Anda di halaman 1dari 18

Tugas UAS Psikologi Bencana

Dosen : Brigjen TNI Dr. Arief Budiarto, DESS

Nama : Berwi Fazri Pamudi


NIM

: 1 2014 0203 009

Prodi : Manajemen Bencana

Pengelolaan Kearifan Lokal Berbasis Community Development


melalui Pengembangan Ekowisata dan Budaya
BAB 1
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang dan Kondisi Gunung Sinabung


Gunung Sinabung mulai erupsi kembali sejak tahun 2010 setelah tertidur
sejak tahun 1600. Kondisi ini yang mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi
masyarakat sekitar Gunung Sinabung. Erupsi sejak tahun 2010 belum
menampakkan adanya perubahan menjadi lebih baik sampai saat ini sementara
sudah banyak kerugian yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Sinabung.
Gunung Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Koordinat
puncak Gunung Sinabung adalah 3o10 LU dan 98o 23 BT dengan ketinggian
2.460meter dari permukaan laut dan disertai 4 kawah yaitu (Kawah I, II, III, dan
IV). Gunung bertipe strato ini terakhir meletus pada tahun 1600 dan kembali
meletus pada tahun 2010.

Oleh karena itu, gunung ini masuk ke dalam tipe B

yang sejarah erupsinya tidak diketahui sejak tahun 1600.


Jonathan Tarigan, seorang geolog lulusan Universitas Pembangunan
Nusantara (UPN) Veteran Yogyakarta yang juga putra daerah Kabupaten Karo,
menyebutkan bahwa karakteristik Gunung Sinabung sangat unik. Masyarakat
yang tidak pernah mengalami bencana erupsi harus mulai mengenal kondisi ini
dan melakukan mitigasi ataupun persiapan menghadapinya. Erupsi pada 2010
yang berlanjut dengan erupsi cukup besar pada tahun 2013. Erupsi ini
berdampak padabeberapa desa di kaki Gunung Sinabung harus dikosongkan
sehingga adanya pengungsi di wilayah Kabupaten Karo. Jangka waktu hampir 2
tahun menjadikan sebuah pelatihan masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung
Sinabung agar mampu dan dapat bersahabat dengan alam (living harmony with
risk).
1 Universitas Pertahanan Indonesia

Penelitian yang pernah dilakukan di sejumlah gunung berapi di Indonesia,


menghasilkan data bahwa Sinabung memiliki pergerakan yang sangat berbeda
dengan gunung berapi seperti di Pulau Jawa dan lainnya. Gunung Sinabung
diperkirakan akan terus mengeluarkan guguran dan hanya akan seperti itu.
Sebab, tekanan gas yang berasal dari perut bumi di dalam Gunung Sinabung
tidaklah begitu kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya tekanan gas yang
membuat letusan kecil yang membentuk guguran.

1.2. Kondisi Masyarakat sekitar Gunung Sinabung Pasca Erupsi


Masyarakat di sekitar Gunung Sinabung pastinya mengalami perubahan
yang cukup drastis pada kehidupannya pasca erupsi Gunung Sinabung
semenjak erupsi pada tahun 2013. Tidak adanya pengetahuan mengenai sejarah
erupsi Gunung Sinabung yang mengalami erupsi terakhir pada tahun 1600
menjadikan mereka tidak tanggap dalam menghadapi bencana yang datang.
Erupsi Gunung Sinabung juga berdampak pada daerah yang cukup jauh
dari daerah Sinabung. Kota Berastagi yang berada pada radius 22 KM dari
Gunung Sinabung juga terkena dampak abu vulkanik sisa erupsi. Abu vulkanik
juga mengenai daerah wilayah Kabupaten Deli Serdang. Erupsi setinggi tiga
meter ke atas kawah Gunung Sinabung mengakibatkan abu vulkanik yang cukup
tebal dan mengganggu pengendara kendaraan motor di malam hari dan tersebar
hingga ke Kota Lubuk Pakam.
Erupsi Gunung Sinabung selain meninggalkan trauma dan kepanikan, juga
meninggalkan beberapa permasalahan di bidang kesehatan, pendidikan, dan
ekonomi.

