Anda di halaman 1dari 8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kesiapsiagaan Bencana

Bencana merupakan sebuah gangguan serius terhadap berfungsinya sebuah

komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material,

ekonomi atau lingkungan yang meluas yang melebihi kemampuan masyarakat

atau masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasi penggunaan sumber

dayanya sendiri (WHO, 2007). Begitu juga yang dipaparkan dalam UU Nomor

24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (2007), bencana adalah

peristiwa atau rentetan peristiwa yang mengancam nyawa dan mengganggu

kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam

dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis.

Pada UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (2007),

bencana dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan penyebabnya, yaitu bencana

alam, bencana non alam, bencana sosial. Bencana alam merupakan bencana yang

disebabkan oleh alam, diantaranya adalah gempa bumi, gunung meletus, angin

topan, kekeringan, tsunami, tanah longsor, dan banjir. Bencana non alam

merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rentetan peristiwa non

alam diantaranya berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah

penyakit. Bencana sosial merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa


atau rentetan peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik

sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Pada Disaster Management Institute of Indonesia (2015) bencana dapat

ditanggulangi dalam lima tahap, mulai dari pencegahan, mitigasi, keadaan darurat,

rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pencegahan bencana merupakan serangkaian

aktivitas yang dilakukan untuk mengurangi dan atau menghilangkan ancaman

timbulnya bencana. Mitigasi merupakan rangkaian kegiatan dalam upaya

mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik atau bisa juga

melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman

terjadinya bencana. Pada keadaan darurat setiap tindakan harus dilakukan dengan

segera guna mengatasi dampak buruk yang muncul pada kondisi bencana.

Rehabilitasi adalah proses pemulihan dan perbaikan semua aspek pada pelayanan

publik menuju tingkat yang memadai untuk melakukan pelayanan pada kondisi

pasca bencana. Pada tahap rekonstruksi dilakukan pembangunan kembali seluruh

prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah setelah kondisi bencana.

Menurut International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies

(2017), kesiapsiagaan bencana mengacu pada tindakan yang diambil untuk

mempersiapkan dan mengurangi dampak bencana. Artinya, untuk memprediksi

dan, jika mungkin, mencegah bencana, mengurangi dampaknya terhadap populasi

rentan, dan merespons dan secara efektif mengatasi konsekuensinya. Konteks

yang serupa juga disampaikan dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 (2007), yaitu

kegiatan yang berfokus pada antisipasi bencana melalui pengorganisasian serta

prosedur yang tepat guna dan berdaya guna.


Kesiapsiagaan bencana, termasuk penilaian risiko dan strategi pengelolaan

multi-disiplin, sangat penting untuk penyampaian tanggapan efektif terhadap

kebutuhan kesehatan orang-orang yang menderita selama bencana. Sangat penting

bahwa profesional kesehatan dan personil terkait bersiap untuk menjaga stabilitas

masyarakat dan negara (Weiner et al., 2005).

Kesiapsiagaan darurat mengacu pada kesiapan untuk bereaksi secara

konstruktif terhadap ancaman dari lingkungan dengan cara yang meminimalkan

konsekuensi negatif dari dampak terhadap kesehatan dan keselamatan individu

dan integritas dan fungsi struktur dan sistem fisik (Slepski, 2005).

2.2 Pengukuran Kesiapsiagaan Bencana

Kesiapsiagaan bencana dapat diukur menggunakan kuesioner. Beberapa

penelitian yang telah dilakukan, keseluruhannya menggunakan kuesioner sebagai

alat ukur kesiapsiagaan bencana.

Saat ini, satu-satunya alat yang andal dan valid dalam literatur yang digunakan

untuk mengevaluasi keakuratan perawat tentang kesiapan darurat dan kompetensi

inti tanggap darurat adalah EPIQ (Georgino et al., 2015). Pernyataan yang serupa

juga disampaikan oleh Garbutt, Peltier, & Fitzpatrick (2008); McKibbin, Sekula,

Colbert, & Peltier (2011); Baack & Alfred (2013), EPIQ adalah satu-satunya alat

yang dijelaskan dalam literatur yang mampu menilai secara komprehensif

kemampuan perawat dengan delapan dimensi kompetensi kesiapsiagaan bencana.

Penelitian tentang kesiapsiagaan bencana pada perawat yang dilakukan di

Texas diikuti oleh 620 perawat, diperoleh hasil bahwa perawat merasa tidak siap
jika dihadapkan dalam situasi bencana. Penelitian ini menggunakan rancangan

penelitian korelasi deskriptif. Data kesiapsiagaan bencana dikumpulkan

menggunakan Emergency Preparedness Information Questionnaire (EPIQ).

Terdapat dua komponen perbedaan individual, yaitu: partisipasi sebelumnya

dalam bencana besar dan pekerjaan sebelumnya di tempat penampungan pasca

bencana secara signifikan dikelompokkan dengan skor total EPIQ (Baack and

Alfred, 2013).

Seperti halnya penelitian di atas, pada penelitian yang dilakukan di Arab Saudi

dengan jumlah responden 252 orang, diketahui menggunakan EPIQ sebagai alat

ukur kesiapsiagaan bencana (Ibrahim, 2014). Alat ukur yang serupa juga

digunakan oleh Wahidah (2016) dalam penelitian yang dilakukan di Kecamatan

Gumukmas dengan jumlah responden sebesar 16 orang.

Pada penelitian lain yang juga menilai kesiapsiagaan bencana, sayangnya

tidak memunculkan secara gamblang alat ukur yang digunakan untuk mengukur

kesiapsiagaan bencana (Weiner et al., 2005; O’Sullivan et al., 2008; Anam,

Andarini and Putra, 2013; Seyedin, Dolatabadi and Rajabifard, 2015).

Beberapa penelitian di atas menggunakan EPIQ sebagai alat ukur dalam

menilai kesiapsiagaan respondennya. Alat ukur ini pertama kali digunakan oleh

Wisniewski et al. (2004) telah menyurvei 877 responden menggunakan EPIQ.

EPIQ terdapat delapan dimensi yang digunakan untuk mengetahui kondisi

kesiapsiagaan bencana pada responden. Delapan dimensi tersebut antara lain, (a)

sistem komando kejadian, (b) triase, (c), epidemiologi dan surveilans (d) isolasi,
dekontaminasi, dan karantina, (e) komunikasi, (f) masalah psikologis, (g) populasi

khusus, dan (h) akses sumber kritis.

Kemudian, Garbutt et al. (2008), melakukan evaluasi lebih lanjut pada

instrumen EPIQ sebagai salah satu bentuk usaha penyempurnaan instrumen EPIQ.

EPIQ adalah satu-satunya alat yang dijelaskan dalam literatur yang menilai secara

komprehensif kemampuan perawat dengan delapan dimensi kompetensi

kesiapsiagaan darurat. Tujuannya adalah untuk lebih memahami kebutuhan

kesiapsiagaan bencana perawat dan cara terbaik untuk menyampaikan

keterampilan dan prosedur respons kegawatdaruratan. EPIQ dapat digunakan

untuk menyurvei perawat dalam berbagai pengaturan praktik, untuk menentukan

kebutuhan pelatihan khusus mereka dalam berbagai dimensi kesiapsiagaan

darurat. Hal terpenting adalah pada penelitian ini diketahui bahwa masing-masing

dari delapan dimensi EPIQ mampu secara signifikan menilai kebiasaan/

keakraban perawat secara keseluruhan. Meskipun penelitian ini berfokus pada

perawat, pertimbangan harus diberikan untuk menggunakan EPIQ untuk menilai

kesiapsiagaan bencana yang diketahui dari petugas kesehatan lainnya.

2.3 Determinan Kesiapsiagaan Bencana

Determinan kesiapsiagaan bencana pada tenaga kesehatan hingga saat ini

belum ada yang memaparkan apa saja yang termasuk di dalamnya. Determinan

kesiapsiagaan bencana pada tenaga kesehatan dibangun berdasarkan penelitian

yang sudah ada sebelumnya yang menggunakan perawat sebagai subjek penelitian
sebagai dasar untuk mengetahui determinan kesiapsiagaan bencana pada tenaga

kesehatan.

Terdapat dua komponen perbedaan individual, yaitu: partisipasi sebelumnya

dalam bencana besar dan pekerjaan sebelumnya di tempat penampungan pasca

bencana secara signifikan dikelompokkan dengan skor total EPIQ (Baack and

Alfred, 2013).

Kesiapsiagaan seorang individu dapat berubah sesuai dengan pengalaman

bencana yang pernah dialaminya yang mengubah persepsinya terhadap bencana.

Persepsi dapat didorong dari diri sendiri secara intrinsik untuk mampu mengambil

tindakan yang akan mendorong seseorang mencapai tujuan tertentu (Ryan and

Deci, 2000).

