Anda di halaman 1dari 52

SISTEM SKORING SEBAGAI PREDIKSI DEHIDRASI

DAN MENILAI DERAJAT KEPARAHAN PADA


ANAK DENGAN DIARE AKUT

(TINJAUAN KEPUSTAKAAN )

Oleh:
Anik Andris Setyaningrum, dr.

Pembimbing:
Prof. Dr. Subijanto Marto S., dr., SpA(K)
Dr. IGM Reza Gunadi R., dr., SpA(K)
Alpha Fardah A., dr., SpA(K)
Andy Darma, dr., SpA

DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD Dr. SOETOMO
SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare akut dengan dehidrasi masih merupakan penyebab kesakitan di
dunia dan pada beberapa negara berkembang sebagai penyebab utama
kematian.1 diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi lembek atau cair yang berlangsung kurang
2,3
dari satu minggu dan tidak lebih dari 14 hari.
Diare memiliki insiden tertinggi penyakit pada anak di seluruh wilayah
dunia dan menyebabkan kematian sekitar 1,9 juta anak setiap tahun, sekitar 19
% dari semua kematian pada anak di bawah 5 tahun. 4 Dari semua kematian
anak akibat diare, 78 % terjadi di wilayah Afrika dan Asia Tenggara. Secara
global dalam kelompok usia ini, diare akut merupakan penyebab utama
kematian ke dua setelah pneumonia. 5,6. Laporan Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan
penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%).
Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi diare terjadi pada anak balita
(1-4 tahun), yaitu 16,7%. Di Instalasi Rawat Inap Anak (IRNA) RSUD Soetomo
selama tahun 2012-2014 didapatkan 2.243 penderita diare akut yang dirawat
156 dengan dehidrasi dan merupakan peringkat pertama dari 10 penyakit
terbanyak.7
Diare dapat menyebabkan dehidrasi, yang mengubah keseimbangan
cairan tubuh dan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Hal ini dapat
berakibat fatal jika tidak segera diatasi karena bisa menyebabkan kematian
8
terutama pada diare akut karena infeksi Rotavirus. Oleh karena itu penilaian
derajat dehidrasi secara cepat sangatlah penting guna menentukan
management rehidrasi dan mencegah dampak yang merugikan penderita.
Penilaian derajat dehidrasi ini dapat dilakukan secara cepat dan tidak invasive
melalui sistem skoring dengan menggunakan skala skoring yang sudah ada, 9,10

1
Beberapa skala untuk memperkirakan status dehidrasi menggunakan
gejala klinis yang sering digunakan antara lain skala Harun Noerasid
mengelompokkan derajad dehidrasi menjadi dehidrasi ringan, sedang dan
berat.10 Skala yang juga sering digunakan yaitu skala World Health
Organization (WHO), skala Gorelick untuk anak usia 1 bulan-5 tahun dan
Clinical Dehydration Scale (CDS) untuk anak usia 1 bulan sampai 3 tahun.
Setiap skala juga memprediksi perbedaan persen kehilangan volume. Tahun
2001 dibuat penelitian di Indonesia menggunakan skor Airlangga untuk prediksi
dehidrasi pada diare akut. Namun sampai saat ini hasil penilaian diantara
sistem skoring dehidrasi tersebut dianggap belum baik. Sedangkan untuk
derajat keparahan diare akut Flores dkk.(1987) dalam penelitiannya tentang
efikasi vaksin rotavirus (RIT 4237), telah memformulasikan sistem skor untuk
mengetahui perbedaan tingkat keparahan diare yang dialami oleh bayi dan
balita yang diberikan vaksin rotavirus dan yang tidak diberikan vaksin. Metode
sistem skor oleh Flores ini kemudian digunakan oleh Cascio dkk(2001) untuk
menilai perbedaan tingkat keparahan diare yang dialami oleh anak-anak di Italia
yang terinfeksi oleh rotavirus dengan galur yang berbeda. Ruuska dan Vesikari
(1990) menyempurnakan metode skoring dari Flores dengan menambahkan
variabel banyaknya muntah yang dialami dalam 24 jam. 11 Validitas dan
reliabilitas sistim skoring ini telah teruji dalam penelitian kohort oleh Freedman
dkk.(2010).12

2.2 Tujuan
Tujuan dari tinjauan kepustakaan ini adalah membandingkan validitas
sistem skoring dalam prediksi dehidrasi dan menilai derajat keparahan diare
akut pada anak.

BAB II

2
DIARE AKUT

2.1 Batasan
Diare atau penyakit diare berasal dari kata diarroia dalam bahasa Yunani
yang berarti mengalir terus. Sesuai dengan definisi Hippocrates, diare adalah
suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan kepadatan tinja. 13 Definisi ini sesuai
dengan definisi diare menurut WHO, yaitu apabila frekuensi buang air besar
dalam kurun waktu 24 jam sebanyak lebih dari atau sama dengan 3 kali dengan
konsistensi lembek sampai dengan cair.14
Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak
adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran
tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam.15,16
Sedangkan diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali perhari,
disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan
darah yang berlangsung kurang dari satu minggu.17
2.2 Klasifikasi Diare
Berdasarkan waktu sakit diare, maka diare dapat dikategorikan dalam
tiga kelompok, yaitu diare akut, diare berkepanjangan dan diare kronik. Secara
klinis, diare akut yang diderita bayi dan anak-anak dapat digolongkan menjadi
tiga tipe2,3, yaitu:
1. Diare akut cair, yaitu apabila feses yang keluar berupa cairan, sehingga
dalam keadan ini akan sangat cepat terjadi kehilangan cairan dan berpotensi
menjadi dehidrasi.
2. Diare berdarah, atau biasa disebut disentri atau diare invasif, ditandai
dengan adanya darah yang bisa jelas terlihat dalam feses,pertanda bahwa
ada kerusakan pada intestinum dan akan kehilangan banyak unsur
makanan.
3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan atau
tidak disertai darah di dalam feses. Diare tipe ini multifaktorial, meliputi, faktor
infeksi, faktor nutrisi, dan faktor alergi. Diare persisten berisiko besar kearah
kematian, meski demikian tidak ada bakteri spesifik yang terkait dengan
diare tipe ini.18

3
2.3 Epidemologi
Di seluruh dunia, diare akut merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak-anak diberbagai negara yang sedang berkembang, setiap
tahun diperkirakan terjadi lebih dari 1 milyar kasus diare di dunia dengan 3,3
juta kasus kematian sebagai akibatnya. Insidens diare bervariasi menurut
musim dan umur. Anak-anak adalah kelompok usia rentan terhadap diare,
insiden diare tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua tahun, dan
menurun dengan bertambahnya usia anak. Kematian akibat diare akut secara
keseluruhan secara global menurun tetapi tetap tinggi. Diare merupakan
penyebab ke dua kematian pada anak, dengan 18 % dari 10,6 juta kematian
per tahun pada anak-anak di bawah 5 tahun.15

Gambar 1. Angka kematian balita


Sumber: Johansson EW, Wardlaw T, Binkin N, Blocklehurst C, Doonley T, Salamaan P, et al.
Diarrhoea : Why children are still dying what can be done. Unicef (WHO). Genewa. 2009;1-68

Di Indonesia, Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007


menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor satu
pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%).Berdasarkan kelompok umur,
prevalensi tertinggi diare terjadi pada anak balita (1-4 tahun), yaitu 16,7%. 5
Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. 19,20

2.4 Etiologi
Penyakit diare tidak hanya didapati di negara-negara berkembang atau
negara terbelakang saja, tetapi juga dijumpai di negara industri bahkan negara

4
sudah maju sekalipun, hanya di negara maju kejadian penyakit diare karena
infeksi jauh lebih kecil.21
Etiologi diare, pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui,
kini sebaliknya telah lebih dari 80% penyebabnya diketahui. Saat ini dapat
diidentifikasikan kurang lebih 25 jenis mikroorganisme yang dapat
menyebabkan diare pada bayi dan anak. Menurut World Gastroenterology
Organization global guidelines 2012, etiologi diare akut dibagi atas empat
penyebab :
1. Bakteri : Escherichia Coli, Shigella, Salmonella, Vibrio cholera, Bacillus
cereus, Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus,dll
2. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norovirus, Coronavirus, Astrovirus,dll
3. Parasit : Cryptosporidium parvum, Giardia Intestinalis, Entamoeba
histolytica, Balantidium coli, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, dll
4. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.21

2.5 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya diare akut cair dapat berupa sekresi (yang
kemudian disebut sebagai diare sekretori), atau berupa osmotik (yang
kemudian disebut sebagai diare osmotik). Diare sekresi biasanya disebabkan
karena adanya toksin yang dihasilkan oleh bakteri misalnya Vibrio cholerae , E
coli patogen. Kejadian osmosis pada diare osmotik disebabkan oleh adanya
senyawa purgatif, misalnya magnesium sulfat, atau adanya glukosa atau
laktosa yang tidak dapat dicerna di dalam usus.18

5
Gambar 2. Patofisiologi diare pada infeksi rotavirus.

Diare sekretori yang disebabkan oleh rotavirus dengan merusak struktur dan fungsi vili usus
halus sehingga menurunkan absorbsi.

Sumber : Black R. Epidemilogy diarrheal diseases. Johns Hopkins Univercity.


Baltimore;2007:1-35.

Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang


masuk melalui makanan dan minuman sampai ke enterosit, akan menyebabkan
infeksi dan kerusakan villi usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang
baru yang fungsinya belum baik, villi mengalami atropi dan tidak dapat
mengabsorpsi cairan dan makanan dengan baik, akan meningkatkan tekanan
koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya sehingga timbul diare. 22  
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang
berhubungan dengan pengaturan transport ion dalam sel-sel usus
cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella,

6
shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi
prinsipnya hampir sama. Bedanya bekteri ini dapat menembus (invasi) sel
mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik. Toksin
shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan
kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam
tinja yang disebut disentri.22

Gambar 3. A. Menggambarkan peristiwa di epitel yang terinfeksi. Proses berikut akan


ditampilkan dalam urutan dari kiri melalui empat sel . (i) Sel awal yang terinfeksi oleh virus,
diikuti masuknya virus dan proses uncoating, terbentuk viroplasma (Vi), serta pelepasan virus
dan protein virus. NSP4 (segitiga merah) kemungkinan dilepaskan melalui jalur sekretorik non-
klasik. Intrasel NSP4 juga menginduksi pelepasan Ca 2+ dari depo internal, terutama
endoplasma retikulum (biru), meningkatkan ion [Ca 2+]. (ii) Sel yang dikatakan mengalami infeksi
virus sekunder setelah pelepasan virus dari sel awal. NSP4 yang dihasilkan dari proses infeksi
mengganggu lapisan tight junction, memungkinkan aliran paracellular air dan elektrolit (panah
hijau). (iii) NSP4 mengikat reseptor tertentu pada sel dan memicu kaskade sinyal melalui PLC
dan IP3, mengakibatkan pelepasan Ca2+ dan peningkatan ion [Ca2+]. Ekspresi NSP4 tidak
menstimulasi PLC. Peningkatan ion [Ca 2+] bertindak untuk mengganggu sitoskeleton mikrovilli.
(iv) Sel coklat merupakan sel kripta. Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh NSP4, atau
NSP4 dapat menstimulasi sistem saraf enteral, yang merangsang sinyal peningkatan ion [Ca 2+]
yang menginduksi sekresi Cl-.
B. Arsitektur normal usus kecil, dengan sistem peredaran darah, sistem saraf enteral dan
ganglia dalam submukosa .
Dikutip dari : Ramig, R.F. 2004. Pathogenesis of intestinal and systemic rotavirus infection.
Journal of Virology, 78, 10213-10220.

2.6 Faktor Resiko


Berbagai faktor mempengaruhi kejadian diare, diantaranya adalah : 23
1. Umur
Kebanyakan episode diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan.
Insiden paling tinggi pada golongan umur 6-11 bulan, pada masa diberikan

7
makanan pendamping. Hal ini karena belum terbentuknya kekebalan alami
dari anak umur di bawah 24 bulan.

