Anda di halaman 1dari 84

TUGAS INDIVIDU

“Resume Materi Pertemuan 1-14”


Mata Kuliah Keperawatan Bencana 1

Disusun oleh :

Desti Firgiawanty
(C1AA17035)

Tingkat 4B

PROGRAM STUDI SARJANA KPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
Jl. Karamat No.36 Telp (0266) 210215 Fax. (0266) 223709
SUKABUMI 43122
TA 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas

perbaikan mata kuliah Keperawatan Bencana 1 di STIKes Sukabumi. Terselesaikannya

makalah ini atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penyusun

menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang terkait.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,

untuk itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat mengarah pada perbaikan

dan dalam rangka penyempurnaan.

Akhir kata, penyusun mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya semoga bantuan

dan dukungan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebesar-besarnya dari Allah

SWT. Aaminn.

Sukabumi, 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh
faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam,
dan bencana sosial. (Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2012)

Wilayah negara Indonesia adalah rawan terjadi bencana alam terutama


bencana gempa bumi dan erupsi gunung berapi. Hal ini diakibatkan letak posisi
Indonesia terletak pada lempengan tektonik yaitu Indo-Australian, Eurasia dan Pacific
yang menghasilkan tumpukan energi dalam batas ambang tertentu. Posisi inilah yang
pada akhirnya menyebabkan Indonesia sering terjadi bencana seperti gempa bumi dan
tsunami. Berdasarkan kondisi tersebut, maka beberapa daerah di Indonesia dibentuk
tim siap siaga bencana untuk membimbing , memberikan penyuluhan dan motivator
kepada masyarakat dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana (Safety Sign, 2018)

Bencana dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar dan berdampak pada
segala aspek. (Center for Research on the Epidemiology of Disaster (CRED), 2 2016)
mencatat padatahun 2016terjadi 342 bencana alam yang mengakibatkan 8.733 korban
meninggal dunia dan 569,4 juta jiwa mengalami dampak dari bencana dimana korban
yang terdampak bencana mengalami peningkatan dari tahun sebelumnyayaitu
sebanyak 98,5 juta jiwa. Indonesia yang dilalui oleh pertemuan 3 lempeng
menyebabkan sering terjadinya gempa bumi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, pada


tahun 2017 terjadi 4.606 gempa bumi dengan rentang 3 skala richter hingga 9,5 skala
richter, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 3.034 kejadian gempa bumi.
Provinsi Bali mencatat 210 kali kejadian gempa bumi pada tahun 2017 dengan
rentang kekuatan 3 SR sampai 9,5 SR. pada tahun 1917 gempa bumi dahsyat
mengguncang seluruh daratan Bali. Akibat gempa bumi ini tercatat korban tewas 1500
orang gempa bumi dahsyat yang kedua adalah gempa bumi seririt yang terjadi pada
tanggal 14 Juli 1976. Gempa bumi ini berkekuatan 6.2 Skala Richter dan menelan
korban jiwa sebanyak 559 orang, luka berat 850 orang dan luka ringan 3.200 orang.
Dilaporkan juga, hampir 75% dari seluruh bangunan rumah di Tabanan dan Jembrana
mengalami kerusakan. Gempa bumi Karangasem pertama terjadi pada tanggal 17
Desember 1979 dengan kekuatan 6.0 Skala Richter yang menelan korban jiwa
sebanyak 25 orang, 47 luka berat. Dampak gempa bumi telah menimbulkan puluhan
rumah roboh dan ditemukan retakan tanah sepanjang 500 meter. Gempa bumi
Karangasem kedua terjadi pada tanggal 2 januari 2004 dengan kekuatan 6.2 Skala
Richter yang menelan seorang korban jiwa dan 33 orang luka-luka (InaTEWS-
BMKG, 2017). Gempa terbesar yang pernah terjadi di Bali dan menimbulkan tsunami
terjadi pada 12 November 1815, 3 13 Mei 1857, dan 21 Januari 1917 (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI),2011).

Pelatihan merupakan suatu proses (kegiatan) Pendidikan jangka pendek


dengan menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir yang dirancang untuk
meningkatkan berbagi keahlian, pengetahuan, pengalaman, yang berarti perubahan
sikap (Siagian,2014). Menurut (International Federation Red Cross, 2012)
kesiapsiagaan adalah Segala upaya untuk menghadapi situasi darurat serta mengenali
berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan saat itu. Hal ini bertujuan agar
masyarakat memiliki persiapan yang baik saat menghadapi bencana.

Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang digunakan untuk mengantisipasi


bencana. Faktor utama yang menjadi kunci untuk kesiapsiagaan adalah pengetahuan.
Dengan pengetahuan yang dimiliki dapat mempengaruhi sikap dan kepedulian untuk
siap siaga dalam mengantisipasi bencana. Kesiapsiagaan merupakan salah satu proses
manajemen bencana, pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting
dari kegiatan pencegahan pengurangan resiko bencana (Sinsiana, 2015).

Pengetahuan merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan.


Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat memengaruhi sikap dan kepedulian untuk
siap siaga dalam mengantisipasi bencana. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian
dari proses manajemen bencana dan didalam konsep bencana yang berkembang saat
ini, pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan
pencegahan pengurangan risiko bencana yang 4 bersifat pro- aktif, sebelum terjadinya
suatu bencana. Faktor utama yang dapat mengakibatkan bencana tersebut
menimbulkan korban dan kerugian besar , yaitu kurangnya pemahaman tentang
karakterisitik bahaya, sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan sumber
daya alam, kurangnya informasi peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan,
dan ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi bencana.
Kesiapsiagaan dikelompokkan menjadi empat parameter yaitu pengetahuan dan sikap,
perencanaan kedaruratan, sistem peringatan dan mobilisasi sumber daya (Firmansyah,
2014).

Peran perawat dalam manajemen bencana yaitu pada saat fase pra, saat dan
pasca bencana. Salah satu peran perawat dalam fase pra bencana adalah perawat
terlibat dalam promosi kesehatan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat dalam
menghadapi bencana. Perawat memiliki peran kunci dalam kesiapsiagaan masyarakat
terhadap bencana. Perawat sebagai profesi tunggal terbesar dalam layanan kesehatan
harus memahami siklus bencana, tanpa integrasi keperawatan dalam setiap tahap
bencana masyarakat akan kehilangan bagian penting dalam pencegahan bencana
karena perawatan merupakan respon terdepan dalam penanganan bencana (Efendi &
Makhfudli, 2009)

Dari uraian di atas, maka diperlukan adanya pedoman untuk dijadikan sebagai acuan
dalam penatalaksanaan bencana.

B. Tujuan Penulisan

Pembaca (khususnya mahasiswa) dapat memahami konsep dasar keperawatan


bencana agar dapat turut serta dalam upaya penanggulangan bencana.

C. Manfaat Penulisan

Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penbaca tentang manajemen


bencana.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Keperawatan Bencana

Bencana merupakan krisis yang melampaui kapasitas individu dan masyarakat


untuk menanggulangi dampaknya yang merugikan. Bencana merupakan peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
terjadi baik akibat fenomena alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (UU 24/2007).

1. Klasifikasi Bencana

a. Sumber

- Alam (natural disaster)

- Ulah manusia (man-made disaster)

- Kompleks (multi-faktor)

b. Waktu munculnya

- Mendadak (sudden-onset disaster)

- Perlahan (gradual-onset disaster)

2. Dampak Bencana
Indonesia disebut sebagai SUPERMARKET bencana atau negeri 1001
bencana. Dampak bencana yang terjadi diantaranya :
a. Kematian, cedera, dan penyakit yang diluar perkiraan.
b. Kerusakan infrastruktur kesehatan dan program kesehatan terganggu.
c. Peningkatan resiko potensial penyakit menular dan bahaya lingkungan.
d. Perekonomian, sekolah, dan infrastruktur hancur.
e. Mempengaruhi perilaku psikologis dan sosial masyarakat yang terkena.
Mengakibatkan kelangkaan pangan (gangguan gizi).
f. Menimbulkan mobilisasi populasi yang massif sehingga meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas akibat ketidakmampuan layanan kesehatan
menanggulangi masalah kesehatan mereka.
3. Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah segla upaya untuk pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang
dilakukan pada sebelum, saat, dan setelah bencana.
Kegiatan manajemen bencana diantaranya :
a. Pencegahan (prevention)
Misalnya :
- Melarang pembakaran hutan dalam perladangan
- Melarang penambangan baru di daerah yang curam
Pencegahannya :
- Membuat peta daerah bencana
- Mengadakan dan mengaktifkan isyarat-isyarat tanda bahaya
- Menyusun rencana umum tata ruang
- Menyusun perda tentang syarat kemana, bangunan pengendalian limbah
dsb.
- Mengadakan peralatan/perlengkapan Ops. PB
- Membuat prosedur tetap, petunjuk, pelaksanaan, petunjuk teknis PB
- Perbaikan kerusakan lingkungan
b. Mitigasi (mitigation)
Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencna melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (UU No. 24/2007)
Ada 2 bentuk mitigasi :
─ Mitigasi struktural (membuat chekdam, bendungan, tanggul sungai, dll).
─ Mitigasi non struktural (peraturan, tata ruang, pelatihan) termasuk
spiritual.
c. Kesiapan (preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna (UU No. 24/2007). Kesiapsiagaan yang dilakukan antara lain, penyiapan
sarana komunikasi, pos komando, penyiapan lokasi evakuasi, rencana
kontijensi dan sosialisasi peraturan/pedoman penanggulangan bencana.
d. Peringatan dini (early warning)
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh
lembaga yang berwenang (UU No. 24/2007).
Pemberian peringatan dini harus menjangkau masyarakat (accesible), segera
(immediate), tegas tidak membingungkan (coherent), dan bersifat resmi
(official)
e. Tanggapan darurat (respone)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan ddengan segera pada saat
kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana (UU No. 24/2007).
f. Bantuan darurat (relief)
Bantuan kebutuhan dasar diantaranya pangan, sandang, papan/tempat
tinggal (sementara), dan kesehatan termasuk sanitasi dan air bersih.
g. Pemulihan (recovery)
Serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan
lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi (UU
No. 24/2007). Pemulihan meliputi pemulihan fisik dan non fisik.
h. Rehabilitasi (rehabilitation)
Perbaikan dan pamulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat. (UU No. 24/2007)
i. Rekonstruksi (reconstruction)
Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada
wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat
dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,
sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan bengkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat.

Bagan Manajemen Bencana

Prinsip Pokok Manajemen Bencana


a. Komprehensif, kegiatan yang mencakup segala fase dan seimbang
b. Integratif, memadukan berbagai sistem yang berjalan
c. Pendekatan terhadap segala risiko bahaya, memeriksa berbagai skala potensi
bahaya yang mungkin dan mengenal berbagai konsekuensi umum setiap jenis
bencana
d. Pendekatan manajemen risiko yang sistematik, menentukan berbagai opsi
penanggulangan risiko
e. Perencanaan kelangsungan usaha, pelayanan kesehatan harus terus berlangsung
dalam berbagai kondisi
f. Mo-nev (monitoring-evaluasi) berkelanjutan, memantau interkasi dinamis antara
masyarakat, ancaman dampak dan sistem penanggulangan
g. Kooperasi & koordinasi, seluruh sektor terkait bekerjasama (termasuk korban
bencana), saling mendukung dan berkoordinasi untuk mencapai hasil yang
sinergistik
h. Berbasis pada informasi teknis dari para ahli yang akurat, merupakan dasar
pengambilan keputusan dan rencana aksi yang adekuat

B. System Penanggulangan Bencana Terpadu yang Terintegrasi pada


Sistem Pelayanan Kesehatan
SPGDB adalah rangkaian penyelamatan pada saat pra intra dan pasca bencana
pelayanan pasien gawat darurat yang saling terkait dilaksanakan di tingkat pra RS,
intra RS dan antar RS. Berpedoman pada respon Time yang menekankan Time Saving
is Limb Saving, yang melibatkan masyarakat awam umum dan khusus, petugas
medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan komunikasi harapannya dalam
penanganan korban dapat mempercepat waktu penanganan korban.
Paradigmanya yaitu pelayanan kesehatan gawat-darurat merupakan hak dan
kewajiban semua masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan merupakan
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, serta UUD 1945.

1. Fase kejadian bencana


a. Non Disaster (interdisaster Phase) : Periode waktu di antara satu bencana
dengan bencana berikutnya.
b. Predisaster (Preimpact Phase) : Bencana belum terjadi tapi info tentang
bencana sudah cukup.
c. Impact (Impact Phase) : Bencana sedang terjadi dan komunitas mengalami
dampaknya secara langsung.
d. Emergency (Post impact Phase) : Terlihatnya respon komunitas terhadap
bencana
e. Recontruction (Recovery Phase) : Restorasi infrastruktur & kembalinya
motivasi untuk meneruskan hidup.
2. Safe Community
a. Keadaan sehat dan aman yang tercipta dari, oleh dan untuk masyarakat.
Pemerintah dan teknokrat merupakan fasilitator dan pembina
b. Gerakan agar tercipta masyarakat yang merasa hidup sehat, aman dan
sejahtera dimanapun mereka berada yang melibatkan peran aktif himpunan
profesi maupun masyarakat
c. SPGDT
 Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu
 Dilaksanakan secara harian dalam 24 jam
d. SPGDB
 Sistem Pelayanan Gawat Darurat Dalam Bencana
 Bentuk eskhalasi dari SPGDT jika terjadi bencana massal

3. Pre-Hospital Service
Prinsipnya mendekatkan fasilitas kesehatan ke tempat kejadian bencana untuk
memaksimalkan the golden hour. Bentuk pelayanannya ambulan gadar 24 jam.
Indicator mutu : respon time.

4. Public Safety Center (PSC)


Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal
kegawatdaruratan, termasuk pelayanan medis yang dapat dihubungi dalam waktu
singkat dan dimanapun berada (gabungan dari AGD 118, SAR/PK 113, Polisi
110). Merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk
mendapatkan respons cepat (quick response) terutama pelayanan pra RS.

PSC akan memberikan berikan layanan seperti :

 Panduan tindakan awal melalui algoritma gadar


 Mengirim bantuan petugas dan ambulan
 Mengirim pasien ke faskes terdekat.

5. Lingkup Bantuan
 Pra Bencana
 Saat Tanggap Darurat
 Pasca Bencana

UU RI No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana


Setiap Orang Berhak

 Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok


masyarakat rentan bencana
 Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
 Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana.
 Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program
penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;
 Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan
bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya
 Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan
penanggulangan bencana.

6. Sistem Komando Musibah Masal

Pada setiap terjadi musibah masal harus ada komandan lapangan yang menjadi
komandan utama di lapangan tergantung dari jenis dan tempat bencana nya. Pada
umumnya komandan ini akan berasal dari Kepolisian. Di daerah militer,
komandan adalah militer setempat atau di pelabuhan, komandan adalah
syahbandar atau kepala pelabuhan udara.

 Bencana di tingkat kabupaten dan masih dapat ditanggulangi sendiri, maka


pimpinan akan diambil alih oleh bupati melalui SatLak PBP (Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi).
 Bila bencana terjadi di tingkat propinsi dgn skalalebih besar,maka pimpinan
akan diambil alih oleh gubernur melalui SatkorLak PBP (Satuan Koordinasi
Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi).
 Bila bencana sangat besar dan mencapai tingkatan nasional, maka pimpinan
diambil oleh pimpinan negara dan dilaksanakan oleh Bakornas PBP (Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi).

Di pos komando utama akan diatur :

 Struktur Komando
 Operasional
 Logistik
 Perencanaan
 Keuangan

7. Unsur-Unsur Yang Mungkin Terlibat :


 Keamanan : kepolisian dan TNI
 Rescue : pemadam kebakaran, Basarnas Kesehatan
 Sukarelawan (hampir selalu PMI terlibat)
 Masyarakat umum

8. Area Di Daerah Bencana


 Area 1 : daerah kejadian ( Hot Zone )
Daerah terlarang, kecuali untuk petugas penyelamat (rescue) yang sudah
mamakai alat proteksi yang sudah benar dan sudah mendapat izin masuk dari
komandan di area ini karena area ini Masih sangat berbahaya
 Area 2 : daerah terbatas ( Warm Zone )
Di luar area 1, hanya boleh dimasuki petugas khusus, seperti tim
kesehatan,dekontaminasi petugas ataupun pasien. Pos komando utama dan sektor
kesehatan harus ada pada area ini.
 Area 3 : daerah bebas ( Cold Zone )
Di luar area 2. Tamu, wartawan, masyarakat umum dapat berada di zone ini
karena jaraknya sudah aman.
9. Bantuan Kesehatan Bencana
Kesehatan diharapkan mempunyai sektor sendiri untuk kegiatan penanganan
penderita gawat darurat, yang terdiri dari komponen :
 Triase (pemilahan penderita)
 Terapi (pengobatan) sementara
 Transportasi (rujukan)

10. Organisasi Operasi Pertolongan


─ Pos kesehatan lapangan
─ Pos kesehatan depan
─ Pos kesehatan belakang
─ Pos kesehatan cadangan
─ Pos kordinasi operasi pertolongan

Pada saat awal, maka yang harus dilakukan adalah

 Penilaian cepat
 Triase penderita
 Penanganan penderita

11. START (Simple Triage And Rapid Treatment)


a. Awal :
Panggil semua penderita yang dapat berjalan, dan perintahkan untuk pergi ke
daerah tertentu atau daerah yang sudah aman. Semua penderita di tempat ini
mendapatkan kartu hijau
b. Airway
Pergi ke penderita yang terdekat, dan periksalah apakah masih bernafas.Bila
sudah tidak bernafas, buka Airway, dan lihatlah apakah tetap tidak bernafas. Bila
tetap tidak bernafas beri label Hitam. Bila kembali bernafas beri label Merah
Bila bernafas spontan pergi ke tahap berikut (breathing)
c. Breathing
Bila penderita dapat bernafas spontan, hitung kecepatan pernafasan.
Bila > 30 kali per menit : Merah
Bila < 30 kali per menit, pergi ke tahap berikut
d. Circulation
Periksa dengan cepat adanya pengisian kembali kapiler (capillary refill). Bila
lebih dari 2 detik : Merah. Bila kurang dari 2 detik : pergi ke tahap berikut.
e. Kesadaran
Penderita harus mengikuti perintah kita (angkat tangannya ?) Tidak dapat
mengikuti perintah : Merah. Dapat mengikuti perintah : Kuning

12. Klasifikasi Korban


a. Prioritas utama (warna merah) Ada gangguan A-B-C. Contoh : penderita
sesak (gangguan airway), Cervikal-spine injury, pneumothorax, perdarahan
hebat, shock, hypotermi.
b. Prioritas sedang (Warna kuning) tanpa gangguan A-B-C, Tanpa gangguan
ABC tetapi akan menjadi buruk bila tidak diatasi atau di tinggalkan. Contoh :
patah tulang paha, luka bakar tanpa gangguan Airway.
c. Prioritas rendah (Warna Hijau) contoh : penderita dengan luka tidak berdarah
lagi atau patah tulang lengan atau tangan. ABC tidak ada masalah.
d. Bukan prioritas (warna hitam) sudah meninggal.

13. Hospital Stage


a. UGD berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita gawat
darurat
b. UGD menggambarkan kemampuan suatu RS secara keseluruhan
c. Sebagai pusat rujukan korban dari Pre Hospital Stage

14. Tujuan
Menyamakan persepi tentang manajemen bencana baik pada waktu pra
bencana (kesiapsiagaan bencana) maupun pada waktu bencana.

15. Penderita Gawat Darurat


Penderita gawat darurat adalah penderita yang terancam kematian dan
kecacatan jika tidak segera mendapatkan bantuan pertolongan.

16. Klasifikasi Penderita Gawat Darurat


Penderita gawat darurat adalah penderita yang terancam kematian dan
kecacatan jika tidak segera mendapatkan bantuan pertolongan. Ada 2 macam
klasifikasi penderita gawat darurat diantaranya yaitu :
 Critical ill Patient : Perlu pertolongan segera karena terancam jiwanya
(kondisi gawat)
 Emergency Patient : Perlu pertolongan segera (darurat) dengan kemungkinan
terancam jiwanya (gawat) atau mungkin tak ada ancaman jiwa.

17. Fase Perjalanan Penderita Gawat Darurat

18. Faktor Kehidupan Penderita Gawat Darurat


Kehidupan penderita gawat darurat tergantung pada, sebagai berikut :
 Airway Tidak ada sumbatan
 Ventilasi Terpenuhi
 Sirkulasi Tidak Terganggu
 Neurologis Normal
 Cara Ekstrikasi, Evakuasi & Transportasi dilakukan secara tepat

19. Three Models of Death caused by Trauma


a. Tahap Pertama : terjadi dalam detik-menit & sudah terjadi kerusakan organ
permanen
b. Tahap Kedua : kemaian terjadi setelah beberapa jam
c. Tahap Ketiga : kematian terjadi dalam beberapa hari-minggu, karena infeksi
atau gagal multi organ dll

20. Prinsip dasar pertolongan (Initial Assesment)


a. Primary survey
 Airway Management
 Breathing Management
 Circulation Management
 Disability
 Ekposure
b. Secondary survey
 Head to toe evaluation
 Anamnesis fokus = AMPLE//KOMPAK
 Diagnostik test

21. Nasib Korban Bencana


a. Berapa lama ditemukannya
b. Siapa penolong pertamanya
c. Berapa lama datangnya bantuan lanjut

22. Rantai SPGDT


Masyarakat -> Pelayanan Kesehatan -> RS Kelas C -> RS Kelas B/A

23. Respons Time


 Seberapa cepat sebuah sistem pelayanan gawat darurat dapat tiba di tempat
kejadian cedera/musibah
 Gambaran tingkat kualitas SPGDT
 Tidak boleh lebih lama dari 15 menit

24. Situasi Darurat Di Indonesia


Di Indonesia situasi gawat darurat cenderung meningkat
 Kematian ibu dan bayi
 Penyakit jantung
 Stroke
 Penyakit infeksi
 Bencana alam dan akibat ulah manusia
Potret di Indonesia pasien gawat darurat cenderung meningkat

25. Community Preparedness

Kesiapan Individu atau keluarga :

 Tahu dimana lokasi untuk berkumpul


 Punya daftar kontak keluarga, tetangga, sekolah, RS, dll
 Memiliki kotak peralatan darurat
 Mampu menjadi penolong Pertama

Kemampuan Dasar awam

 Cara meminta bantuan pertolongan


 Teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
 Teknik mengontrol perdarahan
 Teknik memasang balut-bidai
 Teknik evakuasi dan transportasi

26. Disaster Preparedness Plan/DPP

Disaster Preparedness Plan/DPP adalah “Perencanaan kesiapsiagaan


bencana” bagian dari proses managemen bencana di satu area/wilayah. Bertujuan
mencegah atau meminimalkan kematian serta kerusakan akibat bencana. Wajib
bagi rumah sakit, gedung kantor & perdagangan, area pariwisata ataupun pusat
keramaian lainnya.

Dissaster Plan untuk suatu kota/wilayah memuat mekanisme sebagai berikut:

a. Aktivasi dan mobilisasi intra rumah sakit


b. Kordinasi Sistem Rujukan
c. Kordinasi Operasi Pertolongan
i. Komponen Sistem
d. Sistem komunikasi
e. Pelatihan
f. Sarana transportasi
g. Pendanaan
h. Sistem penjaminan mutu
i. Hukum & peraturan

27. Kompetensi Dasar Tenaga Kesehatan


a. Berkomunikasi efektif dan efisien
b. Mampu mengontrol situasi TKP
c. Membuka jalan napas & memproteksi Cervical
d. Memberikan oksigenasi dan bantuan ventilasi
e. Basic Life Support/CPR/RJP
f. Mengontrol perdarahan
g. Mengelola aritmia yang mengancam jiwa
h. Mencegah dan mengatasi syok
i. Membalut dan membidai
j. Membantu persalinan normal
k. Teknik evakuasi, ekstrikasi dan transportasi
l. Paham SPGDT di wilayahnya

28. Faktor Penyebab Meningkatnya Resiko Akibat Bencana


a. Politis : kebijakan, sistem pengaturan, organisasi, dana, upaya preventif &
promosi
b. Ekonomis : Perilaku “membandel” masyarakat miskin sbg kelompok resiko
tinggi.
c. Sosial Budaya : sikap pasrah, tidak waspada, perilaku unsafety
d. Bencana sulit diprediksi kapan terjadi, jenis dan besarnya

C. Etika dan Hukum pada Penanganan Gawat Darurat Bencana


Etika adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat atau ketentuan yang
ditentukan kelompol profesi dengan membuat standar yang disepakati Bersama.
Sedangkan hukum adalah kumpulan kaidah/norma hukum yang dibuat oleh negara
sebagai pedoman atau undang-undang untuk mengatur masyarakat.
1. Prinsip-Prinsip Yang Mempengaruhi Etika Klinik
a. Autonomy: seseorang mempunyai hak untuk memilih pelayanan kesehatan
bagi dirinya
b. Beneficence : ketentuan untuk memberikan sesuatu yg terbaik untuk klien.
c. Nonmaleficence : ketentuan dalam memberikan pelayanan menghindarkan
hal-hal yang buruk.
d. Justice : ketentuan dalam memberikan penanganan yang sama pada setiap
orang tidak memilih/ membeda-bedakan.
2. Aspek Legal pada Masalah Kesehatan
a. UU Kesehatan
b. Hukum Pidana dan Perdata
c. Hukum Khusus (Negara)
d. Perpres, Kep Men
e. Kode Etik
f. Standar Profesi
g. Standar Operating Prosedure
3. Kewajiban Petugas Kesehatan
a. Kewajiban menolong

 KUH Pidana pasal 304 : tidak membiarkan seorang dalam keadaan


sengsara
 KUH Pidana pasal 531 : memberikan pertolongan pada orang yang
sedang menghadapi maut.
 UU Kesehatan no 36/2009 pasal 23 : wajib memelihara dan
meningkatkan kesehatan
b. Kewajiban untuk bekerja hati-hati

 KUH Pidana pasal 359, 360, 361 : kelalaian, kealpaan


 UU Kesehatan pasal 53, pasal 54, pasal 55, pasal 59 : perlindungan
hukum, standar profesi & hak pasien lalai/ alpa, tindakan disiplin, ganti
rugi, perizinan sarana kesehatan.
 KUH Perdata pasal 1365, pasal 1366, pasal 1367 : ganti rugi karena
perbuatan hukum, ganti rugi karena kelalaian, ganti rugi karena
perbuatan bawahan.
c. Kewajiban melapor
 KUHAP ps 108 : melapor bila ada tindak pidana
d. Kewajiban membantu penyidik
 KUHAP 179: wajib memberi keterangan ahli
 UU Kesehatan 53(3) tindakan medis untuk kepentingan pembuktian
e. Kewajiban administratif
 Permenkes no 749a/Menkes/Per/XII/1989 : tentang rekam medis
 Permenkes no 585/Menkes/Per/IX/1989 : tentang persetujuan tindakan
medis
4. Prinsip Penanggulangan Bencana
Menrut UU No. 24 2007 :
a. Cepat dan Tepat
Yang dimaksud dalam prinsip ini adalah bahwa dalam penanggulangan
bencana harus cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
Keterlambatan dalam penanganan akan meningkatkan dampak baik dari segi
material maupun korban jiwa.
b. Prioritas
Yang dimaksud dengan prioritas adalah apabila terjadi bencana,
kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada
kegiatan penyelamatan kegiatan manusia.
c. Koordinasi Dan Keterpaduan
Prinsip koordinasi adalah Penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung.
Prinsip keterpaduan adalah penanggulangan bencana dilakukan oleh
berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik
dan saling mendukung.
d. Berdaya Guna Dan Berhasil Guna
Bahwa dalam memberikan pertolongan pada korban bencana alam
perlu memperhatikan aspek waktu, tenaga dan biaya.
e. Transparansi dan Akuntabilitas
Penanggulangan bencana harus dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggung jawabkan secara etik dan hukum.
f. Kemitraan
Penangggulangan bencana tidak hanya difokuskan pada tugas
pemerintah, tetapi harus melibatkan peran serta lembaga/organisasi lain dan
masyarakat luas.
g. Pemberdayaan
Merupakan upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengetahui, memahami dan melakukan langkah – langkah antisipasi,
penyelamatan dan pemulihan bencana.

h. Non Diskriminatif
Tindakan penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang
berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apapun.
i. Non Proletisi
Larangan menyebarkan agama atau keyakinan dalam keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat
bencana.
5. Kebijakan Penanganan Bencana di Indonesia
a. UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
b. Keppres no 3 tahun 2001 tentang BAKORNAS PBP
c. Keppres no 111 tahun 2001 tentanng perubahan atas Keppres no 3 tahun
2001
d. UU bencana no 24 – 2007 badan nasional penanggulangan bencana badan
penanggulangan bencana daerah TK I/ II
Bab XII ps 80 . Pada saat berlakunya UU ini semua peraturan per UU yang
berkaitan dengan PB dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan UU ini.
6. Dasar Kebujakan Penanganan dari Sektor Kesehatan
a. UU RI no 24 th 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. Kep Menkes RI no 448/Menkes/ SK/VI/1993 tentang pembentukan tim
kesehatan penanggulangan korban bencana disetiap RS
c. Kep Menkes RI no 28/ Menkes/SK/ 1/1995 tentang petunjuk pelaksanaan
umum penanggulangan medik korban bencana
d. Kep Menkes RI no 205 / Menkes/ SK/ III/1999 tentang petunjuk pelaksanaan
permintaan dan pengriman bantuan medik di RS rujukan saat bencana
e. Kep Menkes RI no 876/Menkes/ SK/ XI/2006 tentang kebijakan dan strategi
nasional penanggulangan krisis dan masalah kesehatan
7. Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
a. Bab II pasal 4
Penanggulangan bencana bertujuan untuk :
1) Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
2) Menyelaraskan peraturan per UU yg ada
3) Menjamin terselenggaranya PB secara terencana, terpadu, terkoordinasi
dan menyeluruh
4) Menghargai budaya lokal
5) Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta
6) Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan
7) Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara
b. Bab III pasal 5
Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
c. Bab III pasal 7
Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah memuat
indikator yang meliputi :
1) Jumlah korban
2) Kerugian harta benda
3) Kerusakan sarana dan prasarana
4) Cakupan luas wilayah yang terkena bencana
5) Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan
d. Bab IV pasal 10
Badan Nasional Penanggulangan Bencana merupakan lembaga
pemerintah non departemen setingkat menteri.
e. Bab IV pasal 11
BNPB terdiri atas unsur
1) Pengarah penanggulangan bencana
2) Pelaksanana penanggulangan bencana
Tugas BNPB (UU No 24/ 2007 tentang Bencana Bab IV pasal 12) :
1) Memberikan pedoman pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan merata.
2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan peraturan perundang-undangan
3) Menyampaikan informasi kepada masyarakat
4) Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada presiden
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam
kondisi darurat bencana
5) Menggunakan dan mempertanggung jawabkan sumbangan/ bantuan
nasional dan internasional
6) Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
anggaran pendapatan dan belanja negara
7) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dgn peraturan per UU an
8) Menyusun pedoman pembentukan Badan PB daerah
Pendanaan (UU No 24/2007 tentang Bencana Bab VIII pasal 60,62,63)
1) Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah dan pemerintah daerah
2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat
dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.
3) Pada saat tanggap darurat BNPB menggunakan dana siap pakai
4) Dana siap pakai yang dimaksud disediakan oleh Pemerintah dalam
anggaran BNPB
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengelolaan dana
penanggulangan bencana diatur dgn Peraturan pemerintah
Ketentuan Pidana (UU No 24/2007 tentang Bencana Bab XI pasal 75 &
76)
1) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan berisiko
tinggi yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) yang mengakibatkan terjadinya bencana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp.300.000.000,- (tiga ratus
juta rupiah) atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,- (dua miliar
rupiah)
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan timbulnya kerugian harta benda atau barang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun atau paling
lama 8 (delapan) tahun dan denda paling sedikit Rp.600.000.000,- (enam
ratus juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga
miliar rupiah)
3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 8 (delapan) tahun atau paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
dengan paling sedikit Rp.3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) atau denda
paling banyak Rp.6.000.000.000,- (enam miliar rupiah)
4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1)
dilakukan karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda
paling sedikit Rp.2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) atau denda paling
banyak Rp.4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalan pasal 75 ayat (2)
dilakukan karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 8 (delapan) tahun atau paling lama 12 (duabelas) tahun dan
denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah) atau denda
paling banyak Rp.6.000.000.000,- (enam miliar rupiah)
6) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3)
dilakukan karena kesengajaan, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 12 (dua belas) tahun atau paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp.6.000.000.000,- (enam miliar rupiah) atau
denda paling banyak Rp.12.000.0000.000,- (dua belas miliar rupiah).

