Anda di halaman 1dari 8

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara geologis dan hidrologis, Indonesia merupakan wilayah rawan

bencana alam. Salah satunya adalah gempa bumi dan potensi tsunami. Hal ini

dikarenakan wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik

aktif yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Eurasia di

bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan

tersebut bergerak dan saling bertumbukan sehingga Lempeng Indo-Australia

menunjam ke bawah lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi, jalur

gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-

Australia yang bergerak relatif ke utara dengan Lempeng Eurasia yang

bergerak ke selatan menimbulkan jalur gempa bumi dan rangkaian gunung

api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara

sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng tersebut (Widayatun, et al,

2013).

Bencana dapat secara mendadak (akut) yang ditandai dengan jatuhnya

korban manusia, rusaknya rumah beserta bangunan penting lainnya, rusaknya

saluran air bersih dan kotor, terputusnya aliran listrik, saluran telepon, jalan-

jalan dan sistem saluran lingkungan serta mengakibatkan ribuan orang harus

mengungsi ke wilayah lain. (Depkes RI, 2007).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat

wilayah Lombok, NTB, sudah 8 kali diguncang gempa berkekuatan besar

1
2

sejak tahun 1856 sampai tahun 2018 yang mengakibatkan banyak rumah

mengalami kerusakan dan korban meninggal.

Menurut Daryono (BMKG), gambaran catatan sejarah gempa tersebut

sudah dapat mewakili bahwa Lombok memang rawan gempa. Peristiwa

gempa di Lombok merupakan sesuatu kejadian alam yang sulit ditebak.

Salah satu wilayah Indonesia yang terkena gempa bumi adalah

Propinsi Nusa Tenggara Barat khususnya pulau Lombok yang terjadi pada

tahun 2018 ini. Dampak gempa Lombok, tercatat 560 orang meninggal dunia,

1.469 orang luka-luka, dan 396.032 orang mengungsi. Kerusakan fisik

meliputi 83.392 unit rumah rusak, dan 3.540 unit fasilitas umum dan fasilitas

sosial rusak. Dari 83.392 unit rumah rusak, dimana 32.129 unit rumah sudah

diverifikasi. Dari 32.129 rumah rusak yang sudah terverifikasi terdapat

16.231 unit rumah rusak berat, sedangkan sisanya rusak sedang dan rusak

ringan (BNPB, 2018a).

Sementara terdapat 390.529 orang masih mengungsi akibat gempa

Lombok. Pengungsi tersebar di Kabupaten Lombok Utara 134.235 orang,

Lombok Barat 116.453 orang, Lombok Timur 104.060 orang, Lombok

Tengah 13.887 orang, dan Kota Mataram 18.894 orang. Dampak gempa telah

menyebabkan 555 orang meninggal. Korban meninggal tersebar, paling

banyak di Kab. Lombok Utara 466 orang, Lombok Barat 40 orang, Lombok

Timur 31 orang, Lombok Tengah 2 orang, Kota Mataram 9 orang, Sumbawa

Besar 5 orang, dan Sumbawa Barat 2 orang. Sutopo memaparkan dari data

yang masuk saat ini, perkiraan kerusakan rumah yang terjadi di Lombok
3

Utara yakni di Kecamatan Kayangan sebesar 80 persen, Kecamatan Gangga

sebesar 65 persen, Kecamatan Tanjung sebesar 85 persen, dan Kecamatan

Pemenang sebesar 55 persen. Selain itu, tiga jembatan dilaporkan rusak yaitu

jembatan Bayan, jembatan Lokok Tampes, dan jembatan Gangga. Pengungsi

masih memerlukan bantuan logistik (BNPB, 2018b).

Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari

proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang

akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi

korban bencana. Pengungsian tempat tinggal (shelter) yang ada sering tidak

memenuhi syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak langsung

dapat menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan

menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Kurangnya air bersih yang

berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan yang

merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit menular

(Widayatun, et al, 2013).

Dalam upaya memaksimalkan peran jajaran kesehatan pada

penanggulangan bencana, termasuk didalarnnya Puskesmas, Kementerian

Kesehatan telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No.

145/Menkes/SK/11/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang

Kesehatan. Peraturan tersebut mengatur berbagai hal, termasuk kebijakan,

pengorganisasian dan kegiatan pelayanan kesehatan yang di lakukan oleh

masing-masing jajaran kesehatan. Dalam Kepmenkes tersebut juga

disebutkan bahwa pada prinsipnya dalarn penanggulangan bencana bidang


4

kesehatan tidak ada kebijakan untuk membentuk sarana prasarana secara

khusus. Upaya lebih difokuskan dengan memanfaatkan sarana dan prasarana

yang telah ada, hanya saja intensitas kerjanya ditingkatkan dengan

memberdayakan semua sumber daya pemerintah, masyarakat dan unsur

swasta terkait.

Pada beberapa kejadian bencana besar, bisa dilihat bagaimana negara

tetangga Indonesia yaitu Australia, Singapura, Jepang, atau mungkin yang

lebih jauh misalnya Amerika, Swiss, Kanada begitu cepat datang ke lokasi

bencana, karena mereka sudah siap dengan tim yang terlatih dan peralatan

pendukungnya, disamping dana operasional yang memadai. Penanggulangan

bencana pada status keadaan darurat bencana (status siaga darurat, tanggap

darurat, dan transisi darurat ke pemulihan) harus dilakukan secara cepat dan

tepat yang menuntut pengambilan keputusan secara cepat dan tepat pula

untuk mencegah/mengurangi jatuhnya korban jiwa serta meluasnya dampak

bencana (BNPB, 2011).

