Anda di halaman 1dari 88

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. LANDASAN TEORI

2.1.1 Penyakit Diare

2.1.1.1 Definisi Penyakit Diare

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih

banyak dari biasanya (normal 100-200 ml per jam tinja), dengan tinja

berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat), dapat pula disertai

frekuensi defekasi yang meningkat (Arif Mansjoer, et al, 2007). Diare juga

dapat definisikan bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar

yang berair tetapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam. Sementara diare yang

berdarah didefinisikan sebagai disentri (Depkes RI, 2009). Di bagian Ilmu

Kesehatan Anak FKUI/RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar yang

tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari

biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah

lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak,

bila frekuensinya lebih dari 3 kali (Ai Yeyeh R, et al, 2010). Hingga kini

diare masih menjadi child killer (pembunuh anak- anak) peringkat pertama di

Indonesia. Semua kelompok usia dapat terserang diare, baik balita, anak-

anak, dan orang dewasa, tetapi penyakit diare berat dengan kematian

yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita (Zubir, 2006).

9
10

2.1.1.2 Klasifikasi Diare

Berdasarkan jenisnya diare dibagi menjadi dua, antara lain:

1. Diare Akut

Diare akut adalah diare yang gejalanya tiba-tiba dan

berlangsung kurang dari 14 hari (Lung E, 2003). Akibat diare akut

adalah dehidrasi. Rotavirus ditemukan pada lebih dari 50% kasus selain

infeksi bakteri yang lebih umum termasuk Campylobacter, Salmonella, E.

coli, dan Shigella (Sir R M, et al, 2002).

2. Diare Kronik

Diare kronik atau diare persisten adalah diare yang belangsung

lebih dari 14 hari secara terus menerus (11). Akibat diare persisten atau

diare kronik adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolism

(Depkes RI, 2005). Insiden diare persisten di beberapa negara berkembang

berkisar antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-

54% dari keseluruhan kematian akibat diare (Yati Sunarto, 2010).

2.1.1.3 Etiologi Diare Akut

Etiologi atau agen penyebab kejadian diare dapat berupa agen

biologis seperti mikroorganisme maupun agen kimia. Bayi dan anak-anak

merupakan kelompok yang paling rentan (CDC, 2014). Penyebab diare

disebabkan oleh adanya beberapa faktor, antara lain:

1. Faktor Infeksi

Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare.

Jenis- jenis infeksi yang umumnya menyerang dibagi menjadi dua, yaitu:
11

a) Infeksi enteral, yaitu infeksi saluran pencernaan makanan yang

merupakan penyebab utama diare, meliputi :

1) Infeksi bakteri: Vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigella,

Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, Staphylococcus aureus.

2) Inveksi virus: Enterovirus (virus ECHO, coxsackie, poliomyelitis),

Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, Calcivirus, Coronavirus.

3) Infeksi parasit: Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongy loides),

Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichoirionas

hominis), jamur (Candida albicans), Balantidium coli, Blastocystis

homonis.

b) Infeksi parental, ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti:

Otitis Media Akut (OMA),tonsillitis/tonsilofaringitis,

bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini terutama

terjadi pada bayi dan anak berumur di bawah dua tahun (Bambang S, et

al, 2010).

2. Faktor Malabsorbsi

Malabsorbsi karbohidrat adalah kepekaan bayi terhadap

laktoglobulis dalam susu formula sehingga dapat menyebabkan diare.

Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah

perut, sedangkan malabsorbsi lemak terjadi bila dalam makanan terdapat

lemak yang disebut trigliserida. Trigliserida, dengan bantuan kelenjar

lipase akan mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus.

Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat
12

muncul karena lemak tidak terserap dengan baik. Selain itu malabsorpsi

protein, defisiensi disakarida, glukosa-galaktosa, sistik fibrosis, dan

cholestasis juga dapat menyebabkan diare (Depkes RI, 2005).

3. Faktor Makanan

Faktor makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang

tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran), dan

kurang matang. Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah

mengakibatkan diare pada anak balita (Depkes RI, 2005).

4. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang mengakibatkan terjadi diare meliputi

rasa takut, cemas, dan tegang. Jika hal tersebut terjadi pada anak, dapat

menyebabkan diare kronis, tetapi jarang terjadi pada anak balita dan

umumnya terjadi pada anak yang lebih besar atau dewasa (Depkes RI,

2005).

2.1.1.4 Epidemiologi Penyakit Diare Akut

Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2

episode/orang/tahun, sedangkan di negara berkembang lebih dari itu

(Manatsathit, et al, 2002). WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus

diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta per tahun (Soewondo ES,

2002). Di Indonesia, bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi

yang terbanyak yaitu 11% dibanding pneumonia 4,5%, untuk golongan 1-

4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibandingkan pneumonia

15,5% (Bambang S, et al, 2010).


13

2.1.1.5 Gejala dan Tanda Diare

Beberapa gejala dan tanda diare antara lain:

1. Gejala Umum

a. Buang air besar yang lebih sering dari biasanya, dengan tinja yang

lembek sampai cair;

b. Penderita akan merasa lemas, perut sakit/ mules, terkadang

disertai pula dengan mual dan muntah, panas, serta sakit kepala,

bahkan ada pula yang diarenya kemudian bercampur darah dan lendir

(Garneta R B, et al, 2008);

c. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah);

2. Derajad dehidrasi, dibagi menjadi tiga macam, yaitu tanpa dehidrasi,

dehidrasi ringan/dehidrasi sedang, serta dehidarsi berat. Disebut dehidrasi

ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika cairan yang hilang lebih dari

10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat, volume darah

berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah,

tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun, dan

penderita sangat pucat (Widjaja, 2002).

3. Gejala Spesifik

Diare karena bakteri Escherichia coli patogen: kebanyakan pasien

mengalami gejala ringan yang terdiri dari diare cair, mual, dan kejang

abdomen. Diare berat jarang terjadi, dimana pasien melakukan BAB lima

kali atau kurang dalam waktu 24 jam. Lamanya penyakit ini rata-rata 5

hari. Demam timbul pada kurang dari 1/3 pasien. Feses berlendir tetapi
14

sangat jarang terdapat sel darah merah atau sel darah putih (Umar Zein, et

al, 2004).

2.1.1.6 Cara Penularan

Penyakit diare disebabkan oleh kuman seperti virus dan bakteri.

Penularan penyakit diare melalui fekal oral yang terjadi karena:

1. Melalui air yang merupakan media penularan utama. Diare dapat terjadi

bila seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik

tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-

rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah

terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang

tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat

penyimpanan;

2. Melalui tinja terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi mengandung virus

atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh

binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap di makanan, maka

makanan itu dapat menularkan diare ke orang yang memakannya

(Widoyono, 2008).

2.1.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penyakit Diare

Terjadinya bencana alam pada suatu wilayah menyebabkan perubahan

keseimbangan pada host, agent dan  environment. Adanya perubahan ini

dapat menjadi pemicu terhadap timbulnya suatu penyakit atau merupakan

faktor risiko timbulnya suatu penyakit, utamanya penyakit menular di lokasi


15

bencana atau tempat pengungsian. Surveilans faktor risiko terhadap kondisi

lingkungan di sekitar lokasi bencana atau lokasi pengungsian sangat

diperlukan untuk mengidentifikasi faktor risiko timbulnya persebaran

penyakit terhadap pengungsi. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi cakupan pelayanan air bersih, cakupan pemanfaatan sarana

pembuangan kotoran, pengelolaan sampah, pengamanan makanan, kebersihan

lingkungan di lokasi pengungsian. Untuk mencegah timbulnya KLB diare

paska bencana di suatu lokasi  bencana atau tempat pengungsian, maka perlu

diidentifikasi faktor risiko penyakit diare pada lokasi bencana/tempat

pengungsian, dilihat dari faktor host, agent dan  environment (Rezki, 2017).

2.1.2.1 Agen Penyebab Penyakit

Agent merupakan penyebab terjadinya diare, sangatlah jelas

yang disebabkan oleh faktor infeksi karena faktor kuman, malabsorbsi

dan faktor makanan. Aspek yang paling banyak terjadi diare pada

balita yaitu infeksi kuman e.colli, salmonella, vibrio chorela (kolera)

dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebih dan patogenik

(memanfaatkan kesempatan ketika kondisi lemah) pseudomonas

(Purnama, 2017). Adanya kuman penyebab diare di lokasi

bencana/tempat pengungsian dapat menjadi faktor risiko timbulnya

diare setelah kejadian bencana (Rezki, 2017).

2.1.2.2 Host (Pejamu)

Host yaitu diare lebih banyak terjadi pada balita, dimana daya

tahan tubuh yang lemah/menurun sistem pencernaan dalam hal ini


16

adalah lambung tidak dapat menghancurkan makanan dengan baik dan

kuman tidak dapat dilumpuhkan dan betah tinggal di dalam lambung,

sehingga mudah bagi kuman untuk menginfeksi saluran pencernaan.

Jika terjadi hal demikian, akan timbul berbagai macam penyakit

termasuk diare (Purnama, 2017).

Beberapa faktor pada host yang dapat meningkatkan insiden

diare dan lamanya diare adalah sebagai berikut (Rezki, 2017):  

1. Gizi Buruk pada Pengungsi

Beratnya penyakit, lama dan risiko kematian karena diare

meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi, terutama

pada  penderita gizi buruk. Pada penderita gizi buruk, serangan

diare lebih sering terjadi. Semakin buruk keadaan gizi anak,

semakin sering dan berat diare yang diderita. Diduga bahwa

mukosa penderita malnutrisi sangat peka terhadap infeksi karena

daya tahan tubuh yang kurang. Pada tempat pengungsian status gizi

ini sangat dipengaruhi oleh intake makanan yang dikonsumsi oleh

pengungsi, hygiene sanitasi yang jelek serta kepadatan penduduk

tempat pengungsian.

Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan baik

merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut. Bayi

dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena

diare. Hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi

(Purnama, 2017).
17

2. Bayi Tidak Diberikan ASI Eksklusif

Pemberian ASI eksklusif adalah pada bayi yang berada di

tempat pengungsian. ASI mengandung antibodi yang dapat

melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti

Shigella dan Vibrio cholera.  Bayi-bayi harus disusui secara penuh

sampai mereka berumur 6  bulan. ASI memiliki khasiat preventif

secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang

dikandungnya. ASI turut memberikan  perlindungan terhadap diare

pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI secara penuh

mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare daripada

pemberian ASI yang disertai dengan susu botol (Rezki, 2017).

3. Tidak Adanya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada

Pengungsi.

a) Tidak cuci tangan.

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan

perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah

mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama

sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum

menyuapi makan anak dan sesudah makan, mempunyai dampak

dalam kejadian diare. Hal ini berkaitan erat dengan penyediaan

air bersih di lokasi bencana/tempat  pengungsian.

Kebiasaan yang berhubungan dengan keberhasilan

perorangan yang penting dalam penularan diare adalah mencuci


18

tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang

air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyuapi

anak, dan sesudah makan,berdampak pada kejadian diare

(Kepmenkes RI, 2011a).

b) Kebiasaan membuang tinja di sembarang tempat

Membuang tinja (termasuk tinja bayi) harus dilakukan

secara  bersih dan benar. Banyak orang beranggapan bahwa tinja

bayi tidaklah berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung

virus atau  bakteri dalam jumlah besar. Tinja bayi dapat pula

menularkan  penyakit pada anak-anak dan orang tuanya. Hal ini

berkaitan erat dengan penyediaan jamban di lokasi

bencana/tempat pengungsian

c) Penggunaan air bersih

Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare

ditularkan melalui jalur fecal-oral yaitu dapat ditularkan dengan

memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar

dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang

disiapkan dalam  panci yang dicuci dengan air tercemar.

Masyarakat/warga pada lokasi bencana/tempat pengungsian

yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih

mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibandingkan


19

dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih.

Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare

yaitu dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air

tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai

penyimpanan di tempat pengungsian.

4. Tidak Diberikannya Imunisasi Campak pada Pengungsi

Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian

imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh sebab itu pada

warga korban bencana lokasi bencana/tempat pengungsian harus

segera diberikan imunisasi campak. Salah satu faktor risiko

timbulnya diare  paska bencana adalah tidak diberikannya

imunisasi campak pada warga korban bencana dilokasi

bencana/tempat pengungsian. Diare sering terjadi dan berakibat

berat pada anak-anak yang menderita campak karena daya tahan

tubuh yan menurun.

2.1.2.3 Environment (Lingkungan)

Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang

berbasisi lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih

dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama

dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat

karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku


20

manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman,

maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Purnama, 2017).

Lingkungan sangat memegang peranan penting pada risiko

timbulnya diare paska bencana. Hal-hal yang terkait dengan

lingkungan di lokasi  bencana/tempat pengungsian adalah sarana

sanitasi yang tidak memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas

merupakan salah satu faktor risiko pada kejadian diare di tempat

pengungsian (Rezki, 2017).

1. Penyediaan Air Bersih yang tidak memenuhi syarat.

Air bersih yang tidak memenuhi syarat dari segi kuantitas

dan kualitas akan mudah tercemar bakteri/kuman seperti E-Coli

yang akan menimbulkan kejadian penyakit diare. Semua orang di

dunia memerlukan air untuk minum, memasak dan menjaga

kebersihan pribadi. Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk

keperluan minum tidak cukup. Dalam hal ini pengadaan air yang

layak dikonsumsi menjadi paling mendesak. Biasanya masalah

kesehatan yang berkaitan dengan air utamanya penyakit diare akan

muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang

sudah tercemar sampai tingkat tertentu. Oleh karena itu, pada

tempat pengungsian dan pada tempat tinggal warga di di lokasi

bencana perlu diketahui kuantitas dan kualitas  penyediaan air

bersih sebagai kewaspadan dini terhadap timbulnya diare di lokasi


21

bencana/tempat pengungsian. Hal-hal yang perlu diperhatikan

adalah sebagai berikut (Rezki, 2017) : 

a. Standar dalam pengadaan air menurut Depkes RI (2007b) antara

lain:

1). Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikitnya 0,125

liter  perdetik.

2). Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari

500 meter.

3). Satu kran air untuk 80 –  100 orang.

4). Kebutuhan air bersih di tempat pengungsian sebanyak 15

liter per orang.

5). Kualitas air berasal dari sumber harus layak diminum dan

cukup volumenya untuk keperluan keperluan dasar (minum,

memasak, menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga)

tanpa menyebabkan risiko besar terhadap kesehatan akibat

penyakit maupun pencemaran dari penggunaan jangka

pendek.  

b. Tolak ukur kunci kualitas air menurut Depkes RI (2007b) antara

lain:

1). Di sumber air yang tidak terdesinfektan (belum bebas

kuman), kandungan bakteri dari pencemaran kotoran

manusia tidak lebih dari 10 coliform per 100 mililiter.


22

2). Untuk air yang disalurkan melalui pipa-pipa kepada

penduduk yang jumlahnya lebih dari 10.000 orang atau bagi

semua  pasokan air pada waktu ada risiko atau sudah ada

kejadian  penularan penyakit diare, air harus didisinfektan

lebih dahulu sebelum digunakan sehingga mencapai

standard yang bisa di terima. Residu klorin pada kran air

0,2-0,5 miligram/liter dan kejenuhan di bawah 5 NTU.

3). Sebaiknya dilakukan penelitian atau uji lab tentang kadar

endapan dan bahan kimiawi terlebih dahulu, agar tidak

menjadi masalah kesehatan akibat mengkonsumsi air

tersebut. Air yang sehat tidak berdampak negatif secara

signifikan terhadap kesehatan penggunanya dan terbebas

dari pencemaran kimiawi atau radiologis untuk pemakaian

jangka pendek dan panjang.

c. Standar prasarana dan perlengkapan untuk pengadaan air di

tempat  pengungsian menurut Depkes RI (2007b) antara lain:

1). Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang

berkapasitas 10-20 liter dan memiliki tempat penyimpanan

air  berkapasitas 20 liter. Alat ini sebaiknya berbentuk

wadah yang  berleher sempit dan mempunyai penutup.

2). Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram perbulan.

3). Kamar mandi umum harus tersedia dalam jumlah cukup

untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari


23

pada jam-jam tertentu, pisahkan petak-petak untuk

perempuan dan untuk laki laki.

4). Prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga

untuk umum dengan standar satu bak air untuk

dipergunakan maksimal 100 orang. Salah satu sumber

penularan penyakit diare adalah air bersih yang tidak

memenuhi syarat dari segi bakteriologi. Oleh karena itu,

pada tempat pengungsian perlu diperhatikan sarana air

bersih sudah memenuhi syarat kesehatan baik dari segi

kuantitas maupun kualitasnya.

2. Penyediaan Jamban (Pembuangan Kotoran Manusia) yang Tidak

Memenuhi Syarat

Jamban (pembuangan kotoran manusia yang tidak

memenuhi syarat pada lokasi bencana dan tempat pengungsian

dapat menjadi faktor risiko timbulnya penyakit diare. Oleh sebab

itu diperlukan penyediaan jamban dilokasi/pengungsian warga

paska bencana. Syarat-syarat  jamban yang sehat adalah (Depkes

RI, 2007b) :

a. Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang

cukup dan jaraknya tidak lebih dari 50 meter dari barak


24

pengungsian, supaya bisa di akses secara mudah dan cepat

kapan saja saat diperlukan.  

b. Sebaiknya setiap jamban digunakan paling banyak 20 orang.

c. Penggunaan jamban diatur per rumah tangga dan menurut

perbedaan  jenis kelamin.

d. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang

kurangnya  berjarak 30 meter dari sumber air bawah tanah,

dengan dasar  penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas

air tanah.

e. Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke sumber

air manapun,baik sumur maupun mata air dan sungai.

f. Tempat pembuangan tinja tidak boleh terbuka sehingga dapat

dipakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan

vektor  penyakit lainnya. Jika penyediaan jamban keluarga tidak

memenuhi syarat seperti diatas, maka kotoran/feses para

pengungsi atau warga dapat menjadi sumber  penularan diare di

daerah tersebut.

3. Pengelolaan Sampah di Tempat Pengungsian Tidak Memenuhi Syarat

Pengelolaan limbah padat/ sampah berkaitan dengan

kesehatan masyarakat, karena dari sampah akan hidup

mikroorganisme penyebab  penyakit dan juga binatang serangga

sebagai pemindah atau penyebar  penyakit (vektor). Tidak adanya

pengelolaan sampah yang baik di lokasi  bencana/tempat


25

pengungsian dapat menjadi faktor risiko timbulnya diare paska

bencana. Tata pengelolaan sampah padat di pengungsian harus

memperhatikan hal hal berikut (Depkes RI, 2007b) :

a. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15

meter dari sebuah bak sumpah atau lubang sampah keluarga,

atau lebih dari 100 meter jaraknya dari tempat sampah umum.  

b. Sebaiknya tersedia satu tempat sampah berkapasitas 100 liter

untuk tiap 10 keluarga bila limbah rumah tangga sehari hari

tidak di kubur ditempat.

Perlunya pengelolaan sampah di tempat pengungsian,

disebabkan karena  jika sampah padat yang dihasilkan dari aktifitas

pengungsi atau warga di tempat pengungsian tidak dikelola dengan

baik maka sampah tersebut dapat menjadi tempat

perkembangbiakan lalat. Lalat dapat menjadi  perantara penyakit

diare jika hinggap di kotoran manusia dan makanan yang akan

dikonsumsi oleh warga dilokasi bencana/tempat pengungsian.

4. Pengelolaan Limbah Cair di Pengungsian Tidak Memenuhi

Syarat

Limbah cair hasil dari aktifitas warga di lokasi

bencana/tempat  pengungsian jika dibuang sembarang tanpa

memperhatikan syarat-syarat  pengelolaan limbah cair di tempat

pengungsian dapat menjadi faktor risiko timbulnya diare paska


26

bencana. Pengelolaan limbah cair (pengeringan) pada tempat

pengungsian harus memperhatikan (Rezki, 2017) :

a. Risiko pengikisan tanah dan genangan air.

b. Termasuk air hujan, air luapan dari sumber sumber air, limbah

cair rumah tangga dan limbah cair dari prasarana prasarana

medis.

c. Tidak boleh ada genangan air limbah di sekitar titik titik tempat

pemukiman.

d. Air hujan dan luapan air/banjir sebaiknya di alirkan langsung

melalui saluran pembuangan air agar tempat tinggal/barak,

jalan-jalan setapak, serta prasarana pengadaan air juga tidak

terkikis oleh air.

5. Pengelolaan Makanan dan Minuman di Tempat Pengungsian

Pengelolaan makanan yang tidak memenuhi syarat

kesehatan di tempat pengungsian dapat menjadi faktor risiko

timbulnya diare. Pada tempat pengungsian dengan jumlah warga

yang banyak tentunya membutuhkan suplai makanan yang banyak

juga. Oleh sebab itu, makanan yang diberikan pada pengungsi

harus terjaga dari segi hygiene dan sanitasi mulai dari pengolahan

sampai penyajian makanan. Pengelolaan makanan dan minuman

yang tidak memenuhi syarat hygiene maka akan menjadi faktor

risiko timbulnya diare (Rezki, 2017).


27

2.1.3 Pengobatan Penyakit Diare

Dasar pengobatan diare adalah pemberian cairan (rehidrasi awal dan

rumat), dietetik (pemberian makanan), obat-obatan, dan sering tidak

diperlukan antibiotik. Saat ini lebih disarankan terutama pemberian zat

probiotik dan zink (Ai Yeyeh R, et al, 2010).

Pengobatan diare berdasarkan derajat dehidrasinya menurut

Departemen Kesehatan RI (2011a) adalah :

1. Diare Tanpa Dehidrasi dengan Rencana Terapi A

Dikatakan diare, apabila terdapat 2 (dua) tanda atau lebih seperti :

mata normal, minum seperti biasa, turgor kulit kembali dengan cepat. Dosis

oralit yang dapat diberikan adalah untuk anak < 1 tahun sebanyak ¼ - ½

gelas setiap kali anak mencret, umur 1-4 tahun ½ - 1 gelas setiap kali anak

mencret dan untuk > 5 tahun 1 - 1½ gelas setiap kali anak mencret.

2. Diare Dehidrasi Ringan-Sedang dengan Rencana Terapi B

Apabila terdapat 2 (dua) tanda atau lebih seperti anak gelisah dan

rewel, mata cekung, ingin minum banyak, dan turgor kulit kembali lambat.

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 mg/kg berat badan dan

selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.

3. Diare Dehidrasi Berat dengan Rencana Terapi C

Bila terdapat 2 (dua) tanda atau lebih yakni : anak lesu, lunglai dan

tidak sadar, mata cekung, tidak bias minum atau malas minum dan turgor

kulit kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik). Penderita diare yang tidak
28

dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas atau k epos pelayanan

terdekat untuk diinfus.

4. Seng (Zinc)

Dari sistematik reviu dari 10 RCT yang semuanya dilakukan di

negara berkembang pada tahun 1999, didapatkan bahwa suplemen seng

dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng,

ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi

diare mencapai 25%. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah

menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20

mg per hari selama 10-14 hari, dan bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg

per hari selama 10-14 hari (Bambang S, et al, 2011).

5. Pemberian Makanan Selama Diare

Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan

ditingkatkan setelah sembuh. Tujuannya adalah memberikan makanan

kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima. Meneruskan pemberian

makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal

termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien,

sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak

dikurangi (Bambang S, et al, 2011).

6. Pemberian Makanan Setelah Diare

Perlu pemberian makanan ekstra yang kaya akan zat gizi

beberapa minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan

untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan yang normal.


29

Diberikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan

semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau

lebih kalori dari biasanya (Bambang S, et al, 2011).

7. Terapi Medikamentosa

Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare,

seperti: antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetik, dan obat yang

mempengaruhi mikroflora usus (Bambang S, et al, 2011).

2.1.4 Cara Pencegahan Penyakit Diare

Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif

yang dapat dilakukan menurut Kemenkes RI (2011b) adalah :

1. Perilaku Sehat

a. Pemberian ASI

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat

makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna

dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk

menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak ada makanan lain

yang dibutuhkan selama masa ini.

ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu

formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan

dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja,

tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol,

menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan
30

menyebabkan diare. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara penuh

(memberikan ASI Eksklusif).

Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan.

Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan

sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan

adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut

memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir,

pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih

besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu

botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya

bakteri penyebab botol untuk susu formula, berisiko tinggi

menyebabkan diare yang dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

b. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara

bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku

pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian

terhadap kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI

diberikan.

Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian makanan

pendamping ASI, yaitu:

1). Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 6 bulan dan

dapat teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan


31

setelah anak berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih

sering (4x sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua

makanan yang dimasak dengan baik, 4-6 x sehari, serta teruskan

pemberian ASI bila mungkin.

2). Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi /bubur dan biji-

bijian untuk energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan,

daging, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau

ke dalam makanannya.

3). Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan meyuapi anak.

Suapi anak dengan sendok yang bersih.

4). Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang

dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.

c. Menggunakan Air Bersih yang Cukup

Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui

fecal-oral. Kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam

mulut melalui makanan, minuman, atau benda yang tercemar dengan

tinja, misalnya jari-jari tangan, makanan yang wadah atau tempat

makan-minum yang dicuci dengan air tercemar. Masyarakat yang

terjangkau oleh penyediaan air yang benar- benar bersih mempunyai

risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang

tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi

risiko terhadap serangan diare, yaitu dengan menggunakan air yang

bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari


32

sumbernya sampai penyimpanan di rumah. Beberapa hal yang harus

diperhatikan oleh keluarga :

1) Mengambil air dari sumber air yang bersih;

2) Menyimpan air dalam tempat yang bersih dan

tertutup, serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil

air;

3) Menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk

mandi anak-anak;

4) Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih);

5) Mencuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air

yang bersih dan cukup.

d. Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan

yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan.

Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar,

sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,

sebelum menyuapi makan anak, dan sebelum makan, mempunyai

dampak dalam kejadian diare (menurunkan angka kejadian diare

sebesar 47%).

e. Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya

penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam

penurunan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak


33

mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus buang

air besar di jamban. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh

keluarga dalam penggunaan jamban :

1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan

dapat dipakai oleh seluruh anggota keluarga;

2) Membersihkan jamban secara teratur;

3) Menggunakan alas kaki bila akan buang air besar.

f. Membuang Tinja Bayi dengan Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya.

Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit

pada anak-anak dan orang tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara

benar.

Yang harus diperhatikan oleh keluarga:

1). Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban

2). Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah di

jangkau olehnya.

3). Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja seperti

di dalam lubang atau di kebun kemudian ditimbun.

4). Bersihkan dengan benar setelah buang air besar dan cuci tangan

dengan sabun.

g. Pemberian Imunisasi Campak

Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk

mencegah agar bayi tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit
34

campak sering disertai diare, sehingga pemberian imunisasi campak

juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu berilah imunisasi campak

segera setelah bayi berumur 9 bulan.

2.2. PENGERTIAN BENCANA

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,

baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24, 2007).

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa

bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah

longsor (UU No. 24, 2007).

2.2.1. Gempa Bumi

Gempa bumi adalah getaran asli dari dalam bumi, bersumber di

dalam bumi yang kemudian merambat ke permukaan bumi akibat rekahan

bumi pecah dan bergeser dengan keras. Penyebab gempa bumi dapat berupa

dinamika bumi (tektonik), aktivitas gunungapi, akibat meteor jatuh,

longsoran (di bawah muka air laut), ledakan bom nuklir di bawah permukaan

(Arief M. Nur, 2010).

Pergerakan tiba‐tiba dari lapisan batuan di dalam bumi

menghasilkan energi yang dipancarkan ke segala arah berupa gelombang

gempabumi atau gelombang seismik. Ketika gelombang ini mencapai


35

permukaan bumi, getarannya dapat merusak segala sesuatu di permukaan

bumi seperti bangunan dan infrastruktur lainnya sehingga dapat

menimbulkan korban jiwa dan harta benda.

Berbeda dengan letusan gunung api dan bencana alam lain yang

didahului dengan tanda‐tanda atau gejala‐gejala yang muncul sebelum

kejadian, gempa bumi selalu datang secara mendadak dan mengejutkan

sehingga menimbulkan kepanikan umum yang luar biasa karena sama sekali

tidak terduga sehingga tidak ada seorang pun yang sempat mempersiapkan

diri.

Akibat yang ditimbulkan gempa bumi luar biasa dahsyat karena

mencakup wilayah yang sangat luas, menembus batas teritorial negara,

bahkan antar‐benua. Sifat getaran gempa bumi yang sangat kuat dan

merambat ke segala arah, mampu menghancurkan bangunan‐bangunan sipil

yang terkuat sekalipun, sehingga tak ayal lagi sangat banyak memakan

korban nyawa manusia. Bahkan gempabumi sering kali diikuti oleh bencana

alam lanjutan yang jauh lebih dahsyat berupa tanah longsor dan gelombang

tsunami (Sunarjo, et al, 2012).

2.2.1.1 Penyebab Gempa Bumi

a. Gempa Bumi Tektonik

Gempa Bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu

pergeseran lempeng-lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai

kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Gempa bumi ini

banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di Bumi, getaran


36

gempa Bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian Bumi. Gempa

bumi tektonik disebabkan oleh pelepasan tenaga yang terjadi karena

pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya gelang karet ditarik

dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Dalam kulit bumi terus menerus terjadi

yang disebut dengna proses geologis yang memiliki akibat konsentrasi dan

terkekangnya suatu tegangan-tegangan serta regangan-regangan yang

dalam waktu geologis mampu menghasilkan suatu perubahan-perubahan

pembentukan pegunungan-pegunungan.

Jika kondisi tersebut meningkatkan maka dapat melampua

kekuatan pada batas kulit bumi, terjadilah dikatakan suatu pergeseran-

pergeseran sepanjang bidang terlemah yang disebut dengan patahan

lempengan (fault) atau pergeseran blok-blok batuan untuk mencari suatu

keseimbangan baru. Gempa tektonik tersebut memiliki gelombang gempa

yang besar dan terjadi berulang-ulang serta tidak dapat diprediksi dapat

terjadi.

Ciri-Ciri Gempa Tektonik :

1) Gempa tektonik dikenal juga sebagai gempa dislokasi;

2) Gempa tektonik terjadi jika berbentuk patahan baru atau terjadi

pergeseran sepanjang patahan karena timbul tegangan di dalam kulit

bumi;

3) Berdasar atas rekaman yang ada, 90 persen dari seluruh gempa

dikategorikan sebagai gempa tektonik;


37

4) Penyebaran gempa sangat luas, dengan kekuatan menengah hingga

tinggi, diawal idengan gerakan yang lemah kemudian menimbulka

ngempa utama dengan skala yang cukup besar, kemudian di susul

oleh gempa-gempa susulan yang dengna intensistas yang semakin

mengecil dalam usaha mencapai suatu keseimbangan;

5) Korban yang ditimbulkan memiliki bentuk kerusakan dan juga korban

manusia.

b. Gempa Bumi Tumbukan

Gempa Bumi ini diakibatkan oleh tumbukan meteor atau asteroid

yang jatuh ke Bumi, jenis gempa Bumi ini jarang terjadi

c. Gempa Bumi Runtuhan

Gempa Bumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada

daerah pertambangan, gempabumi ini jarang terjadi dan bersifat lokal.

d. Gempa Bumi Buatan

Gempa bumi buatan adalah gempa bumi yang disebabkan oleh

aktivitas dari manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir atau palu yang

dipukulkan ke permukaan bumi.

e. Gempa Bumi Vulkanik (Gunung Api)

Gempa Bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa

terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi

maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan

terjadinya gempa bumi. Gempa bumi tersebut hanya terasa di sekitar

gunung api tersebut.


38

Gempa vulkanik dapat terjadi ketika berulang-ulang dalam sehari

atau bahkan dalam hitungan jam. Intensitas getaran gelombangnya

tidaklah besar sehingga tidak dapat mengakibatkan suatu kerusakan parah

pada bangunan. Gelombang gempa vulkanik yang masih dapat diprediksi

akan terjadi.

Ciri-Ciri Gempa Vulkanik :

1) Gempa vulkanik terjadi karena kinerja gunung berapi;

2) Terjadi sebelum, selama dan sesudah letusan gunung berapi;

3) Sebab utama gempa vulkanik ialah bersentuhan magma dengan

dinding tubuh gunung api dan tekanan gas pada peledakan hebat;

4) Perpindahan mendadak dari magma di dalam dapur magma;

5) Berdasarkan rekaman kejadian gempa terjadi, kurang lebih 7 persen

digolongkan ke dalam gempa vulkanik.

2.2.1.2 Proses terjadinya Gempa Bumi

Para ahli berpendapat bahwa terdapat sebab timbulnya gempa bumi

yakni :

a. Runtuhan lubang-lubang interior bumi. Misalnya gua atau tambang batuan

atua mineral dalam bumi yang menyebabkan getaran di atas

permukaannya, akan tetapi getaran tersebut tidaklah terlalu besar dan

terjadi hanya di setempat saja atau terjadi secara lokal;

b. Tabrakan. Tabrakan benda langit atau sering juga disebut dengan meteori

yang menyebabkan getaran, hanya saja getarannya tidak sampai terekam

oleh suatu alat pencatat getaran gempa bumi dan juga sangat jarang terjadi;
39

c. Letusan atau ledakan gunung api. Aktivitas gunung api dapat

menimbulkan gempa yang disebut dengan gunung api vulkanik.

Penyebabnya adanya persentuhan antara magma dengan dinding gunung

api dan juga tekanan gas yang meletus dengan kuat, atau terjadi suatu

perpindahan magna secara tiba-tiba dari dapur magma;

d. Kegiatan Tektonik. Gempa yang memiliki efek besar yang berasal dari

kegiatan tektonik. Gempa yang berhubungan dengan kegiatan gaya

tektonik berlangsung dalam gunung, terjadi patahan dan tarikan ataupun

tekanan dari pergerakan lempeng batuan penyusun kerak bumi.

2.2.1.3 Dampak Gempa Bumi

Adapun yang disebabkan oleh gempa bumi, bukanlah suatu persoalan

bisu ketika terjadi sebuah dampak gempa bumi. Indonesia yang sering dilanda

fenomen demikian, tidaklah sedikit anggaran dan berbagai akibat atau

dampak yang diterima oleh Indonesia akibat terjadinya proses gempa bumi.

Akibat gempa bumi atau dampak gempa bumi tersebut dibagi kedalam dua

macam dampak gempa bumi yakni sebagai berikut:

a. Dampak Fisik

1) Bangunan banyak yang hancur atau roboh;

2) Tanah longor akibat goncangan;

3) Jatuhnya korban jiwa;

4) bermukaan tanah menjadi merekat, retak dan jalan menjadi putus;

5) Banjir karena rusaknya tanggul;

6) Gempa dasar laut dapat menyebabkan tsunami.


40

b. Dampak Sosial

1) Menimbulkan kemiskinan;

2) Kelaparan;

3) Menimbulkan penyakit;

4) Bila pada sekala yang besar,bisa melumpuhkan politik, sistem

ekonomi dan lain-lain.

Bencana gempa bumi menimbulkan banyak kerugian pada

masyarakat, selain korban meninggal dunia, kurban luka berat, juga

kerusakan fasilitas umum seperti jalan, saluran air dan saluran pembuangan

limbah. Kasus penyakit menular makin meningkat seiring dengan makin

berkurangnya pasokan air bersih dan sanitasi lingkungan yang memburuk.

Dampak gempa di Provinsi DI Yogyakarta tahun 2006, menyebabkan kurban

meninggal dunia berjumlah 4.143 jiwa, kurban luka berat 12.026 jiwa,

fasilitas kesehatan yang rusak sebesar 94 buah dan rumah penduduk rusak

berat berjumlah 78.622. Salah satu akibat rusaknya fasilitas umum dan

kesehatan adalah munculnya kejadian luar biasa (KLB) diare dan disentri

yang dipengaruhi oleh ketersediaan sumber air minum yang sangat terbatas.

Sanitasi lingkungan sebagai kebutuhan penting di awal timbulnya bencana.

KLB di daerah bencana gempa bumi sering terjadi akibat kondisi lingkungan

yang kurang higienis, persediaan air terbatas serta jumlah jamban atau

fasilitas mandi cuci kakus (MCK) sangat terbatas. Sejak terjadi gempa,

sebagian besar sumur milik warga di Daerah Istimewa Yogyakarta banyak

yang rusak, terjadi pendangkalan, air menjadi keruh bahkan ada yang sama
41

sekali tak keluar air karena tanah dasar sumur naik. Banyak air sumur yang

tak layak untuk dikonsumsi (Lilis, 2017).

2.2.2. Kesiapsiagaan Bencana

Menurut UU RI (2007) mekanisme upaya penanggulangan masalah

kesehatan akibat bencana, meliputi kegiatan:

a. Pra Bencana (Pencegahan, Mitigasi dan Kesiapsiagaan)

Pencegahan bencana adalah tindakan-tindakan untuk menghambat

ancaman / bahaya yang menyebabkan terjadinya bencana. Kegiatannya

meliputi menyusun prosedur tetap/ pedoman, melakukan analisis

resiko, penyebarluasan informasi (Depkes, 2006). Selain itu,

pencegahan bencana dapat pula diartikan sebagai serangkaian

kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko

bencana baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun

kerentanan pihak yang terancam bencana.

Mitigasi adalah kegiatan-kegiatan yang lebih menitikberatkan pada

upaya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan bencana.

Kegiatannya meliputi struktural (pembangunan dan pengadaan fisik) dan

non struktural (menyusun standar pelayanan, menyusun perencanaan,

menyusun peraturan relokasi, jalur evakuasi, retro fitting) (Depkes,

2006). Mitigasi juga dapat diartikan serangkaian upaya untuk

mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun

penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana

(UU RI, 2007).


42

b. Saat Bencana (Tanggap Darurat)

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani

dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan

dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,

perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta

pemulihan prasarana dan sarana (Depkes, 2006).

c. Paska Bencana (Rehabilitasi dan Rekonstruksi)

Rehabilitasi adalah kegiatan untuk memulihkan dan memfungsikan

kembali sumberdaya kesehatan guna mengurangi penderitaan korban

(Depkes, 2006). Rehabilitasi juga diartikan sebagai upaya perbaikan dan

pemulihan pada semua aspek pelayanan publik atau masyarakat

sampai tingkat yang memadai pada wilayah paskabencana dengan

sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua

aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah paska

bencana (UU RI, 2007).

Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) memaparkan faktor-faktor

kritis parameter kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana yaitu:

1) Pengetahuan dan Sikap terhadap risiko bencana (Knowledge

and Attitude) merupakan pengetahuan dasar dan sikap petugas

mengenai bencana seperti jenis dan faktor bencana, bencana banjir,

serta prosedur, lokasi dan jalur evakuasi bencana.


43

2) Kebijakan dan Panduan (Policy Statement) yang berkaitan dengan

kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana seperti tersedianya draft,

renstra, protap, tempat evakuasi, panduan pemenuhan kebutuhan

dasar.

3) Rencana Tanggap Darurat (Emergency Planning) adalah rencana/

tindakan yang diperlukan untuk menangani keadaan darurat

dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana seperti pembuatan

peta, penampungan sementara, nomor hotline informasi, posko,

gladi pelatihan/ simulasi, analisis resiko, perencanaan kontijensi.

4) Sistem Peringatan Bencana (Warning System) merupakan

serangkaian sistem untuk memberitahukan akan timbulnya

kejadian alam, dapat berupa bencana meupun tanda-tanda alam

lainnya. Dalam hal ini berkaitan dengan sistem informasi,

penyampaian informasi, pengembangan sistem peringatan dini,

pelatihan dan simulasi.

2.2.3. Permasalahan Kesehatan Saat Bencana

Pedoman teknis penaggulangan krisis kesehatan akibat

bencana yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan tahun 2011a,

menyatakan masalah kesehatan pada korban bencana dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai akibat langsung

dan tidak langsung. Akibat langsung merupakan dampak primer

yang dialami korban di daerah bencana pada saat bencana terjadi

kasus-kasus, antara lain:


44

a. Trauma

Trauma terjadi akibat terkena langsung benda-benda keras

atau tajam atau tumpul. Contoh trauma, antara lain: luka robek,

luka tusuk, luka sayat, dan fraktur. Pada umumnya kasus trauma

perlu penanganan balk ringan maupun berat (lanjut). Kasus-kasus

trauma banyak terjadi pada korban bencana semacam gempa

bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, angin puyuh, kerusuhan,

kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, tindakan teror born,

dan lain-lain.

b. Gangguan pernapasan

Gangguan pernapasan terjadi akibat trauma pada jalan

napas, misalnya masuknya partikel debu, cairan dan gas beracun

pada saluran pernapasan. Kasus-kasus gangguan pernapasan

banyak terjadi pada korban bencana semacam tsunami, gunung

meletus, kebakaran, kecelakaan industri, dan lain-lain.

c. Luka bakar

Luka bakar terjadi akibat terkena langsung benda

panas/api/ bahan kimia. Kasus- kasus luka bakar banyak terjadi

pada korban bencana semacam kebakaran, gunung meletus,

kecelakaan industri, kerusuhan, tindakan teror born, dan lain-lain.

d. Keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik (stres paska

trauma)
45

Stres paska trauma adalah keluhan yang berhubungan

dengan pengalaman selama bencana terjadi. Kasus ini sering

ditemui hampir di setiap kejadian bencana.

e. Korban meninggal

Disaster Victim Identification (DVI) semakin dirasakan

perlu untuk mengidentifikasi korban meninggal paska bencana

baik untuk kepentingan kesehatan maupun untuk kepentingan

penyelidikan. Untuk kecepatan dan ketepatan pertolongan

maka setiap korban bencana perlu diklasifikasikan sebagai

berikut: a). Kasus gawat darurat; b). Kasus gawat tidak darurat;

c). Kasus tidak gawat tidak darurat (non gawat darurat) dan d).

Kasus mati.

Akibat tidak langsung merupakan dampak sekunder yang

dialami korban bencana pada saat terjadinya pengungsian. Masalah

kesehatan yang sering terjadi antara lain:

a) Kuantitas dan kualitas air bersih yang tidak memadai.

b) Kurangnya sarana pembuangan kotoran, kebersihan

lingkungan yang buruk (sampah dan limbah cair) sehingga

kepadatan vektor (lalat) menjadi tinggi, sanitasi makanan di

dapur umum yang tidak higienis, dan kepenuhsesakan

(overcrowded). Penyakit menular yang sering timbul di

pengungsian akibat faktor risiko di atas antara lain, diare, tipoid,

ISPA/pneumonia, campak, malaria, DBD, dan penyakit kulit.


46

c) Kasus penyakit sebagai akibat kurangnya sumber air bersih dan

kesehatan lingkungan yang buruk. Kasus-kasus yang sering

terjadi antara lain, diare, ISPA, malaria, campak, penyakit kulit,

tetanus, TBC, cacar, hepatitis, cacingan, tifoid, dan lain-lain.

d) Kasus gizi kurang sebagai akibat kurangnya konsumsi makanan.

Kasus-kasus yang sering terjadi antara lain, KEP, anemia dan

xeroftalmia.

e) Masalah kesehatan reproduksi yang sering terjadi seperti

gangguan selama kehamilan dan persalinan, terjadinya kehamilan

yang tidak diharapkan, menyebarnya infeksi menular seksual

(IMS), kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan lain-lain.

f) Berbagai bentuk keluhan psikologis dan gangguan psikiatrik

yang berhubungan dengan pengalaman yang dialami selama

bencana terjadi seperti stres paskatrauma, depresi, ansietas, dan

lain-lain.

2.2.4. Pelayanan Kesehatan Pengungsi

2.2.4.1. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Pengendalian penyakit dilaksanakan dengan pengamatan

penyakit (surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan

(penanganan kasus) yang dilakukan di lokasi bencana termasuk di

pengungsian. Baik yang dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan

yang masih ada maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam

rangka penanggulangan bencana.


47

Tujuan pengendalian penyakit pada saat bencana adalah

mencegah kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular potensi

wabah, seperti penyakit diare, ISPA, malaria, DBD, penyakit‐

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI), keracunan

dan mencegah penyakit‐penyakit yang spesifik lokal.

Permasalahan penyakit , terutama disebabkan oleh:

1). Kerusakan lingkungan dan pencemaran;

2). Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang

sempit, sehingga harus berdesakan;

3). Pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak

memenuhi syarat kesehatan;

4). Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah

maupun kualitasnya;

5). Diantara para pengungsi banyak ditemui orang‐orang yang

memiliki risiko tinggi, seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut;

6). Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular,

dekat sumber pencemaran, dan lain‐lain;

7). Kurangnya PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat);

8). Kerusakan pada sarana kesehatan yang seringkali diikuti dengan

padamnya listrik yang beresiko terhadap kualitas vaksin.


48

2.2.4.2. Air Bersih dan Sanitasi

a. Air Bersih

Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian

ketersediaan air bersih perlu mendapat perhatian, karena tanpa

adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan

meningkatkan risiko terjadinya penularan penyakit seperti diare,

typhus, scabies dan penyakit menular lainnya (Kemenkes, 2011a).

Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah

untuk mencegah timbulnya risiko kesehatan akibat penggunaan air

yang tidak memenuhi persyaratan (Kemenkes, 2011a).

1). Standar minimum kebutuhan air bersih (Kemenkes, 2011a)

Prioritas pada hari pertama/awal kejadian bencana atau

pengungsian kebutuhan air bersih yang harus disediakan bagi

pengungsi adalah 5 liter/orang/hari. Jumlah ini dimaksudkan

hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal, seperti masak,

makan dan minum.

Pada hari kedua dan seterusnya harus segera diupayakan

untukmeningkatkan volume air sampai sekurang kurangnya

15–20 liter/orang/ hari. Volume sebesar ini diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan minum, masak, mandi dan mencuci.

Bilamana hal ini tidak terpenuhi, sangat besar potensi risiko

terjadinya penularan penyakit, terutama penyakt penyakit

berbasis lingkungan.
49

Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka

melayani korban bencana dan pengungsian, volume air bersih

yang perlu disediakan di Puskesmas atau rumah sakit adalah 50

liter/orang/hari.

2). Sumber air bersih dan pengolahannya

Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi

berasal dari air permukaan (sungai, danau, laut, dan lain‐lain),

sumur gali, sumur bor, mata air dan sebagainya, perlu segera

dilakukan pengamanan terhadap sumber‐sumber air tersebut

dari kemungkinan terjadinya pencemaran, misalnya dengan

melakukan pemagaran ataupun pemasangan papan

pengumuman dan dilakukan perbaikan kualitasnya.

Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain

yang cukup jauh dengan tempat pengungsian, harus dilakukan

pengangkutan dengan menggunakan mobil tangki air. Untuk

pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water

purifier/water treatment plant).

3). Beberapa cara pendistribusian air bersih berdasarkan

sumbernya

Pendistribusian air permukaan (sungai dan danau)

diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan

air dan kemudian ke tangki penampungan air di tempat

penampungan pengungsi.
50

Pendistribusian sumur gali bilamana diperlukan dapat

dipasang pompa untuk menyalurkan air ke tangki penampungan

air. Apabila menggunakan Sumur Pompa Tangan (SPT) bila

lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi harus

disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan sebagainya.

Pendistribusian dengan sumber mata air perlu dibuat

bak penampungan air untuk kemudian disalurkan dengan

menggunakan pompa ke tangki air.

4). Tangki penampungan air bersih di tempat pengungsian

Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat

berupa tangki air yang dilengkapi dengan kran air. Untuk

mencegah terjadinya antrian yang panjang dari pengungsi yang

akan mengambil air, perlu diperhatikan jarak tangki air dari

tenda pengungsi minimum 30 meter dan maksimum 500 meter.

Untuk keperluan penampungan air bagi kepentingan

sehari hari keluarga pengungsi, sebaiknya setiap keluarga

pengungsi disediakan tempat penampungan air keluarga dalam

bentuk ember atau jerigen volume 20 liter.

5). Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih

Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit

memperoleh air bersih yang sudah memenuhi persyaratan, oleh

karena itu apabila air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik

dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan:


51

(1) Buang atau singkirkan bahan pencemar;

(2) Lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat

kekeruhan air yang ada cukup tinggi; lakukan

desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan

bahan bahan desinfektan untuk air;

(3) Periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari

PDAM;

(4) Lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada

titik‐titik distribusi.

a) Perbaikan Kualitas Air

Bilamana air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik

dari segi fisik maupun bakteriologis dapat dilakukan upaya

perbaikan kualitas air antara lain sebagai berikut :

(1) Penjernihan air cepat, menggunakan:

(a) alumunium sulfat (tawas);

(b) poly alumunium chlorida (PAC).

