Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian bencana di seluruh dunia hampir tidak dapat dihindari dan tentunya
menimbulkan dampak yang berat bagi korban bencana. Pada umumnya bencana
yang terjadi meliputi banjir, puting beliung, tanah longsor, kekeringan, kebakaran
hutan dan lahan, gelombang pasang, letusan gunung merapi, gempa bumi, dan
tsunami. Kejadian bencana yang terjadi menimbulkan beban (burden) dan
dampak yang serius sehingga membutuhkan bantuan dari semua pihak. untuk itu
diperlukan sistem untuk mempersiapkan bencana melalui peningkatan kesadaran
dan persiapan dari pihak terkait

Bencana banjir merupakan bencana alam yang ke tiga terbesar di dunia yang telah
banyak menelan korban jiwa dan kerugian harta benda, karena besarnya curah
hujan. juga disebabkan oleh pembabatan hutan yang tidak terkendali, sistem
pengaturan atau tata air yang buruk, dan perubahan fungsi hutan menjadi ladang
dan pemukiman. Banjir pada umumnya terjadi di dataran rendah di bagian hilir
daerah aliran sungai yang umumnya berupa delta maupun alluvial (Kevin Siswi
Baju, 2015).

Banjir merupakan bencana di Indonesia yang terjadi hampir setiap tahun. Dalam
10 tahun terakhir, bencana banjir menduduki posisi pertama dari kejadian
bencana. Bahkan dalam buku (Indonesia Disaster Management Reference
Handbook), bencana banjir terbesar pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada bulan
Mei–Juli 2016.

Iklim di Indonesia juga dipengaruhi oleh lokasi dan karakteristik geografis yang
membentang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia ada
memiliki 3 pola iklim yaitu : monsunal, khatulistiwa, dan sistem iklim lokal yang
menyebabkan perbedaan pola curah hujan yang dramatis.
Pemerintahan daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana. Sebagaimana muat dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun


2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan, pembentukan klaster kesehatan
pada tingkat pusat dan daerah bertujuan untuk meningkatkan koordinasi,
kolaborasi, dan integrasi dalam penanggulangan krisis kesehatan. Puskesmas di
bawah koordinasi dinas kesehatan yang aktif dalam pelayanan kesehatan
masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan upaya prakrisis kesehatan
tersebut.

Kegiatan keperawatan banyak diperlukan termasuk pencegahan, kesiapsiagaan,


respon, pemulihan, dan rekonstruksi atau rehabilitasi. Kesiapan merupakan hal
yang krusial, termasuk kesiapan tenaga perawat sebagai first responder bencana
dalam fase tanggap darurat (Wijaya, Andarini, & Setyoadi, 2015). Sementara
dalam pelaksanaannya, perawat tidak maksimal dalam melakukan implementasi.
Hal ini diperkuat dengan penelitian Fung (2008) yang menyatakan bahwa 97%
perawat tidak mempunyai persiapan yang baik dalam penanganan bencana.
(Aisyiyah, 2017)

Peran perawat di Pusat Kesehatan Masyarakat sangat besar ketika terjadi bencana,
yaitu sebagai garis depan pada suatu pelayanan kesehatan yang mempunyai
tanggung jawab dan peran yang besar ketika menangani pasien gawat darurat
sehari-hari maupun saat terjadi bencana. Sampai saat ini kebutuhan perawat untuk
menangani korban bencana di masyarakat merupakan kebutuhan terbesar yaitu
sebanyak 33% dari seluruh tenaga kesehatan yang terlibat (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan pertama atau dasar dalam suatu daerah
harus memiliki sumberdaya dan kompetensi yang cukup dalam kesiapsiagaan
bencana. Program tanggap darurat bencana sebagai bagian dari kesiapsiagaan
bencana penting dilaksanakan oleh Puskesmas. Hal penting terkait tanggap
darurat bencana tersebut antaranya seperti pembentukan panitia, pemenuhan
fasilitas, pembuatan SOP tanggap darurat, dan pelatihan mengenai bencana.
Seluruh program dan upaya tersebut perlu disesuaikan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No 52 tahun 2018 tentang K3 di Fasilitas Kesehatan (Nada et al.,
2020).

Bencana banjir terbesar pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada


bulan Mei–Juli 2016. Banjir terjadi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Bengkulu, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kemudian di bulan
Agustus–Oktober 2016 banjir besar kembali melanda Nusa
Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan, dan Jambi (Center for Excellence in Disaster Management &
Humanitarian Assistance, 2018).

Akibat banjir 2016, sebanyak 250 orang meninggal, 1.413 orang luka-luka,
2.916.688 orang terdampak, 3.264 unit rumah rusak berat, 3.467 unit rumah rusak
sedang, 8.141 unit rumah rusak ringan, 334.017 unit rumah terendam, 92 unit
fasilitas kesehatan rusak, 281 unit fasilitas peribadatan rusak, dan 1.137 unit
fasilitas pendidikan rusak (BNPB, 2020).

Menurut data dari BNPB dan UNISDR, Indonesia dalam hal bencana banjir masih
menduduki peringkat tinggi yaitu di posisi ke-6 dunia dari 162 negara dan
sejumlah 1.101.507 penduduk diperkirakan menjadi korban dari bencana tersebut.
Menurut DIBI oleh BPBN pada tahun 2016 telah terjadi bencana di Indonesia
dengan total kejadian bencana 36.455 kejadian. Tercatat total korban meninggal
dunia dan hilang sejumlah 1.350 orang, korban yang mengalami luka-luka 4.468
orang, serta korban menderita dan mengungsi 7.614.062 orang. (BNPB 2018)

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi


bencana melalui pengorganisasian. Ada terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kesiapsiagaan puskesmas terutama pada tenaga kesehatan yaitu
meliputi usia, lama kerja, pengalaman bencana sebelumnya, pengalaman di tempat
pengungsian, peraturan diri, pelayanan kesehatan, sarana prasarana, dan lainnya.
(Hikmah, 2021). Faktor individu menjadi kemungkinan terbesar pemberi pengaruh
dalam kesiapsiagaan bencana karena lemahnya kompetensi professional dapat
menyebabkan tenaga kesehatan gagal untuk berperan saat bencana (Tatuil et al.,
2017)

Peraturan Kepala BNPB Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana mendefinisikan tanggap darurat sebagai serangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana. Pada situasi tanggap darurat bencana, yang diperlukan adalah
kecepatan dan ketepatan langkah penyelamatan yang dapat dilakukan untuk dapat
menyelamatkan nyawa ataupun harta benda.

Menurut Ditjen Binkesmas Depkes (2005), Tenaga Kesehatan dapat bekerjasama


secara aktif bersama masyarakat dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana
baik perorangan, kelompok maupun masyarakat secara umum karena
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari (SPGDT-S) disuatu wilayah
akan menentukan kemampuan wilayah tersebut pada penanganan gawat darurat
dalam menghadapi bencana.

Pengembangan dokumen perencanaan penanggulangan bencana di tingkat


puskesmas (Puskesmas Disaster Plan) masih sangat jarang dilakukan. Sementara
selama ini yang terjadi adalah banyak puskesmas mengalami kekacauan
pelayanan kesehatan ketika terjadi bencana. (Puskesmas Disaster Plan 2020)

UU No 24 Tahun 2007 Pasal 47 menyebutkan bahwa untuk mengurangi risiko


bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana hal yang
harus dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan mitigasi. Identifikasi kawasan
rawan bencana melalui kajian risiko dengan menghitung nilai kerentanan, nilai
bahaya dan nilai risiko bencana merupakan salah satu kegiatan dalam mitigasi
bencana.

Melihat kasus sekarang ini, puskesmas sebagai fasilitas Kesehatan pertama atau
dasar dalam suatu daerah harus memiliki sumberdaya dan komoetensi yang cukup
dalam program tanggap darurat bencana sebagai bagian dari kesiapsiagaan
bencana penting dilaksanakan oleh puskesmas. Hal ini penting terkait tanggap
darurat bencana tersebut antaranya seperti pembentukan panitia, pemenuhan
fasilitas, pembuatan SOP tanggap darurat, dan pelatihan mengenai bencana.
Seluruh program dan upaya tersebut perlu disesuaikan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No 52 tahun 2018 tentang K3 di Fasilitas Kesehatan (Nada et al, 2010)

Hasil penelitian (Septiana dan Fatih, 2019) menunjukkan bahwa faktor individu
yaitu usia memiliki pengaruh terhadap kesiapsiagaan puskesmas dalam
menghadapi bencana banjir. Hasil menunjukkan OR sebesar 4,11 dan rentang
batas bawah dengan batas atas yaitu (95%CI=1,27-13,35) sehingga bermakna
bahwa seseorang yang memiliki usia semakin tua tersebut maka lebih siap terkait
kesiapsiagaan bencana 4. Hasil penelitian Indri Setiawan (2020) Pengetahuan
perawat tentang kesiapsiagaan pelayanan kesehatan dalam menghadapi bencana
banjir menunjukkan bahwa lebih banyak perawat yang memiliki pengetahuan
kurang baik dari pada pengetahuan yang baik

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi
rumusan masalah yang diangkat penelitian ini adalah “Hubungan karakteristik dan
pengetahuan perawat dalam mitigasi kesiapsiagaan bencana banjir”
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui “Hubungan karakteristik dan pengetahuan perawat dalam mitigasi
kesiapsiagaan bencana banjir di Puskemas Sungai Tabuk Kabupaten Banjar?!”

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mengidentifikasi karakteristik perawat dalam kesiapsiagaan bencana
Banjir
1.3.2.3 Mengidentifikasi kesiapan perawat dalam menghadapi bencana
banjir
1.3.2.4 Menganalisa hubungan karakteristik dengan kesiapan perawat dalam
menghadapi bencana banjir di kabupaten Banjar

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Responden
Mendapatkan informasi dan tambahan pengetahuan pada tenaga Kesehatan di
usia muda dalam menghadapi bencana banjir
1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu berupa
pemikiran dalam memperkarya dan memperluas pengetahuan khususnya pada
tenaga kesehatan di bidang Gawat Darurat. Disaster
1.4.3 Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan pengalaman yang sangar
berharga, serta untuk mempekarya wawasan tentang penelitian khususnya
dalam tingkat pengetahuan tenaga Kesehatan diusia muda dalam menghadapi
bencana banjir
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awas nagi penelitian
selanjutnya dalam pengetahuan tenaga Kesehatan menghadapi bencana banjir
1.5 Penelitian Terkait
1.5.1 Penelitian (Ekaj Septian dan Al Fatih 2019) tentang “Hubungan Karakteristik
Individu Dengan Kesiapsiagaan Perawat Puskesmas Dalam Menghadapi
Bencana Banjir Di Kabupaten Bandung. Tujuan : Mengidentifikasi
karakteristik perawat puskesmas (umur, pengalaman kerja,pengalaman
bencana dan pengalaman mengevakuasi korban) dan tingkat kesiapsiagaan.
Metode : Convenient Sampling. Sample : 46 Perawat (Indonesia). Hasil dari
penelitian tersebut didapatkan bahwa Dari 46 responden hanya 10 (21,7%)
perawat saja yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi, sedangkan sisanya
36 (78,3%) responden memiliki tingkat kesiapsiagaan sedang, Faktor yang
mendukung : 1. Usia 2. lama kerja Sedangkan subvariabel pengalaman
bencana sebelumnya dan pengalaman bencana di tempat pengungsian tidak
memiliki korelasi dengan kesiapsiagaan perawat puskesmas dalam
menghadapi bencana banjir
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perawat


2.1.1 Perawat menurut UU 38 tahun 2014 tentang Keperawatan adalahseseorang
yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di
luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan. Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan
kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam
keadaan sakit maupun sehat.

Pelayanan Keperawatan dalam UU 38 tahun 2014 tentang Keperawatan


adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral
dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan
ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik
sehat maupun sakit.

Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan di puskesmas menjalankan


tugas sesuai dengan peran dan fungsinya. Kementerian Kesehatan
Indonesia menegaskan ada 12 aspek peran perawat puskesmas dan enam
diantaranya merupakan peran wajib yang dijalankan perawat puskesmas
termasuk pemberi asuhan keperawatan, penemu kasus, pendidik kesehatan,
koordinator dan kolaborator, konselor dan sebagai panutan (Depkes,
2004).

2.1.2 Jenis Perawat


2.1.2.1 Perawat Profesi
Perawat Profesi adalah tenaga Profesional mandiri dan telah
menyelesaikan pendidikan profesi keperawatan, telah lulus uji
kompetensi Perawat Profesi. Bekerja secara otonom dan
melakukan kolaborasi dengan yang lain. Perawat Profesional
yang telah memenuhi syarat, mempunyai hak untuk
mendapatkan SIPP atau Surat Izin Praktek Perawat
Profesional yang diberikan oleh Dinkes Kota/Kabupaten.
2.1.2.2 Perawat Vokasi
Perawat Vokasional adalah seorang perawat yang mempunyai
kewenangan melakukan praktek dengan beberapa batasan
tertentu dibawah supervisi secara langsung ataupun tidak
langsung oleh Perawat Profesional. Didalam menjalankan
prakteknya, Perawat Vokasional dapat melakukukan praktek
Keperawatan pada pelayanan kesehatan bersama dan
mempunyai hak mendapatkan Surat Izin Perawat Vokasional
atau (SIPV) dari Dinkes Kota/Kabupaten.

