Anda di halaman 1dari 14

PERENCANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN GIZI BALITA

SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA BANJIR DI KECAMATAN


SAMPOINIET KABUPATEN ACEH JAYA

Mufidah Anisah1
1
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga
E-mail: made.nita.sintari-2016@fkm.unair.ac.id

ABSTRAK

Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu daerah di Provinsi Aceh.


Kabupaten ini termasuk dalam daerah rawan bencana banjir yang berdampak
terhadap masalah kesehatan. Balita merupakan kelompok rentan yang harus
mendapat perhatian dan penanganan secara khusus. Bencana banjir yang terjadi di
Kecamatan Samponiet mengakibatkan masyarakat harus mengungsi implikasinya
yang berpotensi pada krisis pangan dan gizi. . Untuk memperkecil risiko bencana
bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana, perlu dilakukan upaya
mitigasi bencana salah satunya melalui program sosialisasi tentang
penanggulangan masalah gizi ketika terjadi bencana. Hasil dari perencanaan ini
adalah terbentuknya program sosialisasi terkait penanggulangan gizi pada balita
sebagai upaya mitigasi bencana banjir. Metode yang digunakan untuk menyusun
perencanaan ini adalah studi literatur. Kesimpulan yang didapat adalah program
sosialisasi penanggulangan gizi pada balita ini sangatlah penting untuk menjadi
perhatian semua pihak yang bersangkutan. Penanggulangan gizi pada balita ini
diharapkan mampu meningkatkan dan menjaga status gizi para balita saat bencana
agar tidak terjadi masalah kesehatan lainnya yang tidak diinginkan.

Kata kunci : bencana banjir, gizi balita

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan wilayah yang tergolong sangat rawan terhadap
bencana. Hal ini dibuktikan dengan sering terjadinya berbagai bencana di
beberapa wilayah. Bencana alam yang terjadi di suatu wilayah bukan hanya
diakibatkan oleh faktor fisik saja, tetapi juga faktor manusia sehingga timbulnya

1
korban jiwa, kehilngan harta benda dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu,
setiap bencana pasti akan menimbulkan risiko baik material maupun non metrial.
Risikonya dapat berupa kematian, sakit, luka-luka, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kehilangan harta benda, dan gangguan kegiatan masyarakat
( UU No. 24 Tahun 2007 pasal 1 ayat 17).
Kabupaten Aceh Jaya, merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh
yang sangat rawan dengan bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, banjir
dan tanah longsor yang berdampak terhadap masalah kesehatan. Setiap tahun
bencana banjir melanda Kabupaten Aceh Jaya, bahkan dalam setahun banjir
terjadi dua sampai tiga kali.
Bencana banjir menimbulkan krisis kesehatan antara lain lumpuhnya
pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah
ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular dan
stres/gangguan kejiwaan. Masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan
masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan
medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah
multi faktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya melibatkan berbagai
sektor yang terkait
Bencana banjir yang terjadi pada bulan November 2014 mengakibat
masyarakat harus mengungsi ke tempat pengungsian. Menurut Depkes RI(3)
menyatakan bahwa bencana banjir juga menimbulkan situasi kedaruratan yang
berpotensi berdampak pada krisis pangan dan gizi. Hal ini terjadi karena pada saat
kedaruratan ada beberapa hal yang harus segera diintervensi antara lain; (1) masih
ada kasus gizi buruk dan gizi kurang, (2) ada kelompok rentan (3) bila dapur
umum belum mengakomodir kelompok rentan, (4) bila bantuan diberikan berupa
berupa beras 400 gram/org/hari dan uang lauk pauk.
Untuk itu penanggulangan gizi darurat pada saat bencana menjadi prioritas
pertama dimana layanan pangan dan gizi merupakan bagian integral yang tidak
terpisahkan dalam penanganan kedaruratan. Penanganan gizi penting dalam
situasi darurat, hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu; (1) keterbatasan di
pengungsian (pangan, pelayanan kesehatan, shelter, sanitasi, air bersih) (2)
bantuan makanan (gizi) merupakan salah satu bentuk bantuan untuk penyelamatan

2
korban (mempertahankan status gizi) (3) untuk optimalisasi bantuan gizi, perlu
penanganan gizi yang sesuai sehingga perlu surveilans gizi.
Oleh karena itu, program sosialisasi penanggulangan gizi pada balita
merupakan upaya mitigasi yang penting untuk dilakukan. Program ini dipilih
karena upaya inilah yang dianggap dapat mengurangi masalah kesehatan agar
tidak terjadi masalah kesehatan lainnya yang tidak diinginkan.

TUJUAN
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah mengetahui proses perencanaan
program penanggulangan gizi pada balita sebagai upaya mitigasi bencana banjir di
Kecamatan Sampoiniet , Kabupaten Aceh Jaya.

METODE
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi literatur.
Literatur didapat dari berbagai sumber antara lain, buku, berita nasional, publikasi
nasional, serta artikel yang diterbitkan oleh lembaga berwenang. Literatur yang
digunakan bersifat dapat dipercaya serta memenuhi unsur kebaruan (lima tahun
terakhir).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakteristik Kawasan Rawan Bencana
Sebagaimana wilayah Indonesia atau wilayah tropis lainnya, Kabupaten
Aceh Jaya juga beriklim tropis (hangat dan lembab) dan dikenal 2 (dua) musim,
yaitu musim hujan dengan gejolak gelombang laut yang biasanya terjadi bulan
September- Februari dengan jumlah hari hujan terbesar berkisar antara 120 - 170
hari, jumlah hujan rata-rata per tahun berkisar antaran 2000 - 4000 mm. Suhu
rata-rata di wilayah Kabupaten Aceh Jaya berkisar antara 25,8 0C – 26,9 0C dan
kelembaban antara 84-90,7 persen. Kecepatan angin maksimun berkisar antara 10
– 27 knot walaupun rata-rata kecepatan angin hanya sebesar 2,8 – 3,7 knot. Hari
hujan rata-rata perbulan 16 hari dengan rata-rata curah hujan per bulan 328,1 mm.

3
Gunung Raung terletak di Kecamatan Sumberjambe kabupaten Jember
Gunung Raung memiliki ketinggian 3.332 meter dpl dan selalu mengeluarkan
asap atau bahkan menyemburkan api sesekali(Solicha,2012) Berdasarkan Data
Dasar gunung api (2011) dalam Solicha (2012) gunung Raung meletus pertama
kali pada tahun 1586. Sebelas tahun kemudian pada tahun 1597,Gunung Raung
meletus kembali. Letusan terjadi kembali padatahun 1638 yang mengakibatkan
banjir besar dan aliran lahar. Setelah tertidur selama 92 tahun,Gunung Raung
kembali meletus yakni pada tahun 1730 yang mana menurut data pos Pengamat
Gunung Api (PPGA) Ruang merupakan letusan paling dahsyat karena mengalami
eksplosif disertai dengan hujan abu serta aliran lahar. Letusan kembali terjadi
pada tahun 1812,1814 dan 1815. Seolah-olah tidak ingin tidur terlalu lama, pada
tahun 1953, gunung Raung meletus kembali dengan menyebarkan hujan abu dan
pada tahun 1958 melontarkan material berupa pasir. Sejak tahun 1586 hingga
tahun 1989, tercatat letusan Gunung Raung sebanyak 43 kali dan gunung tersebut
seolah tidur panjang selama bertahun-tahun dan aktivitasnya mengejutkan
masyarakat kembali pada 17 oktober 2012.
Puncak Gunung Raung merupakan kerucut terpotong dengan tonjolan dari
sisa-sisa endapan lava barangko-barangko dari sisa endapan piroklastik.Kaldera
Gunung Raung berbentuk elips, berukuran 1750x2250 m,dalamnya 400-550

4
Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Kabupaten Karangasem Provinsi Bali
Sumber: https://bnpb.go.id/peta-grafis