Lazim disebut penjernih air cepat yaitu polimer dari

garam alumunium chloride yang dipergunakan sebagai

koagulan dalam proses penjernihan air sebagai

pengganti alumunium sulfat. Kemasan PAC terdiri dari

cairan dan bubuk putih.

(2) Desinfeksi air


52

Proses desinfeksi air menurut Kemenkes (2011a) dapat

menggunakan:

(a) Kaporit (Ca(OCl)2)

Air yang telah dijernihkan dengan tawas atau PAC

perlu dilakukan desinfeksi agar tidak mengandung

kuman patogen. Bahan desinfektan untuk air yang

umum digunakan adalah kaporit (70% klor aktif).

Kaporit adalah bahan kimia yang banyak

digunakan untuk desinfeksi air karena murah,

mudah didapat dan mudah dalam penggunaanya.

Banyaknya kaporit yang dibutuhkan untuk

desinfeksi 100 liter air untuk 1 KK (5 orang)

dengan sisa klor 0,2 miligram/liter adalah sebesar

71,43 miligram/hari (72 miligram/hari).

(b) Aquatabs (aqua tablet)

Sesuai namanya Aquatabs berbentuk tablet, setiap

tablet aquatabs (8,5 miligram) digunakan untuk

mendesinfeksi 20 liter air bersih, dengan sisa klor

yang dihasilkan 0,1 – 0,15 miligram /liter. Setiap 1

KK (5 jiwa) dibutuhkan 5 tablet aquatabs per hari

untuk mendesinfeksi 100 liter air bersih.

b) Pengawasan kualitas air


53

Menurut Kemenkes (2011a) pengawasan kualitas air dapat

dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain:

(1) Pada awal distribusi air

(a) Air yang tidak dilakukan pengolahan awal, perlu

dilakukan pengawasan mikrobiologi, tetapi untuk

melihat secara visual tempatnya, cukup menilai ada

tidaknya bahan pencemar disekitar sumber air yang

digunakan;

(b) Perlu dilakukan test kekeruhan air untuk

menentukan perlu tidaknya dilakukan pengolahan

awal;

(c) Perlu dilakukan test pH air, karena untuk

desinfeksi air memerlukan proses lebih lanjut

bilamana pH air sangat tinggi (pH >5);

(d) Kadar klor harus tetap dipertahankan agar tetap 2

kali pada kadar klor di kran terakhir (rantai akhir),

yaitu 0,6 – 1 miligram /liter air.

(2) Pada distribusi air (tahap penyaluran air), seperti di

mobil tangki air perlu dilakukan pemeriksaan kadar sisa

klor;
54

(3) Pada akhir distribusi air, seperti di tangki penampungan

air, bila air tidak mengandung sisa klor lagi perlu

dilakukan pemeriksaan bakteri Coliform.

Pemeriksaan kualitas air secara berkala perlu dilakukan

meliputi:

(1) Sisa klor, pemeriksaan dilakukan beberapa kali sehari

pada setiap tahapan distribusi untuk air yang melewati

pengolahan;

(2) Kekeruhan dan pH, pemeriksaan dilakukan mingguan

atau bilamana terjadi perubahan cuaca, misalkan hujan;

(3) Bakteri E. coli tinja, pemeriksaan dilakukan mingguan

saat KLB diare maupun pada periode tanggap darurat

dan pemeriksaan dilakukan bulanan pada situasi yang

sudah stabil atau pada periode paska bencana.

Pada Permenkes No. 32 Tahun 2017 bahwa air untuk

keperluan hygiene yaitu air digunakan untuk pemeliharaan

kebersihan perorangan seperti mandi dan sikat gigi, serta untuk

keperluan cuci bahan pangan, peralatan makan, dan pakaian. Selain

itu Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi dapat digunakan sebagai

air baku air minum. Dengan demikian air bersih adalah air untuk

keperluan higiene.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan


55

Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan

Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus Per Aqua, dan Pemandian

Umum adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1. Parameter Fisik dalam Standar Baku Mutu Kesehatan


Lingkungan untuk Media Air untuk Keperluan Higiene
Sanitasi
Standar Baku Mutu
No. Parameter Wajib Unit
(kadar maksimum)
1. Kekeruhan NTU 25
2. Warna TCU 50
3. Zat padat terlarut
mg/l 1000
(Total Dissolved Solid)
4. Suhu oC suhu udara ± 3
5. Rasa tidak berasa
6. Bau tidak berbau
Sumber : Permenkes No. 32 Tahun 2017

Tabel 2.2 berisi daftar parameter wajib untuk parameter

biologi yang harus diperiksa untuk keperluan higiene sanitasi yang

meliputi total coliform dan escherichia coli dengan satuan/unit

colony forming unit dalam 100 mililiter sampel air.

Tabel 2.2. Parameter Biologi dalam Standar Baku Mutu Kesehatan


Lingkungan untuk Media Air untuk Keperluan Higiene
Sanitasi
Parameter Standar Baku Mutu
No. Unit
Wajib (kadar maksimum)
1. Total coliform CFU/100ml 50

2. E. coli CFU/100ml 0
Sumber : Permenkes No. 32 Tahun 2017
56

b. Pembuangan Kotoran (Kemenkes, 2011a)

Jika tidak terjadi pengungsian tetapi sarana yang ada

tergenang air sehingga tidak dapat digunakan, maka harus

disediakan jamban mobile atau jamban kolektif darurat dengan

memanfaatkan drum atau bahan lain. Pada saat terjadi pengungsian

maka langkah langkah yang diperlukan adalah sebagai berikut:

1). Pada awal terjadinya pengungsian perlu dibuat jamban umum

yang dapat menampung kebutuhan sejumlah pengungsi. Contoh

jamban yang sederhana dan dapat disediakan dengan cepat

adalah Jamban dengan galian parit , jamban kolektif (jamban

jamak). Jamban kolektif dengan menggunakan drum bekas dan

Jamban mobile (dapat dikuras). Untuk jamban mobile

pemeliharaan dan pemanfaatannya, dilakukan kerjasama antara

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kebersihan/Dinas

Pekerjaan Umumn, terutama dalam pengurasan jamban

bilamana perlu. Pada awal pengungsian 1 (satu) jamban dipakai

oleh 50 – 100 orang. Pemeliharaan terhadap jamban harus

dilakukan dan diawasi secara ketat dan lakukan desinfeksi di

area sekitar jamban dengan menggunakan kapur, lisol dan lain‐

lain;

2). Pada hari hari berikutnya setelah masa emergency berakhir,

pembangunan jamban darurat harus segera dilakukan dan 1

(satu) jamban disarankan dipakai tidak lebih dari 20 orang.


57

Jamban yang dibangun di lokasi pengungsi disarankan:

1). Ada pemisahan peruntukannya khusus laki laki dan wanita;

2). Lokasi maksimal 50 meter dari tenda pengungsi dan minimal 30

meter dari sumber air;

3). Jarak minimal antara jamban terhadap lokasi sarana air bersih

10 meter;

4). Konstruksi jamban harus kuat dan dilengkapi dengan tutup pada

lubang jamban agar tidak menjadi tempat berkembang biak

lalat, kecoa dan binatang pengganggu lainnya. Selain itu juga

harus mempertimbangkan tinggi permukaan air tanah, musim,

dan komposisi tanah;

5). Pembuatan jamban harus disesuaikan dengan kondisi sosial,

budaya, kepercayaan dan kebiasaan dari para pengungsi dengan

memperhatikan jumlah pengungsi dan penyebarannya juga

ketersediaan material lokal.

c. Sanitasi Pengelolaan Sampah

Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat

berkembangbiaknya vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus,

kecoa, dan sebagainya. Selain itu sampah dapat mencemari tanah

dan menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti bau

yang tidak sedap dan pemandangan yang tidak enak dilihat.

Oleh karena itu pengelolaan sampah sangat penting untuk

mencegah penularan penyakit tersebut. Tempat sampah harus


58

disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap hari dan dibuang

ke tempat penampungan sementara. Bila tidak terjangkau oleh

pelayanan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir, dapat

dilakukan pemusnahan sampah dengan cara ditimbun atau dibakar.

Kegiatan yang dilakukan dalam upaya sanitasi pengelolaan

sampah menurut Kepmenkes (2011a) antara lain:

1). Pengumpulan sampah;

a) Sampah yang dihasilkan harus ditampung pada tempat

sampah keluarga atau sekelompok keluarga;

b) Disarankan menggunakan tempat sampah yang dapat ditutup

dan mudah dipindahkan/diangkat untuk menghindari lalat

serta bau, untuk itu dapat digunakan potongan drum atau

kantung plastik sampah ukuran 1 m x 0,6 m untuk 1 – 3

keluarga;

c) Penempatan tempat sampah maksimum 15 meter dari tempat

hunian;

d) Sampah ditempat sampah tersebut maksimum 3(tiga) hari

harus sudah diangkut ke tempat pembuangan akhir atau

tempat pengumpulan sementara.

2). Pengangkutan sampah;

Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan gerobak sampah

atau dengan truk pengangkut sampah untuk diangkut ke tempat

pembuangan akhir.
59

3). Pembuangan akhir sampah;

Pembuangan akhir sampah dapat dilakukan dengan beberapa

cara, seperti pembakaran, penimbunan dalam lubang galian atau

parit dengan ukuran dalam 2 meter lebar 1,5 meter dan panjang

1 meter untuk keperluan 200 orang. Perlu diperhatikan bahwa

lokasi pembuangan akhir harus jauh dari tempat hunian dan

jarak minimal dari sumber air 10 meter.

4). Pengawasan dan pengendalian vektor (Kepmenkes, 2011a)

Berbagai jenis vektor seperti lalat, tikus serta nyamuk dapat

berkembang dari pengelolaan sampah yang tidak tepat di lokasi

pengungsi. Upaya yang dilakukan berupa:

a) Pembuangan sampah/sisa makanan dengan baik;

b) Bilamana diperlukan dapat menggunakan insektisida;

c) Tetap menjaga kebersihan individu selama berada di lokasi

pengungsi;

d) Penyediaan sarana pembuangan air limbah (SPAL) dan

e) Pembuangan sampah yang baik.

d. Pengawasan dan Pengamanan Makanan dan Minuman

Pengawasan dan pengamanan makanan dan minuman Dalam

pengelolaan makanan dan minuman pada bencana (untuk konsumsi

orang banyak), harus memperhatikan kaedah hygiene sanitasi

makanan dan minuman (HSMM), untuk menghindari terjadinya

penyakit bawaan makanan termasuk diare, disentri, korela, hepatitis


60

A dan tifoid, atau keracunan makanan dan minuman, berdasarkan

pedoman WHO Ensuring food safety in the aftermath of natural

disasters antara lain yaitu:

1). Semua bahan makanan dan makanan yang akan didistribusikan

harus sesuai untuk konsumsi manusia baik dari segi gizi dan

budaya;

2). Makanan yang akan didistribusikan sebaiknya dalam bentuk

kering dan penerima mengetahui cara menyiapkan makanan;

3). Stok harus dicek secara teratur dan pisahkan stok yang rusak;

4). Petugas yang menyiapkan makanan harus terlatih dalam higiene

dan prinsip menyiapkan makanan secara aman;

5). Petugas yang menyiapkan makanan sebaiknya tidak sedang sakit

dengan gejala berikut : sakit kuning, diare, muntah, demam,

nyeri tenggorok (dengan demam), lesi kulit terinfeksi atau

keluarnya discharge dari telinga, mata atau hidung;

6). Petugas kebersihan harus terlatih dalam menjaga dapur umum

dan area sekitarnya tetap bersih;

7). Air dan sabun disediakan untuk kebersihan personal;

8). Makanan harus disimpan dalam wadah yang melindungi dari

tikus, serangga atau hewan lainnya;

9). Di daerah yang terkena banjir, makanan yang masih utuh harus

dipindahkan ke tempat kering;

10). Buanglah makanan kaleng yang rusak, atau bocor;


61

11). Periksa semua makanan kering dari kerusakan fisik, tumbuhnya

jamur dari sayuran, buah dan sereal kering;

12). Air bersih untuk menyiapkan makanan; dan

13). Sarana cuci tangan dan alat makan harus disiapkan.

Sebagai tambahan, WHO juga mengeluarkan panduan kunci

keamanan pangan (WHO Five Keys for Safer Food) :

1). Jaga kebersihan makanan;

2). Pisahkan bahan mentah dan makanan yang sudah dimasak;

3). Masak secara menyeluruh;

4). Jaga makanan pada suhu aman;

5). Gunakan air dan bahan mentah makanan yang aman.

