Anda di halaman 1dari 5

Dukungan Psikososial Untuk

Penanganan Bencana
Pusat Penyuluhan Sosial pada tahun 2018 diberi mandat untuk melaksanakan kegiatan terkait dengan
kesiapsiagaan, baik kesiapsiagaan terkait dengan penanganan bencana maupun kesiapsiagaan terkait
dengan isu sosial yang sedang merebak dan menjadi kegelisahan negara. Pada penanganan bencana,
Pusat Penyuluhan Sosial turun ke lokasi bencana dan rawan bencana bersama-sama dengan Taruna
Siaga Bencana, menjadi sahabat tagana dan ikut membantu melakukan kegiatan terkait penanganan
korban bencana. Pada pasca bencana, Penyuluh Sosial turun mendukung Tagana dalam memberikan
Dukungan Psikososial, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana pasal 26 point D; setiap orang berhak serta dalam perencanaan,
pengoperasian dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk
Dukungan Psikososial. Layanan psikososial ditujukan kepada korban bencana yang mengalami
trauma dan depresi.

Konsep psikososial terdiri dari dua hal, yaitu psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada jiwa,
pikiran, emosi atau perasaan, perilaku, hal-hal yang diyakini, sikap, persepsi dan pemahaman akan
diri. Kata sosial merujuk pada orang lain, tatanan sosial, norma, nilai aturan,system ekonomi, system
kekerabatan, agama atau religi serta keyakinan yang berlaku dalam suatu masyarakat.Psiko sosial
diartikan sebagai hubungan yang dinamis dalam interaksi antara manusia, dimana tingkah laku,
pikiran dan emosi individu akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain atau pengalaman
sosial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hidayat pada kelompok masyarakat yang terkena erupsi
gunung Merapi pada tahun 2010, menunjukkan adanya permasalahan psikososial yang dihadapi oleh
kelompok korban, kelompok terancam dan kelompok terungsi.Data dari 971 responden menunjukkan
bahwa gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder) hanya sebesar 3,3 persen dari
total responden. Sementara gangguan psikologis yang atau emosi-emosi yang tidak menyenangkan
yang diperoleh dari hasil penelitian meliputi : kecemasan, depresi atau tertekan, psikosomatis serta
masalah dalam penyesuaian diri. Tujuan dukungan psikososial adalah mengembalikan individu atau
keluarga atau kelompok pasca kejadian tertentu (bencana alam maupun bencana sosial) sehingga
menjadi kuat secara individu atau kolektif ; berfungsi optimal, memiliki ketangguhan dalam
menghadapi masalah; serta menjadi berdaya dan produktif dalam menjalani hidupnya.

Penyuluh Sosial apabila akan turun ke lapangan dalam situasi bencana, hendaknya memahami
tahapan psikososial, sehingga kegiatan yang dilaksanakan dapat sesuai dengan tahapan-tahapan
seharusnya. Selama ini kegiatan dukungan psikososial dilakukan kepada penyintas masih bersifat
rekreasional, seperti kegiatan bermain bersama anak-anak dan menggambar Untuk itu penyuluh sosial
perlu mempelajari tentang tahapan dukungan psikososial. Layanan Dukungan Psikososial
dilaksanakan dalam beberapa tahapan, sebagai berikut :

1. Rapid Assesment
Kaji cepat dapat dilakukan kepada sasaran/ penyintas mulai dari kelompok rentan, penyintas yang
kehilangan anggota keluarga saat terjadi bencana, penyintas yang mengalami luka berat, penyintas
yang rumahnya hancur atau rusak berat, orang dewasa, ibu hamil, penyandang disabilitas.

Asesmen dilakukan dengan teknik :

a. Wawancara terbuka
b. Wawancara tertutup dengan menggunakan instrument kaji cepat
c. Activity Daily Living Mapping
Metode ini digunakan untuk asesmen pada kelompok wanita dan pria dewasa dengan
menuliskan aktivitas penyintas sehari-hari sebelum bencana, aktivitas saat ini setelah
pengungsian, masalah dan harapan penyintas.

d. Tools berupa body mapping


Body mapping digunakan untuk asesmen pada kelompok anak dan remaja, dengan
menggambar secara utuh bentuk manusia secara abstrak, kemudian menuliskan apa yang
mereka fikirkan, mereka lihat, mereka dengar, mereka cium, mereka rasakan pada saat
bencana, dan menuliskan harapan mereka

e. Cerita dan menggambar pada anak

2. Intervensi
Intervensi yang dilakukan berupa

a. Intervensi individu dan kelompok


1). Teknik katarsis dan ventilation

Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan yang


dialaminya sehubungan dengan bencana yang terjadi

2).Teknik support

Memberikan semangat bahwa apa yang sedang dihadapinya sekarang


bukanlah akhir dari kehidupannya

3).Teknik debriefing

Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan/ kesedihan yang dialaminya


sehubungan dengan bencana yang terjadi, kalau bisa kesedihan tersebut dialamui
secara penuh dan utuh, tidak tertunda

4). Teknik motivasi dan support

Mengajak penyintas untuk untuk meningkatkan kembali motivasi hidupnya kearah


ke depan bersama keluarganya

5). Play therapy (untuk anak-anak), dengan berbagai bentuk kegiatan,

Seperti bernyanyi bersama, menggambar,mendengarkan dongeng,


permainan (games), dan lain-lain dengan tujuan utama agar anak-anak memiliki
keceriaan

Demikian tahapan-tahapan dalam melakukan layanan dukungan psiko sosial yang selama
ini dilakukan oleh tim LDP Kementerian Sosial yang digawangi oleh Direktorat
Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam. Semoga tahapan-tahapan dalam LDP ini
memperkaya pengetahuan penyuluh sosial ketika akan turun ke lapangan atau ranah
kebencanaan, baik bencana alam maupun bencana sosial atau kejadian-kejadian yang
membutuhkan penanganan psikososial. (Early Febriana/PS muda)
Sumber data :

1. Rekam Jejak Layanan Dukungan Psikososial (LDP) dalam Penanganan Bencana Alam di Indonesia;
Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam Ditjen Linjamsos Kementerian Sosial RI; 2017
2. Pedoman Dukungan Psikososial Penanggulangan Bencana; Direktorat Perlindungan Sosial Korban
Bencana Alam Ditjen Linjamsos Kementerian Sosial RI; 2015

Usai Bencana, Begini Penanganan Trauma Korban


Gempa Lombok
HUMANIORA

23 Agustus 2018, 12:56:56 WIB

Reruntuhan salah satu bangunan di Lombok usai diguncang gempa. (Angger Bondan/Jawa Pos)
JawaPos.com – Gempa Lombok yang terjadi berulang kali tentu meninggalkan
trauma bagi para korban. Sehingga, tak hanya bantuan infrastruktur dan makanan
yang dibutuhkan, tapi juga penanganan kesehatan mental sangat diperlukan.

Gempa disebut bencana karena mengganggu dan mengancam kehidupan


masyarakat yang mengakibatkan perubahan hidup. Perubahan hidup meliputi
cedera tubuh yang mengancam jiwa. Kerusakan sarana prasarana seperti rumah
yang rusak, kantor yang rusak, tranpostasi yang terganggu mengakibatkan fungsi
kehidupan terganggu.

Pakar Kesehatan dari Departemen Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan


Universitas Indonesia (FIK UI) Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc.
menjelaskan perubahan kehidupan (biologis-psikologis-sosial) yang terjadi
merupakan stresor atau penyebab masalah kesehatan jiwa.

“Saya dan tim baru saja pulang dari Lombok. Kegiatan yang kami lakukan adalah
dukungan kesehatan jiwa dan Psiko Sosial) bagi masyarakat yang tinggal di
pengungsian,” kata wanita yang akrab disapa Budi itu kepadaJawaPos.com, Kamis
(23/8).

Pendekatan dilakukan menggunakan prinsip pertolongan pertama psikologis yaitu


3L (Look, Listen, Link). Kemudian pertolongan pertama kesehatan jiwa ALGEE
(Approach, Assess, Assist, Any crisis, Listen non-judgement, Give support and
information, Encourage apptopriate professional help, Encourage other support).

“Dukungan Kesehatan Jiwa dan PsikoSosial (DKJPS) yang kami lakukan dengan
sejumlah pendekatan,” jelasnya

Pendekatan kelompok besar yaitu melibatkan semua penghuni pengungsian dengan


memberi dan melatih beberapa cara manajemen stres, kebersihan diri dan
lingkungan serta membangun hubungan sosial antara penghuni. Sedangkan
kelompok kecil berdasarkan usia anak 4 -11 tahun, 12-17 tahun, dewasa dan lansia.

Kegiatan utama yang dilakukan pada dewasa adalah curhat (Let’talk), antar sesama
penghuni, dalam keluarga dan membangun harapan masa depan. Budi berharap
terjadi PTG (post traumatic growth).

“Melalui kegiatan kelompok kami dapat mendeteksi individu dan keluarga yang
mempunyai tanda gangguan jiwa,” jelasnya.

Kegiatan individu dan keluarga dilakukan dengan cara assessment dan asuhan
keperawatan jiwa. Jika diperlukan dilakukan rujukan. Kemudian saat ditanya soal
kemungkinan adanya korban gempa yang berhalusinasi akibat trauma, Budi
menegaskan belum menemukan kasus tersebut.

“Bicara tentang gangguan jiwa khususnya ada atau tidaknya halusinasi, kami belum
menemukannya. Halusinasi adalah gejala positif gangguan jiwa. Ada beberapa
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ yang kami temukan tetapi tak ada
halusinasi,” katanya.
Jika ada informasi korban yang mengalami gangguan halusinasi, Budi menyarankan
hal itu perlu dilakukan assessment oleh petugas kesehatan jiwa yang profesional. Di
sana tersedia pelayanan kesehat selama 24 jam.

“Kami tidak menemukannya, mungkin orang luar saja. Kami berkoordinasi dg RSJ
Mutiara Sukma di Mataram. Jadi kalau ada yang ditemukan halusinasi bisa langsung
berhubungan dengan RSJ atau posko kesehatan jiwa,” tandasnya.

Kondisi stres dan trauma bisa terjadi beberapa tahapan. Masalah kesehatan jiwa
yang mungkin terjadi sejak awal terjadinya bencana adalah reaksi stres yang akut
(Acute stress reaction) sampai 1 bulan dan mencakup 20 sampai 50 persen (WHO,
2005). Kemudian masa berduka (Grieving) sampai 6 bulan.

Minggu kedua muncul depresi dan dapat memanjang lebih dari 6 bulan. Ansietas
(Anxiety Disorder) dan Post Traumatic Stress Disorder dapat terjadi minggu ke 4 dan
memanjang lebih dari 6 bulan. Demikian pula dengan gangguan jiwa mungkin
meningkat 3 sampai dengan 4 persen (WHO, 2005)

Anda mungkin juga menyukai