Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU RESUME KULIAH

MATA KULIAH KEPERAWATAN BENCANA


PERAWATAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PADA KORBAN BENCANA DAN
KELOMPOK RENTAN

OLEH :
NENES SETYOWATI
NIM 1920103

PROGRAM ALIH JENJANG S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN

MALANG 2020
RESUME PERAWATAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL PADA KORBAN
BENCANA DAN KELOMPOK RENTAN

1. DEFINISI BENCANA
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang di sebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor
non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU. No 24 Tahun
2007).

2. DEFINISI KEPERAWATAN PSIKOSOSIAL


Konsep psikososial terdiri dari dua hal, yaitu psiko dan sosial. Kata psiko mengacu pada
jiwa, pikiran, emosi atau perasaan, perilaku, hal-hal yang diyakini, sikap, persepsi dan
pemahaman akan diri. Kata sosial merujuk pada orang lain, tatanan sosial, norma, nilai
aturan,system ekonomi, system kekerabatan, agama atau religi serta keyakinan yang berlaku
dalam suatu masyarakat. Psiko sosial diartikan sebagai hubungan yang dinamis dalam
interaksi antara manusia, dimana tingkah laku, pikiran dan emosi individu akan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain atau pengalaman sosial.

3. DEFINISI KEPERAWATAN SPRITUAL


Perawat memandang klien sebagai makhluk bio-psiko-sosiokultural dan spiritual yang
berespon secara unik terhadap perubahan kesehatan atau pada keadaan krisis.
Spiritual digambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang,dan
merupakan bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam memaknai
kehidupannya.

4. DAMPAK BENCANA PADA ASPEK PSIKOSOSIAL


Respon individu paska trauma bervariasi tergantung dari persepsi dan kestabilan emosi
yang di milikinya. Menurut Keliat, dkk (2005), ada 3 tahapan reaksi emosi yang dapat terjadi
setelah bencana:
1. Setelah bencana (24jam) dengan reksi yang di perlihatkan: Tegang, cemas dan panik,
terpaku, linglung, syok, tidak percaya, gembira/euphoria, Lelah, bingung, gelisah,
menangis dan menarik diri, merasa bersalah. Reaksi ini termasuk reaksi normal terhadap
situasi yang abnormal dan memerlukan upaya pencegahan primer.
2. Saat minggu pertama sampai dengan minggu ketiga setelah bencana. Reaksi yang di
perlihatkan antara lain : ketakutan, waspada, sensitive, mudah marah, kesulitan tidur,
kuatir, sangat sedih, mengulang-ulang kembali (flashback) kejadian dan bersedih. Reaksi
positif yang masih di miliki yaitu : berharap dan berpikir tentang masa depan, terlibat
dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan, menerima bencana sebagai takdir.
Kondisi ini masih termasuk respon normal yang membutuhkan tindakan psikososial
minimal, terutama untuk respon yang maladaptive.
3. adalah bencana dengan reaksi yang diperlihatkan dapat menetap. Manifestasi diri yang di
tampilkan yaitu : kelelahan, merasa panik, kesedihan terus berlanjut, pesimis dan berpikir
tidak realistis, tidak beraktivitas, isolasi dan menarik diri, kecemasan yang di
manifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit kepala, dan lain-lain. Kondisi
ini merupakan akumulasi respon yang menimbulkan masalah psikososil.

5. CIRI-CIRI MASALAH PSIKOSOSIAL


A. Cemas, khawatir berlebihan, takut,
B. Mudah tersinggung,
C. Sulit konsentrasi,
D. Bersifat ragu-ragu atau merasa rendah diri,
E. Merasa kecewa,
F. Pemarah dan agresif,
G. Reaksi fisik seperti jantung berdebar, otot tegang, sakit kepala (CMHN,2005)

