Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Diare merupakan penyakit umum yang masih menjadi masalah kesehatan utama pada
anak terutama pada balita di berbagai negara-negara terutama di negara berkembang. Diare
adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi satu kali
atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer dan cair (Suriadi & Yuliana, 2006).
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya
(> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau
lendir (Suraatmaja, 2005). Penderita diare paling sering menyerang anak dibawah lima tahun
(balita). Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) pada tahun
2009 menyatakan bahwa lebih dari sepertiga kematian anak secara global disebabkan karena
diare sebanyak 35%. United Nations International Children’s Emergensy Fund (UNICEF)
memperkirakan bahwa secara global diare menyebabkan kematian sekitar 3 juta penduduk setiap
tahun (Herman, 2009).

Beban global diare pada tahun 2011 adalah 9,00% balita meninggal dan 1,0% untuk
kematian neonatus. Di Indonesia diare merupakan salah satu penyebab kematian kedua terbesar
pada balita setelah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Sampai saat ini penyakit diare masih
menjadi masalah masyarakat Indonesia. Prevalensi diare pada balita di Indonesia juga
mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,


menunjukkan keseluruhan 14% anak balita mengalami diare. Prevalensi diare tertinggi terjadi
pada anak dengan umur 6-35 bulan, karena pada umur sekitar 6 bulan anak sudah tidak
mendapatkan air susu ibu. Prevalensi diare berdasarkan jenis kelamin tercatat sebanyak 8.327
penderita laki laki, dan 8054 penderita perempuan. Komplikasi yang dapat muncul pada
penderita diare bila tidak segera ditangani dengan benar dapat terjadi Dehidrasi (ringan sedang,
berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik), renjatan hipovolemik, hipokalemia,hipoglikemia,
intolerasni sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktase, terjadi
kejang pada dehidrasi hipertonik. Selanjutnya dapat terjadi malnutrisi energi protein akibat
muntah dan diare (Ngastiyah, 2005). Penyakit diare masih cukup tinggi ditemukan di Kabupaten
Gianyar. Pada tahun 2016 terdapat kasus diare sekitar 10.717, dari keseluruhan kasus tersebut,
kasus diare yang sudah ditangani dengan baik adalah sebanyak 10.340 (96.5%) yang terdiri dari
kasus pria sebayak 5.515 (53,33%) dan wanita sebanyak 4.825 (46,77%). Pada tahun 2015
terdapat kasus diare sekitar 10.822, dari keseluruhan kasus tersebut, kasus diare yang sudah
ditangani dengan baik adalah sebanyak 10.634 (101,8%) yang terdiri dari kasus pria sebayak
5.574 (52,42%) dan wanita sebanyak 5.060(47,58%) Jika dibandingkan dengan tahun 2014 ada
penurunan dimana pada tahun 2014 jumlah kasus diare yang ditemukan dan sudah ditangani
dengan baik adalah sebanyak 11.134 kasus, untuk tahun 2013 sebanyak 10.364 dan tahun 2012
sebanyak 10.822.

Diare masuk dalam sepuluh penyakit terbanyak dan dari tahun ke tahun jumlah kasus
cenderung meningkat di UPT Kesmas Gianyar II.Jumlah penderita diare 3 meningkat dari 772
kasus tahun 2014, 1.092 kasus tahun 2015, dan 1.154 kasus pada tahun 2016 di UPT Kesmas
Gianyar II. Untuk mempermudah dan memperjelas pengelompokkan kejadian diare di UPT
Kesmas Gianyar II, dapat dilakuka dengan cara pemetaan. Pemetaan adalah suatu proses
penyajian informasi muka bumi yang fakta (dunia nyata), baik bentuk permukaan buminya
maupun sumbu alamnya, berdasarkan skala peta, sistem proyeksi peta, serta simbol-simbol dari
unsur muka bumi yang disajikan (Jatmiko, 2011).

Pemetaan terhadap suatu penyakit memiliki beberapa keuntungan. Menurut Dickinson


(1975) yang dikutip oleh Hanum (2013), beberapa alasan suatu data dapat dipetakan antara lain :
1) melalui peta dapat menimbulkan daya tarik yang lebih besar terhadap objek yang ditampilkan,
2) melalui peta dapat memperjelas, menyederhanakan, dan menerangkan suatu aspek yang
dipentingkan, 3) melalui peta dapat menonjolkan pokok-pokok batasan dalam tulisan atau
pembicaraan. Berdasarkan pemaparan diatas, maka sangat perlu dilakukan suatu penelitian
tentang pemetaan kejadian diare dilingkungan wilayah kerja UPT Kesmas Gianyar II, yang mana
melalui pemetaan tersebut kedepannya akan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan
soasialisasi, sehingga kejadian diare di wilayah kerja UPT Kesmas Gianyar II dapat ditekan
seminimal mungkin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diare


Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak
normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian ilmu kesehatan
anak FK UI, 1998).Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau
tidak seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi lebih dari
3 kali sehari dan pada neonates lebih dari 4 kali sehari dengan tanpa lender darah. (Aziz,
2006).Diare dapat juga didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi perubahan dalam
kepadatan dan karakter tinja, atau tinja cair dikeluarkan tiga kali atau lebih perhari.
(Ramaiah,2002).Diare merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrointestinal
atau penyakit lain diluar saluran pencernaan. (Ngastiyah, 2003). Jadi diare adalah buang air besar
yang frekuensinya lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer.

2.2 Klasifikasi Diare


Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari :
a. Diare akut
Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi
tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung dalam
waktu kurang dari 2 minggu. Menurut Depkes (2002), diare akut yaitu diare yang
berlangsung kurang dari 14 hari tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2 hari.
Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit
diare akut dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:
(1) Diare tanpa dehidrasi
(2) Diare dengan dehidrasi ringan, apabila cairan yang hilang 2-5% dari berat
badan
(3) Diare dengan dehidrasi sedang, apabila cairan yang hilang berkisar 5-8% dari
berat badan
(4) Diare dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari 8-10%.
b. Diare persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan
dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik.
c. Diare kronik
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab
non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme
yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Menurut (Suharyono, 2008),
diare kronik adalah diare yang bersifat menahun atau persisten dan berlangsung 2
minggu lebih.

2.3 Etiologi
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :
a. Faktor Infeksi
1. Infeksi enteral
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama
diare pada anak. Infeksi parenteral ini meliputi:
(a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia,
Aeromonas dan sebagainya.
(b) Infeksi virus: Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus,
Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain.
(c) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa
(Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (candida
albicans).

2. Infeksi parenteral
Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti
Otitis Media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan
sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
b. Faktor Malabsorbsi
1. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang
terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa.
2. Malabsorbsi lemak
3. Malabsorbsi protein

c. Faktor makanan
Faktor makanan yang dimaksud disini, seperti : makanan basi, beracun, alergi
terhadap makanan.

d. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare
terutama pada anak yang lebih besar.

e.Faktor umur balita


Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang berumur
12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59 bulan.

f. Faktor lingkungan
Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasisi
lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja.
Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor
lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku
manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat
menimbulkan kejadian penyakit diare.

g. Faktor Gizi
Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu,
pengobatan dengan makanan baik merupakan komponen utama penyembuhan diare
tersebut. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal
ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat berdasarkan status gizi
yaitu baik = 100-90, kurang =<90 – 70, buruk = < 70 dengan BB per TB.
h. Faktor sosial ekonomi masyarakat
Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab
diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya
beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih
yang memenuhi persyaratan kesehatan.

i. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi


Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang
tidak dimasak dapat juga terjadi secara sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman
pada kotoran dapat berlangsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan
dan kemudian dimasukkan kemulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi
alat-alat makan dan dapur. Bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan adalah bakteri
Etamoeba colli, salmonella, sigella. Dan virusnya yaitu Enterovirus, rota virus, serta
parasit yaitu cacing (Ascaris, Trichuris), dan jamur (Candida albikan).

j. Faktor terhadap Laktosa (susu kaleng)


Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada
bayi yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang
diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar.
Menggunakan botol susu ini memudahkan pencemaran oleh kuman sehingga
menyebabkan diare. Dalam ASI mengandung antibodi yang dapat melindungi kita
terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti Sigella dan V. Cholerae.

2.4 Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
a. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang
usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. Mukosa usus halus adalah epitel
berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan
tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler.
Diare terjadi jika bahan yang secara osmotik dan sulit diserap. Bahan tersebut
berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut
didalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang
diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air, dan elektronik akan pindah dari cairan
ekstraseluler kedalam lumen usus sampai osmolaritas dari usus sama dengan cairan
ekstraseluler dan darah,sehingga terjadi pula diare.

b. Gangguan sekresi

Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi
peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul
karena terdapat peningkatan isi rongga usus. Akibat rangsangan mediator abnormal
misalnya enterotoksin, menyebabkan villi gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan
sekresi klorida disel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare.

Diare mengakibatkan terjadinya:


(1) Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia.
(2) Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi
jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosis metabolik bertambah
berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat
meninggal.
(3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan yang berlebihan karena
diare dan muntah. Kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian
makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila
makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan sering
terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi
dengan gagal bertambah berat badan, sehingga akibat hipoglikemia dapat
terjadi edema otak yang dapat menyebabkan kejang dan koma (Suharyono,
2008).
c. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk
menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltic usus menurun akan
mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare
pula.

Patogenesis diare akut adalah:


(a) Masuknya jasad renik yang msih hidup kedalam usus halus setelah berhasil
melewati rintangan asam lambung.
(b) Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) didalam usus halus.
(c) Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin Diaregenik).
(d) Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan
menimbulkan diare.

Patogenesis Diare kronis: Lebih kompleks dan faktor-faktor yang


menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain.

2.5 Patofisiologi
Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus, Adenovirus enteritis),
bakteri atau toksin (Salmonella E.colli), dan parasit (Biardia Lambia). Beberapa mikroorganisme
patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau sitotoksin,
penyebab dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut.
Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal oral dari satu klien ke klien lainnya.

Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan
yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan
sehingga timbul diare).

Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi
air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan motilitas usus yang
mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah
kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis
metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan
gangguan sirkulasi. Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi: (a) Kehilangan
air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa
(asidosis metabolik, hypokalemia dan sebagainya). (b) Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan
(masukan makanan kurang, pengeluaran bertambah). (c) Hipoglikemia, (d) Gangguan sirkulasi
darah.

2.6 Manifestasi Klinis


Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat,
nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai
lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena
tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja
makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa
yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah
diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit.

Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi makin
tampak. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun membesar menjadi
cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan
yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan
tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik. (Mansjoer,
2009)
Tabel 2.1 Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO

No. Tanda dan Gejala Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi Berat


Ringan Sedang

1. Keadaan Umum Sadar, Gelisah, Mengantuk, lemas,


gelisah, haus Mengantuk ekstremitas dingin,
2.7 berkeringat,
kebiruan, penurunan
kesadaran

2. Denyut Nadi Normal Cepat dan Cepat, kadang tak


lemah teraba

3. Pernafasan Normal Dalam Dalam dan cepat

4. Ubun – Ubun Besar Normal Cekung Sangat Cekung

5. Kelopak Mata Normal Cekung Sangat cekung

6. Air Mata Ada Tidak ada Sangat Kering

7. Selaput Lendir Lembab Kering Sangat Kering

8. Elastisitas Kulit Kembali Lambat Sangat


cepat

9. Warna Air Seni Normal Kekuningan, Tidak ada produksi


lebih pekat urin

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dari diare adalah:
a. Pemeriksaan tinja
b. Makroskopis dan mikroskopis
c. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet klinitest, bila diduga
terdapat intoleransi gula.
d. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
e. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan menentukan pH
dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah menurut
ASTRUP (bila memungkinkan).
f. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
g. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam
serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
h. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasite
secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik.

2.8 Penatalaksaan
Menurut Kemenkes RI (2011), prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS
DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia
dengan rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-satunya cara untuk mengatasi diare tetapi
memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan/menghentikan diare dan mencegah
anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program
LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare) yaitu:

1.Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan
memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga
seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang
baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit
merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila
penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat
pertolongan cairan melalui infus.
Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi :
a.Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :
Keadaan Umum : baik
Mata : Normal
Rasa haus : Normal, minum biasa
Turgor kulit : kembali cepat
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb :
1. Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret
2. Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
3. Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret

b.Diare dehidrasi Ringan/Sedang


Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Gelisah, rewel
Mata : Cekung
Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
Turgor kulit : Kembali lambat
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan
pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.

c.Diare dehidrasi berat


Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
Mata : Cekung
Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk di infus.

2.Berikan obat Zinc


Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim ini
meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam
epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan fungsi selama kejadian diare.

Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan
diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan
kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya.(Black, 2003). Penelitian di Indonesia
menunjukkan bahwa Zinc mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11 % dan menurut
hasil pilot study menunjukkan bahwa Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 % (Hidayat
1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat
anak mengalami diare.

Dosis pemberian Zinc pada balita:


Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari selama 10 hari
Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc:
Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang atau ASI, sesudah larut berikan pada anak
diare.

3.Pemberian ASI / Makanan :


Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita
terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak
yang masih minum Asi harus lebih sering di beri ASI. Anak yang minum susu formula juga
diberikan lebih sering dari biasanya. Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah
mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit
lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan
selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.

4.Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi


Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita
yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah
(sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.

Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare karena
terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali muntah berat. Obat-obatan
ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak, bahkan sebagian besar
menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa
digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

5.Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat tentang :
a. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b. .Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :
1. Diare lebih sering
2. Muntah berulang
3. Sangat haus
4. Makan/minum sedikit
5. Timbul demam
6. Tinja berdarah
7. Tidak membaik dalam 3 hari.

2.8 Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai
macam komplikasi seperti:
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik
c. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan
pada elektrokardiogram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan
vili mukosa usus halus.
f. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah penderita juga mengalami
kelaparan.

2.9 Pencegahan
Diare Pengobatan diare dengan upaya rehidrasi oral, angka kesakitan bayi dan anak balita
yang disebabkan diare makin lama makin menurun. Menurut Suharti (2007), bahwa kesakitan
diare masih tetap tinggi ialah sekitar 400 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu jalan pintas yang
sangat ampuh untuk menurunkan angka kesakitan suatu penyakit infeksi baik oleh virus maupun
bakteri. Untuk dapat membuat vaksin secara baik, efisien, dan efektif diperlukan pengetahuan
mengenai mekanisme kekebalan tubuh pada umumnya terutama kekebalan saluran pencernaan
makanan.
1. Pemberian ASI
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi, komponen zat makanan tersedia dalam
bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja
sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan, tidak ada makanan lain yang
dibutuhkan selama masa ini. Menurut Supariasa dkk (2002), bahwa ASI adalah makanan bayi
yang paling alamiah, sesuai dengan kebutuhan gizi bayi dan mempunyai nilai proteksi yang tidak
bisa ditiru oleh pabrik susu manapun.

Tetapi pada pertengahan abad ke-18 berbagai pernyataan penggunaan air susu binatang
belum mengalami berbagai modifikasi. Pada permulaan abad ke-20 sudah dimulai produksi
secara masal susu kaleng yang berasal dari air susu sapi sebagai pengganti ASI. ASI steril
berbeda dengan sumber susu lain, susu formula, atau cairan lain disiapkan dengan air atau bahan-
bahan yang terkontaminasi dalam botol yang kotor.

Pemberian ASI saja tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol,
menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare.
Keadaan ini disebut disusui secara penuh. Menurut Sulastri (2009), bahwa bayi-bayi harus
disusui secara penuh sampai mereka berumur 4-6 bulan, setelah 6 bulan dari kehidupannya,
pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibody dan zat-zat lain
yang dikandungnya, ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru
lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare
daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol.

2. Makanan pendamping ASI


Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan
dengan makanan orang dewasa. Menurut Supariasa dkk (2002) bahwa pda masa tersebut
merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI
dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang
menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi
perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.

Untuk itu menurut Shulman dkk (2004) bahwa ada beberapa saran yang dapat
meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik, yaitu

1. Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan pemberian
ASI. Tambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Berikan
makanan lebih sering (4x sehari), setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua
makanan yang dimasak dengan baik, 4 - 6x sehari, teruskan pemberian ASI bila
mungkin.
2. Tambahkan minyak, lemak, gula, kedalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energy.
Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacangkacangan, buah-buahan dan
sayuran berwarna hijau kedalam makanannya.
3. Cuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, suapi anak dengan
sendok yang bersih.
4. Masak atau rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan
panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.

3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) bahwa untuk melakukan pola perilaku hidup
bersih dan sehat dilakukan beberapa penilaian antara lain adalah
1. Penimbangan balita. Apabila ada balita pertanyaannya adalah apakah sudah
ditimbang secara teratur keposyandu minimal 8 kali setahun,
2. Gizi, anggota keluarga makan dengan gizi seimbang,
3. Air bersih, keluarga menggunakan air bersih (PAM, sumur) untuk keperluan
sehari-hari,
4. Jamban keluarga, keluarga buang air besar dijamban/WC yang memenuhi syarat
kesehatan,
5. Air yang diminum dimasak terlebih dahulu,
6. Mandi menggunakan sabun mandi,
7. Selalu cuci tangan sebelum makan dengan menggunakan sabun,
8. Pencucian peralatan menggunakan sabun,
9. Limbah,
10. Terhadap faktor bibit penyakit yaitu
a. Membrantas sumber penularan penyakit, baik dengan mengobati penderita
maupun carrier atau dengan meniadakan reservoir penyakit,
b. Mencegah terjadinya penyebaran kuman, baik ditempat umum maupun
dilingkungan rumah,
c. Meningkatkan taraf hidup rakyat, sehingga dapat memperbaiki dan
memelihara kesehatan,
d. Terhadap faktor lingkungan, mengubah atau mempengaruhi faktor
lingkungan hidup sehingga factor-faktor yang tidak baik dapat diawasi
sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kesehatan manusia.

Anda mungkin juga menyukai