Sumber air untuk masak, mandi dan cuci juga terbatas, karena setelah

gempa banyak sumur warga yang menjadi keruh aimya dan tidak layak

dipergunakan untuk keperluan sehari-hari (memasak, minum dan MCK).

Terbatasnya sumber air dan padatnya jumlah korban yang tinggal di tenda

darurat menyebabkan sanitasi lingkungan di sekitar tenda memburuk. Hal ini

mempengaruhi kondisi kesehatan para korban bencana, ditambah lagi hujan

deras terus-menerus beberapa hari setelah gempa. Para korban bencana


5

banyak menderita penyakit demam, flu, batuk, pilek, diare, kejang

(Widayatun, et al, 2013).

1.2. Kajian Masalah

Bencana gempa bumi yang menimpa Pulau Lombok pada tahun 2018

ini, Kabupaten Lombok Utara khususnya Kecamatan Gangga merupakan

salah satu kecamatan yang paling parah setelah gempa bumi tersebut.

Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah

kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain.

Timbulnya masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih

yang berakibat pada buruknya kebersihan diri, buruknya sanitasi lingkungan

yang merupakan awal dari perkembangbiakan beberapa jenis penyakit

menular.

Jumlah penduduk Kabupaten Lombok Utara menurut data BPS

Kabupaten Lombok Utara dalam Kabupaten Lombok Utara dalam Angka

(Lombok Utara Regency in Figures) 2018 adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Lombok


Utara Tahun 2018
No Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Pemenang 36.388
2 Tanjung 48.411
3 Gangga 42.799
4 Kayangan 40.094
5 Bayan 48.823
Lombok Utara 216.515
Sumber : BPS Kab. Lombok Utara, Kabupaten Lombok Utara dalam Angka
2018
6

Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi

masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh

kelompok penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 (2)

UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok

rentan meliputi: 1). Bayi, balita dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang

mengandung atau menyusui; 3). Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut usia.

Selain keempat kelompok penduduk tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB

Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemenuhan Kebutuhan

Dasar ditambahkan ‘orang sakit’ sebagai bagian dari kelompok rentan dalam

kondisi bencana. Upaya perlindungan tentunya perlu diprioritaskan pada

kelompok rentan tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan

sampai dengan pelayanan kesehatan dan psikososial.

Bencana gempa bumi mempengaruhi kejadian diare di Kabupaten

Lombok Utara pada tahun 2018. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel berikut ini.

Tabel. 1.2. Kejadian Diare di Kabupaten Lombok Utara Tahun 2018


Nama
N Jumlah Bulan
Puskesmas Total
o Balita
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Senaru 2.371 65 90 102 78 71 14 97 83 241 91 126 0 1.058
2 Bayan 2.591 85 70 50 52 59 44 106 542 254 105 93 196 1.656
3 Santong 1.662 125 95 63 98 39 37 61 68 142 109 75 70 982
4 Kayangan 2.685 68 116 70 88 65 76 88 39 301 201 149 164 1.425
5 Nipah 1.504 62 17 96 6 13 13 62 29 13 7 8 14 340
6 Gangga 4.504 135 80 92 95 51 66 73 597 412 148 114 130 1.993
7 Tanjung 4.620 165 186 182 106 84 42 105 486 178 177 140 168 2.019
8 Pemenang 2.154 86 68 55 62 58 64 60 129 212 72 15 41 922
Total 22.091 791 722 710 585 440 356 652 1.973 1.753 910 720 783 10.395
Sumber : Laporan Diare Tahun 2018, Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Utara.
7

Berdasarkan tabel 1.2 kejadian diare tahun 2018 diperoleh bahwa dari 8

Puskesmas yang ada di Kabupaten Lombok Utara, jumlah kejadian diare

tahun 2018 terbanyak terjadi di Puskesmas tanjung yaitu 2.019 kasus.

Walaupun demikian, terjadi peningkatan kasus diare dari Bulan Juli 2018 ke

Bulan Agustus 2018 (saat gempa bumi) yang terbanyak ada di Puskesmas

Gangga yaitu dari 73 kasus menjadi 597 kasus, terjadi kenaikan kasus

sebanyak 8 kali lipat atau terjadi 524 kasus diare. Untuk tingkat Kabupaten

Lombok Utara terjadi peningkatan kasus kejadian diare sebanyak 3 kali lipat

dari bulan Juli 2018 ke Agustus 2018.

1.3. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Faktor Risiko dan Strategi Pengendalian Kejadian Diare pada

Balita Akibat Bencana Gempa pada Tanggap Darurat ?

1.4. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis faktor risiko dan strategis pengendalian kejadian

diare pada balita akibat bencana gempa.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis hubungan antara faktor host dengan risiko kejadian

diare.

b. Menganalisis hubungan antara faktor environment dengan risiko

kejadian diare.

c. Menyusun rekomendasi tentang strategi pengendalian kejadian diare

akut pada balita akibat bencana gempa.


8

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Pemerintah

Memberikan informasi bagi pemerintah tentang faktor risiko yang

mempengaruhi kejadian diare, sehingga dapat dijadikan bahan dalam

pengambilan kebijakan penanggulangan dan pemberantasan penyakit

berbasis lingkungan khususnya diare akut terutama pada masyarakat daerah

paska bencana.

1.5.2 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang faktor risiko yang dapat

mempengaruhi kejadian diare paska gempa bumi, sehingga masyarakat

dapat melakukan upaya pencegahan kasus diare di Kabupaten Lombok

Utara.

1.5.3 Bagi Peneliti

Peneliti dapat menerapkan ilmu dan teori yang sudah peneliti dapat

tentang faktor risiko berhubungan dengan kejadian diare melalui

permasalahan langsung di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai