Pantai selatan Pulau Jawa merupakan daerah yang berpotensi terjadi gempa bumi dengan
kekuatan 9 skala Richter sehingga dapat menyebabkan terjadinya tsunami. Hal tersebut
disebabkan karena bentuk wilayah yang berada diantara palung laut dalam dan bagian kerak
Samudera Indonesia (atau Samudera Hindia) yang bersisian dengan palung Jawa. Pada tanggal
17 Juli 2006, terjadi gempa bumi dan tsunami di selatan pantai Pangandaran. Pusat Gempa
Nasional Badan Meteorologi dan Geofisika atau PGN BMG memberikan pernyataan jika
bencana tersebut terjadi pada lokasi pantai Pangandaran pukul 15.19 dengan berkekuatan 6,8
Skala Richter (SR) dan ketinggian rayapan tsunami sekitar 21 meter, dengan pusat gempa
tektonik pada kedalaman kurang dari 30 km di titik 9,4 Lintang Selatan, dan 107,2 Bujur Timur.
Pusat gempa tepatnya berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar 150 km, dan
merupakan zona pertemuan dua lempeng benua Indo-Australia dan Eurasia pada kedalaman
kurang dari 30 km. Dikutip dari tribunnews.com, kejadian tersebut merenggut 300 orang
meninggal dunia, 301 luka berat, 551 luka ringan dan 156 orang hilang, dengan jumlah
pengungsi yang diperkirakan 43.759 orang.
Kompetensi seorang petugas manajemen kesehatan pada bencana gempa bumi dan
tsunami dapat dilakukan dalam tiga bentuk tahapan yaitu pra bencana, saat bencana, dan pasca
bencana.. Kegiatan prabencana oleh manajemen kesehatan dapat dilakukan dengan membuat
peta geomedik daerah rawan bencana, melakukan pembuatan jalur evakuasi, menerima dan
menindaklanjuti informasi peringatan dini (early warning system), membuat perencanaan
kegiatan upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan penanggulangan bencana, membuat
perencanaan kontinjensi, menyelenggarakan pelatihan termasuk didalamnya gladi posko dan
gladi lapang, pembentukan dan pengembangan Tim Reaksi Cepat (TRC), membentuk Pusdalops
PB (Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana), melakukan inventarisasi sumber
daya yang sesuai dengan potensi bahaya gempa bumi dan tsunami yang mungkin terjadi,
melaksanakan koordinasi lintas program dan lintas sektor, serta monitoring dan evaluasi terhadap
pelaksanaan penanggulangan kesiapsiagaan bencana. Pentingnya pengukuran resiko dan
penentuan kejadian dapat disesuaikan dengan melakukan penilaian ancaman dengan cara diskusi
pleno dan kerja tim dengan tujuan memetakkan dasar pemahaman istilah ancaman dengan
bencana, memahami jenis ancamannya, kemungkinan terjadi dan dampaknya, bagaimana
karakter dan ciri-ciri setiap ancaman. Dari karakter ancaman yang dapat di perkirakan asset-aset
beresiko seperti manusia, ekonomi, fisik atau infrastruktur, alam atau lingkungan, serta sosial
politik, dan disertai kelemahan-kelemahan penyebab asset tersebut beresiko. Hal ini kemudian
dapat dilanjutkan dengan pengembangan skenario yang dapat dibentuk dalam skenario kejadian
ancaman, skenario dampak (pada penduduk, infrastruktur, dan perkiraan dampak gempa bumi
dan tsunami).
Ketika bencana terjadi, diperlukan pemetaan yang lengkap dan terstruktur mengenai
potensi yang ada pada setiap wilayah. Pada hal ini, manajemen kesehatan perlu menyusun dan
merancang RHA atau Rapid Health Assesment. RHA merupakan proses pengkajian secara cepat
yang dilaksanakan pada saat terjadi bencana. Adanya kekurangan dalam RHA menunjukkan
bahwa pelaksanaan kegiatan sebelumnya yakni prabencana belum maksimal, oleh karena itu
evaluasi kegiatan prabencana perlu dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, meningkatkan
kesiapsiagaan, dan mengurangi adanya kesalahan pada kegiatan saat bencana. Selain itu,
seadanya kebijakan dan strategi dengan tujuan-tujuan khusus yang hendak dicapai dari adanya
perencanaan kontigensi. Strategi merupakan cara spesifik yang akan dilakukan untuk mencapai
kebijakan. Kebijakan dan strategi merupakan hasil kesepakatan bersama dalam penyusunan
rencana kontingensi antara lain seperti membentuk posko penanggulangan bencana dan
penyediaan logistik dan fasilitas pengungsian bagi pengungsi, serta pos-pos kesehatan, rumah
sakit lapangan di setiap titik pengungsian, menyiapkan obat obatan, penyediaan darah, dokter
dan paramedis, dan mengevaluasi seluruh pelaksanaan kegiatan yang sudah dilaksanakan serta
tindak lanjut yang direncanakan. Selain itu, manajemen kesehatan dapat menyusun sistem
informasi dan komunikasi yang baik dengan petugas dan masyrakat secara efektif terlebih pada
penduduk dengan Riwayat penyakit tertentu agar dapat lebih menjangkau tenaga kesehatan
dalam melakukan monitoring atau pengawasan. Manajemen kesehatan juga harus secara rutin
memperbaharui laporan terkait korban bencana yang ditemukan dengan penyesuaian system
penyampaian informasi sesuai dengan kondisi lokasi bencana dan sumber daya yang tersedia,
diimbangi dengan penyusunan anggaran dana selama proses evakuasi bencana.