Badan Penanggulangan Bencana Nasional telah menerbitkan peta kawasan


rawan bencana untuk wilayah sekitar Gunung Agung, Kabupaten Karangasem,
Provinsi Bali. Peta tersebut memetakan wilayah sekitar Gunung Agung menjadi
tiga kawasan, antara lain Kawasan Rawan Bencana (KRB) I, II, dan III. Wilayah
yang termasuk dalam KRB III tersebar ke dalam enam kecamatan, antara lain
Kecamatan Rendang, Kubu, Abang, Karangasem, Bebandem, dan Selat.
Menurut Badan Geologi Nasional, KRB III gunung api adalah kawasan
yang hampir selalu terkena awan panas, aliran lava, dan lontaran bom vulkanik
saat terjadinya bencana gunung meletus. Pada Kawasan Rawan Bencana III tidak
diperkenankan adanya hunian tetap maupun penggunaan lain yang bersifat
komersial. Kawasan yang termasuk KRB III adalah daerah puncak dan sekitarnya
serta daerah yang berada pada radius 3 – 6 km (atau lebih) dari pusat erupsi.
KRB II adalah kawasan yang berpotensi terkena awan panas, aliran lahar,
gas racun, lontaran batu pijar, dan hujan abu meskipun tidak separah KRB III.
Kawasan yang berpotensi terkena awan panas, aliran lahar, dan gas racun dapat
berada pada radius hingga 10 km dari pusat erupsi. Sementara itu, kawasan yang
berpotensi terkena lontaran batu pijar dan hujan abu berada pada radius kurang
lebih 5 km dari pusat erupsi.
KRB I adalah kawasan yang berpotensi terkena aliran lahar atau banjir.
Apabila erupsi yang terjadi cukup besar, kawasan ini juga berpotensi terkena
hujan abu dan lontaran batu pijar. Meskipun dampak yang terjadi kemungkinan
tidak sebesar pada KRB III maupun KRB II, KRB I berperan penting sebagai jalur
dukungan dan bantuan bagi wilayah KRB III dan KRB II, misalnya sebagai
tempat membangun tenda pengungsian terdekat.

Karakteristik Penduduk Kawasan Rawan Bencana


Desa Jambearum merupakan desa yang memiliki dusun terbanyak yaitu
memiliki 7 dusun yaitu Dusun Karang Samporna, Paceh,Krajan,Biarum, Sumber
Kokap Barat,Sumber Kokap Timur, dan Sumber Petong dengan jumlah penduduk

5
8.079 jiwa. Fasilitas umum Desa Jambearum juga terbanyak terdiri dari 1 kantor
desa dan poskesde, 2 sekolah Menengah Pertama (SMP) dan yayasan, 3 Sekolan
Menengah Atas(SMA), 4 taman Kanak-Kanak(TK),7 Pendidikan Anak Usia
Dini(PAUD),9 Sekolah Dasar (SD/MI), dan 19 masjid (Koramil Sumberjambe
dan Kantor Desa Jambearum.
Berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2016, mayoritas penduduk
Kabupaten Karangasem tidak memiliki ijasah sebesar 33.446 diikuti dengan
penduduk yang menamatkan tingkat pendidikan tertinggi pada jenjang SD sebesar
16.470 Mayoritas penduduk karangasem pada tahun 2015 bekerja pada sektor
pertanian, perkebunan, perhutanan, perburuan, dan perikanan (39,02%), diikuti
dengan penduduk yang bekerja pada sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa
akomodasi (18,75%).
Meskipun didominasi oleh golongan usia produktif, Kabupaten Karangasem
juga memiliki golongan umur anak dalam jumlah yang cukup besar.
Tingkat pendidikan penduduk yang rendah mengindikasikan sebagian besar
anak mungkin tidak mengecap bangku sekolah secara utuh. Oleh karena itu,
pengintegrasian edukasi bencana sebagai upaya mitigasi bencana pada kurikulum
sekolah dapat dinilai kurang efektif. Perlu dilakukan perancangan program
edukasi bencana berbasis wilayah, utamanya pada kawasan rawan bencana, yang
dapat menjangkau seluruh anak pada Kabupaten Karangasem. Basis wilayah ini
dapat diambil menurut dusun/banjar atau kecamatan yang pasti ada pada
Kabupaten Karangasem.
Pengambilan usia anak sebagai sasaran program bermanfaat dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, anak akan mampu
memahami hal-hal yang perlu dilakukan apabila terjadi bencana, mulai dari
mengenal tanda-tanda terjadinya bencana, menahan diri untuk tidak panik, cara
menyelamatkan diri, sampai dengan membantu orang lain. Dalam jangka panjang,
adanya edukasi akan mengurangi trauma psikologis pada anak apabila terjadi
bencana. Selain itu, anak dapat dijadikan agen penyaluran informasi yang efektif
kepada masyarakat khususnya orang tua masing-masing anak.

6
Perencanaan Program Penanggulangan Gizi pada Balita
Perencanaan merupakan langkah awal dari segala kegiatan yang ingin
dilaksanakan oleh suatu lembaga maupun individu. Dalam merangcang upaya
mitigasi, perencanaan sangat penting agar upaya yang hendak dilaksanakan
berjalan dengan baik, terarah, serta membawa manfaat bagi masyarakat.
Penanggulangan gizi dalam kedaruratan bencana sangat penting. Beberapa
hal yang menjadi penyebab pentingnya penanggulangan gizi yaitu keterbatasan di
pengungsian, bantuan makanan untuk mempertahankan status gizi, perlu adanya
surveilans gizi untuk optimalisasi bantuan dan penanganan gizi yang sesuai
(Salmayati, Hermansyah and Agussabti, 2016).
Kegiatan dalam penanganan gizi pada kedaruratan meliputi beberapa
kegiatan yaitu pelayanan gizi, tenaga khusus atau sumber daya menusia di bidang
gizi dan penyediaan makanan (Salmayanti, Hermansyah and Agussabti, 2016).
Perencanaan Gizi Balita Pada Kondisi Kedaruratan Bencana Banjir
yang dibuat ialah Pelayanan gizi yang dilakukan oleh tenaga gizi yang
ditempatkan khusus dilokasi pengungsian bencana untuk menyiapkan makanan
darurat, karena pada saat diterapkan untuk mengungsi tidak mungkin
pengungsi menyiapkan makanannya sendiri.
Pemberian pelayanan dan penanganan gizi yang tidak memenuhi
kebutuhan gizi balita dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap
status gizi balita. Penanganan gizi untuk balita dipengungsian menyatakan
bahwa penyajian menu makanan untuk anak balita bisa dikatakan minim,
karena dapur umum tidak menyiapkan menu khusus untuk anak balita
sehingga anak balita hanya mengkonsumsi makanan yang juga dikonsumsi
orang dewasa.

Dalam kedaruratan pasca bencana juga perlu adanya tenaga khusus


dibidang gizi yang diperbantukan untuk dapur-dapur umum yang
menyediakan makanan bagi balita saat terjadi bencana.

Beberapa Perencanaan Gizi Balita Pada Kondisi Kedaruratan Bencana Banjir


yang dibuat ialah, sebagai berikut:
1. Adanya Pelayanan gizi
Penyelenggaraan makanan darurat dipersiapkan oleh petugas pada waktu
terjadi keadaan darurat yang ditetapkan oleh Bupati setempat sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Pada saat masyarakat dinyatakan mengungsi,
sehingga masyarakat tidak mungkin untuk menyelenggakan makanan sendiri.
Pemberian pelayanan dan penanganan gizi yang tidak memenuhi kebutuhan
gizi balita dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap status gizi balita.
Penanganan gizi untuk balita dipengungsian menyatakan bahwa penyajian
menu makanan untuk anak balita bisa dikatakan minim, karena dapur umum
tidak menyiapkan menu khusus untuk anak balita sehingga anak balita hanya
mengkonsumsi makanan yang juga dikonsumsi orang dewasa.
2. Penyuluhan gizi

7
Penyuluhan gizi yang diberikan oleh tenaga petugas gizi pada
kondisi darurat bencana mempunyai makna yang signifikan.
Penyuluhan merupakan upaya perubahan perilaku manusia baik
individu maupun masyarakat sehingga dapat menciptakan sikap
mental dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya guna dapat meningkatkan dan mempertahankan gizi
yang baik.
3. Tenaga Khusus atau Sumber Daya Manusia
Kesehatan Yang Menangani Gizi Balita Peran tenaga kesehatan atau ahli gizi pada saat
kondisi darurat bencana dapat memberikan kontribusi terhadap pelayanan gizi di
tempat pengungsian menjadi lebih optimal. BPBK dan Dinsosnakermobduk saat
mengusulkan pengadaan bahan makanan perlu berkoordinasi dengan Dinkes.
pada tahap tanggap darurat peran petugas kesehatan dapat membantu pada dapur
umum dengan mengatur menu serta perhatian terhadap gizi dan kebersihan makanan
yang akan diberikan pada masyarakat yang menderita akibat bencana. Jangan sampai
terjadi makanan yang tidak layak atau basi serta tidak mengandung berbagai kuman
penyakit, sehingga yang memakannya tidak menjadi sakit. Untuk itu perlu sekali
kehadiran tenaga gizi dan dibantu oieh masy arakat setempat. Dapur umum ini bisa saja
diadakan di kantor-kantor pemerintah atau mungkin juga di sekitar terjadinya bencana
terutama pada tempat-tempat pengungsian.
Ketersediaan Bahan Makanan untuk Balita

