Anda di halaman 1dari 4

Nama: Muhammad Adriyan

Npm:2207210010

Manajemen Mitigasi Bencana dengan Kelembagaan Masyarakat di Daerah Rawan


Bencana Kabupaten Garut Indonesia

Bencana merupakan suatu fenomena yang acapkali ditemukan di Indonesia, tidak


jarang bencana terjadi dengan membawa duka dan kerugian materiil. Masyarakat Indonesia
sudah dapat memahami karakteristik bencana yang akan terjadi, jauh sebelum teknologi
canggih berkembang seperti zaman kekinian, walaupun memang pada kenyataannya
teknologi dapat membantu meminimalisasi kerugian yang ditimbulkan dari bencana alam
sekalipun tidak selamanya bekerja sesuai harapan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dijelaskan bahwa wilayah Negara kesatuan
Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, biologis, hidrologis, dan demografis yang
memungkinkan terjadinya bencana, baik yang di sebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam,
maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat
menghambat pembangunan nasional. Diperlukan tanggap darurat bencana yang merupakan
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Manajemen mitigasi bencana di
Indonesia kemudian diatur juga dalam Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan penanggulangan Bencana, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Selain itu juga terdapat Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah, serta Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 tahun
2008 tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana. Rangkaian peraturan
terkait dengan bencana.
Lembaga yang berhak memiliki kewenangan atas tanggung jawab untuk mitigasi
bencana adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebagai lembaga
pemerintah nonkementerian yang memiliki tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan
mitigasi bencana. Secara bertingkat lembaga ini terdapat ditingkat provinsi dan
Kabupaten/Kota dan memiliki tugas diantaranya memberikan pedoman dan pengarahan
terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan
tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara. Selain itu juga berhak
menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat seperti
kegiatandesa tanggap bencana, pelatihan dan edukasi masyarakat dan kegiatan bakti
lingkungan. Masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya mitigasi bencana oleh BNPB guna
sebagai penanggulangan bencana pada prabencana serta pemberdayaan masyarakat. Peran
publik dalam manajemen bencana kian menjadi sorotan di berbagai negara dunia terlebih di
Indonesia (Lindel & Perry, 1992). Terdapat beberapa faktor, diantaranya pengembangan
aturan mengenai manajemen bencana memberikan dampak terhadap masyarakat setempat
untuk memiliki pengetahuan akan bahaya bencana dan rencana mitigasi. Adapun mengenai
hal lain yang berkenaan dengan bagaimana cara penyampaian informasi dan bagaimana
bereaksi terhadap informasi tersebut merupakan hal yang kemudian menjadi persoalan bagi
praktisi dan peneliti (Gow & Otway, 1990; Fisher, 1991); Publik berperan aktif dalam proses
pencegahan dan perlindungan, hal ini menyangkut faktor-faktor yang memotivasi mereka
untuk melakukannya (Larson & Enander, 2016); dan masyarakat sudah melakukan
kesiapsiagaan dan dapat melakukan tindakan darurat secara lebih baik ketika dalam kondisi
krisis (Weisaeth, 1989), hal ini kemudian menimbulkan persoalan tentang bagaimana
meningkatkan keterlibatan dan peningkatan kemampuan publik guna mengurangi kerentanan
masyarakat dalam situasi bencana.

PERAN DAN KEPEMIMPINAN PERAWAT DALAM MANAJEMEN BENCANA


PADA FASE TANGGAP DARURAT

Bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (BNPB,
2008). Bencana alam atau musibah yang menimpa di suatu negara dapat saja datang secara
tiba-tiba, sehingga masyarakat yang berada di lokasi musibah bencana, tidak sempat
melakukan antisipasi pencegahan terhadap musibah tersebut. Secara geografis wilayah
Indonesia terletak di dalam jalur lingkaran bencana gempa (ring offire), dimana jalur
sepanjang 1.200 km dari Sabang sampai Papua merupakan batas-batas tiga lempengan besar
dunia yaitu; lempengan Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik akan berpotensi memicu berbagai
kejadian bencana alam yang besar. Indonesia juga berada pada tiga sistem pegunungan
(Alpine Sunda, Circum Pasifik dan Circum Australia). Indonesia memiliki lebih 500 gunung
berapi di antaranya 128 statusnya masih aktif, dan merupakan negara kepulauan karena 2/3
dari luas Indonesia adalah laut, memiliki hampir 5.000 sungai besar dan kecil dan 30%
diantaranya melintasi wilayah padat penduduk (Paidi, 2012). Lebih-lebih Indonesia kini
termasuk dalam daftar negara paling beresiko bencana (dilansir Badan Pencegahan Bencana
PBB atau United Nations International Strategy for Disaster Reduction). Dalam daftar ini,
negara-negara di Asia mendominasi dan Indonesia berada di posisi sembilan (sangat tinggi)
bersama Bangladesh, China, India dan Myanmar. Data disusun berdasarkan bencana sejak
tahun 1977 sampai 2009, yang tidak hanya mengukur resiko bencana, namun juga
menunjukkan kemampuan negara dan masyarakat di negara bersangkutan dalam
mengagulangi bencana. Tidak mengherankan bila Indonesia Oleh masyarakat Internasional
dikenal sebagai supermarket bencana, karena hampir semua jenis bencana ada di Indonesia
(Agus, 2009).
Dalam situasi darurat bencana sering terjadi kegagapan penanganan dan
kesimpangsiuran informasi dan data korban maupun kondisi kerusakan, sehingga
mempersulit dalam pengambilan kebijakan untuk penanganan darurat bencana. Sistem
koordinasi juga sering kurang terbangun dengan baik, penyaluran bantuan, distribusi logistic
sulit terpantau dengan baik sehingga kemajuan kegiatan penangan tanggap darurat kurang
terukur dan terarah secara obyektif. Situasi dan kondisi di lapangan yang seperti itu
disebabkan belum terciptanya mekanisme kerja pos komando dan koordinasi tanggap darurat
bencana yang baik, terstruktur dan sistematis (Muhammadiyah Disaster Manajemen Center,
2011). Secara umum manajemen siklus penaggulangan bencana meliputi:
1) kejadian bencana (impact)
2) tanggap darurat (emergency response)
3) pemulihan (recovery)
4) pembangunan (development)
5) pencegahan (preventation)
6) mitigasi (mitigation)
7) kesiapsiagaan (preparedness)
Kemenkes RI, (2006). Pengambilan keputusan yang efektif dan efisien dalam
merespon bencana mutlak ditopang oleh informasi yang didapat oleh pihak pengambil
keputusan. Jika informasi tidak benar, bisa dipastikan keputusan akan salah dan intervensi
yang dilakukan juga tidak tepat (tidak efektif), juga sangat dimungkinkan menghambur-
hamburkan sumberdaya dan sumber dana (tidak effisien).