6. PERAWATAN ATAU TINDAKAN YANG DAPAT DI BERIKAN PADA


PENDERITA PSIKOSOSIAL KORBAN BENCANA. TINDAKAN YANG
DILAKUKAN BERUPA :
(dalam Intervensi individu dan kelompok)
A. Teknik katarsis dan ventilation = Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan
perasaan yang dialaminya   sehubungan dengan bencana yang terjadi.
B. Teknik support = Memberikan semangat bahwa apa yang sedang dihadapinya
sekarang bukanlah   akhir dari kehidupannya.
C. Teknik debriefing = Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan/
kesedihan yang dialaminya sehubungan dengan bencana yang terjadi, kalau bisa
kesedihan tersebut dialamui secara penuh dan utuh, tidak tertunda.
D. Teknik motivasi dan support = Mengajak penyintas untuk meningkatkan kembali
motivasi hidupnya kearah ke depan bersama keluarganya.
E. Play therapy (untuk anak-anak), dengan berbagai bentuk kegiatan, Seperti
bernyanyi bersama, menggambar,mendengarkan dongeng, permainan   (games), dan lain-
lain dengan tujuan utama agar anak-anak memiliki keceriaan

7. DAMPAK BENCANA PADA ASPEK SPRITUAL


Kejadian bencana dapat merubah pola spritualitas seseorang. Ada yang bertambah
meningkat aspek spritualitas seseorang, ada pula yang sebaliknya.
Bagi yang meningkatkan aspek spritualitasnya berarti mereka meyakini bahwa apa yang
terjadi merupakan kehendak dan kuasa sang pencipta yang tidak mampu ditandingi oleh
siapapun. Mereka mendekat dengan cara meningkatkan spritualitasnya supaya mendapatkan
kekuatan dan pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang dialaminya.
Sedangkan bagi yang menjauh umumnya karena dasar keimanan atau keyakinan terhadap
sang pencipta rendah, atau karena putus asa.

8. PERAWATAN ATAU TINDAKAN YANG DAPAT DI BERIKAN PADA


PENDERITA SPIRITUAL KORBAN BENCANA
Nayat Khan dalam bukunya Dimensi Spritual Psikologi menyebutkan bahwa kekuatan
psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui oleh spiritual yang
dilakukan melalui beberapa tahapan.
1. Berlatih melakukan konsentrasi
2. Kedua, berlatih mengungkaplan hasil konsentrasi melalui pikiran.
3. Agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis,
4. Berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berfikir.
5. Berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan untuk bertindak.

Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan
kepercayaan yang relative terus menerus ada pada setiap individu. Dimana apabila terjadi
perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu.
Dimana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan
emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.
Terapi psiko-spritual ini terdiri dari 3 tahapan,
1. tahapan penyadaran diri (self awareness),
2. Pengenalan jati diri dan citra diri (self identification), dan
3. Tahapan pengembangan (self development)

PERAWATAN KELOMPOK RENTAN USIA DENGAN PENYAKIT KRONIS,


DISABILITAS, DAN SAKIT MENTAL

Tindakan yang Sesuai untuk Kelompok Rentan


Dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah
kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok ini diantaranya: anak-anak,perempuan,
terutama ibu hamil dan menyesui, lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis
dan kecacatan.
Bayi & Anak-anak
Tindakan yang sesuai untuk kelompok yang beresiko pada bayi & anak :
Pasca bencana :
1. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya waktu
makan dan personal hygieni teratur, tidur, bermain dan sekolah.
2. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran andtropometri.
3. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua.
4. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional.
5. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada dilokasi evakuasi sebgai
voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi resiko kejadian depresi pada
anak pasca bencana.
6. Indentifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya serta
lingkungan yang aman untuk mereka.

Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka pendek


dan jangka Panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi,
kurangnya skil bertahan hidup dan komunikasi, ketidak mampuan melindungi diri sendiri,
kurangnya kekuatan fisik,imunitas dan kemampuan koping kondisi tersebut dapat
mengancam nyawa jika tidak didentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas
kesehatan (Powers & Daily, 2010,veenema,2007).

Pada ibu Menyusui


Saat Bencana :
Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan resiko kerentanan bumil
dan busui misalnya :
1. Meminimalkan bencana pada saat melakukan mobilisasi dan transportasi karena dapat
merangsang kontraksi pada ibu hamil.
2. Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi.
3. Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil dan busui.
Pasca Bencana :
1. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan emosional.
2. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dirumah penampungan bencana untuk
menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk bumil dan busui.
3. Melibatkan petugas-petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi
resiko kejadian depresi pasca bencana.

Pada Lansia
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah :
1. Memberikan Tempat yang aman
2. Rasa setia
3. Penyelamatan darurat
Pasca Bencana
1. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia dan
mencegah isolasi sosial lansia, di antaranya:
a. Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan sosial
Bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan lansia
(community awareness).
b. Libatkan lansia sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan Bersama anak-
anak yang di organisir oleh agency perlindungan anak di posko perlindungan
korban bencana.
2. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat di lokasi
penampungan korban bencana.
3. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
4. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri.
5. Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.

Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan /
disabilitas dan penyakit kronik
Saat Bencana
Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan berpenyakit
kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan
kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai dan lain-lain.
Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal precaution ) untuk
petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni :
1. Bantuan evakuasi. Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain
perlu di beritahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi.
2. Informasi. Dalam penyampaian informasi di gunakan bermacam-macam alat di
sesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat, misalnya internet (email, sms, dan lain-
lain ) dan siaran televisi untuk Tuna rungu, handphone yang dapat membaca pesan masuk
untuk tuna netra, HP yang di lenkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan
sebagainya.

Pertolongan pada penyandang cacat


1. Tuna daksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh serta
orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak
dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga.
2. Tuna netra dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu di beritahukan tentang kondisi sekitar rumah dan
tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada
waktu menolong mereka untuk pindah, peganglah siku dan Pundak atau genggamlah
secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka serta
berjalanlah setengah langkah di depannya.
3. Tuna rungu. Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak
dapat menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada Bahasa tulis, Bahasa
isyarat, Bahasa membaca Gerakan mulut lawan bicara dan lain-lain tetapi belum tentu
semuanya dapat menggunakan Bahasa isyarat.
4. Gangguan intelektual / perkembangannya sulit di pahami oleh orang pada umumnya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan
yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti
sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah di mengerti (Farida, Ida, 2013).

Keperawatan pada penyakit kronis


Menurut Ida Farida (2013) Saat bencana adalah :
1. Pada fase akut bencana ini, bisa di katakana bahwa suatu hal yang paling penting adalah
berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah kesehatan mereka dengan
cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus mengetahui latar
belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang yang berada di tempat dengan
mendengarkan secara seksama dan memahami penyakit mereka yang sedang dalam
proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan. Pada fase akut
yang di mulai sejak sesaat terjadinya bencana, di perkirakan munculnya gejala khas,
seperti gejala gangguan jantung, ginjal dan psikologis yang memburuk karena kurang
control kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien penyakit gangguan
pernapasan yang tidak bisa membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah.
2. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan apakah
mereka di periksa dokter dan minum obat dengan teratur. Karena banyak obat-obatan
komersial akan di distribusikan ke tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi
pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan
kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat yang di berikan di rumah sakit.
Pasca bencana.
1. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu
dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya : kursi roda, tongkat
dan lain-lain.
2. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan
keterbatasan fisik dan penyakit kronis.
Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis di sebabkan
oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang memiliki resiko penyakit
kronis, perubahan kehidupan yang di sebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu
meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes melitus dan gangguan pernapasan.
Keperawatan bagi pasien diabetes :
1. Mengkonfirmasi apakah pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk menurunkan
kandungan gula darah ( contoh : insulin dan lain-lain ) atau tidak, dan identifikasi obat
apa yang di miliki pasien tersebut.
2. Mengkonfirmasi apakah pasien memiliki penyakit luka fisik atau infeksi, dan jika ada,
perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua
dari penyakit diabetes).
3. Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui kartu penyakit diabetes
(catatan pribadi).
4. Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat dan
memberikan pedoman mengenai manajemen makanan.
5. Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat.

Keperawatan bagi pasien gangguan pernapasan kronis :


1. Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian tabung
oksigen untuk berjalan yang di milikinya dengan aman.
2. Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksigen karena takut
peningkatan dysphemia.
3. Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator) dan transportasi jika pasien tersebut
tidak bisa membawa sendiri.
4. Membantu untuk manajemen obat dan olahraga yang tepat.
5. Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh : suhu udara panas / dingin dan debu).

DAFTAR PUSTAKA

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar Iv: Keperawatan
Bencana Pada Penyakit Kronik, Disabilitas, Bayi, Ibu Dan Lansia. Jakarta: Badan
Pengembangan Dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan Dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai