Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian bencana di seluruh dunia hampir tidak dapat dihindari dan tentunya
menimbulkan dampak yang berat bagi korban bencana. Pada umumnya bencana
yang terjadi meliputi banjir, puting beliung, tanah longsor, kekeringan, kebakaran
hutan dan lahan, gelombang pasang, letusan gunung merapi, gempa bumi, dan
tsunami. Kejadian bencana yang terjadi menimbulkan beban (burden) dan
dampak yang serius sehingga membutuhkan bantuan dari semua pihak. untuk itu
diperlukan sistem untuk mempersiapkan bencana melalui peningkatan kesadaran
dan persiapan dari pihak terkait

Bencana banjir merupakan bencana alam yang ke tiga terbesar di dunia yang telah
banyak menelan korban jiwa dan kerugian harta benda, juga bencana yang paling
dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan dengan besarnya curah
hujan. juga disebabkan oleh pembabatan hutan yang tidak terkendali, sistem
pengaturan atau tata air yang buruk, dan perubahan fungsi hutan menjadi ladang
dan pemukiman. Banjir pada umumnya terjadi di dataran rendah di bagian hilir
daerah aliran sungai yang umumnya berupa delta maupun alluvial (Kevin Siswi
Baju, 2015).

Banjir adalah salah satu bentuk bencana di Indonesia yang terjadi hampir setiap
tahun. Dalam 10 tahun terakhir, bencana banjir selalu menempati posisi pertama
kejadian bencana. Bahkan dalam buku Indonesia Disaster Management Reference
Handbook bencana banjir terbesar pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada bulan
Mei–Juli 2016.

Iklim di Indonesia sangat dipengaruhi oleh lokasi dan karakteristik geografis yang
membentang antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia memiliki 3
pola iklim dasar: monsunal, khatulistiwa, dan sistem iklim lokal yang
menyebabkan perbedaan pola curah hujan yang dramatis. Kondisi tersebut ]
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun


2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan, pembentukan klaster kesehatan
pada tingkat pusat dan daerah bertujuan untuk meningkatkan koordinasi,
kolaborasi, dan integrasi dalam penanggulangan krisis kesehatan. Puskesmas di
bawah koordinasi dinas kesehatan yang aktif dalam pelayanan kesehatan
masyarakat ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan upaya prakrisis kesehatan
tersebut.

Kegiatan keperawatan banyak diperlukan termasuk pencegahan, kesiapsiagaan,


respon, pemulihan, dan rekonstruksi atau rehabilitasi. Kesiapan merupakan hal
yang krusial, termasuk kesiapan tenaga perawat sebagai first responder bencana
dalam fase tanggap darurat (Wijaya, Andarini, & Setyoadi, 2015). Sementara
dalam pelaksanaannya, perawat tidak maksimal dalam melakukan implementasi.
Hal ini diperkuat dengan penelitian Fung (2008) yang menyatakan bahwa 97%
perawat tidak mempunyai persiapan yang baik dalam penanganan bencana.
(Aisyiyah, 2017)

Peran perawat di Pusat Kesehatan Masyarakat sangat besar ketika terjadi bencana,
yaitu sebagai garis depan pada suatu pelayanan kesehatan yang mempunyai
tanggung jawab dan peran yang besar ketika menangani pasien gawat darurat
sehari-hari maupun saat terjadi bencana. Sampai saat ini kebutuhan perawat untuk
menangani korban bencana di masyarakat merupakan kebutuhan terbesar yaitu
sebanyak 33% dari seluruh tenaga kesehatan yang terlibat (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan pertama atau dasar dalam suatu daerah
harus memiliki sumberdaya dan kompetensi yang cukup dalam kesiapsiagaan
bencana. Program tanggap darurat bencana sebagai bagian dari kesiapsiagaan
bencana penting dilaksanakan oleh Puskesmas. Hal penting terkait tanggap
darurat bencana tersebut antaranya seperti pembentukan panitia, pemenuhan
fasilitas, pembuatan SOP tanggap darurat, dan pelatihan mengenai bencana.
Seluruh program dan upaya tersebut perlu disesuaikan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No 52 tahun 2018 tentang K3 di Fasilitas Kesehatan (Nada et al.,
2020).

