Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

SIAGA BENCANA LANJUTAN


RHA BENCANA

Disusun Oleh :

Pelita juniarti
NPM. 2026040014P

Kelas : B3 Kebidanan

Dosen Pengampu : Dewi Aprilia Ningsih I, SST.M,Kes

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
TRI MANDIRI SAKTI
BENGKULU
2021
RHA BENCANA

A. Pendahuluan
Kota Pagar Alam adalah salah satu kota di provinsi Sumatra Selatan
yang dibentuk berdasarkan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2001
(Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4115), sebelumnya kota Pagar Alam termasuk kota administratif
dalam lingkungan Kabupaten Lahat. Kota ini memiliki luas sekitar 633,66
km² dengan jumlah penduduk 126.181 jiwa dan memiliki kepadatan
penduduk sekitar 199 jiwa/km².
Kota ini berjarak sekitar 298 km dari kota Palembang dan juga
berjarak sekitar 60 km di sebelah barat daya Kabupaten Lahat. Kota ini
sekarang dipimpin oleh Alpian Maskoni, SH dan Wakil M. Fadli, S.E
Sebagai wali kota dan wakil wali kota Pagar Alam periode 2018-2023.
Berikut ini adalah perbatasan wilayahnya dengan kabupaten lainnya:
1. Utara : Kabupaten Lahat
2. Timur : Kabupaten Lahat dan kabupaten Muara Enim
3. Selatan : Kabupaten Kaur
4. Barat : Kabupaten Lahat dan kabupaten Empat Lawang
Sebagian besar keadaan tanah di kota Pagar Alam berasal dari jenis
latosol dan andosol dengan bentuk permukaan bergelombang sampai
berbukit. Jika dilihat dari kelasnya, tanah di daerah ini pada umumnya
adalah tanah yang mengandung kesuburan yang tinggi (kelas I). Hal ini
terbukti dengan daerah kota Pagar Alam yang merupakan penghasil sayur-
mayur, buah-buahan, dan merupakan salah satu subterminal agribisnis
(STA) di provinsi Sumatra Selatan.
Berikut data demografi per kecamatan di Kota Pagar Alam; Nama
kecamatan Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk
1. Dempo Selatan 239,08 km² 11.734 jiwa 54 jiwa/km²
2. Dempo Tengah 151,96 km² 12.850 jiwa 74 jiwa/km²
3. Dempo Utara 123,98 km² 20.490 jiwa 165jiwa/km²
4. Pagar Alam Selatan 63,17 km² 47.976 jiwa 759 jiwa/km²
5. Pagar Alam Utara 55,47 km² 40.812 jiwa 736 jiwa/km²
6. Kota Pagar Alam 633,66 km² 133.862 jiwa 211 jiwa/km²
Kota Pagar Alam mempunyai potensi wisata yang sangat kaya, selain
wisata alam, terdapat juga lokasi-lokasi purbakala. Di kota Pagar Alam ini
terdapat sedikitnya 33 air terjun dan 26 situs menhir yang sudah tercatat.
Objek wisata yang terdapat di kota ini dan belum semuanya dikembangkan
adalah:
Kota Pagar Alam selalau mengalami kenaikan jumlah penduduk
yang sangat drastis yang awalnya pada tahun 2000 jumlah penduduknya
hanya 112.025 jiwa jumlah itu pun pada sepuluh tahun kemudian
berpopulasi lebih kurang 126.363 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1,22%. Dikarenakan adanya faktor Transmigrasi yang ingin
menetap di kota Pagar Alam.
Penduduk kota Pagar Alam terdiri dari berbagai suku bangsa. Selain
penduduk asli (suku Besemah), ada banyak juga suku Jawa, suku Minang,
suku Batak, Orang Peranakan, Arab-Indonesia, dan India-Indonesia.

B. Tujuan Melakukan KHA


1. Tujuan Umum
Untuk menilai kerusakan dan mengidentifikasi kebutuhan dasar
yang diperlukan segera sebagai respons dalam suatu kejadian bencana.
2. Tujuan Khusus
Tujuan dari dilakukannya assessment awal secara cepat adalah :
a. Mendapatan informasi yang memadai tentang perubahan keadaan
darurat
b. Menjadi dasar bagi perencanaan program
c. Mengidentifikasi dan membangun dukungan berbasis self-help serta
aktivitas-aktivitas berbasis masyarakat.
d. Mengidentifikasi kesenjangan, guna :
1) Menggambarkan secara tepat dan jelas jenis bencana, keadaan,
dampak, dan kemungkinan terjadinya perubahan keadaan darurat.
2) Mengukur dampak kesehatan yang telah terjadi dan akan terjadi.
3) Menilai kapasitas sumber daya yang ada dalam pengelolaan
tanggap darurat dan kebutuhan yang perlu direspon secepatnya.
4) Merekomendasikan tindakan yang menjadi prioritas bagi aksi
tanggap darurat.
e. Pasca bencana: berdasarkan dari RHA untuk menentukan langkah
selanjutnya
1) Pengendalian penyakit menular (ISPA, diare,DBD,chikungunya,
tifoid,dll)
2) Pelayanan kesehatan dasar
3) Memperbaiki kesehatan lingkungan (air bersih, MCK, pengelolaan
sampah, sanitasi makanan, dll)

C. Asesment Bencana
Gempa Bumi Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya
Gempa bumi dengan magnitudo 3,7 mengguncang Wilayah Puskesmas
Pembantu Desa Sumber Jaya, pada Rabu 20 Januari 2021 pukul 23.19
Wita. Episenter gempa terletak pada koordinat 2,47 LS dan 119.54 BT.
Gempa itu terjadi di darat, tepatnya pada jarak 42 kilometer arah
Tenggara Wilayah Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya Tengah pada
kedalaman 6 kilometer.
Gempa yang terjadi merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas
sesar lokal.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG,
mengatakan, gempa bumi ini tidak berpotensi merusak. Gempa ini turut
dirasakan di Wilayah Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya.
Gempa ini bukan bagian dari rangkaian gempa susulan (aftershocks)
dari gempa magnitudo 6,2 yang mengguncang Wilayah Puskesmas
Pembantu Desa Sumber Jaya. Gempa yang meluluhlantakkan Wilayah
Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya itu, hingga saat ini sangat
minim gempa susulan. Hingga saat ini, gempa susulan bertahan diangka 32.