2.3 Karakteristik Perawat


2.2.1 Definisi
Karakteristik yaitu ciri dari individu yang terdiri dari demografi seperti
jenis kelamin, umur serta status sosial seperti tingkat Pendidikan,
pekerjaan, ras, status ekonomi dan sebagainya (Jatmiko, 2017)

2.2.2 Jenis Karakteristik


Ada beberapa karakteristik perawat yang bisa menghambat atau
melancarkan kesiapsiagaan, diantaranta :
2.4.2.1 Usia
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan sebagian
besar responden penelitian berusia 26-35 tahun (dewasa awal).
Pada penelitian Yu-et al (2013) respon yang berusia 46-55 (lansia
awal) memiliki skor kompetensi lebih tinggi, secara spesifik
keterampilan yang dipengaruhi oleh usia adalah kemampuan
komunikasi dan berpikir kritis karena semakin tua seseorang maka
dapat lebih bijaksana dan tepat dalam mengambil keputusan
j(Septian & faith, 2019), Menurut (Rofifah,2019) penelitian
menunjukan hasil bahwa usia berpengaruh terhadap kerentanan
bencana. Pada Tahun 2009 DepKes RI mengkategorikan 36-45
dewasa akhir
2.2.2.2 Faktor lama kerja
Menurut Al Khalieh et al (2011), lebih setengah studi menunjukan
bahwa lama kerja juga memiliki hubungan yang signifikan
terhadap kesiapsiagaan. Dari penelitian Tulus (1992) masa kerja
baru ≤6 tahun, masa kerja sedang 6-10 tahun dan ≥ 10 tahun masa
kerja lama. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa lebih banyak
responden yang bekerja ≤ 10 tahun. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Apriluana, Khairiyati, dan setyaningrum (2016) yang
mengungkapkan bahwa perawat yang lebih senior dianggap telah
memiliki kinerja yang lebih baik.
2.2.2.3 Faktor tingkat Pendidikan
Hasil penelitian Putra et al (2011) menunjukan lulusan diploma
keperawatan memiliki tingkat kemampuan yang moderat,
sedangkan perawat lulusan sarjana sudah memiliki basic
kesiapsiagaan bencana yang baik. Penelitian dengan tingkat
Pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat kesiapsiagaan
bencana yang lebih baik (Rofifah,2019). Hal ini juga sejalan
dengan pendapat Ahayalimudin & Osman (2016) bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan dapat mendukung kesiapsiagaan perawat
karena dapat membuat informasi lebih mudah diterima. UU No
38 Tahun 2014 menyatakan Pendidikan diploma termasuk rendah.
2.2.2.4 Pengalaman menghadapi bencana
Faktor pengalaman menangani bencana. Menurut Labrague et al,
(2016) tidak memiliki pengalaman kejadin bencana menjadi salah
satu penyebab kurangnya kesiapsigaan bencana pada perawat.
Tzeng et al, (2016) menjelaskan bahwa perawat yang memiliki
pengalaman merawat korban kemampuan dalam manajemen
bencana lebih baik. Sehingga pengalaman menangani bencana
dapat mendukung kesiapsiagaan perawat jika diasumsikan
perawat tersebut belajar dari kejadian yang sudah dihadapi.
2.2.2.5 Pelatihan
Menurut Baack & Alfred (2013) pelatihan membuat perawat
lebih terencana, karena sudah terlatih dengan skenario bencana
saat pelatihan. Pelatihan membuat perawat lebih terencana,
karena sudah terlatih dengan skenario bencana saat pelatihan.
Pelatihan dapat mendukung keterampilan perawat dalam
menolong korban bencana yaitu pelatihan pertolongan pertama,
triase lapangan, BCLS, ACLS, disaster drills,dan pelatihan
komunikasi
2.2.2.6 Jenis kelamin
Pusat data dan informasi kementerian kesehatan Indonesia (2017)
menyatakan bahwa jumlah perawat di Indonesia, 71% terdiri dari
perempuan dan perawat laki-laki 29%. Perawat merupakan sebuah
profesi yang sangat erat kaitannya dengan perempuan karena
didasari oleh kasih sayang dan rasa peduli. Menurut (Rofifah,2019)
bahwa wanita yang lebih memiliki kerentangan terhadap bencana

2.5 Bencana Alam


2.3.1 Definisi
Bencana alam yaitu bencana yang disebabkan oleh peristiwa alam antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. (Undang undang no 24, 2007)

Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam


dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
(Undang undang no 24, 2007)

Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian


suatu komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia,
materi, ekonomi, atau lingkungan yang meluas yang melampaui
kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk
mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri.(Achmad
Husain & Aidil, 2017)

Ada 3 fase dalam bencana menurut (UU No 24 Tahun 2007)


2.3.1.1 Fase Pre Bencana
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana
2.3.1.2 Fase Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
2.3.1.3 Fase Pasca Bencana
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.

2.3.2 Penyebab bencana


Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007, secara umum faktor
penyebab terjadinya bencana adalah karena adanya interaksi antara
ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Ancaman bencana
menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 adalah “Suatu kejadian
atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana”. Kerentanan terhadap
dampak atau risiko bencana merupakan “Kondisi atau karateristik biologis,
geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat
di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi
kemampuan masyarakat untuk mencegah, meredam, mencapai kesiapan,
dan menanggapi dampak bahaya tertentu”

2.3.2.1 Ancaman Hazard


Menurut WHO 2002 Hazards yaitu potensi mengalami bencana
yang dapat berdampak pada korban jiwa, cedera, atau
kehilangan/kerusakan materi. Potensi bencana dikarakteristikkan
lokasi, intensitas, frekuensi, dan kemungkinan yang dapat terjadi.
2.3.2.2 Ancaman Vulnerability
Menurut WHO 2002 Vulnerability merupakan kondisi kerentanan
yang disebabkan faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang
berkaitan dengan efek hazards. Vulnerability menggambarkan
kekurang mampuan individu atau masyarakat untuk mencegah,
menghadapi, atau menanggulangi dampak bahaya tertentu.

2.3.3 Jenis Bencana


Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang penanggulangan bencana, yaitu :
2.3.3.1 Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal
teknologi,gagal modernisasi. dan wabah penyakit;
2.3.3.2 Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
Atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat
2.3.3.3 Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang
diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoprasian, kelalaian dan
kesengajaan, manusia dalam penggunaan teknologi dan atau
insdustriyang menyebabkan pencemaran, kerusakan bangunan,
korban jiwa, dan kerusakan lainnya
2.3.3.4 Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor.

2.3.4 Dampak Bencana


BNPB mencatat sepanjang tahun 2010 sampai dengan tahun 2020 dalam
rekaman Database Pengelolaan Data dan Informasi Bencana Indonesia
(DIBI) sebanyak 24.969 kejadian dengan jumlah korban jiwa sebanyak
5.060.778 jiwa dan rumah terdampak sebanyak 4.400.809 rumah serta
fasilitas umum rusak sebanyak 19.169 fasilitas yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia (BNPB, 2020).

Yang ditimbulkan dari bencana dapat berupa adanya masalah kesehatan


fisik dan mental, korban jiwa, kerusakan fasilitas umum, dan kerugian
harta benda. Upayaupaya untuk mengurangi dampak bencana tersebut
dapat dilakukan dengan manajemen bencana yang baik (Sinaga, 2015).

Ada 3 dampak yang timbul saat terjadi bencana yaitu :


2.3.4.1 Dampak Fisik
Dampak yang terjadi secara fisik meliputi gangguan pemenuhan
kebutuhan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan serta
Pendidikan. Hal ini disebabkan karena fasilitas fasilitas dan
lingkungan yang menjadi buruk akibat terjadi bencana (Rusmiyati
& Hikmawati, 2012)
2.3.4.2 Dampak Psikologis
Dampak yang terjadi secara psikologis diantaranya terganggu
kondisi mental karena disebabkan hilang harta benda dan terpisah
dari keluarga, maka dari itu memerlukan penangan yang rumit
karena lebih berfokus pada psikis juga sosial manusia. Mental dan
sosial masuk kedalam bagian psikologis dengan itu sangat
berkaitan kepada pemikiran, emosi dan kepribadian manusia
(Muhafilah & Herawati, 2019)
2.3.4.3 Dampak Sosial
Dampak yang terjadi pada bidang sosial berkaitan dengan program
pemindahan ketempay yang baru bisa memengaruhi tatanan
masyarakat, hubungan sosial kultural, ekonomi, kekeluargaan, dan
pranata sosial (Rusmiyati & Hikmawati, 2012).