Dalam tahapan pasca bencana, manajemen kesehatan dapat melakukan upaya pelayanan
kesehatan, surveilans gizi darurat, serta pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
Penyusunan rencana contact tracing, sebagai bentuk pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular yang berpotensi menjadi KLB dengan harapan adanya pemutusan penularan dan
memprediksi terjadinya KLB terutama pada penduduk dengan kondisi rentan. Selain itu dapat
juga dilakukan upaya pemenuhan standar minimal pelayanan kesehatan yang disediakan berupa
pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan kesehatan masyarakat, kesehatan reproduksi, dan
kesehatan jiwa. Penanggulangan masalah kesehatan di pengungsian merupakan kegiatan yang
harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta terkoordinasi baik secara lintas program
maupun lintas sektor. Untuk penanggulangan penderita stres pasca trauma dapat dilakukan upaya
dalam bentuk penyuluhan kelompok besar dengan melibatkan ahli psikologi serta kader
masyarakat yang telah dilatih. Pada sektor lingkungan difokuskan pada pengadaan air, kualitas
air, pembuangan kotoran manusia, serta pengelolaan limbah padat dan limbah cair. Hal tersebut
dapat dilakukan dalam bentuk upaya persediaan air cukup dengan minimal 15 liter per orang per
hari, satu jamban digunakan maksimal 20 orang, bak atau lubang sampah memiliki kapasitas 100
liter per 10 keluarga, serta tidak ada genangan air, air hujan, luapan air atau banjir di sekitar
pemukiman atau tempat pengungsian.
Beberapa daya infrastruktur juga telah disiapkan pemerintah setempat, yang berupa
beberapa titik pengungsian sementara di kawasan Desa Pangandaran dan sekitarnya, seperti
wilayah Cagar Alam dan shelter evakuasi lima lantai yang terdapat pada perbatasan Desa
Pangandaran dan Desa Pananjung. Terdapat juga tujuh rekomendasi hotel yang di tetapkan
sebagai tempat evakuasi mengingat banyaknya wisatawan yang berkunjung ke ka wasan
Pangandaran. Dari segi sumber daya politik dan sosial, Pemerintah Daerah dan Forum
Kesiapsiagaan Dini Masyarakat (FKDM) telah menyusun kerangka berpikir tanggap darurat jika
terjadi bencana tsunami. Rancana tanggap darurat ini dituangkan pada dokumen emergency
operation plan (EOP) yang terdapat pada Surat Keputusan Kepala Desa Pangandaran Nomor
144/47-Kpts/Desa/2020. Efektivitas rencana evakuasi ini dapat dilihat dengan melakukan
simulasi evakuasi.
Selain itu, FKDM Pangandaran dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Pangandaran menyelenggarakan kegiatan pendidikan kebencanaan dan mem persiapkan kegiatan
terkait kesiapsiagaan bencana di wilayah desa Pangandaran. Indikator selanjutnya yaitu
penentuan peta evakuasi tsunami dilakukan oleh otoritas lokal bekerja sama dengan masyarakat.
Terdapat beberapa peta evakuasi tsunami yang telah dibuat berbagai instansi termasuk Badan
Nasional Penang gulangan Bencana (BNPB), BPBD dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan
Geofisika (BMKG). Selain berbagai sumber daya yang telah disiapkan pemerintah daerah,
pengembangan, sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat merupakan suatu hal yang
penting. Hal tersebut tercantum dalam indikator enam Tsunami Ready.
Mengenai Emergency Opera tion Plan (EOP), Desa Pangandaran telah memiliki dan
diresmikan da lam Surat Keputusan Kepala Desa Pangandaran Nomor 144/47-Kpts/ Desa/2020.
Berdasarkan keterangan Kepala Desa Pangandaran dan FKDM, dokumen tersebut nantinya akan
digunakan sebagai acuan untuk keadaan darurat saat terjadinya bencana tsunami di wilayah
Pangandaran. Adanya kapasitas untuk mendukung pelaksanaan tanggap darurat tsunami juga
sudah tersedia di Desa Pangandaran. Hal ini dengan adanya tim kesiapsiagaan bencana Desa
Pangandaran yang terdiri dari FKDM dan Linmas yang saling berkoordinasi membantu dalam
merespons kejadian bencana seperti gempa bumi dan tsunami.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmayanti, Yunita. 2022. 16 Tahun Tragedi Di Gempa 2006 Di Pangandaran Jawa Barat
Yang Disebabkan Tsunami. https://www.tribunnews.com/regional/2022/07/17/16-tahun-
tragedi-gempa-2006-di-pangandaran-jawa-barat-yang-sebabkan-tsunami?page=2 .
Diakses pada 20 September 2022.