jauh melebihi kombinasi konsentrasi natrium dan kalium. 4

5. Kerusakan mukosa
Berkurangnya permukaan mukosa atau kerusakan permukaan mukosa dapat
mengakibatkan terganggunya permeabilitas air dan elektrolit. Pada celiac sprue terdapat
hilangnya daerah permukaan dan menurunnya effective pore size mukosa jejunum yang
nyata. Kerusakan epitel usus halus yang difus terjadi pada kebanyakan tipe enteritis karena
infeksi, penyakit Crohn dan pada penyakit penyakit kolon seperti kolitis ulseretiva, kolitis
granulomatosa dan kolitis infeksiosa. 4

6. Motilitas usus yang abnormal


Kelainan motilitas usus menyebabkan gangguan digesti dan/atau absorpsi.
Berkurangnya motilitas memudahkan terjadinya stasis dan bakteri tumbuh lampau,
sedangkan kenaikan motilitas akan mengakibatkan transit nutrisi yang cepat di usus dan
menimbulkan kontak lama dengan mukosa yang inadekuat. Berkurangnya motilitas usus
terdapat pada diabetes dan skleroderma. Motilitas usus yang bertambah berhubungan
dengan isi usus yang meninggi (seperti pada diare osmotik), inflamasi usus dan keadaan-
keadaan terdapatnya circulating humoral agents (seperti prostaglandin dan serotonin) yang
meningkat secara aktif. Pada short bowel syndrome (sering pasca-bedah), terdapat daerah

12
permukaan absorpsi yang inadekuat dikombinasi dengan transit cepat yang akan
mengakibatkan diare. Hipersekresi lambung pada transient hypergastrinemia juga dapat
menghasilkan diare segera sesudah operasi. Bayi dengan usus halus kurang dari 40 cm jarang
dapat hidup, terutama bila valvula ileosekal direseksi. 4

7. Sindrom diare kronik


Kebanyakan bayi dengan severe, protracted diarrhoea akan menunjukkan perubahan
mukosa usus halus berupa atrofi vilus, Kehilangan nutrien yang melanjut dan masuknya kalori
yang inadekuat mengakibatkan deplesi protein yang bermakna dan malnutrisi. Pada
terjadinya deplesi protein, regenerasi morfologik dan fungsional usus halus akan terganggu,
ini menimbulkan malabsorpsi yang menyeluruh dan diare yang terus menerus, dan terjadilah
lingkaran setan.

8. Mekanisme lain
Defisiensi seng (Zn) berhubungan dengan diare kronik seperti pada akrodermatitis
enteropatika. Mekanisme diare pada gastroenteropati alergik masih perlu diselidiki,
walaupun terdapat alasan untuk meduga bahwa mukosa rusak dan fungsi terganggu. Hal ini
sebaiknya dibahas tersendiri pada pembahasan alergi susu sapi atau cow's milk protein
sensitive enteropathy, CMPSE.

7. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran yang tampak pada dasarnya merupakan akibat dari diare itu sendiri (akut maupun kronis) akan
terjadi yakni :
a. Dehidrasi
b. Gangguan elektrolit dan asam basa
c. Gangguan gizi (oleh karena intake kurang namun output bertambah)
d. Hipoglikemi
e. Gangguan sirkulasi darah 5,8,9

8. DIAGNOSIS
1. Riwayat penyakit

13
Penting untuk menilai anak dengan diare kronik. Perlu ditanyakan pada penderita : saat
mulainya diare serta adanya gejala ekstraintestinal seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Adanya gejala gejala lain utama yang dapat menduga diagnosis seperti tinja yang abnormal dan
failure to thrive sejak lahir (cystic fibrosis), terjadinya diare sesudah diberikan susu, buah buahan
(defisiensi sukrase-isomaltase), hubungan dengan serangan sakit perut dan muntah (malrotasi), diare
sesudah gangguan emosi atau kecemasan (irritable colon syndrome). Tentang tinja hendaknya
diperinci frekuensi, penampakan, konsistensi dan adanya darah atau lendir. Khusus tentang bau dan
floating, walaupun nilainya terbatas, perlu ditanyakan. Riwayat diet yang terperinci sangat penting.
Riwayat diare yang profus sesudah pengobatan antibiotik memberi dugaan adanya enterokolitis
pseudomembranosa.

2. Pemeriksaan fisik
Perlu dicatat pada standard anthropometric chart. Perhatian khusus perlu diberikan pada
keadaan umum pasien, status hidrasi, gejala kehilangan berat badan (wasting of buttocks and
shoulder girdle, wrinkling of thighs), pemeriksaan abdomen (distensi, nyeri, hepatosplenomegali,
thickened bowel loops, bunyi usus), ekskoriasi pantat, finger clubbing, edema perifer dan manifestasi
kulit. Pemeriksaan anorektal adalah penting pada anak dengan diare. Rectal toucher perlu dilakukan,
bila terdapat tinja berdarah.

3. Pemeriksaan laboratorium
a. Tinja : Nampaknya, konsistensi dan lain-lain, pH dan clinitest setiap hari dengan cara bedside
diagnosis, pemeriksaan tinja untuk fat globules, leukosit dan reducing substances, pewarnaan
Gram, biakan dan pemeriksaan untuk telur cacing dan parasit
b. Darah : darah lengkap, serum elektrolit, karoten, kalsium, magnesium, fosfatase lindi,
cholesterol, waktu protrombin, elektroforesis serum protein, imunoglobulin.
c. Kadar klorida keringat, foto toraks dan abdomen.
d. Adanya reducing substances dalam tinja yang ber pH rendah disertai erithema natum,
menyarankan adanya malabsorpsi karbohidrat. Sukrosa bukan reducing substance dan
diperlukan acid hydrolisis sebelum ditambahkan tablet clinitest. Sering terjadi defisiensi laktase
sekunder yang mengikuti gastroenteritis. One hour xylose absorption test dianjurkan.
Pemberian formula bebas atau rendah laktosa akan mengatasi masalahnya.

14
Walaupun lebih jarang, malabsorpsi monosakarida dapat terjadi pada diare yang berat
dan malnutrisi. Mengenai intoleransi karbohidrat primer (tidak biasa), yang paling sering
terlihat ialah difisiensi sukrase - isomaltase, sedang malabsorpsi glukosa - galaktosa jarang dan
alaktasia kongenital sangat jarang. Bila terdapat dugaan intoleransi karbohidrat, seharusnya
dilakukan pemeriksaan toleransi (laktosa, sukrosa dan glukosa) untuk menetapkan diagnosis.
Test breath hydrogen saat ini dimasukkan dalam evaluasi malabsorpsi karbohidrat, tetapi
digunakan secara terbatas.
Adanya leukosit cukup banyak dalam tinja bersama sama dengan lendir dan bakteri
menduga adanya Shigella, Salmonella, bentuk invasif Escherichia coli (EIEC) atau enterokolitis
pseudomembranosa. Pada penyakit tifoid, tinja mengandung sel-sel mononuklear. Kolitis
ulseratif selalu dihubungkan dengan banyak leukosit polimorfonuklear (dan kadang kadang
eosinofil), sedang pada disenteri amoeba tidak atau sedikit mengandung leukosit, terkecuali
bila terdapat infeksi bakteri sekunder.
Biakan tinja dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat tentang flora usus dan
kontaminasi. Tidak cukup untuk hanya mengetahui bahwa tidak ada kuman patogen.
Pewarnaan Gram tinja segar memberikan informasi tambahan. Pemeriksaan yang sederhana ini
memungkinkan kita untuk mendiagnosis suatu overgrowth stafilokokus, streptokok atau
candida.
Pemeriksaan parasit harus dikerjakan dari tinja segar. Giardia lamblia (dan kadang
kadang cacing trichuris trichiura) ialah parasit yang dianggap menyebabkan diare kronik.
Adanya banyak butir lemak secara mikroskopik (kriteria Drumney) menunjukkan kemungkinan
adanya insufisiensi pankreas. Serum karoten 100 mg per dl atau lebih menyingkirkan
kemungkinan malabsorpsi lemak kronik, sedang, kurang dari 50 mg menyatakan adanya
kemungkinan malabsorpsi lemak
Pada pemeriksaan darah tepi bila ditemukan acanthocyte dan kadar kolesterol yang
rendah, memberi petunjuk adanya abetalipoproteinemia atau hipobetalipoproteinemeia. Dalam
hal ini, elektroforesis serum lipoproptein dianjurkan untuk membuat diagnosis. Pada bayi dengan
diare, lesi mukokutan dan alopesia serta kadar Zn serum rendah mendukung diagnosis
akrodermatitis enteropatika, penyakit ini memerlukan pengobatan dengan Zn.
Pada pasien yang tinjanya berdarah dianjurkan pemeriksaan kolonoskopi atau
sigmoidoskopi dengan atau tanpa biopsi rektum. Infeksi Salmonella dan Shigella, maupun chronic
inflammatory bowel disease, dapat menyebabkan tinja berdarah. Pada kolitis alergik, kenaikan

15
jumlah eosinofil mungkin terlihat di lamina propria. Anak dengan diare profus selama atau
sesudah pengobatan dengan antibiotik memerlukan kolonoskopi atau sigmoidoskopi untuk
menyingkirkan enterokolitis pseudomembranosa.
Pendekatan diagnostik meliputi juga pemeriksaan tinja yang dilakukan hati-hati dengan
tekanan pada adanya excess reducing substances maupun pemeriksaan parasit (Giardia, Candida,
Trichuris trichiura), bakteri dan virus. Pada masalah yang lebih kronik, dilakukan biopsi usus halus
(pada bayi: sedikitnya yang berat badannya 3,5 kg) untuk mencari kemungkinan adanya
enteropati.
Tindakan mengeliminasi diet yang diikuti dengan pemberian makanan yang dicurigai
merupakan peranan yang penting untuk membuat diagnosis. Memang sangat sering diagnosis
pada kelompok anak ini dilakukan secara retrospektif. Labenthal (1979) mengemukakan bahwa
biopsi usus halus pada intractable diarrhoea penting dan berguna dan ditemukan 96% kasus-
kasusnya menyebabkan atrofi mukosa.
Kerusakan usus halus akan mengakibatkan malabsorpsi lemak dan karbohidrat. Hal ini
akan digunakan oleh bakteri untuk membentuk asam-asam organik dan akan meninggikan
osmolalitas isi usus, kenaikan sekresi cairan dan menstimulasi motilitas. Di samping itu, proliferasi
bakteri akan menimbulkan dekonjugasi asam empedu dan produksi endotoksin yang
menyebabkan melanjutnya sekresi air dan elektrolit.

B. FISIOLOGI CAIRAN TUBUH


Tubuh sebagian besar mengandung air dan elektrolit. Total cairan tubuh per kilogram
berat badan paling tinggi di bayi baru lahir yaitu 80 ml/kgBB pada bayi cukup bulan dan 90
ml/kgBB di bayi premature dan pada usia 1 jumlah total cairan tubuh menjadi 65 ml/kgBB.
Cairan tubuh terbagi menjadi larutan intraseluler (CIS) dan larutan ekstraseluler (CES)
jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari berat badan. Pada keadaan hidrasi normal jumlah CES
pada anak adalah 20-25% yang terbagi dalam larutan plasma 5% berat badan, larutan
interstisiel 15% berat badan dan larutan transelluler 1-3% berat badan yang terdiri dari larutan
saluran gastrointestinal dan larutan serebrospinal, intraocular, pleural, peritoneal dan larutan
sinovial. Cairan dapat berpindah-pindah secara bebas sampai terjadi keseimbangan sehingga
konsentrasi zat-zat terlarut dalam nilai osomalaritas di kedua kompartemen utama
dipertahankan sama.

16
Air tubuh total maksimal pada saat lahir, kemudian berkurang secara progresif dengan
bertambahnya umur. Air tubuh total pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan pada orang
kurus (650 ml/kg BB) lebih banyak daripada yang gemuk (300-400 ml/kg BB).
Distribusi cairan di dalam kompartemen diatur oleh osmosalitas, distribusi Natrium dan distribusi
koloid terutama albumin. Osmosalitas dikontrol oleh intake cairan dan regulasi ekskresi air oleh
ginjal.
Ada 2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh, yaitu :
a. Elektrolit
Elektrolit adalah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik yaitu kation
dan anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan. Tiap kompartemen mempunyai
komposisi elektrolit tersendiri (tabel 2). Komposisi elektrolit plasma dan interstisial
hampir sama, kecuali didalam interstisial tidak mengandung protein.
Tabel 1. Komposisi Elektrolit dan Berbagai Cairan Tubuh (mEq)

N K M C C H H S Pr

Plasma
d
a 1 1 2
1 3 5 16
r
a
h
Cairan interstisial 1 1 3
1 2 3 1

Cairan intraselular 1 1 3 1 1
2 8 55

b. Non elektrolit
Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-partikel,
terdiri dari dekstrosa, ureum dan kreatinin.
Tabel 2. Zat-zat yang menimbulkan Tekanan Osmotik di dalam Cairan
Ekstrasel dan Intrasel
Plasma Interstisial Intrasel

17
(mOsmol/L (mOsmol/L (mOsmol/L
H2O) H2O) H2O)
+
Na 144 137 10
K+ 5 4,7 141
Ca+ 2,5 2,4 0
Mg ++
1,5 1,4 31
Cl 107 112,7 4
HCO3 27 28,3 10
HPO4, H2PO4 2 2 11
SO4 0,5 0,5 1
Fosfokreatin 45
Karnosin 14
Asam amino 2 2 8
Kreatin 0,2 0,2 9
Laktat 1,2 1,2 1,5
Adenosin tripospat 5
Heksosa monopospat 3,7
Glukosa 5,6 5,6
Protein 1,2 0,2 4
Ureum 4 4 4
Total mOsmol 303,7 302,2 302,2
Kegiatan osmol yang 282,6 281,3 281,3
dikoreksi
(mOSmol) 5453 5430 5430
P Osmotik total pada
t
37°C (mmHg)

1. Komposisi cairan tubuh


Ada dua mekanisme utama yang mengatur cairan tubuh yaitu pengaturan osmoler dan pengaturan
volume non osmoler.
a. Pengaturan osmoler
1) Sistem osmoreseptor ADH

18
Pada saat volume CES berkurang, osmolaritas meningkat, mengakibatkan
pelepasan impuls dari osmoreseptor di hipotalamus anterior yang merangsang
pituitari posterior untuk melepas ADH. Penurunan volume CES juga
merangsang pusat haus yang juga menstimulasi pelepasan ADH. ADH
mengakibatkan reabsorbsi Na dan air pada tubulus distal dan tubulus kolektivus,
sehingga menaikkan volume CES. Peningkatan volumen CES akan memberikan
umpan balik ke hipotalamus dan pusat haus sehingga volume CES
dipertahankan tetap.
2) Sistem renin aldosteron
Saat volume CES berkurang, makula densa akan melepaskan renin yang
berperan dalam pembentukan angiotensin I. Dengan converting enzim
angiotensi I diubah menjadi angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor
kuat, menstimulasi kortek adrenal untuk mengeluarkan aldosteron, yang
mengakibatkan reabsorbsi air dan Na sehingga sirkulasi meningkat.
b. Pengaturan non osmoler
Semua respon hemodinamik akan mempengaruhi reflek kardiovaskuler, yang juga akan
mengatur volume cairan dan pengeluaran urin. Jika terjadi hipovolemia, reflek intratorak,
reflekreseptor presor ekstratorak dan respon iskemik pusat akan mengaktifkan
mekanisme hipotalamik dan sistem nervus simpatis.
2. Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial
Pada orang dewasa, bayi dan anak kebutuhan air dan elektrolit setiap hari adalah sebagai
berikut :2
a. Dewasa
1. Air 30-35 ml/kg
2. Setiap kenaikan suhu 1°C ditambah 10-15%
3. K+ : 1 mEq/kb/BB (60 mEq/hari = 4,5 g)
4. Na+ : 1,5 – 2 mEq/kgBB (100 mEq/hari = 5,9 g)
b. Pada anak sesuai berat badan
1. 0-10 kg : 100 ml/kgBB
2. 10-20 kg : 1000 ml + 50 ml/kg diatas 10 kg
3. < 20 kg : 1500 ml + 20 ml/kg diatas 20 kg
4. K+ : 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg)