Hasil yang serupa ditampilkan pada penelitian yang dilakukan pada 1543

responden melalui survey online selama 30 menit. Pada penelitian tersebut

disampaikan bahwa perawat menganggap dirinya kurang berpengalaman dalam

situasi bencana. Perawat yang ada di Kanada ini direkomendasikan untuk

mengikuti pelatihan agar mampu meningkatkan kesiapsiagaan jika menghadapi

bencana. Pada penelitian ini ditemukan bahwa responden wanita merasa bahwa

mereka kurang dipersiapkan dalam skenario kesiapsiagaan bencana dari pada laki-

laki, sehingga kesiapsiagaan responden wanita lebih rendah dari pada laki-laki.

Selain itu, pengalaman sebelumnya pada situasi bencana juga menunjukkan hasil

yang signifikan. Responden yang memiliki pengalaman sebelumnya pada situasi

bencana memiliki persepsi kesiapsiagaan lebih tinggi dibandingkan dengan

responden yang tidak memiliki pengalaman. Persepsi kesiapsiagaan bencana


berdasarkan kelompok umur memunculkan hasil yang signifikan pada kelompok

umur ≥46 tahun, menunjukkan bahwa kesiapsiagaan pada kelompok umur ≥46

tahun memiliki kesiapsiagaan yang lebih tinggi daripada responden yang berusia

lebih muda (O’Sullivan et al., 2008).

Persepsi kesiapsiagaan bencana dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diatantaranya adalah kerentanan (persepsi subjektif terhadap suatu risiko tertentu),

keparahan (persepsi tingkat keparahan), manfaat (kepercayaan bahwa tindakan

tertentu dapat menurunkan risiko dan keparahan), hambatan (kemungkinan

hambatan dalam mengambil tindakan tertentu), dan self efficacy (keyakinan

individu bahwa dia akan bisa melakukan tindakan tersebut (Rosenstock, 1974).

Penelitian yang dilakukan di Arab Saudi dengan rancangan penelitian potong

lintang diperoleh bahwa tingkat kesiapsiagaan responden masih rendah,

diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan, sikap, dan latihan tentang bencana.

Kelompok usia, pengalaman bekerja, dan departemen kerja merupakan faktor

yang mempengaruhi kesiapsiagaan bencana pada responden. Selain itu, pada

penelitian ini menyampaikan bahwa pengetahuan, sikap, dan praktik memiliki

kaitan yang erat dengan kesiapsiagaan bencana (Ibrahim, 2014).

Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan pun menyampaikan bahwa

pengetahuan, sikap, dan praktik memberikan pengaruh terhadap kesiapsiagaan

bencana (Moabi, 2009). Hasil yang serupa juga diperoleh pada penelitian yang

dilakukan di Malaysia, dikatakan bahwa dengan memiliki pengetahuan dan

menunjukkan sikap yang positif mampu meningkatkan praktik dalam situasi

tanggap bencana (Ismail and Saiboon, 2012). Hasil yang konsisten juga
dipaparkan oleh Jiang et al (2015), temuan pada penelitiannya menunjukkan

adanya hubungan positif yang signifikan antara sikap dan praktik.

Penelitian lain juga menyampaikan hal yang serupa, pengetahuan perawat

dalam kesiapsiagaan bencana lebih rendah dari yang diharapkan (Wisniewski,

Dennik-Champion and Peltier, 2004; Garbutt, Peltier and Fitzpatrick, 2008).

Selain itu hasil penelitian McKibbin et al. (2011), menunjukkan kesiapsiagaan

bencana yang masih rendah.

Penelitian yang dilakukan di New Jersey Utara dengan rancangan penelitian

potong lintang memperoleh hasil bahwa usia (OR 1.49; 95 % CI: 1.27-1.65) dan

lama kerja (OR 1.16; 95 % CI: 0.95-1.43) memiliki dampak pada kinerja perawat,

terlebih pada situasi bencana (Ogedegbe et al., 2012).

Kesiapsiagaan bencana penting dimiliki oleh setiap individu. Apa lagi bagi

tenaga kesehatan. Namun sayangnya belum ada penelitian yang menilai tingkat

kesiapsiagaan tenaga kesehatan dan memaparkan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Penelitian yang sudah banyak dilakukan hanya mengambil

perawat sebagai subjek penelitiannya.

Anda mungkin juga menyukai