D. Konsep dan Model-model Triage Bencana (disaster triage) di Masa


Pandemic Covid-19
1. Model CTAS (The Canadian Emergency Departement Triage & Acuity
Scale)
Dibagi menjadi 5 level:

a. Level 1 (Resuscitation)
Pasien dengan kategori ini 98% harus segera ditangani oleh dokter. Dengan
kondisi pasien tidak responsif, tanda vital tidak ada / tidak stabil, dehidrasi
parah dan gangguan pernapasan parah membutuhkan segera intervensi
agresif.
b. Level 2 (Emergent)
Pasien dengan kategori ini 95% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 15
menit. Dengan kondisi pasien yang berpotensi mengancam anggota tubuh
atau fungsi, membutuhkan intervensi medis yang cepat atau tindakan yang
didelegasikan. Waktu untuk penilaian dokter / wawancara ≤ 15 menit.
c. Level 3 (Urgent )
Pasien dengan kategori ini 90% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 30
menit. Dengan kondisi pasien yang berpotensi berkembang menjadi masalah
serius yang membutuhkan intervensi darurat. Dapat dikaitkan dengan
ketidaknyamanan yang signifikan atau mempengaruhi kemampuan untuk
bekerja dan kegiatan hidup sehari-hari. Waktu ke dokter ≤ 30 menit.
d. Level 4 (Less Urgent )
Pasien dengan kategori ini 85% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 60
menit. Dengan kondisi pasien yang berkaitan dengan usia pasien, kesulitan,
potensi kerusakan atau komplikasi akan mendapat manfaat dari intervensi
atau jaminan dalam 1-2 jam. Waktunya ke dokter ≤ 1 jam.
e. Level 5 (Tidak Mendesak)
Pasien dengan kategori ini 80% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 120
menit. Dengan kondisi pasien yang mungkin akut tetapi tidak mendesak serta
kondisi yang mungkin menjadi bagian dari masalah kronis dengan atau tanpa
bukti kerusakan. . Investigasi atau intervensiuntuk beberapa penyakit atau
cedera ini dapat ditunda atau bahkan dirujuk ke rumahsakit atau sistem
perawatan kesehatanlain.Waktunya ke dokter ≤ 2 jam.

2. Manchester Triage Scale (MTS)


Ciri khas MTS adalah identifikasi sindrom pasien yang datang ke unit gawat
darurat diikuti oleh algoritma untuk mengambil keputusan. Berdasarkan keluhan
utama pasien, ditetapkan 52 algoritma contohnya algoritma trauma kepala, dan
algoritma nyeri perut. Dalam tiap algoritma ada diskriminator yang menjadi
landasan pengambilan keputusan, diskriminator tersebut adalah kondisi klinis
yang merupakan tanda vital seperti tingkat kesadaran, derajat nyeri, dan derajat
obstruksi jalan nafas.
Skala MST lima tingkat prioritas dan batas waktu respon maksimum untuk
kehadiran tenaga medis

Evaluation Color Maximun Response time (minutes)


Immediate Merah 0
Very urgent Orange 10
Urgent Kuning 60
Standard Hijau 120
Non-urgent Biru 240

3. Australian
a. ATS 1 adalah kondisi yang mengancam jiwa (atau resiko besar mengalami
kemunduran) dan perlu intervensi yang cepat dan agresif.
b. ATS 2 adalah : pasien dengan kondisi yang cukup serius atau mengalami
kemerosotan secara cepat yang apabila tidak ditangani dalam 10 menit
dapat mengancam jiwa atau mengakibatkan kegagalan organ.
c. ATS 3 adalah pasien yang datang dengan kondisi yang mungkin akan
bekembang menjadi mengancam nyama atau menimbulkan kecacatan bila
tidak ditangani dalam waktu 30 menit
d. ATS 4 adalah pasien dengan kondisi yang dapat mengalami kemerosotan
atau akan menghasilkan outcome yang berbeda bila dalam 1 jam pasien
belum ditangani. Gejala berkepanjangan.
e. ATS 5 adalah kondisi pasien yang sudah kronis dengangejala yang minor,
dimana hasil ahkirnya tidak akan berbeda bila penanganan ditunda sampe 2
jam setelah kedatangan.
4. ESI
a. Prioritas 1 (label biru) merupakan pasien-pasien dengan kondisi yang
mengancam jiwa sehingga membutuhkan tindakan penyelematan jiwa yang
segera. Parameter prioritas 1 adalah semua gangguan signifikan pada
ABCD. Contoh prioritas 1 antara lain, cardiac arrest, status epilptikus,
koma hipoglikemik dan lain-lain.
b. Prioritas 2 (label merah) merupakan pasien-pasien dengan kondisi yang
berpotensi mengancam jiwa atau organ sehingga membutuhkan pertolongan
yang sifatnya segera dan tidak dapat ditunda. Parameter prioritas 2 adalah
pasien-pasien haemodinamik atau ABCD stabil dengan penurunan
kesadaran tapi tidak sampai koma (GCS 8-12). Contoh prioritas 2 antara
lain, serangan asma, abdomen akut, luka sengatan listrik dan lain-lain.
c. Prioritas 3 (label kuning) merupakan pasien-pasien yang membutuhkan
evaluasi yang mendalam dan pemeriksaan klinis yang menyeluruh. Contoh
prioritas 3 antara lain, sepsis yang memerlukan pemeriksaan laboratorium,
radiologis dan EKG, demam tifoid dengan komplikasi.
d. Prioritas 4 (label kuning) merupakan pasien-pasien yang memerlukan satu
macam sumber daya perawatan IGD. Contoh prioritas 4 antara lain pasien
BPH yang memerlukan kateter urine, vulnus laceratumyang membutuhkan
hectingsederhana
e. Prioritas 5 (label putih) merupakan pasien-pasien yang tidak memerlukan
sumber daya. Pasien ini hanya memerlukan pemeriksaan fisik dan
anamnesis tanpa pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada pasien dengan
prioritas 5 umumnya peroral atau rawat luka sederhana. Contoh prioritas 5
antara lain, common cold, acne.

5. Triage Pada Masa Pandemi COVID-19


Pemilahan dan klasifikasi pasien untuk menentukan prioritas kebutuhan dan
penentuan tempat perawatan yang sesuai
 tingkat kedaruratan pasien
 indicator ABCD
 tingkat virulensi pasien
 indicator EWS Screening Covid-19
6. EWS
National Early Warning Score adalah sistem penilaian kumulatif yang
menstandarkan penilaian tingkat keparahan penyakit akut. Skor dihitung dengan
menggunakan tanda vital pasien. Menunjukkan tanda-tanda awal pemburukan.
Digunakan di semua rumah sakit
a. Manfaat EWS
 Sistem EWS untuk deteksi dini penyakit akut dengan mengukur
parameter fisiologis spesifik dengan format standar
 Sistem penilaian standar untuk menentukan tingkat keparahan penyakit
untuk mendukung pengambilan keputusan klinis yang konsisten dan
respons klinis yang tepat
 Standardisasi pelatihan dalam pendeteksian penyakit akut dan
manajemen pasien yang mengalami penurunan secara klinis
 Adopsi sistem penilaian standar di seluruh rumah sakit, tidak hanya
dalam konteks perburukan klinis akut tetapi juga untuk pemantauan
terus-menerus dari semua pasien

b. Fungsi EWS
1) Pengawasan dan pencegahan
2) Pengenalan dan pengaktifan system tanggap darurat
3) CPR berkualitas tinggi secepatnya
4) Defibrilasi cepat
5) BHL dan perawatan pasca serangan jantung

7. EWS Screening Covid-19


a. Deteksi dini pasien yang dicurigai COVID-19 masih menjadi masalah
b. EWS screening COVID-19 memungkinkan tenaga kesehatan untuk
mendeteksi lebih cepat dan relatif lebih akurat pada pasien yang
dicurigai COVID-19

EWS Screening Skunder COVID-19


Pengkajian di Triage Primer

Algoritme Triase Pada Masa Covid-19 Di IGD


Tabel Respon EWS untuk Pasien Covid-19

8. Triage
a. Kesulitan Triage
 Jumlah korban melebihi jumlah penolong
 Alat terbatas – pertolongan lanjut terlambat
 Keputusan untuk memberi label hitam
 Merubah paradigma ; priorotas korban
b. Perubahan Paradigma
1) Situasi harian Normal
 Gunakan seluruh tenaga dan alat
 Fokus untuk menyelematkan 1 nyawa
2) Bencana dgn korban massal
 Jumlah & kondisi korban melebihi kemampuan normal sehari-hari
 Fokus menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin
 Cedera ringan : menunggu
 Cedera berat : segera dibantu
 Mati : diabaikan
c. Prinsip Dasar Triage
Selection of Problem
 Berdasarkan masalah klinik yg dihadapi korban misalnya masalah
Airway, Breathing dan Circulation.
 Bantuan individual pada korban dg urutan prioritas bantuan : A dulu
baru B

Selection of People

 Mendahulukan korban dgn harapan hidup tinggi


 Kategori gawat darurat dianggap Hopeless, dan akan dibantu terakhir.
 Biasanya dalam keadaan bencana masal dengan korban yang cukup
banyak
d. Memilih Model Triage

 Kondisi korban dalam aspek Airway, Breathing dan Circulation


 Beratnya cedera yang dialami korban
 Kemungkinan hidup korban
 Jumlah korban dan jumlah penolong
 Sarana dan fasilitas yang tersedia
e. Protokol Triage
 Rumuskan protokol triage sebelum situasi nyata terjadi
 Selalu perbarui protokol dan rencana tindakan
 Lakukan latihan penerapan teknik triage
 Praktekan metode triage secara konsisten

f. Kategori Korban Massal

g. Resume Triage
 Korban terluka tapi mampu berjalan : HIJAU
 Tidak bernapas setelah jalan napas dibuka : HITAM
 Bernapas lebih dari 30 x/menit : MERAH
 Capilary refill time > 2 detik : MERAH
 Tidak mampu mengikuti perintah sederhana : MERAH
 Mampu mengikuti perintah sederhana : KUNING

h. S.T.A.R.T. Triage System


1) S.T.A.R.T. (Simple Triage & Rapid Transport)
Sederhana dan cepat dalam pemeriksaan dan memprioritaskan
2) S.T.A.R.T. Label Korban

3) S.T.A.R.T. Triage Kit

4) Prinsip Dasar S.T.A.R.T


 Memisahkan korban yang bisa berjalan dengan korban lainnya
 Memilah korban berdasarkan fungsi kehidupannya yaitu pernapasan, aliran darah
dan status mental-nya
5) Algoritma S.T.A.R.T
Alur kerja:
1) Pisahkan yg terluka tapi mampu berjalan
2) Dasar Pelabelan :
a. Pernapasan
b. Aliran darah
c. Status Mental
RESPIRATIONS Minor ALL WALKING
WOUNDED

NO YES

POSITION AIRWAY
Under Over
30/Min. 30/Min.

NO YES
Immediate
Morgue Immediate PERFUSION

Radial Pulse Absent

OR

Capillary Refill
Nail Bed Press

Over Under
2 Seconds 2 Seconds

Control
Bleeding MENTAL STATUS

Immediate

Can’t Follow Simple Can Follow Simple


Commands Commands

Immediate Delayed

Walking Wounded

First Step: Breathing


Second Step: Blood Flow

Third Step: Mental Status


6) START (Simple Triage And Rapid Treatment)
a. Awal :
Panggil semua penderita yang dapat berjalan, dan perintahkan untuk pergi ke daerah
tertentu atau daerah yang sudah aman. Semua penderita di tempat ini mendapatkan
kartu hijau

b. Airway
Pergi ke penderita yang terdekat, dan periksalah apakah masih bernafas.Bila sudah
tidak bernafas, buka Airway, dan lihatlah apakah tetap tidak bernafas. Bila tetap
tidak bernafas beri label Hitam. Bila kembali bernafas beri label Merah
Bila bernafas spontan pergi ke tahap berikut (breathing)
c. Breathing
Bila penderita dapat bernafas spontan, hitung kecepatan pernafasan.
Bila > 30 kali per menit : Merah
Bila < 30 kali per menit, pergi ke tahap berikut
d. Circulation
Periksa dengan cepat adanya pengisian kembali kapiler (capillary refill). Bila lebih
dari 2 detik : Merah. Bila kurang dari 2 detik : pergi ke tahap berikut.
e. Kesadaran
Penderita harus mengikuti perintah kita (angkat tangannya ?) Tidak dapat mengikuti
perintah : Merah. Dapat mengikuti perintah : Kuning
E. Organisasi Penanganan Bencana di Indonesia
1. Sejarah Organisasi Penanganan Bencana Di Indonesia
a. Keputusan Presiden (1978-2007)
b. BAKORNAS PBA’78/PB’95/ PBP’04 (WAPRES)
c. SATKORLAK (Gubernur)
d. SATLAK (Bupati/Walikota)
e. SATGAS (SATGAS KES, SATGAS PAM DLL)
f. UU Bencana no 24 -2007
g. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) – setingkat Menteri
h. BPBD tingkat I (Badan Penaggulangan Bencana Daerah TkI)
i. BPBD tingkat II (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Tk II)
2. Kebijakan penanganan bencana di Indonesia ttg BAKORNAS -> BNPB
a. Keppres no 28 th 1979 ttg BAKORNAS PBA
b. Keppres no 3 th 2001 ttg BAKORNAS PBP
c. Keppres no 111 th 2001 ttg perubahan atas Keppres no 3 th 2001.
d. UU Bencana No 24 – 2007
e. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
f. Badan Pennaggulangan Bencana Daerah Tk I/ Ii
i. Bab XII ps 80 . Pada saat berlakunya UU ini semua peraturan per UU Yg
berkaitan dg PB dinyatakan tetap berlaku sepanjang tdk bertentangan Atau
belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan UU ini
3. Dasar kebijakan Penanganan Bencana dari sektor Kesehatan
a. UU RI no 24 th 2007 ttg Penanggulangan Bencana
b. Kep Menkes RI no 448/Menkes/ SK/VI/1993 ttg pembentukan tim kesehatan
penanggulangan korban bencana disetiap RS
c. Kep Menkes RI no 28/ Menkes/SK/ 1/1995 ttg petunjuk pelaksanaan umum
penanggulangan medik korban bencana
d. Kep Menkes RI no 205 / Menkes/ SK/ III/1999 ttg petunjuk pelaksanaan
permintaan dan pengriman bantuan medik di RS rujukan saat bencana
e. Kep Menkes RI no 876/Menkes/ SK/ XI/2006 ttg kebijakan dan srategi
nasional penanggulangan krisis dan masalah kesehatan
4. UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
- Bab IV pasal 10
Badan Nasional Penanggulangan Bencana merupakan lembaga pemerintah non
departemen setingkat menteri.
- Bab IV pasal 11
BNPB terdiri atas unsur : Pengarah penanggulangan bencana, Pelaksanana
penanggulangan bencana
5. Tugas BNPB
UU No 24/ 2007 Ttg Bencana. Bab IV Ps 12
- Memberikan Pedoman Pengarahan Thd Usaha Penanggulangan Bencana Yg
Mencakup Pencegahan Bencana, Penanganan Tanggap Darurat, Rehabilitasi
Dan Rekonstruksi Secara Adil Dan Merata.
- Menetapkan Standarisasi Dan Kebutuhan Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
- Menyampaikan Informasi Kpd Masyarakat
- Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kpd presiden setiap
sebulan sekali dlm kondisi normal dan pd setiap saat dlm kondisi darurat
bencana
- Menggunakan dan mempertanggung jawabkan sumbangan/ bantuan nasional
dan internasional
- Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran yg diterima dari anggaran
pendapatan dan belanja negara
- Melaksanakan kewajiban lain sesuai dgn peraturan per UU an
- Menyusun pedoman pembentukan Badan PB daerah
- Di daerah, lembaga khusus yang menangani penanggulangan bencana adalah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
- BPBD dibentuk baik di tingkat provinsi maupun Kabupaten/Kota. BPBD
bertugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan
bencana dan penanganan pengungsi serta melakukan pengoordinasian
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana di daerah
Acuan:
- Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 tahun
2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(Perka BNPB Nomor 3 Tahun 2008)
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah

6. Struktur organisasi dalam depkes pada penanggulangan bencana


- Menkes (penanggung jawab)
- Sekjen dan pj eselon 1 (koordinator)
- PPK (pelaksana koordinasi)
- Unsur teknis

7. DEPKES PADA PENANGGULANGAN BENCANA


- Tugas dan kewenangan Depkes adalah merumuskan kebijakan, memberikan
standar dan arahan serta mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah
kesehatan lain baik dalam tahap sebelum, saat dan sesudah bencana.
- Depkes secara aktif membantu mengkoordinasikan bantuan kesehatan yg
diperlukan oleh daerah yg mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan
lainnya.

8. PPK DEPKES
- Sebagai pusat komando dan pusat informasi (media center) kesiapsiagaan dan
penanggulangan kesehatan akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya
- Fasilitas buffer stock logistik kesehatan (bahan,alat dan obat2 an).
- Menyiapkan dan menggerakkan Tim reaksi cepat dan bantuan SDM kesehatan
yg siap digerakkan di daerah yg memerlukan bantuan akibat bencana dan krisi
kesehatan lainnya.

9. Organisasi pengendali
Ketua posko/ puskodal
- Pengendali operasional
- Pengendali perencanaan
- Pengendali logistik & komunikasi
- Pengendali admin-ku

10. Pos Medis


- Pos medis lapangan :
koordinasi operasional di lapangan, bisa di Puskesmas, bisa bergabung dengan
posko lap sektor lain, bisa dibangun dari tenda atau menggunakan bangunan yg
tersedia.
- Pos medis depan : sebaiknya Rumah sakit terdekat lokasi bencana yang
memiliki IGD untuk menerima kasus yg dikirim dari lapangan.
- Pos medis belakang/ rujukan : koordinasi operasional untuk semua kasus medis
sejak dilapangan, pos medis depan dan selama transportasi. Dikhususkan untuk
menerima kasus yang tidak ddapat ditangani di Pos medis lapangan dan Pos
medis depan
- Pos medis cadangan : sebaiknya RS terletak dekat dgn RS rujukan yg disiapkan
untuk penanganan kasus yg tdk tertampung di RS rujukan.

11. Organisasi kerja berdasarkan tugas dan alur di lapangan


- Area musibah
- Area pengumpulan korban
- Area triage
- Area perawatan sementara
- Area transportasi

F. Surveilence Bencana
Surveilans adalah kegiatan “analisis” yang sistematis dan berkesinambungan
melalui kgiatan pengumpulan dan pengolahan data serta penyebar luasan informasi
untuk pengambilan keputusan dan tindakan segera.
1. Melakukan analisis yang harus diperhatikan:
a. Orientasi tidak cukup hanya penyakit
b. Pertimbangkan faktor resiko di luar sektor kesehatan
c. Ketajaman analisis
d. Pertimbangkan lintas batas wilayah, tidak cukup hanya pertimbangan wilayah
administrasi pemerintahan
2. Tujuan adanya survailans
a. Satu mengurangi jumlah kesakitan, resiko catatan dan kematian saat terjadi
bencana
b. Mencegah atau mengurangi resiko munculnya penyakit menular dan
penyebarannya
c. Mencegah atau mengurangi resiko dan mengatasi dampak kesehatan lingkungan
akibat bencana (misalnya perbaikan sanitasi)
3. Manfaat adanya surveilans bencana
a. Menjelaskan pola dan riwayat penyakit, monitoring memantau program
prioritas penyakit, identifikasi kelompok resiko
b. Tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen
kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta
respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat
4. Peran surveilans respon pada penanganan bencana
a. Penilaian cepat
b. Penilaian lanjutan
c. Respon segera
d. Respon terencana
5. Penilaian cepat meliputi:
a. Pertimbangkan keadaan geografis daerah bencana dan kemungkinan perluasan
kejadian
b. Penilaian keadaan cuaca atau iklim saat kejadian bencana
c. Penilaian terhadap kondisi kesehatan masyarakat luas di daerah bencana dan
permasalahan yang dihadapi
d. Perkirakan jumlah korban yang terkena langsung maupun korban di sekitarnya
akibat bencana
e. Cari informasi lain yang diperlukan
f. Perkirakan kelanjutan akibat hazard yang terjadi
6. Penilaian lanjutan
a. Buat data korban yang meninggal
b. Akibat bencana yang kehilangan tempat tinggal
c. Buat pelayanan yang memang harus diutamakan
d. Buat perkiraan tenda atau penampungan yang dapat disediakan
e. Antisipasi jumlah korban yang harus dievakuasi
f. Antisipasi terhadap kemungkinan ancaman atau hazard yang masih berlangsung
atau akan terjadi
7. Respon segera
a. Air (persediaan air bersih yang cukup dan aman atau safe)
b. Tenda atau shelter (tenda yang dilengkapi dengan fasilitas air (jamban dan lain-
lain)
c. Makanan (produksi makanan untuk keadaan emergency hati-hati pada
keracunan makanan, periksa semua makanan dari sumbangan, perhatikan
kebersihan)
d. Sanitasi (perhatikan pembuangan sampah dan limbah bangkai binatang atau
tumbuhan mati)
e. Kendalikan faktor penyebaran penyakit (misal: lalat nyamuk, tikus dan lain-
lain)
f. Kendalikan penyakit infeksi misalnya : kolera, malaria influenza, hepatitis.
g. Jauhkan material berbahaya
h. Rencana letak dan layout tenda darurat
8. Respon terencana
a. Organisasi, koordinasi dan mobilisasi sumberdaya manusia yang ada
(volunteers, ngo's, warga setempat).
b. Titik perencanaan sarana dan logistik (fasilitas medicom suplai makanan,
kendaraan ambulans, linen, minyak, air dan alat-alat pembersih)
c. Sistem komunikasi (informasi, koordinasi sistem operasional)
d. Rencana operasional pengelolaan bencana

9. Ruang lingkup surveilans bencana


a. Surveilans penyakit menular
b. Surveilans data pengungsi
c. Surveilans data kematian
d. Surveilans rawat jalan
e. Surveilans air dan sanitasi
f. Surveilans gizi dan pangan
10. Surveilans kejadian penyakit:
Deteksi dini, cermati kecenderungan penyakit (sekular tren), identifikasi
perubahan faktor agent dan host, deteksi perubahan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan
11. Peran surveilans
a. Pengendalian penyakit menular klb
b. Program pencegahan dan penanggulangannya
c. Mmendapatkan data dasar penyakit dan faktor risiko sehingga dapat diteliti
kemungkinan pencegahan dan penanggulangan dan program nantinya dapat
dikembangkan
12. Emergency (situasi bencana)
a. Gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, kebakaran, angin ribut, kerusuhan
massal (ada korban langsung (meninggal, luka), korban tak langsung
(pengungsian), kondisi rentan (status kesehatan)
b. Penyakit menular, potensi wabah atau klb (ada korban langsung (sakit atau
meninggal dalam waktu singkat))
c. Pencemaran bahan kimia titik 2 udara, air, tanah (ada korban langsung (sakit,
meninggal dalam jangka panjang))
d. Kejahatan manusia: boraks pada makanan, formalin pada makanan pewarna
bahaya (ada korban langsung (sakit, meninggal dalam jangka panjang))
13. Membangun sistem surveilans situasi bencana
a. Sistem sangat tergantung situasi bencana yang mana
b. Substansi sangat tergantung situasi bencana
c. Proses surveilans berlaku umum (pengumpulan pengolahan analisis interpretasi
penyebarluasan informasi untuk respon secara dini)
14. Kegiatan Surveilans Intensif pada situasi bencana
a. Analisis Data Pelayanan Pengobatan
b. Analisis Data Faktor Risiko
c. Laporan Berkala Situasi Darurat
d. Laporan Berkala Upaya Penanggulangan
e. Laporan Masyarakat
f. Hasil Wawancara
g. Kajian Terus Menerus
h. Informasi Terus Menerus Pada Tim Penanggulangan
15. Prioritas Kajian Awal Status Epidemiologi Pengungsi Sebagai Bahan Penetapan
Sistem Surveilans
a. Perkembangan Penyakit Potensial KLB
b. Makanan & Gizi
c. Imunisasi
d. Air, Sanitasi, dan Musim
e. Status Pelayanan Kesehatan Darurat, termasuk sistem surveilans yang ada
f. Ekonomi, Sosial, Politik, Keamanan, Transportasi, Komunikasi
i. Ancaman : Penyakit Menular, Pnemonia, Gizi dan Pelayanan Kesehatan
16. Pengungsi Kelompok Rentan
a. Bayi dan Anak Balita
b. Orang Tua (sendiri)
c. Keluarga dengan KK wanita
d. Ibu Hamil dan Melahirkan
17. Pengungsi Rentan
a. Padat
b. Jumlah Besar Satu Lokasi
c. Terisolir
d. Tanpa informasi
e. Tanpa Pengelola
f. Tipuan Data
18. Langkah‐langkah surveilans penyakit di daerah bencana meliputi:
a. pengumpulan data
- Data kesakitan dan kematian
- Sumber data
- Jenis data
 Form BA‐3: register harian penyakit pada korban bencana
 Form BA‐4: rekapitulasi harian penyakit korban bencana
 Form BA‐5: laporan mingguan penyakit korban bencana
 Form BA‐6: register harian kematian korban bencana
b. Pengolahan dan Penyajian Data
c. Analisis dan Interpretasi
d. Penyebarluasan Informasi
19. Pos Kesehatan
a. Pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah sarana kesehatan sementara yang
diberi tanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar untuk
masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi pengungsi dan sekitarnya
b. Tujuannya untuk memulihkan dan meningkatkan kesehatan masyarakat di
lokasi pengungsi dan sekitarnya serta terselenggaranya pelayanan rawat jalan,
pelayanan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi lainnya termasuk KB,
pelayanan kesehatan jiwa dan psikososial, pelayanan gizi, kesehatan lingkungan
dan terselenggaranya pemantauan dan pencegahan penyakit menular di lokasi
pengungsi
c. Pengorganisasian pos kesehatan
1) penanggungjawab pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah kepala
puskesmas setempat
2) Sasaran pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah masyarakat yang berada
di lokasi pengungsi dan masyarakat di sekitarnya
3) Pelaksana pos kesehatan adalah puskesmas setempat, apabila puskesmas
tidak mampu atau rusak karena bencana, pelaksana pos kesehatan di lokasi
pengungsi adalah puskesmas yang diperbantukan, tim relawan, swasta dan
LSM yang berminat dibawah koordinasi dinkes kabupaten/kota
4) Sesuai dengan asas penyelenggaraan puskesmas, pos kesehatan yang
dikelola oleh swasta atau LSM, harus sepengetahuan dan dibawah
koordinasi puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota setempat
5) Mekanisme kerja pos kesehatan di lokasi pengungsi mengikuti mekanisme
kerja puskesmas
6) Pos kesehatan harus melaporkan seluruh kegiatannya kepada puskesmas
setempat (BA-3, BA-4, BA-5, BA-6, BA-7)
7) Pelayanan yang diselenggarakan meliputi pelayanan kesehatan dasar, yang
untuk beberapa hal disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat
8) Pelayanan tersebut mencakup promosi kesehatan, pelayanan gizi, pelayanan
kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular
9) Menyelenggarakan pelayanan imunisasi
10) Menyelenggarakan kegiatan penemuan penderita penyakit menular
11) Menyelenggarakan surveilans epidemiologi penanggulangan KLB
12) Menyelenggarakan kegiatan pencegahan dan penanggulangan KLB
13) Menyelenggarakan kegiatan penyehatan lingkungan.
14) Disamping penyakit yang berpotensi KLB, penyakit tidak menular juga
diamati seperti trauma dan luka-luka
15) Apabila petugas kesehatan di pos kesehatan menemukan atau mencurigai
kemungkinan adanya peningkatan kasus‐kasus tersangka penyakit yang
ditularkan melalui makanan (foodborne diseases) ataupun penyakit lain
yang jumlahnya meningkat dalam kurun waktu singkat, maka petugas yang
bersangkutan harus melaporkan keadaan tersebut secepat mungkin ke
puskesmas terdekat atau dinas kesehatan kabupaten/kota.

d. Kegiatan surveilans yang dilakukan di Pos Kesehatan, antara lain


1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui
pencatatan harian kunjungan rawat jalan (form BA-3 dan BA-6)
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat, pengolahan data kesakitan
menurut jenis penyakit dan golongan umur per minggu (form BA-4)
3) Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA‐5 dan BA‐7).

e. Kegiatan surveilans yang dilakukan di puskesmas


1) Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan data
kematian melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap
Pos Kesehatan yang ada di wilayah kerja (form BA-3, BA-6)
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat
3) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat
tinggal per minggu (form BA-4)
4) Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA‐5 dan BA‐7)

f. Kegiatan surveilans yang dilakukan di rumah sakit


1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan data kematian
melalui pencatatan rujuka kasus harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap
dari para korban bencana(form BA‐3, BA‐6)
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat
3) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat
tinggal per minggu (form BA-4)
4) Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA‐5 dan BA‐7).

g. Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota


1) Pengumpulan data berupa jenis bencana, lokasi bencana, keadaan bencana,
kerusakan sarana kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan
angka kematian korban bencana yang berasal dari puskesmas, rumah sakit,
atau poskes khusus (form BA‐1, BA‐2)
2) Surveilans aktif untuk penyakit tertentu (form BA‐3 dan BA‐6)
3) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat
4) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat
tinggal per minggu (form BA-4)
5) Pertemuan tim epidemiologi kabupaten/kota untuk melakukan analisis data
dan merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut, penyebarluasan
informasi

h. Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat provinsi


1) Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan kematian
korban bencana yang berasal dari dinas kesehatan kabupaten/kota (form BA‐
1, BA‐2, BA-6 dan BA-7)
2) Surveilans aktif untuk penyakit-penyakit tertentu;  Validasi data agar data
menjadi sahih dan akurat;  Pengolahan data kesakitan menurut jenis
penyakit, golongan usia dan tempat tinggal per minggu (form BA-4)
3) Pertemuan tim epidemiologi provinsi untuk melakukan analisis data dan
merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut, penyebarluasan informasi,
pembuatan dan pengiriman laporan (form BA‐5 dan form BA‐7).
G. Perawatan Luka pada Korban Bencana
Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera
atau proses pembedahan (Agustina, 2009)
1. Etiologi
a. Luka insisi, terjadi karena teriris oleh instrument yang tajam
b. Luka memar, terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan
dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
c. Luka lecet, terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yg biasanya
dengan benda yg tidak tajam
d. Luka tusuk, terjadi akibat adanya benda seperti peluru atau pisau yg masuk
ke dlm kulit dgn diameter kecil
e. Luka gores, terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau kawat
f. Luka tembus, yaitu luka yg menembus organ tubuh biasanya pada bagian
awal masuk diameternya kecil tapi pada bagian ujung lukanya melebar
g. Luka bakar, yaitu luka yg diakibatkan oleh paparan panas, misal api dan
bahan kimia
h. Luka gigitan hewan, disebabkan adanya gigitan hewan liar atau piaraan.

2. Konsep Perawatan Luka


a. Pembersihan Luka
1) Meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan
luka.
2) Menghindari terjadinya infeksi.
3) Membuang jaringan nekrosis.
4) Langkah-Langkah pembersihan luka yaitu :
 Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan utk membuang
jaringan mati dan benda asing.
 Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
 Berikan antiseptic.
 Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian
anastesi local.
 Bila perlu lakukan penutupan luka.

b. Penutupan Luka
1) Mengupayakan kondisi lingkungan bersih sehingga proses penyembuhan
berlangsung optimal.
2) Hindari penutupan primer pada luka terinfeksi dan meradang, luka kotor.
c. Pembalutan
1) Pertimbangan dlm menutup dan membalut luka sangat tergantung pada
penilaian kondisi luka.
2) Memilih balutan :
 Permukaan lembab yg sedang dan seimbang.
 Sesuai dengan kondisi luka
 Manajemen luka yg benar
3) Tujuan pembalutan :
 Melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme
 Membantu hemostasis.
 Mempercepat penyembuhan dengan cara menyerap drainase dan
untuk melakukan debridement luka.
 Menyangga atau mengencangkan tepi luka.
 Melindungi klien agar tdk melihat keadaan luka.
 Meningkatkan isolasi suhu pada permukaan luka.
 Sebagai fiksasi dan efek penekanan yg mencegah berkumpulnya
rembesan darah yang menyebabkan hematom.
 Mempertahankan kelembaban yang tinggi diantara luka dengan
balutan.

d. Klasifikasi Luka Berdasarkan Sifatnya :


1) Luka Akut :
 Luka baru terjadi dan pada penyembuhannya sesuai periode
waktu yg diharapkan atau sesuai konsep penyembuhan luka akut,
dengan kategori luka akut pembedahan dan luka akut bukan
pembedahan.
Prinsip manajemen luka akut :
 Luka akut merupakan luka trauma yg biasanya segera mendapat
penanganan dan dapat sembuh dengan baik
 Tdk terjadi komplikasi serta sembuh sesuai konsep proses
penyembuhan.
 Re-Epitelisasi terjadi dalam 24-48 jam pertama.
 Tdk melakukan penggantian balutan berulang-ulang.
 Luka operasi dapat dianggap luka akut yang dibuat oleh ahli
bedah.
 Contoh : luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury.

2) Luka kronis :
Luka yg proses penyembuhannya mengalami keterlambatan atau
bahkan kegagalan.
Prinsip perawatan luka kronik :
 Pengkajian berkelanjutan.
 Persiapan dasar luka.
 Prinsip penanganan dengan steril dan bersih.
 Peningkatan kualitas hidup pasien.
 Pendidikan kesehatan pasien dan keluarga.
 Perbaikan aktivitas kesehatan pasien sehari-hari hingga
kemampuan optimal.

e. Perawatan Luka Korban Bencana Tsunami dan Gempa


1) Jika seseorang mengalami luka akibat bencana, yang pertama harus
diperhatikan adalah melihat jenis lukanya.
2) Selain itu perlu juga menentukan apakah luka tersebut membutuhkan
pengobatan khusus dari tenaga medis atau tidak.
3) Jika luka yang dialami adalah luka tertutup berupa luka lecet atau gores,
bagian tubuh yang luka dapat digerakkan seperti biasa, dan tidak ada
nyeri hebat pada luka, kemungkinan besar luka tersebut dapat diobati
sendiri.
4) Meski begitu, luka seperti itu tak boleh dianggap sepele. Perawatan
lukanya harus sangat diperhatikan agar tak terjadi infeksi.

Berikut ini yang harus dilakukan segera bila ada luka korban tsunami:
1) Hindarkan luka terkena air dari tsunami. Kondisi air yang kotor sisa
tsunami rentan membawa kuman yang bisa mengakibatkan infeksi.
2) Sebisa mungkin, segera cari air mengalir yang bersih (misalnya air
minum dalam botol) dan sabun. Lalu cuci luka dengan air mengalir dan
sabun. Bersihkan luka dari pasir atau kotoran lainnya. Bila perlu,
gunakan sikat gigi yang lembut untuk membantu membersihkan luka.
3) Jika berada dalam lingkungan yang aman dan bersih, luka boleh
dibiarkan terbuka dan sembuh dengan sendirinya.
Jenis luka berikut ini membutuhan pertolongan khusus tenaga medis
a. Luka terbuka (terlihat jaringan lunak, otot, atau banyak darah di daerah luka).
b. Terdapat kemerahan, bengkak, atau nanah di bagian tubuh yang mengalami
luka.
c. Bagian tubuh yang mengalami luka sulit digerakkan karena amat nyeri
d. Luka disertai adanya demam tinggi.
e. Luka disertai adanya kaku otot atau kejang otot.
f. Terdapat sesak napas, berdebar-debar, atau gangguan kesadaran.
Pertolongan pertama yang harus dilakukan adalah:
a. Cegah infeksi pada luka
Untuk mencegah infeksi pada luka, orang yang akan merawat luka harus
mencuci tangannya dengan air bersih dan sabun terlebih dahulu. Jika tak ada air
bersih, Anda bisa menggunakan hand sanitizer. Sebisa mungkin, hindari
menyentuh luka terbuka dengan tangan.
b. Hentikan perdarahan pada luka
Lihat dengan saksama, apakah darah terus menerus mengalir pada luka
tersebut. Jika ya, carilah kain pembalut luka (perban) atau kain bersih lainnya.
Selanjutnya, letakkan perban pada daerah luka dan tekan bagian tersebut
dengan tangan selama setidaknya 3-5 menit terus menerus untuk menghentikan
perdarahan. Setelah itu, amati apakah perdarahannya sudah berhenti. Jika
belum, lakukan hal yang sama selama lima menit lagi. Begitu seterusnya.
b. Cegah tetanus
Untuk mencegah tetanus, nantinya tim medis akan memberikan vaksinasi dan
imunoglobulin antitetanus. Namun sebelum itu dilakukan, hal yang tak kalah
penting untuk mencegah tetanus adalah dengan mencuci luka dengan air
mengalir dan sabun. Alirkan air (misalnya air minum) ke daerah luka, lalu
secara lembut dan perlahan, gosok luka dengan air dan sabun hingga tak ada
kotoran menempel pada luka.
c. Tutup luka dengan perban tahan air (waterproof)
Jika yakin bahwa luka bisa dibersihkan dengan optimal, maka luka sebaiknya
ditutup setelah pencucian luka selesai. Idealnya, luka ditutup dengan perban
tahan air. Namun jika ini tak tersedia, sementara waktu bisa juga luka ditutup
dengan plastik yang bersih. Namun demikian, jika tak semua kotoran di daerah
luka bisa dibersihkan, justru sebaiknya luka tak ditutup. Penutupan luka justru
akan ”menjebak” bakteri untuk berkembang biak di daerah luka.
d. Konsumsi obat anti nyeri
Jika rasa nyeri pada luka mulai terasa mengganggu, boleh mengonsumsi untuk
membantu meredakan nyeri. Obat antinyeri yang dijual bebas - misalnya
parasetamol – bisa menjadi pilihan.

3. Penangan luka pada situasi Bencana


a. Pencegahan Risiko Situasi Darurat – Risk Emergency Situation (A)
b. Rencana persiapan dan manajemen perawatan luka (B), (C), (D), (E)
c. Langkah Evaluasi (F)
d. Kolaborasi multidisiplin (G)

4. Pencegahan Risiko Situasi Darurat


b. Fase pertama difokuskan pada pencegahan risiko situasi darurat sebelum
melakukan manajemen perawatan luka.
c. Kode A – Airway and Manajement (Bersihkan jalan napas dan manajemen
ABC – Airway Breathing Circulasi).
d. Lakukan Survey Primer.
e. Apabila Kode A selesai, lanjutkan pengkajian sekunder.

5. Persiapan perencanaan dan manajemen perawatan luka.


a. Tahap kedua a/ rencana persiapan dan prosedur perawatan luka yg memiliki 4
tahap tugas, yaitu Kode B, C, D dan E yg efisien dan bermanfaat utk
mengukur kondisi luka dan proses penyembuhan luka, serta utk
meminimalkan risiko infeksi.
b. Kode B – base line wound assessment (pengkajian luka utama),
 Dalam kondisi bencana luka akut setidaknya harus dikaji setiap 48 jam
utk melihat perkembangan penyembuhan luka dan mengevaluasi hasil
dari dressing yang digunakan.
 Hasil pengkajian harus dilaporkan dan didokumentasikan meliputi
karakteristik luka, termasuk lokasi, bentuk, ukuran, kedalaman, tepi,
undermining (destruksi jaringan yg terjadi dibawah kulit) dan tunneling
(saluran dari suatu luka yg menghubungkan subcutan atau otot),
karakteristik jaringan nekrotik, karakteristik drainase atau eksudat, warna
kulit disekitarnya, edema jaringan perifer dan indurasi dan adanya
jaringan granulasi dan epitelisasi.
c. Kode C – Cleaning - Pembersihan Luka
 Irigasi yg tepat (menuangkan cairan ke luka) dapat secara signifikan
menurunkan risiko infeksi.
 Cairan pembersih haruskan cairan mudah digunakan dan non sitotoksik
seperti normal saline atau air keran. Membuang jaringan mati atau benda
asing, jika tdk dpt menghindari infeksi maka harus lakukan debridement.
d. Kode D - Dressing dan Dokumentasi
 Luka yg dirawat dengan dressing modern dan aplikasi penyerap cairan
dari penyerapan moderate sampai banyak seperti hidrokoloid, calcium
alginate, zinc cream, foam.
 Dokumentasi utk penilaian luka harus menjadi bagian dari kebijakan dan
prosedur.
e. Kode E - Evaluasi dan Transfer
 Fase ini adalah kondisi unik tentang evakuasi, transfer antra triase dan
mengirim pasien setelah luka dibalut.
 Pasien akan dikirim ke 3 pilihan yaitu antara basecamp, posko rumah
sakit atau RSUD.
 Manajemen ABC harus dilakukan sebelum transport pasien.
6. Evaluasi
a. Evaluasi penggantian balutan luka atau perawatan lanjutan adalah fase yang
sangat penting antara 3 hingga 5 hari karena merupakan pergantian dari
proses inflamasi ke tahap proliferasi.
b. Kode F - Follow Up.
 Follow up care atau re evaluasi adalah proses utk melihat perkembangan
atau dampak dari balutan topical yang diberikan.
 Perawat luka menggunakan skor indicator performance utk mengevaluasi
dan menilai perkembangan pasien terhadap outcame pasien dalam kerangka
tujuan.
 Pengkajian ulang luka dan pengkajian adanya inflamasi atau infeksi yg
persistent adalah focus dari evaluasi yang menunjukkan bahwa luka
membaik atau memburuk.
 Jika infeksi terjadi dan penggunaan balutan topical tdk tepat diiindikasikan
dengan adanya kegagalan perkembangan penyembuhan luka, maka rujuk
pasien ke rumah sakit.

7. Kolaborasi
a. Pendekatan kolaborasi interprofesional atau multidisipin selama
perawatan sejak awal hingga fase rehabilitasi yg kurang lebih akan
membutuhkan waktu 0-3 minggu akan membantu utk menyelamatkan
nyawa pasien dan mencegah dari kerusakan atau cidera lebih lanjut.
b. Pasien luka akan dikirim ke RS utk memperoleh perawatan intensif.
c. Kode G - Kolaborasi dan Pendekatan Multidisiplin.
 Jika luka bertambah buruk dan terinfeksi, surgical debridement dan
antibiotic sistemik sangat dibutuhkan utk mengatasi infeksi secara
signifikan.
 Buatlah rujukan segera apabila menemukan luka yg membutuhkan
perawatan lebih kepada praktisi yg lebih terampil dan memiliki
pengetahuan lebih.

H. Pemberdayaan Masyarakat Menghadapi Bencana


Pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan krisis kesehatan adalah
masyarakat sebagai pelaku utama, masyarakat terlibat dan bermitra dengan fasilitator
(pemerintah, LSM) dalam rangka membangun kemandirian masyarakat.
Pemberdayaan ini dilakukan melalui Upaya Kegiatan Bersumber Masyarakat
(UKBM) yang ada. Kegiatan UKBM dilakukan sejak saat sebelum, saat dan pasca
krisis kesehatan

Tujuan Pemberdayaan Masyarakat


1. Terwujudnya komitmen masyarakat dalam menghadapi bencana
2. Terlaksananya kesiap dan kemampuan masyarakat dalam upaya
penanggulangan bencana
3. Terwujudnya kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam melaksanakan
upaya pengurangan risiko bencana
4. Terwujudnya masyarakat sadar dan akrab bencana

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya proses fasilitas individu, keluarga,


dan masyarakat untuk :
1. Mengambil tanggung jawab atas diri, keluarga dan masyarakat dalam
pengurangan risiko bencana
2. Mengembangkan kemampuan untuk berperan dalam upaya pengurangan risiko
bencana bagi diri sendiri dan masyarakat sehingga termotivasi untuk mengenali
ancaman bencana dan resikonya
3. Menjadikan pelaku/perintis dalam upaya pengurangan risiko dan menjadi
pemimpin pergerakan masyarakat yang dilandasi semnagat gotong royong,
kebersamaan dan kemandirian
Sasaran:
1. Individu sbagai kader (pelopor tauladan)
2. Kelompok/ lebaga mesyarakat menuju tangguh
3. Lembaga usaha
4. Masyarakat edukasi/akademi
Prinsip pemberdayaan masyarakat:
1. Sesuai dengan budaya, kebutuhan dan potensi masyarakat
2. Mendapat informasi dan kesempatan
3. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
4. Peran pemerintah hanya sebagai pendorong , pendamping, fasilitator dan asistensi
5. Kemitraan
Ciri pemberdayaan
1. Pemimpin berasal dari masyarakat.
2. Merupakan organisasi masyarakat
3. Pembiayaan dari masyarakat
4. Sarana dan prasarana dari masyarakat
5. Pemahaman pengetahuan masyarakat
6. Pemanfaatan teknologi masyarakat
7. Penetapan keputusan oleh masyarakat
Proses pemberdayaan
1. Menyiapkan sumber daya.
2. Melakukan pendekatan/ edukasi
3. Pembentukan kelompok kerja
4. Mengidentifikasi anggota masyarakat
5. Melakukan pelatihan dengan memberi pengetahuan
6. Melakukan pembinaan untuk keberlangsungan kegiatan
7.
PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 128 TAHUN
2011 TENTANG KAMPUNG SIAGA BENCANA
KAMPUNG SIAGA BENCANA (KSB)
Dibentuknya kampung siaga bencana adalah untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat agar lebih siap siaga untuk menghadapi kerawanan kerentanan dan resiko
bencana Dengan diadakan kegiatan
KSB dibentuk dengan maksud untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat
dari ancaman dan risiko bencana dengan cara menyelenggarakan kegiatan pencegahan dan
penanggulangan bencana berbasis masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya alam dan
manusia yang ada pada lingkungan setempat.
Pembentukan KSB bertujuan untuk :
 Memberikan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang bahaya dan risiko
bencana;
 Membentuk jejaring siaga bencana berbasis masyarakat dan memperkuat interaksi
sosial anggota masyarakat;
 Mengorganisasikan masyarakat terlatih siaga bencana;
 Menjamin terlaksananya kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat yang
berkesinambungan; dan
 Mengoptimalkan potensi dan sumber daya untuk penanggulangan bencana.
Ruang lingkup peraturan ini mengatur mengenai Pembentukan KSB, Keanggotaan
Tim, Pelaksanaan Kegiatan, Kewenangan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, Pendanaan, Pemantauan dan Evaluasi, Pembinaan dan Pengawasan,
Pelaporan KSB. KSB ditetapkan oleh bupati/walikota. Masyarakat dapat mengusulkan
pembentukan KSB kepada bupati/walikota.
Daerah yang akan dibentuk sebagai KSB harus memiliki kerawanan terhadap jenis
bencana tertentu; dan Adanya kesiapan dan peran serta aktif masyarakat yang bermukim di
daerah rawan bencana untuk membentuk KSB.
Masyarakat di daerah rawan bencana melakukan musyawarah untuk memilih
keanggotaan Tim KSB. Tim KSB mengusulkan penetapan KSB kepada bupati/walikota
melalui dinas/instansi sosial yang dilengkapi dengan rekomendasi kepala desa/lurah dan
camat setempat. Bupati/walikota menetapkan nama, lokasi, dan Tim KSB.