2. Jenis Kelamin
Resiko kesakitan pada golongan perempuan lebih rendah daripada laki-laki
karena aktifitas anak laki-laki dengan lingkungan lebih tinggi
3. Musim
Variasi pola musim di daerah tropik memperlihatkan bahwa diare terjadi
sepanjang tahun, frekuensinya meningkat pada peralihan musim kemarau ke
musim penghujan.
4. Status Gizi
Status gizi berpengaruh sekali pada diare. Pada anak yang kurang gizi
karena pemberian asupan makanan yang kurang, episode diare akut lebih
berat, sembuh lebih lama dan frekuensinya lebih sering. Kemungkinan
terjadinya diare persisten dan disentri juga lebih sering. Resiko meninggal
juga lebih tinggi.
5. Lingkungan
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kebersihan lingkungan,kebersihan
puting dan botol susu, maupun kebersihan air dan makanan. Di daerah yang
kumuh yang padat penduduk , kurang air bersih dan sanitasi yang buruk
penyakit diare mudah terjadi dan menular. Faktor kependudukan
menunjukkan bahwa insiden diare lebih tinggi pada penduduk diperkotaan
yang padat dan miskin.24
6. Status Sosial ekonomi
Status sosial ekonomi yang rendah akan mempengaruhi status gizi anggota
keluarga. Hal ini nampak dari ketidakmampuan ekonomi keluarga untuk
memenuhi gizi keluarga khususnya pada anak balita seingga mereka
cenderung memiliki status gizi kurang bahkan buruk yang memudahkan
balita tersebut mudah terkena diare. Faktor pendidikan yang utama adalah
pengetahuan ibu tentang masalah kesehatan, sedangkan faktor perilaku
orang tua dan masyarakat misalnya kebiasaan ibu yang tidak mencuci

8
tangan sebelum menyiapkan makanan, setelah buang air besar atau setelah
membuang tinja anak. 25

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis sangatlah penting untuk menegakkan diagnosis diare akut
karena dengan. anamnesa yang baik kita bisa memperkirakan penyebab
diarenya sekaligus dapat menilai status dehidrasi sehingga diagnosis dapat kita
buat dan segera mengetahui tatalaksana yang akan kita berikan . Pertanyaan
tentang diarenya meliputi onset, frekuensi BAB, kuantitas dan karakter diare
(cair, adanya lendir atau darah) dan muntah (adanya darah, bilious). Adanya
keluhan yang menggambarkan tanda-tanda dehidrasi juga harus kita gali dari
orang tua: misalnya rasa haus, mata terlihat cowong, air mata kering, buang air
kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan kesadaran. Gejala penyerta
harus kita tanyakan misalkan adakah panas, kembung,nyeri perut, nyeri saat
buang air besar, adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair,
kembung, iritasi pada pantat. Tanyakan juga tentang riwayat intake anak
sebelum dan pada saat sakit. Adakah penyakit penyerta lain dan riwayat
penyakit dan pengobatan sebelumnya, terutama 3 bulan terakhir juga penting
untuk diketahui karena mempengaruhi diagnosis dan tatalaksana. Riwayat
penyakit keluarga dan lingkungan jangan lupa untuk ditanyakan guna
membranous kita memperkirakan etiologi diarenya apalagi jika ada keluarga
yang menderita sakit yang sama,26

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan penilaian anak secara umum,
menilai tanda klinis dehidrasi. Semua anak dengan diare harus ditimbang tanpa
menggunakan pakaian untuk membandingkan dengan berat badan (BB)
sebelumnya dan memberikan dasar untuk pemantauan BB selama perjalanan
penyakit. Suhu, tekanan darah, dan denyut nadi semua dapat memberikan
informasi mengenai tingkat keparahan penyakit. Peningkatan suhu akibat
kehilangan cairan dan dapat menyebabkan lebih cepat dehidrasi. Penurunan

9
tekanan darah, denyut tinggi, atau penurunan perfusi perifer mungkin
menunjukkan penurunan volume intravaskular akibat dehidrasi. Pemeriksaan
fisik harus difokuskan pada tanda-tanda penyakit virus lainnya seperti infeksi
saluran pernapasan atas yang mungkin terkait dengan gastroenteritis, serta
pemeriksaan abdomen. Pemeriksaan abdomen harus dimulai dengan penilaian
umum apakah perut yang buncit atau skafoid. Perut buncit mungkin
berhubungan dengan ileus seperti yang terlihat dalam enteritis atau dilatasi gas
karena malabsorpsi. Skafoid perut mungkin berhubungan dengan dehidrasi
berat. Auskultasi mungkin menunjukkan suara bernada tinggi dan peningkatan
peristaltik ditemukan pada diare enterik dan sekresi. Tanda-tanda peritonitis,
yang dapat menyebabkan diare karena peradangan dan iritasi usus lokal, juga
harus dievaluasi secara hati-hati.26,27

2.7.3 Evaluasi Laboratorium


Evaluasi laboratorium awal yang paling penting adalah terkait dengan
penilaian derajat dehidrasi. Elektrolit serum, terutama natrium dan bikarbonat,
harus dinilai pada setiap anak yang dianggap signifikan dehidrasi. Mengetahui
konsentrasi natrium serum sangat penting saat menentukan komposisi cairan
dan tingkat rehidrasi yang akan digunakan pada anak yang mengalami
dehidrasi. Mengetahui kadar bicarbonat sangat membantu dalam menentukan
derajat dehidrasi. Perfusi jaringan akan menurun akibat meningkatnya
dehidrasi, jumlah asam laktat dalam jaringan perifer akan meningkat dan
konsentrasi bikarbonat menurun. Konsentrasi BUN yang meningkat dengan
nilai kreatinin relatif normal dapat menunjukkan dehidrasi . Konsentrasi kreatinin
serum cenderung rendah pada bayi dan anak-anak. Sebuah analisis urin untuk
berat jenis serta adanya leukosit, keton, dan bahan kristal harus diperiksa untuk
setiap anak yang dianggap dehidrasi. Karena infeksi saluran kemih pada anak-
anak dapat berhubungan dengan diare, kultur urine harus dilakukan jika ada
leukosit dalam urin.27
Pada pasien dengan diare akut, evaluasi berikut harus dilakukan:
 Penentuan leukosit tinja
 Kultur feses untuk patogen enterik

10
 Pemeriksaan tinja untuk ova dan parasit
 Flexible sigmoidoscopy dengan biopsi
Pada anak immunocompromised, pertimbangan khusus harus diberikan
untuk pembiakan untuk berbagai organisme yang dapat menjadi patogen dalam
host tersebut.28

Gambar 4. Bagan evaluasi pasien dengan Diare Akut

Sumber : Farthing M, Lindberg G, Dite P I. Khalif I, Salazar-Lindo E, Ramakrishna BS, et al.


Acute diarrhea. WGO Practice Guidelines. 2008:1-19

2.8 Gejala Klinis


Gambaran klinis kadang-kadang memberikan petunjuk untuk
menentukan penyebabnya. Gambaran klinis yang penting antara lain mencret >
3x per hari, bisa disertai dengan mual, muntah, demam, tenesmus,
hematochezia atau darah dalam tinja dan adanya tanda-tanda penurunan
volume cairan (termasuk haus, takikardia, penurunan produksi urin, turgor kulit,
dan penurunan kesadaran).27
Pasien yang keracunan atau mengalami infeksi yang menghasilkan
toksin biasanya gejala yang menonjol adalah mual dan muntah, bersama
dengan diare cair tapi jarang mengalami demam tinggi. Muntah mendadak yang
terjadi 6 jam setelah makan makanan biasanya menunjukkan keracunan
makanan yang disebabkan oleh toksin bakteri seperti Staphiloccus aureus atau
B. cereus. Jika penyakit diare dimulai dalam waktu 8-14 jam makan makanan
maka harus dicurigai infeksi Clostridium perfringens. Ketika masa inkubasi lebih
lama dari 14 jam dan muntah juga merupakan gejala yang signifikan, disertai

11
dengan diare, agen virus harus dipertimbangkan. Parasit yang tidak menyerang
mukosa usus, seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium, biasanya
menyebabkan abdominal discomfort ringan. Giardiasis dapat berhubungan
dengan steatorrhea ringan, produksi gas yang berlebih, dan kembung.27,28
Infeksi bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella, Shigella spp
dan, dan organisme yang menghasilkan sitotoksin, seperti C. difficile dan
enterohemorrhagi E. coli (serotipe O157: H7) sering mengakibatkan sakit perut,
dan demam ringan. Organisme Yersinia sering menginfeksi ileum terminal dan
sekum dengan klinis nyeri pada kuadran kanan bawah .28
2.9. Komplikasi Diare Akut
Komplikasi diare dapat berupa :
- Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : dehidrasi, hipokalemia,
hiponatremia, hipernatremia.
- Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik
- Gangguan sirkulasi darah : syok hipovolemik
- Gangguan gizi : hipoglikemia, malnutrisi energi protein, intolerasi laktosa
sekunder.27,29

12
BAB III
DEHIDRASI SEBAGAI KOMPLIKASI DIARE AKUT

3.1 Komposisi Cairan Tubuh


Cairan tubuh terbagi menjadi cairan intraseluler (CIS) dan cairan
ekstraseluler (CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat
diukur dengan mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah
CIS sebanyak 30%-40% dari berat badan (BB). CIS merupakan representasi
dari jumlah cairan dari berbagai macam sel di seluruh tubuh, yang tersebar dan
mempunyai fungsi dan komposisi yang berbeda-beda.29
Gambar 5 menjelaskan tentang diagram Winters dengan pembagian
total cairan tubuh, cairan intraseluler dan ekstraseluler berdasarkan fungsi dan
usia. Volume CES pada fetus lebih besar dibanding CIS, tetapi rasio CES dan
CIS ini akan berubah setelah umur 6 bulan, CES akan berkurang secara
relative disebabkan karena pertumbuhan sel jaringan lebih cepat dibanding
pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah itu jumlah CES
akan bertambah seiring bertambahnya BB.

Gambar 5 . Diagram Winters dengan pembagian total cairan tubuh, cairan intraseluler dan
ekstraseluler berdasrakan fungsi dan usia. Berdasarkan tujuan klinis digunakan rule of 3: 1.
1.Total cairan tubuh mewakili 2/3 massa tubuh;2. Kompartemen intraseluler mengandung 2/3
total cairan tubuh dan sisanya (1/3) mengisi kompartemen ekstraseluler; 3.Kompartemen

13
ekstraseluler dibagi menjadi intersisial dan intravaskuler (volume darah).
Sumber : Bianchetti MG, Simonetti GD, Bettinelli A. Body fluids and salt metabolism-part I. Ital J
Pediater. 2009;35:1-6.

. Pada keadaan hidrasi normal jumlah CES pada anak 20%-25% BB


yang tebagi dalam cairan plasma 5%BB, cairan intersisial 15% BB dan cairan
transelluler 1%-3% BB. Cairan transelluler terdiri dari cairan di saluran
gastrointestinal, cairan serebrospinal, intraokuler, pleural, peritoneal dan cairan
synovial.29
Cairan intraseluler terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah K +,
Na+, Mg2+, PO4-, HCO3- dan HHCO3. Elektrolit yang terbanyak adalah K +.
Plasma darah terdiri dari protein, Ca2+,Cl-, K+, Na+, Mg2+, PO4-, HCO3- dan
HHCO3 dan non elektrolit. Cairan intersisial terdiri dari Na +, Cl-, K+, Ca2+ , Mg2+,
PO4-, HCO3- dan HHCO3 dan non elektrolit.Elektrolit terbanyak Na +. Membran
sel berfungsi sebagai barier primer perpindahan zat-zat antara CES dan CIS.
Ion-ion seperti Na+ dan K+ berpindah melalui mekanisme pompa Na +/K+ yang
berlokasi di membrane sel. Distribusi elektrolit diantara kompartemen tubuh
dipengaruhi oleh potensial listriknya. 29
Gambar 6 menjelaskan mekanisme transport ion pada sel ileum.
Transporter ion pada multiple brush border menyebabkan terjadinya
pertukaran pasangan ion (Na+ dan H+). Basolateral-membrane carriers
memfasilitasi difusi larutan organik dan tidak berbarengan dengan pergerakan
ion. Na/K-ATPase di membran basolateral menggunakan energi dari hidrolisis
ATP untuk mengeluarkan Na dan memasukkan K (dengan perbandingan ion
3:2). Kedua ion ini bergerak melawan gradien elektrik. Kanal K + dan Cl-
dimembran basolateral membuka merespon terhadap pembengkakan sel dan
peningkatan kadar Ca+ intraseluler. Potensial elektrik berkisar 30-40mV relatif
negatif terhadap lumen sehingga memicu pergerakan ion Na masuk ke Na-
organic solut cotransport . G, glucose or galactose; AA : amino acid; BA : bile
acid anion; OP : oligopeptide; Opase : oligopeptidase

14
Gambar 6 : Mekanisme transport ion pada sel ileum. Transporter multiple brush border ion
dimana terjadi pertukaran pasangan ion (Na+ dan H+).
Sumber : Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J. Clin. Invest.
2003;111:931–43.29

3.2 Patofisiologi yang mendasari manifestasi klinis dehidrasi


Dehidrasi menggambarkan keadaan keseimbangan cairan negatif yang
mungkin disebabkan oleh berbagai penyakit. Penyakit diare adalah etiologi
yang paling umum. Di seluruh dunia dehidrasi sekunder akibat penyakit diare
adalah penyebab utama kematian bayi dan anak. Anak-anak lebih rentan
terhadap dehidrasi karena kebutuhan cairan lebih besar, ginjal yang belum
matur, dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri secara
mandiri. Anak yang lebih tua menunjukkan tanda-tanda dehidrasi lebih cepat
dari bayi karena kadar cairan ekstraselulernya (CES) lebih sedikit. 29,30
Sebagian besar volume dehidrasi adalah cairan ekstraseluler. Ruang
cairan ekstraseluler memiliki dua komponen plasma dan getah bening sebagai
sistem pengiriman, dan cairan interstitial untuk pertukaran zat terlarut.30
Dehidrasi disebabkan:31
a. Intake kurang : minum kurang, anoreksia,hipodipsi karena gangguan fungsi
hipotalamus.
b. Pengeluaran meningkat
- Keringat banyak atau insisible loss meningkat (hiperventilasi, panas tinggi,
kistik fibrosis)

15
- Osmotic dieresis renal loss; diabetes
- Non osmotic; diabetes insipidus defisiensi anti diuretic hormone (ADH),
penyakit ginjal kronis
- Kehilangan natrium; Na losing nefropathy, pemakaian diuretik
- Kehilangan melalui pencernaan ; diare, iliostomi, muntah, fistula
Dehidrasi dapat dikategorikan sesuai dengan osmolaritas dan tingkat
keparahan. Natrium serum merupakan pengganti penanda yang baik dari
osmolaritas pada pasien dengan glukosa serum normal. Dehidrasi mungkin
isonatremic (130-150 mEq/ L), hyponatremic (<130 mEq / L), atau
hypernatremic (>150mEq/L). Dehidrasi Isonatremic adalah yang paling umum
(80%). Hypernatremic dan dehidrasi hyponatremic masing-masing terdiri dari 5-
10% kasus.30
Variasi natrium serum mencerminkan komposisi cairan yang hilang dan
memiliki efek patofisiologis yang berbeda, sebagai berikut:
• Dehidrasi Isonatremic (isotonik) terjadi ketika cairan yang hilang sama dalam
konsentrasi natrium darah. Hilangnya Natrium dan air besarnya relatif sama
banyak di intravaskular dan kompartemen cairan ekstravaskuler. Merupakan
dehidrasi paling sering pada anak.Hal ini terjadi bila kehilangan air dan
natrium dalam proporsi yang sama dengan keadaan normal yang ditemui
pada cairan ekstraseluler.
• Dehidrasi hyponatremic (hipotonik) terjadi ketika cairan yang hilang berisi
lebih banyak natrium daripada darah (kehilangan cairan hipertonik). Relatif
lebih banyak kehilangan natrium daripada air. Karena natrium serum
rendah, pergeseran air intravaskular ke ruang ekstravaskular, penurunan
volume intravascular berlebih dengan jumlah tertentu total kehilangan air
tubuh. Anak dengan diare yang minum air dalam jumlah besar atau cairan
hipotonik yang mengandung konsentrasi garam yang rendah atau
mendapatkan infus glukosa 5% dalam air bisa terjadi hiponatremia. Hal ini
terjadi karena air diabsorbsi dari usus sementara kehilangan garam (NaCl)
tetap berlangsung dan menyebabkan kekurangan natrium dan kalium. 30

16
Gambaran utama dehidrasi hiponatremi :
1. Konsentrasi natrium serum rendah(<130mmol/L)
2. Osmolaritas serum rendah (<275 mOsmol/L)
3. Letargi ,kadang-kadang kejang
 Dehidrasi Hipernatremi (hipertonik) terjadi ketika cairan yang hilang
mengandung sodium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonik).
Karena natrium serum tinggi, pergeseran air ekstravaskuler ke ruang
intravaskular, meminimalkan penurunan volume intravaskular dengan jumlah
tertentu total kehilangan air tubuh. Beberapa anak yang diare terutama bayi,
sering menderita dehidrasi hipernatremi. Pada keadaan ini didapatkan
kekurangan cairan dan kelebihan natrium. Ini biasanya akibat pemasukan
cairan hipertonik pada saat diare yang tidak diabsorbi secara efisien dan
pemasukan air yang tidak cukup. Cairan hipertonik ini menyebabkan
perbedaan osmotik sehingga seringkali air mengalir dari cairan ekstraseluler
dan terjadi peningkatan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler.
30
Gambaran utama dehidrasi hipernatremi adalah:
1. Konsentrasi natrium serum meningkat (>150mmol/L)
2. Osmolaritas serum meningkat (>298 mOsmol/L)
3. Sangat haus dan iritabel
4. Kejang mungkin terjadi terutama jika kadar natrium serum
>165mmo/L.

17
Gambar 7. Kompartemen intraseluler dan ekstraseluler pada anak dengan dehidrasi.
Kompartemen ekstraseluler diperkirakan 20% dan intraseluler 40% dari total cairan tubuh
pada kondisi normal (panel paling atas). Panel kedua, ketiga dan keempat menggambarkan
hubungan antar kompartemen intraseluler dan intraseluler pada anak dengan dehidrasi terkait
dengan diare akut. Panel kedua menggambarkan dehidrasi dengan normotonik-
normonatremia. Panel ketiga menggambarkan dehidrasi dengan hipotonik-hiponatremia
(kehilangan cairan terutama dari ekstraseluler). Panel keempat menggambarkan dehidrasi
dengan hipertonik-hipernatremia (kehilangan cairan terutama dari intraseluler). Panel
terbawah menggambarkan dehidrasi hipertonik-normonatremia (pada anak dengan diabetik
ketoasidosis).

Sumber : Bianchetti MG, Simonetti GD, Bettinelli A. Body fluids and salt metabolism-part I. Ital J
Pediater. 2009;35:1-630

Pada diare, kehilangan air dan elektrolit disebabkan karena pengeluaran


tinja. Kehilangan sejumlah air dan elektrolit bertambah bila ada muntah dan
panas. Pada bayi pengeluaran feces dalam keadaan normal 5-10
gram/kgBB/hari sedang pada anak di atas 3 tahun, pengeluaran feses
mendekati orang dewasa yakni 100 gram/hari. 31

18
Sebagai akibat kekurangan cairan dan elektrolit (Na,Cl) di dalam sel
epitel usus, cairan dan elektrolit (Na,Cl) akan mengalir ke dalam sel epitel usus
yang seterusnya akan dikeluarkan ke lumen usus. Kekurangan cairan
(dehidrasi) dan kekurangan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia dan
sebagainya) dapat terjadi bila kondisi tersebut berlangsung terus menerus.29,31
Jumlah feses dan frekuensi buang air besar mempengaruhi prognosis
diare. Penelitian sebelumnya (Bhattacharya Sk,1995 dan zodpey SP,1998)
mendapatkan frekuensi buang air besar lebih dari 8 kali per hari merupakan
faktor resiko terjadinya dehidrasi.31
Gejala muntah bisa mendahului timbulnya diare. Muntah-muntah yang
hebat dan berulang akan menyebabkan hilangnya H dan Cl yang manifestasi
sebagai alkalosis metabolic yang dapat menyebabkan cardiac arrest. Frekwensi
muntah lebih dari 2 kali per hari merakan faktor resiko terjadinya dehidrasi
(Bhattacharya Sk,1995 dan zodpey SP,1998). 31
Insensible losses meningkat oleh peningkatan kerja metabolism,seperti
pada keadaan demam, dalam hal ini setiap peningkatan 1 C di atas suhu tubuh
berhubungan dengan peningkatan insensible losses sebesar 10-12%.
Temperatur di atas 99 F juga merupakan faktor resiko terjadinya dehidrasi.
(Bhattacharya Sk,1995 dan zodpey SP,1998). 31
Salah satu pertahanan primer tubuh untuk melawan dehidrasi atau
penurunan volume cairan extraseluler adalah mekanisme rasa haus dan
menghasilkan kemampuan tubuh untuk memperoleh air. Bila terjadi kenaikan
osmolalitas 1-2% atau bila terjadi kekurangan cairan sampai 10% atau lebih ,
maka akan terjadi rangsangan haus yang disertai rangsangan terhadap
hipofisiis, sehingga terjadi pengeluaran hormon anti diuretic (ADH). 32
3.3 Akibat dari dehidrasi
Dehidrasi menyebabkan penurunan volume ekstraseluler yang
menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan. Berkurangnya volume
menyebabkan peningkatan nadi sebagai kompensasi karena jantung berusaha
untuk meningkatkan output.33
Berkurangnya perfusi jaringan juga menghambat fungsi ginjal sehingga
menyebabkan asidosis dan uremia. Apabila terdapat pengurangan dalam

19
pemasukan kalori atau ketidakmampuan menstabilisasi kalori yang masuk,
dapat timbul ketoasidosis.33

Dehidrasi

Perfusi ginjal ↓ Volume plasma↓ Starvasi


Perfusi ↓

Asidosis dan uremia O2 jarinangan↓ Ketoasidosis


Metabolisme anaerob
Asidosis laktat

Gambar 8. Skema akibat dehidrasi


Sumber : Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh RG. Sindroma Diare: Gangguan
absorbsi-sekresi, 2nd Edition. Surabaya: Gramik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD dr Setomo; 1999:1-142.34

3.4 Manifestasi dan klasifikasi klinis dehidrasi


3.4.1 Penilaian secara klinis
Sebagai akibat kehilangan cairan (dehidrasi) yang berlangsung sangat
cepat, berat badan akan turun dalam waktu yang sangat singkat pula, karena
sebagian besar tubuh terdiri atas cairan. Tergantung kepada banyak sedikitnya
kehilangan berat badan, berdasarkan WHO 2009 dehidrasi diklasifikasikan
menjadi tidak ada dehidrasi bila penurunan berat badan kurang dari 5 %,
dehidrasi sedang bila penurunan berat badan 5-10% dan dehidrasi berat bila
penurunan lebih dari 10% (tabel.1). Berat ringannnya dehidrasi akan
menentukan jenis terapinya dan prognosis serta pertumbuhannya di kemudian
hari.14

20
Tabel 1 . Estimasi defisit cairan berdasarkan WHO

Sumber : WHO. The treatment of diarrhea : a manual for physicians and other health workers.
4th rev. Genewa. 2005;1-5032
Keluhan muntah, diare, atau asupan oral menurun sangat sensitif , tapi
tidak spesifik, untuk mengidentifikasi dehidrasi pada anak-anak. Anak yang
tidak mengalami diare, memiliki asupan oral normal, dan memiliki keluaran urin
normal memiliki kemungkinan dehidrasi rendah. Demikian juga ketika orang
tua ditanya tentang tanda-tanda fisik dehidrasi, sejumlah jawaban positif
menunjukkan dehidrasi. Namun, jika orang tua melaporkan produksi air mata
32
normal, kemungkinan dehidrasi rendah
Studi yang dilakukan Goldman dkk (2008), empat faktor yang dapat
digunakan untuk menilai status dehidrasi yaitu waktu pengisian kapiler lebih
dari dua detik, tidak adanya air mata, selaput lendir kering, dan penampilan
umum lemah; adanya dua atau lebih dari tanda-tanda ini menunjukkan defisit
cairan minimal 5%. Dalam skala mempunyai validitas yang sama, kondisi
umum, mata cowong, membran mukosa, dan produksi air mata dikaitkan
dengan lama tinggal di rumah sakit dan kebutuhan cairan infus pada anak
dengan gastroenteritis akut.35 Waktu pengisian kapiler dilakukan pada suhu
kamar hangat, dan diukur pada sternum bayi dan di jari atau lengan sejajar
jantung pada anak-anak yang lebih tua. Pengukuran tidak terpengaruh oleh
demam dan harus kurang dari dua detik.36
Penilaian turgor kulit dilakukan dengan cara mencubit kulit di dinding
perut lateral pada tingkat umbilikus. Turgor (yaitu, waktu yang dibutuhkan untuk
kulit untuk kembali) biasanya sesaat dan meningkat secara linear dengan

21
tingkat dehidrasi.37 Pola pernapasan dan denyut jantung harus dibandingkan
dengan nilai normal usia tertentu.

3.4.2 Penilaian Laboratorium


Tidak seperti pada orang dewasa, perhitungan rasio urea nitrogen darah
(BUN) / kreatinin tidak berguna pada anak-anak. Meskipun tingkat BUN normal
adalah sama untuk anak-anak dan orang dewasa, perubahan kadar kreatinin
serum abnormal 0,2 mg per dL [17.68 umol per L] pada bayi dan 0,8 mg per dL
[70,72 umol per L] pada remaja). BUN dan berat jenis urine juga memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang buruk untuk memprediksi dehidrasi pada
anak-anak.37 Dalam kombinasi dengan skala dehidrasi klinis, kadar bikarbonat
serum < 17 mEq per L (17 mmol per L) dapat meningkatkan sensitivitas
identifikasi dehidrasi sedang untuk hipovolemia berat. Sebuah studi prospektif
yang dilakukan oleh Wathen JE juga membuktikan kegunaan parameter klinis
dan laboratorium untuk memprediksi persentase dehidrasi pada anak-anak.38

22
BAB IV
SISTEM SKORING SEBAGAI PREDIKSI DEHIDRASI PADA DIARE AKUT

4.1 Keluhan Klinis sebagai prediktor dehidrasi


Skala klasifikasi untuk menilai derajat dehidrasi pertamakali tahun 1992
rekomendasi dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) dan tahun
1996 pedoman dari American Academy of Pediatrics (AAP).40 Berdasarkan
sistem klasifikasi CDS dan AAP, derajat dehidrasi ini dibagi menjadi dehidrasi
ringan (3-5% defisit cairan), dehidrasi sedang (6-9% defisit cairan ), dan
dehidrasi berat (10% defisit cairan). Sistem klasifikasi dehidrasi terbaru dari
WHO tahun 2009 membagi pasien menjadi tidak ada tanda-tanda dehidrasi
(5%), beberapa tanda-tanda dehidrasi (5-10%), dan dehidrasi berat (10%).
Estimasi ini digunakan untuk menentukan kebutuhan terapi dan jenis terapi
yang akan diberikan.41
Riwayat klinis pada anak yang datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD)
dengan muntah atau diare harus dinilai onset, frekuensi, kuantitas, dan karakter
dari muntah dan diarenya. Informasi tentang berat badan sebelum sakit,
riwayat asupan oral (termasuk ASI, formula, minuman lain dan makanan),
jumlah urine, dan gejala lain yang terkait, termasuk demam atau perubahan
status mental sangatlah penting. Riwayat medis harus mengidentifikasi
masalah medis yang mendasari, riwayat infeksi lainnya, obat-obatan, dan
status imunitas penderita.39
Selama pemeriksaan fisik, kondisi umum pasien harus dinilai. Secara
khusus, perlu dicatat jika anak lesu, apatis, atau kurang reaktif. Temuan penting
pemeriksaan lainnya termasuk penampilan mata (cekung atau tidak), ada atau
tidak adanya air mata, dan kondisi bibir dan mulut. Frekuensi dan kualitas
respirasi harus dicatat karena mereka dapat menjadi petunjuk untuk asidosis
metabolik. Pemeriksaan ektremities harus mencakup estimasi perfusi sistemik
dan capillary refill time (CRT)39.

23
Penilaian dehidrasi konvensional telah dilakukan dengan mengevaluasi
tanda-tanda klinis yang dianggap berhubungan dengan dehidrasi, seperti
kondisi umum, takikardia, nadi abnormal, mata cekung, tidak ada air mata,
selaput lendir kering, pernapasan abnormal, penurunan elastisitas kulit, CRT
lebih dari 2 detik, dan penurunan produksi urine. Penting untuk dicatat bahwa
penilaian dehidrasi, dengan menggunakan parameter klinis tersebut, cukup
tidak akurat dan biasanya overestimasi dehidrasi jika diuji terhadap standar
baku berat badan dengan rehidrasi.39 Ketika diteliti, temuan ini dalam studi
individu belum terbukti sensitive atau spesifik sebagai prediktor derajat
dehidrasi akan tetapi di studi populasi mempunyai spesifisitas yang tinggi
meskipun sensitivitasnya rendah.39
Penilaian klinis derajat dehidrasi yang dilakukan cepat dan akurat pada
bayi dan anak-anak dengan diare akut sangat menentukan cara penanganan
pasien dan prognosis selanjutnya. Tanda-tanda klinis tertentu dan gejala dapat
40,41
membantu menentukan derajat dehidrasi.
Tanda-tanda Klinis yang berhubungan dengan dehidrasi

Sumber: Gorelick MH, Kathy N, Shaw MD, Murphy RN, Kathleen O. Validity and reliability of
clinical signs in the diagnosis of dehydration in children. Pediatrics1997;99:1-6.

Beberapa Penelitian tentang tanda klinis sebagai prediktor dehidrasi


terangkum pada tabel 2.

24
Tabel 2. Penelitian tentang tanda klinis sebagai prediktor dehidrasi
Tahun Peneliti Jenis N Objek penelitian Hasil
penelitian
1990 Victora CG Retrospektif 201 Tanda klinis dehidrasi Muntah sebagai indicator
43
dkk dehidrasi mempunyai
sensitivitas lebih tinggi
dibanding frekwensi BAB
1997 Gorelick Prospektif 186 Validitas dan Tanda klinis konvensional
dkk44 reliabilitas berbagai yang digunakan valid dan
tanda klinis sebagai reliable meski sensitivitas
prediktor dehidrasi nya masih rendah

1998 Zodpey Prospektif 146 Tanda klinis dehidrasi Frekwensi BAB>8 x/hari,
31
SP muntah >2x/hari dan suhu
tubuh > 990F merupakan
faktor resiko terjadinya
dehidrasi
2003 Porter dkk45 Prospektif 132 Tanda klinis dehidrasi Keluhan orang tua (muntah,
diare,rewel,produksi urine,
mata cowong, mukosa
kering, air mata menurun,
UUB cekung ) memiliki
sensitivitas 73-100% dan
spesifisitas 0-43% sebagai
prediktor dehidrasi.
2004 Friedman Cohort 137 Tanda klinis dehidrasi Kondisi umum,mata,selaput
dkk46 prospektif lendir dan air mata adalah
parameter ukur paling
signifikan untuk dehidrasi
2004 Steiner 13 studi 1246 Validitas tanda,gejala -Tidak ada metode yang
dkk47 sistematis dan tes laboratorium mempunyai nilai tinggi
untuk evaluasi -3 prediktor dehidrasi yang
dehidrasi anak < 5 paling berguna CRT,turgor
tahun kulit dan pernapasan

Sebuah studi yang dilakukan oleh Victora CG dkk,(1990) tentang


episode diare yang memungkinkan penderita jatuh ke dalam keadaan dehidrasi
melakukan pengumpulan data dari ibu atau pengasuh yang mengetahui
keluhan dan tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh penderita anak dalam 24

25
jam pertama dari episode diare. Di dalam pengamatan tersebut tanda-tanda
klinis yang dapat dijadikan prediktor dehidrasi antara lain jumlah dan bentuk
tinja, muntah, rasa haus, demam, dan menurunnya nafsu makan dan
didapatkan hasil sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebagai berikut
(tabel 3 dan tabel 4) :4
Tabel 3. Keluhan Klinis sebagai prediktor dehidrasi (dikutip dari Victora
CG,1990)43

Indikator Sensitivitas Spesifisitas


Tanda tunggal/keluhan
Rasa haus 82% 47%
Frekwensi BAB > 6 kali/hari 71% 45%
Demam 60% 78%
Muntah 58% 78%
Nafsu makan menurun 57% 64%
Feces cair 53% 59%
Frewensi BAB> 9 x/hari 48% 71%
Lendir dalam feses 32% 70%
Darah dalam feses 6% 97%

Tabel 4. Kumpulan Keluhan Klinis sebagai prediktor dehidrasi (dikutip dari


Victora CG,1990)43

Indikator Sensitivitas Spesifisitas


Kombinasi keluhan
Rasa haus/demam/muntah 90% 38%
Rasa haus/demam 89% 44%
Rasa haus/muntah 89% 40%
Tiga tanda/klinis 85% 57%
Demam/muntah 75% 66%

Gorelick dkk (1997). melakukan uji coba prospektif untuk menilai


validitas dan reliabilitas berbagai tanda klinis sebagai prediktor dehidrasi pada
anak-anak dengan menggunakan berat badan setelah rehidrasi sebagai
standar. Dengan merekrut 186 anak usia 1bulan-5 tahun dengan diare,muntah
dan poor intake yang datang ke poli rawat jalan. Mereka menyimpulkan bahwa
tanda-tanda klinis konvensional yang digunakan valid dan reliable meskipun
sensitivitasnya masih rendah. Diagnosis dehidrasi klinis penting harus
berdasarkan kehadiran setidaknya 3 dari 10 temuan tanda klinis : penurunan

26
elastisitas kulit, capillary refill time, kondisi umum, air mata, pernapasan,
membran mukosa, mata cekung, nadi radial, takikardia, produksi urine. Temuan
ini umumnya memiliki sensitivitas rendah dan spesifisitas tinggi (pengecualian
adalah laporan orangtua tentang produksi urine menurun menunjukkan
sensitive tapi tidak spesifik).44
Tabel 5 . Diagnostik Performance 10 gejala klinis pasien dengan dehidrasi 44

Perhitungan prediktive values berdasarkan estimasi prevalensi dehidrasi 10%.


† Kappa values berdasarkan 84 pasien dengan 2 assesmen independen
Sumber: Gorelick MH, Kathy N, Shaw MD, Murphy RN, Kathleen O. Validity and reliability of
clinical signs in the diagnosis of dehydration in children. Pediatrics1997;99:1-6. 44

Tabel 6. Koefisien regresi logistic faktor-faktor Independen yang berhubungan dengan


dehidrasi43

Sumber: Gorelick MH, Kathy N, Shaw MD, Murphy RN, Kathleen O. Validity and reliability of
clinical signs in the diagnosis of dehydration in children. Pediatrics1997;99:1-6. 44
Penelitian yang dilakukan oleh Zodpey SP,1998 mendapatkan bahwa
frekwensi buang air besar yang lebih dari 8 kali per hari dan frekwensi muntah
yang lebih dari 2 kali per hari serta temperatur tubuh di atas 38,5 C merupakan
faktor-faktor resiko terjadinya dehidrasi.31

27
Porter.dkk (2003) menetapkan bahwa laporan orangtua tentang keluhan
anaknya (muntah, diare, asupan cairan, produksi urine,rewel) dan tanda-tanda
fisik (penampilan sakit, fontanella cekung, mata cekung, penurunan air mata,
mulut kering, dan ekstremitas dingin) terkait dengan dehidrasi memiliki nilai
prediksi untuk status dehidrasi dan outcome perawatan rumah sakit. 45 Para
penulis menemukan data yang dilaporkan orangtua memiliki sensitivitas yang
lebih besar 5% atau lebih (kisaran 73-100%) daripada spesifisitas (kisaran 0-
49%) untuk prediksi dehidrasi. Selanjutnya, kemungkinan dehidrasi mengalami
penurunan signifikan jika riwayat asupan cairan normal, keluaran urin normal,
dan produksi air mata normal. Pemeriksaan fisik harus mencakup berat badan
yang akurat, suhu, denyut jantung, laju pernapasan dan tekanan darah. Gold
standar untuk diagnosis dehidrasi adalah pengukuran penurunan berat badan
akut. Berat badan pasien sebelum sakit jarang diketahui; dengan demikian,
perkiraan defisit cairan yang dibuat biasanya berdasarkan penilaian klinis.
Dengan demikian, secara historis, pengukuran dehidrasi telah didasarkan pada
beberapa skala variabel klinis dibagi dalam tiga kategori yaitu ringan, sedang
dan berat.39,40
Friedman dkk (2004), mengadakan studi prospektif mengevaluasi anak
usia < 3 tahun dengan gastroenteritis. Anak-anak dinilai untuk dehidrasi
berdasarkan 12 tanda-tanda klinis. Perubahan berat badan dari sebelum dan
sesudah rehidrasi diukur dan digunakan sebagai standar baku untuk mengukur
prosentase dehidrasi. Para penulis menyimpulkan bahwa penampilan umum,
mata, selaput lendir, dan air mata adalah parameter ukur paling signifikan untuk
dehidrasi.46
Steiner dkk (2004). 13 studi sistematis (1.246 pasien) untuk menentukan
validitas tanda, gejala, dan tes laboratorium untuk evaluasi dehidrasi anak < 5
tahun. Tak satu pun dari kriteria penyelidikan yang ada ditemukan menjadi nilai
metodologi yang tinggi. Tiga prediktor yang paling berguna pada dehidrasi 5%
adalah capillary refill time abnormal (rasio kemungkinan [LR] 4.1; convidence
interval[CI] 95%1,7-9,8), turgor kulit abnormal (LR 2,5; 95% CI 1,5 4.2), dan
pola pernapasan abnormal (LR 2,0; 95% CI 1,5-2,7). 47 Akurasi diagnostik
ditingkatkan dengan penggunaan sistem skor klinis atau kombinasi temuan

28
klinis dan laboratorium. Penulis menganjurkan untuk menggunakan pedoman
WHO tahun 1995 dan Eropean Society of Pediatrics Gastroenterology,
Hepatology and Nutrition tahun 2001 yang mengklasifikasikan pasien ke dalam
3 kategori: tidak ada tanda-tanda dehidrasi (3-5%), beberapa tanda-tanda
dehidrasi (5 -10%), dan dehidrasi berat (10%). 41
Beberapa penelitian laboratorium telah diusulkan sebagai sarana untuk
membantu memprediksi derajat defisit cairan ini, termasuk nitrogen urea darah
(BUN), bikarbonat serum (HCO3), base excess, elektrolit, glukosa, dan End-tidal
karbon dioksida (CO2). Bukti untuk nilai prediktif BUN pada anak-anak
dehidrasi masih belum jelas. Berikut beberapa penelitian tentang peranan tes
laboratorium sebagai prediksi status dehidrasi (Tabel 7).
Tabel 7. Penelitian tes laboratorium sebagai prediksi dehidrasi
Tahun Peneliti Jenis penelitian N Objek penelitian Hasil

1997 Vega dan Prospektif 97 Evaluasi bikarbonat Kadar bikarbonat serum


51
Avner serum sebagai <17 mEq/L 77% sensitive
prediktor dehidrasi untuk dehidrasi sedang
dan 94% sensitive untuk
dehidrasi berat
1997 Teach dkk48 Retrospektif 40 Tes laborat petanda Rasio BUN/Cr serum
dehidrasi dan asam urat serum
mempunyai hubungan
yang signifikan dengan
peningkatan defisit cairan
1998 Narchi dkk52 106 Membandingkan Konsentrasi bikarbonat
kadar bicarbonat serum < 22 mmol/L lebih
serum untuk menilai banyak terjadi pada
dehidrasi dehidrasi berat tetapi
besarnya penurunan
kadar bikarbonat tidak
menunjukkan besarnya
defisit cairan.

2004 Shaoul dkk49 Retrospektif 300 Tes Laboratorium BUN >14,3 mmol/L 95 %
sebagai prediktor spesifik untuk status
dehidrasi dehidrasi

2004 Wathen dkk39 Prospektif 182 Tes laborat sebagai Serum elektrolit tidak
prediktor dehidrasi dapat memprediksi derajat
dehidrasi.

29
Teach dkk (1997). mempelajari sampel dari 40 anak yang membutuhkan
resusitasi cairan intravena. Variabel Laboratorium BUN ,creatinin (Cr), rasio
(BUN/Cr), CO2, asam urat serum, anion gap serum, urin anion gap, pH vena,
defisit vena dasar, sedimen urine, dan ekskresi fraksional natrium secara
individual dinilai dalam linear sederhana dengan model regresi defisit cairan
sebagai variabel dependen. Penulis menemukan BUN / Cr serum dan asam urat
serum untuk secara signifikan terkait dengan meningkatnya defisit cairan
(masing-masing r= 52, p= 0,0005 dan r= 0,35, p= 0,03). Namun, sensitivitas,
spesifisitas, dan nilai prediksi positif dari dua penelitian laboratorium ini untuk
mendeteksi defisit cairan 5% menunjukkan hasil yang rendah. 48
Shaoul dkk (2004), dalam studi retrospektif 300 kasus anak. Mereka
menemukan BUN >14,3 mmol / L pada 5% anak-anak yang tidak mengalami
dehidrasi, 26% pada anak-anak dengan dehidrasi ringan, dan 38% pada anak-
anak dengan dehidrasi sedang. Dalam penelitian ini, konsentrasi BUN ditemukan
95% spesifik status dehidrasi. Konsentrasi kreatinin dan rata-rata pH sama
meskipun pada kasus non dehidrasi.49 Sebaliknya, Bonadio dkk. melaporkan
bahwa besarnya konsentrasi BUN bukan metode yang akurat untuk menilai
status dehidrasi pada anak-anak dengan dehidrasi akibat gastroenteritis. 50
Peneliti lain telah melihat kadar bikarbonat serum dan konsentrasi base
excess sebagai prediktor dehidrasi pada anak-anak. Narchi (1998)
membandingkan tingkat bikarbonat serum untuk penilaian klinis dehidrasi oleh
dokter IGD. Konsentrasi bikarbonat serum < 22 mmol / L lebih umum pada anak-
anak dengan dehidrasi berat. Meskipun konsentrasi bikarbonat menurun lebih
sering terjadi dengan meningkatnya derajat dehidrasi, besarnya penurunan
bikarbonat tidak berbeda signifikan dengan peningkatan derajat dehidrasi.
Penulis menyimpulkan bahwa penurunan konsentrasi bikarbonat tidak
menunjukkan derajat defisit cairan.52
Vega dan Avner (1997), dan Yilmaz dkk (2003). mengevaluasi
sensitivitas bikarbonat serum dalam memprediksi tingkat dehidrasi dengan
membandingkan sebelum dan sesudah rehidrasi berat pada anak-anak. Vega
dan Avner menemukan bahwa kadar bikarbonat serum <17 mEq / L adalah 77%
sensitif untuk dehidrasi sedang dan 94% sensitif untuk dehidrasi berat. Dalam

30
investigasi Vega, ketika tanda klinis dikombinasikan dengan konsentrasi
bikarbonat < 17 mEq / L, sensitivitas untuk prediksi dehidrasi berat meningkat
menjadi 100%.51,52 Temuan-temuan dari Yilmaz et al. menunjukkan bahwa kadar
bikarbonat serum kurang dari 15 mEq/L bersama dengan konsentrasi urea
serum yang meningkat mungkin merupakan penunjang penilaian klinis untuk
memprediksi derajat dehidrasi. Namun, dalam setiap studi ini, banyak anak-anak
yang dinilai hanya dehidrasi ringan dengan evaluasi klinis atau dehidrasi berat
ditemukan memiliki tingkat bikarbonat di bawah ambang batas yang dipilih untuk
perhitungan sensitivitas. Spesifisitas dari kadar bikarbonat rendah sebagai
prediktor derajat dehidrasi didefinisikan oleh para penulis ini adalah sangat
rendah. Kedua penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi bikarbonat dapat
menjadi tambahan yang berguna untuk evaluasi klinis dalam penilaian
dehidrasi.52
Elektrolit serum saja mungkin tidak efisien dan sensitif atau spesifik
untuk memprediksi derajat dehidrasi, tetapi kadar elektrolit serum ini dapat
menghasilkan informasi yang berguna lainnya. Wathen dkk., dalam studi
prospektif meneliti 182 pasien dengan dehidrasi dan menemukan bahwa 88
memiliki nilai serum elektrolit abnormal yaitu 9,9% hipoglikemia, 6% hipokalemia,
dan 3 % hypernatremia. Namun, Wathen dkk menemukan bahwa 10,4 % kasus
mendapatkan manajemen perubahan elektrolit serum. Secara keseluruhan, pada
sebagian besar pasien dengan diare akut tanpa penyulit, elektrolit serum tidak
membantu dalam memprediksi tingkat dehidrasi atau menentukan manajemen
yang tepat dari pasien.39
Hipoglikemia dapat menyertai dehidrasi. Beberapa investigasi telah
dilakukan di negara berkembang di mana, tidak seperti negara-negara maju,
bakteri yang patogen biasanya bertanggung jawab untuk diare menyebabkan
dehidrasi, dan dehidrasi sering terjadi pada anak yang kekurangan gizi kronis.
Hirschhorn dkk, menemukan 2% dari anak-anak Pakistan umur 1 sampai 6 tahun
dengan dehidrasi sekunder gastroenteritis menjadi hipoglikemik. Mayoritas
memiliki bakteri patogen sebagai etiologi gastroenteritis mereka. Tak satu pun
dari anak-anak dalam penelitian ini adalah kekurangan gizi. 54

31
Glyn-Jones menemukan 7,9% dari pasien anak Afrika Selatan umur 2
sampai 35 bulan dengan dehidrasi sekunder gastroenteritis menjadi
hipoglikemik. Hipoglikemia lebih umum pada hipothermia dan malnutrisi. Daral
dkk menjelaskan bahwa 14% dari anak-anak India (usia kurang 3 bulan) yang
mengalami dehidrasi karena diare menjadi hipoglikemik. Lima puluh lima persen
anak-anak memiliki bakteri patogen terisolasi.55
Bennish dkk, Pada penelitian terbesar, menemukan 4,5% pasien berusia
15 tahun MRS karena diare menjadi hipoglikemik. Enam puluh lima persen
diidentifikasi memiliki bakteri patogen dan 39% mengalami kekurangan gizi.
Anak-anak yang ditemukan hipoglikemik pada kasus berpuasa lama , kejang
(35%), dan perubahan status mental. 56
Huq dkk., menjelaskan bahwa 11% dari hipoglikemia dapat menyertai
dehidrasi. Tujuh persen bakteremik dan satu-setengah sampai tiga perempat
dari pasien hipoglikemik adalah kekurangan gizi. Kejang dan tingkat kematian
yang lebih tinggi yang ditemukan pada anak-anak hipoglikemik. Data di atas
adalah menarik tetapi sulit untuk diterapkan pada dehidrasi di negara maju di
mana kekurangan gizi dan bakteri penyebab diare yang kurang umum.57
Reid dan Losek melakukan investigasi retrospektif dengan tujuan
memperkirakan prevalensi hipoglikemia pada pasien anak dengan dehidrasi
pada negara maju. Para penulis meninjau catatan dari 196 anak-anak usia
1bulan-5 tahun. Mereka melaporkan bahwa 18 anak (9,2%) yang hipoglikemik.
Durasi muntah lebih panjang untuk anak-anak dengan hipoglikemia (2.6 hari,
SD+ 1,5) dibandingkan mereka yang tidak hipoglikemia (1.6, SD+ 1,8; 95% CI
0,13-1,88). Tak satu pun dari anak-anak hypoglikemi ditemukan memiliki
perubahan status mental atau menjadi hipotensi.58
Penelitian kedua oleh Reid dkk., merekrut 184 anak-anak untuk
mengidentifikasi variabel yang terkait dengan hipoglikemia.59 Para penulis
menemukan bahwa antara jenis kelamin perempuan, gejala neurologis
hipoglikemia, dan muntah banyak atau diare sering berhubungan lebih dekat
dengan hipoglikemia. Meskipun, variabel klinis ini tidak memiliki cukup
sensitivitas atau spesifisitas untuk secara akurat memprediksi anak-anak dengan
diare yang hipoglikemik. Untuk saat ini, investigasi definitive menggambarkan

32
indikasi untuk menilai cepat glukosa pada anak dehidrasi tidak ada. Menurut
Reid dan Losek, hipoglikemia relatif umum pada anak-anak kurang dari 5 tahun
dengan dehidrasi karena diare akut.58 Pendekatan yang masuk akal akan
mengadopsi kebijakan liberal mendapatkan glukosa yang cepat, seperti risiko
mendapatkan hasil yang rendah dan tampaknya bahwa mengidentifikasi
hipoglikemia pada anak dehidrasi berdasarkan klinis saja merupakan tantangan.
Peran sedimen urine untuk menilai status dehidrasi pada diare akut
masih dipertanyakan dengan alasan: pertama, anak dehidrasi sering tidak
buang air kecil sampai rehidrasi telah dimulai, ke dua sebagaimana yang
ditemukan pada investigasi oleh Oppliger dkk.dan Popowski dkk., nilai sedimen
urine cenderung tertinggal dari status hidrasi yang sebenarnya. Terlebih lagi,
penggunaan sedimen urin pada neonatus dan bayi muda tidak dapat
diandalkan, karena kemampuan konsentrasi ginjal baru sempurna pada usia 1
tahun.60,61
4.2 Sistem scoring sebagai prediksi dehidrasi/keparahan pada anak
dengan diare akut
4.2.1 Skala Dehidrasi Noerasid
Menurut Noerasid klasifikasi dehidrasi berdasarkan tanda klinis di bagi
menjadi 3 kategori (Tabel 6): dehidrasi ringan apabila ditemukan tanda haus
dan oliguria ringan, dehidrasi sedang jika didapatkan tanda klinis dehidrasi
ringan ditambah dengan mata cowong, ubun-ubun besar cekung dan turgor
kulit menurun, sedangkan dehidrasi berat jika terdapat tanda-tanda dehidrasi
ringan dan sedang ditambah dengan gangguan susunan saraf pusat yaitu
penurunan kesadaran, gangguan pulmo kardiovaskuler yaitu gangguan
perfusi/syok dan adanya pernafasan Kusmaull.10 Skala Noerasid ini digunakan
untuk menilai derajat dehidrasi

