RINGKASAN EKSEKUTIF
Pada tanggal 27 Mei, gempa bumi mengguncang bagian tengah wilayah Indonesia,
dekat kota sejarah, Yogyakarta. Berpusat di Samudera Hindia pada jarak sekitar 33
kilometer di selatan kabupaten Bantul, gempa ini mencapai kekuatan 5,9 pada Skala Richter
dan berlangsung selama 52 detik. Karena gempa berasal dari kedalaman yang relatif dangkal
yaitu 33 kilometer di bawah tanah, guncangan di permukaan lebih dahsyat daripada gempa
yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam dengan kekuatan gempa yang sama, maka terjadi
kehancuran besar, khususnya di kabupaten Bantul di Provinsi Yogyakarta dan Klaten di
Provinsi Jawa Tengah.
Gempa bumi ini adalah bencana besar ketiga yang menimpa Indonesia dalam 18
bulan terakhir. Pada bulan Desember 2004, gempa bumi yang dahsyat diikuti dengan
gelombang tsunami menghancurkan sebagian besar Aceh dan pulau Nias di Sumatera Utara,
dan pada bulan Maret 2005, gempa bumi kembali mengguncang pulau Nias. Dengan lebih
dari 18.000 kepulauan Indonesia yang berada di sepanjang “cincin api” Pasifik yang berisi
banyak gunung berapi aktif dan patahan tektonik, bencana yang belakangan terjadi ini
merupakan peringatan akan besarnya risiko alam yang dihadapi negara ini.
16000
14000
12000
Rp Billion
10000
8000
6000
4000
2000
0
Perumahan Sektor Produktif Sektor Sosial Infrastruktur Lintas Sektor
Kerusakan Kerugian
Kerusakan dan kerugian paling besar terjadi di sektor swasta (lihat gambar 2). Ini
adalah akibat kerusakan yang sangat terpusat pada perumahan swasta dan usaha kecil. Ini
membuat gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah unik jika dibandingkan dengan
bencana-bencana lain dan membawa implikasi penting terhadap strategi pembangunan
kembali dan kompensasi.
9%
91%
Private Public
JAWA TENGAH
Sleman
Klaten
3,203
10,303
Yogyakarta
1,626
Kulon Progo
1,361
Bantul
10,271
Gunung Kidul
2,149
Damage and Losses
(Adjusted Total, Rp Billion) JAWA TIMUR
Above 10,000
3,000 to 10,000
2,000 to 3,000
1,000 to 2,000
Below 1,000 DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
tahan gempa. Sebagian besar rumah-rumah pribadi menggunakan bahan bangunan bermutu
rendah dan tidak memiliki kerangka bangunan yang esensial serta tiang-tiang penopang
sehingga mudah runtuh akibat guncangan. Rakyat miskin adalah kelompok yang paling tidak
mampu untuk membangun rumah yang aman dan banyak dari rumah mereka mengalami
kerusakan. Banyak bangunan publik juga runtuh karena buruknya standar bangunan,
khususnya sekolah, dan banyak di antaranya dibangun pada tahun 1970-an dan tahun 1980
dengan dana hibah khusus (INPRES) dari pemerintah. Terlihat dengan jelas bahwa standar
bangunan tidak diterapkan dengan baik.
Mengingat banyaknya industri berbasis rumah tangga, kerugian ekonomis yang
disebabkan oleh rusak atau hancurnya rumah luar biasa besar. Banyak pembuat
perabot, keramik dan kerajinan tangan melihat mata pencaharian mereka hancur bersama
dengan rumah mereka. Hancurnya aset-aset pribadi yang tidak diasuransikan secara
substansial menambah kerugian yang diperkirakan.
Mengingat kerusakan berskala-besar, patut disyukuri bahwa korban jiwa tidak lebih
banyak. Fakta bahwa gempa bumi menghantam pada hari Sabtu pagi sekitar jam 6, pada
waktu sebagian besar orang sudah terbangun dan sibuk dengan pekerjaan rutin pagi hari di
luar rumah, membatasi korban jiwa yang telah cukup besar. Andai kata gempa bumi terjadi
selama jam sekolah atau jam kerja, jumlah korban jiwa pasti akan lebih besar lagi. Akan
tetapi, jumlah yang terluka diperkirakan di antara 40.000 sampai 50.000 orang karena banyak
rumah dengan konstruksi di bawah standar runtuh menimpa penghuninya.
Dampaknya
Kemiskinan – yang telah melampaui rata-rata nasional di kawasan ini - akan
diperparah oleh gempa bumi ini. Hampir 880.000 orang miskin tinggal di kawasan-
kawasan yang terkena dampak. Diperkirakan bahwa 66.000 orang lagi mungkin akan jatuh ke
dalam kemiskinan dan 130.000 mungkin kehilangan pekerjaan mereka sebagai akibat gempa
bumi tersebut. Dampak terhadap hilangnya pekerjaan khususnya parah di bidang jasa
maupun manufaktur berskala kecil. Perkiraan awal mengisyaratkan bahwa produk domestik
bruto daerah ini bisa jatuh 5%, dengan penyusutan ekonomi 18% di kabupaten-kabupaten
yang paling menderita dampaknya.
Perumahan dan pelayanan transisi akan terkonsentrasi terutama pada lokasi-lokasi
rumah yang sudah ada. Suatu survei kilat memperlihatkan bahwa 74% dari keluarga-
keluarga yang rumahnya hancur total tinggal di dalam tenda-tenda di atas tanah sendiri.
Dalam keadaan seperti ini, sangat mendesak untuk memastikan adanya pemulihan cepat
untuk kebutuhan dasar berupa air dan sanitasi di kawasan-kawasan yang terkena dampak.
Beberapa desa melaporkan bahwa mutu dan rasa air telah merosot meskipun persediaan air
bersih masih utuh. Kaum perempuan dewasa dan anak perempuan terus mengeluhkan
kebutuhan akan pakaian dalam, pembalut, alat pembersih dan peralatan masak.
Trauma psikologis akibat bencana ini seharusnya tidak diremehkan. Laporan-laporan
kualitatif menunjukkan bahwa tingkat trauma memang tinggi di kawasan-kawasan yang
terkena dampak parah. Stres secara signifikan diperparah oleh ancaman letusan di Gunung
Merapi. Meskipun masyarakat cepat bergerak untuk memastikan adaya pemondokan darurat
yang memadai, mungkin perlu beberapa waktu sebelum keluarga-keluarga tersebut siap
untuk terlibat dalam kegiatan perencanaan.
vi Preliminary Damage and Loss Assessment
Mengingat besarnya ukuran dana yang dibutuhkan serta bagian yang akan mengalir
berupa hibah untuk keluarga-keluarga, kerangka pemantauan dan evaluasi yang
kuat sangat dibutuhkan. Rekonstruksi berskala-besar sering menderita akibat kurangnya
informasi yang tepat waktu mengenai kemajuan dan evaluasi program yang sudah ada.
Penilaian ini menyediakan sejumlah besar data awal sebagai acuan untuk memantau
kemajuan rekonstruksi.
Tragedi ini, yang datang tidak lama setelah tsunami, menegaskan kembali perlunya
kesiapan bencana dan manajemen resiko yang komprehensif. Gempa Yogyakarta
tidak bisa dianalisa sebagai satu kejadian yang terpisah. Bahkan, nilai dampaknya harus
dimasukkan dalam perhitungan dari dampak yang dialami oleh Indonesia di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebagai hasil dari Gempa bumi dan Tsunami Lautan Hindia 26
Desember 2004. Dampak gabungan dari kedua bencana ini merupakan hal signifikan untuk
memaksa Pemerintah Indonesia secara serius melakukan praktek pengelolaan dampak
bencana, dengan rujukan khusus kepada skema pengalihan resiko finansial, apabila
pemerintah ingin mengurangi dampak serupa bagi bencana di masa depan.