Ratusan warga dirawat

di RSUD Kabanjahe, karena menderita

penyakit ISPA akibat erupsi. Jumlah warga yang dirawat sebanyak 148 orang
sejak terjadinya erupsi hingga 20 September 2013 (Retnaningsih,2013).
Sebagian besar penduduk sekitar Gunung Sinabung bermata pencaharian
sebagai petani. Erupsi Gunung Sinabung sangat berdampak besar pada lahan
pertanian yang biasa digarap oleh masyarakat. Tanaman padi

gogo yang

ditanam petani tertutup oleh debu vulkanik yang menyebabkan daun padi gogo
kekuningan pada ujungnya dan akhirnya mengering. Adapun tanaman
hortikultura yang berada pada radius 5 KM ditemukan mengering dan gagal
panen sehingga harga di pasaran meningkat.

Universitas Pertahanan Indonesia

Gambar 1. Daun padi gogo ditutupi oleh abu vulkanis


Sumber : BPTP Sumatera Utara

Gambar 2. Tidak ada kerusakan pada tomat yang berbuah, namun bunga rontok
Sumber : BPTP Sumatera Utara

Keadaan sosial warga secara

drastis berubah pasca erupsi Gunung

Sinabung. Sektor pertanian menjadi dampak terbesar yang mengakibatkan


warga beralih pekerjaan menjadi buruh lepas harian (dalam bahasa Karo disebut
sebagai Aron).
Erupsi

Gunung Sinabung juga merusak tanaman pertanian dan

perkebunan. Dari seluas 3.863 Hekta Are tanaman di enam kawasan, seluas
3.589 Hekta Are telah rusak akibat erupsi. Hal ini kemudian berdampak pada
kelangkaan bahan makanan. Pasokan sayur dan buah menurun hingga 40
persen karena banyak petani tak berani memanen, karena takut bahaya erupsi.
Perubahan kondisi masyarakat ke arah yang lebih rendah dari posisi
sebelumnya seharusnya mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar untuk
membantu meningkatkan

kembali taraf kehidupan yang telah bergeser.

Perhatian mengenai pemberian motivasi untuk berada pada posisi normal sangat
dibutuhkan oleh para korban erupsi Gunung Sinabung.
Universitas Pertahanan Indonesia

Kondisi masyarakat sekitar Gunung Sinabung pasca erupsi inilah yang


akan menjadi perhatian penulis pada paper ini. Penulis memfokuskan untuk
melakukan pengembangan komunitas di sekitar Gunung Sinabung untuk bangkit
kembali seperti kehidupan normal. Konsep yang digunakan penulis dalam paper
ini yaitu melalui pengembangan kearifan lokal yang berbasis konsep ekowisata
dan budaya yang ada di sekitar Gunung Sinabung.
Konsep ini diharapkan dapat merubah kondisi masyarakat di sekitar
Gunung Sinabung dan mengubah paradigma masyarakat dari bencana sebagai
musibah menjadi bencana membawa berkah. Selain itu juga melatih kondisi
psikologis masyarakat sekitar Gunung Sinabung menjadi lebih tangguh dari
keadaan sebelumnya yang tak pernah merasakan bencana erupsi Gunung
Sinabung.

Universitas Pertahanan Indonesia

BAB 2
Pembahasan

2.1. Penanganan Bencana oleh Pemerintah


Kondisi Indonesia yang berada pada wilayah ring of fire menjadikan
Indonesia rawan akan bencana erupsi gunung berapi. Dampak dari bencana
erupsi gunung berapi sangat merugikan korban bencana disertai dengan
kerusakan sarana pemukiman, transportasi, telekomunikasi, kelangkaan energi,
air bersih, dan tentunya penurunan mental dari korban bencana.
Kerusakan dan penderitaan korban membutuhkan perhatian banyak pihak
untuk kembali bangkit ke kehidupan yang normal. Pemerintah berada pada posisi
yang sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kondisi ini. Komitmen pemerintah
Indonesia

cukup

tinggi

dengan

adanya

beberapa

kebijakan

mengenai

penangangan bencana, yaitu:


1.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,

2.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana,

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pendanaan dan


Pengelolaan Bantuan Bencana,

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Peran Lembaga


Internasional dan Lembaga Asing Pemerintah,

5.

Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pembentukan Badan


Nasional Penanggulangan Bencana.
Pemerintah juga memfasilitasi program yang relah dirancang untuk

diimplemetasikan yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat


(community resilience). Implementasi dilakukan pada setiap tahapan dari mulai
pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Akan tetapi, penanganan
bencana pada saat tanggap darurat biasanya belum optimal dan kurang efektif.
Evakuasi, dan kesulitan akses infrastruktur pengungsian agak menghambat
penanganan bencana ditambah lagi dangan jalur distribusi logistik yang tidak
teratur.
Strategi yang dapat dilakukan untuk menghadapi hambatan yang mungkin
timbul dari bencana erupsi yaitu penyiapan masyarakat berbasis desa
penyangga bencana (buffer society). Masyarakat ini adalah masyarakat di luar
lingkungan korban erupsi yang dapat menjadi stoke holder untuk penjaminan
Universitas Pertahanan Indonesia

bahwa korban mendapatkan perhatian, keamanan, kenyamanan, serta suasana


dan kondisi yang kondusif untuk menjalankan aktivitas kehidupannya seperti
biasa (Usman, 2013).
Pengembangan masyarakat desa penyangga bencana memerlukan peran
dari

berbagai

pihak

yaitu

masyarakat,

pemerintah,

lembaga

swadaya

masyarakat, dunia usaha, dan pihak lainnya yang berkepentingan di wilayah


rawan bencana. Hal yang perlu diperhatikan antara lain:
1. Pengelolaan infrastruktur yang membuka akses terhadap berbagai bentuk
pelayanan tanggap darurat
2. Peningkatan kapasitas personal, komunitas, dan system yang menempatkan
korban bencana sebagai subjek yang memiliki peluang berpartisipasi aktif
dalam masa transisi selama berlangsung proses evakuasi
3. Peningkatan jaringan sosial di antara pihak yang peduli pada tahap tanggap
darurat.
Kapasitas

lokal

dikonsepsikan

untuk

pengembangan

potensi

dan

pendayagunaan sumberdaya (resources) yang dimiliki untuk mencapai tujuan


tertentu (Adamson & Bromiley, 2008; Banks & Shenton,2001; Chaslzin
et.al,2000; January, 2001). Proses pengembangan kapasitas masyarakat dibagi
dalam tiga kategori yaitu dari sisi masyarakat yang mewarisi kebiasaan generasi
sebelumnya berupa pengetahuan lokal (local knowledge) dan disosialisasikan
melalui kebiasaan dalam keluarga, kapasitas warga untuk mengatasi segala
hambatan yang ada (learning by doing), dan kapasitas warga yang diperoleh dari
peran serta pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat melalui penyuluhan
atau diskusi kelompok (focus group discussion).

2.2. Kearifan Lokal


Kearifan lokal sangat diperlukan dalam menangani bencana baik pada
tahap pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana. Kearifan lokal atau
lebih dikenal dengan local wisdom menurut kamus terdiri dari dua kata yaitu:
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat, sedangkan wisdom
berarti kearifan atau kebijakan. Secara umum, local wisdom yaitu sebagai
gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik,
tertanam, dan diikuti oleh anggota masyarakat yang berada pada wilayah
tersebut.
Universitas Pertahanan Indonesia

Local wisdom juga dianggap sebagai local genius dalam disiplin


antropologi. Local genius dikenal juga dengan cultural identity yaitu kepribadian
bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut dapat menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Pada kasus erupsi
Gunung Sinabung, local wisdom dari korban erupsi yaitu kemampuan korban
untuk tetap melestarikan budaya yang ada dan dapat menerima bantuan dari
pihak luar disesuaikan dengan budaya yang mereka anut.
Kearifan lokal yang dipelihara dapat berkembang menjadi budaya dimana
dapat dipandang sebagai manifestasi kehidupan kelompok orang yang dapat
mengubah alam. Kebudayaan inilah yang merupakan upaya manusia dalam
memperjuangkan kehidupan di masa depan. Ali Moertopo menyatakan bahwa
kearifan lokal akan membentuk kebudayaan yang akan terus mengalami
reinforcement yang lebih baik.
Aktivitas

yang

telah

ada

di

masyarakat

dan

didorong

dengan

pengembangan ekonomi kreatif serta pendekatan creative community and


industry dapat dijadikan sebagai alternatif pembangkitan semangat bagi korban
bencana erupsi Gunung Sinabung. Nilai kearifan lokal dapat dijadikan dasar
untuk menjadikan daerah bencana menjadi daerah tujuan wisata.