Tabel 8. Klasifikasi dehidrasi berdasarkan tanda klinis menurut Haroen


Noerasid

Gejala klinis Dehidrasi ringan Dehidrasi sedang Dehidrasi Berat


Keadaan Umum
Kesadaran Baik Gelisah Apatis-koma
Rasa haus + ++ +++

33
Sirkulasi
Nadi Normal Cepat Cepat sekali
Respirasi
Pernafasan Biasa Agak cepat Kusmaull (cepat dan dalam)
Kulit
Turgor dan tonus Normal Menurun Menurun
Mata Agak cowong Cowong cowong sekali
Produksi urine Normal Oliguria Anuria
Ubun-ubun besar Agak cekung Cekung Cekung sekali

Sumber : Noerasid H, Suraatmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (diare) Akut


Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta: Balai FKUI.1988; hal 51-76 10

4.2.2 Sistem skoring Gorelick


Sebagian besar ahli setuju bahwa anak-anak dengan diare harus
ditangani sesuai dengan derajat dehidrasi mereka, pemberian cairan infus
untuk dehidrasi berat dan solusi rehidrasi oral untuk dehidrasi ringan sampai
sedang, tidak ada konsensus yang jelas tentang cara terbaik untuk menentukan
derajat dehidrasi, terutama di tempat dengan sumber daya terbatas. Dengan
standar baku untuk dehidrasi adalah prosentase kehilangan volume cairan
karena diare, yang didefinisikan sebagai perbedaan antara berat badan
sebelum sakit dan berat saat sakit dibagi dengan berat badan sebelum sakit.
Karena berat badan sebelum sakit sering tidak diukur, terutama di negara
berpenghasilan rendah dan menengah, idealnya diganti dengan berat badan
setelah rehidrasi atau berat badan setelah menjalani terapi. 62
Dalam penelitian Gorelick dkk. memvalidasi berat badan setelah
rehidrasi sebagai pengganti untuk berat badan sebelum sakit menunjukkan
hubungan dekat sempurna (r = 0,998 8) (gambar 10) antara dua nilai dalam
kelompok kecil anak dengan diare. Meskipun penelitian ini, tidak menjamin
bahwa peserta telah mencapai berat stabil setelah rehidrasi, namun sebagian
besar anak dalam studi oleh Gorelick dkk. mencapai berat badan yang stabil
setelah 24 jam di rumah sakit, dan hampir semua anak mencapai berat badan
yang stabil setelah 72 jam. Karena semua pasien dalam penelitian tersebut
menghabiskan setidaknya 24 jam di rumah sakit, dan 88% menghabiskan lebih
dari 3 hari, ada kemungkinan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk
mencapai berat badan stabil setelah rehidrasi, jadi peneliti percaya bahwa

34
perubahan persen berat dengan rehidrasi dapat digunakan sebagai standar
baku untuk dehidrasi.44

Gambar 9. Hubungan antara berat badan sebelum sakit dan setelah sakit pada anak dengan
data BB lengkap.Koefisien korelasi =0.9988.
Sumber : Gorelick MH, Kathy N, Shaw MD, Murphy RN, Kathleen O. Validity and reliability of
clinical signs in the diagnosis of dehydration in children. Pediatrics1997;99:1-6. 44

Meskipun perubahan persen berat dengan rehidrasi menjadi standar


baku yang sangat baik untuk menentukan derajat dehidrasi, tapi itu bukan alat
yang berguna dalam praktek sehari-hari, jika data BB tersebut tidak ada pada
saat penderita datang sedangkan keputusan tentang bagaimana cara terbaik
untuk menangani anak dengan diare harus segera dibuat. Selama bertahun-
tahun, para ahli telah merekomendasikan penggunaan tanda-tanda
pemeriksaan fisik untuk memprediksi derajat dehidrasi pada anak dengan diare.
Gorelick menciptakan skala 4-point dan 10-point untuk menilai dehidrasi
pada anak berusia 1-60 bulan di Rumah Sakit Anak Philadelphia, menghasilkan
sensitivitas 79% dan 87% dan spesifitas 82% dan 85%, masing-masing, untuk
memprediksi dehidrasi ≥ 5%. Dua skala memiliki sensitivitas 82% dan 90% dan
spesifitas 83% dan 90%, masing-masing, untuk dehidrasi ≥ 10%. Pada skala
Gorelick digunakan 10 parameter klinik. Jika didapatkan < 2 gejala klinis maka
kemungkinan dehidrasi ringan (<5%),apabila didapatkan 3-5 gejala klinis maka

35
dehidrasi sedang (6-9% ) dan dehidrasi berat (>10%) jika ditemukan 6-7 gejala
klinis.44

Tabel 10. Skala Gorelick 10- and 4-point untuk menilai derajat dehidrasi pada
anak umur 1 bulan-5 tahun

Sumber : Gorelick MH, Kathy N, Shaw MD, Murphy RN, Kathleen O. Validity and reliability of
clinical signs in the diagnosis of dehydration in children. Pediatrics1997;99:1-6. 44

Joshua Jauregui dkk (2011) mengadakan study prospective untuk


menguji validitas 3 skala klinis dehidrasi populer pada anak dengan muntah
atau diare yaitu Skala Gorelick, skala WHO dan skala CDS dengan standar
kriteria perubahan prosentase BB setelah rehidrasi. Study ini merekrut anak <
18 tahun dengan episode akut diare atau muntah yang datang di Hasbro
Children’s Hospital, Dari 209 anak hanya 113 pasien yang datanya lengkap
63
untuk dianalisa. Kurva ROC hasil penelitian ini dapat dilihat pada gambar 11

36
Gambar 11. Receiver Operating Characteristic (ROC) Curves. Abbreviations: CDS, Clinical
Dehydration Scale; WHO, World Health Organization; G,Gorelick; MD, Physician.
doi:10.1371/journal.pone.0095739.g001
Sumber : Jauregui J, Nelson D, Choo E, Stearns B, Levine AC, Otto Liebmann et.al. External
Validation and Comparison of Three Pediatric Clinical Dehydration Scales. PLOS ONE
2011;9(5): e957- 39.63

Pada gambar 11 Skala dehidrasi CDS dan Gorelick, keduanya berada di


bawah area kurva ROC secara statistic berbeda dari garis acuan dengan AUC
masing-masing 0,72 (CI 95% 0.60, 0.84) and 0.71 (CI 95% 0.57, 0.85). Skala
WHO dengan AUCs 0.61 (CI 95% 0.45, 0.77) yang tidak signifikan secara
statistik. Skala Gorelick dan skala CDS dapat digunakan sebagai prediktor
dehidrasi pada anak dengan diare atau muntah meskipun hasilnya kurang baik,
demikian juga dengan Skala WHO.63

4.2.3 Skala CDS ( Clinical Dehydration Score)


Skala CDS pada awalnya digunakan di rumah sakit anak Toronto,dan
kemudian di uji secara prospektiv validitas oleh staf spesialis anak di rumah
sakit tersebut. Pada studi validasi ini, Parkin dkk. merekrut 205 anak dengan
gastroenteritis akut usia 1 bulan-5 tahun yang datang di departemen emergensi
rumah sakit anak di Kanada menunjukkan LR dehidrasi sedang 2.2, 1.3 and 5.2

37
pada skoring dengan CDS 0, 1-4 and 5-8, hal ini menunjukkan bahwa skala
CDS dan 3 kategori keparahan valid pada cohort prospective pasien yang
didiagnosis. Sistem skoring berguna dalam prediksi lama di rawat dan
kebutuhan rehidrasi cairan intravena pada anak dengan gejala gastroenteritis. 64
Skala dehidrasi klinis (CDS) adalah cepat, mudah digunakan alat dengan
4 item klinis dan skor 1-8 yang berfungsi untuk mengklasifikasikan dehidrasi
pada anak dengan gastroenteritis menjadi tidak ada, beberapa atau sedang /
dehidrasi berat. Skala dehidrasi klinis (CDS,Tabel 9) telah dikembangkan untuk
memenuhi tujuan penting ini.66
Tabel 11. Skala CDS untuk prediksi dehidrasi pada anak usia 1-36 bulan

Sumber : Fonseca BK, Holdgate A, Craig J: Enteral vs Intravenous Rehydration Therapy for
Children With Gastroenteritis: A Meta-analysis of Randomized Controlled Trials. Arch Pediatric
Adolesc Med 2004,158:483-90.66

Skoring: 0: tidak dehidrasi < 3%, 1- 4: dehidrasi sedang ≤ 3 -< 6%, 5- 8:


deidrasi berat ≥ 6%
Skala CDS menggabungkan kondisi umum, mata, selaput lendir, dan air
mata. Penggunaan CDS telah meningkat dan telah divalidasi di 3 penelitian
prospektive, termasuk di IGD Kanada, dalam IGD anak Kanada yang berbeda,
dan dalam percobaan multicenter di 3 IGD Kanada. 68
Studi kedua mencoba untuk memvalidasi CDS di departemen emergensi
yang berbeda dipublikasikan pada bulan Juni 2010. Dengan 150 pasien usia 1
bulan- 5 tahun didiagnosis dengan gastroenteritis, enteritis, atau gastritis,
outcome dari penelitian ini adalah LOS setelah ditangani oleh dokter yang ada
dan kebutuhan yang dirasakan untuk pemberian cairan IV. Meskipun bikarbonat
serum dan CO2 diukur, ini adalah salah satu dari beberapa outcome sekunder.
Di sini, korelasi secara statistik signifikan antara CDS dan LOS, kebutuhan
yang dirasakan untuk rehidrasi IV, dan pemanfaatan tes darah laboratorium.
Kadar bikarbonat serum dan CO2 tidak terbukti secara signifikan, bervariasi

38
antara kategori. Sekali lagi, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yang
paling penting bahwa LOS adalah multifaktorial. 67
Terakhir, Gravel dkk melakukan validasi multicenter dari CDS, diterbitkan
beberapa bulan kemudian pada bulan Oktober 2010. 264 anak-anak antara
usia 1 bulan dan 5 tahun direkrut pada 3 tempat di Kanada, dengan muntah
dan / atau diare akut. Hasil utama dari penelitian ini adalah persen dehidrasi
(perbedaan dalam berat), sedangkan hasil sekunder termasuk proporsi
pengukuran tes darah, penggunaan IV, lama di rumah sakit, dan perjanjian
interrater. Penelitian ini menemukan korelasi signifikan secara statistik antara
CDS dan persen dehidrasi (berat), jumlah pengukuran tes darah, penggunaan
rehidrasi IV, rawat inap, dan bikarbonat plasma yang abnormal.. Keterbatasan
studi sebelumnya menyarankan perlunya tes validitas tambahan untuk CDS
menggunakan penanda klinis lainnya.68
Laura dkk mengadakan studi dengan merekrut 226 anak yang
membutuhkan terapi cairan intravena. Tujuan studi ini menguji validitas dan
reliabilitas skala CDS untuk prediksi dehidrasi. Hasil yang dicapai menunjukkan
reliabilitas interobserver adalah sedang, dengan k lemah 0.52 (confidence
interval[CI] 95% 0.41-0.63). Tidak ada korelasi antara score CDS dan
prosentase penurunan BB sebagai ukuran defisit cairan., (Koefisien korelasi
Spearman = -0.03; 95% CI -0.18, 0.12). Secara statistic terdapat korelasi yang
signifikan scor CDS dan parameter lainnya termasuk kadar bikarbonat serum
(Koefisien korelasi Pearson = -0.35; 95% CI -0.46, 20.22) dan lama dirawat di
rumah sakit (Koefisien korelasi Pearson = 0.24; CI 95% 0.11, 0.36). Skala ini
mampu menentukan rawat inap, yaitu area di bawah kurva ROC (CI 95%0.57,
0.73). Pada anak yang diberikan rehidrasi intrvena, Skala CDS menunjukkan
reliabilitas sedang dan hubungan lemah dengan derajat keparahan penyakit.
Data ini tidak mendukung penggunaan skor CDS untuk deteksi keperluan
rehidrasi intravena atau untuk prediksi klinis.69

39
4.2.4 Skala WHO
Klasifikasi dehidrasi menurut WHO adalah tanpa dehidrasi, dehidrasi
ringan sedang dan dehidrasi berat. 14
Table 12. Skala WHO untuk prediksi dehidrasi pada anak umur 1 bulan-5 tahun

Sumber : Johansson EW, Wardlaw T, Binkin N, Blocklehurst C, Doonley T, Salamaan P, et al.


Diarrhoea : Why children are still dying what can be done. Unicef (WHO). Genewa. 2009;1-68

Skoring: kurang dari 2 gejala klinis pada kolom B dan C : tidak ada dehidrasi <
5%, ≥2 gejala klinis pada kolom B: dehidrasi sedang 5-10% , ≥ 2 gejala klinis
pada kolom C: dehidrasi berat > 10% .

