Anda di halaman 1dari 110

LAPORAN KEPERAWATAN BENCANA DI DAERAH RW 09

KELURAHAN PASIE NAN TIGO KECAMATAN KOTO TANGAH KOTA


PADANG

OLEH :
KELOMPOK 4
1. Nanang Pramayudi 9. Annisa Farhanah
2. Dwi Damyanti Jonathan 10. Ananda Prastuti Sutrisno
3. Tri Ulfa Amelda 11. MimiAgustika sastka
4. Rahayu Maya Sari 12. Reflina Sari
5. Dian Agusti Tanjung 13. Ernisah
6. Azina Fithra Sari 14. Rita Sri Hartati
7. Yolanda Sukarma 15. Soya OdisaAmri
8. Miftahul Jannah 16. Efa Sulastri

DOSEN KOORDINATOR :
Ns. Elvi Oktarina, M.Kep, Sp. Kep. MB

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana merupakan peristiwa atau kejadian yang berlebihan yang
mengancam dan menggangu aktifitas normal kehidupan masyarakat yang
terjadi akibat prilaku perbuatan manusia maupun akibat anomali peristiwa
alam (Sigit, 2018). Bencana juga merupakan kejadian baik alami maupun
buatan manusia yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa manusia, memburuknya layanan kesehatan (Roccaforte, 2014).
Bencana juga diartikan sebagai gangguan serius yang terjadi dan berdampak
tidak berfungsinya tatanan kehidupan di suatu komunitas atau masyarakat
(Heylin, 2015).
Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak
pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu Lempeng Benua Asia, Benua
Australia, L empeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana [BNPB], 2019). Serta Indonesia secara geologis
terletak pada rangkaian cincin api yang membentang sepanjang lempeng
pasifik yang merupakan lempeng tektonik paling aktif didunia. Deretan
gunung api di Indonesia ini merupakan bagian dari gunung api yang sering
disebut Ring Of Fire atau Deret Sirkum Pasifik (Rachmawati, 2013). Kondisi
tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung
berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor (BNPB, 2019).
Kejadian bencana mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun
2016 terdapat 1.986 kejadian bencana dan pada tahun 2020 terdapat 2.925
kejadian bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], 2020).
Menurut laporan EM-DAT (international disaster database) pada tahun 2018
di laporkan terjadi peristiwa bencana alam di seluruh dunia yang
mengakibatkan kematian sebanyak 11.804 orang, dan lebih dari 73 juta orang
terdampak bencana (WHO, 2019). Sedangkan menurut DIBI (Data Informasi
2

Bencana Indonesia) dalam kurun waktu Januari sampai Desember 2018,


melaporkan kejadian bencana di Indonesia telah mengakibatkan korban
meninggal dan hilang sebanyak 2.802 orang, korban luka-luka 3.006 orang
dan korban yang terpaksa harus mengungsi lebih dari 12.113.258 orang
(BNPB, 2019). Data tersebut merupakan data kejadian bencana di dunia
maupun di Indonesia.
Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi 5
provinsi tertinggi kejadian bencana Kondisi ini disebabkan karena geografis
Sumatera Barat yang berada pada jalur patahan sehingga beresiko terhadap
bencana, dan Kota Padang menjadi urutan pertama daerah yang paling
beresiko tinggi (BNPB, 2018). Patahan besar Sumatera (sumatera great fault)
yang masih aktif akan selalu mengancam kawasan itu apabila terjadi
pergeserasan di zona patahan tersebut.
Sumatera Barat pernah mengalami gempa bumi yang cukup kuat dan
banyak menimbulkan korban pada tahun 2009, gempa bumi terjadi dengan
kekuatan 7,6 SR di lepas pantai Sumatera Barat pada tanggal 30 September
2009. Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatera sekitar 50 km barat laut kota
Padang. Gempa menyebabkan kerusakan parah di beberapa wialyah di
Sumatera Barat seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten
Pasisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kabupaten Agam, Kota
Solok, Kabupaten Pasaman Barat dan Bukittinggi. Menurut data Satkorlak PB
pada tahun 2009, sebanyak 1.117 orang tewas akibat gempa ini, korban luka
berat mencapai 1.214 orang, korban luka ringan 1.688 orang, korban hilang 1
orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumah rusak sedang dan
78.604 rumah rusak ringan. Pada tahun 2019 di Sumatera Barat telah terjadi 2
kali gempa bumi yang mengakibatkan korban luka-luka sebanyak 8 orang.
Untuk bangunan terjadi kerusakan bangunan rusak berat 25 rumah, sedang 5
rumah dan ringan 82 rumah (BNPB, 2019).
Menurut penelitian ahli kegempaan Kerry Sieh dan Danny Hilman
tahun 2011, gempa berkekuatan 8.9 SR diprediksi akan memicu tsunami
3

dengan ketinggian sampai 10 m dari permukaan laut. Dari hal tersebut jika
tidak diimbangi dengan kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang maka akan
berdampak pada tingginya jumlah kerugian dari bencana ini baik dari materil
maupun jiwa sehingga perlunya kesiapsiagaan pada masyarakat.
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna. (UU Nomor 24 Tahun 2007). Kesiapsiagaan
bencana juga merupakan tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintah,
organisasi, masyarakat, komunitas dan individu untuk mampu menanggapi
suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna, termasuk menyusun rencana
penanggulangan bencana, pemeliharaan dan pelatihan personil (Mohd Robi
Amri et al., 2016).
Praktik keperawatan bencana merupakan adaptasi dari keterampilan
keperawatan professional dalam mengenali dan memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional keperawatan akibat suatu bencana. Tujuan keseluruhan dari
keperawatan bencana adalah untuk mencapai tingkat kesehatan terbaik bagi
orang-orang dan komunitas yang terlibat dalam bencana. Pelaksanaan praktek
profesi dilaksanakan melalui tahapan antara lain : observasi fisik lingkungan,
penyebaran kuesioner untuk memperolaeh data kejadian bencana pada
msyarakat, musyawarah masyarakat pertama untuk menindak lanjuti hasil
survei dan kuesioner (hasil angket), implementasi kegiatan sesuai dengan
rencana yang telah disepakati oleh masyarakat dan musyawarah masyarakat
kedua untuk menyampaikan hasil evaluasi kegiatan yang telah direcanakan
Praktik keperawatan bencana pada mahasiswa profesi Unand
dilakukan di RW.009 Kelurahan Pasie Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah
Kota Padang mulai tanggal 29 November 2021 sampai 1 Januari 2022.
Kecamatan Koto tangah berada pada 00o58 Lintang Selatan dan 99036’40”-
100021’11” Bujur Timur, dengan curah hujan 371 mm/Tahun dan terletak 0-
1.600 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah 232,25 km2.
Mayoritas masyarakat di Pasia Nan Tigo bekerja sebagai nelayan.
4

Berdasarkan data dari kementrian dalam negeri RI Direktorat Jendral


Bina Pemerintah Desa, Pada Kelurahan Pasie Nan Tigo ditemukan 2.000 Ha
desa/kelurahan dengan rawan banjir, dan 2.512.000 Ha desa/kelurahan
dengan rawan Tsunami, dan 2.512.000 Ha desa/kelurahan dengan rawan jalur
gempa. Pada saat survey yang dilakukan pada tanggal 3 November 2021 di
RW.009 Kelurahan Pasie Nan Tigo ditemukan, dan berdasarkan hasil
wawancara ke beberapa warga, warga mengatakan sering terjadi bencana
seperti gempa, banjir dan angin topan.
Partisipasi masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana dapat
diwujudkan dengan Pendidikan Kebencanaan. Melalui pendidikan
kebencanaan, mayarakat yang tinggal di daerah rawan ancaman bencana
mempunyai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan tentang kesiapsiagaan
bencana dan tanggap darurat bencana (Sunartoet.al., 2010).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari laporan ini
adalah “Bagaimana tingkat kesiapsiagaan bencana gempa bumi, tsunami,
dan banjir pada RW 009 Kelurahan Pasie Nan Tigo ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengatahui tingkat kesiapsiagaan bencana gempa bumi, tsunami,
dan banjir pada RW 09 Kelurahan Pasie Nan Tigo
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan informasi tentang data-data bencana yang
terdapat RW 09 Kelurahan Pasie Nan Tigo.
b. Menjelaskan bencana yang terdapat di RW 009 Kelurahan
Pasie Nan Tigo berdasarakan data-data yang sudah
dikumpulkan
5

D. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Diharapakan laporan hasil kegiatan ini dapat dijadikan pedoman
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan
kedepannya guna mengatasi masalah kesiapsiagaan bencana di RW
009 Kelurahan Pasie Nan Tigo.
2. Bagi Pihak Terkait (Lintas Program dan Sektoral)
Diharapakan laporan hasil kegiatan ini dapat dijadikan data maupun
bahan untuk menyusun program kerja dan kebijakan dalam bidang
kebencanaan di masa yang akan datang.
3. Bagi institusi pendidikan
Diharapakan laporan hasil kegiatan ini menjadi bahan perbandingan
untuk mahasiswa profesi yang akan menjalankan siklus keperawatan
bencana berikutnya dan menjadi bahan evaluasi terhadap program
atau kurikulim keperawatan bencana yang telah ditetapkan.
BAB II
PELAKSANAAN

A. TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP BENCANA
2.1.1 Defenisi Bencana
Bencana merupakan suatu peristiwa yang sangat ditakuti dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan
oleh faktor alamdan faktor non alam maupun faktor manusia yang mana
hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan, timbulnya
korban jiwa manusia, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Kesalahan dan kelalaian manusia dalam mengantisipasi alam juga
termasuk dalam faktor penyebab terjadinya bencana. (Soehatman,
2010:17).
Bencana yang terjadi dapat dibagi berdasarkan sifatnya sebagai
alamiah maupun buatan manusia dan mengakibatkan penderita dan
kesengsaraan sehingga korban bencana membutuhkan bantuan orang
lain untuk memenuhui kebutuhannya. Secara lebih sederhana
pengertian bencana adalah kejadian yang membutuhkan usaha ekstra
keras, lebih dari responterhadapsituasi kedaruratan biasa. (CMHN,
2011)
Bencana dapat juga didefenisikan sebagai kondisi yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Bencana ini bias mengubah pola kehidupan dari
kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
masyarakat, serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar (Bakornas,
2009).
Bencana menyebabkan gangguan kehidupan keseharian yang mana
berubahnya pola-pola kehidupan dari kondisi normal, hilangnya harta
benda dan jiwa manusia, merusak struktur social komunitas,
memunculkan lonjakan kebutuhan pribadi atau komunitas. Oleh karena

6
7

itu bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan akan
membuat komunitas semakin rentan. (Setyowati, 2010:10)

2.1.2 Penyebab Bencana


Bencana dapat terjadi secara alamiah maupun dibuat oleh
manusia. Berapa kejadian alamyang meneyebabkan bencana
antara laingunung meletus,gempa bumi, banjir bandang, angin
topan, tsunami, angin puting beliung, dan wabah. Sedangkan
kejadian buatan manusia yang menimbulkan bencana antara lain
terror bom, konflik pertikaian yang berkepanjangan.
Biasanya bencana alam disertai oleh adanya benda-benda
yang secara kimia, biologis atau fisik dapat mengancam
keselamatan, kesehatan, atau harta benda yang dimiliki manusia.
Lahar dan awan panas dari letusan gunung berapi, banjir, angin
yang menyertai topan, gas-gas berbahaya yang muncul dari
tanah akibat gempa, asap beracun akibat kebakaran dan lain-lain
adalah benda-benda yang sering menyertai bencana.

2.1.3 Proses Terjadinya Bencana


8

a. Non-Bencana
Telah diketahui bahwa daerah-daerah tertentu di Indonesia
cenderung mudah mengalami bencana gempa karena Indonesia
terletak pada jalur gempa. Kondisi non-bencana adalah kondisi
tidak ada bencana (stabil) pada lokasi rawan bencana seperti
daerah pantai atau pegunungan, daerah jalur gempa, daerah
pinggir sungai, lokasi pemukiman padat, gedung-gedung tinggi
dan lain-lain.
b. Bencana
Tahap ini meliputi 2 kondisi yaitu pra bencana (saat
diprediksi akan terjadinya bencana tetapi belum benar-benar
terjadi) dan bencana (24 jam pertama setelah terjadinya bencana).
Karakteristik fase bencana ini adalah ada tanda-tanda awal
terjadinya bencana (seperti air yang meninggi, uap panas dan
butiran batu dari kawah gunung berapi), hingga 24 jam setelah
bencana.
Untuk itu yang dilakukan adalah mengingatkan masyarakat
(peringatan, siaga I-III), mobilisasi, dan evakuasi jika perlu.
Setelah terjadinya bencana individu atau masyarakat pada area
yang terkena akan mengalami trauma dan berada pada situasi
krisis akibat perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dalam
kehidupannya. Perubahan ini dapat menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan bagi individu mau pun masyarakat yang terkena.
Beberapa kondisi yang biasanya menyertai bencana antara lain
adalah kematian, kerusakan dan kehilangan harta benda, serta
perpisahan dengan orang yang dicintai.
c. Pasca bencana
Individu yang mengalami bencana dapat dipastikan akan
mengalami truma. Trauma adalah cedera fisik yang disebabkan
oleh tindakan kekerasan, kerusakan atau masuknya zat beracun ke
dalam tubuh, atau cedera psikologi akibat syok emosional yang
9

berat. Trauma psikologis sama pentingnya dengan trauma fisik,


bahkan dapat meninggalkan luka hati yang tak kunjung sembuh.
Kondisi trauma yang dialami korban bencana menyebabkan
kondisi krisis. Krisis adalah reaksi terhadap kejadian, masalah
atau pun trauma yang sangat dari individu akibat
ketidakmampuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan
yang dialami. Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba akibat
sesuatu kejadian sehingga menimbulkan kegoncangan
(ketidakseimbangan) emosional merupakan kondisi yang
menandakan terjadinya krisis.
Bencana meninggalkan dampak psikologis yang bervariasi
pada individu yang terkena. Dukungan emosional sangat penting
untuk membantu individu memulai proses penyembuhannya dan
membantu mereka mengatasi penderita yang dialami akibat
bencana.
Untuk mengatasi respons krisis pasca trauma, tindakan yang akan
dilakukan yang ditunjukan pada kondisi pasca bencana meliputi
fase emergensi (segera setelah bencana) dan fase rekonstruksi
(mulai diberikan bantuan yang terkonsentrasi pada perbaikan
aspek-aspek kehidupan yaitu kebutuhan dasar manusia).

2.1.4 Respon Individu Terhadap Bencana


Dampak psikologis yang diakibatan bencana sangat bervariasi.
Faktor keseimbangan yang mempengaruhi respons individu terhadap
krisis adalah persepsi terhadap kejadian, system pendukung yang
memiliki dan mekanisme koping yang digunukan. Reaksi emosi dapat
diobsevasi dari individu yang menjadi korban. Ada 3 tahapan reaksi
emosi yang dapat terjadi setelah bencana:
1. Reaksi individu segera (24 jam) setelah bencana adalah:
a. Tegang, cemas, panic,
b. Terpaku, syok, tidak percaya
10

c. Gembira atau euphoria, tidak terlalu merasa menderita


d. Lelah, bingung
e. Gelisah, menangis, menarik diri
f. Merasa bersalah.
Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang
abnormal dan memerlukan upaya pencegahan primer.
2. Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana
a. Ketakutan, waspada, sensitive, mudah marah, kesulitan tidur
b. Khawatir, sangat sedih
c. Mengulang-ulang kembali (fleshback) kejadian
d. Bersedih
e. Reaksi positif yang masih dimiliki: berharap atau berfikir
tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan
menyelamatkan
f. Menerima bencana sebagai takdir
Kondisi ini masih termasuk respon yang membutuhkan tindakan
psikososial minimal.
3. Lebih dari minggu ketiga setelah bencana.
Reaksi yang diperlihatkan dapat menerapakan dan
dimanifestasikan dengan:
a. Kelelahan
b. Merasa panik
c. Kesedihan terus berlanjut, pesimis dan berfikir tidak realistis
d. Tidak beraktivitas isolasi dan menarik diri
e. Kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusin g,
letih, mual, sakit kepala, dll.
Pada sebagian korban bencana yang selamat dapat mengalami
gangguan mental akut yang timbul dari beberapa minggu hingga
berbulan-bulan sesudah bencana. Beberapa bentuk gangguan
tersebut antara lain reaksi akut terhadap stress, berduka dan
berkabung,
11

Gangguan mental yang terdiagnosis, gangguan penyesuaian.


Kondisi ini membutuhkan bantuan psikososial dari tenaga
kesehatan professional.

2.1.5 Kebijakan Dan Penanganan Bencana


Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 24 tahun
2007 tentang penanggulangan bencana yang didalamnya memuat
ketentuan umum : landasan, asas, dan tujuan: tanggung jawab dan
wewenang (pemerintah dan pemerintah daerah): kelembagaan (pusat
dan daerah), hak dan kewajiban masyarakat, peran lembaga usaha dan
lembaga internasional, penyelenggaraan penanggulangan bencana,
pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana, pengawasan,
penyelesaian sengketa dan ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan
penutup.
Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 ini sesungguhnya
merupakan kebijakan pemerintah RI yang mengikat bagi pemerintah
itu sendiri maupun seluruh masyarakat Indonesia serta lembaga donor
(asing maupun domestik) dalam hal penanggulangan bencana
Indonesia. Undang-Undang ini masih mensyaratkan beberapa
peraturan pemerintah dan peraturan lain di bawahnya namun secara
filosofis sudah memuat ketentuan pokok penanggulangan bencana
seperti berikut ini:
a. Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang harus
dilaksanakan secara menyeluruh, terkoordinasi dan terencana
b. Badan penanggulangan bencana pusat atau daerah memiliki
tanggung jawab dalam penaggulangan bencana pada masa tanggap
darurat yang mana berperan dalam tim pelaksana ataupun pengarah
c. Hak-hak masyarakat harus diperhatikan dalam proses
penyelenggaraan penanggulangan bencana seperti pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan sosial, pendidikan dan
12

keterampilan, serta partisipasi dalam pengambilan keputusan dalam


hal penanggulangan bencana.
d. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan pada tahap
prabencana, saat tahap tanggap darurat, dan pasca bencana yang
masing-masing mempunyai karakteristik penanganan yang
berbeda.
e. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap tanggap
darurat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara dan
daerah (APBN/APBD) juga didukung dengan dan siap pakai yang
pertanggung jawabannya dilakukan melalui mekanisme khusus.
f. Penyelenggaraan penanggulangan bencana diawasi oleh
pemerintah dan masyarakatagar tidak terjadi penyimpangan.
g. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam konteks undang-
undang ini memuat sanksi pidana dan perdata agar ditaati dan
menimbulkan efek jera bagi para pihak yang berbuat lalai atau
sengaja yang karena perbuatannya menimbulkan bencana
(Efendi,2009).

2.1.6 Kelompok Rentan Bencana


Memahami secara utuh batasan tentang bencana dan fokus
konseptual penanggulangan bencana adalah manusia yang potensial
sebagai korban, maka dua hal mendasar yang perlu menjadi fokus
utama adalah mengenali kelompok rentan (vulnerable group) dan
meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai subjek penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
Kerentanan adalah suatu perilaku atau keadaan manusia yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman
dari potensi bencana untuk mencegah, menjinakkan, mencapai
kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan ini
bias ditimbulkan oleh berbagai macam penyebab yang mana
mencakup kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan perilaku.
13

Dalam undang-undang penanggulangan bencana pasal 55 dan


penjelasan pasal 26 ayat 1, disebutkan bahwa masyarakat rentan
bencana adalah masyarakat yang memerlukan bantuan karena keadaan
yang dihadapi seperti bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui,
penyandang cacat, dan lanjut usia.Secara umum, kerentanan
masyarakat dalam menghadapi bencana dapat dikelompokkan menjadi
berikut:
a. Kerentanan Fisik
Kerentanan masyarakat dalam menghadapi ancaman dalam bahaya
tertentu, seperti kekuatan bangunan rumah untuk masyarakat yang
tinggal di daerah yang rawan bencana.
b. Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi masyarakat dalam pengalokasian sumber
daya untuk pencegahan atau mitigasi dalam penanggulangan
bencana. Pada umumnya, masyarakat yang kurang mampu lebih
beresiko terhadap bahaya karena tidak punya kemampuan finansial
yang memadai dalam melakukan upaya pencegahan atau mitigasi
bencana.
c. Kerentanan Sosial
Suatu kondisi sosial dimana ancaman dan resiko bencana pada
masyarakat dilihat dari aspek pendidikan dan pengetahuan.
d. Kerentanan Lingkungan
Suatu keadaan dimana ancaman dan resiko bencana dilihat dari
lingkungan disekitar tempat tinggal masyarakat. Misalnya
masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan atau lereng bukit
lebih rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor, sedangkan
masyarakat yang berada di daerah yang sulit mendapatkan air akan
rentan terhadap bencana kekeringan (Efendi, 2009).
14

2.1.7 Penanggulangan Bencana


Dalam Bidang Kesehatan Dilihat dari faktor resiko yang terjadi,
maka penanggulangan bencana dari bidang kesehatan bisa dibagi
menjadi 2 aspek yaitu aspek medis dan aspek kesehatan masyarakat.
Pengendalian penyakit dan menciptakan kesehatan lingkungan adalah
salah satu bagian dari aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaannya
tentu harus melakukan kerjasama dengan sektor dan program terkait.
Berikut ini beberapa ruang lingkup dalam pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan pada fase bencana dan pasca bencana:
a. Sanitasi Darurat
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam sanitasi darurat yaitu dengan
penyediaan dan pengawasan air bersih, kualitas tempat
pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standar. Peningkatan
resiko penularan penyakit dipengaruhi juga oleh kekurangan
kualitas atau pun kuantitas.
b. Pengendalian Vektor
Keberadaan vector bisa diakibatkan karena tempat pengungsian
berada pada kategori tidak ramah. Timbunan sampah dan
genangan air yang merupakan hal yang utama dalam peningkatan
perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector yang dapat
dilakukan dalam hal tersebut adalah fogging, larva siding, dan
manipulasi lingkungan.
c. Pengendalian Penyakit
Bila terdapat peningkatan kasus penyakit, terutama yang
berpotensi KLB, maka hal yang harus dilakukan adalah
pengendalian melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta
penanggulangan faktor resikonya. Penyakit ISPA dan Diare
merupakan penyakit yang memerlukan perhatian khusus.
d. Imunisasi Terbatas
Yang rentan terkena penyakit pada umumnya adalah pengungsi,
terutama orang tua, ibu hamil, bayi dan balita. Imunisasi campak
15

perlu diberikan pada bayi dan balita bila dalam catatan program
daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak.
e. Surveilans Epidemiologi
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemiologi
penyakit potensi KLB dan faktor risiko. Penentuan pengendalian
penyakit diperoleh dari informasi epidemiologi. Informasi
epidemiologi yang harus diperoleh melalui kegiatan surveilans
epidemiologi adalah: penyakit menular, reaksi sosial, pengaruh
cuaca, perpindahan penduduk, makanan dan gizi, kesehatan jiwa,
persediaan air dan sanitasi, kerusakan infrastruktur kesehatan
(Efendi, 2009).

2.1.8 Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana


Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana (UU No. 24 tahun 2007):
a. Cepat dan tepat
Prinsip cepat dan tepat merupakan hal yang harus dilaksanakan
dalam melakukan penanggulangan bencana
b. Prioritas
Yang harus dilakukan dalam melakukan penanggulangan bencana
adalah menyelamatkan jiwa manusia dan penolongan harus bersifat
prioritas.
c. Koordinasi dan Keterpaduan
Penanggulangan bencana harus dilakukan dengan kerjasama dan
koordinasi yang baik dan saling mendukung antar pihak yang ikut
terlibat.
d. Berdayaguna dan berhasilguna
Kegiatan penanggulangan bencana harus mempunyai tujuan
mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang tenaga,
biaya dan waktu yang berlebihan, dari itu barulah kegiatan bisa
dikatakan berhasil dan berdaya guna.
e. Transparansi dan akuntabilitas
16

Penanggulangan bencana pada dasarnya membutuhkan biaya yang


cukup besar maka dari itu harus dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dana yang digunakan harus dapat
dipertanggungjawabkan karena mengingat sumber dana berasal
dari berbagai pihak termasuk pemerintah maupun swasta. Dan
harus meyakinkan semua elemen masyarakat bahwa kegiatan
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan bisa
dipertanggungjawabkan.
f. Kemitraan
Dalam kegiatan penanggulangan bencana kemitraan dan kerjasama
harusdibentuk terutama kepada masyarakat dan pemerintahan.
Kemitraan dan kerjasama ini harus konsisten dan memiliki sifat
berkesinambungan, karena jika ada pihak yang tidak mendukung
kegiatan maka akan menimbulkan akibat yang mungkin tidak
menguntungkan dalam penanganan bencana.
g. Pemberdayaan
Yang terpenting dalam penanganan bencana adalah pemberdayaan
masyarakat karena dapat mendukung dan meminimalisir
kemungkinan yang akan menimbulkan kerugian dalam pelaksanaan
kegiatan.
h. Non diskriminatif
Sudah sewajarnya jangan melakukan atau memberikan perlakuan
yang berbeda dalam kegiatan penanganan bencana karena akan
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
i. Non proletisi
Ada beberapa hal yang sering dilanggar oleh suatu lembaga dalam
memberikan bantuan kepada korban bencana yaitunya
menyebarkan keyakinan atau agama yang mereka anut.
17

2.1.9 Jenis Kegiatan Siaga Bencana


Ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh perawat dalam
situasi tanggap bencana:
a. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik
Adanya korban ketika terjadinya bencana merupakan hal yang
sangat mungkin kita jumpai baik kerusakan tempat tinggal, korban
meninggal dunia, korban luka-luka. Pengobatan dari tim kesehatan
merupakan halyang paling dibutuhkan oleh korban bencana.
Pengobatan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik,
Pemberian obat, perawatan luka, dan pengobatan lainnya sesuai
dengan kompetensi keperawatan.
b. Pemberian Bantuan
Selain memberikan pengobatan perawat juga dapat membantu
dalam melakukan aksi penggalangan dana untuk korban bencana.
Bisa dilakukan dengan menghimpun dana yang didapat dari
berbagai kalangan dalam bentuk makanan, Uang, obat-obatan,
keperluan sandang dan lain sebagainya. Perawat bisa langsung
memberikan bantuan dilokasi bencana dengan cara mendirikan
posko khusus perawat. Dalam kegiatan ini ada hal yang harus
difokuskan yaitu pemerataan bantuan di tempat bencana sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh korban bencana, sehingga tidak ada
lagi korban yang tidak mendapatkan bantuan dikarenakan bantuan
yang menumpuk atau pun tidak tepat sasaran.
c. Pemulihan Kesehatan Mental
Korban akibat bencana pasti akan mengalami trauma psikologis
yang diakibatkan atas kejadian yang menimpanya. Trauma yang
muncul dapat berupa kesedihan, ketakutan dan kehilangan. Trauma
ini banyak menimpa Ibu-ibu dan anak-anak yang sedang dalam
masa pertumbuhan. Jika hal tersebut berkelanjutan maka akan
mengakibatkan stres lebih berat dan juga dapat menimbulkan
gangguan mental. Pemulihan mental merupkan hal yang
18

dibutuhkan oleh korbandan pemulihannya dapat dilakukan oleh


perawat. Pada orang dewasa pemulihan dapat dilakukan dengan
kegiatan sharing atau mendengarkan semua keluhan yang dihadapi
korban. Kemudian perawat memberikan sebuah solusi dan
memberikan semangat agar korban dapat bangkit. Sedangkan pada
anak-anak mengingat sifat lahiriyah mereka adalah bermain maka
bisa dengan mengajaknya bermain dan mengembalikan
keceriaannya.
d. Pemberdayaan Masyarakat
Memburuknya kondisi daerah akibat bencana menimbulkan sifat
patah arah dalam menentukan kelanjutan hidup pada korban
bencana. Yang mana mereka kehilangan harta benda akibat
bencana tersebut. Untuk mewujudkan tindakan diatas perlu adanya
beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang perawat,
diantaranya:
- Perawat Harus Memiliki Skill Keperawatan Yang Baik Dalam
melakukan penanganan bencana perawat harus mempunyai skill
keperawatan yang baik karena dengan skill itulah akan mampu
memberikan pertolongan yang optimal.
- Perawat Harus Memiliki Jiwa Kepedulian Yang Tinggi
Pemulihan daerah atau lingkungan akibat bencana
membutuhkan sikap peduli dari setiap elemen masyarakat
terutama pemerintah setempat dan juga termasuk perawat.
kepedulian seorang perawat bisadalam bentuk sikap empati dan
mau berkontribusi secara maksimal dalam segala situasi
bencana.
- Perawat Harus Memahami Manajemen Siaga Bencana Dalam
keadaan bencana membutuhkan penanganan yang berbeda,
Manajemen yang baik adalah hal yang paling utama yang perlu
dibentuk agar segala tindakan yang dilakukan dapat efektif dan
tidak sia-sia.
19

2.1.10 Mekanisme Penanggulangan Bencana


Mekanisme penanggulangan bencana mengacu pada UU No 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan
Pemerintah No.21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana. Dari peraturan perundang-undangan
tersebut, dinyatakan bahwa mekanisme penanggulangan bencana
dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu :
1. Fungsi BPBD Pada pra bencana bersifat koordinasi dan
pelaksana
2. Pada saat darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana
3. Pada pasca bencana bersifat koordinasi dan pelaksana

A. Pra Bencana
Pada fase pra bencana setiap lembaga atau jajaran pers dapat
memainkan perannya sebagai pendidik publik melalui penyuluhan
yang disajikan secara terencana, priodik, populer, digemari dan
mencerahkan serta memperkaya khazanah alam pikiran publik
dengan target antara lain :
1. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
bencana, mekanisme penanggulangan bencana, langkah-
20

langkah penanganan yang perlu dengan cepat dan tepat untuk


meminimalisasi korban serta kerusakan lingkungan ataupun
kehilangan harta benda.
2. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui
pembinaan yang dapat dilakukan oleh lembaga swasta atau
pemerintah yang bersifat penumbuhan kesadaran masyarakat
terhadap potensi, jenis dan sifat bencana.
3. Rencana pengembangan wilayah dan pertumbuhan tata-ruang.
4. Pelestarian lingkungan.
a. Kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan pada fase pra
bencana dapat berupa:
Pendidikan dengan tujuan peningkatan kesadaran bencana
- Persiapan teknologi tahan bencana
- Latihan penanggulangan bencana
- Membangun sistem sosial yang tanggap bencana
- Merumuskan kebijakan-kebijakan penanggulangan
bencana.
b. Prosedur dan Tahapan Penanggulangan
Pada Fase Pra Bencana:
- Merencanakan dan melakukan kegiatan Ronda
(pemantauan, melalui informasi dan dengan
komunikasi).
- Mengamati perkembangan bencana dengan saling
memberikan informasi dan komunikasi.
- Merencanakan dan mensosialisasikan kesepakatan tanda
bahaya: Kentongan, sirine, peluit atau apa yang
disepakati.
- Merencanakan dan mensosialisasikan kesepakatan jalur
dan tempat pengungsian evakuasi: Disepakati jalur dan
tempat yang akan digunakan untuk penyelamatan.
Mensosialisasikan tentang kesiapan masing-masing
21

keluarga: Yang perlu diselamatkan adalah surat-surat


berharga, ternak, pakaian secukupnya.
c. Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat/Komunitas yang
Ada Pada Fase Pra Bencana:
- Perangkat Komunikasi & Informasi
a.) Peralatan komunikasi (HT, Telpon Dll)
b.) Denah jalur pengungsian yang bisa dipahami dan
dimengerti oleh masyarakat.
c.) Alat pemberitahuan adanya bahaya yang disepakati
(kentongan atau sirene)
d.) Tempat pengungsian yang telah disepakati
e.) Sosialisasi bencana melalui selebaran, penyuluhan,
pelatihan sederhana.
f.) Menginformasikan bahaya merapi.
- Membantu Pengorganisasian Masyarakat
a) Siskamling dan pengamatan bencana
b) Kerjasama dengan perangkat desa setempat seperti
PEMDA, LSM
c) Mempersiapkan/membuat alat penyampai tanda
bahaya yang disepakati
d) Mempersiapkan alat bantu transportasi
e) Mempersiapkan/membuat alat bantu penerangan
(obor, senter, dll).
- Pada tahap pra bencana ini meliputi 2 keadaan yaitu:
a) Dalam situasi tidak terjadi bencana
b) Dalam situasi terhadap potensi bencana
1) Situasi Tidak Terjadi Bencana
 Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang
berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu
tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi:
22

Perencanaan penanggulangan bencana Dalam perencanaan siaga


bencana ada lima komponen kesiapsiagaan penanggulangan bencana
yang harus dibangun kemampuannya, agar pelayanan jasa
penanggulangan bencana dapat di lakukan denganbaik. Komponen-
komponen tersebut antara lain: a. Organisasi, merupakan struktur
organisasi penanggulangan bencana, meliputi aspek pengarahan unsur,
koordinasi, komando, dan pengendalian, kewenangan, lingkup
penugasan dan tanggungjawab penanggulangan bencana. b.
Komunikasi, sebagai sarana untuk melakukan fungsi deteksi adanya
bencana, fungsi komando, pengendalian operasi dan koordinasi selama
operasi penaggulangan bencana. c. Fasilitas adalah suatu komponen
unsur, peralatan atau perlengkapan serta fasilitas pendukung lainnya
yang dapat digunakan dalam kegiatan penanggulangan bencana. d.
Pertolongan darurat adalah kegiatan yang dilakukan dengan cepat dan
tepat pada saat kejadian bencana untuk mencegah dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, memberikan perlindungan, pemenuhan kebutuhan
dasar, pengurusan pengungsi, penyelamatan, pemberian pengobatan
serta pemenuhan sarana dan prasarana. e. Dokumentasi berupa
pendataan laporan, analisa, serta data kemampuan operasi
penanggulangan bencana guna kepentingan misi penanggulangan
bencana yang akan datang.
 Pengurangan resiko bencana Penanggulangan resiko bencana adalah
salah satu sistem pendekatan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan
mengurangi resiko yang diakibatkan oleh bencana. Tujuan utamanya
adalah untuk mengurangi resiko fatal di bidang sosial, ekonomi, juga
lingkungan alam serta penyebab pemicu bencana: PRB sangat
dipengaruhi oleh penelitian massal pada hal-hal yang mematikandan
telah di cetak dan dipublikasikan pada pertengahan tahun 1970.
Kegiatan ini seharusnya dilakukan secara berkesinambungan agar
kesiapan dalam menangani bencana dapat efektif. PRB memiliki
23

jangkauan sangat jelas dan memiliki cakupan yang luas dan dalam.
Dibandingkan dengan managemen penanggulangan bencana darurat
biasa, PRB dapat melakukan inisiatif kegiatan dalam segala bidang
pembangunan dan kemanusiaan.
 Pencegahan adalah bagaimana cara mencegah atau menghindar dari
bencana, kita tahu bahwa ada beberapa bencana tidak dapat dicegah,
khususnya bencana alam. Namun resiko kehilangan nyawa atau cedera
dapat dikurangi dengan rencana evakuasi yang baik, perencanaan
lingkungan yang baik dan sebagainya. Upaya pencegahan bencana ini
merupakan satu hal yang sangat penting, harus dilakukan terus menerus
dan berkelanjutan oleh kita semua.
 Situasi, terdapat Potensi Bencana Situasi ini perlu adanya
kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana dalam
penanggulangan bencana. Kegiatan – kegiatan pra bencana ini
dilakukan secara lintas sektor dan multitake holder, oleh karena itu
fungsi BNPB / BPBD adalah fungsi koordinasi.

B. Saat Bencana (Tanggap Darurat)


Tanggap darurat merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan cepat dan tepat pada saat terjadinya bencana yang bertujuan
untuk mencegah dan menangani dampak buruk yang mungkin
ditimbulkan. Tahap ini meliputi kegiatan: Penyelamatan dan
evakuasi korban maupun harta benda Pemenuhan kebutuhan dasar
Perlindungan Pengurusan pengungsi Penyelamatan dan pemberian
pengobatan.

C. Pasca Bencana (Recovery).


Kondisi pasca bencana adalah keadaan suatu wilayah berada proses
pemulihan setelah terjadinya bencana. Pada kondisi ini dapat
dilihat langkah apa yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait
dalam hal upaya untuk mengembalikan atau merekonstruksi
24

tatanan masyarakat/lingkungan sepertisemula sebelum terjadinya


bencana. Beberapa hal yang dapat dipelajari dalam kondisi pasca
bencanaini adalah kecepatan dan ketepatan terutama dalam hal:
1. Penanganan korban (pengungsi)
2. Lively hoodrecovery
3. Pembangunan infrastruktur
4. Konseling trauma
5. Tindakan-tindakan preventif ke depan
6. Organisasi kelembagaan
7. Stake holders yang terlibat.
Penanggulangan pasca bencana meliputi dua tindakan utama yaitu
rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi adalah suatu perbaikan
atau pemulihan semua aspek masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah setelah terjadinya bencana dengan tujuan
utama untuk normalisasi semua aspek pemerintah dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana. Rekonstruksi adalah
pembangunan kembali semua pra sarana dan sarana wilayah
setelah terjadinya bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat. Hal ini memiliki tujuan utamayaitu agar pertumbuhan
dan perkembangan kegiatan ekonomi, sosialdan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat
dalam kegiatan sehari-hari.

2.2 Manajemen Penanggulangan


Bencana Manajemen bencana adalah proses yang sistematis dimana di
dalamnyatermasuk berbagai macam kegiatan yang memanfaatkan
kemampuan dari kebijakan pemerintah, juga kemampuan komunitas dan
individu untuk menyesuaikan diri dalam rangka meminimalisir kerugian.
Tindakan-tindakan tersebut pada umumnya adalah kegiatan-kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian, pemantauan, pengarahan,
evaluasi dan pengendalian yang dapat dilakukan dalam bentuk sekumpulan
25

keputusan dan kebijakan alternatif maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat


operasional.
Ada tiga aspek dasar dalam manajemen bencana, yaitu:
2. Respon terhadap bencana
3. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
4. Mitigasi efek bencana
Tujuan Manajemen bencana:
1) Meminimalisir kerugian pada individu, masyarakat, ataupun Negara
dengan tindakan dini
2) Mengurangi kerugian pada individu, kelompok masyarakat ataupun
Negara yang berupa kerugian baik berkaitan dengan orang, fisik,
maupun ekonomi dan lingkungan bila bencana tersebut terjadi, dan
lebih efektif ketika bencana telah terjadi.
3) Mengurangi penderitaan yang terjadi pada individu dan kelompok
masyarakat yang terkena bencana. Memberikan bantuan kepada
individu dan masyarakat yang terkena bencana agar dapat bertahan
hidup dan dapat menjalani hidup baik dengan cara menghilangkan
penderitaan yang sedang dialami.
4) Memberikan informasi kepada masyarakat dan pihak berwenang
tentang resiko yang ada
5) Memperbaiki kondisi lingkungan agar individu dan masyarakat
dapat mengatasi sebuah permasalahan yang terjadi akibat bencana.
Manajemen siaga bencana membutuhkan kajian yang matang dalam
setiap tindakan yang akan dilakukan sebelum dan setelah
kelapangan. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan landasan, yaitu:
a. Mempersiapkan suatu kegiatan yang akan dilakukan
Setelah mengetahui bahwa terjadinya sebuah bencana alam
beserta situasi ditempat kejadian, hal yang dapat dilakukan
terlebih dahulu adalah memilih dan mempersiapkan bentuk
kegiatan yang akan dilakukan, seperti memberikan pertolongan
medis, memberikan bantuan kebutuhan korban, atau menjadi
26

tenaga relawan. Setelah kegiatan ditentukan, kemudian dilakukan


persiapan mengenai tenaga, alat-alat, dan juga keperluan yang
akan dibawa dan digunakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat serta jalur yang akan ditempuh.
b. Melakukan tindakan yang telah dilakukan sebelumnya
Semua hal yang telah dipersiapkan sebelumnya harus dilakukan
padatahapan ini karena merupakan hal yang pokok dalam
kegiatan siaga bencana dengan jangka waktu yang telah
disepakati
c. Evaluasi kegiatan
d. Setelah selesai melakukan kegiatan perlu dilakukannya evaluasi
terhadap kegiatan yang telah dilakukan, evaluasi dapat dijadikan
sebagai acuan, masukan,introspeksi, dan pedoman melakukan
kegiatan selanjutnya agar kegiatan yang dilakukan selanjutnya
dapat berjalan lebih baik dari kegiatan sebelumnya.

2.3 Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana


1. Peran Perawat Dalam Fase Pra Bencana
a. Mengenali adanya ancaman bahaya
b. Perawat mengikuti pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
kesiapsiagaan terhadap penanggulangan ancaman bencana
c. Melatih penanganan pertama korban bencana
d. Perawat ikut terlibat dalam lintas sektor termasuk dinas pemerintahan,
palang merah nasional, organisasi lingkungan, maupun lembaga-
lembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi bencana
e. Perawat terlibat dalam program pendidikan kesehatan untuk
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana
Pendidikan kesehatan diarahkan kepada:
1) Usaha pertolongan diri sendiri terhadap korban bencana
2) Pelatihan pemberian pertolongan pertama dalam keluarga seperti
27

menolong anggota keluarga dengan kecurigaan patah tulang,


perdarahan dan pertolongan pertama pada korban luka bakar
3) Memberikan beberapa alamat dan nomor telpon darurat seperti
pemadam kebakaran, Rumah Sakit dan Ambulance
4) Memberikan informasi tentang perlengkapan bisa dibawa dan
digunakan ketika dalam keadaan darurat
5) Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan
dan pengungsan ataupun posko-posko bencana.
2. Peran perawat dalam Fase Terjadinya Bencana
a. Bertindak segera, cepat dan tepat
b. Perawat seharusnya tidak menjanjikan memberikan apapun kepada
korban bencana dengan maksud memberikan harapan
c. Berkonsentrasi penuh terhadap apa yang dilakukan
d. Koordinasi dan menciptakan kepemimpinan
e. Untuk jangka panjang. Bersama-sama pihak yang terkait dapat
mendiskusikan dan merencanakan master plan of revitalizing,
biasanya untuk jangka waktu 30 bulan pertama.
3. Peran Perawat Dalam Fase Pasca Bencana
a. Bencana pasti memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik dan
psikologi korban
b. Stress psikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi
post traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom
dengan 3 kriteria utama: Gejala trauma yang pastidapat dikenali
Individu tersebut mengalami gejala ulang terutama melalui ingatan,
mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang menyerupai Individu akan
menunjukan adanya gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD
dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan
gangguan memori.
c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerjasama dengan lintas sektor menangani masalah kesehatan
masyarakat paska bencana serta mengoptimalkan dalam mempercepat
28

fase pemulihan (recovery) menuju keadaan seperti sebelum bencana


yang sehat dan aman

b.2 KONSEP GEMPA BUMI, BANJIR, DAN TSUNAMI


A. Gempa Bumi
1. Pengertian Gempa Bumi
Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan energi
dari dalam perut bumi secara tiba-tiba,sehingga menciptakan
gelombang seismik, yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada
kerak bumi (Anies, 2018).
2. Sifat Gempa Bumi
Adapun sifat dari gempa bumi menurut Anies (2018), sebagai berikut:
a. Secara geografis, distribusinya terstruktur terdapat daerah gempa
bumi atau dengan gempa bumi yang besar
b. Melepaskan energi yang sangat besar. Pelepasan energi bisa terjadi
di benua (daratan) maupun dilautan, pelepasan energi dilautan
menyebabkan tsunami.
c. Datang secara berkelompok baik terhadap waktu maupun ruang
d. Kedalam fokus (titik api) gempa bervariasi sampai 700 km
e. Distribusi frekuensi gempa merupakan fungsi dari ke dalam fokus
namun tidak seragam terhadap kedalam maupun geologis
3. Penyebab Gempa Bumi
a. Aktivitas gunung berapi yang meningkat
b. Pelepasan energi karena konsentrasi tegangan tinggi pada kerak
bumi.
c. Pergerakan terus menerus dari magma dan cairan yang bersifat
hidrotermal (peka terhadap panas) di bawah gunung berapi.
d. Aktivitas magma pada gunung berapi dapat menimbulkan gempa.
e. Pergeseran lempeng tektonik, sehingga biasa disebut gempa
tektonik.
29

4. Dampak Gempa Bumi


Bencana Gempa bumi dapat mengakibatkan trauma psikis atau mental.
Ternyata bencana gempa bumi tidak hanya mengakibatkan kerusakan
fisik atau bangunan, harta benda, dan jiwa manusia, tetapi juga kondisi
kejiwaan bagi para korban. Akibat bencana tersebut,sebagian besar
korban dapat mengalami penderitaan gangguan psikologis berupa
trauma(Anies, 2018)
5. Akibat Gempa Bumi
Menurut Anies (2018) dan Kusumasari (2014), beberapa akibat dari
gempa bumi adalah sebagai berikut :
a. Goncangan dan retakan tanah: hal ini dapat mengakibatkan
kerusakan pada bangunan, jembatan, dan infrastruktur lainnya.
b. Longsor: dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan dan
infrastruktur lainnya, serta dapat menyebabkan sungai tersumbat.
c. Tsunami: menimbulkan gelombang tinggi di pantai.
d. Banjir: dapat disebabkan karena sungai tersumbat longsoran atau
jebolnya dam, tanggul atau waduk.
e. Kebakaran: guncangan gempa dapat menyebabkan kerusakan listrik
dan/atau kebocoran gas dan tumpahan kompor minyak.
f. Gunung meletus: gempa di atas 9 SR dapat memicu gunung meletus,
terutama bila pusat gempa terjadi dekat suatu gunung berapi.
6. Kebijakan Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana
Kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana sendiri
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24/2007 Tentang
Penanggulangan Bencana. Penanggulangan bencana yang diamanatkan
dalam undang-undang tersebut yaitu pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, tanggap darurat, rehabilitasi, dan
rekonstruksi. Semua aktivitas tersebut dilaksanakan dalam rangkaian
kerja holistik dengan kerangka menyukseskan pembangunan.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
30

kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Namun


pada prinsipnya upaya penanggulangan mengacu pada siklus
manejemen bencana yang memuat upaya mitigasi, emergensi,
rehabilitasi, dan rekonstruksi. Dalam UU No. 24 Tahun 2007, tujuan
yang dirumuskan adalah:
a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman
bencana;
b. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;
c. Menjamin terselenggaranya penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan
menyeluruh;
d. Menghargai budaya lokal;
e. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;
f. Mendorong semangat rasa gotong royong dan kesetia kawanan
g. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Sebelum ditetapkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2007
Tentang Penaggulangan Bencana, pemerintah melalui Bappenas telah
menyusun dokumen Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengurangan
Risiko Becana. Tujuan penyusunan rencana aksi ini adalah untuk
mendukung perumusan kebijakan dan pengawasan dalam pelaksanaan
kegiatan pengurangan risiko bencana, sehingga sasaran dokumen ini
lebih pada pengendalian kegiatan yang berkelanjutan, terarah dan
terpadu. Pelaksanaan RAN tentang pengurangan resiko bencana telah
menetapkan lima kegiatan prioritas (Disaster Preparedness Centre Asia,
2008 dalam Kusumasari,2014) sebagai berikut :
a. Memasukan pengurangan resiko bencana ke dalam kebijakan
prioritas nasional dan daerah dengan dasar kelembagaan yang kuat
untuk pelaksanaannya
b. Mengeidentifikasi, menilai, serta memantau resiko bencana dan
meningkatkan sistem peringatan dini
31

c. Melalui pengetahuan, inovasi dan pendidikan, membangun budaya


keselamatan dan ketahanan di semua tingkat pemerintahan dan
masyarakat
d. Mengurangi faktor–faktor resiko
e. Memperkuat kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif di
semua tingkatan.
7. Peran Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Lembaga Usaha
dalam Penanggulangan Bencana (Pujiono, 2007). Ada tiga pilar pelaku
Penanggulangan Bencana, yaitu pemerintahdan pemerintah daerah,
masyarakat, dan lembaga usaha. Peran ketigapelaku itu diatur dalam
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Peran
pemerintah dan pemerintah daerah diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan
Pasal 7; peran masyarakat diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27; dan
peran lembaga usaha di atur dalam Pasal 28 dan Pasal 29.
a. Pemerintah dan pemerintah daerah
Secara khusus tanggung jawab itu dilaksanakan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) ditingkat pemerintah pusat dan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat
pemerintah daerah. Tugas BNPB antara lain (1) Memberikan
pedoman dan pengarahan terhadap PB, (2) Menetapkan standarisasi
dan kebutuhan penyelenggaraan PB, (3) Menyampaikan informasi
kegiatan kepada masyarakat, (4) Melaporkan penyelenggaraan PB
kepada Presiden 1 kaliper bulan dalam kondisi normal dan setiap
saat dalam kondisi darurat bencana, (5) Menggunakan dan bantuan
nasional dan internasional, (6) Mempertanggung jawabkan
penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), (7) Melaksanakan kewajiban lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dan (8) Menyusun pedoman
pembentukan BPBD. Sementara itu tugas BPBD antara lain (1)
Memberikan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan BNPB terhadap Penanggulangan Bencana,
32

(2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana, (3) Menyusun, menetapkan, dan
menginformasikan peta rawan bencana, (4) Menyusun dan
menetapkan prosedur tetap Penanggulangan Bencana, (5)
Melaksanakan penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di
wilayah, (6) Melaporkan penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
kepada kepala daerah 1kali per bulan dalam kondisi normal dan
setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (7) Mengendalikan
pengumpulan dan penyaluran uang dan barang, (8) Mempertanggung
jawabkan penggunaan anggaran yang di terima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, dan (9) Melaksanakan kewajiban
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Masyarakat
Peran masyarakat itu terlibat pada pra bencana, saat bencana,
dan pasca bencana. Peran masyarakat pada saat pra bencana antara
lain (1) Berpartisipasi pembuatan analisis risiko bencana, (2)
Melakukan penelitian terkait kebencanaan, (3) Membuat Rencana
Aksi Komunitas, (4) Aktif dalam Forum PRB, (5) Melakukan upaya
pencegahan bencana, (6) Bekerja sama dengan pemerintah dalam
upaya mitigasi, (7) Mengikuti pendidikan, pelatihan untuk upaya
PRB, dan (8) Bekerjasama mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh
Bencana.
Peran masyarakat pada saat bencana antara lain (1) Memberikan
informasi kejadian bencana ke BPBD atau iInstansi terkait, (2)
Melakukan evakuasi mandiri, (3) Melakukan kaji cepat dampak
bencana, dan (4) Berpartisipasi dalam respon tanggap darurat sesuai
bidang keahliannya. Sementara itu peran masyarakat pada saat pasca
bencana adalah (1) Berpartisipasi dalam pembuatan rencana aksi
rehabilitasi dan rekonstruksi, dan (2) Berpartisipasi dalam upaya
pemulihan dan pembangunan sarana/prasarana umum.
33

c. Lembaga usaha
d. Peran lembaga usaha juga terlibat pada pra bencana, saat bencana
dan pasca bencana. Peran lembaga usaha pada saat pra bencana
antara lain (1) Membuat kesiapsiaagaan internal lembaga usaha
(business continuity plan), (2) Membantu kesiapsiagaan masyarakat,
(3) Melakukan upaya pencegahan bencana, seperti konservasi lahan,
(4) Melakukan upaya mitigasi struktural bersama pemerintah dan
masyarakat, (5) Melakukan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan
untuk upaya PRB, (6) Bekerjasama dengan pemerintah membangun
sistem peringatan dini, dan (7) Bersinergi dengan Pemerintah dan
Orsosmas mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Sementara itu peran lembaga usaha pada saat bencana antaralain (1)
Melakukan respon tanggap darurat di bidang keahliannya, (2)
Membantu mengerahkan relawan dan kapasitas yang dimilikinya, (3)
Memberikan dukungan logistik dan peralatan evakuasi, dan (4)
Membantu upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Sedangkan peran
lembaga usaha pada saat pasca bencana antara lain (1) Terlibat
dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi, (2)
Membantu pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai dengan
kapasitasnya, dan (3) Membangun sistemjaringan pengaman
ekonomi.
8. Permasalahan Pemerintah Daerah
Dalam Manajemen Bencana Permasalahan pemerintah daerah dalam
pelaksanaan manajemen bencana (Kusumasari, 2014) sebagai berikut :
1) Tahap mitigasi
(a) Kesadaran masyarakat rendah karena bencana dipandang
sebagai kehendaktuhan
(b) Rendahnya komitmen pemerintah misalnya rendahnya
visibilitas dari tujuan pemerintah dalam menangani tugas-tugas
rutin dan menolak inovasi, tekanan politik, kepemimpinan,
organisasi dan keuangan yang tidak efektif.
34

2) Tahap kesiapsiagaan
(a) Sistem peringatan dini tidak memadai
(b) Keterbatasan keuangan
3) Tahap respon
(a) Komunikasi dan arus informasi antar lembaga masih rendah
(b) Kesulitan dalam koordinasi, secara horizontal dan vertikal
(c) Informasi publik, seperti sistem peringatan bencana
(d) Bantuan relawan
4) Tahap pemulihan
(a) Kendala anggaran
(b) Kurangnya keahlian
(c) Perintah dan kontrol dari pemerintah pusat.

B. Bencana Banjir
1. Pengertian Bencana Banjir
“Banjir didefenisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat
meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu
wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi (Rahayu
dkk, 2009). Banjir adalah ancaman musiman yang terjadi apabila
meluapnya tubuh air dari saluran yang ada dan menggenangi wilayah
sekitarnya. Banjir adalah ancaman alam yang paling sering terjadi dan
paling banyak merugikan, baik dari segi kemanusiaan maupun
ekonomi” (IDEP,2007). “Banjir merupakan peristiwa dimana daratan
yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air,
hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi
wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Selain itu terjadinya
banjir juadapat disebabkan oleh limpasan air permukaan (run off) yang
meluap dan volumenya melebihi kapasitas pengaliran sistem drainase
atau sistem aliran sungai. Terjadinya bencana banjir juga disebabkan
oleh rendahnya kemampuan infiltrasi tanah, sehingga menyebabkan
tanah tidak mampu lagi menyerap air. Banjir dapat terjadi akibat
35

naiknya permukaan air lantaran curah hujan yang di atas normal,


perubahan suhu, tanggul/bendungan yang bobol, pencairan salju yang
cepat, terhambatnya aliran air ditempat lain” (Ligak, 2008).
2. Jenis-Jenis Banjir
Menurut Pusat Kritis Kesehatan Kemenkes RI (2018), banjir dibedakan
menjadi lima tipe sebagai berikut:
a. Banjir Bandang
Banjir yaitu banjir yang sangat berbahaya karena bisa mengangkut
apa saja. Banjir ini cukup memberikan dampak kerusakan cukup
parah. Banjir bandang biasanya terjadi akibat gundulnya hutan dan
rentan terjadi di daerah pegunungan.
b. Banjir Air
Banjir air merupakan jenis banjir yang sangat umum terjadi,
biasanya banjir inter jadi akibat meluapnya air sungai, danau atau
selokan. Karena intensitas banyak sehingga air tidak tertampung dan
meluap itulah banjir air.
c. Banjir Lumpur
Banjir lumpur merupakan banjir yang mirip dengan banjir bandang
tapi banjir lumpur yaitu banjir yang keluar dari dalam bumi yang
sampai kedaratan. banjir lumpur mengandung bahan yang berbahaya
dan bahan gas yang mempengaruhi kesehatan makhluk hidup
lainnya.
d. Banjir Rob (Banjir Laut Air Pasang)
Banjir rob adalah banjir yang terjadi akibat air laut. Biasanya banjir
ini menerjang kawasan di wilayah sekitar pesisir pantai.
e. Banjir Cileunang
Banjir Cileunang mempunyai kemiripan dengn banjir air , tapi banjir
cileunang terjadi akibat deras hujan sehingga tidak tertampung.
3. Faktor-Faktor Penyebab Banjir
Menurut Kodoatie dan Sugiyanto (2002), ‘‘faktor penyebab terjadinya
banjir dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu banjir alami dan
36

banjir oleh tindakan manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh


curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai,
kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Sedangkan banjir akibat
aktivitas manusia di sebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan
perubahan-perubahan lingkungan seperti: perubahan kondisi Daerah
Aliran Sungai (DAS), kawasan pemukiman di sekitar bantaran,
rusaknya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir,
rusaknya hutan (vegetasi alami), dan perencanaan sistim pengendali
banjir yang tidak tepat’’. Peraturan Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 28 tahun 2015 tentang penetapan garis sepadan sungai
dan garis sempadan danau pada pasal 15 berbunyi untuk bangunan yang
terdapat di sempadan sungai minimal jarak rumah dari tepi sungai yaitu
10 meter dari tepi kiri dan kanan sungai, dan apabila sungai terlalu
dalam melebihi 3 meter maka jarak dari sepadan sungai lebih dari 10
meter.
a. Penyebab banjir secara alami
Yang termasuk sebab-sebab alami diantaranya adalah:
- Curah hujan
- Pengaruh fisiografi
- Erosi dan Sedimentasi
- Kapasitas sungai
- Kapasitas drainasi yang tidak memadai
- Pengaruh air pasang
b. Penyebab banjir akibat aktivitas manusia
Banjir juga dapat terjadi akibat ulah/aktivitas manusia sebagai
berikut:
a. Perubahan kondisi DAS
b. Kawasan kumuh dan sampah
c. Drainase perkotaan dan pengembangan pertanian
d. Kerusakan bangunan pengendali air
e. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat
37

f. Rusaknya hutan (hilangnya vegetasi alami)


4. Daerah Rawan Banjir
Daerah rawan banjir adalah daerah yang sering dilanda banjir. Daerah
tersebut dapat diidentikasi dengan menggunakan pendekatan
geomorfologi khususnya aspek morfogenesa, karena kenampakan
seperti teras sungai, tanggul alam, dataran banjir, rawa belakang,
kipasaluvial, dan delta yang merupakan bentukan banjir yang berulang-
ulang yang merupakan bentuk lahan detil yang mempunyai topografi
datar “(Dibyosaputro, 1984). Menurut Pratomo (2008) dan Isnugroho
(2006), “Daaerah rawan banjir dapat diklasifikasikan menjadi empat
daerah, yaitu daerah pantai, daerah dataran banjir, daerah sempadan
sungai, dan daerah cekungan”.
5. Kegiatan Manajemen Bencana
Salah satu cara untuk menyederhanakan pemahaman terhadap kegiatan
penanggulangan bencana adalah dengan mengatur ke dalam suatu
siklus. Menurut model Stephen Bieri, sebuah modifikasi Cuny DRM
dan Mitigation Circle, siklus manajemen risiko bencana adalah:
a. Pencegahan (prevention) adalah “Langkah-langkah untuk
melakukan, menghilangkan atau mengurangi ancaman secara
drastis melalui pengendalian dan pengaturan fisik dan lingkungan.
Tindakan ini bertujuan untuk menekan sumber ancaman dengan
mengurangi tekanan, mengatur dan menyebarkan energi atau bahan
ke daerah yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih lama”
(Smith, 1992:81)
b. Mitigasi (mitigation) adalah “tindakan fokus pada perhatian untuk
mengurangi dampak dari ancaman dan dengan demikian mengurangi
negatif dampak bencana terhadap kehidupan melalui beberapa
alternatif yang sesuai dengan ekologi. Kegiatan mitigasi mencakup
tindakan non-rekayasa seperti peraturan, sangsi dan penghargaan
untuk memaksa perilaku yang lebih cocok dan melalui informasi
untuk meningkatkan kesadaran” (ADB. 1991:41)
38

c. Kesiapan Tanggap Darurat (preparedness) adalah “Prediksi tentang


kebutuhan masa depan jika ada bencana keadaan darurat dan
identifikasi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan, dan dengan
demikian membawa masyarakat di daerah bahaya untuk merespon
yang lebih baik terhadap kesiapan menghadapi bencana.
Berdasarkan pemahaman bahwa kehancuran dalam bencana tidak
dapat dihindari, tanggap darurat menempatkan beberapa pengaturan
secara efektif. Kesiapan tanggap darurat meliputi pengaturan dan
pelatihan rencana tanggap darurat untuk mengatur, menyiapkan dan
menguji sistem peringatan dini, penyimpanan dan kesiapan pasokan
kebutuhan dasar, pelatihan dan simulasi, kesiapan mekanisme alarm
dan prosedur tetap” (Flemming, 1957)
d. Tanggap Darurat (response) adalah “Tindakan sebelum dan setelah
bencana. Tindakan dalam tahap ini seperti identifikasi lokasi
bencana, studi cepat tentang kerusakan dan ketersediaan sumber
daya untuk menentukan dengan cepat pemenuhan kebutuhannya.
Seiring dengan itu, mungkin ada pencarian dan penyelamatan
korban, pertolongan pertama, evakuasi, tempat para pengungsi dan
fasilitas, pengiriman pasokan darurat dan obat-obatan, sumber daya
bergerak dan pemulihan fasilitator utama seperti komunikasi,
transportasi, air, dan fasilitas publik lainnya.” (BNPB, 2013)
e. Pemulihan (recovery) adalah “Tindakan yang bertujuan untuk
membantu orang mendapatkan kembali apa yang sudah hilang dan
membangun kembali kehidupan, dan untuk mendapatkan kembali
peluang mereka. Semua ini akan dicapai melalui pembangun
kembali dan memfungsikan kembali fasilitas-fasilitas, memulihkan
tingkat kemampuan sosial ekonomi mereka sama atau lebih baik dari
sebelum bencana bersama dengan penguatan ketahanan mereka
untuk menghadapi bencana di masa mendatang” (BNPB, 2013).
39