I. Manajemen Bencana Berdasarkan Karakteristik Bencana


1. Gempa Bumi
Salah satu tindakan konstruktif dalam usaha mitigasi bencana gempabumi
adalah setiap bangunan haruslah direncanakan sesuai dengan karakteristik gempa
bumi yang ada. Dalam hal ini, konsep bangunan tahan gempa sangat penting
dalam mengurangi kerugian akibat bencana gempa. Lebih dari itu masyarakat
hendaknya juga perlu dibekali dengan pengetahuan dasar cukup mengenai
karakteristik bahaya gempa dan tindakan-tindakan yang dapat mengurangi
kerugian akibat bencana gempa.Oleh karenanya, masyarakat akan menjadi lebih
waspada akan potensi kejadian gempa di daerahnya.
2. Tsunami
Secara fisik, tindakan mitigasi tusnami dapat dilakukan dengan membuat
penghalang atau peredam gelombang. Peredaman gelombang secara alami dapat
dilakukan dengan membangun kawasan penyangga (buffer zone) di kawasan
pesisir dengan vegetasi pantai, seperti hutan pantai atau mangrove. Selain
peredaman gelombang secara alami, penghalang gelombang buatan seperti
konstruksi pemecah ombak (breakwater) dan dinding pantai (seawall), dapat
dibangun meskipun umumnya memerlukan biaya yang lebih mahal. Selain itu,
pembangunan sistem peringatan dini merupakan salah satu tindakan mitigasi
yang sangat penting untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat tsunami.
Agar berjalan secara efektif, peringatan dini perlu dilakukan dengan melibatkan
partisipasi masyarakat setempat.
3. Gunung Api
Pemantauan gunungapi menjadi suatu hal yang cukup krusial dalam usaha
mengurangi dampak akibat bahaya ini. Pemantauan ini dilakukan untuk
menghasilkan informasi tingkat aktivitas gunungapi dalam 4 (empat) tingkatan,
yaitu aktif normal, waspada, siaga,dan awas.
4. Longsor
Melakukan upaya-upaya pencegahan, seperti penghijauan lereng atau lahan,
pengaturan drainase air, pemberian perkuatan lereng, dan masih banyak lagi
beberapa aktifitas lainnya. Akan lebih baik lagi apabila usaha-usaha pencegahan
tersebut disertai atau dilakukan secara simultan dengan usaha-usaha mengurangi
tingkat kerentanan, seperti mengindari mendirikan rumah tinggal lereng-lereng
yang curam, di tepi tebing atau bahkan di bawah suatu tebing yang terjal.
J. Penanganan Bencana Pra, Saat, dan Pasca Bencana
1. Mitigasi
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana, pengertian mitigasi adalah suatu rangkaian upaya yang dilakukan untuk
meminimalisir risiko dan dampak bencana, baik melalui pembangunan
infrastruktur maupun memberikan kesadaran dan kemampuan dalam menghadapi
bencana.
Mitigasi dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
a. Mitigasi structural
Mitigasi struktural adalah upaya mengurangi risiko bencana dengan
cara melakukan pembangunan prasarana fisik dengan spesifikasi tertentu dan
memanfaatkan teknologi. Beberapa contoh penggunaan teknologi misalnya:
- Memanfaatkan alat deteksi aktivitas gunung berapi, agar mengetahui
bagaimana kondisi vulkanik gunung.
- Pembangunan kanal khusus dalam rangka mencegah terjadinya banjir.
- Melakukan pembangunan dengan struktur bangunan yang tahan terhadap
gempa
- Penggunaaan sistem peringatan dini untuk memperkirakan kemungkinan
adanya gelombang tsunami.
- Penggunaan alat deteksi aktivitas gunung berapi.
b. Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana
yang mungkin terjadi melalui kebijakan atau peraturan tertentu. Beberapa
contoh mitigasi non-struktural adalah:
 Larangan membuang sampah ke selokan atau sungai.
 Mengatur tata ruang kota
 Mengatur kapasitas pembangunan masyarakat

2. Kegiatan dalam Mitigasi Bencana


a. Sebelum bencana, membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan
bangunan tahan gempa, penghijauan hutan, penanaman pohon bakau, serta
memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang
tinggal di wilayah rawan bencana.
b. Saat terjadi bencana, merupakan suatu perencanaan tentang cara merespon
kejadian bencana yang bertujuan untuk menekan angka korban jiwa dan
kerusakan sarana-sarana pelayanan umum, pengelolaan sumber-sumber
daya masyarakat, serta pelatihan warga di wilayah rawan bencana.
c. Sesaat setelah terjadi bencana, berfokus pada upaya pertolongan korban
bencana dan antisipasi kerusakan yang terjadi akibat bencana.
d. Pasca bencana, fokus akan diarahkan pada penyediaan tempat tinggal
sementara bagi korban serta membangun kembali sarana dan prasarana
yang rusak. Selain itu, dilakukan juga evaluasi terhadap langkah
penanggulangan bencana yang dilakukan.

Bagian terpenting dalam kegiatan mitigasi adalah pemahaman tentang sifat


bencana karena setiap tempat memiliki berbagai tipe bahaya yang berbeda-beda
Tahapan-tahapan penanganan bencana :
a. Tahap Mitigasi Kesiapsiagaan adalah segala upaya sistematis dan terencana
untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana dan mencegah jatuhnya
korban jiwa dan kerugian harta benda.
b. Rekonstruksi adalah segala upaya yang dilakukan untuk membangung kembali
sarana prasarana, serta fasilitas umum yg rusak akibat bencana.
c. Rehabilitasi adalah segala upaya yang dilakukan agar para korban, kerusakan
sarana prasarana, serta fasilitas umum dapat berfungsi Kembali

3. Contoh Penanganan dalam Mitigasi Bencana


a. Mitigasi Bencana Tsunami, dengan upaya :
1) Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan tenhadap bahaya tsunami.
2) Pendidikan kepada masyarakat tentang karakteristik dan pengenalan
bahaya tsunami.
3) Pembangunan tsunami Early Warning System.
4) Pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai yang
beresiko.
5) Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis pantai
meredam gaya air tsunami.
6) Pembangunan tempat-tempat evakuasi yang aman di sekitar daerah
pemukiman. Tempat/ bangunan ini harus cukup tinggi dan mudah
diakses untuk menghidari ketinggian tsunami

b. Mitigasi Bencana Gunung Berapi :

1) Pemantauan aktivitas gunung api. Data hasil pemantauan dikirim ke


Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di
Bandung dengan radio komunikasi SSB.
2) Tanggap darurat
3) Pemetaan, peta kawasan rawan bencana gunung berapi dapat
menjelaskan jenis dan sifat bahaya, daerah rawan bencana, arah
penyelamatan diri, pengungsian, dan pos penanggulangan bencana
gunung berapi.
4) Penyelidikan gunung berapi menggukanan metode geologi, geofisika,
dan geokimia
5) Sosialisasi, yang dilakukan pada pemerintah daerah dan masyarakat
6) Perencanaan lokasi pemanfaatan lahan untuk aktivitas penting harus
jauh atau di luar dari kawasan rawan bencana.
7) Hindari tempat-tempat yang memiliki kecenderungan untuk dialiri lava
dan atau lahan
8) Perkenalkan struktur bangunan tahan api.

c. Mitigasi Bencana Gempa Bumi :


Sebelum Gempa :
1) Mendirikan bangunan sesuai aturan baku (tahan gempa)
2) Kenali lokasi bangunan tempat Anda tinggal
3) Tempatkan perabotan pada tempat yang proporsional
4) Siapkan peralatan seperti senter, P3K, makanan instan, dll
5) Periksa penggunaan listrik dan gas
6) Catat nomor telepon penting
7) Kenali jalure evakuasi
8) Ikuti kegiatan simulasi mitigasi bencana gempa
Ketika Gempa
1) Tetap tenang
2) Hindari sesuatu yang kemungkinan akan roboh, kalau bisa ke tanah
lapang
3) Perhatikan tempat Anda berdiri, kemungkinan ada retakan tanah
4) Turun dari kendaraan dan jauhi pantai.
Setelah Gempa
1) Cepat keluar dari bangunan. Gunakan tangga biasa
2) Periksa sekitar Anda. Jika ada yang terluka, lakukan pertolongan
pertama.
3) Hindari banugnan yang berpotensi roboh.

d. Mitigasi Tanah Longsor


1) Hindari daerah rawan bencana untuk membangun pemukiman
2) Mengurangi tingkat keterjalan lereng
3) Terasering dengan sistem drainase yang tepat
4) Penghijauan dengan tanaman berakar dalam
5) Mendirikan bangunan berpondasi kuat
6) Penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air cepat masuk
7) Relokasi (dalam beberapa kasus)

e. Mitigasi Banjir
Sebelum Banjir
1) Penataan daerah aliran sungai
2) Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan banjir
3) Tidak membangun bangunan di bantaran sungai
4) Buang sampah di tempat sampah
5) Pengerukan sungai
6) Penghijauan hulu sungai
Saat Banjir
1) Matikan listrik
2) Mengungsi ke daerah aman
3) Jangan berjalan dekat saluran air
4) Hubungi instansi yang berhubungan dengan penanggulangan bencana
Setelah Banjir
1) Bersihkan rumah
2) Siapkan air bersih untuk menghindari diare
3) Waspada terhadap binatang berbisa atau penyebar penyakit yang
mungkin ada
4) Selalu waspada terhadap banjir susulan

K. Emergency Response Plan (Kantor, Kampus, Sekolah, Pondok


Pesantren)
Emergency response plan adalah sistem penanganan tanggap darurat/bencana
yang terintegrasi antara beberapa departemen mencakup diantaranya HRD,
keamanan, kesehatan, termasuk K3 untuk menanggulangi kejadian bencana secara
menyeluruh, terencana efektif & efisien.

Kedaruratan adalah suatu keadaan yang harus ditangani dengan segera dan
tindakan yang luar biasa akibat terjadinya suatu kejadian dan ikutannya yang dapat
mengancam nyawa, harta benda, jam kerja/sumber penghasilan dan kesejahteraan
masyarakat/pekerja.
Keadaan Darurat Menurut OHSAS 18001:2007 klausul 4.4.7 Emergency
Preparedness and Response (Persiapan Tanggap Darurat).
 Kebakaran yang tidak mampu dipadamkan Regu Pemadam Kebakaran
Perusahaan dalam waktu singkat.
 Peledakan spontan pada tangki, bin, silo, dsb.
 Kebocoran gas/cairan/bahan material berbahaya lainnya dalam sekala besar dan
tidak bisa diatasi dalam waktu singkat.
 Bencana alam di lingkungan Perusahaan (Banjir, Gempa Bumi, Angin Ribut,
Gunung Meletus, dsb).
 Terorisme (Ancaman Bom, Perampokan, dsb).
 Demonstrasi/Unjuk Rasa/Huru-hara di dalam/di luar lingkungan Perusahaan.
 Kecelakaan /Keracunan Massal.

1. 3 Masalah Krusial Saat Terjadinya Kedaruratan atau Bencana

a. Waktu terbatas/singkat
b. Kebutuhan melonjak dari kebutuhan rutin

c. Koordinasi dengan pihak luar dan kolaborai antar departemen

2. Jenis-jenis Darurat & Bencana

Keadaan Darurat di Kantor dll Bencana di Kantor


a. Kebakaran a. Gempa bumi
b. Ledakan b. Banjir
c. Terjatuh c. Tanah longsor
d. Wabah d. Pandemic
e. Keracunan e. Kebocoran gas/nuklir
f. Tabrakan f. Dll
g. Tenggelam Ada pernyataan situasi bencana
h. Dll dari pemerintah
Pernyataan darurat dari lingkup
kantor, sekolah, dan ponpes,
dll

3. Identifikasi Hazard, Analisa Risiko & Pengurangan/Pengendalian Risiko

a. Lakukan identifikasi ancaman kedaruratan atau bencana.

b. Analisa risiko bila ancaman terjadi.

c. Penentuan tindakan pengurangan/pengendalian risiko.

4. Bentuk Sistem Komando Penanganan Darurat/Bencana Tingkat Kantor/


Sekolah/Ponpes

Sistem komando harus memliki 5 fungsi dasar yaitu komando, kendali,


koordinasi, komunikasi & informasi, perencanaan, operasi, logistic, dan
administrasi serta keuangan.

Tugas dan fungsi sistem komando yaitu menentukan dan menanggulangi


keadaan darusat perusahaan, melaksanakan Latihan tanggap darurat dengan
melibatkan karyawan, serta melaksanakan pertemuan rutin/non-rutin kinerja Tim
Tanggap Darurat.
Personil ERP berasal dari pegawai (top position to lower position) yang sehat
secara jasmani dan rohani, mampu memberikan perintah secara lisan dan isyarat,
dan dengan sukarela mencalonkan sebagai personil ERP.

a. Incident Commander (ketua)

- Menentukan dan memutuskan kebijakan tanggap darurat perusahaan.

- Mengajukan anggaran dana

- Mengundang partisipasi seluruh karyawan

- Menjadwalkan pertemuan rutin

- Menyusun rencana pemulihan keadaan darurat perusahaan

b. Deputy IC (wakil ketua)

- Membuat laporan kinerja

- Melakukan pemantauan kebutuhan dan perawatan sarana dan prasarana

- Melaksanakan kerja sama dengan pihak terkait.

- Membantu tugas ketua apabila ketua berhalangan

c. Floor Warden (captain)

- Bertanggung jawab memimpin karyawan di lantainya bila terjadi darurat

- Memahami prosedur kedaruratan

- Memahami letak dan tata cara pemakaian alat kedaruratan

- Memastikan seluruh karyawan di sektornya masing masing

- Memandu semua karyawan di lantainya

- Memastikan seluruh karyawan telah dievakuasi

- Melakukan absensi/pelaporan setelah evakuasi

- Mengetahui prioritas bantuan

- Melaporkan kondisi di lantainya pada saat Meeting Point Warden

- Bertanggung jawab atas peralatan tanggap darurat yang tersedia


d. Meeting Point Warden

- Memimpin para FW

- Memastikan FW dan petugas evakuasi memandu karyawan

- Menerima laporan FW dan PE

- Berkoordinasi dan memerintahkan tim First Aid dan Damkar untuk


bekerja bila dibutuhkan.

- Berkoordinasi dengan Petugas Komunikasi, Logistik dan Transportasi.

e. Petugas First Aid/Pertolongan Pertama

- Melaksanakan tindakan P3K.

- Melaporkan segala kekurangan/kerusakan sarana dan prasarana P3K di


lingkungan Perusahaan kepada Koordinator, Wakil maupun Ketua Tim
Tanggap Darurat.

- Melaporkan kepada Koordinator ataupun wakil Unit Tanggap Darurat jika


terdapat korban yang memerlukan tindakan medis lanjut pihak ke tiga di
luar Perusahaan.

f. Petugas Pemadan Kebakaran

- Melangsungkan pemadaman kebakaran menggunakan semua sarana


pemadam api di lingkungan Perusahaan secara aman, selamat dan efektif.

- Melaporkan segala kekurangan/kerusakan sarana dan prasarana pemadam


api di lingkungan Perusahaan kepada Koordinator, Wakil maupun Ketua
Tim Tanggap Darurat.

g. Petugas Evakuasi

- Memimpin prosedur evakuasi secara aman, selamat dan cepat.

- Melaporkan segala kekurangan/kerusakan sarana dan prasarana evakuasi


di lingkungan Perusahaan kepada Meeting Point Warden, Wakil maupun
Ketua Tim Tanggap Darurat.
- Melaporkan adanya korban tertinggal, terjebak ataupun terluka kepada
Regu P3K/First Aid, Koordinator maupun wakil Tim Tanggap Darurat.

h. Logistic

- Mengakomodasi kebutuhan umum tanggap darurat (makanan, minuman,


pakaian, selimut, pakaian, dsb).

i. Transportasi

- Mengakomodasi sarana transportasi darurat dari dalam/luar lingkungan


Perusahaan.

j. Penghubung/Caraka

INTERNAL
- Memantau perkembangan penanganan kondisi darurat dan menjembatani

- komunikasi antar regu Unit Tanggap Darurat.


- Memastikan alur komunikasi antar regu Unit Tanggap Darurat dapat
dilangsungkan secara baik dan lancar.

