Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ANALISIS JURNAL

ANALISIS PENANGANAN BENCANA GEMPA BUMI

Oleh :

Ardhi Dwi Setiawan

Arif Tri Widodo

Anang Isniaji

Faris Nur Fitra

Moh. Farysudin

Muslimin Marjuni Putra

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO


ANALISIS JURNAL

Judul Jurnal: Pengaruh Pemberian Metode Simulasi Siaga Bencana Gempa Bumi Terhadap
Kesiapsiagaan Anak Di Yogyakarta
Format analisis jurnal: Uraian PICO (Problem, Intervention, Comparation dan Outcome)
Definisi Bencana :

Bencana menurut UU no.24 Tahun 2007 diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan oleh factor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
Problem :
Peristiwa gempa bumi banyak terjadi di wilayah Indonesia. Menurut data rekaman
sebaran episentrum gempa bumi dengan magnitudo 5 dari tahun 1900- 2000 dan menurut peta
daerah gempa bumi di Indonesia, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berada di wilayah
4. Wilayah tersebut merupakan wilayah yang rawan terhadap terjadinya gempa bumi (Dwisiwi et
al., 2012). Kewaspadaan sangatlah penting mengingat bahwa jumlah korban jiwa dan kehilangan
materi yang tidak sedikit di setiap kejadian bencana, seperti yang terjadi di Yogyakarta pada
tanggal 27 Mei 2006. Berdasarkan informasi data dari BNPB jumlah korban mencapai 5.716
orang tewas dan 37.927 orang lukaluka (BNPB, 2014). Gempa bumi tersebut membuat banyak
orang terperangkap di dalam rumah khususnya anak-anak dan orang tua karena terjadi di pagi
hari sehingga mayoritas korban merupakan orang yang berusia lanjut dan anak-anak yang
kemungkinan tidak sempat menyelamatkan diri ketika gempa belangsung. Hal ini
memperlihatkan masih lemahnya kesiapan menghadapi bencana di Indonesia (Rinaldi, 2009).
Anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan yang paling berisiko terkena dampak
bencana (PP No 21, 2008). Kerentanan anak-anak terhadap bencana dipicu oleh faktor
keterbatasan pemahaman tentang risiko-risiko di sekeliling mereka, yang berakibat tidak adanya
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Intervention:
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan desain penelitiannya adalah
quasi experiment dengan rancangan yang digunakan adalah one group pre and post test design.
Lokasi penelitian dilakukan di SD Negeri Giwangan Kelurahan Giwangan Yogyakarta pada
bulan Agustus 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SD di kelurahan
Giwangan Yogyakarta dengan populasi terjangkau adalah siswa SD Negeri Giwangan sebanyak
370. Sampel dalam penelitian merupakan purposive sampel sebanyak 31 siswa dengan kriteria
inklusi adalah anak kelas 6; tidak sedang mengalami sakit; bersedia menjadi responden
penelitian. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah tidak hadir pada saat dilakukan intervensi dan
anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan tuna netra, tuna rungu dan disabilitas intelektual.
Instrumen dalam penelitian ini dengan menggunakan media film simulasi siaga bencana yang di
produksi oleh LSM Lembaga Peduli Anak Bangsa dan Kluwung Indonesia yang bekerja sama
dengan ASB (Arbeiter-Samariter-Bund) cabang Indonesia dan materi pengetahuan siaga bencana
dengan flipchart kemudian untuk mengetahui kesiapsiaagaan dalam menghadapi bencana dengan
menggunakan kuesioner sebanyak 17 soal valid dan reliabel. Analisis data dengan menggunakan
uji Wilcoxon (Dahlan, 2013).
Comparation:
Hasil penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Herdwiyanti dan
Sudaryono (2013) tentang perbedaan kesiapsiagaan menghadapi bencana ditinjau dari tingkat
self-efficacy pada 102 anak usia Sekolah Dasar di daerah dampak bencana Gunung Kelud. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara siswa yang memiliki self-efficacy
tinggi dan siswa yang memiliki self-efficacy rendah dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana
ditinjau dari tingkat self efficacy pada anak usia Sekolah Dasar di daerah bencana gunung Kelud
dengan p-value 0,000.
Pada pelatihan siaga bencana pada anak-anak menggunakan metode simulasi. Hal ini
didukung oleh pernyataan oleh Steward & Wan (2007) dalam penelitiannya tentang peran
simulasi didalam manajemen bencana dapat mengukur kesiapan seseorang dalam menghadapi
bencana. Menurut Olson et.al, (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa pendidikan
tentang siaga bencana dengan menggunakan simulasi berupa game atau permainan dapat
memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan yang tidak menggunakan simulasi.
Out Come:
Simulasi merupakan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi
tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau ketrampilan tertentu. Simulasi dapat
digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat
dilakukan secara langsung pada obyek yang sebenarnya (Sanjaya, 2013). Pada penelitian ini
simulasi yang digunakan adalah role playing atau bermain peran yaitu metode pembelajaran
sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau
kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang.
Kesiapsiagaan anak-anak sebelum dan sesudah diberikan simulasi siaga bencana
sebagian besar dalam kategori kurang siap sebanyak 22 anak (71%) dan 23 anak (74,2%).
Berdasarkan jenis kelamin, sebelum pelatihan sebagian besar adalah perempuan dalam kategori
kurang siap sebanyak 13 anak (59,1%) dan sesudah pelatihan menjadi 16 anak (69,6%). Hal
tersebut didukung oleh pernyataan guru bahwa anak-anak belum pernah diberikan materi tentang
siaga bencana baik di dalam intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Kondisi psikologi seperti
cemas dan takut dapat mempengaruhi kesiapan anak dalam menghadapi bencana gempa bumi.
Hasil observasi yang dilakukan peneliti pada saat pelatihan siaga bencana gempa bumi juga
didapatkan respon anak saat peluit berbunyi ada 4 anak menjerit-jerit, tiga anak tidak peduli dan
ada satu anak yang hanya duduk terdiam.
KESIMPULAN
Pemberian metode simulasi siaga bencana gempa bumi memberikan pengaruh positif
dengan kategori lemah terhadap kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi pada anak-
anak.
Pembahasan tentang bencana dapat dipelajari berdasarkan 4 faktor penting dalam
penanggulangan bencana menurut kesehatan jiwa. Penanggulangan bencana ini dapat dilakukan
dengan dukungan beberapa pihak yaitu orangtua atau orang terdekat anak, guru, perawat,
petugas kesehatan lain dan anak yang bersangkutan. Adapun empat factor tersebut meliputi :
kejadian krisis, identifikasi respon individu apabila mengalami bencana, manajemen bencana,
serta tindakan yang dilakukan saat bencana. Berikut ini penjelasannya :
1. Kejadian Krisis
Bencana yang datang tiba-tiba sebelum melakukan persiapan, seperti kecelakaan, angin
putting beliung, tanah longsor dan sebagainya. Hingga saat terjadi bencana, anak-anak
mengalami luka fisik, kehilangan anggota tubuh, perpisahan dengan orangtua, kehilangan harta
benda, perpisahan dengan orang yang dicintai bahkan kematian. Setelah bencana mereda dan
berlalu, kondisi luka yang tertinggal baik fisik maupun psikis anak belum juga hilang dan disebut
dengan kondisi krisis.
2. Identifikasi respon individu
Identifikasi respon individu dapat diamati dalam 3 periode yaitu respon segera dalam 24
jam, respon jangka pendek (minggu pertama sampai ketiga) dan respon jangka panjang (minggu
keempat sampai setelah bencana). Respon segera meliputi : tegang, cemas, panik, bingung, tidak
percaya, lelah, gelisah, sedih, menyendiri, merasa bersalah. Sedangkan respon jangka pendek
meliputi: takut, mudah tersinggung, marah, sulit tidur, khawatir, sangat sedih, mengulang
kembali cerita kejadian, menerima takdir, optimis, menolong dan menyelamatkan. Respon
terakhir adalah respon jangka panjang meliputi: panik, sangat lelah, sedih berkepanjangan, tidak
mau beraktivitas, menarik diri, cemas dengan manifestasi palpitasi, pusing, mual, sakit kepala.
3. Manajemen Bencana
Manajemen bencana dibagi menjadi 3 tahap : tahap pra bencana, bencana dan pasca
bencana. Tahap pra bencana, tindakan yang dilakukan adalah pencegahan, mitigasi (pemetaan).
Tahap bencana, tindakan yang dilakukan adalah tanggap darurat. Sedangkan tahap pasca
bencana, tindakan yang dilakukan adalah pemulihan, perbaikan dan penataan kembali serta
mitigasi. Tindakan pencegahan yang perlu diketahui anak adalah mengetahui tanda bencana dan
upaya penyelamatan diri. Beberapa contoh tindakan bila terjadi gempa : segera berlindung di
bawah meja, lindungi kepala saat berada dalam ruangan, jika berada di bangunan bertingkat
segera berlari ke lantai yang lebih tinggi, selamatkan diri sendiri karena dapat menyelamatkan
orang lain.
4. Tindakan yang Dilakukan Saat Bencana
Tindakan yang dilakukan untuk membantu korban bencana terbagi menjadi 3 fase :
a. Segera setelah bencana dalam waktu 24 jam : kerusakan lingkungan yang terjadi, derita yang
dialami, kebutuhan dasar yang harus terpenuhi (makan, minum, pakaian dan tempat tinggal
sementara atau pengungsian. Tindakan yang dibutuhkan adalah darurat masalah fisik, memenuhi
kebutuhan dasar serta membantu para korban agar dapat kembali beraktifitas.
b. Minggu pertama sampai ketiga setelah bencana : Kegiatan berkelompok antara tim tanggap
bencana dengan para korban, seperti ibadah atau doa bersama, kegiatan tersebut memberi
ketenangan dan dukungan agar lebih kuat menerima musibah. Memisahkan korban anak-anak
kemudian diberi terapi rekreasi atau trauma healing serta yakinkan pada mereka bahwa respon
psikologis yang ditunjukkan bisa dialami oleh semua manusia dan perasaan itu hanya
berlangsung sementara atau akan hilang dengan sendirinya.
c. Setelah minggu ketiga bencana
Pemberian konseling trauma, seperti mendengarkan ungkapan perasaan korban penuh
perhatian, menggali (tanpa paksaan) pengalaman keberhasilan korban berusaha menyelamatkan
korban lainnya serta diri sendiri. Anggota tim penolong dan korban saling berdiskusi tentang
cara mengatasi masalah dan menyusun rencana kegiatan selanjutnya, hingga para korban dapat
melangsungkan kegiatan seperti sebelum bencana.
Tindakan selanjutnya adalah konseling proses berduka, seperti bertanya dengan lembut
tentang kondisi keluarga lainnya yang terpisah, belum ditemukan dan yang meninggal. Tim
penolong bersama mereka kemudian mencari informasi keberadaan korban yang belum
ditemukan dengan membawa dan menunjukkan foto anggota keluarga mereka yang hilang.
Tindakan berikutnya adalah bimbingan antisipasi yaitu menerima respon korban dan menyatakan
respon tersebut normal ditunjukkan oleh semua orang, hal ini dapat mengurangi rasa
keputusasaan dan ketidakberartian. Kegiatan ibadah dan doa bersama untuk semua korban yang
ada, saling bertukar informasi tentang pencarian anggota keluarga yang hilang. Hal tersebut akan
membuat mereka saling menguatkan perasaan dan dukungan menghadapi krisis bersama-sama.
Tindakan bantuan terakhir adalah konseling untuk menyelesaikan masalah yaitu
berkumpul bersama untuk curah pendapat tentang alternatif pemulihan, perbaikan tempat tinggal,
pembangunan fasilitas umum secara gotong royong. Pemimpin diskusi hendaknya
mengidentifikasi solusi yang paling sesuai untuk semua masyarakat dan upaya keberhasilan
pelaksaanaannya.

Anda mungkin juga menyukai