Anda di halaman 1dari 10

MITIGASI BENCANA TSUNAMI PANGANDARAN JAWA BARAT

Dususun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Manajemen Bencana

Di Susun Oleh :
BIRRY ASSIDIQY
NPM 220120220502

PEMINATAN MANAJEMEN KEPERAWATAN


PRODI MAGISTER KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
LATAR BELAKANG

Salah satu peristiwa tsunami terbesar di masa lalu yaitu peristiwa tsunami yang dikenal
dengan sebutan Tsunami Pangandaran, tsunami tersebut terjadi setelah gempa yang terjadi pada
tanggal 17 Juli 2006 dengan besaran momen 2 sebesar 7,7 SR. Gempa bumi tersebut terjadi
sebagai akibat dari dorongan patahan di perbatasan antara dua lempeng tektonik dan
menghasilkan gelombang tsunami yang menyertainya setinggi 3-5 meter yang melanda pantai
selatan Pulau Jawa, Indonesia

Pantai Pangandaran ialah salah satu pantai yang terletak di selatan Pulau Jawa dan
sangat rawan akan terjadinya gempa dan tsunami. Hal ini dikarenakan letaknya yang berada di
tumbukan (subduction zone) diantara Lempeng Indo Australia dan Eurasia. Kejadian pada
tanggal 17 Juli 2006 dimana terjadi gempa dan tsunami pangandaran yang menyebabkan 405
korban jiwa meninggal, 27 jiwa dinyatakan hilang, 274 jiwa 4 luka-luka, dan 13.198 jiwa
lainnya mengungsi (Bappenas, 2006). Selain korban jiwa atau kematian, tsunami juga dapat
menimbulkan dampak lain seperti kerugian materi dan hilangnya barang berharga, rusaknya
sarana dan prasarana tertutama yang berada di kawasan pesisir pantai, terhambatnya
perekonomian, bahkan sampai terganggunya psikologis masyarakat (Pratomo, 2013). Maka
dari itu, perencanaan mitigasi bencana sangat dibutuhkan guna meminimalisir terjadinya risiko
bencana. Membangun kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana sedini mungkin adalah
suatu hal yang diharuskan dalam upaya pencegahan bencana. Hal ini seiring dengan munculnya
perubahan paradigma terkait penanggulangan bencana yang awalnya berorientasi pada respon
kedaruratan akibat bencana (fatalistic responsive) menjadi penanggulangan bencana dilakukan
sedini mungkin (proactive preparedness) mulai dari pencegahan dan kesiapsiagaan hingga
sampai tahap pemulihan rehabilitasi. Dengan demikian, masyarakat dan pemerintah supaya
dapat bersama-sama melakukan pencegahan untuk meminimalisir terjadinya risiko akibat
bencana (Raja, Hendarmawan, & Sunardi, 2017). Selain itu, perlu juga untuk dibuatnya zonasi
rawan bencana tsunami supaya masyarakat di sekitar kawasan pesisir Pantai Pangandaran dapat
melakukan mitigasi bencana dengan semestinya.

Kabupaten Pangandaran terkenal sebagai daerah wisata terutama keindahan pantainya


yang menarik banyak pengunjung. Disamping keindahan panoramanya, Kabupaten
Pangandaran termasuk daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami, baik yang berpusat di
darat maupun yang bersumber dari zona subduksi di Samudera Hindia. Lokasi Pantai
Pangandaran berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran yang berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia sehingga secara tektonik sangat aktif, karena merupakan pertemuan
antara Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Benua Eurasia. Jumlah kejadian
terjadi sebanyak 683 kejadian dengan rentang kekuatan 3 – 7,7 SM. Gempa dengan kekuatan
lebih kecil dari 5 SM terjadi sebanyak 585 kali, gempa berkekuatan 5,1 – 6 SM terjadi 94 kali,
gempa berkekuatan 6,1 – 7 SM terjadi sebanyak 3 kali dan gempa dengan kekuatan di atas 7
SM hanya terjadi sekali (Firmansyah, 2012)
PEMBAHASAN
Berdasarkan latar belakang diatas yang menyebutkan bahwa daerah pangandaran
menjadi daerah yang rawan akan bencana Tsunami, maka dari pada itu diperlukan adanya
penanggulangan bencana agar dapat meminimalisir kerugian yang diakibatkan tsunami
tersebut, diantaranya diperlukannya Mitigasi Bencana.
Mitigasi didefinisikan sebagai “aksi yang mengurangi atau menghilangkan risiko
jangka panjang bahaya bencana alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta benda”
(FEMA, 2000). Mitigasi merupakan segala bentuk usaha yang dilakukan oleh berbagai lini
secara terpadu mulai dari masyarakat, pemerintah, dan wirausaha.
3 unsur utama dalam model mitigasi bencana, adalah:
1. Penilaian bahaya (hazard assessment)
2. Peringatan (warning)
3. Persiapan (preparadness)
Dari ketiga unsur di atas, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DPKPB)
Kab. Pangandaran sudah memilikinya, yakni:
1. Penilaian bahaya dapat dilihat melalui peta rawan bencana melalui Kajian Risiko
Bencana (KRB)
2. Wilayah Kabupaten Pangandaran memiliki 14 Tsunami Early Warning System
(TEWS), 12 TEWS manual, 2 lainnya tersentral di Tower Telkom Pangandaran dan
Tower BMKG Bojongsalawe. Dan setiap tanggal 26 tiap bulan akan dilakukan
penyalaan sirine, sebagai alat uji coba
3. Persiapan yang sudah dan sedang dilakukan oleh DPKPB antara lain dengan
pengecekan dan pemasangan kembali rambu-rambu evakuasi tsunami, serta program
inovasi WEB-GTS yang dilakukan setiap hari Rabu.
Langkah mitigasi tsunami lainnya yang sudah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan
membuat bangunan Shelter atau Tempat Evakuasi Sementara (TES), yang berlokasi di Pasar
Wisata Pangandaran. Dimana bangunan TES tersebut merupakan hibah dari BPNB dan
KemenPUPR.
Gambar 1 Tempat Evakuasi Sementara (TES) atau Shelter di Pasar Wisata Pangandaran

Sedangkan penerapan teknologi informasi terhadap tanda-tanda bencana alam yang sudah
dimiliki antara lain:
1. Radio komunikasi, meskipun masih ada beberapa kendala jaringan, tetapi kami terus
melakukan peningkatan kualitas;
2. Telepon
3. Pengeras suara
4. Kentongan
5. Sirine TEWS, yaitu Sirine Kantor Telkom Pangandaran dan Sirine TEWS
Bojongsalawe
6. Aplikasi 121 Video Dialer by Infocus yang terhubung ke Mondopad Pusdalops-PB
Kabupaten Pangandaran
Gambar 2 TEWS di Tower Telkom Pangandaran

Gambar 3 TEWS di Tower Telkom Bojongsalawe

Sedangkan pelaksanaan kegiatan saat pra bencana yang dilakukan dinas Kesehatan kabupaten
pangandaran diantaranya yaitu :

1. Membuat rencana kegiatan upaya pencegahan,mitigasi dan kesiapsiagaan


penanggulangan bencana
2. Membuat peta geomedik daerah rawan bencana
3. Membuat rencana kontinjensi
4. Menyelenggarakan pelatihan termasuk didalamnya gladi posko dan gladi lapang
dengan melibatkan semua unit terkait
5. Membentuk pusdalop penanggulangan bencana
6. Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat
7. Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang mungkin terjadi ;
a. Jumlah dan lokasi puskesmas
b. Jumlah ambulans
c. Jumlah tenaga Kesehatan
d. Jumlah RS termasuk fasilitas Kesehatan lainnya
e. Obat dan pembekalan Kesehatan
f. Unit tranfusi darah
8. Mengadakan kordinasi lintas program dan lintas sector meliputi sinkronisasi kegiatan
penanggulangan bencana dengan provinsi dan kecamatan
9. Melakukan monev terhadap pelaksanaan penanggulangan kesiapsiagaan bencana
KESIMPULAN
Kabupaten Pangandaran termasuk daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami,
baik yang berpusat di darat maupun yang bersumber dari zona subduksi di Samudera Hindia.
Lokasi Pantai Pangandaran berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia sehingga secara tektonik sangat aktif, karena
merupakan pertemuan antara Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Benua Eurasia.
Jumlah kejadian terjadi sebanyak 683 kejadian dengan rentang kekuatan 3 – 7,7 SM. Gempa
dengan kekuatan lebih kecil dari 5 SM terjadi sebanyak 585 kali, gempa berkekuatan 5,1 – 6
SM terjadi 94 kali, gempa berkekuatan 6,1 – 7 SM terjadi sebanyak 3 kali dan gempa dengan
kekuatan di atas 7 SM hanya terjadi sekali, perencanaan mitigasi bencana sangat dibutuhkan
guna meminimalisir terjadinya risiko bencana. Membangun kesiapsiagaan masyarakat
menghadapi bencana sedini mungkin adalah suatu hal yang diharuskan dalam upaya
pencegahan bencana
DAFTAR PUSTAKA
Amri M R, Yulianti G, Yunus R, Sesa W, Asfirmanto W A And Rizky T S (2016). Risiko
Bencana Indonesia Risiko Bencana Indonesia (Jakarta: Bnpb) P 218

Anggraini, D. et al. (2010) ‘Modul Pembelajaran Sistem Informasi Manajemen Bencana


Berbasis Web GIS’, Research Gate, 3(6), pp. 1–6.

Anggun, T., Putera, R. E., & Liesmana, R. (2020). Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengurangan Risiko Bencana Banjir di Kecamatan Padang Selatan. JDKP Jurnal Desentralisasi
dan Kebijakan Publik, 1(2), 123-137.

Anonim, (2006), ”Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana”, Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Naional dan Badan Koordinasi Nasional Pengananan Bencana.

Anonim, (2006). Pengembangan Framework Untuk Mengukur Kesiapsiagaan Masyarakat


Terhadap Bencana Alam. LIPI-UNESCO/ISDR. Diunduh 4 Juni 2013.

Anonim, (2008), ”Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana” Badan Nasional


Penganggulangan Bencana (BNPB) Anonim. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Tentang
Penanggulangan Bencana.

Armus R, Noor A, Ahmad A And Lukman M (2018). Surface Temperature Distribution


Analysis Using Remote Sensing System In Spermonde Estuary Hasanuddin University Vol 19,
No 2 (2018) Online

Arnold, E. P. (1986) ‘No TitleSouthest Asia Association on Seismology and Earthquake


Engineering’, Indonesia: Series on Seismology, V.

Awaludin. Undang-Undang Republik Indanesia Namar 24 Tahun 2007 Tentang


Penanggulangan Bencana.Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2007.

Bachtiar, E. et al. (2021) Pengetahuan Kebencanaan dan Lingkungan. Medan: Yayasan Kita
Manulis.

Bahransyaf, D. (2017). Pemberdayaan Masyarakat Pasca Bencana Berbasis Penelitian. Sosio


Konsepsia, 14(1), 47-56.

Balsiger J And Debarbieux B (2011). Major Challenges In Regional Environmental


Governance Research And Practice Procedia - Social And Behavioral Sciences 14 1–8
Bappenas (2005) ‘Bab 33 Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
dan Sumatera Utara’. Available at: https://www.bappenas.go.id/files/2113/5228/3473/bab-33-
rehabilitasidan-rekonstruksi-nanggroe-aceh-darussalam-nad-dan-sumatera

Anda mungkin juga menyukai