D. Analisa Kejadian
Dari artikel bencana yang ada yaitu Gempa Bumi di Wilayah
Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya pada Tahun 2021, terkait program
penanggulangan bencana umumnya fokus pada masalah pengadaan pangan,
dan rekonstruksi fisik pasca bencana. Padahal, masalah kesehatan
reproduksi – seperti naiknya angka risiko kekerasan seksual, serta
meningkatnya insiden Infeksi Menular Seksual (IMS) – juga turut
menghantui korban bencana, dan harus didiskusikan lebih lanjut.
Sebagai negara yang terletak di daerah rawan bencana, Indonesia
kerap disebut sebagai “Laboratorium Bencana”. Istilah ini muncul karena
kondisi geografis, geologis, serta demografis Indonesia yang relatif
mendorong lahirnya berbagai jenis bencana; baik bencana alam, bencana
non-alam, maupun bencana sosial. Laporan dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia menunjukkan bahwa hampir
seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi; mulai dari
risiko banjir, gempa bumi, longsor, hingga letusan gunung berapi[3]. Lebih
lanjut, laporan yang sama juga menunjukkan bahwa seluruh Ibu Kota
Provinsi di Indonesia (34 kota) memiliki risiko bencana gempa bumi.
Tingginya Indeks Risiko Bencana (IRB) Indonesia mendorong
pemerintah untuk memberi perhatian ekstra terhadap upaya
penanggulangan bencana. Mengacu pada Rancangan Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, BNPB menargetkan penurunan
IRB sebesar 30% pada akhir tahun 2019. Berbagai upaya dilakukan oleh
BNPB untuk mencapai target tersebut, mulai dari meningkatkan kapasitas
penanggulangan bencana di daerah prioritas, berkerja sama dengan
kementrian dan lembaga lain, hingga menyusun acuan penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang baru.
Namun di tengah upaya penanggulangan bencana yang dilakukan oleh
pemerintah dan institusi terkait, terdapat satu isu sentral yang umumnya
luput dari pembahasan. Isu tersebut adalah pelayanan kesehatan reproduksi
pada masa darurat[5]. Bencana memiliki dampak yang signifikan bagi
kondisi kesehatan reproduksi warga yang terdampak; khususnya
perempuan, anak, dan remaja[6]. Rusaknya infrastruktur kesehatan akan
menghambat layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Keterbatasan akses kontrasepsi dalam situasi bencana dapat meningkatkan
angka kehamilan yang tidak diinginkan, serta peningkatan insiden IMS dan
HIV. Selain itu, kondisi sosial pasca bencana yang tidak stabil dapat
meningkatkan risiko kekerasan seksual.
Mandat terkait pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat
sendiri telah tercantum dalam berbagai regulasi; baik di level nasional
maupun internasional. The International Conference on Population and
Development yang diadakan di Kairo pada tahun 1994 misalnya,
menyepakati bahwa “Semua negara harus berusaha untuk membuat
pelayanan kesehatan reproduksi yang dapat diakses oleh seluruh individu
pada usia yang tepat, melalui pelayanan kesehatan dasar, sesegera mungkin
sebelum tahun 2015”[8]. Pada level nasional, UU No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana menyatakan dengan jelas bahwa
“Perlindungan terhadap kelompok rentan termasuk dalam Penyelenggaran
Tanggap Darurat (Pasal 48e)”[9]. Pentingnya pelayanan kesehatan
reproduksi pada masa darurat kembali dipertegas dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No. 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan
Pasal 22 dan 26. Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa pelayanan
kesehatan reproduksi harus tersedia pada saat tanggap, dan pasca darurat
krisis kesehatan.
Poin-poin di atas menegaskan pentingnya pelayanan kesehatan
reproduksi pada masa darurat; sekaligus menjadi basis dari program Paket
Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk Kesehatan Reproduksi, yang
digalang oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PPAM
untuk Kesehatan Reproduksi merupakan seperangkat kegiatan prioritas
terkoordinasi, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
reproduksi penduduk, pada permulaan suatu keadaan darurat/bencana.
Berangkat dari prinsip pemenuhan kebutuhan dan layanan Hak Kesehatan
Seksual dan Reproduksi (HKSR), dan prinsip Keluarga Berencana (KB),
PKBI membentuk tim kemanusiaan di setiap tingkatan kerja PKBI (pusat,
daerah, dan cabang) untuk melakukan upaya respon kesehatan reproduksi
pada masa darurat.
Pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat – khususnya bagi
perempuan dan anak – menjadi penting, karena lebih dari 50% pengungsi
korban bencana adalah perempuan dan anak[11]. Data dari The United
Nations Population Fund (UNFPA) menunjukkan bahwa dari total populasi
perempuan di tempat pengungsian, 25% di antaranya berada di usia
produktif. Lebih lanjut, data dari UNFPA juga menunjukkan bahwa dari
total populasi perempuan yang berada di usia produktif tersebut, 2% di
antaranya mengalami kekerasan seksual. Selain kasus kekerasan seksual,
masalah-masalah terkait kehamilan juga turut menghantui korban bencana
di lokasi pengungsian. Data dari sumber yang sama menunjukkan bahwa
20% kehamilan yang terjadi di saat krisis akan berakhir dengan keguguran,
atau aborsi yang tidak aman[12]. Hal inilah yang berusaha dicegah oleh
PKBI dan BNPB, melalui Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi.
Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi PKBI dibagi ke dalam
tiga tahap: tahap pra-bencana, tahap saat bencana, dan tahap pasca-
bencana. Tahap pra-bencana mencakup berbagai upaya seperti pelatihan
penyedia layanan dan relawan, pertemuan koordinasi dengan berbagai
stakeholders, serta pengadaan kit kebersihan (hygiene kit) dan kit
kesehatan reproduksi (reproductive health kit). Isi kit kebersihan mencakup
persediaan sanitasi seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, pakaian dalam,
ember, serta alat-alat kebersihan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat
lokal. Kit kesehatan reproduksi, di sisi lain, dibagi ke dalam tiga paket
(block) berdasarkan level fasilitas kesehatan di tempat kit tersebut
disediakan.
Block pertama berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga
kesehatan di level komunitas; seperti alat-alat kebersihan, kondom, pil KB,
dan obat-obatan IMS. Block kedua berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan
untuk tenaga kesehatan di level rumah sakit; seperti alat bantu persalinan.
Sedangkan block ketiga berisi alat-alat kesehatan reusable, yang ditujukan
untuk kebutuhan operasi; seperti alat bedah dan transfusi darah[13].
Tahap selanjutnya – saat bencana – mencakup upaya-upaya langsung
yang dilakukan di situs bencana; mulai dari mengirim tim respon,
penyediaan layanan konsultasi dan kesehatan reproduksi, serta pembagian
kit kebersihan dan kit kesehatan reproduksi. Tahap terakhir – pasca-
bencana – mencakup upaya-upaya terkait evaluasi program PPAM untuk
Kesehatan Reproduksi dan identifikasi rekomendasi untuk program
selanjutnya. Tahap pasca-bencana juga beririsan dengan tahap pra-bencana,
karena dalam tahap ini, tim PPAM akan mulai melakukan upaya-upaya
mitigasi seperti yang tercantum dalam tahap pra-bencana.
PKBI akan terus berkomitmen untuk melaksanakan program
kemanusiaan terkait kesehatan reproduksi pada masa darurat, serta
memperjuangkan terpenuhinya hak kesehatan seksual dan reproduksi
secara umum. Salah satu caranya adalah dengan terlibat aktif di forum
pengurangan risiko bencana, dan menjadi anggota sub-kluster kesehatan
reproduksi.

E. Dampak Bencana Alam


1. Bangunan Jadi Rusak
Gempa Bumi bisa menimbulkan kerusakan yang cukup parah
pada bangunan, seperti rumah, sekolah, gedung kantor, dan mal. Bila
getaran gempanya besar, bangunan itu bisa saja roboh atau hancur.
Akibatnya, bisa terjadi korban jiwa.
2. Kerusakan Instalasi
Goncangan gempa bisa menyebabkan instalasi air, gas, dan listrik
rusak. Instalasi air yang rusak mengakibatkan banyak orang sulit
mendapatkan air bersih setelah gempa terjadi.
Instalasi gas yang rusak bisa menyebabkan terjadinya ledakan
atau kebakaran. Begitu juga dengan instalasi listrik yang rusak. Bila
ada kabel listrik yang terbuka, bisa menimbulkan korsleting dan
membahayakan orang di sekitarnya.
3. Tanah Longsor
Saat tanah bergetar akibat gempa Bumi, tanah di dataran tinggi
atau tebing sangat mungkin mengalami longsor.
Dan pada daerah dataran rendah, bisa juga terjadi tanah amblas
karena permukaan tanah mengalami penurunan dan tidak stabil akibat
getaran gempa. Selain itu, gempa juga bisa menyebabkan tanah
menjadi rusak. Tanah persawahan, tanah kebun, tanah jalan raya, bisa
retak bahkan berlubang setelah terjadinya gempa Bumi.
4. Banjir
Bila getaran gempa sangat tinggi, bisa menyebabkan dinding
bendungan air menjadi retak bahkan hancur. Air di bendungan bisa
meluap ke mana-mana dan mengakibatkan banjir ke berbagai daerah.

F. Rencana Kegiatan Selanjutnya


1. Pendataan dan pemetaan ibu hamil, pascapersalinan dan bayi baru lahir
di tempat-tempat pengungsian
2. Melakukan pemetaan puskemas dan rumah sakit
3. Memastikan petugas dapat menjangkau ibu hamil dan ditempatkan di
dalam satu tempat khususnya untuk ibu hamil yang akan melahirkan
dalam waktu dekat
4. Berkoordinasi dengan subklaster gizi untuk ketersediaan konselor ASI
di pengungsian
5. Memastikan ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan maternal
neonatal dan rujukan 24 jam/7hari
6. Memastikan asupan gizi yang cukup bagi kelompok rentan khususnya
ibu hamil dan ibu menyusui, dan bayi baru lahir
Langkah-langkah/kegiatan yang dilakukan untuk mencegah
meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal adalah
1. Pendataan dan pemetaan ibu hamil, ibu pascapersalinan dan bayi baru
lahir di tempat-tempat pengungsian
a. Pendataan dan pemetaan ibu hamil, ibu pasca persalinan dan bayi
baru lahir perlu dilakukan sejak awal bencana oleh penanggung
jawab dengan keterlibatan aktif semua anggota sub klaster.
Informasi tentang jumlah dan lokasinya digunakan untuk
merencanakan penjangkauan pelayanan kesehatan dan pemantauan.
Beberapa langkah yang dilakukan dalam pendataan dan pemetaan
ibu hamil dan ibu pascapersalinan: Kumpulkan data sekunder dari
program KIA yang ada di puskesmas setempat.
b. Siapkan peta daerah setempat dan menandai lokasi dan jumlah
sasaran ibu hamil, ibu pascapersalinan dan bayi baru lahir.
c. Lakukan pencatatan ulang di lokasi terdampak dan pengungsian
dengan pengambilan data primer berdasarkan data aktual di
lapangan. Gunakan format wawancara ibu hamil dan format
wawancara ibu pascapersalinan.
d. Lakukan pembuatan peta tematik dengan metode tumpang susun
(overlay). Overlay pada peta dilakukan terhadap beberapa
data/indikator seperti jumlah ibu hamil, ibu pascapersalinan, jumlah
bayi baru lahir. Indikator dapat ditambahkan sesuai dengan
kebutuhan.
e. Lakukan pemetaan untuk perencanaan dan respon cepat dalam
memberikan pelayanan kesehatan reproduksi di lapangan.
G. Kegiatan Apa Saja yang Sudah Dilaksanakan
Apakah Anda pernah membayangkan ketika bersantai di rumah
bersama keluarga tiba-tiba mengalami kondisi bumi yang bergoncang
sebagai tanda dari gempa bumi? Kejadian gempa bumi mungkin tidak
dapat diprediksi oleh masyarakat umum. Bahkan ketika sedang menjalani
aktivitas harian, tentunya tidak pernah akan terpikir akan terjadi gempa.
Belum lama ini juga bangsa Indonesia banyak mengalami musibah
dimana diantaranya diakibatkan oleh gempa bumi. Apalagi memang
masyarakat Indonesia yang berada ditengah garis khatulistiwa
mengakibatkan rentan mengalami musibah gempa bumi. Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMKG) membagikan beberapa hal untuk
mengantisipasi dan mengurangi dampak gempa bumi, baik itu terjadi
ketika kita berada di dalam ruangan maupun luar rungan. Berikut adalah
beberapa hal yang harus diterapkan untuk mengatasi dampak gempa bumi.
1. Membuat Bangunan yang Tahan Gempa
Hal pertama yang dianjurkan BMKG untuk mengatasi dampak
gempa adalah meminta masyarakat untuk memastikan struktur dan letak
rumah agar dapat terhindar dari bahaya yang disebabkan oleh gempa
bumi. Pastikan bangunan yang dibangun memiliki ciri bangunan yang
tahan akan gempa bumi.Setelah bangunan tersebut terbangun, Anda
juga masih harus mengevaluasi dan merenovasi ulang bila ada struktur
bangunan yang kurang sesuai agar terhindar dari bahaya gempa bumi.
Sedari awal memang seharusnya masyarakat memahami gempa
bumi, dan daerah mana saja di Indonesia yang rawan gempa. Setelah
itu, masyarakat perlu memastikan kembali bangunan yang dihuni atau
ditempatinya memiliki ciri bangunan yang tahan gempa sehingga jika
terjadi musibah gempa bumi dapat teratasi dengan baik.
2. Mengatur Kembali Tata Letak Ruangan
Hal kedua yang harus Anda terapkan untuk mengatasi dampak
gempa adalah dengan mengatur kembali tatak letak ruangan Anda
dirumah dengan lebih efisien. Misalnya saja, perabotan seperti kursi,
meja, ataupun lemari, diatur supaya menempel pada dinding. Caranya
bisa dipaku, diikat, dan lain sebagainya.
Tujuannya, adalah agar menghindari kejatuhan, roboh, ataupun
bergeser jika terjadi gempa bumi. Simpan bahan yang mudah terbakar
pada tempat yang tidak mudah pecah agar terhindar dari kebakaran.
Pastikan juga untuk selalu mematikan gas, air, serta listrik apabila
memang tidak sedang digunakan.
3. Mencegah Jatuhnya Barang-Barang Berat
Kemudian yang harus Anda lakukan untuk mengatasi dampak
gempa adalah dengan mencegah jatuhnya barang-barang berat. Seperti
yang kita ketahui, penyebab celaka yang paling banyak menimpa
korban gempa bumi adalah akibat kejatuhan material dari bangunan
saat mereka berdiam.
Oleh karena itu, cegahlah jatuhnya barang-barang tersebut dengan
mengatur benda yang berat sebisa mungkin pada bagian bawah, bukan
di atas. Lalu, pastikan juga cek kestabilan benda yang digantung karena
dapat jatuh sewaktu-waktu ketika gempa terjadi, seperti lampu gantung
dan kipas angin.
4. Mengikuti Pelatihan Pencegahan Gempa
Jika kita membandingkan peristiwa gempa bumi yang terjadi di
Indonesia dan di Jepang, dapat dilihat terdapat perbedaan yang
signifikan mengenai jumlah korban. Hal itu tidak bisa dilepaskan
karena masyarakat Indonesia sendiri kurang memiliki persiapan
sedemikian rupa ketika menghadapi kasus seperti itu.
Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak gempa bumi, sebaiknya
sedini mungkin untuk mengikuti pelatihan gempa bumi karena akan
diajarkan berbagai pengenalan tentang gempa, tsunami, dan tindakan
apa saja yang harus dilakukan. Hal ini tentunya juga harus didukung
upaya dari pemerintah pusat untuk memberikan penyuluhan pecegahan
bencana sejak sedini mungkin
5. Sedia Perlengkapan Wajib Baik Di Rumah atau Di Kantor
Hal berikutnya yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak
gempa bumi adalah dengan menyediakan berbagai perlengkapan wajib
seperti kotak P3K, senter, makanan suplemen, air yang cukup, dll. Hal
ini akan sangat membantu apabila terjadi musibah yang tidak mengenal
waktu.
Itulah beberapa hal yang bisa diterapkan untuk mengatasi dampak
gempa bumi. Pastikan juga rumah Anda dilindungi dengan asuransi
Mega Rumah dari Mega Insurance untuk memberikan proteksi
menyeluruh dalam segala kondisi mulai dari kebakaran, kerusuhan,
banjir, kebongkaran, angin topan, gempa bumi, tsunami hingga
kejatuhan pesawat terbang.

H. Masalah
Masalah pertama adalah belum maksimalnya program persiapan
bencana yang sensitif penyandang disabilitas. Kedua adalah partisipasi
penyandang disabilitas masih minim dalam pendidikan Pengurangan
Risiko Bencana (PRB).
Ketiga, aksesbilitas penyandang disabilitas terhadap materi
ajar/belajar PRB. Keempat, penyandang disabilitas tidak bisa sepenuhnya
bertindak cepat dalam penyelamatan diri.
Masalah kelima adalah kurangnya pendataan spesifik tentang
identitas dan kondisi penyandang disabilitas. Masalah terakhir adalah
kurangnya fasilitas dan layanan yang aksesibel di pengungsian.
Dengan begitu, pemerintah harus kerja keras dalam membangun
manajemen yang baik bagi kaum disabilitas ketika mereka mengahadapi
bencana alam. Karena kaum disabilitas lebih sulit bergerak cepat
dibandingkan yang non disabilitas. Hal ini berpengaruh terhadap
penyelamatan diri.
I. Saran Penyuluhan Kesehatan
1. Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi sejak awal bencana/krisis
kesehatan dilakukan melalui pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi.
Sasaran PPAM adalah penduduk yang merupakan kelompok rentan
kesehatan reproduksi yaitu bayi baru lahir, ibu hamil, ibu bersalin, ibu
pascapersalinan, ibu menyusui, anak perempuan, remaja dan wanita
usia subur.
2. PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi
yang harus segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan
dalam rangka menyelamatkan jiwa pada kelompok rentan
3. PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada saat fasilitas pelayanan
kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi sulit terjangkau oleh masyarakat terdampak.
4. PPAM kesehatan reproduksi diterapkan pada semua jenis bencana, baik
bencana alam maupun non alam.

J. Penutup
Demikian laporan Tugas RHA sebagai bahan untuk perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dalam kegiatan penanganan
masalah kesehatan akibat bencana khususnya di wilayah kerja Puskesmas
Pembantu Desa Sumber Jaya.

Anda mungkin juga menyukai