19
5. Na+: 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)

C. PENATALAKSANAAN DIARE KRONIK


1. Penatalaksanaan Umum , Resusitasi dan Stabilisasi
Penatalaksanaan diare kronik meliputi rehidrasi entera/parenteral, nutrisi dan medikamentosa.
a. Terapi rehidrasi cairan
Menurut dalam garis besar pengobatan diare dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis
yaitu:
a. Pengobatan Cairan
Untuk menentukan jumlah cairan yang perlu diberikan kepada penderita diare, harus
diperhatikan jumlah cairan yang harus diberikan sama dengan hal-hal sebagai berikut:
1) jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan/muntah muntah PWL (Previous
Water Losses) ditambah dengan,
2) banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin dan pernafasan NWL (Normal
Water Losses) ditambah dengan,
3) banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus
berlangsung CWL (Concomitant water losses).
Ada 2 jenis pengobatan cairan yaitu:
1. Cairan Rehidrasi Oral (CRO) 12
Salah satu cara untuk mengatasi dehidrasi adalah dengan memberikan minuman
rehidrasi pada anak. Minuman rehidrasi dapat membantu mencegah atau mengatasi
dehidrasi. Pemberian cairan pengganti (cairan rehidrasi) baik yang diberikan secara oral
(diminumkan) maupun parenteral (melalui infus) telah berhasil menurunkan angka kematian
akibat dehidrasi pada ribuan anak yang menderita diare. Oralit merupakan cairan rehidrasi
oral (CRO) yang mengandung elektrolit (Na, K, Cl, HCO3) dan glukosa telah terbukti dapat
mengganti cairan saluran secara efektif dan memberikan dehidrasi. Saat ini telah banyak
cairan rehidrasi oral di pasaran dengan berbagai nama.
Pengamatan klinis merupakan langkah awal yang penting dalam serangkaian
penanganan diare pada anak, terutama dalam hal penentuan derajat dehidrasi. Kita
mengenal 3 status dehidrasi pada seorang anak yang mengalami diare, yaitu (1) tanpa

20
dehidrasi ; (2) dehidrasi ringan sedang ; (3) dehidrasi berat. Tetapi cairan yang
diberikan pun disesuaikan dengan derajat dehidrasi yang ada.
1. Diare Tanpa Dehidrasi 12
Pada keadaan tanpa dehidrasi, secara klinis pasien masih terlihat aktif dan
buang air kecil masih berlangsung normal. Pada keadaan ini tidak perlu membatasi
pemberian makanan dan minuman.
Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga
untuk mencegah dehidrasi, seperti air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-
sayuran, dan sebagainya. Pengobatan dapat dilaukan di rumah oleh keluarga
penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kg BB atau untuk anak usia
< 1 tahun adalah 50-100 ml, 1-5 tahun adalah 100-200 ml, 5-12 tahun adalah 200-
300 ml dan dewasa adalah 300-400 ml setiap BAB, atau dapat juga diberikan dapat
diberikan CRO sebanyak 5-10cc/kg BB setiap buang air besar dengan tinja cair
untuk mencegah dehidrasi. Pada bayi, oralit dapat diberikan dengan cara
berselang-selang dengan cairan yang tidak mengandung kadar Na seperti air putih
atau ASI.
Rehidrasi dengan menggunakan clear fluid (air putih, cairan rumah
tangga, sari buah, dsb) akan memberikan hasil tidak optimal. Karena, kandungan
natriumnya kurang. Sebaiknya, pemberian jus buah dan coal dapat memperbesar
keadaan diare, karena mengandung osmolaritas tinggi di samping kadar Na yang
rendah.
Cairan oralit yang dianjurkan oleh WHO-ORS, tiap 1 liter mengandung
osmolalitas 333 mOsm/L, glukosa 20 g/L, kalori 85 cal/L. Elektrolit yang
dikandung meliputi sodium 90 mEq/L, kalium 20 mEq/L, klorida 80 mEq/L,
bikarbonat 30 mEq/L.
2. Dehidrasi Ringan-Sedang
Pada keadaan dehidrasi ringan-sedang, pasien terlihat gelisah, sangat haus,
dan buang air kecil mulai berkurang. Mata agak cekung, tidak ada air mata, turgor
(kekenyalan kulit) menurun, dan mulut kering. Rehidrasi dilaksanakan dengan
memberikan CRO.

21
Penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang harus dirawat di sarana
kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit.
Makanan tidak perlu dibatasi, karena meneruskan pemberian makanan (early
feeding) akan mempercepat penyembuhan. Bila disertai muntah, CRO dapat
diberikan secara bertahap; dengan peningkatan jumlah sesuai dengan kemajuan
daya terima pasien. Tindakan ini perlu di bawah pengawasan, sehingga dapat
dilaksanakan dalam suatu ruang observasi yang dikenal dengan Ruang Upaya
Rehidrasi Oral atau Ruang Rawat Sehari.
Pada akhir jam ke 3-4, pasien dapat dipulangkan untuk mendapat terapi
rumatannya di rumah, atau tetap diobservasi untuk mendapat terapi lebih lanjut
bila dehidrasi masih berlangsung. Suatu hal yang paling penting sebelum
memulangkan pasien adalah orangtua harus paham betul dalam menyiapkan dan
memberikan CRO dengan benar. 4, 9, 11, 12
Ada beberapa cairan rehidrasi oral:
1. Cairan rehidrasi oral yang mengandung NaCl, KCL, NaHCO3 dan glukosa,
yang dikenal dengan nama oralit.
Tabel 5. Kebutuhan cairan yang spesifik per kelompok umur
Kebutuhan cairan yang spesifik Jumlah kebutuhan cairan
per kelompok umur
Umur
Bayi baru lahir 80-100 mL/kg/hari
Bayi 120-130 mL/kg/hari
2 tahun 115-125 mL/kg/hari
6 tahun 90-100 mL/kg/hari
15 tahun 70-85 mL/kg/hari
18 tahun 40-50 mL/kg/hari

2. Cairan rehidrasi oral yang tidak mengandung komponen-komponen di tabel


diatas misalnya: larutan gula, air tajin, cairan-cairan yang tersedia di rumah dan
lain-lain, disebut CRO tidak lengkap.
Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi.
Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia
Selatan yang terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan

22
berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare
yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih
banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah
disebakan oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebakan
kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare
mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat osmolaritas yang lebih
rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga
kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
Oralit
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan
oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya
lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini
juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi
pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.
Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF
untuk diare akut non-kolera pada anak.
Tabel 6. Komposisi Oralit Baru
Oralit Baru Osmolaritas Mmol/liter
Rendah
Natrium 75
Klorida 65
Glucose, anhydrous 75
Kalium 20
Sitrat 10
Total Osmolaritas 245
Ketentuan pemberian oralit formula baru adalah12:
a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru
b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang untuk
persediaan 24 jam
c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan:
1. Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB
2. Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200 ml tiap BAB
d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa
larutan harus dibuang.

23
B. Cara Membuat Cairan Rehidrasi
1. Dibuat dengan bubuk sereal dan garam
Bahan yang terbaik adalah tepung beras. Namun anda bisa menggunakan jagung pipil
yang sudah dihaluskan, tepung terigu, sejenis gandum, atau kentang matang yang
dihaluskan.
Cara membuatnya:
- Masukkan ½ sendok teh peras garam ke dalam 1 liter air bersih dan matang,
- Juga masukan 8 sendok teh penuh bubuk sereal.
- Didihkan selama 5 sampai 7 menit sampai menjadi bubur encer. Cepat dinginkan dan
mulai berikan kepada anak diare.
Untuk diperhatikan, cicipi minuman ini setiap kali sebelum diberikan kepada penderita untuk
meyakinkan minuman tidak basi. Pada cuaca panas, minuman sereal seperti ini bisa basi
dalam beberapa jam saja.
2. Dibuat dengan gula dan garam
Anda dapat menggunakan gula kasar, gula coklat atau gula putih, atau sirop gula.
Cara membuatnya:
- Masukkan ½ sendok teh peras garam ke dalam 1 liter air bersih dan matang,
- Juga masukkan 8 sendok teh peras gula. Aduk rata.
Perhatian sebelum menambahkan gula, cicipi dulu dan pastikan minumannya tidak seasin air mata
Orang tua harus waspada dan mengetahui tanda-tanda jika diare si anak memburuk. Bawa
anak ke fasilitas pelayanan kesehatan atau ke dokter jika kondisinya tidak membaik dalam 3
hari atau buang air besar cair bertambah sering, muntah berulang-ulang, makan atau minum
sangat sedikit, terdapat demam dan tinja anak  berdarah.
2. Cairan Rehidrasi Parenteral (CRP) 12
Cairan Ringer Laktat sebagai cairan rehidrasi parenteral tunggal. Selama
pemberian cairan parenteral ini, setiap jam perlu dilakukan evaluasi jumlah cairan yang
keluar bersama tinja dan muntah dan perubahan tanda-tanda dehidrasi.
1) Dehidrasi Berat
Pada dehidrasi berat, selain tanda klinis pada dehidrasi ringan-sedang, juga
terlihat kesadaran menurun, lemas, malas minum, mata sangat cekung, mulut sangat
kering, pola napas yang sangat cepat dan dalam, denyut nadi cepat, dan kekenyalan

24
kulit sangat menurun. Pada keadaan ini, pasien harus segera dirawat untuk mendapat
terapi rehidrasi parenteral (melalui infus).
Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit
sampai cairan infus terpasang. Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi
tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan
pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer
Laktat. Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan IV dipercepat.
Pemberian susu formula khusus pada bayi diare hanya pada kasus yang
terindikasi. Pemberian susu yang mengandung rendah atau bebas laktosa hanya
diberikan kepada anak yang secara klinis jelas memperlihatkan gejala intoleransi
laktosa (tidak dapat mencerna laktosa yang terdapat di dalam susu).
Sebagian besar diare pada anak terutama pada bayi disebabkan oleh virus, oleh
karena itu antibiotik pada bayi dengan diare hanya diberikan pada kasus tertentu saja.
Pemberian obat antidine yang banyak beredar saat ini meskipun dari beberapa laporan
memperlihatkan hasil yang baik dalam hal lama dan frekuensi diare. Tetapi, hal ini belum
dimasukkan ke dalam rekomendasi penanganan diare pada anak. Secara singkat,
pemahaman gejala dehidrasi dan penanganan yang benar merupakan kunci keberhasilan
anak dengan terapi diare.

Tabel 8. Kebutuhan elektrolit menurut Ament ME, 1993


Elektrolit Dosis anak (mEq/kg/24 jam) Dosis bayi (mEq/kg/24
jam)
Na 3–4 2–8
K 2–3 2–6
Cl 2–4 0–6
Ca 0,5 – 1 0,9 – 2,3
Fosfat 2 1 – 1,5
Mg 0,25 – 0,5 0,25 – 0,5

a. Hipernatremia
(Na>155 mEq/L), koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan pemberian dekstrosa 5% +
1
/2 salin. Penurunan kadar Na tidak boleh lebih dari 10 mEq per hari karena bias menyebabkan
edem otak.

25
b. Hiponatremia
(Na < 130 mEq/L), koreksi kadar Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu
dengan memakai ringer laktat atau normal salin, atau dengan memakai rumus :
Kadar Na koreksi (mEq/L)= 125 - kadar Na serum x 0,6 x BB diberikan dalam 24 jam
c. Hiperkalemia
(K > 5 mEq/L), koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glikonas 10 % 0,5 -1 ml/KgBB IV perlahan-
lahan dalam 5 – 10 menit, sambil memantau detak jantung.
d. Hipokalemia
(K< 3,5 mEq/L), koreksi dilakukan menurut kadar K.
- Jika kadar K 2,5-3,5 mEq/L, berikan 75 mEq/KgBB per oral per hari dibagi 3 dosis
- Jika kadar K < 2,5 mEq/L : berikan secara drip intravena dengan dosis :
a. 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam dalam 4 jam pertama
b. 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB dalam 20 jam berikutnya.
2. Pemberian Nutrisi
1. Nutrisi enteral
Alimentasi enteral merupakan cara yang paling efektif dan dapat diterima untuk
mempertahankan dan mencukupi kebutuhan nutrisi penderita dengan saluran pencernaan yang
masih berfungsi jalur enteral dapat ditempuh melalui oral atau nasograstrik, nasojejunal,
gastrostomi atau jejunostomi dengan feeding tube.
Pemilihan formula diet yang diberikan secara enteral dapat dikategorisasikan dalam 3 macam diet :
a. Diet polimerik, yang mengandung protein sebagai sumber protein dan dipakai untuk
pasien dengan fungsi usus yang normal.
b. Diet elemental, yang mengandung nutrient dengan berat molekul rendah dan dipakai
untuk pasien dengan gangguan fungsi gastrointestinal.
c. Diet formula khusus, yang mengandung kadar tinggi asam amino rantai bercabang
untuk pemakaian pada elsefolapati hepatic dan pasien dengan perubahan kadar asam
amino lain atau kesalahan metabolisme bawaan (inborn errors of metabolism).
Kandungan formula yang ditetapkan meliputi :
a) Karbohidrat
Karbohidrat akan dipecah oleh enzim oligosakaridase dalam mikrovili menjadi
monosakarida yang akan diabsorbsi ke dalam enterosit. Terdapat 4 enzim 
oligosakaridase yang berbeda dalam mikrovili yaitu maltase (glukosa amilase (glukosa

26
a-dekstrinase), lactase dan trehalase. Semua enzim ini berkurang pada penyakit yang
mengenai mukosa usus halus. Laktase merupakan enzim yang paling peka dan paling
akhir pulih apabila terjadi kerusakan mukosa.
b) Lemak
Lemak merupakan nutrient yang paling padat kandungan kalorinya. Pemberian lemak
pada penderita diare kronik sangat penting karena sering disertai keterbatasan
pemasukan kalori.
c) Protein
Kebutuhan anak akan protein dapat dipenuhi dengan penggunaan protein utuh. protein
hidrolisat, asam amino atau gabungan.
d) Vitamin dan mineral
Kekurangan vitamin dan mineral dapat terjadi pada anak kendatipun dan pemasukan
kalori yang cukup apabila terdapat malabsorbsi lemak. atau terjadi interaksi
obat/nutrient dengan diet yang sangat khusus.
Pemberian melalui pipa nasagastrik diperlukan apabila pasien tidak mampu atau tidak
mau menerima makanan secara oral, namun keadaan saluran gastrointestinalnya masih
berfungsi. Pemberian nutrisi dilakukan dengan meningkatkan kecepatan dan kadar formula
secara bertahap sampai mencapai kebutuhan nutrisi.
2. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral merupakan teknik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh melalui
jalur intravena. Nutrient khusus terdiri atas air, dekstrosa. asam amino, emulsi lemak.
mineral,  vitamin. trace elemen.  Jalur ini jangan digunakan apabila penderita masih
mempunyai saluran gastrointestinal yang masih berfungsi serta masih dimungkinkan
pemberian secara peroral, enteral atau gastrostorni. Pada umumnya tidak digunakan untuk
waktu kurang dari 5 hari
Kebutuhan pada nutrisi parenteral

a.   Kalori

Tabel 9. Kebutuhan kalori per berat badan


Umur Perkiraan kebutuhan kalori per hari (kkal/kg)
Neonatus
Berat badan lahir rendah 150
Berat badan lahir normal 100-200

27
Anak 0 – 10 kg 100
11 – 20 kg 1000 kkal/kg + 50 kkal/kg untuk setiap kg > 10 kg
> 20 kg 1500 kkal/kg + 20 kkal/kg untuk setiap kg > 20 kg
Pada beberapa keadaan diperlukan penambahan kebutuhan kalori: panas (12% per setiap
setiap kenaikan 1°C di atas 37°C) gagal jantung (15 - 20 %), pembedahan besar (20 -30% kombosio
sampai 100%), dan sepsis berat (25%).
b.   Cairan
Tabel 10. Kebutuhan cairan sesuai umur
Berat badan Kebutuhan cairan (ml/kg)
< 10 kg 100
10 – 20 kg 1000 ml + 50 ml/kg untuk setiap kg > 10 kg
>20 kg 1500 ml + 20 ml/kg untuk setiap kg > 20 kg
c.   Karbohidrat
- Dekstrosa merupakan sumber utama kalori non protein yang memberikan 3,4
kka1/gram dalam bentuk monohidrat
- Keterbatasannya adalah terjadinya phlebitis apabila kadar > 10 - l2,5%
- Pemberian dilakukan secara bertahap untuk memberikan kesempatan respon tubuh
dalam memproduksi insulin endogen dan mencegah terjadinya glikosuria.
d.   Asam amino 
Tabel 11. Kebutuhan asam amino menurut usia
Umur Kebutuhan (gr protein/kg/hari) Mulai pemberian
Bayi prematur 2,5 – 3 0,5 gram protein/kg/hari
dinaikkan 0,5 gram
protein/kg/hari
Bayi 0 – 1 tahun 2,5 – 3 1 gram protein/kg/hari dinaikkan
Anak 2 – 13 1,5 – 2 0,5 gram protein/kg/hari
tahun
Remaja – 1 – 1,5
dewasa
 e.    Lemak
- Selain untuk memenuhi kebutuhan kalori, lemak menyediakan asam lemak essensial
untuk pertumbuhan bayi dan anak, dan menunjang perkembangan yang normal.

28
- Preparat lemak intravena tersedia dalam larutan 10% (1 kkal/ml) dan 20% (2
kka1/ml)
- Minimal 2-4% dari kebutuhan kalori total diberikan berupa lemak intravena untuk
menghindari terjaadinya defisiensi asam lemak. yang dapat dicapai dengan
penggunaan 0,5-1 gram emulsi lemak/kg/hari
- Defisiensi asam lemak paling awal terjadi pada neonatus dalam 2 hari dengan tanda
kecepatan pertumbuhan yang lambat, kulit kering bersisik, pertumbuhan rambut
berkurang. trombositopeni, peka terhadap infeksi dan gangguan penyembuhan luka.
3. Medikamentosa
a. Obat anti diare
Tidak perlu diberikan obat anti diare seperti kaolin, pektin, difenoksilat (Lomotil). Tidak satu pun
daripada obat-obat ini memberi efek positif pada patofisiologi. Penelitian baru-baru ini memberi
petunjuk bahwa obat-obat yang memperlambat motilitas usus justru akan memperpanjang
lamanya enteritis karena infeksi.
b. Obat anti mikroba
Pengobatan antibiotik pada umumnya tidak dianjurkan, bahkan hal ini akan mengubah flora usus dan
menimbulkan keadaan diare menjadi lebih buruk. Untuk membersihkan isi usus anak dengan
infeksi usus karena bakteri, fungsi peristaltik ternyata lebih efektif walaupun pada anak lebih
besar antibiotik sebaiknya tidak diberikan, namun pada neonatus, anak yang sakit serius (sepsis
atau lainnya), anak dengan defisiensi imunologi dan anak dengan protracted diarrhoea yang
sangat berat, dianjurkan tetap diberikan. Metronidazole merupakan obat yang efektif dan aman
untuk Giardia lamblia .
c. Kortikosteroid
Anak dengan kolitis ulserativa, paling tidak pada serangan pertama memberi respons baik hanya
terhadap enema steroid, beberapa anak mendapat kombinasi steroid rektal dan sistemik.
d. Imunosupresif
Obat imunosupresif (azathioprine) digunakan pada penyakit Crohn dan ini pun hanya diberikan bila
pengobatan konvensional tidak mungkin. Efek samping segera yang terbanyak ialah penekanan
sumsum tulang, karena itu pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan darah secara teratur.
e. Kolestiramin

29
Penggunaan kolestiramin pada diare kronik, terutama untuk malabsorpsi asam empedu (pada reseksi
akhir ileum) dan pada infeksi usus karena bakteri (untuk mengikat endotoksin) sangat
bermanfaat.
f. Operasi
Bila diare kronik terjadi pada kasus-kasus bedah seperti misalnya penyakit Hirschsprung, enterokolitis
nekrotik, maka sering terdapat indikasi untuk melakukan operasi. Tindakan ini hendaknya
dilakukan setelah keadaan umum pasien membaik. 4
D. KOMPLIKASI
a. Dehidrasi
b. Renjatan hipovolemi
c. Kejang
d. Bakterimia
e. KEP
f. Hipoglikemia
g. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus 10
E. PENCEGAHAN
-
Perhatikan kebersihan dan gizi yang seimbang.
-
Menjaga kebersihan dengan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan
kebersihan dari makanan yang kita makan.
-
Penggunaan jamban yang benar.
-
Imunisasi campak
-
Hindari penggunaan antibiotik dan antidiare pada anak dengan diare akut.
-
Berikanlah terapi nutrisi yang adekuat pada setiap anak dengan diare akut untuk mencegah
terjadinya gangguan gizi untuk memutus lingkaran setan diare-malnutrisi-diare.
-
Galakkan penggunaan ASI.1,2,5

30
F. EDUKASI
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui mulut (orofecal) antara lain melalui
makanan/minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa
perilaku khusus dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya
diare. Perilaku tersebut antara lain adalah :
1. Tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan.
Resiko untuk menderita diare berat beberapa kali lebih besar pada bayi yang tidak diberi ASI
daripada yang diberi ASI penuh. Resiko kematian karena diare juga lebih besar.
2. Menggunakan botol susu
Penggunaan botol susu memudahkan pencemaran oleh kumsn yang berasal dari tinja dan sukar
dibersihkan. Sewaktu susu dimasukkan ke dalam botol yang tidak bersih, akan terjadi
kontaminasi kuman, dan bila tidak segera diminum, kuman akan tumbuh.
3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar.
Bila makanan dimasak dan disimpan untuk digunakan kemudian, keadaan ini memudahkan
terjadinya pencemaran, misalnya kontak dengan permukaan alat-alat yang terpapar. Bila
makanan disimpan beberapa jam pada suhu kamar, kuman dapat berkembang biak
4. Menggunakan air minum yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja.
Air mungkin terpapar di sumbernya atau pada saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah
dapat terjadi kalau tempat penyimpanan tidak tertutup, atau apabila tangan tecemar kuman
mengenai air sewaktu mengambilnya dari tempat penyimpanan
5. Tidak mencuci tangan sesudah BAB, atau sebelum memasak makanan.
6. Membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar

31
Sering dianggap bahwa tinja bayi tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus ataupun
bakteri dalam jumlah besar. Tinja binatang dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia. 6

32
BAB III
KESIMPULAN

1. Diare merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di negara
berkembang.
2. Diperkirakan 100 juta episode diare terjadi setiap tahun pada anak di bawah umur 5 tahun
dan 80% kematian terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.1
3. Diare kronik adalah diare akut yang berlanjut sampai dengan 14 hari atau lebih.
4. Sekitar 10 – 15 % episode diare akut akan menjadi diare kronik yang sering
menyebabkan status gizi memburuk dan meningkatkan kematian.
5. Pada bayi kasus diare menduduki tempat kedua setelah infeksi saluran pernafasan sebagai
penyebab kematian
6. Etiologi diare kronik terdiri dari faktor infeksi, faktor penderita , faktor-faktor lain
7. Diare kronik diklasifikasikan menjadi watery stools atau tinja berair, fatty stools atau
tinja berlemak, bloody stools atau tinja berdarah
8. Patofisiologi diare kronik bergantung pada penyakit dasarnya, antara lain terdiri atas
diare osmotic, diare sekretorik, bakteri tumbuh lampau, malabsorbsi asam empedu,
malabsorbsi lemak, defek sistem pertukaran anion, kerusakan mukosa, motilitas dan
transit abnormal, sindrom diare intraktabel dan mekanisme-mekanisme lain
9. Diagnosis diare kronik ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang
10. Manifestasi diare kronik dapat berupa dehidrasi, gangguan elektrolit dan asam basa,
gangguan gizi, hipoglikemi, gangguan sirkulasi darah
11. Penatalaksanaan diare kronik meliputi rehidrasi enteral / parenteral, nutrisi dan
medikamentosa.
12. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah KEP dan failure to thrive, yang akan
memudahkan terjadinya infeksi sekunder.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Sunato. Gastroenterologi. Dalam : Hasan R, Alatas H. Editor. Buku Kuliah Kesehatan


Anak Jilid I. FK UI, Jakarta 1991: 283-294
2. WHO. Reading in Diarrhoe. Medical Education Project, 1998
3. Guandalini, Stefano. Diarrhea Dalam : emedicine. Online 2013. Available From
http://www.emedicine.com
4. Suharyono. Diare Kronik dalam Gastroenterologi Anak Praktis.Balai Penerbit FKUI,
Jakarta 1988.
5. Suryaatmaja, Sudaryat.Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Diare akut, Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNUD/RS Sanglah – Denpasar. Penerbit Sagung Seto. Edisi
pertama. Jakarta. 2005. Hal 1-24
6. Firmansyah. Agus, dkk. Modul Pelatihan Tata Laksana Diare pada Anak. Badan Koordinasi
Gastroenterologi Anak Indonesia. Jakarta. 2007
7. Boyle J Timothy. Diare Kronik. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Editor
bahasa Indonesia : Wahab AS. Nelson ilmu kesehatan anak vol 1. Edisi ke-15 Cetakan I.
Jakarta: EGC, 2000
8. Ditjen PPM.Diare pada anak. Buku ajar Diare. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1999.
9. Staf Pengajar IKA FKUI. Gastroenterologi. Dalam : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak.
Jilid 1. Jakarta : FKUI, 1998
10. Markum, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jilid I,
Gaya baru, Jakarta, 1999, hal 448-468.
11. Pusponegoro, H.D,dkk.Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Diare Akut, edisi I, Penerbit Badan Penerbit IDAI, 2005. 49:52.
12. Soenarto Y. Diare kronis dan diare persisten. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H,
Arief S, Rosalina I, Mulyani NS, penyunting. Buku ajar Gastroentero-hepatologi:jilid 1.
Jakarta : UKK Gastroenterohepatologi IDAI 2011; 121-136.

34

Anda mungkin juga menyukai