Hanya satu studi yang meneliti akurasi skala WHO yaitu studi kecil yang
dilakukan oleh Kimberly Pringle dkk tahun 2011 dengan 73 sample anak yang
menderita diare atau muntah yang datang ke 3 rumah sakit di Rwanda. Dalam
studi ini disimpulkan bahwa skala dehidrasi WHO tidak akurat sebagai prediktor
dehidrasi pada anak karena sampel yang terlalu sedikit. Skala WHO tidak dapat
sebagai standar untuk prediksi baik pada studi populasi maupun studi individu
pada anak usia 1-60 bulan.62

4.2.5 Skor Airlangga


Studi case control yang diadakan oleh Subijanto dkk,(2001) dengan
menggunakan 25 sampel sebagai kontrol yaitu pasien anak usia 1-24 bulan
dengan diare akut tanpa dehidrasi yang datang ke instalasi rawat jalan RSUD
dr Soetomo dan 25 sampel pasien yang dirawat inap dengan diare akut disertai
dehidrasi, dihasilkan tiga variabel signifikan sebagai prediktor dehidrasi pada
pasien diare akut yaitu frekuensi BAB, volume BAB, dan derajat muntah (power
test:70.0%). Ditemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok dehidrasi
dan kelompok tanpa dehidrasi dalam frekensi BAB per hari (p<0.05), volume
BAB per hari (p<0.05) dan derajat muntah (p<0.05) sehingga diperoleh

40
kesimpulan frekuensi BAB, volume BAB, dan derajat muntah merupakan faktor
prediksi dehidrasi pada diare akut. 70

Tabel 13. Skor prediksi dehidrasi Airlangga pada diare akut

Sumber : Subijanto MS, Reza G Ranuh, Irwanto, Pitono S. Airlangga scoring system for
prediction dehydration in diarrhea patients. South East Asian J Trop Med Public
Health.2003;34:615-9.70

Skor tersebut dihitung sebagai berikut :


Volume BAB : sedikit < 5 ml / kg BB / jam , sedang = 5-15 ml / kg BB / jam,
besar = > 15 ml / kg BB / jam
Derajat muntah : ringan = setelah muntah, pasien bisa minum dengan baik
moderat = setelah muntah, pasien bisa minum sedikit
berat = setelah muntah, pasien, tidak bisa minum sama sekali
Jumlah skor untuk masing-masing variabel terdiri dari skor total , dengan
skor total minimal 3 dan maksimal 6. Jika nilai skor ≥ 4 , diperkirakan bahwa
pasien akan mengalami dehidrasi. 70
Beberapa penelitian tentang sistem skoring sebagai prediksi dehidrasi
pada diare akut terangkum dalam tabel 13.
Tabel 13. Penelitian tentang sistem skoring sebagai prediksi dehidrasi pada
diare akut

Tahun Peneliti Jenis n Objek penelitian Hasil


penelitian
2003 Soebijanto Case control 25 Variabel prediktor - 3 variabel signifikan
70
dkk dehidrasi sebagai prediktor
dehidrasi yaitu frek
BAB, volume BAB dan
derajat muntah.
-Ketiga variabel tsb
digunakan sebagai
parameter dalam skor
Airlangga

2008 Goldman Observ 205 Uji validitas Skala - Skala dehidrasi

41
dkk35 prospektive dehidrasi mempunyai hubungan
signifikan dengan lama
rawat inap
2010 Parkin dkk64 Cohort- 205 Uji validitas Skala -Skala CDS dan 3 kategori
prospektif CDS dehidrasi valid
-Skala CDS dapat diguna
kan untuk prediksi lama
rawat inap dan kebutuhan
cairan intravena pada
anak dengan gejala GEA.
2011 Joshua Prospektif 209 Uji validitas 3 skala -Skala CDS dan Gorelick
Jauregui dehidrasi CDS, WHO dan WHO dapa tdiguna
63
dkk dan Gorelick kan sebagai alat untuk
(Hasbro prediksi dehidrasi meski
Children’s hasilnya kurang baik.
Hospital) -Skala CDS dan Gorelick
mempunyai sensitivitas
lebih tinggi dibanding
skala WHO.
2011 Kimberly P Prospektif 73 Uji validitas skala Skala WHO tidak dapat
dkk62 WHO dipakai sebagai standar
(Rwanda) untuk prediksi dehidrasi
baik pada studi populasi
maupun pada studi individu
pada anak usia 1-60 bulan

4.3.Sistem Skor Keparahan Diare


Diare pada bayi dan anak-anak dapat mencapai kondisi yang parah.
Diare dikatakan masuk dalam kategori lebih parah, apabila waktu (jumlah
hitungan hari) diare lebih panjang, dan atau frekuensi/banyaknya episode diare
yang terjadi dalam 24 jam lebih banyak 72, atau jika diperlukan perawatan di
rumah sakit karena mengalami dehidrasi, ditemukan darah dalam feses, dan
atau sakit perut yang hebat. Sazawal dkk dalam penelitiannya tentang efek
suplementasi zinc dalam mengurangi keparahan diare pada populasi bayi dan
anak dibawah 3 tahun, membandingkan kenaikan suhu badan, kejadian muntah
yang dialami, frekuensi/banyaknya episode diare tiap 24 jam, dan lamanya
menderita diare untuk menilai parah atau tidaknya diare yang diderita.73

42
Bern dkk melakukan pengukuran tingkat dehidrasi untuk menilai derajat
keparahan diare yang diakibatkan oleh rotavirus dengan serotip yang
berbeda.73
Sistem skoring keparahan klinis diare adalah ukuran penilaian derajat
keparahan yang awalnya digunakan ditahun 1987 pada percobaan vaksin
rotavirus RIT-4237. Flores dkk.(1987) dalam penelitiannya tentang efikasi
vaksin rotavirus (RIT 4237) dengan melihat keparahan penyakit diare, telah
memformulasikan sistem skor untuk mengetahui perbedaan tingkat keparahan
diare yang dialami oleh bayi dan balita yang diberikan vaksin rotavirus dan yang
tidak diberikan vaksin.12
4.3.1 Skor Flores
Flores (1987) mengadakan penelitian efikasi vaksin rotavirus (RIT 4237)
yang akhirnya menghasilkan sistem skor perbedaan tingkat keparahan diare
menggunakan 6 variabel sebagai parameter :
 Durasi diare
 Frekuensi diare/24 jam
 Durasi hari muntah
 Kenaikan suhu badan
 Dehidrasi
 Perawatan RS
Metode sistem skor oleh Flores ini kemudian digunakan oleh Cascio dkk.
(2001) untuk menilai perbedaan tingkat keparahan diare yang dialami oleh
anak-anak di Italia yang terinfeksi oleh rotavirus dengan galur yang berbeda. 75

4.3.2 Skor MVS (Modified Vesicari Score)


Ruuska dan Vesikari (1990) menyempurnakan metode skoring dari
Flores. Sistem skoring ini merupakan kombinasi pengembangan variabel sistem
sebelumnya dengan ditambah variable banyaknya episode muntah yang
dialami dalam 24 jam.11
Kedua sistem skoring keparahan klinis yaitu Clark dan Vesikari
dikembangkan dan digunakan secara rutin di uji klinis Vaksin rotavirus. Selain
tidak bisa untuk menilai derajad dehidrasi, sistem skoring derajat keparahan

43
klinis Clark kemungkinan untuk mengidentifikasi keparahan episode penyakit
kurang dibandingkan dengan Sistem skoring Vesikari (Givon-Lavi et al., 2008;
Lewis et al., 2012). Sangat sedikit kasus penyakit yang berat dapat diidentifikasi
menggunakan sistem skoring Clark, sehingga sistem skoring Clark ini dianggap
tidak sensitive untuk mengukur keparahan penyakit. Oleh karena itu, sistem
skoring Vesikari saat ini diakui sebagai sistem yang paling akurat untuk
digunakan dalam uji vaksin di negara berkembang. 11
Ada tujuh parameter skoring termasuk dalam sistem skoring keparahan
klinis Vesikari. Parameter ini memperhitungkan setiap gejala yang diidentifikasi
penting yaitu : diare, muntah, demam, dehidrasi, dan durasi diare dan muntah.
Tambahan parameter dipertimbangkan adalah status pengobatan. Masing-
masing tujuh parameter dibagi menjadi tiga menurut distribusi keparahan
(yaitu, ringan=1,sedang= 2,berat= 3) sebagai awalnya diidentifikasi oleh
Ruuska dan Vesikari (1990). Skor untuk setiap parameter dijumlahkan
sehingga didapatkan skor keparahan antara 0 dan 20 poin. Tujuh parameter
dan skor sesuai yang disediakan untuk setiap tingkat kategori keparahan
diuraikan pada Tabel 14. Skor keparahan diatas 10 poin (yaitu, ≥11 poin)
dianggap berat, skor antara 7 dan 10 moderat, dan skor kurang dari 7 ringan.
Jika sistem penilaian dilaksanakan dengan benar, sekitar 50% dari peserta
positif rotavirus memiliki klasifikasi "berat" (skor ≥11).

44
Table 15. Parameter dan skor pada sistem keparahan klinis Vesikari

Sumber : Ruuska, T, Vesikari, T. Rotavirus disease in Finnish children: use of numerical scores
for clinical severity of diarrhoeal episodes. Scandinavian Journal of Infectious
Diseases,1990;22:259-6711

Mota-Hernandez dkk.(2003) memanfaatkan metode tersebut untuk


menilai perbedaan keparahan diare pada anak-anak dibawah 2 tahun di Mexico
yang disebabkan oleh infeksi rotavirus dari genotip VP4 gen yang berbeda,
yaitu tipe P yang tidak teridentifikasi (tipe P baru) dan tipe P[8]. 75 Metode
skoring ini juga digunakan oleh Kang dkk (2006) untuk melihat hubungan antara
kejadian keparahan diare dengan genotip rotavirus pada populasi anak di
India.76
Validitas dan reliabilitas sistim skoring ini telah teruji dalam penelitian
kohort oleh Freedman dkk.(2010). Dalam penelitian kohort tersebut, Freedman
menyatakan bahwa sistem skoring tersebut mempunyai reliabilitas internal yang
baik, dan mendapatkan korelasi yang signifikan antara derajat keparahan hasil
sistem skoring ini dengan dampak penyakit diare terhadap keluarga. 12

45
BAB V
RINGKASAN

Diare akut masih merupakan penyebab kesakitan di dunia dan pada


beberapa negara berkembang sebagai penyebab utama kematian. Penyebab
utama kematian pada diare adalah dehidrasi yang mengakibatkan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, oleh karena itu penilaian
derajat/keparahan dehidrasi secara cepat sangatlah penting guna menentukan
managemen rehidrasi dan mencegah dampak yang merugikan penderita.
Penilaian derajat dehidrasi dapat dilakukan secara cepat dan tidak
invasive melalui sistem skoring dengan menggunakan pedoman skala yang
sudah ada diantaranya:skala Noerasid, skala WHO, skala Gorelick, skala CDS,
skala Airlangga. Skala dehidrasi yang paling sering digunakan yaitu skala

46
WHO, skala Gorelick dan Skala CDS. Masih terdapat perbedaan pendapat
tentang validitas ketiga skala tersebut sebagai prediktor dehidrasi pada anak
dengan diare akut. Skala Gorelick dan CDS memiliki sensitivitas lebih tinggi
dibandingkan skala WHO.
Sistem skoring Modified Vesikari mempunyai validitas internal dan
eksternal yang baik sehingga dianggap paling akurat untuk menilai keparahan
diare akut pada anak.

DAFTAR PUSTAKA
1. Vafaee A, Moradi A, Khabazkhoob M. Case-control study of acute diarrhea
in children. J Res Health Sci. 2008;8:25-32.
2. Web A, Starr M. Acute gastroenteritis in children. Australian Fam Physician.
2005;34:227-31.
3. Guandalini S. Acute diarrhea. In: Walker AW, Goulet O, Kleinman RE,
Sherman PM, Shneider BL, Sanderson IR, Editors. Pediatric
gastrointestinal disease: pathophysiology, diagnosis, management.Toronto:
BC Decker Inc; 2004:66-179.
4. Guarino A, Albano F, Ashkenazi S, Gendrel D, Hoekstra JH, Shamir R, et
al. Paediatric infectious diseases evidence-based guidelines for the
management of acute gastroenteritis in children in Europe: executive
summary. Pediatr Gastroenterol Nutr. 2008;46:S81-122.
5. Boschi Pinto C, Velebit L, Shibuya K. Estimating child mortality due to
diarrhoea in developing countries. Bulletin of the World Health Organization.
2008;86:710-7.
6. Kosek M, Bern C, Guerrant R. The global burden of diarrhoeal disease, as
estimated from studies published between 1992 and 2000. Bulletin of the
World Health Organization. 2003;81:197-204.