Manajemen Komunikasi Bencana Merapi 2010 pada saat Tanggap Darurat


Indonesia sangat rentan terhadap ancaman berbagai jenis bencana alam. Hal ini terlihat pada ciri-ciri
sebagai berikut (Asmadi, 2010);
1) Memiliki 129 gunung berapi aktif dan 70 gunung diantaranya potensial dikategorikan sangat
berbahaya
2) Memiliki 5.590 sungai utama yang potensial banjir
3) Memiliki 17.508 pulau ± 440 suku bangsa dan ± 13.000 dialek
4) Berada di antara dua benua dan dua lautan besar, potensial terjadi angin
5) Memiliki pantai; 81.487 km = 2 x panjang keliling bumi. Berdasarkan kondisi tersebut
maka Indonesia merupakan negeri yang rawan bencana alam dan bencana sosial. Tahun demi tahun
negeri ini tidak lepas dari bencana. Kasus tsunami Aceh tahun 26 Desember 2004 yang menewaskan
nyawa manusia hingga 228.432 jiwa, tsunami Nias 2005, gempa di DIY dan Jateng 27 Mei 2006 yang
menghilangkan nyawa sekitar 6000 orang dan lebih 100.000 rumah hancur. Tanggal 30 Oktober 2009
lebih dari 1000 orang tewas dalam gempa di Padang Sumatera Barat (Arif, Ahmad, 2010). Gunung
Sinabung meletus pada Sabtu 28 Agustus 2010, jumlah pengungsi mencapai 27,489 jiwa (Dokumen
Kominfo Kabupaten Karo, 8 September 2010), disusul Merapi meletus 26 September 2010 dengan
kerusakan dan kerugian diperkirakan sebesar 2,1 trilyun rupiah, korban meninggal 277 jiwa
(http://bencana.bappenas.go.id/imdff/renaksimerapi, diakses 9 Mei 2012). Hal ini memperlihatkan
banyak masalah terkait dengan penanganan korban manusia, harta benda, kerusakan lingkungan,
pranata sosial dan konflik sosial yang bisa mengarah ke disintegrasi bangsa. Cara berpikir warga
masyarakat dan manajemen pemerintah tidak banyak berubah. Proses mitigasi masih tersengal-sengal
tak mampu mengikuti ritme bencana yang menyebar dengan pesat . Berbeda dengan warga Jepang
yang sangat sadar akan ancaman gempa dan tsunami, bahkan ketika tengah malam harus dievakuasi,
mereka sudah siap melakukannya dengan cepat (Arif, Ahmad, 2010:22)
Model siklus bencana menggambarkan proses manajemen bencana. Manajemen bencana
yaitu seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada
sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana yang dirancang untuk memberikan kerangka kerja
bagi orang-perorangan atau komunitas yang berisiko terkena bencana untuk menghindari,
mengendalikan risiko, mengurangi, menanggulangi maupun memulihkan diri dari dampak
bencana. Pengurangan resiko bencana sangat terkait dengan pengelolaan bencana. Menurut
Adhitya, Barry, dan kawan-kawan (2009:21) model siklus memandang bencana sebagai
kejadian-kejadian berurutan dengan titik berat pada saat seketika, sebelum, dan sesudah
kejadian bencana. Model siklus manajemen bencana yang berlangsung menunjukkan bahwa
sebelum bencana datang diperlukan kesiapsiagaan, mitigasi, dan pencegahan. Setelah
bencana datang diperlukan penanganan darurat (tangap darurat), rehabilitasi (perbaikan
akibat bencana), dan rekonstruksi (pembangunan kembali). Menurut Ramli, Soehatman
(2010:28) manajemen bencana merupakan upaya sistematis dan kom-prehensif untuk
menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan
korban dan kerugian yang ditimbulkan. Manajemen komunikasi bencana merupakan upaya
yang komprehensif untuk mencegah dan mengurangi resiko bencana dengan mengelola
proses produksi pesan-pesan atau informasi tentang bencana, penyebaran pesan dan
penerimaan pesan dari tahap prabencana, saat terjadi bencana dan pascabencana.

Anda mungkin juga menyukai