EKSTERNAL
- Memantau seluruh informasi internal dan mengakomodasi informasi/

- pemberitaan untuk pihak luar.


- Menghubungi pihak eksternal terkait untuk kepentingan tanggap darurat
(Kepolisian/Damkar/BPBD/PMI/Warga).

k. Security/Keamanan

- Melaksanakan tindakan keamanan internal maupun eksternal selama


berlangsungnya tanggap darurat Perusahaan.

5. Prosedur-prosedur dalam Situasi Darurat atau Bencana


a. Penyelamatan diri
b. Evakuasi
c. Berkumpul di titik kumpul
d. Pemadaman awal kebakaran
e. Pertolongan pertama
f. Lockdown
g. Komunikasi

6. Contoh Penyelamatan Diri saat Gempa Terjadi


a. DROP (jatuhkan) diri/bersujud di mana anda berada
b. LINDUNGI kepala dan leher anda dengan satu tangan dan lengan
c. BERPEGANGANLAH sampai gempa berhenti

7. PROTAP Evakuasi Pasca Gempa


a. Keputusan evakuasi ada pada Floor Warden
b. Saat proses evakuasi patuhi arahan dan perintah floor warden, jangan saling
dorong, bersuara/teriak, berlari, dan jangan kembli ke kantor sebelum
dinyatakan aman, serta lepaskan sepatu dengan hak tinggi.
c. Berkumpul di tempat berkumpul sesuai warna bendera kantor atau lantai

8. Rantai dan Alur Komunikasi Darurat


a. Emergency tree – sistem komunikasi & informasi keadaan darurat di kantor
dan sekitar kantor: WA.
b. Communication tree – Sistem komunikasi ERT– Manajemen Keselamatan –
Top Manajemen Kantor: struktur alur komunikasi, kanal komunikasi (frek,
nomor, dll), PiC masing-masing bagian dalam Sistem Komando.

9. Emergency Response Plan


a. Dokumen ERP memuat
- Hazards, Risiko & upaya pengurangan risiko
- Sistem komando penanganan darurat/bencana à terdapat ERT
- Skenario kejadian & asumsi dampak`
- Protap tindakan darurat
- Rantai dan alur komunikasi darurat
- Simulasi
- Prinsip : berbasis scenario yang real, direncanakan, dinilai, dievakuasi,
masukan revisi untuk ERP.
L. Pencegahan Penyakit dan Promosi Kesehatan pada Penanggulangan
Bencana
Bencana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana memiliki pengertian yaitu peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan ma-
syarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam, non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda dan dampak psikologis. (Anggraeni & Zahra, 2020).

Manajemen penanggulangan bencana adalah segala upaya atau kegiatan yang


dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap
darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang dilakukan pada tahapan
sebelum, saat, dan setelah bencana. Penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi
bencana ditujukan untuk menjamin

1. Pengurangan Resiko, Pencegahan Penyakit, dan Promosi Kesehatan Pada


Penanggulangan Bencana

Pengurangan Resiko

Menurut United Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UN-


ISDR), PRB merupakan usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran
untuk memberdayakan peserta didik dalam upaya untuk pengurangan resiko
bencana dan membangun budaya budaya aman serta tangguh terhadap bencana.

Pengurangan resiko bencana berbasis KIKK (Komunikasi, Informasi,


Koordinasi Dan Kerjasama ) adalah upaya yang dilakukan oleh anggota
masyarakat secara terorganisir terutama sebelum bencana terjadi, Oleh karena itu,
penting dilakukan pemantauan resiko bencana dan sistem peringatan dini (early
warning system) yang berfungsi sebagai “alarm” darurat sewaktu-waktu bencana
alam datang secara tidak terduga. Selain itu penting dilakukan usaha pengurangan
resiko bencana dengan melibatkan anak usia sekolah agar pada situasi bencana,
anak-anak memahami terhadap apa yang harus dilakukan. dengan menggunakan
sumber daya yang mereka miliki semaksimal mungkin.
Pencegahan Penyakit

Pencegahan penyakit pada penanggulangan bencana harus segera diberikan


baik saat terjadi dan paskabencana disertai pengungsian. Upaya pencegahan
penyakit perlu dilaksanakan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat, antara
lain hak untuk mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan
sosial, pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana serta hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 UU No 24 tahun 2007, pelayanan
kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi pada
kondisi bencana, di samping kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya: 1 ). air bersih
dan sanitasi, 2). pangan, 3). sandang, 4). pelayanan psikososial serta 5).
penampungan dan tempat hunian.

Penanggulangan masalah kesehatan dalam kondisi bencana ditujukan untuk


menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi korban akibat bencana dan
pengungsi sesuai dengan standar minimal. Secara khusus, upaya ini ditujukan
untuk memastikan: 1 ). Terpenuhinya pelayanan kesehatan bagi korban bencana
dan pengungsi sesuai standar minimal; 2). Terpenuhinya pemberantasan dan
pencegahan penyakit menular bagi korban bencana dan pengungsi sesuai standar
minimal; 3). Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi korban bencana dan
pengungsi sesuai standar minimal; 4). Terpenuhinya kesehatan lingkungan bagi
korban bencana dan pengungsi sesuai standar minimal; serta 5). Terpenuhinya
kebutuhan papan dan sandang bagi korban bencana dan pengungsi sesuai standar
minimal.

Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ialah dengan


melakukan Initial rapid health assessment sebagaimana kegiatan ini sangat
penting untuk meminimalisis terhadinya penyakit akibat bencana, sekain itiu
sangat direkomendasikan terciptanya pelayanan Kesehatan seperti:

a. merencanakan kegiatan Puskesmas Keliling sebagai dukungan sementara

b. perlu tenaga fisioterapi untuk perawatan bagi penduduk yang cedera akibat
bencana
c. ketersediaan pangan penduduk kelompok rentan, khususnya program
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi balita dan ibu hamil,

d. revitalisasi pelayanan Bidan Desa untuk mendukung program Kesehatan Ibu


dan Anak,

e. revitalisasi tenaga sanitarian untuk menangani kondisi lingkungan yang tidak


sehat, serta

f. perlu penanganan psikiatri bagi masyarakat yang mengalami trauma. Selain


itu, rekomenasi juga dikeluarkan terkait pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular, yaitu:

 melakukan surveilans penyakit menular untuk memperkuat sistem


surveilans rutin; serta

 Mempertimbangkan langkah antisipasi munculnya penyakit diare,


typhus abdominalis, DHF, campak, dan tetanus

Promosi Kesehatan

Upaya pelayanan kesehatan dilakukan dalam bentuk sosialisasi secara rutin


dan masih dilaksanakan kepada masyarakat terutama di daerah-daerah rawan
bencana kemudian sampai sekarang juga masih dilakukan pemantauan.
Pemantauan ke kelompok-kelompok masyarakat menjadi fokus, khususnya yang
kira-kira masih mengalami dampak bencana, seperti pembagian yang dilakukan
oleh BPBD.

2. Komunikasi dan Penyebaran Informasi

Menurut Haddow dan Haddow (2008) terdapat 4 landasan utama dalam


membangun komunikasi bencana yang efektif yaitu:

1. Audience fokus memahami informasi apa yang dibutuhkan oleh khalayak


dalam hal ini masyarakat dan relawan melalui mekanisme komunikasi yang
menjamin informasi disampaikan dengan tepat dan akurat. Bentuk informasi
yang diberikan dapat berupa penanganan ancaman bahaya timbul, tingkat
kemungkinan terjadinya bencana serta seberapa besar skalanya, serta dampak
dari bencana alam tersebut.
2. Leadership commitment pemimpin yang berperan dalam tanggap darurat harus
memiliki komitmen untuk melakukan komunikasi efektif dan terlibat aktif
dalam proses komunikasi. Komitmen pemimpin yang dimaksud dapat berasal
dari organisasi masyarakat, pimpinan daerah setempat, atau bahkan orang-
orang yang berpengaruh atau opinion leader di wilayah tersebut.
3. Situational awareness komunikasi efektif didasari oleh pengumpulan, analisis
dan diseminasi informasi yang terkendali terkait bencana. Prinsip komunikasi
efektif seperti transparansi dan dapat dipercaya menjadi kunci. Komunikasi
yang efektif di masyarakat dapat membangun kepercayaan terhadap informasi
yang mereka peroleh. Informasi yang disampaikan harus sesuai dengan apa
yang terjadi di sekitar wilayah tersebut.
4. Media partnership media seperti televisi, surat kabar, radio, dan lainnya adalah
media yang sangat penting untuk menyampaikan informasi secara tepat kepada
publik. Kerjasama dengan media menyangkut kesepahaman tentang kebutuhan
media dengan tim yang terlatih untuk berkerjasama dengan media untuk
mendapatkan informasi dan menyebarkannya kepada publik. Secara sederhana
media dapat dikelola oleh masyarakat wilayah setempat dalam bentuk
sosialisasi langsung.

M.Perlindungan dan Perawatan bagi Petugas Kesehatan Saat Bencana


Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia. Hakekatnya setiap orang berhak
mendapatkan perlindungan dari hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Tenaga Kesehatan
berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya. Profesi disini termasuk tenaga kesehatan. Merujuk pada
salah satu isi pada Pasal 57 Undang-Undang Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa
Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh perlindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional. Pemerintah juga bertanggung
jawab dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan bagi para tenaga kesehatan
untuk menjalankan pekerjaannya. Oleh karenanya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dalam
rangka mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal ini diatur dan
tertuang dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.

Contoh perawatan pada tenaga kesehatan saat bencana yaitu seperti saat ini,
saat pandemic sekarang ini, tenaga kesehatan menjadi garda terdepan dalam
penanganan pasien positif infeksi Covid-19. Inilah yang membuat nakes menjadi
kelompok yang juga rentan tertular. Fakta saat ini menunjukan bahwa perlindungan
hukum terhadap tenaga kesehatan akibat pandemi Covid-19 belum dapat dilaksanakan
dengan baik sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan,
dalam Pelaksanaannya hak-hak tenaga kesehatan pada masa pandemi Covid-19 masih
terabaikan dan belum terpenuhi. Oleh karena itu, peran dan tanggungjawab
pemerintah snagat dibutuhkan guna memenuhi hak-hak tenaga kesehatan sebagai
garda terdepan dalam penanganan penyebaran Covid-19 di Indonesia

Fakta saat ini menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap tenaga


kesehatan akibat pandemi Covid-19 belum dapat dilaksanakan dengan baik
sebagaimana yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan, dalam
Pelaksanaannya hak-hak tenaga kesehatan pada masa pandemi Covid-19 masih
terabaikan dan belum terpenuhi. Oleh karena itu, peran dan tanggungjawab
pemerintah snagat dibutuhkan guna memenuhi hak-hak tenaga kesehatan sebagai
garda terdepan dalam penanganan penyebaran Covid-19 di Indonesia

N. Penanganan Bencana Komprehensif pada Berbagai Kasus (Tanah


Longsor, Tsunami, Gempa)
Kasus Tanah Longsor
Desa Snepo Kecamatan Slahung kabupaten Ponorogo

Hampir setiap tahun saat musim hujan tiba, bencana tanah longsor menghantui
penduduk Desa Snepo Kecamatan Slahung kabupaten Ponorogo. Tanah longsor
terbesar terjadi pada tahun 2017 silam ketika puluhan rumah rusak berat dan puluhan
ekor sapi menjadi korban serta terputusnya akses jalan yang menghubungkan antara
dusun satu dengan dusun dan desa lain. Dari survei yang dilakukan, bencana akan
semakin mengancam karena adanya perubahan penggunaan lahan yang semula berupa
hutan rakyat berubah menjadi lahan pertanian. Pemanfaatan lahan sebagai lahan
pertanian memanfaatkan lereng yang relatif curam, sehingga erosi akan sering terjadi
dalam bentuk erosi alur dan gerakan massa tanah (longsor). Erosi pada tingkat lanjut
ini menyebabkan dampak yang besar bagi kerusakan lingkungan, misalnya banjir,
tanah longsor, dan daerah rawan longsor.

Bencana tanah longsor terakhir terjadi bulan Pebruarai - Maret 2018, satu
rumah rusak berat, 20 rumah terancam longsoran tanah dan sedikitnya 141 jiwa harus
mengungsi serta terputusnya akses jalan yang menghubungkan dengan dukuh dan
desa lain. Belum lagi longsoranlongsoran kecil yang sering terjadi saat musim hujan
di semua dusun.

Secara umum faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi tersebut


antara lain adalah:

 Kemiringan lereng yang terjal mengakibatkan tanah mudah bergerak


 Struktur geologi berupa patahan turun dilokasi gerakan tanah
 Jenis batuan berupa lava/breksi yang bersisipan batu lempung dan batu pasir
 Sifat tanah pelapukan bersifat poros/sarang, kurang kompak, jenuh air
 Sistem drainase permukaan yang kurang baik sehingga seluruh air baik air hujan
maupun air limbah rumah tangga menjenuhi lereng sehingga mempercepat
berkembangnya longsor
 Curah hujan yang tinggi dan berdurasi lama yang turun sebelum dan saat terjadinya
gerakan tanah memicu terjadinya gerakan tanah.

1. Permasalahan yang Harus Ditangani


Dari analisis situasi tersebut di atas dan informasi yang diperoleh dari kepala desa,
kepala dusun dan tokoh masyarakat, permasalahan yang dialami oleh warga Desa Snepo
yaitu:
a. Penduduk selalu merasa was-was terhadap datangnya bahaya tanah longsor saat
musim hujan.
b. Pengetahuan masyarakat tentang tata guna lahan serta mitigasi bencana masih
sangat rendah.
c. Sistem drainase permukaan yang kurang baik sehingga seluruh air, baik air hujan
maupun air limbah rumah tangga menjenuhi lereng sehingga mempercepat
berkembangnya longsor.
d. Belum adanya lembaga ditingkat desa yang menangani masalah kebencanaan.

2. Metode Pelaksanaan
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Snepo dalam
menghadapi ancaman bahaya tanah longsor tersebut, maka metode yang dilakukan untuk
memecahkan berbagai permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pemahaman pada penduduk Desa Snepo tentang daerah/lokasi rawan
longsor dan aliran air
b. Memberikan penyuluhan tentang:
1. Bagaimana menghadapi bahaya tanah longsor
2. Mitigasi bencana
c. Melakukan pemetaan pada areal terdampak bencana tanah longsor
d. Melakukan pemetaan daerah aliran air
e. Edukasi kepada masyarakat tentang kedaruratan bencana

3. Pembahasan
a. Survey
Kegiatan awal yang dilakukan oleh tim Pengabdian Masyarakat adalah melakukan
survei, bermitra dengan BPBD Kabupaten Ponorogo. Dari survei diperoleh informasi
tentang keadaan Desa Snepo beserta struktur tanahnya.
b. Kegiatan Penyuluhan
Salah satu strategi untuk mengantisipasi bahaya tanah longsong adalah penyuluhan
kepada masyarakat terdampak. Penyluhan ini juga bagian dari edukasi kepada
masyarakat tentang kedaruratan bencana
Kegiatan penyuluhan dibagi menjadi beberapa tahap yaitu:
1. Penyuluhan mitigasi bencana. Dari penyuluhan ini masyarakat menjadi tahu
lokasi rawan longsor dan sigap bila ada bencana.
2. Penyuluhan pelestarian hutan. Penyuluhan ini memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang fungsi hutan.
c. Menyusun Peta
Pembuatan peta daerah rawan longsor untuk Desa Snepo dan Pembuatan peta
aliran air hujan untuk Desa Snepo.
Dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh penduduk dan mitra
adalah dengan melakukan penyuluhan menyusun peta rawan longsor, peta aliran air
hujan, melakukan mitigasi bencana, mengadakan edukasi tentang bencana tanah
longsor. Tindakan-tindakan tersebut sudah sesuai dengan strategi pemerintah dalam
penanggulangan bencana berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007,
tentang penanggulangan bencana yang bertujuan untuk:
1. Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana.
2. Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
3. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh.
4. Menghargai budaya lokal.
5. Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta.
6. Mendorong semangat gotong roryong, kesetiakawanan, dan kedermawanan.
7. Mencipatakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Kasus Bencana Tsunami

Penanganan Bencana Tsunami di Aceh Tahun 2004

Tanggal 27 Desember 2004 presiden RI mengeluarkan keputusan bahwan


bencana alam gempa dan tsunami Aceh sebagai bencana nasional. Presiden juga
mengeluarkan arahan agar Gubernur Aceh untuk melakukan tindakan yang
kompherensif dalam penanganan tanggap darurat tersebut. Presiden juga
menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang kegiatan tanggap
darurat dan perencanaan serta persiapan rehabilitasi dan rekontruksi pasca gempa
dan tsunami di Aceh :

a. Tahap Tanggap Darurat (Januari 2005 – Maret 2005)


Tahapan ini dilakukan untuk menyelamatkan korban yang masih
hidup, termasuk memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar pada
korban. Tahapan ini hanya dilakukan selama 3 bulan, selama proses berlansung
respon dari masyarakat, unsur-unsur dari pemerintah dan LSM sangat baik.
Tahapan ini juga di dukung oleh pendanaan yang sangat baik, setidaknya untuk
upaya tangga darurat dana yang di janjikan oleh beberapa pendonor mencapai
80 juta dollar.

b. Tahap Rehabilitasi (April 2005 – Desember 2006)


Tahapan ini merupakan tindakan lanjutan dari tahan tanggap darurat.
Tujuaan tahapan rehabilitasi adalah memulihkan dan mengembalikan fungsi-
fungsi bangunan dan infrastruktur dasar yang di anggap menjadi keperluan
mendesak, seperti rehabilitasi sarana kesehatan, sekolah, tempat ibadah, serta
sarana dan prasarana perekonomian. Proses rehalibitasi ini mempunyai target
sampai fasilitas pelayanan publik dapat berfungsi pada tingkat yang memadai
dalam pelayanannya. Pada tahapan ini juga difokuskan pada penyelesaian
permasalahan terkait pada aspek hukum seperti penyelesaian hak atas tanah dan
juga pemulihan non struktural berupa pemulihan trauma pada korban-korban
tsunami.

c. Tahap Rekonstruksi (Juli 2005 – Desember 2009)


Tahap ini merukapan tahapan lanjutan setelah selesai tahap rehabilitasi.
Tahap rekontruksi bertujuan melakukan pembangunan kembali fasilitas-
fasilitas umum dan hunian masyarakat sehingga terbentuknya kembali kawasan
kota dan desa. Pada tahapan ini semua kegiatan melibatkan pemerintah, para
pakar, LSM dan masyarakat yang terkena bencana. Pembangunan sarana dan
prasarana ini harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah di susun oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembangunan bangunan penting baru
juga dilaksanakan pada tahapan ini, seperti pembangunan tower sirine tsunami
yang berfungsi memberi peringatan dini jika terjadi kembali bencana tsunami.
Diharapkan keberadaan tower tersebut mampu memberikan informasi yang
dibutuhkan masyarakat ketikan bencana terjadi
Pada hakikatnya pemerintah bersama dengan BNPB sudah melakukan
penanagan serta penanggulangan bencana Tsunami secara Komprehensif selain
melakuan manajemen bencana seperti diatas tentunya Pemerintah Pusat
berserta BNPB melakukan tindakan Mitigasi dimana tindakan mitigasi untuk
mengantisipasi bencana susulan disela – sela tahan rehabilitasi dan rekonstruksi
yang sedang berjalan, dimana hal tersebut dibagi menjadi kedalam beberapa
bagian yaitu mitigasi secara terstruktural,non-struktural serta mitigasi hijau :
Mitigasi Struktural
Mitigasi tsunami yang bersifat struktural mengedapankan pembangunan dan
intervensi fisik seperti perbaikan bangunan/infrastruktur, pembangunan konstruksi
yang langsung dapat mereduksi energi gelombang tsunami atau memperlambat
tibanya gelombang tsunami, dan pembangunan jalur-jalur evakuasi. Bentuk-bentuk
mitigasi tsunami yang bersifat struktural yang lazim ditemui adalah:
a. Pembangunan dinding laut untuk mereduksi gelombang tsunami;

b. Relokasi pemukiman ke wilayah yang lebih aman dari bahaya tsunami;

c. Pembangunan jalur dan rambu evakuasi tsunami;

d. Pembangunan Gedung evakuasi atau bukit evakuasi tsunami


Mitigasi Non-struktural

Mitigasi tsunami yang bersifat non-struktural melibatkan upaya peningkatan


kesiapan masyarakat dan pemerintah berdasarkan scenario akan terjadinya bencana
tsunami. Mitigasi non-struktural juga dapat dilaksanakan melalui beberapa jenis
aktivitas atau program, seperti:

a. Pemberlakuan zonasi pada penataan kawasan yang meliputi beberapa


tingkatan zona rawan/risiko tsunami (misalnya tinggi, sedang, rendah);
b. Peningkatan kapasitas pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten dalam
mengantisipasi situasi kedaruratan tsunami;
c. Melatih para praktisi penanggulangan bencana dalam merespon informasi
peringatan dini tsunami dan mengkomunikasikannya kepada khalayak
masyarakat yang lebih luas;
d. Penguatan rantai sistem peringatan dini tsunami terutama pada sisi kultural
sistem peringatan dini yang berada di tingkat provinsi dan kabupaten.
e. Mengadakan upaya-upaya peningkatan kesiapsiagaan terhadap tsunami
melalui latihan evakuasi tsunami, sosialisasi daerah rawan tsunami, dan
pembentukan sekolah dan komunitas yang siaga bencana tsunami
Mitigasi Hijau

Istilah mitigasi hijau tidak begitu popular dibandingkan istilah sabuk hijau.
Namun dalam Teknik konstruksi, konsep desain Teknik berbasiskan perlindungan
ekologi akhir-akhir ini semakin mengemuka (Pioch et al. 2018). Konsep mitigasi
hijau ini mencakup hal-hal yang lebih luas daripada penanaman/pemeliharaan hutan
pantai. Bentuk-bentuk mitigasi hijau yang dapat ditemukan dalam mitigasi tsunami
adalah sebagai berikut:

a. Melakukan perencanaan dengan sejak awal mempertimbangkan material yang


ramah terhadap lingkungan;
b. Mempertimbangkan keseimbangan ekologis sekalipun harus membangun
konstruksi fisik seperti dinding laut untuk mereduksi gelombang tsunami;
c. Pengelolaan hutan pantai yang berdaya guna mereduksi gelombang tsunami
sekaligus memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat di sekelilingnya.

Jika melihat kedalam pembahasan di atas bisa dilihat bahwa pemerintah serta
BNPB selaku yang memiliki tanggung jawab serta kewenangan sudah melakukan
tindakan penanganan serta penanggulangan tsunami secara komprehensif bisa dilihat
dari cara manajement bencana yang di lakukan sudah cukup baik dari mulai pra
bencana, saat bencana serta post bencana dan hal tersebut sudah memenuhi kriteria
standar penanganan serta penanggulangan bencana tsunami yang dapat mengurasi
dampak serta resiko yang dapat di timbulkan kemudian hari.

Kasus Bencana Gempa Bumi

Penanganan Bencana Gempa Bumi di Kota Padang

Kota Padang merupakan daerah yang berpotensi tinggi akan bencana gempa
bumi yang diikuti oleh gelombang tsunami. Pada tanggal 30 September 2009 telah
terjadi bencana gempa bumi degan kekuatan 7,9 sr di Padang, Sumatera Barat, kondisi
yang dihadapi Kota Padang tentunya harus disikapi secara cepat dan serius oleh
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah setempat sehingga tidak menimbulkan
kerugian. Menyikapi UU No. 24 tahun 2007, berikut analisis implementasi
penanganan bencana gempa bumi di Kota Padang ditinjau dari rencana nasional
penanggulangan bencana gempa bumi sebagai berikut (Leofano, 2013) :
1. Pra Bencana
Dalam tahap pra bencana berbagai upaya yang telah dilakukan diantarnya
yaitu Pemerintah Kota Padang sudah mengatur kebijakan terkait pembangunan
struktur yang aman dari gempa bumi yang di atur dalam Perda No. 4 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Padang. Namun dalam
pelaksanaannya, ternyata Pemerintah Kota Padang belum sepenuhnya
menerapkan struktur bangunan tahan gempa di seluruh Kota Padang, penerapan
struktur bangunan tahan gempa hanya diterapkan pada bangunan vital seperti
gedung pemerintahan, gedung pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dll.
Seharusnya, penerapan struktur bangunan tahan gempa ini menyeluruh di Kota
Padang. Namun, pemerintah belum bisa melaksanakan hal tersebut karena
berbagai kendala salah satunya belum adanya anggaran dana khusus untuk
pembangunan tahan gempa.
Dalam mempersiapkan sistem kesiapsiagaan bencana, pemerintah Kota
Padang mendukung adanya partisipasi warga dengan geladi atau simulasi
mengahadapi gempa bumi oleh BPBD Kota Padang, kegiatan tersebut dilakukan
secara rutin selama satu bulan sekali. Selain itu, dilakukan sosialisasi terkait
penanggulangan bencana gempa bumi mulai dari tahap pra bencana, saat bencana
dan pasca bencana.
Tidak hanya itu, pemerintah Kota Padang juga mendukung berbagai
penelitian terkait analisis bencana gempa bumi di Kota Padang dengan
mengalokasikan dana APBD khusus untuk penelitian. Dengan adanya penelitian-
penelitian terkait bencana gempa bumi diharapkan bisa menambah informasi baru
agar pemerintah bisa meningkatkan kembali berbagai upaya untuk
penanggulangan bencana gempabumi di Kota Padang.
2. Tanggap Darurat
Dalam tanggap darurat, pemerintah Kota Padang melalui BPBD Kota Padang
melakukan berbagai upaya diantaranya yaitu melakukan penyebaran informasi
mengenai gempabumi dan kerusakan yang ditimbulkan saat bencana gempa,
mengumpulkan/menyebarkan informasi kerusakan awal saat gempabumi,
menyampaikan informasi berkaitan dengan kerusakan secara umum.
Sementara itu, pada saat penyelamatan atau bantuan pertama, pemerintah
mengerahkan seluruh tenaga kesehatan untuk melakukan perawatan medis kepada
para korban bencana gempa bumi, pemerintah juga melakukan pengadaan
mekanan, air dan kebutuhan harian dan melakukan kegiatan kesiapsiagaan
terhadap bencana susulan. Selain itu, pemerintah melalui BPBD Kota Padang
menerima bantuan dari para relawan untuk korban bencana gempa bumi, dan
menerima bantuan dari dalam maupun luar negeri.
3. Pasca Bencana
Pada tahap pra bencana, pemerintah Kota Padang telah melakukan berbagai
upaya rehabilitasi dan rekontruksi sesuai dengan Perka BNPB No. 11 Tahun
2008. Dimana dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekontruksi yang di lakukan di
Kota Padang setelah terjadi bencana gempabumi yaitu rehabilitasi dan
rekontruksi perumahan yang rusak. Selain itu, pemerintah juga melakukan trauma
healing pada korban bencana gempabumi dengan penerapan terapi mental yang
dilakukan oleh para tenaga medis untuk membantu mengatasi atau mebgurangi
trauma pada korban bencana gempabumi di Kota Padang.

Mitigasi Gempa dan Tsunami di Kota Padang


Mitigasi gempa dan tsunami yang dilakukan oleh BPBD Kota Padang
menerapkan fungsi koordinasi sebagai landasan utama penanggulangan bencana
sesuai dengan yang tertuang pada pasal 23 ayat 2 UU No.24 tahun 2007. BPBD Kota
Padang selaku badan yang dibentuk dalam menyelenggarakan penanggulangan
bencana melaksanakan mitigasi dengan prinsip koordinasi (Sari, Sulandari, &
Lituhayu, 2014).
1. Mitigasi gempa dan tsunami melalui pendekatan non fisik
a. Pembuatan keputusan atau kebijakan secara konsisten
b. Zonasi (pemetaan) daerah rawan gempa dan tsunami
c. Sosialisasi kepada masyarakat yang rawan gempa dan tsunami
d. Melakukan latihan (simulasi) gempa atau tsunami
2. Mitigasi gempa dan tsunami melalui pendekatan fisik
a. Non struktural (alami)
Mitigasi secara alami dilakukan dengan perlindungan daerah pantai
dengan menggunakan hutan pinggir pantai atau green belt, meski belum
mengatasi tsunami namun hutan yang rapat, lebat dan tinggi akan menyedot
banyak energy gelombang sehingga kekuatan gelombang jauh berkurang
ketika mencapai rumah penduduk.
Namun sayang sekali pemerintah dalam hal ini belum memprioritaskan
hutan pantai. Saat ini berbagai program cenderung lebih kepada
pembangunan mitigasi secara buatan.
b. Struktural
1) Sistem peringatan dini
2) Pembangunan serta penetapan kontruksi yang aman gempa
3) Pembuatan jalur dan tempat evakuasi

Berdasarkan pemaparan di atas, upaya penanganan bencana telah dilakukan oleh


pemerintah Kota Padang. Namun pelaksanaannya memang belum optimal ditandai dengan
pembangunan bangunan tahan gempa yang masih belum secara menyeluruh dilakukan.
Adapun upaya lainnya pada tanggap darurat, dan upaya pada pasca bencana maupun mitigasi
gempabumi sebagian besar telah dilakukan sesuai rencana nasional dalam penanggulangan
bencana gempabumi.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh factor
alam dan/atau factor non alam maupun factor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa. Bencana Alam adalah Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan dan tanah longsor.

Bencana Non Alam adalah Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemic dan wabah penyakit. Bencana Sosial adalah Bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia
yang meliputi konflik social antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan
terror

B. Saran
Baik mahasiswa maupun dosen diharapkan dapat mengikuti seluruh rangkaian
kegiatan belajar dan mengajar dengan baik, khususnya dalam keperawatan bencana ini,
agar seluruh pihak dapat mengaplikasikannya ketika dihadapkan pada situasi yang
genting atau ketika akan, saat, dan setelah terjadinya bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Ns. Rudi Hamarno, M. (2016). KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN & MANAJEMEN


BENCANA. JAKARTA: KEMENKES RI.

Rosliana Dewi, S.Kp., M.H.Kes., M.Kep. Konsep Dasar Keperawatan Bencana

Ady Waluya S.Kep.,Ners.,M.Kep SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA TERPADU


TERINTREGRITAS DENGAN SPGDT

Rosliana Dewi, S.Kp., M.H.Kes., M.Kep. ETIKA DAN HUKUM DALAM PENANGANAN
BENCANA

Ady Waluya S.Kep.,Ners.,M.Kep Konsep dan Model Triage Bencana Covid-19

Nunung Liawati,S.Kep,Ners.,M.Kep.Organisasi penanganan Bencana di indonesia

Yeni yulianti, S.Kep.,Ners.,M.Kep.SURVEILANS BENCANA BENCANA

Rosliana Dewi, S.Kp., M.H.Kes., M.Kep. Perawatan Luka Pada Korban Bencana

Yeni yulianti, S.Kep.,Ners.,M.Kep Pemberdayaan masyarakat menghadapi bencana

Nunung Liawati,S.Kep,Ners.,M.Kep.Managemen Bencana Berdasarkan Karakteristik Bencana

Nunung Liawati,S.Kep,Ners.,M.Kep Managemen Bencana pra-saat-pasca bencana


Rosliana Dewi, S.Kp., M.H.Kes., M.Kep. Emergency response plan(Kantor, Kampus, Sekolah,
Pondok Pesantren)

Ady Waluya S.Kep.,Ners.,M.Kep pencegahan penyakit & promkes bencana

KELOMPOK 3 kelas B Ketepatan dan tingkat penguasaan perlindungan dan perawatan bagi petugas
kesehatan saat bencana

Kelompok 6 (4a Sarjana Keperawatan )Penanganan bencana komperhensif pada berbagai kasus
“gempa”

Kelompok 6 4BPenangan bencana komperehensif pada bencana gempa bumi

Kelompok 5 4B Sarjana Keperawatan penanganan bencana komprehensif pada bencana tsunami

Kelompok 4 4B Penanganan Bencana Komprehensif pada Tanah Longsor

Anda mungkin juga menyukai