47
7. Rekam medis IRNA Anak RSUD Soetomo 2012-214 (tidak dipublikasikan)
8. Fonseca BK, Holdgate A, Craig J. Enteral vs intravenous rehydration
therapy for children with gastroenteritis: A meta-analysis of randomized
controlled trials. Arch Pediatric Adolesc Med. 2004;158:483-90.
9. Guandalini S. Acute diarrhea in children in Europe: Do we know how to
treat it?. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2008;46:77-80.
10. Noerasid H, Suraatmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (diare) akut. In:
Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1988:51-76
11. Ruuska T, Vesikari T. Rotavirus disease in Finnish children: use of
numerical scores for clinical severity of diarrhea episodes. Scand J Infect
Dis. 1990; 22:259–67.
12. Freedman SB, Eltorky M, Gorelick M. Evaluation of a gastroenteritis
severity score for use in outpatient settings. Pediatrics. 2010;125:e1278–85.
13. Partawihardja. Tinjauan terapi nutrisi pada anak diare. Pengukuhan Guru
Besar Madya Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro;2004:1-30.
14. Johansson EW, Wardlaw T, Binkin N, Blocklehurst C, Doonley T, Salamaan
P, et al. Diarrhoea : Why children are still dying what can be done. Unicef
(WHO). Genewa. 2009;1-68
15. Schiller LR. Management of diarrhea in clinical practice: strategies for
primary care physicians. Reviews in Gastroenterological Disorders.
2007;7:S27-S38.
16. Dinesen L, Harbord M. Acute Diarrhoea. Medicine. 2013;41:104-107.
17. Subagyo B, Santoso N. Diare Akut. In: Juffrie M, Soenarto S, Oswari H,
Arief S, Rosalina I, Mulyani N, Editors. Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010:342-35
18. Alam N, Ashraf H. Treatment of infectious diarrhea in children. Pediatric
Drugs. 2003;5:151-65.
19. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. Situasi diare di Indonesia triwulan
II. Jakarta; 2011.
20. Sunoto. Interaksi diare dan difisiensi vitamin A. Majalah Kesehatan
Masyarakat Desa. 1995;13:62-4.
21. Farthing M, Salam G, Lindberg P, Dite I, Khalif E, Salazar-Lindo BS,et al.
Acute diarrhea in adults and children: A Global Perspective. 2008:1-8
22. Black R. Epidemilogy diarrheal diseases. Johns Hopkins Univercity.
Baltimore;2007:1-35..
23. Soffer EE. Diarrhea. In: Andreoli TE, Carpenter CCJ, Griggs R, Loscalzo J,
Editors. Cecil Essentials of Medicine. 5th ed. Philadelphia: WB
Saunders;2001: 316-20.
24. Musher DM, Musher BL. Contagious acute gastrointestinal infections. N
Engl J Med 2004;351:2417-27.
25. Thielman NM, Guerrant RL. Acute infectious diarrhea. N Engl J Med.
2004;350: 38-47
26. Larry K.Pickering and John D.Snyder. Gastroenteritis. In: Nelson. Texbook
of Pediatrics. Saunders, Philadelphia, Edisi 17 2004; p.1272-1276 .
27. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Panduan sosialisasi tatalaksana
diare pada balita. Indonesia: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2011.

48
28. Steven Colson MD, Edward J, Hoffenberg MD. Acute diarrhea: Berman’s
Pediatric Decision Making. 2011;5:220-8.
29. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J. Clin.
Invest. 2003;111:931–43.
30. Bianchetti MG, Simonetti GD, Bettinelli A. Body fluids and metabolism-part
I. Ital J Pediater. 2009;35:1-6.
31. Zodpeys SP, Deshpande SG, Ughade SN, Hinge AV, Shrikhande SN. Risk
factors for development of dehydration in children aged under five who have
acute watery diarrhea : a case control study. Public health; 1998;112:233-6.
32. WHO. The treatment of diarrhea : a manual for physicians and other health
workers. 4th rev. Genewa. 2005;1-50
33. Travis LB.Disorder of water, electrolyte and acid base physiology. In:
Rudoiph AM, Hoffman JIE, Rudolp CD, Editors. Rudolph’s Pediatric,
ed.20th. USA: Prentis hall Internasional; 1996:1319-31.
34. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh RG. Sindroma Diare:
Gangguan absorbsi-sekresi, 2nd Edition. Surabaya: Gramik Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga RSUD dr Setomo; 1999:1-142.
35. Goldman RD, Friedman JN, Parkin PC. Validation of the clinical
dehydration scale for children with acute gastroenteritis. Pediatrics.
2008;122:545-9.
36. Gorelick MH, Shaw KN, Murphy KO, Baker MD. Effect of fever on capillary
refill time. Pediatr Emerg Care. 1997;13:305-7.
37. Laron Z. Skin turgor as a quantitative index of dehydration in children.
Pediatrics. 2007;19:816-22.
38. Yates EW, Feld LG. Laboratory predictor for dehydration in child with
diarrhea. Clin Pediatr. 1997;36:395-400.
39. Wathen JE, MacKenzie T, Bothner JP. Usefulness of the serum electrolyte
panel in the management of pediatric dehydration treated with intravenously
administered fluids. Pediatr. 2004;114:1227–34.
40. Mackenzie A, Barnes G, Shan F. Clinical signs of dehydration in
children.Lancet. 1989;334:605-7.
41. American Academy of Pediatrics, Provisional Committee on Quality
Improvement, Subcommittee on Acute Gastroenteritis. Practice parameter
the management of acute gastroenteritis in young children. Pediatrics.
1996;97:424 35.
42. Sandu BK. European Society of Pediatric Gastroenterology, Hepatology
and Nutrition Working Group on Acute Diarrhoea. Practical guidelines for
the management of gastroenteritis in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2001;33:S36-9.
43. Victora CG, Kirkwood RB, Fuchs SC, Lombardi C, Barros FC. Is it possible
to predict which diarrhea episodes will lead to life threatening dehydration.
Int J Epidemiol. 1990;19:736-40
44. Gorelick MH, Kathy N, Shaw MD, Murphy RN, Kathleen O. Validity and
reliability of clinical signs in the diagnosis of dehydration in children.
Pediatrics. 1997;99:1-6.
45. Porter SC, Fleisher GR, Kohane IS, Mandl KD. The value of parental report
for diagnosis and management of dehydration in the emergency
department. Ann Emerg Med. 2003;41:196–205..

49
46. Friedman JN, Goldman RD, Srivastava R, Parkin PC. Development of a
clinical dehydration scale for use in children between 1 and 36 months of
age. J Pediatr 2004;145:201–7.
47. Steiner MJ, DeWalt DA, Byerley JS. Is this child dehydrated? JAMA.
2004;291:2746–54.
48. Teach SJ, Yates EW, Feld LG. Laboratory predictors of fluid deficit in
acutely dehydrated children. Clin Pediatr. 1997;36:395–400.
49. Shaoul R, Okev N, Tamir A, Lanir A, Jaffe M. Value of laboratory studies in
assessment of dehydration in children. Ann Clin Biochem. 2004;4:192–6.
50. Bonadio WA, Hennes HH, Machi J, Madagame E. Efficacy of measuring
BUN in assessing children with dehydration due to gastroenteritis. Ann
Emerg Med. 1989;18:755–7.
51. Vega RM, Avner JR. A prospective study of the usefulness of clinical and
laboratory parameters for predicting percentage of dehydration in children.
Pediatr Emerg Care. 1997;13:179–82.
52. Narchi H. Serum bicarbonate and dehydration severity in gastroenteritis.
Arch Dis Child. 1998;78:70–1.
53. Yilmaz K, Karabocuoglu M, Citak A, Uzel N. Evaluation of laboratory tests in
dehydrated children with acute gastroenteritis. J Paediatr Child Health.
2002;38:226–8.
54. Hirschhorn N, Lindenbaum J, Greenough WB, Alam SM. Hypoglycaemia in
children with acute diarrhoea. Lancet. 1966;2:128–33.
55. Glyn-Jones R. Blood sugar in infantile gastroenteritis. S Afr Med J.
1975:1474–7
56. Bennish ML, Azad AK, Rahman O, Phillips RE. Hypoglycemia during
diarrhea in childhood: prevalence, pathophysiology and outcome. N Engl J
Med. 1990;332:1357–63.
57. Huq S, Hossain MI, Malek MA, Faruque ASG, Salam MA. Hypoglycaemia in
under five children with Diarrhoea. J Trop Pediatr. 2007;53:197–201.
58. Reid SR, Losek JD. Hypoglycemia complicating dehydration in children with
acute gastroenteritis. J Emerg Med. 2005.;29:141–5.
59. Reid S, McQuillan S, Losek J. Hypoglycemia complicating dehydration due
to acute gastroenteritis. Clin Pediatr. 2003;42:641–6.
60. Oppliger RA, Magnes SA, Popowski LA, Gisolfi CV. Accuracy of urine
specific gravity and osmolality as indicators of hydration status. Int J Sport
Nutr Exerc Metab. 2005;15:236–51.
61. Popowski LA, Oppliger RA, Patrick Lambert G, Johnson RF, Kin Johnson A,
Gisolf CV. Blood and urinary measures of hydration status during
progressive acute dehydration. Med Sci Sports Exerc 2001;33:747–5
62. Kimberly P, Sachita P, Irenee U, Richard B, Mark M, Jean MD, Katrina S,
et al. Comparing the accuracy of the three popular clinical dehydration
scales in children with diarrhea. International Journal of Emergency
Medicine 2011;4:58.
63. Jauregui J, Nelson D, Choo E, Stearns B, Levine AC, Otto Liebmann, et
al. External validation and comparison of three pediatric clinical dehydration
scales. PLOS ONE. 2011;9:e957-9..

50
64. Parkin P, Macarthur C, Khambalia A, Friedman J: Clinical and laboratory
assessment of dehydration severity in children with acute gastroenteritis.
Clin Pediatr. 2010;3:235-9.
65. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis
among children: oral rehydration, maintenance, and nutritional therapy.
MMWR Recomm Rep. 2003;52:1-16.
66. Fonseca BK, Holdgate A, Craig J. Enteral vs intravenous rehydration
therapy for children with gastroenteritis: a metaanalysis of randomized
controlled trials. Arch Pediatric Adolesc Med. 2004;158:483-90.
67. Bailey B, Gravel J, Goldman RD, Friedman JN, Parkin PC: External
validation of the clinical dehydration scale for children with acute
gastroenteritis. Acad Emerg Med. 2010;17:583–8.
68. Gravel J, Manzano S, Guimont C, Lacroix L, Gervaix A, Bailey B.
Multicenter validation of the clinical dehydration scale for children. Arch
Pediatr. 2010;17:1645–51.
69. Laura M, Kinlin BSc, Stephen B, Freedman. Evaluation of a clinical
dehydration scale in children requiring intravenous rehydration. J Ped.
2012;129:e1211–19.
70. Subijanto MS, Reza GR, Irwanto, Pitono S. Airlangga scoring system for
prediction dehydration in diarrhea patients. South East Asian J Trop Med
Public Health. 2003;34:615-9.
71. Bhandari N, Bahl R, Taneja S, Strand T, Mølbak K, Ulvik RJ, et al.
Substantial reduction in severe diarrheal morbidity by daily zinc
supplementation in young North Indian children. Pediatrics. 2002;109:1-7.
72. Sazawal S., Black RE, Bhan MK, Bhandari N, Sinha A, Jalla S. Zinc
supplementation in young children with acute diarrhea in India. N Engl J
Med. 1995;333:839-44.
73. Bern C, Unicomb L, Gentsch JR, Banul N, Yunus M, Sack RB, et al.
Rotavirus diarrhea in Bangladeshi children: correlation of disease severity
with serotypes. J Clin Microbiol. 1992;30:3234-8.
74. Madhi SA, Cunliffe NA, Steele D, Witte D, Kirsten M, Louw, et.al. Effect of
human rotavirus vaccine on severe diarrhea in African. Pediatrics. 2010;5:1-
8.
75. Mota-Hernandez F, Jose Calva J, Gutierrez-Camacho C, Villa-Contreras S,
Arias CF, Padilla-Noriega L,et al. Rotavirus diarrhea severity is related to
the VP4 type in Mexican children. J Clin Microbiol. 2003;41:3158-62.
76. Kang G. Rotavirus genotypes and severity of diarrheal disease. Clin Infect
Dis. 2006;43:315-6.

51

Anda mungkin juga menyukai