2.3.5 Manajemen Bencana


2.3.5.1 Manajemen bencana suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu
untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan
dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi bencana. (Undang undang no 24,2007). Rumusan
penanggulangan bencana dari UU tersebut mengandung dua
pengertian dasar yaitu :
(a) Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus
(b) Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan
pembangunan yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

2.3.5.2 Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24


tahun 2007 secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
(a) Tanggap Darurat Bencana : Serangkaian tindakan yangdiambil
secara cepat menyusul terjadinya suatu peristiwa bencana,
termasuk penilaian kerusakan, kebutuhan (damage and needs
assessment), penyaluran bantuan darurat, upaya pertolongan,
dan pembersihan lokasi bencana
(b) Rehabilitasi : Serangkaian kegiatan yang dapat membantu
korban bencana untuk kembali pada kehidupan normal yang
kemudian diintegrasikan kembali pada fungsi-fungsi yang ada
di dalam masyarakat. Termasuk didalamnya adalah
penanganan korban bencana yang mengalami trauma
psikologis. Misalnya : renovasi atau perbaikan sarana-sarana
umum, perumahan dan tempat penampungan sampai dengan
penyediaan lapangan kegiatan untuk memulai hidup baru
(c) Rekonstruksi : Serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
situasi seperti sebelum terjadinya bencana, termasuk
pembangunan infrastruktur, menghidupkan akses sumber-
sumber ekonomi, perbaikan lingkungan, pemberdayaan
masyarakat; Berorientasi pada pembangunan – tujuan :
mengurangi dampak bencana, dan di lain sisi memberikan
manfaat secara ekonomis pada masyarakat

Ada terdapat 5 model manajemen bencana menurut (Sang G.P 2017) :


2.3.5.3 Disaster management continuum model. Model ini mungkin
merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahap-
tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-
tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency,
relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan
early warning
2.3.5.4 Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini
membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-
kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana
terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan
dengan disaster management continuum model.
2.3.5.5 Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap
tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief,
rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early
warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan
bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah
pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency
dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation,
reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
2.3.5.6 The crunch and release model. Manajemen bencana ini
menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi
bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga
kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
2.3.5.7 Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan
upayamanajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik
dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan
kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

2.3.6 Mitigasi Bencana


Dalam UU No. 24 tahun 2007 , mitigasi didefinisikan sebagai serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana. Mitigasi bencana merupakan suatu aktifitas yang berperan
sebagai tindakan pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian ketika bencana
terjadi.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006: Mitigasi


didefinisikan sebagai “Upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak
dari bencana baik bencana alam,bencana ulah manusia maupun gabungan
dari keduanya dalam suatu negara atau masyarakat”. Mitigasi bencana
yang merupakan bagian dari manajemen penanganan bencana, menjadi
salah satu tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian rasa aman dan perlindungan dari ancaman bencana yang
mungkin dapat terjadi. Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana,
yaitu :
2.3.6.1 Tersedia informasi dan petakawasan rawan bencana untuk tiap
jenis bencana
2.3.6.2 Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
masyarakat dalam menghadapi bencana, karena permukim di
daerah rawan bencana
2.3.6.3 Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta
mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul
2.3.6.4 Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk
mengurangi ancaman bencana.
2.4 Banjir
2.4.1 Definisi
Banjir merupakan debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar
dari biasanya normal akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat
tertentu secara terus menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur
sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah
sekitarnya (Ayu Sekar, 2020)

2.4.2 Jenis Jenis Banjir


Menurut Pusat Kritis Kesehatan Kemenkes RI (2018), ada 5 jenis banjir
sebagai berikut :
2.4.2.1 Banjir bandang : yaitu banjir yang sangat berbahaya karena bisa
mengankut apa saja. Banjir ini memberikan dampak kerusakan
cukup parah. Banjir bandang terjadi biasanya akibat gungulnya
hutan dan rentan terjadi didaerah pegunungan
2.4.2.2 Banjir air : merupakan jenis banjir yang sangat umum terjadi,
biasanya banjir ini terjadi akibat meluapnya air sungai, danau atau
selokan
2.4.2.3 Banjir lumpur : merupakan banjir yang mirip dengan banjir
bandang tapi banjir lumpur yaitu banjir yang keluar dari dalam
bumi yang sampai daratan. Banjir lumpur mengandung bahan yang
berbahaya dan bahan gas yang mempengaruhi Kesehatan makhluk
hidup lainnya.
2.4.2.4 Banjir ROB (Banjir Air Laut Pasang) : merupakan banjir yang
terjadi akibat pasangnya air laut, biasanya banjir ini menerjang
daerah disekitar pesisir pantai
2.4.2.5 Banjir Cileunang : merupakan banjir yang memiliki kemiripan
dengan banjir air, tapi banjir cileunang terjadi akibat deras hujan
sehingga tidak tertampung

2.4.3 Penyebab Banjir


Banjir tergolong kedalam sebuah bencana alam yang dapat terjadi pada
sebuah kawasan yang memiliki jarak yang berdekatan dengan aliran
sungai sehingga, air suatu kawasan luas dan menyebabkan tertutupnya
permukaan bumi pada kawasan tersebut. Akhmad Asrofi (2017) terdapat
beberapa faktor umum penyebab terjadinya banjir pada suatu wilayah,
diantaranya sebagai berikut :
2.4.3.1 Perubahan tata guna lahan debit puncak naik dari 5 sampai 35
kali karena DAS tidak dapat menahan aliran air, sehingga aliran air
permukaan (run off) menjadi besar dan menyebabkan debit air
sungai membesar dan terjadi erosi lahan yang berakibat
sedimentasi pada sungai, yang berdampak pada menurunnya
kapasitas sungai.
2.4.3.2 Sampah Sungai/drainase tersumbat sampah, sehingga jika air
melimpah air akan keluar dari sungai karena daya tampung saluran
berkurang.
2.4.3.3 Erosi dan Sedimentasi Adanya perubahan tata guna lahan
menyebabkan erosi yang berakibat sedimentasi masuk ke sungai
sehingga daya tampung sungai berkurang. Penutup lahan vegetatif
yang rapat merupakan penahan laju erosi yang paling tinggi.
2.4.3.4 Kawasan Kumuh di Sepanjang Sungai/Drainase
Terdapatnya kawasan kumuh pada sepanjang sungai/drainase akan
menghambat aliran air, ataupun daya tampung sungai. Sehingga
masalah kawasan kumuh merupakan faktor penting terhadap
masalah banjir di perkotaan.
2.4.3.5 Perencanaan Sistem Pengendalian Banjir Tidak Cepat Sistem
pengendalian banjir dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil
ataupun banjir sedang, namun tidak dapat mengurangi kerusakan
pada banjir besar. Sehingga limpasan pada tanggul pada waktu
banjir akan menyebabkan keruntuhan tanggul, sehingga tanggul
tidak dapat menampung kecepatan air yang sangat besar sehingga
menyebabkan banjir
2.4.3.6 Curah Hujan Curah hujan yang memiliki intensitas yang
tinggi pada musim penghujan akan menyebabkan banjir pada
beberapa titik di suatu wilayah, dikarenakan kapasitas air yang
tinggi akan menyebabkan banjir pada sungai dan akan berakibat
pada genangan/banjir pada permukiman masyarakat.
2.4.3.7 Kapasitas Sungai Pengurangan kapasitas aliran banjir pada
sungai dapat disebabkan karena adanya pengendapan yang berasal
dari erosi DAS, erosi tanggul sungai yang berlebihan. Serta
sedimentasi.
2.4.3.8 Pengaruh Air Pasang Adanya air pasang akan memperlambat aliran
sungai ke laut. Terdapatnya waktu banjir yang bersamaan dengan
air pasang tinggi maka tinggi genangan banjir akan menjadi besar
karena terjadi aliran balik (backwater).

2.4.4 Penanggulangan Banjir


Cara menanggulangi bencana banjir :
2.4.4.1 Memfungsikan sungai dan selokan sebagaimana mestiny, karena
sungai dan selokan merupakan tempat aliran air, jangan sampai
fungsinya berubah menjadi tempat sampah
2.4.4.2 Larangan membuat rumah didekat sungai.
2.4.4.3 Menanam pohon dan sisa pohon jangan ditebangi lagi. Karena
pohon adalah salah satu penopang kehidupan disuatu kota.
Bayangkan satu kota tidak memiliki pohon sama sekali
2.4.4.4 Larangan membuang sampah sembarangan

2.4.5 Dampak Terjadinya Banjir


Banjir memiliki dampak negatif dan positif diantaranya sebagai berikut :
2.4.5.1 Dampak poisitif akibat banjir antara lain :
(a) Banjir memberikan kesempatan kepada manusia bila banjir
yang menimpa kita tidak terlalu parah, maka sebenarnya kita
telah diberi kesempatan oleh tuhan untuk menjalani hidup kita
lebih lanjut dan lebih baik
(b) Banjir membuat kita berbipikir kreatif ketika kita dilanda banjir
otak kita akan berpikir spontan dan kreatif untuk mencari jalan
alterntif menyalamatkan benda, perlengkapan, harta benda, dan
terutama jiwa kita serta keluarga kita
(c) Banjir membuat menusia untuk peduli kepada sesame disaat
terjadi banjir, manusia umumnya akan peduli kepada dan
fberlomba lomba untuk memberikan bantuan.
2.4.5.2 Dampak negatif akibat banjir antara lain :
(a) Banjir dapat merusak sarana dan prasarana. Dapat
menghancurkan gedung, jembatan, jalan dan masih banak lagi
(b) Banjir memutuskan jalur transfortasi darat. Akibat genangan
air pada jalan yang cukup tinggi semua transfortasi darat tidak
bisa dilewati
(c) Banjir merusak dan bahkan menghilangkan peralatan,
perlengkapan, harta benda lainnya atau bahkan jiwa manusia

1.1 Kesiapsiagaan
2.5.1 Definisi
Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat (BNPB 2019). Kesiapsiagaan berarti merancanakan tindakan
untuk merespons jika terjadi bencana. Kesiapsiagaan juga didefinisikan
sebagai suatu keadaan siap siaga dalam menghadapi krisis bencana,
keadaan darurat dan lainnya.(Utomo et al, 2018)
Kesiapsiagaan perawat yang baik akan membuat penanganan korban,
penyaluran logistik, proses pengambilan keputusan dan pemulihan
masyarakat menjadi lebih efektif (Oztekin et al, 2016). Kesiapsiagaan
perawat sebagai tenaga kesehatan dan first responder dituntut untuk tinggi
dibandingkan dengan tim lain (Perron, Rudge, Blais, & Holmes, 2010;
Rizqillah, 2018).

2.5.2 Tujuan Kesiapsiagaan


Kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana menjadi komponen penting
dalam keseluruhan manajemen bencana (Cahyani, 2017). Kesiapsiagaan
memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Kegiatan respons dan kesiapsiagaan yang efektif dapat membantu
menyelamatkan nyawa, mengurangi cedera, membatasi kerusakan
harta benda dan meminimalisir dampak yang ditimbulkan bencana
b. Keiapsiagaan membantu melindungi nilai-nilai masyarakat dan
mengurangi kondisi yang tidak diinginkan saat bencana terjadi
c. Kesiapsiagaan meningkatkan kordinasi dan komunikasi antara
organisasi serta menetapkan tanggung jawab bagi pihak yang
berwenang, seperti pejabat, masyarakat, pejabat negara, pejabat daerah
dan tenaga kesehatan
d. Kesiapsiagaan membantu mengidentifikasi sumber daya (personil,
waktu, keuangan, peralatan, perlengkapan, atau fasilitas yang mungkin
diperlukan masyarakat untuk melakukan kegiatan respon dan
pemulihan
e. Kesiapsiagaan mengidentifikasi beberapa fungsi penting yang
diperlukan pada saat bencana, seperti menajamen sumber daya,
evakuasi dan penilaian kerusakan

2.5.3 Manajemen kesiapsiagaan bencana


Menurut (B.Wisnu Widjaja 2017) Secara umum, kegiatan latihan
kesiapsiagaan dibagi menjadi 5 (lima) tahapan utama, yakni tahap
perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi.
2.5.3.1 Tahapan Perencanaan
(a) Membentuk team perencana seperti pembentukan organisasi
latihan kesiapsiagaan agar pelaksaaan evakuasi berjalan
dengan baik dan teratur.
(a) Tim perngarah terdiri dari pengarah, penanggung jawab, bidang
perencanaan yang ketika pelaksanaan tim perencana berperan
sebagai tim pengendali. Fungsi masing-masing, yakni :
Pengarah, bertanggung jawab memberi masukan yang bersifat
kebijakan untuk penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan, dan
dapat memberikan masukan yang bersifat teknis dan
operasional, mengadakan koordinasi, serta menunjuk
penanggung jawab organisasi latihan kesiapsiagaan.
(b) Penanggung Jawab, membantu pengarah dengan memberikan
masukan-masukan yang bersifat kebijakan, teknis, dan
operasional dalam penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan
(c) Bidang Perencanaan/Pengendali, merencanakan Latihan
kesiapsiagaan secara menyeluruh, sekaligus menjadi
pengendali ketika Latihan dilaksanakan..
(d) Bidang Opersional Latihan menjalankan perannya saat latihan.
Yang terdiri dari Peringatan Dini, Pertolongan Pertama,
Evakuasi dan Penyelamatan, Logistik serta Keamanan turut
diuji dalam setiap latihan.
(e) Bidang Evaluasi, mengevaluasi latihan kesiapsiagaan yang
digunakan untuk perbaikan latihan ke depannya.

2.5.3.2 Tahap Persiapan


(a) Briefing-briefing untuk mematangkan perencanaan latihan.
Pihak pihak yang perlu melakukan briefing antara lain tim
perencana, peserta simulasi, dan tim evaluator/observer.
Informasi yang harus disampaikan selama kegiatan yaitu :
Waktu, batasan simulasi, lokasi, dan keamanan,
(b) Memberikan poster, leaflet, atau surat edaran kepada siapa saja
(c) Memasang peta lokasi dan jalur evakuasi di tempat umum yang
mudah dilihat semua orang yang terlibat latihan kesiapsiagaan

2.5.3.3 Tahap Pelaksanaan


(a) Tentukan tiga tanda peringatan : Tanda latihan dimulai, tanda
evakuasi, tanda latihan berakhir
(b) Reaksi terhadap peringatan : Latihan ini ditujukan untuk
menguji reaksi peserta latih dan prosedur yang ditetapkan
(d) Rekamlah proses latihan dengan kamera foto. Jika
memungkinkan, rekam juga dengan video.

2.3.3.4 Tahap Evaluasi


Evaluasi adalah salah satu komponen yang paling penting dalam
latihan. Tanpa evakuasi, tujuan dari latihan tidak dapat diketahui,
apakah tercapai atau tidak.

2.3.3.5 Kebutuhan strategi manajemen bencana menurut (Sheila & Hiroko.


2017)
(a) Pada tahap pencegahan harus memperhatikan seberapa siap
perawat dalam pencegahan banjir, me review protokol, dan
pedoman mutu
(b) Pada tahap kesiapsiagaan selain pelatihan perawat juga harus
memiliki keterampilan dalam teknologi informasi dan
komunikasi untuk melakukan pengumpulan data
(c) Perawat juga harus memiliki pemahaman tentang kompetensi
yang dibutuhkan dalam setiap fase bencana.

2.5.4 Upaya kesiapsiagaan tenaga kesehatan dalam menghadapi bencana banjir


Menurut kemenkes (2011) ada beberapa kegiatan perawat dalam
melaksanakan fungsi penanggulangan bencana banjir yaitu meliputi :
2.5.4.1 Survei Kesehatan
Surveil kesepenyakit dan faktor resiko pada umumnya merupakan
suatu upaya untuk menyediakan inormasi kebutuhan pelayanan
kesehatan.
(a) Melakukan analisis mengenai dampak kesehatan
(b) Melakukan pembuatan peta wilayah kerja
(c) Latihan kesiapsiagaan
(d) Mengartikan rambu rambu bencana
2.5.4.2 Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat mengenai kesiapsiagaan
menghadapi bencana banjir
2.5.4.3 Kerjasama lintas sector
Kordinasi lintas sector ditingkat kecamatan bertujuan untuk
menggalang Kerjasama dan berbagi tugas sesuai dengan peran tiap
sektor, Kerjasama juga dilakukan kepada, tokoh masyarakat,
organisasi profesi dan dunia usaha

2.5.5 Membuat fungsi permberdayaan masyarakat dibidang kesehatan dilakukan


dengan cara :
2.5.5.1 Memotivasi, memfasilitasi, menggali partisifasi masyarakat
2.5.5.2 Kemitraan dengan beberapa lembaga swadaya
2.5.5.3 Kemitraan dengan konkes (konsil kesehatan) atau BPKM (Badan
Peduli Kesehatan Masyarakat) atau BP (Badan Penyantun
Puskesmas).

2.5.6 Pusat pelayanan kesehatan strata pertama


Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan adalah pelayanan kesehatan
dasar yang dibutuhkan oleh sloebagian besar masyarakat.

2.5.7 Faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat


Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat adalah
perbedaan individu meliputi usia, lama kerja, pengalaman, peraturan diri,
dan suasana pelayanan kesehatan (Depkes RI (2009)
2.5.8 Perawat adalah orang yang telah lulus dari pendidikan perawat, baik di
dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No 1239/MENKES/SK/XI/2001).

2.5.9 Kompetensi yang dimiliki perawat dalam kesiapsiagaan bencana (Alfred et


al., 2015) diantaranya :
2.5.9.1 Kompetensi Pencegahan Mitigasi
Mitigasi digambarkan sebagai landasan dalam manajemen darurat,
merupakan suatu tindakan berkelanjutan yang mengurangi atau
menghilangkan resiko jangka panjang dan harta benda dari
bencana. Peran yang dilakukan perawat dalam fase ini yaitu
pengurangan resiko, pencegahan penyakit, penyuluhan kesehatan
dan pengembangan perencanaan kebijakan.

2.5.9.2 Kompetensi Kesiapsiagaan


Kompetensi perawat dalam kesiapsiagaan bencana yaitu dengan
mengambil bentuk rencana atau prosedur yang dirancang utuk
menyelamatkan nyawa dan meminimalkan kerusakan ketika terjadi
bencana. Perencanaan, pelatihan dan pelatihan bencana merupakan
hal yang penting bagi kesiapsiagaan. Hal yang dilakukan perawat
selama fase ini yakni mengidentifikasi praktik etis, praktik hukum,
dan akuntabilitas, kemampuan komunikasi dan berbagi informasi,
serta perawat dapat mengenali tugas dan fungsinya selama
merespon masa bencana (Mistic & Sparling 2010)
2.5.9.3 Kompetensi Respons
Fase ketiga ini meliputi tahap tindakan yang diambil untuk
menyelamatkan nyawa dan mencegah kerusakan lebih lanjut
selama dan segera setelah bencana atau situasi darurat terjadi
(Mistic & Sparling 2010)
Peran yang dilakukan seorang perawat dalam fase ini yaitu
berpartisipasi dalam penyaluran dan pembagian distribusi bantuan
yang tersedia kepada pengungsi, merawat pengungsi, individu
maupun keluarga korban, perawatan psikologis dan melakukan
perawatan khusus (Alfred et al, 2015)
2.5.9.4 Kompetensi Pemulihan/Rehabilitasi
Fase keempat ini dibagi menjadi kegiatan jangka pendek dan
jangka panjang. Kegiatan jangka pendek yaitu menawarkan
bantuan dan rehabilitasi segera sedangkan jangka panjang yaitu
untuk memulihkan kesehatan pasien sebanyak mungkin (Mistic &
Sparling 2010)
Peran yang dilakuakan seorang perawat dalam fase ini yaitu dapat
melakukan inventarisasi persediaan tempat penampungan

2.6 Pengetahuan
2.6.1 Definisi
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap objek tertantu. Pengindraan terjadi
melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan Sebagian besar dapat diperoleh dari mata dan telinga.
Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk Tindakan seseorang
(Ningtyas & Sanjoto,2015)

Pengetahuan kebencanaan adalah kemampuan dalam mengingat peristiwa


atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam ataupun faktor nonalam
maupun faktor manusia yang dapat mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (Ningtyas & Sanjoto,2015).

Tingkat pengetahuan penanggulangan bencana yaitu persepsi atau kesan


dari proses pendidikan. Pengetahuan dapat diukur dengan menggunakan
kuesioner dan dikategorikan baik jika rata rata 76 – 100%, cukup jika 56 –
75%, kurang jika <55%

2.6.2 Menurut Notoatmodjo dalam wawan dan dewi, 2010 secara garis besar
pengetahuan terbagi menjadi 6 tingkatan, yaitu :
2.6.2.1 Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai recal atau memanggil memori yang sudah
ada, setelah mengamati sesuatu dan seluruh bahan yang telah
dipelajari.
2.6.2.2 Memahami (Comprehention)
Memahami suatu objek yang dalam dan dapat menginterpretasikan
secara benar tentang objek yang diketahuinya
2.6.2.3 Apliksi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek
tersebut dalam mengaplikasikannya Kembali
2.6.2.4 Sintesis (Syntesis)
Sintesis merupakan kemampuan seseorang dalam menjabarkan atau
memisahkan, lalu kemudian mencari hubungan antara komponen
dalam suatu objek.
2.6.2.5 Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Penilaian berdasarkan suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau norma norma yang berlaku
dimasyarakat.