6. Tahapan Manajemen Bencana


Manajemen Bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan
untuk mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga)
tahapan sebagai berikut (Hertanto, 2009):
a. Pra Bencana
- Kesiapsiagaan adalah “Serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna” (BNPB,
2013),
- “Sistem Peringatan Dini merupakan informasi-informasi yang
diberikan kepada masyarakat tentang kapan suatu bahaya
peristiwa alam dapat diidentifikasi dan penilaian tentang
kemungkinan dampaknya pada suatu wilayah tertentu. Peringatan
dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya
mereka yang berpotensi terkena bencana di tempat masing-
masing” (BNPB,2013)
- “Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak
yang ditimbulkan akibat suatu bencana” (BNPB,2013).
b. Saat Bencana
- Tanggap Darurat Bencana adalah “Serangkaian tindakan yang
diambil secara cepat menyusul terjadinya suatu peristiwa
bencana, termasuk penilaian kerusakan, kebutuhan (damage and
needs assessment), penyaluran bantuan darurat, upaya
pertolongan, dan pembersihan lokasibencana” (Ramli, 2010),
- “Penanggulangan bencana selama kegiatan tanggap darurat,
upaya yang dilakukan adalah menanggulangi bencana yang
terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya. Penanggulangan bencana
memerlukan keahlian dan pendekatan khusus menurut kondisi
dan skala kejadian” (Ramli, 2010).
40

c. Pasca Bencana
- Rehabilitasi adalah “Serangkaian kegiatan yang dapat membantu
korban bencana untuk kembali pada kehidupan normal yang
kemudian diintegrasikan kembali pada fungsi-fungsi yang ada di
dalam masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah penanganan
korban bencana yang mengalami trauma psikologis” (Ramli,
2010),
- Rekonstruksi adalah “Serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan situasi seperti sebelum terjadinya bencana,
termasuk pembangunan infrastruktur, menghidupkan akses
sumber-sumber ekonomi, perbaikan lingkungan, pemberdayaan
masyarakat”. Berorientasi pada pembangunan dengan tujuan
mengurangi dampak bencana, dan di lain sisi memberikan
manfaat secara ekonomis pada masyarakat (Ramli, 2010),
- Prevensi adalah “Serangkaian kegiatan yang direkayasa untuk
menyediakan sarana yang dapat memberikan perlindungan
permanen terhadap dampak peristiwa alam, yaitu rekayasa
teknologi dalam pembangunan fisik” (Ramli, 2010).

C. Pengertian Tsunami
Tsunami adalah gelombang air yang sangat besar yang dibangkitkan oleh
macam-macam gangguan di dasar samudra. Gangguan ini dapat berupa
gempa bumi, pergeseran lempeng, atau gunung meletus. Tsunami tidak
kelihatan saat masih berada jauh di tengah lautan, namun begitu mencapai
wilayah dangkal, gelombangnya yang bergerak cepat ini akan semakin
membesar. Tsunami juga sering disangka sebagai gelombang air pasang. Ini
karena saat mencapai daratan, gelombang ini memang lebih menyerupai air
pasang yang tinggi dari pada menyerupai ombak biasa yang mencapai
pantai secara alami oleh tiupan angin. Namun sebenarnya gelombang
tsunami sama sekali tidak berkaitan dengan peristiwa pasang surut air laut.
41

Karena itu untuk menghindari pemahaman yang salah, para ahli


Oceanografi sering menggunakan istilah gelombang laut seismik (seismic
seawave) untuk menyebut tsunami, yang secara ilmiah lebih akurat. Sebab-
sebab terjadinya gelombang tsunami yaitu, tsunami dapat dipicu oleh
bermacam-macam gangguan (disturbance) berskala besar terhadap air laut,
misalnya gempa bumi, pergeseran lempeng, meletusnya gunung berapi di
bawah laut, atau tumbukan benda langit. Tsunami dapat terjadi apabila dasar
laut bergerak secara tiba-tiba dan mengalami perpindahan vertikal.
1. Penanganan atau Manajemen Bencana (Disaster Management)
Manajemen bencana adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
mengendalikan bencana dan keadaan darurat, sekaligus memberikan
kerangka kerjauntuk menolong masyarakat dalam keadaan beresiko
tinggi agar dapat menghindari ataupun pulih dari dampak bencana
(Pancawati, Heni, 2014). Tujuan dari manajemen bencana diantaranya:
a. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun
jiwa yang dialami oleh perorangan, masyarakat negara
b. Mengurangi penderitaan korban bencana
c. Mempercepat pemulihan
d. Memberikan perlindungan pada masyarakat atau pengungsi yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.
Dari tujuan tersebut, berikut tahapan atau siklus manajemen bencana;
- Penanganan Darurat
Penanganan darurat merupakan upaya untuk menyelamatkan jiwa
dan melindungi harta serta menangani gangguan kerusakan dan
dampak lain suatu bencana. Sedangkan keadaan darurat yaitu
kondisi yang diakibatkan oleh kejadian luar biasa yang berada
diluar kemampuan masyarakat untuk menghadapnya dengan
sumber daya atau kapasitas yang sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok dan terjadi penurunan drastis terhadap
kualitas hidup, kesehatan atau ancaman secara langsung terhadap
keamanan banyak orang di dalam suatu komunitas atau lokasi.
42

- Pemulihan (Recovery)
Pemulihan merupakan suatu proses yang di lalui agar kebutuhan
pokok terpenuhi. Proses recovery terdiri dari:
1) Rehabilitasi: perbaikan yang dibutuhkan secara langsung yang
sifatnya sementara atau berjangka pendek
2) Rekonstruksi: perbaikan yang sifatnya permanen
3) Pencegahan (Prevention) Pemulihan: upaya untuk
menghilangkan atau mengurangi kemungkinan timbulnya
suatu ancaman.
- Mitigasi (Mitigation)
Mitigasi merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi
dampak buruk dari suatu ancaman.
- Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan merupakan persiapan rencana untuk bertindak
ketika terjadi (atau kemungkinan akan terjadi) bencana.
Perencanaan terdiri dari perkiraan terhadap kebutuhan-kebutuhan
dalam keadaan darurat diidentifikasi atas sumber daya yang
adauntuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pencegahan ini dapat
mengurangi dampak burukdari suatu ancaman (Pancawati Heni,
2014).
2. Pemahaman Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami
Memahami atau mengerti itu adalah salah satu hal yang berhubungan
dengan pengembangan satu pemikiran. Manusia bisa mengerti karena
berawal dari sebuah perasaan yang dia inginkan, hingga terbentuk satu
dorongan dalam perasaannya untuk mencari tahu apa yang belum dia
tahu. Sedangkan pengertian merupakan kumpulan pengetahuan yang
dimiliki, atau bisa disebut juga pemahaman. Begitulah asal mulanya
pengertian. Ini bersumber dari rasa keingintahuan dari kelima panca
indera yang kita miliki, dengan cara mendengar, melihat, yang lantas
berujung pada tindakan. Konsep masyarakat tidak berdiri sendiri, tetapi
erat hubungannya dengan lingkungan. Hal tersebut berarti bahwa ketika
43

seseorang berinteraksi dengan sesamanya, maka lingkungan menjadi


faktor yang mempengaruhi sikap-sikap, perasaan, perlakuan dan
kebiasaan-kebiasaan yang ada di lingkungannya. Pemahaman penduduk
terhadap lingkungan sangat subyektif karena sangat tergantung pada
individunya tersebut dan sebagian besar proses dasar pemahaman
merupakan pengenalan terhadap sesuatu dariluar. Interaksi keruangan
ditentukan oleh pemahaman penduduk terhadap suatu obyek tertentu.
Pemahaman dapat terjadi sebagai akibat perilaku karena pemahaman
sifatnya subyektif atau tergantung individunya maka kesan ataupun
interpretasi yang terbentuk dapat negatif maupun positif terhadap suatu
obyek yang sama. Bila interpretasi atau kesan yang terbentuk positif
maka akan muncul pula sikap positif, demikian pula sebaliknya bila
interpretasi atau kesan yang terbentuk negatif maka akan muncul pula
sikap negatif. Pemahaman masyarakat tentang risiko bencana (risk
perception) dan dampak yang timbul akibat bencana tersebut
mempengaruhi kemampuan penduduk untuk menghadapi kemungkinan
kejadian bencana. Kemampuan penduduk untuk menghadapi suatu
bencana akan dapat mengurangi dampak yang mungkin akan timbul
akibat bencana (Daldjoeni, 1992 dalam Febriana Ika, 2012).
3. Mitigasi
Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, bahwa pengertian mitigasi dapat
didefinisikan. Pengertian mitigasi adalah serangkain upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan untuk menghadapi ancaman bencana
berdasarkan siklus penanganan bencana. Mitigasi yaitu usaha untuk
mengurangi dan atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin
timbul, terutama kegiatan penjinakan/peredaman (mitigasi). Dan pada
prinsipnya mitigasi harus dilakukan untuk segala jenis bencana
(baikbencana alam (natural disaster) maupun bencana akibat manusia.
Sedangkan bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat disebabkan oleh
44

faktor alam maupun non alam yang memunculkan korban jiwa,


kerusakan lingkungan, dan kerugian harta benda (Vetri Pramudianti,
2014). Tujuan mitigasi adalah sebagai berikut: 1
a. Mengurangi resiko penduduk (korban jiwa, kerusakan SDM)
b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana
c. Sebagai landasan (pedoman) perencanaan pembangunan.

4. Kesiapsiagaan
a. Pengertian
Kesiapsiagaan Menurut Nick Carter dalam (LIPI/UNESCO-ISDR,
2006:5) mengenai kesiapsiagaan dari suatu pemerintah, suatu
kelompok masyarakat atau individu yaitu, tindakan-tindakan yang
memungkinkan pemerintah, organisasi-organisasi, masyarakat,
komunitas dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi
bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk kedalam tindakan
kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana,
pemeliharaan sumber daya dan pelatihan personil. Menurut Sutton dan
Tierney dalam (Dodon, 2013:129) kesiapsiagaan merupakan kegiatan
yang sifatnya perlindungan aktif yang dilakukan pada saat bencana
terjadi dan memberikan solusi jangka pendek untuk memberikan
dukungan bagi pemulihan jangka panjang. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yangdilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui langkah yang tepat guna dan
berdayaguna. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan-kegiatan dan
langkah-langkah yang dilakukan sebelum terjadinya bahaya-bahaya
alam untuk meramalkan dan mengingatkan orang akan kemungkinan
adanya kejadian bahaya tersebut, mengevakuasi orang dan harta benda
jika mereka terancam dan untuk memastikan respon yang efektif,
misalnya dengan menumpuk bahan pangan (Charlotte Benson dkk,
2007 dalam MPBI, 2009).
45

b. Tujuan Kesiapsiagaan
Menurut Gregg dalam (Dodon, 2013:129) kesipasiagaan bertujuan
untuk meminimalkan efek samping bahaya melalui tindakan
pencegahan yang efektif, tepat waktu, memadai, efisiensi untuk
tindakan tanggap darurat dan bantuan saat bencana. Upaya
kesiapsiagaan juga bertujuan untuk memastikan bahwa sumber daya
yang diperlukan untuk tanggap dalam peristiwa bencana dapat
digunakan secara efektif pada saat bencana dan tahu bagaimana
menggunakannya (Sutton dan Tierney dalam Dodon, 2013:129).
c. Sifat Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan suatu komunitas selalu tidak terlepas dari aspek-aspek
lainnya dari kegiatan pengelolaan bencana (tanggap darurat,
pemulihan dan rekonstruksi, pencegahan dan mitigasi). Untuk
menjamin tercapainya suatu tingkat kesiapsiagaan tertentu, diperlukan
berbagai langkah persiapan pra-bencana, sedangkan keefektifan dari
kesiapsiagaan masyarakat dapat di lihat dari implementasi kegiatan
tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana. Pada saat pelaksanaan
pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana, harus dibangun juga
mekanisme kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan bencana
berikutnya. Selain itu juga perlu diperhatikan sifat kedinamisan dari
suatu kondisi kesiapsiagaan suatu komunitas. Tingkat kesiapsiagaan
suatu komunitas dapat menurun setiap saat dengan berjalannya waktu
dan dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, politik dan
ekonomi dari suatu masyarakat. Karena itu sangat diperlukan untuk
selalu memantau dan mengetahui kondisi kesiapsiagaan suatu
masyarakat dan melakukan usaha-usaha untuk selalu menjaga dan
meningkatkan tingkat kesiapsiagaan tersebut. (LIPI-UNESCO/ISDR,
2006:7)
d. Indikator Penilaian Kesiapsiagaan
Indikator yang akan digunakan untuk menilai kesiapsiagaan
46

masyarakat di turunkan dari lima para meter yang menurut


LIPIUNESCO/ISDR (2006) yaitu:
 Pengetahuan dan sikap
Parameter pertama adalah pengetahuan dan kebijakan terhadap
resiko bencana. Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi
kunci untuk kesiapsiagaan. Pengetahuan yang dimiliki biasanya
dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap
dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka
yang bertempat tinggal di daerah pesisir yang rentan terhadap
bencana alam.
 Kebijakan
Parameter kedua adalah kebijakan yang berkaitan dengan
kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam. Kebijakan
kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan merupakan upaya
konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana.
 Rencana tanggap darurat
Parameter ketiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana
alam. Rencana ini menjadi bagian yang penting dalam
kesiapsiagaan, terutama berkaitan dengan evakuasi, pertolongan
dan penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan.
Upaya ini sangat krusial, terutama pada saat terjadi bencana dan
hari-hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah
dan dari pihak luar datang.
 Sistim peringatan bencana
Parameter ke empat berkaitan dengan system peringatan bencana,
terutama tsunami. Sistim ini meliputi tanda peringatan dan
distribusi informasi akan terjadinya bencana. Dengan peringatan
bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat
untuk mengurangi korban jiwa, harta benda dan kerusakan
lingkungan. Untuk itu diperlukan latihan dan simulasi, apa yang
harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan
47

bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu, sesuai


dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadinya
peringatan.
 Mobilisasi sumber daya
Parameter ke lima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumber daya
yang tersedia, baik sumber daya manusia (SDM), maupun
pendanaan dan sarana prasarana penting untuk keadaan darurat
merupakan potensi yang dapat mendukung atau sebaliknya menjadi
kendala dalam kesiapsiagaan bencana alam. Karena itu, mobilisasi
sumber daya menjadi faktor yang krusial. Berdasarkan lima faktor
kesiapsiagaan tersebut, LIPIUNESCO/ ISDR kemudian diturunkan
menjadi variabel yang kemudian di turunkan lagi menjadi
indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
kesiapsiagaan masyarakat.
Secara teoritis langkah-langkah yang harus dilakukan tiap individu
dalam kesiapsiagaan adalah: 1) Siapkan satu tas darurat yang sudah
diisi keperluan-keperluan mengungsi untuk 3 hari. Di dalam
nyatermasuk, pakaian, makanan, surat-surat berharga, dan
minuman secukupnya. Jangan membawa tas terlalu berat karena
akan mengurangi kelincahan mobilitas. 2) Selalu merespon tiap
latihan dengan serius sama seperti saat terjadinya bencana. 3)
Selalu peka dengan fenomena alam yang tidak biasa.
Untuk membaca tanda-tanda alam sebelum terjadinya tsunami
(Amien Widodo, 2011) memberikan sejumlah petunjuk
berdasarkan pengalaman tsunami-tsunami sebelumnya: a)
Terdengar suara gemuruh yang terjadi akibat pergeseran lapisan
tanah. Suara ini bisa di dengar dalam radius ratusan kilometer
seperti yang terjadi saat gempa dan tsunami di Pangandaran lalu. b)
Jika pusat gempa berada di bawah permukaan laut di kedalaman
dangkal dan kekuatan lebih dari 6 skala richter, perlu di waspadai
adanya tsunami. c) Jangka waktu sapuan gelombang tsunami di
48

pesisir bisa dihitung berdasarkan jarak episentrumnya dengan


pesisir. d) Garis pantai dengan cepat surut karena gaya yang
ditimbulkan pergeseran lapisan tanah. Surutnya garis pantai ini bisa
jadicukup jauh. e) Karena surutnya garis pantai, tercium bau-bau
yang khas seperti bau amis dan kadang bau belerang. f) Untuk
wilayah yang memiliki jaringan pipa bawah tanah, terjadi
kerusakan jaringan-jaringan pipa akibat gerakan permukaan tanah.
g) Dalam sejumlah kasus, perilaku binatang juga bisa
dijadikan peringatan dini terjadinya tsunami. Sesaat sebelum
tsunami di Aceh, ribuan burung panik dan menjauhi pantai,
sedangkan gajah-gajah di Thailand gelisah dan juga menjauhi
pantai.

B. KEGIATAN DI RW 09 KELURAHAN PASIE NAN TIGO


1. PRA BENCANA
a. Gambaran Umum Daerah Kecamatan
Kecamatan Koto Tangah merupakan salah satu kecamatan di
Kota Padang, Provinsi Sumatra Barat. Kecamatan ini terletak 00°58
Lintang Selatan dan 99°36’40”- 100°21’11” Bujur Timur.
Berdasarkan posisi geografisnya, Kecamatan ini memiliki batas
wilayah, yaitu, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Padang
Pariaman, sebelah selatan Kecamatan Padang Utara dan Kecamatan
Nanggalo, sebelah barat Samudera Hindia, sebelah timur Kabupaten
Solok. Kecamatan ini memiliki luas 232,25 km2, terletak 0-1.600
meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan 384,88 mm /
bulan.
Kelurahan Pasie Nan Tigo (PNT) adalah salah satu kelurahan
pesisir yang ada di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Sejak
terjadi gempa pada tahun 2009 di Kota Padang dengan kekuatan 7,6
SR menyebabkan pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir pada
umumnya mengalami penurunan. Tidak terkecuali Kelurahan PNT,
49

dimana dari tahun 2008, 2009 dan 2010 pertumbuhan penduduk


mengalami penurunan hingga -3,56 % (Kecamatan Koto Tangah
dalam Angka 2017). Sebagian besar mata pencaharian penduduk
adalah sebagai nelayan.

b. Gambaran Demografis Kelurahan


Kelurahan Pasie Nan Tigo merupakan salah satu dari 13
kelurahan yang ada di Kecamatan Koto Tangah yaitu : 1) Kelurahan
Balai Gadang, 2) Kelurahan Lubuk Minturun, 3) Kelurahan Aie
Pacah, 4) Kelurahan Dadok Tunggul Hitam, 5) Kelurahan Koto
Panjang Ikur Koto, 6) Kelurahan Batipuh Panjang, 7) Kelurahan
Koto Pulai, 8) Kelurahan Batang Kabung Ganting, 9) Kelurahan
Bungo Pasang, 10) Kelurahan Lubuk Buaya, 11) Kelurahan Padang
Sarai, 12) Parapuk Tabing, 13) Kelurahan Pasie Nan Tigo, 14)
Kelurahan Sungai Lareh.
Dalam bahasa Indonesia Pasie Nan Tigo adalah pantai yang
tiga, pantai tersebut adalah Pasie Sabalah, Pasie Kandang dan Pasie
Jambak. Jadi Kelurahan Pasie Nan Tigo terbentuk dari
penggabungan tiga kelurahan, yaitu: Kelurahan Pasie Sabalah,
Kelurahan Pasie Kandang, dan Kelurahan Pasie Jambak. Kelurahan
Pasie Nan Tigo berada pada ketinggian 0 – 3 meter diatas
permukaan laut, dengan kemiringan lahan 0 – 2 %. Hal ini di-
pengaruhi oleh letak kelurahan ini yang berbatasan dengan laut,
sehingga kelurahan ini tergolong pada dataran rendah. Luas
wilayahnya secara keseluruhan adalah 593,08 Ha.

c. Batas Wilayah
Kelurahan Pasie Nan Tigo memiliki batas wilayah dengan
beberapa kelurahan. Dimana batas wilayah Kelurahan Pasie Nan
Tigo pada sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Padang Sarai.
Pada sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kelurahan Bungo
50

Pasang, pada sebelah timur berbatasan dengan wilayah kelurahan


Batang Kabung Ganting, dan pada sebelah barat berbatasan dengan
wilayah Samudra Indonesia. Kelurahan Pasie Nan Tigo terdiri dari
12 RW. Wilayah RW 009 merupakan RW binaan kelompok 4
dalam siklus Keperawatan bencana. Dimana batasan RW 009 ini
terdiri dari batasan bagian Selatan dengan RW 008, batas bagian
Barat dengan pantai panjang/samudra Indonesia, batas Utara dengan
RW 006, batas bagian timur dengan RW 005.

d. Lingkungan terbuka
Luas lahan RW 009 adalah ± 4 ha dengan jenis penggunaan
dominan yaitu permukiman warga. Penggunaan lahan selain sebagai
permukiman adalah kebun campuran, rawa dan pantai.

e. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data laporan mutasi penduduk Kelurahan Pasie
Nan Tigo RW 009 pada bulan Desember 2021. Pada RW 009 PNT,
jumlah penduduk tertinggi yaitu di RT 05 dengan jumlah penduduk
357 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah yaitu di RT 03
dengan jumlah penduduk 301 jiwa.

f. Perumahan dan Lingkungan


Kondisi fisik rumah masyarakat di RW 009 pada umumnya
permanen dengan lantai terbuat dari semen. Sumber air masyarakat
di RW 009 umumnya menggunakan sumur dan beberapa rumah
warga ada juga menggunakan PDAM.

g. Tingkat sosial ekonomi


Tingkat sosial ekonomi masyarakat RW 009 dengan tingkat
sosial menengah. Dengan pekerjaan tebanyak yaitu sebesar 63%
51

nelayan 26% pedagang dan 11% pegawai. Dengan penghasilan rata-


rata 2-3 jt perbulan.

h. Kebiasaan
Kegiatan warga di RW 009 yaitu pada agregat remaja
berolahraga seperti volley, bola kaki dan bulutangkis, dan pada
agregat dewasa yaitu pengajian yang di lakukan di musholah Al-
Ikhlas dan masjid . Selain itu kegiatan gotong royong juga
dilaksanakan dalam sebulan sekali.
i. Transportasi
Sarana transportasi di RW 009 umumnya masyarakat
menggunakan motor dan mobil. Untuk sarana angkutan umum sejak
tahun 2000 hingga sekarang transportasi yang digunakan yaitu
mobil pick up dan ojek.

j. Pusat pelayanan / fasilitas umum


Sarana pendidikan yang ada di RW 009 yaitu 1 Pondok
Pesantren Putra Kanzul Ulum yang berlokasi di RT 04 dan 1 unit
Posyandu yang berlokasi di RT 02. Ketersediaan fasilitas
peribadatan sebanyak 2 unit tersebar di RT 01 dan RT 04.
Tabel 3. Jenis dan Jumlah Sarana Permukiman RW 09
Fasilitas Lokasi Jumlah

Pendidikan

Pondok Pesantren RT 01 2

Pelayanan Kesehatan

Posyandu RT 02 1

Tempat Ibadah

Masjid Nailul Selasih Amal RT 01 1

Musholah Al-Muqarrabn RT 04 1
52

Pusat Perbelanjaan

Minimarket RT 03 2

Warung RT 01 4

Warung RT 03 2

Warung RT 04 2

Rumah makan RT 04 3

Rumah makan RT 01 2

Sumber : Hasil Survey 2021

k. Pusat perbelanjaan
Pusat perbelanjaan di Kelurahan Pasie Nan Tigo yaitu
minimarket dan warung. Minimarket dan Warung Nan Tigo ini
terletak di pinggir pantai Kecamatan Koto Tangah. Barang-barang
yang dijual pada umumnya adalah barang-barang kebutuhan pokok..
l. Ras/suku bangsa
Rata-rata ras atau suku masyarakat yang ada di RW 009
adalah suku minang diantaranya ada suku caniago, suku tanjung,
suku jambak, batang mansiang dan beberapa suku-suku lainnya.
m. Agama
Mayoritas agama yang dianut masyarakat di kelurahan Pasien
Nan Tigo di RW 009 adalah agama Islam.
n. Kesehatan dan morbiditas
Masyarakat RW 009 memanfaatkan kegiatan posyandu dan
kegiatan kesehatan lainnya yang berada di lokasi RT 2.
o. Sarana penunjang
Sarana penunjang yang biasanya digunakan untuk posyandu,
posbindu, dan posyandu lansia berada di RT 02. Selanjutnya ada
pasar yang digunakan masyarakat untuk membeli kebutuhan sehari-
hari dan juga digunakan sebagai tempat mata pencaharian. Masjid
53

dan mushalla juga di gunakan sebagai sarana peribadahan dan


perkumpulan permusyawarahan.

2. PENGKAJIAN BERDASARKAN METODE SURVEY


a. Data Umum Komunitas
1. Jumlah Anggota Keluarga
Jumlah anggota keluarga di kelurahan Pasie Nan Tigo di RW 009
ada sebanyak 1.325 responden yang terdiri dari 4 responden ibu
hamil, Anak dan remaja 160, 1135 responden dewasa, dan 36
responden lansia yang tersebar dalam 174 kartu keluarga.

Gambar: B.1a Jumlah Anggota Keluarga

2. Data Anggota Keluarga Per Agregat


a. Agregat Dewasa
1. Informasi tentang bencana alam dan Non Alam
54

Berdasarkan data hasil dari kuisioner dari 81% agregat


dewasa sebanyak 49,35% mengatakan “Pernah” dan 50,7%
mengatakan “ Tidak Pernah “ menerima informasi tentang
bencana alam dan non bencana alam.
2. Media Informasi Bencana

Berdasarkan data hasil dari kuisioner media informasi


bencana dari 81% agregat dewasa sebanyak 8,5%
mengatakan “ Penyuluhan”, 26,8% mengatakan “orang
sekitar” dan 64,8% mengatakan “ Media massa” sebagai
media informasi bencana.
3. Pemahaman tentang informasi yang diberikan

Berdasarkan data hasil dari kuisioner pemahaman informasi


yang diberikan, dari 81% agregat dewasa sebanyak 35,2%
mengatakan “ Ya” dan 64,8% mengatakan “ Tidak” paham
tentang informasi bencana yang diberikan.
4. Akibat atau Resiko dari Bencana
55

Berdasarkan data hasil dari kuisioner akibat dan resiko


terjadinya bencana dari 81% Agregat dewasa sebanyak 45,1%
mengatakan “Ya” dan 54,9% mengatakan “ Tidak “
mengetahui akibat dan resiko dari bencana.
5. Bahaya yang mengancam wilayah

Berdasarkan data hasil dari kuisioner bahaya yang mengancam


wilayah dari 81% agregat dewasa sebanyak 1% mengatakan “
Gunung meletus”, 27% mengatakan “ Banjir”, 34%
mengatakan “ Tsunami” dan 38 % mengatakan “ Gempa
Bumi”.
6. Kejadian Bencana alam yang terjadi 5th terakhir
56

Berdasarkan data hasil dari kuisioner adanya kejadian


bencana alam yang terjadi 5th terakhir di RW 09 Kelurahan
Pasie Nan Tigo dari 81% agregat dewasa sebanyak 31%
mengatakan “ Tidak” dan 69% mengatakan “ Ya” .
7. Bencana yang pernah terjadi dalam 5th terakhir

Berdasarkan data hasil kuisioner bencana alam yang pernah


terjadi dalam 5th terakhir di RW 09 Kelurahan Pasie Nan
Tigo dari 81% agregat dewasa sebanyak 3% mengatakan “
“Angin kencang”, 17% mengatakan “ Banjir dan Gempa”,
29% mengatakan “ Banjir” dan 51% mengatakan “
Gempa”.
8. Pengetahuan tentang kesiapsiagaan
57

Berdasarkan data hasil kuisioner pengetahuan tentang


kesiapsiagaan bencana dari 81% agregat dewasa sebanyak
4,2% mengatakan “ adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk menyiapkan diri terhadap bencana secara
tepat dan cepat”, 38% mengatakan “ kemampuan untuk
menghadapi bencana” dan 57,7% mengatakan “ Tidak
tahu”.
9. Pengetahuan tentang titik kumpul

Berdasarkan data hasil kuisioner pengetahuan titik kumpul


jika terjadi bencana dari 81% agregat dewasa sebanyak
22,5% mengatakan “ Ya” dan 77,55 mengatakan “ Tidak”
mengetahui tentang titik kumpul bencana.
10. Pengetahuan tentang jalur evakuasi
58

Berdasarkan data hasil kuisioner pengetahuan tentang jalur


evakuasi dari 81% agregat dewasa sebanyak 36,6%
mengatakan “ Ya” dan 63,4% mengatakan “ Tidak “
mengetahui tentang titik jalur evakuasi bencana.
11. Sistem dari peringatan bencana seperti sirine atau
kentongan.

Berdasarkan data hasil Sistem dari peringatan bencana dari


81% agregat dewasa sebanyak 32,4% mengatakan “ Ya”
dan 67,6% mengatakan “ Tidak” memiliki sirine atau
kentongan.
12. Pengetahuan tanda-tanda sebelum terjadinya tsunami
59

Berdasarkan data hasil kuisioner pengetahuan tentang


tanda-tanda sebelum terjadinya tsunami dari 81% agregat
dewasa sebanyak 38% mengatakan “ Ya” dan sebanyak
62% mengatakan “ Tidak” mengetahui tentang tanda-tanda
sebelum terjadinya tsunami.
13. Yang perlu dibawa saat menghadapi bencana

Berdasarkan data hasil kuisioner yang perlu dibawa saat


menghadapi bencana dari 81% agregat dewasa sebanyak
19,7% mengatakan “ alat penyelamat seperti (P3K, Tenda
dll), 9,9% mengatakan “ menyiapkan pintu jalur evakuasi”
dan 70,4% mengatakan “ Tidak Tahu”.
14. Barang yang perlu dibawa jika terjadi gempa bumi
60

Berdasarkan data hasil kuisioner barang yang akan dibawa


saat terjadi gempa bumi dari 81% agregat dewasa 9%
diantaranya mengatakan “ Barang-barang kesayangan”,
30% mengatakan “ makanan dan obat-obatan”, 30%
mengatakan “ tidak membawa barang” dan 31%
mengatakan “ membawa surat-surat tanah” saat terjadinya
gempa bumi.
15. Vaksin Covid 19

Berdasarkan data hasil kuisioner dari 81% agregat dewasa


67% mengatakan “ Sudah Divaksin” dan 33% mengatakan
“ Belum Divaksin”.

b. Agregat Anak dan Remaja


1. Apakah kamu mengetahui tentang bencana?
61

Berdasarkan diagram diatas diketahui 92.1% anak dan remaja


mengetahui tentang bencana dan 7.9% lagi tidak mengetahui
tentang bencana.
2. Darimana informasi tentang bencana alam kamu
dapatkan?

Berdasarkan diagram diatas diketahui 71.1% anak dan remaja


mengetahui tentang bencana dari media massa, 23% dari
penyuluhan dan sianya dari orang sekitar.
3. Apakah pernah mendapatkan pendidikan bencana
di sekolah?
62

Berdasarkan diagram diatas diketahui 65.8% anak dan remaja tidak


mendapatkan pendidikan tentang bencana di sekolah dan 34.2%
lagi pernah mendapatkan pendidikan tentang bencana di sekolah.
4. Jika pernah, apakah mengerti tentang informasi
yang diberikan?

Berdasarkan diagram diatas diketahui 69.6% anak dan remaja


kurang paham tentang informasi yang diberikan, 30.4% lagi
paham.
5. Jika terjadi bencana, apakah kamu tahu apa yang
akan dilakukan?

Berdasarkan diagram diatas diketahui 78.9% anak dan


remaja memilih melakukan evakuasi dini 15.8% menunggu
penolong datang dan sisanya memilih berdiam diri.
6. Apakah kamu tahu apa yang harus dibawa saat
menyelamatkan diri saat terjadi bencana?
63

Berdasarkan diagram diatas diketahui 100% anak dan remaja tidak


tahu apa yang harus dibawa saat menyelamatan diri.
7. Apakah kamu tahu atau pernah mendengar tentang
tas bencana?

Berdasarkan diagram diatas diketahui 92.1% anak dan remaja mendengar


tentang tas bencana dan 7.9% lagi tidak mendengar tentang tas bencana.
8. Apakah dirumahmu memiliki tas bencana?

Berdasarkan diagram diatas diketahui 100% anak dan remaja tidak


mengetahui tas bencana.
9. Vaksin Covid 19
64

Berdasarkan data hasil survey vaksin covid 19 72 remaja


sudah vaksin dan 28% belum vaksin.
c. Agregat Ibu Hamil
1. Apakah anda pernah mengikuti pengajaran tentang
cara menghadapi gempa bumi ?

Berdasarkan data kuisioner diatas, terdapat 100% ibu hamil mengatakan

tidak tau tentang cara menghadapi gempa bumi.

2. Apakah keluarga memiliki rencana untuk keadaan

darurat ?
65

Berdasarkan hasil data kuisioner diatas, didapat 75% ibu hamil tidak
memiliki rencana untuk keadaan darurat, dan 25% ibu hamil mempunyai
rencana keadaan darurat.

3. Apakah bel atau tanda peringatan tsunami dapat

dibatalkan jika ternyata tidak terjadi tsunami ?

Berdasarkan hasil data kuisiner diatas, 75% ibu hamil mengatakan setuju

bel atau tanda peringatan tsunami dapat dibatalkan jika ternyata tidak

terjadi tsunami, dan 25% tidak setuju bel atau tanda peringatan tsunami

dapat dibatalkan jika ternyata tidak terjadi tsunami.


66

4. Apakah anda mengetahui titik pertemuan atau area aman diluar rumah

untuk berkumpul setelah gempa ?

Berdasarkan hasil data kuisioner diatas, terdapat 100% ibu Hamil tidak

mengetahui titik pertemuan atau area aman diluar rumah untuk berkumpul

setelah gempa.

5. Jika ada pemberitahuan bencana gempa disusul tsunami, apakah anda

harus teriak dan menangis ?


67

Berdasarkan hasil data kuisioner diatas, didapat 100% ibu hamil

mengatakan akan teriak dan menangis Jika ada pemberitahuan bencana

gempa disusul tsunami.

6. Apakah berlari keluar ruangan cukup aman agak tidak terkena

reruntuhan gempa ?

Berdasarkan data hasil kuisioner diatas, didapatkan sebanyak 50% ibu

hamil akan berlari keluar ruangan cukup aman agak tidak terkena

reruntuhan gempa, dan sebanyak 50% ibu hamil mengatakan tidak akan

berlari keluar ruangan

7. Apakah anda pernah memdapatkan pelajaran mengenai tsunami ?


68

Berdasarkan hasil kuisioner diatas, didapatkan 100% ibu hamil mengatakn

tidak pernah memdapatkan pelajaran mengenai tsunami.

8. Jika terjadi gempa, apakah berlindung dibawah kolong meja adalah

tindakan awal yang aman ?

Berdasarkan hasil data kuisioner diatas, didapatkan 50% ibu hamil

mengatakan setuju untuk berlindung dibawah kolong meja adalah tindakan

awal yang aman, dan 50% mengatakan tidak setuju berlindung dibawah

kolong meja adalah tindakan awal yang aman.


69

9. Apakah badai atau puting beliung dapat menimbulkan tsunami ?

Berdasarkan data hasil kuisioner diatas, didapatkan 50% ibu hamil

mengatakan setuju badai atau puting beliung dapat menimbulkan tsunami,

dan 50% ibu hamil tidak setuju badai atau puting beliung dapat

menimbulkan tsunami.

10. Apakah gempa bumi terjadi setelah gunung meletus ?

Berdasarkan data hasil kuisioner diatas, 75% ibu hamil mengatakan tidak

seluruhnya gempa bumi terjadi setelah gunung meletus, dan 25% ibu
70

hamil mengatakan setuju setiap gempa bumi terjadi setelah gunung

meletus.

11. Apakah tsunami selalu ditandai dengan surutnya air laut ?

Berdasarka data hasil kuisioner diatas, didapatkan 75% ibu hamil

mengatakan tsunami selalu ditandai dengan surutnya air laut, dan 25%

mengatakan tsunami tidak selalu ditandai dengan surutnya air laut.

12. Apa saja bahaya yang mengancam wilayah di RW 09 ini ?

Berdasarkan hasil kuisioner diatas, didapatkan bahaya yang mengancam

wilayah di RW 09 ini adalah Gempa dan Tsunami.

13. Apakah ibu hamil mengetahui tentang bencana ?


71

Berdasarkan data hasil kuisioner diatas, didapatkan 75% ibu hamil tidak

mengetahui tentang bencana, dan 25% ibu hamil mengetahui tentang

bencana.

14. Informasi kesehatan ibu hamil yang dibutuhkan saat ini ?

Berdasarkan hasil data kuisioner diatas, didapatkan 100% ibu hamil

mengatakan Informasi kesehatan ibu hamil yang dibutuhkan saat ini

adalah kesiapsiagaan menghadapi bencana

15. Apakah anda mengetahui siapa yang akan dihubungi pada keadaan

darurat ?
72

Berdasarkan data kuisioner diatas, didapatkan 100% ibu hamil tidak

mengetahui siapa yang akan dihubungi pada keadaan darurat.

16.Vaksinasi Covid pada ibu hamil

Berdasarkan data hasil survey kuisioner vaksin 100 % ibu


hamil sudah divaksin.
d. Agregat Lansia
73

Berdasarkan data hasil dari kuesioner agregat lansia sebanyak


94,4% menjawab “Tidak Pernah” dan 5,6% menjawab
“Pernah“ menerima informasi tentang bencana alam dan non
bencana alam.
74

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia sebanyak


56,6% menjawab “Tidak” dan 44,4% menjawab “Ya”
mengetahui akibat atau resiko bencana.

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia sebanyak


97,2% menjawab “Tidak” dan 2,8% menjawab “Ya” terjadi
bencana di RW 09 pada 5 tahun terakhir.
75

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia tentang


pengetahuan kesiapsiagaan sebanyak 61,1% menjawab
“Tidak Tahu”, 30,6% menjawab “Kemampuan untuk
menghadapi bencana”, dan 8,3% menjawab serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk menyiapkan diri terhadap
bencana secara tepat dan cepat.

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia sebanyak


72,2% menjawab “Tidak” dan 27,8% menjawab “Ya”
mengetahui dimana titik kumpul jika terjadi bencana.
76

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia sebanyak


50% menjawab “Tidak” dan 50% menjawab “Ya”
mengetahui dimana jalur evakuasi jika terjadi bencana.

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia sebanyak


58,3% menjawab “Ya” dan 41,7% menjawab “Tidak”
terdapat system peringatan seperti sirine atau kentongan pada
RW 09.
77

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia sebanyak


63,3% menjawab “Ya” dan 36,1% menjawab “Tidak”
mengetahui tanda-tanda sebelum terjadinya Tsunami.

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia seluruhnya


menjawab “Tidak” pernah mengikuti pelatihan kebencanaan.
78

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia tentang


persiapan menghadapi bencana sebanyak 97,2% menjawab
“Tidak ada” dan sisanya menjawab menyiapkan pintu jalur
evakuasi.

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia tentang


barang dan perlengkapan apa saja yang perlu dibawa jika
79

terjadi bencana sebanyak 63,3% menjawab “Tidak ada”, 25%


menjawab “Surat-surat penting”, dan sisanya menjawab
“Makanan dan obat-obatan”.

Berdasarkan data hasil kuesioner agregat lansia sebanyak


91,7% lansia belum vaksin Covid-19 dan 8,3% sudah vaksin
Covid-19.

b) Lama Tinggal Di Komunitas


Dari 1744 Kartu Keluarga sebanyak 86,8% responden tinggal di
komunitas atau di RW 009 kelurahan Pasie Nan Tigo dalam kurun
waktu lebih dari 10 tahun, sedangkan 13,2% lainnya kurang dari
waktu 10 tahun
80

Gambar: B.1b Lama Tinggal Di Komunitas

c) Kepemilikan Listrik
Dari 174 Kartu Keluarga ada sebanyak 99,4 % responden memiliki
listrik dirumah nya dan 0,6% tidak memiliki listrik dirumahnya.

Gambar: B.1c Lama Tinggal Kepemilikan Listrik

d) Kepemilikian Air Ledeng


Dari 174 Kartu Keluarga ada sebanyak 85,6% responden memiliki
sumber air yang menggunakan sumur dan sebanyak 14,4%
responden yang menggunakan PDAM.
81

Gambar: B.1d Kepemilikan Air Ledeng

e) Akses Layanan Kesehatan


Sebanyak 98,3 % responden dari 174 Kartu Keluarga memiliki
akses ke layanan kesehatan mungkin berupa alat transportasi atau
biaya yang dapat menghubungkan masyarakat dengan layanana
kesehatan. Lalu ada sebanyak 1,7% responden tidak memiliki akses
ke layanan kesehatan.

Gambar: B.1e Akses Layanan Kesehatan

f) Akses ke Sekolah
Sebanyak 96,6 % responden dari 174 Kartu Keluarga memiliki
akses ke sekolah. Lalu ada sebanyak 3,7% responden tidak memiliki
akses ke sekolah.
82

Gambar: B.1f Akses ke Sekolah

g) Kepemilikan Tanah
Dari 174 Kartu Keluarga terkait kepemilikan tanah di komunitas
atau di RW 09 Kelurahan Pasie Nan Tigo 66,1% memiliki
kepemilikan tanah, sedangkan 33,9% lainnya tidak memiliki
kepemilikan tanah.

Gambar: B.1g Kepemilikan Tanah


h) Kontribusi Masyarakat Terhadap Situasi di
Komunitas
Dari 174 Kartu Keluarga sebanyak 71,3% mengatakan bahwa
mereka setuju terlibat dan berkontribusi terhadap situasi yang
terjadi di wilayah tempat tinggal mereka baik dibidang kesehatan,
ekonomi ataupun sosial. Sebanyak 22,4 % responden mengatakan
83

tidak tahu apakah mereka benar terlibat dalam komunitas ini dan
6,3% responden mengatakan sangat setuju.

Gambar: B.1h Kontribusi Masyarakat Terhadap Situasi di


Komunitas

i) Komitmen Keadaan yang Lebih Baik dari


Masyarakat
Dari 174 Kartu Keluarga sebanyak 77% responden mengatakan
mereka mau berkomitmen untuk keadaan yang lebih baik dari
masyarakat, lalu 0,7% responden mengatakan mereka tidak setuju
dan 14,9% mengatakan mereka tidak tahu karena mereka merasa
tidak terlalu berpartisipasi dalam komunitas ini dan 7,4% responden
mengatakan sangat setuju.

Gambar: B.1i Komitmen Keadaan yang Lebih Baik dari


Masyarakat
84

j) Komitmen Mencapai Harapan ke Depan


Dari 174 Kartu Keluarga yang didata sebanyak 75,9% responden
mengatakan mereka setuju bahwa masyarakat berkomitmen untuk
mencapai harapan kedepan lalu sebanyak 15,5 % responden
mengatakan bahwa mereka tidak tahu dan 8% mengatakan sangat
setuju dengan pernyataan tersebut

Gambar: B.1j Komitmen Mencapai Harapan ke Depan

k) Usaha untuk Mencegah Bencana


Dari 174 Kartu Keluarga yang didata sebanyak 74,1% responden
mengatakan bahwa masyarakat di wilayah ini setuju berusaha
mencegah bencana dan 9,2% mengatakan mereka sangat setuju, lalu
sebanyak 16,1% mengatakan mereka tidak tahu.

Gambar: B.1k Usaha untuk Mencegah Bencana


85

l) Bencana yang Terjadi 5 Tahun Terakhir


Dari 174 Kartu Keluarga yang didata sebanyak 51,7% responden
mengatakan bahwa mereka terkena bencana. Lalu untuk bencana
yang dialami yaitu sebanyak 48,2% menjawab gempa bumi dan
sebanyak 50,6% menjawab banjir, lalu 11,5% menjawab tidak tahu.

Gambar: B.1l Bencana yang Terjadi 5 Tahun Terakhir

m) Kesiapan Masyarakat dalam Menghadapi


Bencana
Sebanyak 8,6% responden dari 174 Kartu Keluarga mengatakan
bahwa mereka tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana,
32,2% mengatakan memiliki persiapan. Lalu sebanyak 59,2%
mengatakan bahwa mereka tidak tahu mengenai kesiapan dalam
menghadapi bencana
86

n) Pemberi Informasi Mengenai Bencana


Sebanyak 43,1% responden mengatakan bahwa mereka tidak
mendapatkan informasi mengenai bencana dalam setahun terakhir,
25,9% mendapatkan informasi dari camat,lurah da RW/RT, 18,4%
mendapat informasi anggota masyarakat terlatih, lalu sebanyak 8%
mengatakan bahwa mendapatkan informasi lainnya.

o) Media Informasi Selama Setahun Terakhir


Sebanyak 81,6% responden mengatakan bahwa mereka
mendapatkan informasi mengenai bencana dari luar masyarakat
selama setahun terakhir yaitu radio, televisi dan internet. Sebanyak
14,4% responden mengatakan bahwa mereka tidak ada
mendapatkan informasi mengenai bencana.
87

p) Rute Evakuasi
Sebanyak 70,7% responden mengatakan bahwa mereka tau
mengenai rute evakuasi namun ada sebanyak 50% responden
memiliki respon tidak jelas terkait kemana rute evakuasi tersebut.

q) Titik Pertemuan atau Area Aman


Teridentifikasi
Sebanyak 45,4% responden mengatakan bahwa mereka tidak tahu
mengenai titik pertemuan atau area teridentifikasi dan 27%
responden mengatakan tahu. Namun sebanyak 27,6% mengatakan
tidak ada mengenai titik pertemuan atau area aman teridentifikasi.
88

r) Pelatihan Terhadap Kebencanaan


Sebanyak 71,3% responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah
mengikuti pelatihan p3k, 27,6% responden mengatakan bahwa
mereka tidak tahu latihan simulasi bencana atau latihan evakuasi,
sebanyak 1,1% responden mengatakan bahwa mereka mengikuti
melakukan pertemuan kesiapsiagaan bencana

s) Barang yang Akan dibawa saat Evakuasi


Sebanyak 43,3% responden akan membawa P3K saat evakuasi jika
terjadi bencana dan sebanyak 24,1% responden akan membawakan
makanan dalam kemasan atau kaleng saat evakuasi jika terjadi
bencana, lalu sebanyak 20,1% responden memilih membawa uang
dan 8% memilih membawa selimut ketika terjadi bencana.
89

t) Tidakan untuk Mengurangi Risiko Terkena


Dampak Bencana
Sebanyak 32,2% responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah
terpikir untuk mengambil tindakan untuk mengurangi risiko terkena
dampak dari bencana banjir. Sebanyak 18 % responden mengatakan
mereka tidak tahu apa tindakan untuk mengurangi risiko terkena
dampak dari bencana banjir.

b. Data Lansia
1. Jumlah Lansia di Masing-masing RT
Jumlah sample lansia yang ada di RW 009 Kelurahan Pasie Nan
Tigo ada sebanyal 20 orang yang masing-masing tersebar di
keempat RT, jumlah lansia terbanyak berada pada rt 01 yaitu
sebnyak 72,4%
90

2. Dengan Siapa Lansia Tinggal


Sebanyak 83,9% lansia mengatakan bahwa mereka tinggal
bersama keluarga, sebanyak 11,5% lansia tinggal bersama
pasangan dan sebanyak 4,7% lansia tinggal sendiri

3. Kegiatan Sehari-hari
Sebanyak 79,3% lansia mengatakan kegiatan mereka banyak
bekerja dan ada sebanyak 19,7 % lansia mengatakan mereka hanya
dirumah
91

4. Cara Menghindari Resiko Bencana


Sebanyak 53,6% mengatakan salah bahwa mereka tetap menunggu
didalam rumah ketika terdapat bencana banjir dan 46,4%
mengatakan bahwa benar bahwa mereka tetap menunggu di dalam
rumah ketika bencana banjir

5. Saat Terjadi Gempa Apa yang Dilakukan


Sebanyak 78,2 % lansia mengatakan pada saat terjadi gempa bumi
mereka lebih memilih untuk berlari keluar dan sebanyak 21,8%
mengatakan bahwa mereka tetap berada didalam bangunan ketika
terjadi gempa. Dan sebanyak 75,4% lansia mengatakan mereka
dapat berlari sendiri keluar tanpa bantuan orang lain saat terjadi
gempa bumi dan sebanyak 24,6% lansia mengatakan bahwa
mereka tidak dapat berlari keluar saat terjadi bencana tanpa
bantuan orang lain. Orang yang membantu lansia keluar rumah
92

saat terjadinya bencana alam adalah anak, pasangan atau anggota


keluarga yang lain.

3. Analisa Data
DATA Masalah Keperawatan
Agregat Dewasa Defisiensi Pengetahuan b.d Kurang
1. Dari jumlah agregat dewasa terpaparnya informasi d.d
sebanyak 1135 jiwa 77,5% ketidakdekuatan pemberian informasi
tidak mengetahui titik tentang kesiapsiagaan bencana di Rw 09
kumpul serta 63,4% Kelurahan pasie Nan Tigo
diantaranya tidak
mengetahui jalur evakuasi di
Rw 09 Kel. Pasie Nan Tigo
2. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa 50,7%
tidak mengetahui informasi
tentang bencana di Rw 09
Kel. Pasie Nan Tigo
3. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa 64,8%
93

mengatakan tidak paham


tentang informasi bencana
4. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa
mengatakan bencana alam
yang mengancam Rw 09
38% mengatakan gempa
bumi, 27% mengatakan
banjir dan 34% mengatakan
tsunami
5. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa
mengatakan bencana yang
terjadi dalam 5 tahun
terakhir 51% mengatakan
gempa, 29% mengatakan
banjir,3% mengatakan angin
kencang
6. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa 67,6
tidak ada sistem peringatan
sirine/kentongan
7. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa 62%
mengatakan tidak tahu tanda
tanda sebelum terjadi
tsunami
8. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa 70,4%
mengatakan tidka tahu
tentang barang yang perlu
94

dibawa saat bencana


9. Dari jumlah agregat dewasa
sebanyak 1135 jiwa
diantaranya mengatakan
barang yang dibawa saaat
terjadi bencana 32%
membawa dokumen
penting, 33,8% mengatakan
tidak membawa barang
Agregat Anak dan Remaja Defisiensi Pengetahuan b.d Kurang
1. 65.8% anak dan remaja terpaparnya informasi d.d
tidak mendapatkan ketidakdekuatan pemberian informasi
pendidikan tentang tentang kesiapsiagaan bencana di Rw 09
bencana di sekolah dan Kelurahan pasie Nan Tigo
69.6% anak dan remaja
kurang paham tentang
informasi yang diberikan.
2. 100% anak dan remaja
tidak tahu apa yang harus
dibawa saat menyelamatan
diri.
3. 92.1% anak dan remaja
mendengar tentang tas
bencana.

Agregat Ibu Hamil Defisiensi Pengetahuan b.d Kurang


terpaparnya informasi d.d
1. Berdasarkan data kuisioner, ketidakdekuatan pemberian informasi
terdapat 100% (4 orang) ibu tentang kesiapsiagaan bencana di Rw 09
hamil mengatakan tidak tau Kelurahan pasie Nan Tigo
tentang cara menghadapi
gempa bumi.

2. Berdasarkan hasil data


95

kuisioner, didapat 75% (3


orang) ibu hamil tidak
memiliki rencana untuk
keadaan darurat, dan 25% (1
orang) ibu hamil mempunyai
rencana keadaan darurat.

3. Berdasarkan hasil data


kuisioner, terdapat 100% (4
orang) ibu Hamil tidak
mengetahui titik pertemuan
atau area aman diluar rumah
untuk berkumpul setelah
gempa.

4. Berdasarkan data hasil


kuisioner, didapatkan
sebanyak 50% (2 orang) ibu
hamil akan berlari keluar
ruangan cukup aman agak
tidak terkena reruntuhan
gempa, dan sebanyak 50%
(2 orang) ibu hamil
mengatakan tidak akan
berlari keluar ruangan.

5. Berdasarkan hasil kuisioner,


didapatkan 100% (4 orang)
ibu hamil mengatakan tidak
pernah memdapatkan
pelajaran mengenai tsunami.

6. Berdasarkan hasil data


kuisioner, didapatkan 50%
(2 orang) ibu hamil
mengatakan setuju untuk
berlindung dibawah kolong
meja adalah tindakan awal
yang aman, dan 50% (2
orang) mengatakan tidak
setuju berlindung dibawah
kolong meja adalah tindakan
96

awal yang aman.

7. Berdasarkan data hasil


kuisioner, didapatkan 75%
(3 orang) ibu hamil tidak
mengetahui tentang bencana,
dan 25% (1 orang) ibu hamil
mengetahui tentang bencana.

8. Berdasarkan hasil data


kuisioner, didapatkan 100%
(4 orang ) ibu hamil
mengatakan Informasi
kesehatan ibu hamil yang
dibutuhkan saat ini adalah
kesiapsiagaan menghadapi
bencana.

9. Berdasarkan data kuisioner,


didapatkan 100% (4 orang )
ibu hamil tidak mengetahui
siapa yang akan dihubungi
pada keadaan darurat.

Agregat Lansia Defisiensi Pengetahuan b.d Kurang


1. Dari jumlah agrerat lansia terpaparnya informasi d.d
sebanyak 36 lansia 97.2%
ketidakdekuatan pemberian informasi
mengatakan tidak terjadi
bencana di RW 09 Kel. tentang kesiapsiagaan bencana di Rw 09
Pasie Nan Tigo dalam 5
Kelurahan pasie Nan Tigo
tahun terakhir.
2. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 44.4%
belum mengetahui akibat
97

atau resiko bencana.


3. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 58.3%
mengatakan tidak ada
sistem peringatan seperti
sirine atau kentongan pada
RW 09 Kel. Pasie Nan
Tigo.
4. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 94.4%
mengatakan tidak pernah
mendapatkan informasi
tentang bencana alam dan
non alam.
5. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia
mengatakan bahaya yang
mengancam wilayah RW
09 Kel. Pasie Nan Tigo
adalah 94.4% gempa
bumi, 72.2% tsunami,
44.4% banjir dan 8.3%
adalah bencana lainnya.
6. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 72.2%
mengatakan tidak
mengetahui dimana
kumpul bencana.
7. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 100%
mengatakan tidak pernah
mengikuti pelatihan
kebencanaan.
8. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 63.9%
mengatakan tida
mengetahui tanda-tanda
sebelum terjadinya
tsunami.
9. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 61.1%
mengatakan bahwa
kesiapsiagaan adalah
serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk
menyiapkan diri terhadap
98

bencana secara tepat dan


cepat, 30.6% mengatakan
kesiapsiagaan adalah
kemampuan untuk
menghadapai bencana dan
8.3% lansia tidak
mengetahui tentang
kesiapsiagaan.
10. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 97.2%
mengatakan tidak ada
yang perlu disiapkan
untuk menghadapi
bencana.
11. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 63.9%
mengatakan tidak ada
barang atau perlengkapan
yang perlu dibawa jika
terjadi bencana gempa
bumi, 25% mengatakan
perlu membawa surat-
surat penting seperti akta
keluarga, tanah dan
perkawinan, dan 11.1 %
lansia mengatakan perlu
membawa makanan dan
obat-obatan saat terjadi
bencana gempa bumi.
12. Dari jumlah agrerat lansia
sebanyak 36 lansia 50%
tidak mengetahui dimana
jalur evakuasi
PLAN OF ACTION (POA) KEPERAWATAN BENCANA
AGREGA MASALAH PENANGGUNG
KEGIATAN TUJUAN SASARAN WAKTU TEMPAT
T KESEHATAN JAWAB

Dewasa Defisiensi 1) Membentuk a. Seluruh Warga RW Desember Mushalla Kelompok 4


Pengetahuan b.d dan melatih masyarakat 09 2021 Al-
kurang terpapar kader Siaga memahami Kelurahan Muqarrabin
informasi d.d Bencana dan proses Pasie Nan
ketidakadekuatan strukturnya mitigasi Tigo
pemberian yang terdiri dari dalam Kecamatan
informasi ketua, dan menanggapi Koto
tentang anggota: kader bencana tangah
kesiapsiagaan dewasa di RW b. Meningkatkan Kota
bencana 09 Kelurahan pengetahuan Padang
Pasie Nan Tigo masyarakat
Kecamatan mengenai
Koto tangah bencana alam
Kota Padang c. Terciptanya
2) Melakukan masyarakat
sosialisai yang tangguh

99
100

perencanaan bencana
proses mitigasi
(PraBencana,
Tanggap
darurat, dan
Pasca
Bencana).
3) Simulasi
bencana
bersama kader
dan masyarakat
Anak dan 1) Membentuk 1) Seluruh anak Lansia RW Desember Mushalla Kelompok 4
Remaja dan melatih dan remaja 09 2021 Al-
kader Siaga memahami Kelurahan Muqarrabin
Bencana dan proses Pasie Nan
strukturnya mitigasi Tigo
yang terdiri dari dalam Kecamatan
ketua, dan menanggapi Koto
anggota: kader bencana tangah
101

anak dan 2) Meningkatkan Kota


remaja di RW pengetahuan Padang
09 Kelurahan anak dan
Pasie Nan Tigo remaja
Kecamatan mengenai
Koto tangah bencana alam
Kota Padang 3) Terciptanya
2) Melakukan anak dan
sosialisai remaja yang
perencanaan tangguh
proses mitigasi bencana
(PraBencana,
Tanggap
darurat, dan
Pasca Bencana)
pada anak dan
remaja RW 09
Kelurahan
Pasie Nan Tigo
102

4) Simulasi
bencana
bersama kader
dan masyarakat
Ibu hamil 3) Membentuk 4) Seluruh lansia Lansia RW Desember Mushalla Kelompok 4
dan melatih memahami 09 2021 Al-
kader Siaga proses Kelurahan Muqarrabin
Bencana dan mitigasi Pasie Nan
strukturnya dalam Tigo
yang terdiri dari menanggapi Kecamatan
ketua, dan bencana Koto
anggota: kader 5) Meningkatkan tangah
ibu hamil di pengetahuan Kota
RW 09 Ibu Hamil Padang
Kelurahan mengenai
Pasie Nan Tigo bencana alam
Kecamatan 6) Terciptanya
Koto tangah Ibu Hamil
Kota Padang yang tangguh
103

4) Melakukan bencana
sosialisai
perencanaan
proses mitigasi
(PraBencana,
Tanggap
darurat, dan
Pasca Bencana)
pada ibu hamil
RW 09
Kelurahan
Pasie Nan Tigo
5) Simulasi
bencana
bersama kader
dan masyarakat
Lansia Defisiensi 5) Membentuk 7) Seluruh lansia Lansia RW Desember Mushalla Kelompok 4
Pengetahuan dan melatih memahami 09 2021 Al-
b.d kurang kader Siaga proses Kelurahan Muqarrabin
104

terpapar Bencana dan mitigasi Pasie Nan


informasi d.d strukturnya dalam Tigo
ketidakadekuatan yang terdiri dari menanggapi Kecamatan
pemberian ketua, dan bencana Koto
informasi anggota: kader 8) Meningkatkan tangah
tentang lansia di RW 09 pengetahuan Kota
kesiapsiagaan Kelurahan lansia Padang
bencana pada Pasie Nan Tigo mengenai
lansia Kecamatan bencana alam
Koto tangah 9) Terciptanya
Kota Padang lansia yang
6) Melakukan tangguh
sosialisai bencana
perencanaan
proses mitigasi
(PraBencana,
Tanggap
darurat, dan
Pasca Bencana)
105

pada lansia RW
09 Kelurahan
Pasie Nan Tigo
7) Simulasi
bencana
bersama kader
dan masyarakat
4. Mapping

106
107
108

5. Table Top
109

6. Dokumentasi Daerah

Anda mungkin juga menyukai