Termasuk dalam hygiene dan sanitasi makanan adalah upaya

untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat, dan

perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan

penyakit atau gangguan kesehatan.

2.2.5. Organisasi Darurat Bencana

Pada saat terjadi darurat bencana, Komando Darurat Bencana

adalah organisasi yang bertugas untuk perencanaan, pelaksanaan dan

pengendalian operasi penanganan darurat bencana dengan

mengaktifkan pusat pengendalian operasi. Perencanaan Operasi yang

ditetapkan melalui proses penyusunan perencanaan seperti diuraikan

pada bab-bab sebelumnya merupakan bagian dari tugas pokok

Komando (BNPB, 2010).


62

1. Organisasi

a. Organisasi Komando Darurat Bencana merupakan organisasi

satu komando, dengan mata rantai dan garis komando serta

tanggung jawab yang jelas. Instansi/Lembaga dapat

dikoordinasikan dalam satu organisasi berdasarkan satu

kesatuan komando. Organisasi ini dapat dibentuk di semua

tingkatan wilayah bencana baik di tingkat Kabupaten/Kota,

Provinsi maupun tingkat Nasional.

b. Struktur organisasi komando darurat bencana terdiri dari

Komandan yang dibantu oleh Staf Komando dan Staf Umum,

yang secara lengkap terdiri dari:

(1) Komandan Darurat Bencana

(2) Wakil Komandan Darurat Bencana

(3) Staf Komando:

(a) Sekretariat

(b) Hubungan Masyarakat dan media

(c) Keselamatan dan Keamanan

(d) Perwakilan Instansi/Lembaga

(4) Staf Umum:

(a) Bidang Perencanaan

(b) Bidang Operasi

(c) Bidang Logistik dan Peralatan

(d) Bidang Administrasi Keuangan


63

c. Struktur organisasi ini merupakan organisasi standar dan

dapat diperluas berdasarkan kebutuhan.

d. Sesuai dengan jenis, kebutuhan dan kompleksitas bencana

dapat dibentuk unit organisasi dalam bentuk seksi-seksi yang

berada di bawah Bidang dan dipimpin oleh Kepala Seksi

yang bertanggung jawab kepada Kepala Bidang

2. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi

a. Komando Darurat Bencana memiliki tugas pokok untuk:

(1) Merencanakan operasi penanganan darurat bencana;

(2) Melakukan tindakan aksi yang dimaksudkan untuk

mengatasi atau mengurangi sumber bencana;

(3) Mengajukan permintaan kebutuhan bantuan;

(4) Melaksanakan dan mengkoordinasikan pengerahan

sumberdaya untuk penanganan tanggap darurat bencana

secara cepat tepat, efisien dan efektif;

(5) Menyebarluaskan informasi mengenai bencana dan

pananganan bencana kepada media masa dan masyarakat

luas.

b. Fungsi Komando Darurat Bencana adalah mengkoordinasikan,

mengintegrasikan dan mensinkronisasikan seluruh unsur dalam

organisasi Komando Darurat Bencana untuk penanganan

darurat bencana.
64

Komandan

Wakin Komandan

Perwakilan
Sekretariat
Dinas/Lembaga

Keselamatan dan
Humas
Keamanan

Bidang Bidang Bidang Logistik Bidang Adm.


Perencanaan Operasi dan Peralatan Keuangan

Seksi Seksi Seksi Seksi

Seksi Seksi Seksi Seksi


Gambar 2.1. Struktur Organisasi Komando Darurat Bencana
(Sumber : BNPB, 2010. Penyusunan Rencana Operasi Darurat Bencana)

2.2.6. Mekanisme Kesiapan dan Penanggulangan Dampak Bencana

Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka

penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi :

a. Pada Pra Bencana

Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :

1). Situasi Tidak Terjadi Bencana

Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang

berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu

tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan

penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :

a) Perencanaan penanggulangan bencana;

b) Pengurangan risiko bencana;


65

c) Pencegahan;

d) Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

e) Persyaratan analisis risiko bencana;

f) Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;

g) Pendidikan dan pelatihan; dan

h) Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

2). Situasi Terdapat Potensi Bencana

Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan,

peringatan dini dan mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana.

a) Kesiapsiagaan

b) Peringatan Dini

c) Mitigasi Bencana

Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan

multi stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi

koordinasi.

b. Saat Tanggap Darurat

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat

meliputi:

1). Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan

sumber daya;

2). Penentuan status keadaan darurat bencana;

3). Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

4). Pemenuhan kebutuhan dasar;


66

5). Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

6). Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

c. Paska Bencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap paska bencana

meliputi:

1). Rehabilitasi; dan

2). Rekonstruksi.

d. Mekanisme Penanggulangan Bencana

Mekanisme penanggulangan bencana yang akan dianut dalam hal

ini adalah mengacu pada UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan

Bencana dan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2008 tentang

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dari peraturan perundang-

undangan tersebut di atas, dinyatakan bahwa mekanisme tersebut dibagi ke

dalam tiga tahapan yaitu :

1). Pada pra bencana maka fungsi BPBD bersifat koordinasi dan pelaksana;

2). Pada saat Darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana;

3). Pada paska bencana bersifat koordinasi dan pelaksana.

2.2.6.1. Alokasi Dan Peran Pelaku Kegiatan Penanggulangan Bencana

a. Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait

Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan

memerlukan koordinasi dengan sektor. Secara garis besar dapat diuraikan

peran lintas sektor sebagai berikut :


67

1). Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan

daerah.

2). Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik

termasuk obat-obatan dan para medis.

3). Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan

dasar lainnya untuk para pengungsi.

4). Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan

lokasi dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan

prasarana.

5). Sektor Perhubungan, melakukan deteksi dini dan informasi

cuaca/meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi dan

komunikasi.

6). Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan

mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana geologi dan bencana

akibat ulah manusia yang terkait dengan bencana geologi sebelumnya.

7). Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan

pemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana.

8). Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan

penanggulangan bencana pada masa pra bencana.

9). Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif

khususnya kebakaran hutan/lahan.


68

10). Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikan upaya

yang bersifat preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan

bencana.

11). Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di

bidang bencana tsunami dan abrasi pantai.

12). Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan kajian

dan penelitian sebagai bahan untuk merencanakan penyelenggaraan

penanggulangan bencana pada masa pra bencana, tanggap darurat,

rehabilitasi dan rekonstruksi.

13). TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat

darurat termasuk mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena

penghuninya mengungsi.

b. Peran dan Potensi Masyarakat

1). Masyarakat

Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus

korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani

bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke skala

yang lebih besar.

2). Swasta

Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup

menonjol pada saat kejadian bencana yaitu saat pemberian bantuan

darurat. Partisipasi yang lebih luas dari sektor swasta ini akan sangat
69

berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi

bencana.

3). Lembaga Non-Pemerintah

Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya memiliki

fleksibilitas dan kemampuan yang memadai dalam upaya

penanggulangan bencana. Dengan koordinasi yang baik lembaga Non

Pemerintah ini akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya

penanggulangan bencana mulai dari tahap sebelum, pada saat dan

paska bencana.

4). Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian

Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan

berdasarkan penerapan ilmupengetahuan dan teknologi yang tepat.

Untuk itu diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-

lembaga pendidikan dan penelitian.

5). Media

Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik.

Untuk itu peran media sangat penting dalam hal membangun

ketahanan masyarakat menghadapi bencana melalui kecepatan dan

ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan berupa

peringatan dini, kejadian bencana serta upaya penanggulangannya,

serta pendidikan kebencanaan kepada masyarakat.


70

6). Lembaga Internasional

Pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari lembaga

internasional, baik pada saat pra bencana, saat tanggap darurta

maupun paska bencana. Namun demikian harus mengikuti peraturan

dan perundang-undangan yang berlaku.

2.2.6.2. Manajemen Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana

Sistem manajemen logistik dan peralatan penanggulangan bencana,

merupakan suatu sistem yang menjelaskan tentang logistik dan peralatan

yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana pada masa pra bencana,

pada saat terjadi bencana dan pada paska bencana. Sistem manajemen

logistik dan peralatan penanggulangan bencana merupakan suatu sistem yang

memenuhi persyaratan antara lain sebagai berikut (BNPB, 2008) :

1. Dukungan logistik dan peralatan yang dibutuhkan harus tepat waktu,

tepat tempat, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat kebutuhan dan tepat

sasaran, berdasarkan skala prioritas dan standar pelayanan.

2. Sistem transportasi memerlukan improvisasi dan kreatifitas di

lapangan, baik melalui darat, laut, sungai, danau maupun udara.

3. Distribusi logistik dan peralatan memerlukan cara-cara penyampaian

yang khusus (a.l. karena keterbatasan transportasi, penyebaran kejadian,

keterisolasian ketika terjadi bencana).

4. Inventarisasi kebutuhan, pengadaan, penyimpanan dan penyampaian

sampai dengan pertanggungan jawab logistik dan peralatan kepada yang

terkena bencana memerlukan sistem manajemen khusus.


71

5. Memperhatikan dinamika pergerakan masyarakat korban bencana.

6. Koordinasi dan prioritas penggunaan alat transportasi yang terbatas.

7. Kemungkinan bantuan dari pihak militer, kepolisian, badan usaha,

lembaga swadaya masyarakat maupun instansi terkait lainnya baik dari

dalam maupun luar negeri, atas komando yang berwenang.

8. Memperhatikan rantai pasokan yang efektif dan efisien.

Faktor utama yang dapat mendukung berjalannya sistem logistik dan

peralatan untuk penanggulangan bencana adalah : Kemampuan infrastruktur,

ketersediaan dan jumlah alat transportasi penanggulangan bencana baik

secara nasional, regional, lokal maupun setempat. Perlu dipertimbangkan

faktor politis dan konflik di masyarakat. Efektifitas sistem logistik dan

peralatan ini sangat dipengaruhi oleh sistem informasi dan pengendaliannya.

Rantai pasokan dalam sistem manajemen logistik dan peralatan

berdasar kepada:

1. Tempat atau titik masuknya logistik

2. Gudang utama

3. Gudang penyalur

4. Gudang penyimpanan terakhir di pos komando

Semuanya harus didukung oleh fasilitas pendukung dan peralatan

yang memadai untuk mengangkut atau memindahkan secara fisik logistik

yang akan disampaikan ke lokasi bencana.

Proses Manajemen logistik dan peralatan dalam penanggulangan

bencana ini meliputi delapan tahapan terdiri dari:


72

1. Perencanaan/Inventarisasi Kebutuhan

2. Pengadaan dan/atau Penerimaan

3. Pergudangan dan/atau Penyimpanan

4. Pendistribusian

5. Pengangkutan

6. Penerimaan di tujuan

7. Penghapusan

8. Pertanggungjawaban

Delapan tahapan Manajemen Logistik dan Peralatan tersebut

dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu sistem terpadu.

2.3. Kebijakan Publik

2.3.1. Pengertian Kebijakan Publik

Dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas digunakan

dalam kaitannya dengan tindakan pemerintah seperti perilaku negara pada

umumnya (Nurtje, 2014). Kebijakan-kebijakan tersebut dapat kita temukan

dalam bidang kesejahteraan sosial, bidang kesehatan, perumahan rakyat,

pendidikan nasional dan bidang-bidang lainnya yang menyangkut hajat hidup

masyarakat (Nuryatin, 2013).

Menurut Islamy (2001), menyimpulkan bahwa kebijakan publik

adalah tindakan yang diterapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang

mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan

seluruh masyarakat.
73

Untuk memahami lebih jauh bagaiman kebijakan publik sebagai solusi

permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan

seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi

kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik dunia.

Thomas R.dye (1981) menyebutkan, “kebijakan publik adalah apa

yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah”. Pengertian

yang diberikan oleh Thomas R.Dye ini memiliki ruang lingkup yang sangat

luas. Selain itu, kajiannya hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian.

Chief J.O. Udoji (1981) mendefinisikan, “kebijakan publik sebagai

suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang

diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling

berkaitan yang mempengaruhi sebagaian besar warga masyarakat”.

George C. Edward III (1980) mengemukakan, “kebijakan publik

didefinisikan sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan

oleh pemerintah termasuk kebijakan publik”. Merujuk pada definisi tersebut,

kebijakan publik tampil sebagai sasaran atau tujuan program-program.

Edward lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan publik itu dapat diterapkan

secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk pidato-

pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan

tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.

Woll (1966) berpendapat bahwa, “kebijakan publik ialah sejumlah

aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara


74

langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan

masyarakat”.

Dalam pelaksanaan kebijakan public terdapat tiga tingkat pengaruh

sebagai implikasi dari tindakan pemerintah tersebut, yaitu : 1) adanya pilihan

kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau

yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk

mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2) adanya output kebijakan, dimana

kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk

melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat

regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan

masyarakat; 3) adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan

kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik diatas, dapat

disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu di masyarakat dimana dalam penyusunannya melalui berbagai

tahapan.

2.3.2. Tahap-tahap dalam Perumusan Kebijakan Publik

Perumusan kebijakan merupakan salah satu tahap yang paling penting

dalam pembentukan kebijakan publik. Suatu keputusan kebijakan mencakup

tindakan oleh seorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui,

mengubah atau menolak suatu alternative kebijakan yang dipilih. Demikian

juga keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah


75

dianggap sah, jika pejabat-pejabat tersebut mempunyai wewenang yang sah

untuk bertindak dan memenuhi ukuran-ukuran yang diterima dalam

mengambil tindakan.

Tahap-tahap dalam perumusan kebijakan menurut Winarno (2008)

adalah :

1. Perumusan masalah.

Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang

paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat

merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus

dikenali dan diidentifikasi dengan baik pula. Kebijakan publik pada

dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat.

2. Agenda kebijakan.

Tidak semua masalah publik masuk dalam agenda kebijakan.

Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang

lainnya. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk

kedalam agenda kebijakan.

3. Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.

Setelah masalah-masalah kebijakan didefinisikan dengan baik dan

para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut

dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat

pemecahan masalah. Disini para perumus kebijakan akan berhadapan

dengan alternative-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk

memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini para perumus kebijakan


76

akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang

terlibat dalam perumusan kebijakan.

4. Penetapan kebijakan.

Setelah salah satu dari sekian alternative kebijakan diputuskan

diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka paling

akhir dalam pemebentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang

dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hokum yang mengikat.

Alternative kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi

dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan

kebijakan tersebut. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-

undang, yurisprudensi, keputusan presiden, keputusan menteri, dan lain

sebagainya.

2.3.3. Model Implementasi Kebijakan Publik menurut George C.

Edward III

Implementasi kebijakan merupakan proses yang rumit dan komplek.

Namun, dibalik kerumitan dan kekomplekannya tersebut, implementasi

memegang peran yang cukup vital dalam proses kebijakan. Tanpa adanya

tahap implementasi kebijakan, program-program kebijakan yang telah

disusun hanya akan menjadi catatan-catatan resmi di meja para pembuat

kebijaka. Implementasi kebijakan yang berhasil menjadi faktor penting dari

keseluruhan proses kebijakan.

Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan publik,

antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi


77

masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak

dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka

kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu

diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang

telah direncanakan dengan sangat baik, mungkin juga akan mengalami

kegagalan, jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik

oleh para pelaksana kebijakan.

Menurut teori Edward ada empat faktor atau variabel krusial dalam

implementasi kebijakan publik. Tidak ada variabel tunggal dalam proses

implementasi kebijakan, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu

variabel dengan variabel yang lain, dan bagaimana variabel-variabel ini

mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Berikut adalah 4 (empat)

faktor atau variabel yang mempengaruhi kebijakan publik :

1. Komunikasi (Communications)

Secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses

komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, kejelasan dan konsistensi.

a. Transmisi

Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi

kebijakan adalah transmisi. Ada beberapa hambatan yang timbul

dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi. Pertama,

pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang

dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap


78

kebijakan-kebijakan atau distorsi seketika terhadap komunikasi

kebijakan.

Kedua, informasi melewati berlapis-lapis hirarki birokrasi.

Seperti kita ketahui birokrasi mempunyai struktur yang ketat dan

cenderung hirarkis. Kondisi ini sangat mempengaruhi tingkat

efektivitas komuniksasi kebijakan yang dijalankan. Ketiga, pada

akhirnya penangkapankomunikasi-komunikasi mungkin dihambat

oleh persepsi yang selektif dan ketidakmauan para pelaksana untuk

mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.

b. Kejelasan

Faktor kedua yang dikemukakan edward adalah kejelasan.

Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang

diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus

diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi

kebijakan tersebut harus jelas. Ketidakjelasan pesan komunikasi

yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan

mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin

bertentangan dengan makna pesan awal.

c. Konsistensi

Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komuniksasi

kebijaka adalah konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin

berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus

konsisten dan jelas. Disisi yang lain, perintah-perintah


79

implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para

pelaksana kebijakan mengambil tindakan yang sangat longgar

dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.

2. Sumber daya (Resources)

Sumber daya memiliki peran penting dalam implementasi

kebijakan. Edward III dalam Widodo (2011:98) mengemukakan bahwa,

bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan dan aturan-

aturan serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan

atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang

bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai

sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif, maka

implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya tersebut

mencakup :

a. Sumber daya manusia (Staff)

Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya

dukungan dari sumber daya manusia yang cukup secara kualitas dan

kuantitasnya.kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan

keterampilan, dedikasi, profesionalitas dan kompetensi dibidangnya.

Sedangakan kuantitasnya berkaitan dengan jumlah sumber daya

manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi seluruh kelompok

sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang

profesional implementasi kebijakan akan berjalan lambat.


80

b. Anggaran (Budgetary)

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan

kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan

untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan

anggaran yang memadai, kebijakan tidak akan berjalan dengan

efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.

c. Fasilitas (Facillity)

Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu

faktor yang berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan

fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan peralatan perkantoran

akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program

atau kebijakan.

d. Informasi dan kewenangan (Information & Authority)

Informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi

kebijakan, terutama implementasi yang relevan dan cukup.

3. Sikap (Dispositions)

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi

kebijakan adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan

bagian-bagian isi dari kebijakan, maka mereka akan melaksanakan

dengan senang hati. Tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan

pembuat kebijakan, maka proses implementasi akan mengalami banyak

masalah. Ada tiga bentuk sikap atau respon implementor terhadap

kebijakan : 1) kesadaran pelaksana; 2) petunjuk/arahan pelaksana untuk


81

merespon program kearah penerimaan atau penolakan; dan 3) intensitas

dari respon tersebut.

4. Stuktur birokrasi (Bureucratic Structure)

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat

dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik,

norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam

badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik, potensial

maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan

kebijakan. Beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap

organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu :

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.

b. Tingkat pengawasan hirarki terhadap keputusan-keputusan sub unit

dan proses-proses dalam badan pelaksana.

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan diantara

anggota legislatif dan eksekutif)

d. Tingkat komunikasi ”terbuka” yaitu jaringan kerja komunikasi

horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan

yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-

individu diluar organisasi.

e. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat

keputusan atau pelaksana keputusan. Kebijakan yang kompleks

membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumber

daya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang


82

dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum

akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

Menurut Edward terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak

kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu dengan

melakukan Standard Operating Prosedure (SOP) dan melaksanakan

fragmentasi.

1) Standard Operating Prosedure (SOP) adalah suatu kegiatan rutin

yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk

melaksanakan berbagai kegiatannya setiap hari sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi yang terlalu

panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan

menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan

kompleks. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas

organisasi tidak fleksibel.

2) Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-

kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit.

Keempat faktor tersebut diatas saling berhubungan dan saling

memengaruhi dalam proses implementasi. Hubungan faktor-faktor yang

saling memengaruhi tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini :


83

Gambar 2.2 Model Kebijakan Menurut George C. Edward III


Peran serta dari berbagai sektor terkait dalam penanggulangan

bencana, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dapat

dilihat pada tabel 2.3.


83

Tabel 2.3. Kegiatan dan Instansi Penanggulangan Bencana


Instansi

Bappeda

Dinkes-
Telkom
Dishub
Dinkes

Dinsos
BPBD

Media
Dinas

Toma
LSM

Toga
DLH
TNI/
Polri

PLN

Kec
tran
PU
Pilihan
Tindakan
Kegiatan
Pembuatan peta rawan (pelaksanaan
∆ ∆ ∆ ∆
Pra dan penegakan tata ruang)
Bencana Penyuluhan   ∆ ∆
saat tidak Pelatihan dan pendidikan  ∆ ∆ ∆
terjadi
Pengembangan SDM ∆ ∆
bencana
Analisis resiko dan bahaya ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆
Pra Pembentukan POSKO pengungsian ∆
bencana
saat Peringatan   ∆
terdapat
potensi Rencana kontinjensi ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆
bencana
Pernyataan bencana (status keadaan
darurat bencana)
Bantuan darurat ∆ ∆ ∆ ∆
Pada saat Perlindungan terhadap kelompok
tanggap ∆ ∆
rentan 
darurat Pemulihan dengan segera prasarana
∆ ∆ ∆ ∆
dan sarana vital
Penyelamatan dan evakuasi
∆ ∆ ∆ ∆
masyarakat terkena bencana
Kaji Bencana ∆ ∆
Paska Rehabilitas
∆ ∆
bencana i
Rekontrusksi ∆ ∆
84

Hasil Olahan Peneliti (Sumber : Perka BNPB No. 4 tahun 2008)


85

Perencanaan. Faktor Agent


Pengurangan risiko bencana.
Bakteri/ Kuman
Pencegahan .
Pemaduan dalam perencanaan
pembangunan. Faktor Host
Persyaratan analisis risiko bencana.
PRA Gizi Buruk
Penegakan rencana tata ruang.
BENCANA
KERANGKA Pendidikan dan pelatihan. ASI Ekslusif
TEORI Penentuan persyaratan standar teknis.
PHBS :
Kesiapsiagaan
KERANGKA Peringatan dini dan Mencuci tangan
TEORI Mitigasi bencana Membuang tinja
Penggunaan air
BENCANA

bersih
Imunisasi campak
Pengkajian : lokasi, kerusakan dan Komunikasi Kejadian
sumber daya. Sumber Daya Diare
SAAT Penentuan status keadan darurat. Struktur pada
BENCANA Penyelamatan dan evakuasi korban. Birokrasi
balita
Pemenuhan kebutuhan dasar. Disposisi  Faktor
Pelayanan psikososial dan kesehatan. Environment :
Penyediaan Air
Bersih
PASKA Rehabilitasi Penyediaan Jamban
BENCANA Rekonstruksi
Pengelolaan
Sampah

Gambar 2.3. Kerangka Teori Pengelolaan


(Sumber : Permenkes RI, 2010; Kepmenkes RI, 2008; Kepmenkes RI, 2011a; Rezki, Limbah Cair
2017; Purnama, 2017; Undang-Undang (UU) No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Pengelolaan
Bencana; Widodo, 2011) Makanan dan
Minuman
85

2.5. POSISI PENELITIAN

Tabel 2.4. Posisi Penelitian


N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
Yusri Dianne Status Morbiditas Penelitian ini Sampel semua berjumlah 508
1 Jurnalis, Anak Paska merupakan orang anak yang datang ke
Asviandri, Gempa Di penelitian puskesmas Sungai Limau dan
Eva Kecamatan deskriptif pos pengobatan yang
Chundrayetti, Sungai Limau dilaksanakan oleh IDAI. Dari
2009 Kabupaten 508 orang anak, anak
Padang Pariaman perempuan 270 orang
Sumatera Barat (53,1%) dan anak laki-laki
238 orang (46,9%),
Kelompok umur yang paling
banyak adalah umur 5 – <10
tahun (35,4%) dan diikuti
oleh umur 1-< 5 tahun
(35,4%),
Lima penyakit terbanyak
adalah infeksi saluran
pernafasan akut (57,5%),
penyakit kulit (13,6%), diare
(12,6%), observasi demam
(5,1%), dan trauma (2%),
Kelompok umur terbanyak
yang menderita ISPA adalah
usia 5 - <10 thn, pada diare
usia 1 - <5 thn, pada penyakit
kulit usia 5 - 10thn, dan pada
observasi demam usia 5 - <10
thn, sedangkan trauma
terbanyak pada usia 5 - <10
thn.
Hannif, Faktor Risiko Penelitian ini Analisis Bivariat
2 Nenny Sri Diare Akut pada merupakan bahwa dari enam variabel
Mulyani, Balita penelitian yang diteliti berdasarkan hasil
Susy kuantitatif analisis bivariat
Risk Factors of ternyata empat variabel
Kuscithawati, dengan
Acute Diarrhea in secara statistik bermakna
2011 rancangan
Under fives sebagai faktor risiko yang
case control
berhubungan dengan
86

N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
terjadinya diare akut pada
balita, variabel-variabel
tersebut adalah: 1) risiko
sarana air bersih, 2) total
coliform, 3) higiene
perorangan, dan 4) perebusan
air minum. Dua variabel
lainnya yaitu sarana
pembuangan tinja dan total E.
coli secara statistik
tidak bermakna sebagai faktor
risiko yang
berhubungan dengan
terjadinya diare akut pada
balita
di Kecamatan Umbulharjo
dan Kotagede karena p > 0,05
Analisis multivariate
Sarana air besih
Pada penelitian ini sebagian
besar responden
(95,2%) menggunakan sumur
(Sumur Pompa Lisrik/
SGL) sebagai sumber air
bersih yang digunakan untuk
mandi, mencuci, minum,
memasak dan hanya
4,8% responden yang
menggunakan air PDAM.
Berdasarkan uji statistik, ada
hubungan yang
bermakna antara inspeksi
sanitasi yang berisiko
tinggi dengan terjadinya diare
akut pada balita.
Sarana Pembuangan Tinja
Hasil penelitian menunjukkan
sarana
pembuangan tinja yang tidak
memenuhi syarat
kesehatan yaitu yang tidak
tertutup dan mudah
dihinggapi lalat secara
statistik tidak berhubungan

N NAMA JUDUL METODE HASIL


87

O PENELITI
dengan kejadian diare akut
pada balita di Kecamatan
Umbulharjo dan Kotagede.
Hasil penelitian yang
sama yang dilakukan
Zakianis di Kecamatan
Pancoran Mas Kota Depok
tahun 20039,
menunjukkan bahwa sarana
pembuangan tinja yang
buruk tidak berhubungan
dengan kejadian diare pada
bayi dengan nilai p = 0,548,
OR = 1,115
Kualitas Bakteriologis Air
Bersih
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara
statistik ada hubungan yang
bermakna antara total
coliform yang tinggi dengan
kejadian diare akut pada
balita. Tingkat kualitas total
coliform (101 – 1000/ml)
bakteri air bersih
berhubungan dengan
terjadinya
diare pada balita.
Higiene Perorangan
Proporsi perilaku mencuci
tangan yang buruk
pada kasus (65,7%) lebih
tinggi jika dibandingkan
dengan kontrol (34,7%).
Berdasarkan uji statistik
perilaku mencuci tangan
ibu/pengasuh balita yang
buruk beresiko menyebabkan
diare akut pada balita
sebesar 2,45 kali jika
dibandingkan dengan
perilaku
mencuci tangan ibu/pengasuh
yang baik, nilai p = 0,003.
Pada analisis multivariat
perilaku cuci tangan

N NAMA JUDUL METODE HASIL


88

O PENELITI
pakai sabun ini merupakan
faktor paling dominan
menyebabkan diare akut pada
balita.17 Anak yang
kebiasaan ibunya mencuci
tangan setelah BAB tanpa
sabun, kemungkinan terjadi
diare akut 2,7 kali
dibanding dengan anak yang
kebiasaan ibunya
mencuci tangan pakai sabun,
p = 0,01. Anak berumur
kurang dari 15 tahun yang
menerima paket promosi
cuci tangan dan sabun
menderita diare hanya
setengah dari anak
tetangganya sebagai kontrol.
Perebusan Air Minum
Proporsi yang tidak merebus
air minum sampai
mendidih selama 1 – 3 menit
pada kasus lebih besar
(70,4%) dibanding kontrol
hanya 29,6%.
Berdasarkan uji statistik
perebusan air minum yang
tidak memenuhi syarat
kesehatan berisiko
menyebabkan diare pada
balita sebesar 2,62 kali jika
dibandingkan dengan
perilaku merebus air minum
sampai mendidih selama 1 –
3 menit, p = 0,042. Dari
266 ibu/pengasuh balita
hanya 50% yang merebus
air minum sesuai standar.

N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
89

3 Sukardi, Faktor-Faktor Studi cross- Hasil analisis univariat


Sartiah Yang sectional didapatkan tingkat
Yusran, Berhubungan pendidikan rendah 21,4%,
Lymbran Dengan Kejadian personal hygiene ibu kurang
Tina, 2016 Diare Pada Balita baik 53,6%, kebersihan
Umur 6-59 Bulan tangan dan kuku yang kotor
Di Wilayah Kerja dan panjang 42,9%,
Puskesmas Poasia penanganan
Tahun 2016 makanan/minuman yang
kurang baik 42,4%, dan risiko
pencemaran sumur gali
dengan kotaminasi tinggi
60,7%.
Hasil uji statistik didapatkan
faktor yang memiliki
hubungan bermakna dengan
kejadian diare pada balita
dimana nilai p-value< 0,05
yaitu personal hygiene ibu,
kebersihan tangan dan kuku
balita, penanganan
makanan/minuman dan risiko
pencemaran sumur gali,
sedangkan faktor yang tidak
memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian
diare pada balita dimana nilai
p-value> 0,05 yaitu tingkat
pendidikan ibu. Kesimpulan
Kurang dari separoh balita
pernah mengalami diare.
Terdapat hubungan yang
bermakna antara personal
hygiene ibu, kebersihan
tangan dan kuku balita,
penanganan
makanan/minuman dan risiko
pencemaran sumur gali.
Tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara tingkat
pendidikan ibu dengan
kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas
Pauh Kota Padang Tahun
2015
N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
4 Sinthamurni Faktor-Faktor Penelitian ini Dari uji analisis multivariate
90

waty, (2006) Risiko adalah logistic regression dengan


Kejadian Diare penelitian metode backward stepwise
Akut Pada Balita observasional (conditional) menunjukkan
(Studi Kasus Di dengan variabel-variabel yang
Kabupaten menggunakan terbukti berpengaruh terhadap
Semarang) rancangan kejadian diare akut pada
studi kasus balita dari faktor
kontrol karakteristik, perilaku
pencegahan dan lingkungan
adalah :

Karakteristik
1. Umur Balita
Berdasarkan golongan umur,
kasus diare balita terbanyak
ditemukan pada rentang umur
< 24 bulan (65,28 %) dan
terendah pada kelompok
umur 37 – 60 bulan (9,72 %).
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa umur balita < 24 bulan
signifikan secara statistik
memiliki risiko lebih besar
untuk terkena diare
dibandingkan dengan umur ≥
24 bulan (p = 0,006,95 %,
CI : 1,21 – 3,13), risiko
menderita diare pada balita
umur , 24 bulan 1,95 kali
lebih besar dibandingkan
dengan balita umur ≥ 24
bulan. Berdasarkan analisis
multivariat dengan
menggunakan regresi
logistik berganda metode
backward conditional,
variabel umur balita
berpengaruh terhadap
kejadian diare pada balita
dengan nilai OR Adjudted =
3,18; 95 % CI : 1,78 – 5,68).
2. Status Gizi
Hasil analisis tabulasi silang
menunjukkan bahwa status
gizi balita yang kurang secara
N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
statistik signifikan merupakan
91

faktor risiko terjadinya diare


pada balita dengan nilai p =
0,00.
Risiko menderita diare pada
balita yang mempunyai status
gizi kurang adalah 2,54 kali
lebih besar dibanding yang
memiliki status gizi cukup,
dengan 95 % CI 1,54 – 4,18.
Berdasarkan analisis
multivariat dengan
menggunakan regresi
logistik berganda metode
backward conditional,
variabel status gizi
balita berpengaruh terhadap
kejadian diare pada balita
dengan nilai OR Adjudted =
4,21 ; 95 % CI : 2,30 – 7,73).
Makin buruk gizi seorang
anak, ternyata makin banyak
episode diare yang dialami.
3.Tingkat Pendidikan
Pengasuh Balita
Hasil analisis bivariat
menunjukkan bahwa
pendidikan pengasuh yang
rendah berisiko 2,03 kali
lebih besar dapat
mempengaruhi terjadinya
diare pada balita yang
signifikan bermakna secara
statistic dengan nilai p =
0,023 pada 95 % CI : 1,10 –
3,77.
Berdasarkan analisis
multivariat dengan
menggunakan regresi
logistik berganda metode
backward conditional,
variabel tingkat pendidikan
pengasuh balita berpengaruh
terhadap kejadian diare pada

N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
balita dengan nilai OR
Adjudted = 2,75; 95 % CI :
92

1,37 – 5,52).
Hasil perhitungan OR
memberikan kesimpulan
bahwa pendidikan yang
rendah akan memperbesar
kemungkinan terjadinya
diare, sehingga dengan
perbaikan tingkat pendidikan
pengasuh balita diharapkan
insidensi diare pada balita
akan menurun.

B. Lingkungan
1. Pemanfaatan Sarana Air
Bersih
Hasil analisis bivariat pada 95
% CI : 1,41 – 4,62,
menunjukkan bahwa
frekuensi yang tinggi dalam
memanfaatkan sarana air
bersih merupakan faktor
protektif terhadap kejadian
diare pada balita. Balita
dengan frekuensi tinggi
dalam memanfaatkan
sarana air bersih memiliki
risiko lebih kecil untuk
terkena diare disbanding
dengan balita yang tidak
memanfaatkan sarana air
bersih.
Besar risiko balita frekuensi
rendah memanfaatkan sarana
air bersih adalah 2,55 kali
lebih besar dan pada
penelitian ini secara statistik
bermakna secara signifikan
dengan nilai p = 0,002.
Berdasarkan analisis
multivariat dengan
menggunakan regresi
logistik berganda metode
backward conditional,
variabel pemanfaatan sarana
N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
air bersih berpengaruh
terhadap kejadian diare
93

pada balita dengan nilai OR


Adjudted = 2,21 ; 95 % CI :
1,16 – 4,21.
Faktor risiko yang tidak
terbukti berpengaruh terhadap
kejadian
diare akut pada balita:
Karakteristik : Umur
Pengasuh Balita.
Perilaku Pencegahan :
Perilaku mencuci peralatan
makan dengan air bersih,
Perilaku mencuci bahan
makanan dengan air bersih,
Perilaku mencuci tangan
dengan sabun setelah buang
air besar, Perilaku merebus
air minum sebelum diminum,
Kebiasaan memberi makan
anak diluar rumah.
Lingkungan.
Tingkat kepadatan
perumahan, Ketersediaan
sarana air bersih, Kualitas air
bersih, Ketersediaan jamban
keluarga, Pemanfaatan
jamban keluarga.
5 Wisna T. Hubungan Penelitian ini 1. Analisis hubungan
Mano, 2014 Kelengkapan adalah survei kelengkapan imunisasi
Imunisasi Dan analitik terhadap kejadian Diare
Pembuangan dengan Bahwa kejadian Diare lebih
Sampah Terhadap pendekatan banyak pada kelengkapan
Kejadian Diare cross imunisasi yang lengkap yaitu
Pada Anak Balita sectional. sebanyak 23 balita (20,4%)
(Suatu Study Di dibandingkan dengan
Wilayah Kerja kelengkapan imunisasi yang
Puskesmas tidak lengkap kejadian diare
Pilolodaa Kota lebih sedikit sebanyak 7
Barat Kota balita (6,2%). Berdasarkan uji
Gorontalo) statistik di dapatkan nilai p
value = 0,003 (p < 0,05). Hal
ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kelengkapan
imunisasi dengan kejadian
N NAMA
JUDUL METODE HASIL
O PENELITI
diare pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Pilolodaa
Kota Barat, Kota Gorontalo.
94

2. Analisis hubungan
pembuangan sampah
terhadap kejadian Diare.
Bahwa kejadian Diare lebih
banyak pada pembuangan
sampah yang tidak memenuhi
syarat yaitu sebanyak 27
balita (23,9%) dibandingkan
dengan pembuangan sampah
yang memenuhi syarat
kejadian diare lebih sedikit
sebanyak 3 balita (2,7%).
Berdasarkan uji statistik di
dapatkan nilai p value =0.002
(p < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa ada
Hubungan pembuangan
sampah dengan kejadian diare
pada balita di wilayah kerja
Puskesmas pilolodaa Kota
Barat, Kota Gorontalo.

Anda mungkin juga menyukai