2.7 Kerangka Konsep

Variabel Independen (Bebas) Variabel Dependen (Terikat)

Karakteristik Perawat
 Usia
 Lama Kerja
 Faktor Tingkat Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana Banjir
 Pengalaman Menghadapi
Bencana
 Pelatihan Bencana
Keterangan : : Diteliti
: Tidak Diteliti

2.8. Hipotesis
Terdapat hubungan antara karakteristik dan pengetahuan kesiapsiagaan perawat
dalam upaya penanggulangan bencana banjir
BAB 3
METODE PENELITIAN

2.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain
penelitian deskriptif analitik dan dengan pendekatan cross sectional.
3.1.1 Penelitian Kuantitatif
Dalam bahasa sederhana, penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah
yang disusun secara tersistematis terhadap bagian-bagian dan mencoba
untuk menemukan kausalitas untuk mengetahui keterkaitan. (Kasiran,
2021)
3.1.2 Cross Sectional
Cross Sectional adalah sebagai suatu penelitian untuk mempelajari suatu
dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dan dengan
suatu pendekatan, observasi ataupun dengan teknik pengumpulan
data pada suatu waktu tertentu (point time approach).

1.4 Variabel Penelitian


Variabel merupakan atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek, atau suatu
kegiatan yang memiliki variasi tertentu dan ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulan (Darmawan, 2013)
3.2.1 Variabel Independen (Bebas)
Variabel bebs merupakan variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab
terjadinya perubahan atau munculnya variabel terikat (Dermawan, 2013).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah karakteristik perawat
3.2.2 Variabel Dependen (Terikat)
Variabel terikat adalah yang dipengaruhi atau menjadi akibat dari variabel
akibat dari variabel bebas (Dermawan,2013). Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah tanggap darurat bencana banjir
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan pengertian mengenai variabel-variabel yang
dinamai didalam kerangka konsep dan dikembangkan lagi dikembangkan oleh
peneliti (Sucipto, 2020)

Tabel 3.3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian


Definisi Alat Skala
No Variabel Parameter Hasil Ukur
Operasional Ukur Data
Independen
1. Karakteristik
Responden
a. Usia Umur dari tahun Umur Obser Ordin Dibagi
lahir sampai responden saat vasi al menjadi :
dengan ini 1.Dewasa
sekaarang awal = 26
tahun ≥
1.Dewasa
tengah = 36
tahun ≥
2.Lansia awal
= 46 tahun ≥

b. Lama kerja Masa responden 1.Lama Obser Ordin Dibagi


bekerja dari responden vasi al menjadi :
pertama sampai bekerja 3. Baik =
dengan sekarang 2.Tingkat (Lama) ≥ 10
kesiapan yang tahun
lebih baik 2. Cukup
Baik =
(sedang) 6-10
tahun
1. Kurang =
(Baru) ≤ 6
tahun
c. Pendidikan Pendidikan yang Pendidikan Obser Nomi Dibagi
menyatakan responden vasi nal menjadi :
kelulusan terakhir meliputi 2.Tinggi =
responden 1.Sarjana Ners (Sarjana
terakhir 2.Diploma Ners)
1.Rendah =
(Diploma)
d. Pengalaman Suatu Penglaman Obser Nomi Dibagi
pengalaman responden saat vasi nal menjadi :
yang pernah terjadi bencana 2.Baik (MP)
dialami dilapangan = Skor ≥ 10
responden saat 1.Kurang
menghadapi (TMP) =
bencana di Skor ≤ 10
lapangan dengan
kesiapsiagaan
bencana banjir
e. Pelatihan Pelatihan sangat Tentang Obser Ordin Dibagi
dibutuhkan pelatihan vasi al menjadi :
dalam seorang 1.BTCLS 3.Baik=
tenaga kesehatan 2.ACLS (btcls, acls,
khususnya 3.Disaster drill dan disaster
perawat. Denga dril)
nada nya 2.Cukup baik
pelatihan akan = (btcls,acls)
membuat 1.Kurang=
seseorang (btcls)
menjadi lebih
baik dalam
menghadapi
sesuatu.
Terutama
pelatihan dalam
bencana
f. Jenis kelamin Jenis kelamin Jenis kelamin Obser Nomi Dibedakan
pada perawat perawat yang vasi nal menjadi =
yang lebih siap 1.Laki-laki
berpengaruh menghadapi 2.Perempuan
terhadap bencana banjir
kesiapsiagaan
bencana
Dependent
2. Kesiapsiagaa Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan Kuesi Ordin 3.Siap
n perawat pada perawat meliputi : oner al 2.Cukup
terhadap sangat penting 1.Penyuluhan 1.Kurang
bencana dilakukan karena kesehatan
banjir untuk tentang bencana
mengantisipasi banjir
datangnya 2.Kerjasama
bencana dan lintas sektor
sebagai tenaga 3.Pengetahuan
kesejatan first tentang
responde kompetensi fase
bencana
4.Kesiapsiagaan
mengahadapi
bencana

2.4 Populasi dan Sampel


3.4.1 Populasi
Populasi adalah sekumpulan manusia atau objek sumber data didalam
penelitian tertentu, memiliki kriteria, berjumlah banyak dan luas yang
secara umum dapat diamati (Darmawan 2013; Sucipto, 2020). Populasi
pada penelitian ini adalah seluruh perawat yang ada di Kabupaten Banjar
30 perawat

3.4.2 Sampel
Sampel adalah Sebagian dari unit populasi yang menjadi objek suatu
penelitian dan dijadikan sumber untuk semua data yang diperlukan untuk
menjawab permasalahan penelitian (Sucipto, 2020). Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian yaitu
perawat di Kabupaten Banjar sebanyak 30 perawat

Teknik pengambilan sampel (Non sampling) dalam penelitian ini,


Sampling atau total sampling. Non prability adalah jenis sampling dimana
tidak semua unsur dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk
dipilijh menjadi sampel dalam penelitian dan tidak dipilih secara acak.
Totdal sampling baik digunakan jika jumlah populasi yang relative kecil,
atau penelitian kesehatan yang kecil (Darmawan, 2013; Hardani et al,
2020)

Menurut Sugiyono. (2017) menjelaskan pengertian sampling total.


Sampling total adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota
populasi digunakan sebagai sampel

Pengukuran besar sampel di uji menggunakan rumus Selovin

N
N=
1 + N (e)²

Dengan :
n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel yang masih dapat di tolerir atau diingikan 2%

3.5 Tempat dan Waktu Penelitian


3.5.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banjar, Kecamatan Sungai Tabuk,
Puskesmas
3.5.2 Waktu Penelitian
Penelitiaan ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2022

3.6 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah pedoman tertulis tentang wawancara, atau
pengamatan, atau daftar pertanyaan, yang dipersiapkan untuk mendapatkan
Informasi dari responden. Instrumen itu disebut sebagai Pedoman Pengahayatan
atau Pedoman wawancara atau Kuesioner atau Pedoman Dokumenter, sesuai
dengan metode yang dipergunakanInstrumen (W.Gulo 2017)

Penelitian yang dilakukan adalah observasi karakteristik dan kuesioner tantang


kesiapsiagaan perawat terhadap bencana banjir
3.6.1 Observasi karakteristik perawat
Instrumen ini terdiri dari 6 komponen karakteristik yaitu (1) Usia, (2)
Lama kerja (3) Pendidikan (4) Pengalaman, (5) Pelatihan (6) Jenis
kelamin. Observasi ini berjenis sistematis yang dilakukan dengan pedoman
pengamatan. Observasi karakteristik dalam penelitian ini dengan kisi kisi
sebagai berikut :

Tabel 3.6.1.1 Kisi kisi Observasi Karakteristik


Variabel Sub Variabel No
Karakteristik Usia 1
Keperawatan Lama Kerja 2
Pendidikan 3
Pengalaman 4
Pelatihan 5
Jenis Kelamin 6

3.6.2 Kuesioner Kesiapsiagaan perawat


Instrument dikembangkan oleh peneliti dengan mengadaptasi kuesioner
Ika Wahyu (2019). Instrumen yang digunakan terdiri dari 5 parameter
diantaranya : (1) Penyuluhan Kesehatan tentang kesiapsiagaan bencana (2)
Kerjasama Lintas Sektor (3) Pengetahuan Kompetensi Fase Bencana (4)
Kesiapsiagaan menghadapi bencana. Kuesioner ini memiliki 20 pertanyaan
yang berjenis multiple choice. Kuesioner kesiapsiagaan perawat dalam
menghadapi bencana banjir ini dengan kisi-kisi sebagai berikut

Tabel 3.6.2.1 Kisi kisi Kuesioner kesiapsiagaan bencana banjir


Variabel Sub Variabel No
Kesiapsiagaan Penyuluhan Kesehatan 1-3
perawat dalam Kerjasama Lintas 4-7
menghadapi bencana Sektor
banjir Pengetahuan 8-17
kompetensi fase
bencana
Kesiapsiagaan 18-20
menghadapi bencana

3.6.3 Uji Validasi dan Rehabilitas


Alat dan cara pengumpulan data yang baik diperlukan dalam pengumpulan
data pada suatu penelitian untuk memperoleh data yang valid, reliable dan
akurat (Nursalam, 2017).

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini pertanyaan yang


dimodifikasi oleh peneliti dari penelitian Ika Wahyu (2019) untuk variabel
kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana banjir. Kuesioner yang
digunakan melalui uji validitas dan reabilitas. Uji validitas dengan
menggunakan rumus uji korelasi Person Product Moment dimana nilai
korelasi pada kuesioner ini dinyatakan valid jika diketahui r hitung > r
table. Uji reliabilitas dengan menggunakan konsistensi Alpa Cronbach
0,05. Reliabilitas kuesioner dapat diketahui dengan membandingkan nilai r
hasil dan nilai r table. Pernyataan kuesioner reliable bilai nilai r hasil > r
table

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan dara merupakan proses pengumpulan data dengan pengambilan
data menggunakan observasi, dan kuesioner dengan cara :
3.7.1 Mengajukan surat izin pengambilan data studi pendahuluan dari program
s1 keperawatan FKIK.
3.7.2 Kemudian mengajukan surat izin pengambilan data studi pendahuluan dari
fakultas ke Puskesmas, Kesbangpol, dan Dinas Kesehatan
3.7.2 Setelah itu mengajukan surat izin pengambilan data studi pendahuluan dari
dinas kesehatan ke puskesmas
3.7.4 Sehabis mengajukan surat izin pengambilan data peneliti melakukan
observasi dan wawancara dengan Sebagian perawat yang ada dipuskesmas
sungai tabuk 1

3.7 Teknik Pengolahan Data


Menurut Notoatmodjo (2018), proses pengolahan data penelitian akan melalui
tahap sebagai berikut :
3.7.1 Editing (Penyuntingan Data)
Peneliti sebelum membagikan formular maupun koesioner melakukan
pengecekan terlebih dahulu dan perbaikan, kalua perlu melakukan
pengambilan data ulang untuk melengkapi data yang kurang
3.7.2 Coding sheet (Pemberian Lembaran Kode)
Setelah semua observasi diedit, selanjutnya diklasifikasikan jawaban dari
responden ke dalaam bentuk angka/bilangan. Itu dilakukan dari bentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
3.7.3 Proccessing (Pemrosesan)
Setelah semua koesioner terisi penuh dan benar serta sudah melalui
pengkodean, selanjutnya peneliti memproses data dengan cara meng entry
data dari koesioner ke program komputer dengan nama aplikasi spss
3.8.4 Cleaning (Pembersihan Data)
Setelah itu peneliti melakukan pengecekan kembali data-data untuk
melihat kemungkinan adanya kesalahan kode maupun ketidaklengkapan
data yang telah dimasukkan. Dan kemudian peneliti melakukan
pembetulan atau koreksi.
3.7.5 Penyajian data
Dalam penyajian data, peneliti menyajikan dalam bentuk mudah dibaca
dan dimengerti

3.8 Teknik Analisa Data


3.8.1 Analisa Univariat
Analisis ini digunakan untuk setiap variabel penelitian. Analisis ini
menggunakan distribusi frekuensi. tendensi sentral. Hasil penghitungan
tersebut nantinya merupakan dasar dari penghitungan selanjutnya. Dengan
menggunakan analisis univariat ini dapat diketahui konsep yang kita ukur
tersebut sudah siap untuk di analisis serta dapat dilihat gambaran secara
rinci (Imron, 2014). Analisa ini untuk mendapatkan variabel independen
(Karakteritik perawat) dan variabel dependen (kesiapsiagaan perawat
dalam bencana banjir). Data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi

3.8.2 Analisa Bivariat


Analisis ini dilakukan terhadap dua variabel yang diduga atau berkorelasi
(Notoatmodjo,2010). Dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara karakteristik perawat dengan kesiapsiagaan perawat dlam
bencana banjir. Penelitian ini menggunakan uji chi square.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini mengacu pada pedoman dan standar etik (Keppkn, Kemenke 2021)
:
3.9.1 Prinsip menghormati harkat martabat manusia (respect for persons)
Prinsip ini merupakan bentuk penghormatan terhadap harkat martabat
manusia yang memiliki kebebasan berkehendak atau memilih dan
sekaligus bertanggung jawab secara pribadi terhadap keputusannya sendiri.
Prinsip ini bertujuan untuk menghormati otonomi, yang mempersyaratkan
bahwa manusia mampu memahami pilihan pribadinya untuk mengambil
keputusan mandiri
3.9.2 Prinsip berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non-maleficence)
Prinsip ini berbuat baik menyangkut kewajiban membantu orang lain
dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian
minimal. Prinsip berbuat baik yaitu penelitian harus wajar (reasonable)
jika dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan, Para peneliti mampu
melaksanakan penelitian dan sekaligus mampu menjaga kesejahteraan
subjek penelitian, Desain penelitian harus memenuhi persyaratan. Prinsip
tidak merugikan yaitu jika tidak dapat melakukan hal yang bermanfaat,
sebaiknya jangan merugikan orang lain
3.9.3 Prinsip keadilan (justice)
Prinsip keadilan mengacu pada kewajiban untuk memperlakukan setiap
orang sama dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh
haknya. Ini dilakukan dengan memperhatikan distribusi usia dan gender,
status ekonomi, budaya, dan pertimbangan etnik.

Anda mungkin juga menyukai