Bencana banjir terbesar pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada


bulan Mei–Juli 2016. Banjir terjadi di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Bengkulu, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kemudian di bulan
Agustus–Oktober 2016 banjir besar kembali melanda Nusa
Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Utara,
Sulawesi Selatan, dan Jambi (Center for Excellence in Disaster Management &
Humanitarian Assistance, 2018).

Akibat banjir 2016, sebanyak 250 orang meninggal, 1.413 orang luka-luka,
2.916.688 orang terdampak, 3.264 unit rumah rusak berat, 3.467 unit rumah rusak
sedang, 8.141 unit rumah rusak ringan, 334.017 unit rumah terendam, 92 unit
fasilitas kesehatan rusak, 281 unit fasilitas peribadatan rusak, dan 1.137 unit
fasilitas pendidikan rusak (BNPB, 2020).

Menurut data dari BNPB dan UNISDR, Indonesia dalam hal bencana banjir masih
menduduki peringkat tinggi yaitu di posisi ke-6 dunia dari 162 negara dan
sejumlah 1.101.507 penduduk diperkirakan menjadi korban dari bencana tersebut.
Menurut DIBI oleh BPBN pada tahun 2016 telah terjadi bencana di Indonesia
dengan total kejadian bencana 36.455 kejadian. Tercatat total korban meninggal
dunia dan hilang sejumlah 1.350 orang, korban yang mengalami luka-luka 4.468
orang, serta korban menderita dan mengungsi 7.614.062 orang. (BNPB 2018)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian. Ada terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kesiapsiagaan puskesmas terutama pada tenaga kesehatan yaitu
meliputi usia, lama kerja, pengalaman bencana sebelumnya, pengalaman di tempat
pengungsian, peraturan diri, pelayanan kesehatan, sarana prasarana, dan lainnya.
(Hikmah, 2021). Faktor individu menjadi kemungkinan terbesar pemberi pengaruh
dalam kesiapsiagaan bencana karena lemahnya kompetensi professional dapat
menyebabkan tenaga kesehatan gagal untuk berperan saat bencana (Tatuil et al.,
2017)

Peraturan Kepala BNPB Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana mendefinisikan tanggap darurat sebagai serangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana. Pada situasi tanggap darurat bencana, yang diperlukan adalah
kecepatan dan ketepatan langkah penyelamatan yang dapat dilakukan untuk dapat
menyelamatkan nyawa ataupun harta benda.

Menurut Ditjen Binkesmas Depkes (2005), Tenaga Kesehatan dapat bekerjasama


secara aktif bersama masyarakat dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana
baik perorangan, kelompok maupun masyarakat secara umum karena
Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari (SPGDT-S) disuatu wilayah
akan menentukan kemampuan wilayah tersebut pada penanganan gawat darurat
dalam menghadapi bencana.

Pengembangan dokumen perencanaan penanggulangan bencana di tingkat


puskesmas (Puskesmas Disaster Plan) masih sangat jarang dilakukan. Sementara
selama ini yang terjadi adalah banyak puskesmas mengalami kekacauan
pelayanan kesehatan ketika terjadi bencana. (Puskesmas Disaster Plan 2020)
UU No 24 Tahun 2007 Pasal 47 menyebutkan bahwa untuk mengurangi risiko
bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana hal yang
harus dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan mitigasi. Identifikasi kawasan
rawan bencana melalui kajian risiko dengan menghitung nilai kerentanan, nilai
bahaya dan nilai risiko bencana merupakan salah satu kegiatan dalam mitigasi
bencana.

Melihat kasus sekarang ini, puskesmas sebagai fasilitas Kesehatan pertama atau
dasar dalam suatu daerah harus memiliki sumberdaya dan komoetensi yang cukup
dalam program tanggap darurat bencana sebagai bagian dari kesiapsiagaan
bencana penting dilaksanakan oleh puskesmas. Hal ini penting terkait tanggap
darurat bencana tersebut antaranya seperti pembentukan panitia, pemenuhan
fasilitas, pembuatan SOP tanggap darurat, dan pelatihan mengenai bencana.
Seluruh program dan upaya tersebut perlu disesuaikan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No 52 tahun 2018 tentang K3 di Fasilitas Kesehatan (Nada et al, 2010)

Hasil penelitian (Septiana dan Fatih, 2019) menunjukkan bahwa faktor individu
yaitu usia memiliki pengaruh terhadap kesiapsiagaan puskesmas dalam
menghadapi bencana banjir. Hasil menunjukkan OR sebesar 4,11 dan rentang
batas bawah dengan batas atas yaitu (95%CI=1,27-13,35) sehingga bermakna
bahwa seseorang yang memiliki usia semakin tua tersebut maka lebih siap terkait
kesiapsiagaan bencana 4. Hasil penelitian Indri Setiawan (2020) Pengetahuan
perawat tentang kesiapsiagaan pelayanan kesehatan dalam menghadapi bencana
banjir menunjukkan bahwa lebih banyak perawat yang memiliki pengetahuan
kurang baik dari pada pengetahuan yang baik

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi
rumusan masalah yang diangkat penelitian ini adalah “Hubungan karakteristik dan
pengetahuan perawat dalam upaya tanggap darurat bencana banjir
1.3 Tujuan Penelitian

1.1.1 Tujuan Umum


Mengetahui “Hubungan Karakteristik dan pengetahuan dengan kesiapsiagaan
perawat dalam upaya penanggulangan bencana banjir?!”

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Mengidentifikasi karakteristik perawat dalam tanggap darurat bencana
Banjir
1.3.2.2 Mengidentifikasi pengetahuan perawat terhadap lama masa kerja
dalam penanganan bencana banjir
1.3.2.3 Mengidentifikasi kesiapan perawat dalam tanggap darurat bencana
banjir
1.3.2.4 Menganalisa hubungan karakteristik dengan kesiapan perawat dalam
tanggap darurat bencana banjir di kabupaten Banjar

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Responden
Mendapatkan informasi dan tambahan pengetahuan pada tenaga Kesehatan di
usia muda dalam menghadapi bencana banjir
1.4.2 Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu berupa
pemikiran dalam memperkarya dan memperluas pengetahuan khususnya pada
tenaga kesehatan di bidang Gawat Darurat. Disaster
1.4.3 Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan pengalaman yang sangar
berharga, serta untuk mempekarya wawasan tentang penelitian khususnya
dalam tingkat pengetahuan tenaga Kesehatan diusia muda dalam menghadapi
bencana banjir
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awas nagi penelitian
selanjutnya dalam pengetahuan tenaga Kesehatan menghadapi bencana banjir

1.1 Penelitian Terkait


1.5.1 Penelitian (Ekaj Septian dan Al Fatih 2019) tentang “Hubungan Karakteristik
Individu Dengan Kesiapsiagaan Perawat Puskesmas Dalam Menghadapi
Bencana Banjir Di Kabupaten Bandung. Tujuan : Mengidentifikasi
karakteristik perawat puskesmas (umur, pengalaman kerja,pengalaman
bencana dan pengalaman mengevakuasi korban) dan tingkat kesiapsiagaan.
Metode : Convenient Sampling. Sample : 46 Perawat (Indonesia). Hasil dari
penelitian tersebut didapatkan bahwa Dari 46 responden hanya 10 (21,7%)
perawat saja yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi, sedangkan sisanya
36 (78,3%) responden memiliki tingkat kesiapsiagaan sedang, Faktor yang
mendukung : 1. Usia 2. lama kerja Sedangkan subvariabel pengalaman
bencana sebelumnya dan pengalaman bencana di tempat pengungsian tidak
memiliki korelasi dengan kesiapsiagaan perawat puskesmas dalam
menghadapi bencana banjir
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Alam


2.1.1 Definisi
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang undang
no 24, 2007)

Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau


serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. (Undang undang no 24, 2007)

Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian


suatu komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia,
materi, ekonomi, atau lingkungan yang meluas yang melampaui
kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena dampak untuk
mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Bencana
dapat dibedakan menjadi dua yaitu bencana oleh faktor alam (natural
disaster) seperti letusan gunungapi, banjir, gempa, tsunami, badai, longsor,
dan bencana oleh faktor non alam ataupun factor manusia (man-made
disaster) seperti konflik sosial dan kegagalan teknologi.(Achmad Husain
dan Aidil, 2017)

Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap


kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya
nyawa 21 manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan
kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena.

2.1.4 Penyebab bencana


Menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa
atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.

Secara umum faktor penyebab terjadinya bencana adalah karena adanya


interaksi antara ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability).
Ancaman bencana menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 adalah
“Suatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana”.
Kerentanan terhadap dampak atau risiko bencana adalah “Kondisi atau
karateristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan
teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu
yang mengurangi kemampuan masyarakat untuk mencegah, meredam,
mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu”

2.1.3 Jenis Bencana


Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang penanggulangan bencana, yaitu :
2.1.3.1 Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal
teknologi,gagal modernisasi. dan wabah penyakit;
2.1.3.2 Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
Atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat
2.1.3.3 Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang
diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoprasian, kelalaian dan
kesengajaan, manusia dalam penggunaan teknologi dan atau
insdustriyang menyebabkan pencemaran, kerusakan bangunan,
korban jiwa, dan kerusakan lainnya
2.1.3.4 Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor.

2.1.4 Dampak Bencana


BNPB mencatat sepanjang tahun 2010 sampai dengan tahun 2020 dalam
rekaman Database Pengelolaan Data dan Informasi Bencana Indonesia
(DIBI) sebanyak 24.969 kejadian dengan jumlah korban jiwa sebanyak
5.060.778 jiwa dan rumah terdampak sebanyak 4.400.809 rumah serta
fasilitas umum rusak sebanyak 19.169 fasilitas yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia (BNPB, 2020).

Yang ditimbulkan dari bencana dapat berupa adanya masalah kesehatan


fisik dan mental, korban jiwa, kerusakan fasilitas umum, dan kerugian
harta benda. Upayaupaya untuk mengurangi dampak bencana tersebut
dapat dilakukan dengan manajemen bencana yang baik (Sinaga, 2015).

Berdasarkan catatan kejadian bencana pada periode tahun 1815 – 2012


yang di himpun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
bencana banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi dan
menduduki peringkat pertama di Indonesia. Kejadian banjir yang biasa
terjadi lebih disebabkan karena faktor curah hujan yang lebat dan
berkepanjangan pada musim penghujan sehingga akibatnya dapat
berdampak pada kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, sarana dan
prasarana, fasilitas umum dan sampai memakan korban jiwa

2.1.5 Manajemen Bencana


2.1.5.1 Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan
terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang
berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (Undang undang no
24,2007). Rumusan penanggulangan bencana dari UU tersebut
mengandung dua pengertian dasar yaitu :
(a) Penanggulangan bencana sebagai sebuah rangkaian atau siklus
(b) Penanggulangan bencana dimulai dari penetapan kebijakan
pembangunan yang didasari risiko bencana dan diikuti tahap
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

2.1.5.2 Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam UU No. 24


tahun 2007 secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

(a) Tanggap Darurat Bencana : Serangkaian tindakan yangdiambil


secara cepat menyusul terjadinya suatu peristiwa bencana,
termasuk penilaian kerusakan, kebutuhan (damage and needs
assessment), penyaluran bantuan darurat, upaya pertolongan,
dan pembersihan lokasi bencana
(b) Rehabilitasi : Serangkaian kegiatan yang dapat membantu
korban bencana untuk kembali pada kehidupan normal yang
kemudian diintegrasikan kembali pada fungsi-fungsi yang ada
di dalam masyarakat. Termasuk didalamnya adalah
penanganan korban bencana yang mengalami trauma
psikologis. Misalnya : renovasi atau perbaikan sarana-sarana
umum, perumahan dan tempat penampungan sampai dengan
penyediaan lapangan kegiatan untuk memulai hidup baru
(c) Rekonstruksi : Serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
situasi seperti sebelum terjadinya bencana, termasuk
pembangunan infrastruktur, menghidupkan akses sumber-
sumber ekonomi, perbaikan lingkungan, pemberdayaan
masyarakat; Berorientasi pada pembangunan – tujuan :
mengurangi dampak bencana, dan di lain sisi memberikan
manfaat secara ekonomis pada masyarakat

Ada terdapat 5 model manajemen bencana menurut (Sang G.P 2017) :


2.1.5.3 Disaster management continuum model. Model ini mungkin
merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahap-
tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-
tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency,
relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan
early warning
2.1.5.4 Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini
membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-
kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana
terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan
dengan disaster management continuum model.
2.1.5.5 Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap
tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief,
rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early
warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan
bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah
pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency
dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation,
reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
2.1.5.6 The crunch and release model. Manajemen bencana ini
menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi
bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga
kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
2.1.5.7 Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan
upayamanajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik
dalam bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan
kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

2.1.6 Mitigasi Bencana


Dalam UU No. 24 tahun 2007 , mitigasi didefinisikan sebagai serangkaian upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi bencana merupakan suatu aktifitas yang berperan sebagai tindakan
pengurangan dampak bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengurangi jumlah korban dan kerugian ketika bencana terjadi.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006: Mitigasi


didefinisikan sebagai “Upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak
dari bencana baik bencana alam,bencana ulah manusia maupun gabungan
dari keduanya dalam suatu negara atau masyarakat”. Mitigasi bencana
yang merupakan bagian dari manajemen penanganan bencana, menjadi
salah satu tugas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian rasa aman dan perlindungan dari ancaman bencana yang
mungkin dapat terjadi. Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana,
yaitu :
2.1.6.1 Tersedia informasi dan petakawasan rawan bencana untuk tiap
jenis bencana
2.1.6.2 Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran
masyarakat dalam menghadapi bencana, karena permukim di
daerah rawan bencana
2.1.6.3 Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta
mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan
2.1.6.4 Perngaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk
mengurangi ancaman bencana.

2.2 Banjir
2.2.1 Deinisi
Banjir adalah debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari
biasanya normal akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat
tertentu secara terus menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur
sungai yang ada, maka air melimpah keluar dan menggenangi daerah
sekitarnya (Ayu Sekar, 2020)

2.2.2 Jenis Jenis Banjir


Menurut Pusat Kritis Kesehatan Kemenkes RI (2018), ada 5 jenis banjir
sebagai berikut :
2.2.2.1 Banjir bandang : yaitu banjir yang sangat berbahaya karena bisa
mengankut apa saja. Banjir ini memberikan dampak kerusakan
cukup parah. Banjir bandang terjadi biasanya akibat gungulnya
hutan dan rentan terjadi didaerah pegunungan
2.2.2.2 Banjir air : merupakan jenis banjir yang sangat umum terjadi,
biasanya banjir ini terjadi akibat meluapnya air sungai, danau atau
selokan
2.2.2.3 Banjir lumpur : merupakan banjir yang mirip dengan banjir
bandang tapi banjir lumpur yaitu banjir yang keluar dari dalam
bumi yang sampai daratan. Banjir lumpur mengandung bahan yang
berbahaya dan bahan gas yang mempengaruhi Kesehatan makhluk
hidup lainnya.
2.2.2.4 Banjir ROB (Banjir Air Laut Pasang) : merupakan banjir yang
terjadi akibat pasangnya air laut, biasanya banjir ini menerjang
daerah disekitar pesisir pantai
2.2.2.5 Banjir Cileunang : merupakan banjir yang memiliki kemiripan
dengan banjir air, tapi banjir cileunang terjadi akibat deras hujan
sehingga tidak tertampung
2.2.3 Penyebab Banjir
Banjir tergolong kedalam sebuah bencana alam yang dapat terjadi pada
sebuah kawasan yang memiliki jarak yang berdekatan dengan aliran
sungai sehingga, air suatu kawasan luas dan menyebabkan tertutupnya
permukaan bumi pada kawasan tersebut. Akhmad Asrofi (2017) terdapat
beberapa faktor umum penyebab terjadinya banjir pada suatu wilayah,
diantaranya sebagai berikut :
2.2.3.1 Perubahan Tata Guna Lahan Debit puncak naik dari 5 sampai 35
kali karena DAS tidak dapat menahan aliran air, sehingga aliran air
permukaan (run off) menjadi besar dan menyebabkan debit air
sungai membesar dan terjadi erosi lahan yang berakibat
sedimentasi pada sungai, yang berdampak pada menurunnya
kapasitas sungai.
2.2.3.2 Sampah Sungai/drainase tersumbat sampah, sehingga jika air
melimpah air akan keluar dari sungai karena daya tampung saluran
berkurang.
2.2.3.3 Erosi dan Sedimentasi Adanya perubahan tata guna lahan
menyebabkan erosi yang berakibat sedimentasi masuk ke sungai
sehingga daya tampung sungai berkurang. Penutup lahan vegetatif
yang rapat merupakan penahan laju erosi yang paling tinggi.
2.2.3.4 Kawasan Kumuh di Sepanjang Sungai/Drainase
Terdapatnya kawasan kumuh pada sepanjang sungai/drainase akan
menghambat aliran air, ataupun daya tampung sungai. Sehingga
masalah kawasan kumuh merupakan faktor penting terhadap
masalah banjir di perkotaan.
2.2.3.5 Perencanaan Sistem Pengendalian Banjir Tidak Cepat Sistem
pengendalian banjir dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil
ataupun banjir sedang, namun tidak dapat mengurangi kerusakan
pada banjir besar. Sehingga limpasan pada tanggul pada waktu
banjir akan menyebabkan keruntuhan tanggul, sehingga tanggul
tidak dapat menampung kecepatan air yang sangat besar sehingga
menyebabkan banjir
2.2.3.6 Curah Hujan Curah hujan yang memiliki intensitas yang
tinggi pada musim penghujan akan menyebabkan banjir pada
beberapa titik di suatu wilayah, dikarenakan kapasitas air yang
tinggi akan menyebabkan banjir pada sungai dan akan berakibat
pada genangan/banjir pada permukiman masyarakat.
2.2.3.7 Kapasitas Sungai Pengurangan kapasitas aliran banjir pada
sungai dapat disebabkan karena adanya pengendapan yang berasal
dari erosi DAS, erosi tanggul sungai yang berlebihan. Serta
sedimentasi.
2.2.3.8 Pengaruh Air Pasang Adanya air pasang akan memperlambat aliran
sungai ke laut. Terdapatnya waktu banjir yang bersamaan dengan
air pasang tinggi maka tinggi genangan banjir akan menjadi besar
karena terjadi aliran balik (backwater).

2.2.4 Dampak Terjadinya Banjir


Banjir memiliki dampak negatif dan positif diantaranya sebagai berikut :
2.2.4.1 Dampak poisitif akibat banjir antara lain :
(a) Banjir memberikan kesempatan kepada manusia bila banjir
yang menimpa kita tidak terlalu parah, maka sebenarnya kita
telah diberi kesempatan oleh tuhan untuk menjalani hidup kita
lebih lanjut dan lebih baik
(b) Banjir membuat kita berbipikir kreatif ketika kita dilanda banjir
otak kita akan berpikir spontan dan kreatif untuk mencari jalan
alterntif menyalamatkan benda, perlengkapan, harta benda, dan
terutama jiwa kita serta keluarga kita
(c) Banjir membuat menusia untuk peduli kepada sesame disaat
terjadi banjir, manusia umumnya akan peduli kepada dan
fberlomba lomba untuk memberikan bantuan.
2.2.4.2 Dampak negatif akibat banjir antara lain :
(a) Banjir dapat merusak sarana dan prasarana. Dapat
menghancurkan gedung, jembatan, jalan dan masih banak lagi
(b) Banjir memutuskan jalur transfortasi darat. Akibat genangan
air pada jalan yang cukup tinggi semua transfortasi darat tidak
bisa dilewati
(c) Banjir merusak dan bahkan menghilangkan peralatan,
perlengkapan, harta benda lainnya atau bahkan jiwa manusia

1.2.5 Penanggulangan Banjir


Cara menanggulangi bencana banjir :
2.2.5.1 Memfungsikan sungai dan selokan sebagaimana mestiny, karena
sungai dan selokan merupakan tempat aliran air, jangan sampai
fungsinya berubah menjadi tempat sampah
2.2.5.2 Larangan membuat rumah didekat sungai.
2.2.5.3 Menanam pohon dan sisa pohon jangan ditebangi lagi. Karena
pohon adalah salah satu penopang kehidupan disuatu kota.
Bayangkan satu kota tidak memiliki pohon sama sekali
2.2.5.6 Larangan membuang sampah sembarangan

2.3 Kesiapsiagaan
2.3.1 Definisi
Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui Langkah
yang tepat guna dan berdaya guna (BNPB 2019)

Kesiapsiagaan berarti merancanakan tindakan untuk merespons jika terjadi


bencana. Kesiapsiagaan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan siap
siaga dalam menghadapi krisis bencana, keadaan darurat dan lainnya.
(Utomo et al, 2018)

2.3.2 Manajemen kesiapsiagaan bencana


Menurut (B.Wisnu Widjaja 2017) Secara umum, kegiatan latihan
kesiapsiagaan dibagi menjadi 5 (lima) tahapan utama, yakni tahap
perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi.

2.3.2.1 Tahapan Perencanaan


(a) Membentuk team perencana seperti pembentukan organisasi
latihan kesiapsiagaan agar pelaksaaan evakuasi berjalan
dengan baik dan teratur.
(a) Tim perngarah terdiri dari pengarah, penanggung jawab, bidang
perencanaan yang ketika pelaksanaan tim perencana berperan
sebagai tim pengendali. Fungsi masing-masing, yakni :
Pengarah, bertanggung jawab memberi masukan yang bersifat
kebijakan untuk penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan, dan
dapat memberikan masukan yang bersifat teknis dan
operasional, mengadakan koordinasi, serta menunjuk
penanggung jawab organisasi latihan kesiapsiagaan.
(b) Penanggung Jawab, membantu pengarah dengan memberikan
masukan-masukan yang bersifat kebijakan, teknis, dan
operasional dalam penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan
(c) Bidang Perencanaan/Pengendali, merencanakan Latihan
kesiapsiagaan secara menyeluruh, sekaligus menjadi
pengendali ketika Latihan dilaksanakan..
(d) Bidang Opersional Latihan menjalankan perannya saat latihan.
Yang terdiri dari Peringatan Dini, Pertolongan Pertama,
Evakuasi dan Penyelamatan, Logistik serta Keamanan turut
diuji dalam setiap latihan.
(e) Bidang Evaluasi, mengevaluasi latihan kesiapsiagaan yang
digunakan untuk perbaikan latihan ke depannya.

2.3.2.2 Tahap Persiapan


(a) Briefing-briefing untuk mematangkan perencanaan latihan.
Pihak pihak yang perlu melakukan briefing antara lain tim
perencana, peserta simulasi, dan tim evaluator/observer.
Informasi yang harus disampaikan selama kegiatan yaitu :
Waktu, batasan simulasi, lokasi, dan keamanan,
(b) Memberikan poster, leaflet, atau surat edaran kepada siapa saja
(c) Memasang peta lokasi dan jalur evakuasi di tempat umum yang
mudah dilihat semua orang yang terlibat latihan kesiapsiagaan

2.3.2.3 Tahap Pelaksanaan


(a) Tentukan tiga tanda peringatan : Tanda latihan dimulai, tanda
evakuasi, tanda latihan berakhir
(b) Reaksi terhadap peringatan : Latihan ini ditujukan untuk
menguji reaksi peserta latih dan prosedur yang ditetapkan
(d) Rekamlah proses latihan dengan kamera foto. Jika
memungkinkan, rekam juga dengan video.

2.3.2.4 Tahap Evaluasi


Evaluasi adalah salah satu komponen yang paling penting dalam
latihan. Tanpa evakuasi, tujuan dari latihan tidak dapat diketahui,
apakah tercapai atau tidak.

2.4 Karaktero

Anda mungkin juga menyukai