1. Penanganan bencana di Kabupaten Aceh Jaya tidak dapat dilakukan oleh BPBK saja,
perlu stakeholder lain untuk membantu keberlangsungan penanggulangan bencana.
Stakeholder tersebut terdiri dari Dinsosnakermobduk Aceh Jaya, Dinkes Aceh Jaya,
Aparatur Kecamatan Sampoiniet, TNI, POLRI, Aparatur Desa dalam Kecamatan
Sampoiniet. Kerjasama dan koordinasi yang dijalin antar stakeholder tersebut dapat
memperlancar terlaksananya mekanisme pendistribusian bantuan.

Koordinasi dan kerjasama yang baik dengan lintas sektor dapat memperlancar proses
pendistribusian bahan makanan atau logistik sehingga bantuan yang diberikan oleh pemerintah
maupun pihak swasta dapat diterima dengan cepat dan tepat pada waktunya oleh masyarakat
yang terkena bencana

2. Alokasi Dana Khusus Untuk Memenuhi Ketersediaan Bahan


Makanan Untuk Balita. Pengalokasian dana untuk memenuhi
ketersediaan makanan balita pada kondisi darurat bencana banjir harus
direncanakan dalam penyususnan anggaran pemerintah oleh instansi
yang menanggulangi bencana. Penghitungan besaran jumlah anggaran
yang diperlukan harus disesuai dengan jumlah balita dan harga barang di
pasaran.

Perencanaan merupakan langkah awal dari segala kegiatan yang ingin


dilaksanakan oleh suatu lembaga maupun individu. Dalam merangcang upaya
mitigasi, perencanaan sangat penting agar upaya yang hendak dilaksanakan

8
berjalan dengan baik, terarah, serta membawa manfaat bagi masyarakat. Dalam
merancang sebuah program edukasi, diperlukan perhitungan yang cermat dan
teliti mulai dari pembentukan tim fasilitator sampai dengan evaluasi keberhasilan
program.
Langkah pertama dalam perencanaan program sosialisasi peta jalur evakuasi
bidang kesehatan mengenai bencana gunung meletus di Kecamatan Sumberjambe
Kabupaten Jember adalah pemetaan daerah rawan bencana yang sekiranya
memerlukan penyelenggaraan program sosialisasi peta jalur evakuasi bidang
kesehatan. Saat ini, Badan Penanggulangan Bencana Nasional telah menerbitkan
Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Raung.Oleh karena itu, pembentukan
program sosialisasi peta jalur evakuasi sebaiknya diprioritaskan pada wilayah
yang termasuk KRB III.
Langkah kedua adalah pembentukan tim fasilitator. Sebelum mewujudkan
masyarakat yang mandiri, masyarakat memerlukan adanya pendamping atau
fasilitator yang bertugas untuk melakukan pelatihan, pembinaan, pengawasan,
serta pengevaluasian. Tim fasilitator ini harus terdiri atas unsur gabungan antara
pemerintah dengan komunitas warga setempat. Unsur pemerintah dapat diwakili
oleh perwakilan dari instansi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kecamatan Sumberjambe Kabupaten Jember. Selanjutnya, BPBD dapat
menggalang kerjasama dengan pengurus banjar/dusun setempat, ataupun dengan
komunitas lain seperti sekaa teruna-teruni (karang taruna), dan ibu-ibu PKK.
Unsur pemerintah diperlukan untuk mengatur serta mengawasi jalannya program
sehingga berhasil mencapai target yang diinginkan. Sementara itu, unsur
masyarakat diperlukan untuk mendapatkan kepercayaan, kedekatan, serta rasa
memiliki dari masyarakat lokal.
Langkah ketiga adalah penjaringan peserta. Sasaran program sosialisasi
adalah masyarakat Jambearum. Apabila program sosialisasi dibuat dalam lingkup
kecil yaitu pada tataran banjar/dusun, maka peserta program tidak perlu terlalu
banyak, cukup perwakilan masyarakat sebanyak 10 – 15 orang dapat dari kepala
keluarga. Namun apabila program sosialisasi dibuat dalam lingkup yang lebih
besar yaitu pada tataran kelurahan/kecamatan, program edukasi dapat menerima
15 – 30 peserta dapat berasal dari kepala keluarga.

9
Langkah keempat, tim fasilitator dapat melakukan rapat pembentukan
jadwal program sosialisasi. Pada rapat ini, penting bagi fasilitator untuk
mengundang masyarakat, khususnya petinggi atau orang yang dihormati di daerah
tersebut, untuk bersama menyusun jadwal pelaksanaan program. Jadwal
pelaksanaan hendaknya disesuaikan agar tidak menganggu kegiatan warga
setempat dengan kegiatan yang lain. Misalnya mengambil hari di luar hari kerja
dengan waktu pagi atau sore hari selama dua jam.
Saat menyusun jadwal pelaksanaan program, perlu dibuat susunan
kurikulum atau materi ajar yang akan diberikan pada setiap pertemuan. Materi ini
dan peta jalur evakuasi harus bersifat mudah dipahami, menarik perhatian, serta
dapat dikemas dengan penyampaian yang menyenangkan. Sebagai contoh, dibuat
kurikulum terkait bagaimana yang harus dilaukan saat bencanaterjadi serta
menjelaskan yang terdampat dalam peta jalur evakuasi secara detail yang akan
dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan selama tiga minggu. Minggu pertama
akan dilakukan pretest untuk mengetahui tingkat pengetahuan awal anak
mengenai bencana, dilanjutkan dengan pemberian materi mengenai bahaya dan
dampak dari bencana gunung meletus. Minggu kedua dilanjutkan dengan
pemberian materi mengenai berbagai tanda akan terjadinya bencana gunung
meletus. Pada minggu ketiga, diberikan materi terakhir mengenai berbagai hal
yang harus dilakukan oleh masyarakat terkait peta jjalur evakuasi untuk review
seluruhnya serta materi sebelum, selama, dan sesudah bencana gunung meletus.
Pertemuan ketiga diakhiri dengan pemberian postest untuk mengetahui tingkat
pengetahuan akhir masyarakat mengenai peta jalur evakuasi bidangkesehatan dan
yang dilakukansaat bencana gunung meletus.
Pada minggu pertama, peserta program diberikan materi mengenai dampak
dan bahaya gunung meletus. Materi ini harus dikemas secara menyenangkan
sehingga menarik perhatian anak. Penggunaan foto, video, maupun gambar
pascabencana sebaiknya dihindari. Sebaliknya, pengemasan materi dapat
dilakukan menggunakan permainan. Sebagai contoh, ajak peserta membentuk
kelompok yang terdiri dari 3 – 5 orang. Masing-masing kelompok diajak
membuat gunung api buatan menggunakan bahan cuka dan soda kue. Fasilitator
juga dapat menambah bahan lain misalnya abu atau kerikil untuk memperjelas

10
pemahaman anak bahwa letusan gunung berapi tidak hanya mengeluarkan lava.
Melalui permainan dan penjelasan yang interaktif, anak dapat menyerap informasi
yang diberikan tanpa terbebani oleh rasa takut.
Pada minggu kedua, peserta program diberikan materi mengenai berbagai
tanda akan terjadinya gunung meletus. Berbagai tanda tersebut dapat meliputi
pertanda alam maupun pertanda buatan manusia. Beberapa pertanda alam akan
terjadinya gunung meletus antara lain terjadi kenaikan suhu udara yang tidak
biasa, mata air mengering, terjadi beberapa gempa baik dalam skala besar maupun
kecil, terdengar suara gemuruh, tumbuhan di sekitar gunung menjadi layu, serta
perpindahan berbagai jenis hewan untuk meninggalkan gunung (Febrinastri,
2015). Sementara itu, pertanda buatan yang dapat dipercaya misalnya
pengumuman terjadinya bencana melalui pengeras suara ataupun siaran radio.
Pada materi ini, penggunaan gambar maupun video diperbolehkan untuk
memperjelas pemahaman .
Pada minggu ketiga, masyarakat diberikan pemahaman mengenai berbagai
hal yaitu terkait peta jalur evakuasi secara detail dari bagaimana membaca dan
penjelasan dalampeta serta yang harus dilakukan sebelum, selama, dan sesudah
terjadinya bencana gunung meletus. Materi ini sebaiknya dikemas dengan
kegiatan simulasi sehingga peserta program dapat mempraktekkan langsung
materi yang dipelajarinya. Selain itu, fasilitator dapat pula membagikan brosur
yang berisi poin-poin langkah yang harus dilakukan, disertai dengan gambar serta
warna yang menarik.
Ketika berbagai tanda akan terjadinya letusan gunung api sudah mulai
terlihat, dapat segera melakukan berbagai upaya sebelum bencana seperti selalu
menghidupkan radio dan mempersiapkan tas darurat (Candraswari, 2018). Radio
maupun handie talkie lebih diprioritaskan daripada perangkat elektronik lain
seperti telepon genggam atau televisi, sebab bencana gunung meletus dapat
menganggu transmisi sinyal dan merusak perangkat elektronik. Sementara itu, tas
darurat diperlukan apabila terjadi perintah mendadak untuk mengungsi secara
tiba-tiba. Tas darurat ini hanya berisi keperluan penting seperti kartu identitas,
sejumlah uang, kotak P3K, makanan darurat, air, masker, senter, radio baterai,

11
serta pakaian. Berikan kesempatan bagi peserta program untuk melakukan
simulasi mengenai pengemasan tas darurat.
Selama terjadi bencana gunung meletus, berikan penjelasan pada anak untuk
tetap tinggal di dalam rumah dan tidak berpergian ke luar. Tutup seluruh pintu dan
jendela, serta pindahkan perangkat elektronik ke tempat yang lebih aman. Apabila
dampak dari abu masih terasa, ajarkan anak untuk menggunakan masker (atau
pakaian dan kain apabila masker tidak tersedia), menggunakan baju dan celana
panjang yang tertutup, serta melindungi bagian mata dan mulut. Apabila terjebak
di luar rumah, ajarkan anak untuk mencari tempat perlindungan misalnya di dalam
kendaraan. Apabila tidak menemukan tempat perlindungan, ajarkan anak untuk
naik menuju tempat yang tinggi untuk menghindari aliran lava. Simulasikan
peserta program untuk duduk berjongkok, tidak menghadap gunung, serta
melindungi kepala dan wajah menggunakan tas, pakaian, atau barang apapun yang
ada di sekitar anak (Ratnasari, 2017).
Setelah bencana gunung meletus usai, instruksikan masyarakat untuk tetap
memantau informasi melalui radio dan menyampaikannya kepada orang tua.
Apabila jika keadaan sangat tidak memungkinkan masyarakat dapat keluar rumah
segera dengansesuai petajalur evakuasi. Serta orang tua memerintahkan anak juga
diinstruksikan agar tidak banyak bermain di luar rumah maupun tempat yang
masih terkontaminasi oleh abu vulkanik. masyarakat dapat meminta
anak //////////////// untuk ikut berpartisipasi dalam upaya pembersihan abu di sekitar
rumah, namun harus berada di bawah pengawasan orang tua serta menggunakan
alat pelindung seperti masker, kacamata, dan baju maupun celana yang tertutup.
Selain perancangan aktivitas program, perlu dilakukan perencanaan kegiatan
pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dapat dilaksanakan pada pelaksanaan
program setiap minggunya, untuk memastikan bahwa semua materi dari
penjelasan terkait peta jalur evakuasi serta materi lainnya telah disampaikan
sesuai rencana. Sementara itu, evaluasi dapat dilaksanakan pada akhir program
dengan menganalisis hasil pretest dan postest. Program edukasi dikatakan berhasil
apabila terjadi peningkatan yang signifikan pada pengetahuan peserta program
mengenai bencana gunung meletus.

12
KESIMPULAN
Gunung Agung merupakan gunung berapi aktif tertinggi di Pulau Bali
dengan ketinggian mencapai 3.031 mdpl. Untuk memperkecil risiko bencana bagi
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana, perlu dilakukan upaya
mitigasi bencana salah satunya melalui program edukasi. Dewasa ini, upaya
mitigasi hendaknya diarahkan pada sasaran potensial yaitu penduduk pada
golongan usia anak-anak (5 – 9 tahun). Perencanaan program edukasi yang
diberikan dapat melalui beberapa tahap antara lain pemetaan daerah rawan
bencana, pembentukan tim fasilitator, penjaringan peserta, pembentukan jadwal
program edukasi, penentuan susunan kurikulum dan materi ajar, serta teknis
pemantauan dan evaluasi.

SARAN
Saran yang dapat diberikan kepada pihak pemerintah antara lain hendaknya
memberikan perhatian lebih kepada upaya mitigasi bencana. Upaya mitigasi
bencana khususnya program edukasi serta memberikan informasi kepada
masyarakat terkait peta jalur evakuasi bidang kesehatan saat bencana terjadi
sangat penting untuk meningkatkan tingkat kesiapan masyarakat apabila sewaktu-
waktu terjadi bencana. Golongan masyarakat yang perlu diberikan edukasi kepada
masyarakat yang kawasan pemukimanya dekat dengan daerah gunung meletus
yaitu Desa Jambearum Sementara itu saran yang dapat diberikan kepada
masyarakat, khususnya yang berdomisili di daerah rawan bencana, antara lain
hendaknya selalu mengikuti instruksi pemerintah atau pihak yang berwenang serta
mempelajari informasi secara detail salah satunya peta jalur evakuasi agar
masyarakat dapat tahu tempat menyelamatkan diri secara tepat. Hal ini disebabkan
segala instruksi yang diberikan pasti bertujuan untuk melindungi keselamatan
serta keamanan dari masyarakat yang terkena dampak bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Geologi Nasional. (2014). Kawasan Rawan Bencana Gunung Api. Diakses
pada September 28, 2018, dari
http://www.vsi.esdm.go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/495-
g-marapi?start=6

13
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2017). Peta dan Infografis Siaga
Gunung Agung. Diakses pada September 28, 2018, dari
https://bnpb.go.id/peta-grafis
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bone. (2015). Gunung
Berapi. Diakses pada September 28, 2018, dari
https://bpbd.bone.go.id/2015/01/25/gunung-berapi/
Candraswari, R. (2017). Panduan Keselamatan Ketika Terjadi Letusan Gunung
Berapi. Diakses pada September 28, 2018, dari https://hellosehat.com/hidup-
sehat/tips-sehat/antisipasi-gunung-berapi-meletus/
Damarjati, D. (2018). Gunung Agung Meletus, Lava Terlontar 2 Km dan
Membakar Hutan. Diakses pada September 28, 2018, dari
https://news.detik.com/berita/4094922/gunung-agung-meletus-lava-terlontar-
2-km-dan-membakar-hutan
Fayol, H. (1949). General and Industrial Management. London: Pitman.
Febrinastri, N. (2015). 5 Tanda Gunung Api Akan Meletus. Diakses pada
September 28, 2018, dari http://www.beritasatu.com/iptek/302876-5-tanda-
gunung-api-akan-meletus.html
L. Gullick, L. F. U. (1937). Paper in the Science of Administration. New York:
Columbia University Press.
Pratama, A. N. (2018). Meletus Pertama pada 1808, Ini Catatan Letusan Gunung
Agung. Diakses pada September 28, 2018, dari
https://regional.kompas.com/read/2018/07/03/16410061/meletus-pertama-
pada-1808-ini-catatan-letusan-gunung-agung
Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pub. L. No. Nomor 24 Tahun
2007 (2007). Indonesia.
Ralf Gertisser, Katie Preece, S. C. (2017). We’re Volcano Scientists – Here are Six
Volcanoes We’ll be Watching Out For in 2018. Diakses pada September 28,
2018, dari https://theconversation.com/were-volcano-scientists-here-are-six-
volcanoes-well-be-watching-out-for-in-2018-89051
Ratnasari, E. D. (2017). Yang Harus Dilakukan Saat Terjadi Letusan Gunung
Berapi. Diakses pada September 28, 2018, dari
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170803200704-282-
232333/yang-harus-dilakukan-saat-terjadi-letusan-gunung-berapi
Terry, G. R. (1968). Principles of Management. United States: Ricard D. Irwin.

14

Anda mungkin juga menyukai