2.3. Community Development


Pengembangan kapasitas warga di sekitar wilayah bencana mencakup
pengembangan kapasitas personal, komunitas, dan sistem dalam menghadapi
bencana yang ada. Kapasitas personal masyarakat meliputi pengetahuan
(knowledge), sikap, keterampilan (skill) dalam pendayagunaan sumberdaya
(resources) yang dimiliki untuk mengembangkan inovasi daerah terdampak
bencana menjadi daerah yang produktif.
Kapasitas personal sangat diperlukan pada pengembangan kapasitas
komunitas. Pada kapasitas komunitas sangat diperlukan kepercayaan (trust)
antar personal, hubungan saling menguntungkan (reciprocal relationships), dan
jejaring sesama warga masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya
masyarakat (networking).
Pengembangan masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk membantu
masyarakat dalam mengembangkan kemampuan sendiri sehingga bebas dan
mampu untuk mengambil keputusan secara mandiri. Kondisi ini yang diperlukan
Universitas Pertahanan Indonesia

untuk menjadikan korban bencana dapat bangkit kembali dari keterpurukan


akibat bencana erupsi Gunung Sinabung.
2.4. Pengembangan Ekonomi Wisata
Gunung Sinabung berada pada wilayah Kabupaten Karo yang memiliki
banyak potensi tempat wisata. Keberadaan Gunung Sinabung tidak terlepas
dengan gunung lainnya yang berada di sekitar kawasan Karo. Gunung Pintau
serta gunung api kembar yaitu Gunung Sibayak Tua dan Muda cukup
mendukung potensi wisata di daerah Berastagi dan Karo. Peristiwa ledakan
dahsyat di Gunung Sipiso-piso merubah kondisi alam daerah Toba dan harus
mengalami rekonstruksi. Kondisi ini akhirnya mendapat perhatian wisatawan
sebagai tempat wisata yang menarik.
Erupsi Gunung Sinabung dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata.
Pemanfaatan potensi gunung api yang masih aktif sebagai objek wisata
merupakan fenomena baru yang menantang bagi wisatawan. Wisata ini tidak
hanya memberikan kesenangan (pleasure) bagi wisatawan melainkan juga
sumber daya wisata (resource based tourism) dan wisata keilmuan (knowledge
based tourism). Keadaan ini juga membantu korban erupsi Gunung Sinabung
untuk secara cepat bangkit dari keadaan kehilangan nilai kehidupan. Mata
pencaharian yang berasal dari pertanian dapat dialihkan ke sektor pariwisata.
Kondisi psikologis masyarakat secara cepat harus dikembalikan pada fase
normal dan kembali bermanfaat bagi kehidupannya.
Erupsi Gunung Sinabung saat ini tentunya dapat dimanfaatkan sebagai
objek wisata volcano tour sepertinya layaknya yang dilakukan pada volcano tour
Gunup Merapi yang dikembangkan oleh warga sekitar. Kabupaten Karo dengan
segala pemandangan alamnya tetap memiliki potensi wisata untuk menarik
perhatian wisatawan meskipun erupsi Gunung Sinabung cukup mengubah
kondisi masyarakat di sekitar Karo. Penelitian mengenai geologi mengenai
gunung api yang ada di wilayah Karo dapat dijadikan sebagai daya tarik
tersendiri bagi para peneliti di Indonesia. Peneilitian ini nantinya akan berguna
sebagai dasar untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi
bencana erupsi gunung berapi di wilayah Karo dan sekitarnya.
Kearifan lokal masyarakat Karo juga tercermin pada pemanfaatan lahan.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Sinabung
mengakibatkan adanya perubahan kontur pertanian di wilayah Gunung
Universitas Pertahanan Indonesia

Sinabung. Pemahaman mengenai konservasi lahan dapat menjadikan daya tarik


tersendiri bagi komunitas sebagai bahan pembelajaran wisata untuk Gunung
Sinabung. Adat Karo juga melarang penebangan semak belukar sekitar 50 meter
dari kiri dan kanan sungai, dan melarang penebangan pohon sekitar 100 meter
dari sumber mata air, supaya mata air tidak kering. Kearifan lokal ini yang
menjadikan masayarakat dapat hidup kembali bersama risiko dari alam.

2.5. Pengembangan Budaya


Masyarakat suku Karo memiliki kepercayaan adat dalam filosofi kehidupan
di masyarakat. Adat ini mengajarkan tentang bertindak dalam keseharian dan
tergambar dari berbagai ungkapan yang ada di internal suku Karo. Dalam
komunitas suku Karo dikenal dengan ungkapan mangok lawes mangkok reh
yang berarti mereka yang memberi maka akan menerima balasannya.
Keyakinan akan kearifan lokal ini bisa dijadikan sebagai dasar pengembangan
komunitas bahwa kemungkinan erupsi Gunung Sinabung merupakan akibat dari
perbuatan manusia yang ada. Oleh sebab itu, mereka harus bangkit kembali dan
memberikan perilaku atau tindakan yang terbaik untuk Gunung Sinabung
sehingga mereka tidak terlalu lama berada pada masa kehilangan.
Masyarakat

Karo

juga

memiliki

prinsip

setiap

perbuatan

akan

mendatangkan akibat yang setimpal, seperti terungkap dalam pepatah, adi


ngalo la rido, nggalar la rutang, artinya jika menerima sesuatu yang tidak
sah atau tidak wajar, maka akan mendatangkan bencana. Sebab itu dalam
pepatah lainnya disebutkan, pangan labo ate keleng, tapi angkar beltek
yang artinya boleh melakukan apa saja tetapi harus memikirkan dampak yang
ditimbulkannya (Prinst, 2004:66).
Selain adat mengenai budaya di Karo, pengembangan wisata dari sisi
budaya juga dapat dilakukan melalui pengenalan desain rumah tradisional
masyarakat Karo. Seperti halnya rumah adat di Lombok yaitu Desa Sade dengan
bentuk rumah adat yang khas dengan rutinitasnya, rumah di Karo juga sangat
unik. Desa Lingga sebagai salah satu kawasan adat masyarakat Karo dengan
desain rumah yang tahan gempa. Pengenalan mengenai pesona ini dapat
menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat korban bencana. Korban bencana
dapat memperkenalkan kepada khalayak ramai bahwa rumah Karo tidak
membutuhkan paku saat pembuatan dan dapat mencapai ratusan tahun.
Universitas Pertahanan Indonesia

10

Tersohornya keindahan ini dapat menjadi cambuk bagi masyarakat untuk


kemudian bangkit dan memanfaatkan moment erupsi Gunung Sinabung untuk
memperkenalkan kepada masyarakat luas. Gunung Sinabung bukan hanya
terkenal karena dampak erupsinya melainkan juga pesona tersembunyi yang ada
di sekitar Gunung Sinabung. Dengan adanya kegiatan ini menjadikan memiliki
sebuah nilai baru yang berharga bagi kehidupannya yaitu penghasilan yang
cukup.

Gambar 3. Rumah Adat Karo

Kearifan lokal masyarakat Karo juga tercermin dari ornamen yang ada di
rumah tradisional tersebut. Keseluruhan ornamen dibuat atau diletakkan pada
ayo-ayo (bagian depan rumah), dapur-dapur (bagian dapur), dan pada derpih
(bagian dinding), dan pada atap rumah diletakkan dua atau empat kepala kerbau
lengkap dengan tanduknya yang dipercaya sebagai lambang kekuatan. Ornamen
tersebut meliputi:
1. Pengeret-ret ialah bahan dasar ornamen ini adalah tali ijuk yang dipilin dan
diikat ke dinding rumah (derpih) bagian depan yang dimaksudkan sebagai
pengganti paku. Lubang diatur terlebih dahulu sesuai dengan gambar dan
berfungsi untuk memperkuat tiap lembar papan, sehingga dinding menjadi kuat.
Motif ornamen berupa gambar seekor cicak yang diyakini memiliki kekuatan
untuk menolak bala dan ancaman roh jahat yang mengganggu penghuni rumah.
Ornamen ini melambangkan suatu kekuatan, penangkal setan, kewaspadaan,
dan kesatuan keluarga.
Universitas Pertahanan Indonesia

11

Gambar 4. Pengeret-ret

2. Embun Sikawite yaitu ornamen dengan motif alam ini merupakan tiruan dari
rangkaian awan yang beriringan dibuat menyerupai gambar bunga yang menjalar
berbentuk segitiga. Fungsinya sebagai petunjuk hubungan antara kalimbubu
(awan tebal bagian atas) dan anak-beru (bayangan awan di bagian bawah).
Kalimbubu adalah pelindung anak-beru dalam sistem hubungan masyarakat
Karo. Bayangan awan di bawah akan bergerak mengikuti iringan gumpalan awal
tebal di atasnya bila awan di bagian atas bergerak, sesuai dengan fungsi
kalimbubu.

Gambar 5. Embun Sikawite

3. Bindu Matoguh berupa motif ornamen berupa garis yang menyilang diagonal
dan membentuk persegi, melambangkan keteguhan hati masyarakat Karo untuk
bertindak baik, adil, tidak melanggar norma, dan tidak merugikan orang (encikep
si mehuli). Nilai filosofis encikep si mehuli adalah sebagai penolak bala yang
tidak akan datang melanda bila manusia berbuat baik dan jujur terhadap
siapapun.

Universitas Pertahanan Indonesia

12

Gambar 6. Bindu Matoguh

4. Tupak Salah Silima-lima yaitu motif ornamen berupa garis menyilang yang
membentuk gambar bintang di langit yang menerangi bumi di malam hari.
Melambangkan kesatuan/kekeluargaan merga silima (lima merga) sebagai
sistem sosial masyarakat Karo yang utuh, dihormati, dan disegani. Kesatuan
dimaknai sebagai kekuatan karena kekuatan masyarakat Karo pada hakikatnya
terletak pada kebersamaan yang dibangun. Kelima merga tersebut adalah merga
induk yang diikat oleh struktur sosial dan tak terpisahkan antara satu dengan
yang lainnya. Fungsi ornamen tak lain sebagai penolak niat jahat dari adanya
keinginan yang hendak mengganggu keutuhan merga silima.

Gambar 7. Tupak Salah Silima-lima

5. Tapak Raja Sulaiman adalah ornamen bermotif geometris berupa garis yang
menyimpul dan membentuk jalinan motif bunga dan membentuk segi empat.
Nama ornamen diambil dari nama raja yang dianggap sakti yang ditakuti oleh
makhluk jahat mulai dari yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar.
Dengan status sebagai raja yang tinggi kedudukannya, Raja Sulaiman
merupakan kekuatan yang dihormati sekaligus ditakuti. Masyarakat Karo percaya
Universitas Pertahanan Indonesia

13

bahwa ornamen Tapak Raja Sulaiman akan menolong mereka agar terhindar
dari ancaman niat jahat, baik yang datang secara nyata maupun tidak nyata.

Gambar 7. Tapak Raja Sulaiman

Rumah adat masyarakat Karo dapat menarik perhatian wisatawan


sehingga dapat dijadikan sebagai objek wisata yang akan menambah
penghasilan warga sekitar Karo. Unsur budaya yang masih kental selain masih
terus dianggap sebagai budaya juga dapat mengurangi kesedihan warga akibat
erupsi Gunung Sinabung. Untuk mengurangi kesedihan akan kehilangan akan
harta yang berharga, masyarakat perlu diberikan kesibukan sehingga melupakan
kesibukan tersebut.
Masyarakat Karo juga memiliki kebudayaan dari pakaian tradisional.
Perkembangan kebudayaan menjadikan masyarakat Karo telah memiliki banyak
ragam pakaian dengan fungsi-fungsi yang berbeda. Secara tradisional pakaian
ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam
kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari
bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (sejenis tumbuhan). Kesibukan
semacam ini dapat menjadi ladang penghasilan. Rumah adat Karo dalam satu
sistem komplek dapat menarik perhatian disertai dengan souvenir khas Karo.
Pengembangan ini dilakukan pada ruang lingkup komunitas sehingga terjadi
peningkatan taraf hidup bagi warga korban erupsi Gunung Sinabung.
Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi atas tiga kelompok,
yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian
yang biasa digunakan pria adalah pakaian dengan model batu gunting cina
lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang dan sarung,
sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup
Universitas Pertahanan Indonesia

14

kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan.
Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian
pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan baik, sehingga terlihat lebih
sopan, dan pakaian kebesaran terdiri dari pakaian dengan aksesoris-aksesoris
yang lengkap serta digunakan pada saat pesta saja, seperti pesta perkawinan,
memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian. Jenis Uis yang
menjadi budaya di Batak Karo antara lain:
1. Uis Arenteneng
Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya
hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan
untuk alas pinggan pasu tempat emas kawin dan tempat makanan bagi
pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam hari
setelah selesai pesta adat, uis ini juga digunakan sebagai pembalut tiang pada
peresmian atau acara adat memasuki rumah baru, dan membayar hutang adat
kepada kalimbubu dalam upacara adat kematian.

2. Uis Julu
Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan
corak garis-garis putih berbentuk liris-liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah
dan hitam dan disebut Keteng-ketang Bujur. Ada juga yang disebut ketengketeng sirat denan diberi ragam corak ukiran serta di sisi ujungnnya terdapat
rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai Gonje (sarung laki-laki),
membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua
laki-laki, dan digunakan juga sebagai selimut (cabin).

3. Uis Teba
Hampir sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba
lebih jarang sedangkan Uis Julu lebih rapat. Warnanya hitam, di sisi ujungnya
juga memiliki rambut (jumbai). Sama seperti uis Julu ,Uis ini juga digunakan
untuk maneh-maneh atau membayar hutang adat bagi perempuan yang
meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan
alas pinggan pasu, tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran
kepada pihak mempelai perempuan dalam upacara adat Perkawinan.

Universitas Pertahanan Indonesia

15

4. Uis Gatip
Uis Gatip ini berwarna hitam dan berbintik-bintik putih di tengah, tepian kain
warnanya hitam pekat dan ujungnya terjalin dan berumbai. Jenis kainnya lebih
tebal sehingga sering disebut dengan Uis kapal (kain tebal). Uis ini dipakai
sebagai ose (pakaian) laki-laki pada upacara-upacara adat perkawinan,
memasuki rumah baru, guro-guro aron (pesta muda-mudi).

5. Uis Jongkit
Warna dan bahan Uis ini sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit
memakai benang emas dengan motif melintang pada bagian tengah kain
tersebut, hingga warna dan bentuknya lebih cerah. Penggunaan Uis ini juga
sama seperti Uis Gatip, tapi kain ini sekarang lebih disenangi dan banyak dipakai
pada upacara-upacara adat.

6. Uis Beka Buluh


Warna dasar kain Uis Beka Buluh ini merah cerah, bagian tengah bergaris
Kuning, Ungu, Putih dan pada tepian dan ujung kain terdapat motif-motif ukiran
Karo yang dibuat dengan benang emas. Kain ini dipakai sebagai Bulang
(penutup kepala/topi) pada laki-laki, dan juga dipakai sebagai cekok-cekok
(penghias bahu) yang diletakan sedemikian rupa pada bahu laki-laki, selain itu
kain ini juga biasa diletakkan di atas tudung wanita.

7. Uis Kelam-kelam
Warnanya hitam pekat, bahan kainnya lebih tipis dari Uis yang lain dan polos
tanpa motif, sepintas seperti kain hitam biasa, hanya saja kain ini lebih keras
dibanding Uis yang lain. Uis ini biasa dipakai oleh wanita sebagai tudung pada
upacara-upacara adat, tudung yang bahannya dari uis kelam-kelam ini disebut
Tudung Teger Limpek dengan bentuknya yang khas dan unik. Memang proses
pembuatan tudung ini sangat sulit dan unik, hingga saat ini tidak semua orang
dapat membuat tudung ini.

8. Uis Jujung-jujungen
Warnanya merah bersulamkan emas dan kedua ujungnya juga berumbai benang
emas, kain ini tidak selebar kain yang lainnya, bentuknya hampir sama dengan
selendang. Uis ini biasanya dipakai oleh wanita dan biasanya letaknya diatas
Universitas Pertahanan Indonesia

16

tudung dengan rumbainya terletak disebelah depan. Pada saat sekarang uis ini
jarang digunakan, dan kebanyakan telah digantikan dengan uis Beka buluh.

9. Uis Nipes Ragi Barat


Kain ini jenisnya lebih tipis dari kain-kain lainnya dan memiliki bermacam-macam
motif dan warna (merah, coklat, hijau, ungu dan sebagainya), uis ini biasa
digunakan sebagai selendang bagi wanita. Selain beberapa jenis Uis yang telah
dijelaskan secara singkat di atas, masih terdapat beberapa jenis Uis yang lain,
diantaranya :Uis Batu Jala, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, dan lain-lain.

10. Uis Nipes Padang Rusak


Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada pesta maupun dalam sehari-hari.

11. Uis Nipes Benang Iring dan Uis Pementing


Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat duka cita.
Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting) pada saat berpakaian.
Adat lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain sarung.

Pembuatan Ulos ini dilakukan oleh warga khususnya ibu-ibu sekitar


wilayah Karo secara bersama dengan cara ditenun. Apabila kain Uis telah
selesai maka kain diserahkan ke koperasi desa yang selanjutnya dapat dijual
kepada wisatawan yang datang. Konsep ini hampir sama dengan konsep desa
Sade di Lombok. Adanya kegiatan ini menjadikan masyarakat memiliki
kesempatan untuk dapat terampil dalam melestarikan budaya dan sebagai
alternatif menghilangkan kepenatan ataupun kekecewaan.

Gambar 8. Proses menenun kain Uis di Batak Karo


Universitas Pertahanan Indonesia

17

BAB 3
Kesimpulan

Erupsi Gunung Sinabung yang kembali muncul pada tahun 2010 telah
membawa nama

wilayah Sinabung, Karo dan sekitarnya terkenal di dunia

Internasional. Gunung Sinabung yang terakhir kali tercatat erupsi pada tahun
1600 kembali erupsi pada tahun 2010 dan tidak kunjung selesai hingga saat ini.
Erupsi yang terus berkelanjutan menjadikan hal ini sebagai ajang pelatihan
ketangguhan bagi masyarakat sekitar wilayah Gunung Sinabung sehingga dapat
mengatasi bencana erupsi yang dapat tiba kapan saja.
Kerugian akibat erupsi Gunung Sinabung selama kurang lebih 3 tahun telah
banyak berdampak di berbagai sektor. Kerugian ini bukan hanya kerugian fisik,
infrastruktur serta lingkungan melainkan juga kerugian dari perubahan kondisi
mental yang cukup drastis. Kehilangan akan sumber mata pencaharian

dan

harta kekayaaan akan kehidupan sangat mempengaruhi kondisi psikologis


korban erupsi Gunung Sinabung.
Kearifan lokal di wilayah Sinabung dapat menjadi awal perubahan
kehidupan pasca erupsi ke arah yang lebih baik. Masyarakat di sekitar Gunung
Sinabung sudah seharusnya dapat memanfaatkan kebudayaan yang ada
diwilayahnya

untuk

menarik

perhatian

dunia

internasional.

Melalui

pengembangan komunitas dengan dasar kebudayaan lokal, masyarakat dapat


mengembangkan potensi wisata yang ada di sekitar wilayah Karo.
Potensi wisata di kaki Gunung Sinabung dapat dimanfaatkan sebagai
sumber penghasilan yang baru pasca hilangnya sumber mata pencaharian akibat
erupsi Gunung Sinabung. Selain itu, budaya Karo seperti rumah adat Karo dapat
dimanfaatkan sebagai desa wisata dengan keindahan hiasan ornament yang
cukup unik. Sebagai cinderamata bagi para wisatawan yang ada maka dapat
membeli kerajinan tangan khas Karo yaitu kain Uis yang dibuat langsung oleh
para ibu warga sekitar Gunung Sinabung. Kesibukan ini menjadikan korban
erupsi Sinabung memiliki kesibukan dan tidak berada pada kondisi kesedihan
yang berlanjut. Kondisi kehidupan pun berubah ke arah yang lebih baik dan
bencana menjadi membawa berkah bagi masyarakat Karo.

Universitas Pertahanan Indonesia

18

DAFTAR PUSTAKA

Adamson,D. and R. Bromiley. 2008. Community Empowerment in Practice:


Lesson from Communities First. Joseph Rowntree foundation. New York.
Banks,S. and F. Shenton. 2001. Regenerating Neighbourhoods: A Critical Look
at the Role of Community Capacity Building. Local Economy Vol.16 No.4
pages 286-298.
Chaslzin, Robert J, Prudence Brown, Sudhir Venlzatesh Avis Vidal. 2000.
Building Community Capacity. Aldine de Gruyter: New York.
January, Casswell,S. 2001. Community Capacity Building and Social Policy:
What Can be Achieved?. Social Policy Journal of New Zealand, Isuue 17
December pages 22-35.
Moertopo, Ali. 1978. Strategi Pembangunan Indonesia. Jurnal CSIS: Jakarta.
Prinst, Darwin. 2004. Sejarah dan Kebudayaan Karo. Jakarta: Grama.
Retnaningsih,

Hartini. 2013.

Letusan Gunung Sinabung dan Penanganan

Bencana di Indonesia. Info Singkat Kesejahteraan Sosial Vol. IV. No. 18


September 2013.
Tarigan,Jonathan. 2014. Membangkitkan Semangat Pariwisata lewat Karo
Volcano

Park

diakses

dari

http://www.koran-

sindo.com/read/939047/151/membangkitkan-semangat-pariwisata-lewatkaro-volcano-park-1418885099 pada 16 April 2015 pukul 23: 20 WIB


Usman, Sunyoto. 2013. Pengembangan Masyarakat Desa Penyangga Bencana.
Kearifan

Lokal

Masyarakat

Karo.

2010.

http://mountsinabung.blogspot.com/2010/12/kearifan-lokal-masyarakatkaro.html

Universitas Pertahanan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai