Anda di halaman 1dari 7

AKARENA : Edukasi Mitigasi Bencana Non-Struktural Berbasis Permainan

Tradisional dan Brain Gym Pada Anak-anak Penyandang Disabilitas


Latar Belakang
1. Letak geografis Indonesia, rentan terkena bencana alam, sebutkan dasar
hukum penanggulangan atau mitigasi bencana di Indonesia.
2. Anak-anak dengan disabilitas jadi kelompok rentan saat bencana karena ada
beberapa kondisi yang membuat pergerakan mereka terbatas, definisi
disabilitas menurut ICF dan ADA, klasifikasi disabilitas menururt hukum
Indonesia, dasar hukum bencana-disabilitas (kalau ada), dasar hukum
pemberian akses kepada disabilitas, maka perlu adanya metode khusus
3. Adapun berbicara terkait metode, abk itu punya metode pendidikan yang
berbeda dalam hal ini berbicara pendidikan inklusif (cari artinya inklusif dan
maknaan sebagai sesuatu yang sangat khusus dan terkecualikan), bentuk
pendidikan itu ga selalu formal ada pendidikan non formal juga. Nah dalam
mitigasi bencana seharusnya bentuknya sebagai non formal karena
lebih......dibandingan pendidikan formal (cari)
4. Salah satu metode pendidikan non-formal adalah melalui permainan dan
kesenian tradisional, sebutkan manfaatnya permainan tradisional dari sisi
kognitif, psikomotorik dan pendekatan budaya, sebutkan jenis-jenis
permainan tradisional kayak galasin,egrang, congklak, gobak sodor, dsb. Cari
data tentang efektifitas permainan tradisional terhadap anak disabilitas,
cari efek senam otak terhadap peningkatan kapabilitas anak
berkebutuhan khusus kalau bisa ada hubungan sama bencana, cari data
tentang metode mitigasi bencana pakai permainan itu efektif, simpulkan
kalau kedua hal ini permainan-mitigasi bencana dapat menjadi alternatif
edukasi bagi anak-anak disabilitas. Tarik lagi kesimpulan lebih dalam kalau
penulis memunculkan ide AKARENA sebagai metode edukasi mitigasi
bencana berbasis permainan tradisional bagi anak-anak disabilitas.
Isi
1. Gambaran bagaimana sistem mitigasi kebencanaan di Indonesia, siapa”
stakeholder berperan, dasar hukumnya apa, kritisi kenapa mitigasi bencana
itu tidak tersttruktur sistematis sampai tingkat desa. Bahkan anak-anak di kota
besar sekalipun masih kurang pengetahuan dan tanggapnya dalam
menghadapi bencana, buktikan pakai data anak-anak sekolah yang jadi
korban gempa atau tsunami di Indonesia serta data anak-anak yang
mengalami trauma berat pasca gempa

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan


Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan mitigasi bencana adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi bencana menjadi salah satu poin pembahasan terkait penanggulangan
bencana yang sangat perlu diperhatikan. Karena dalam mengantisipasi dampak
bencana perlu adanya langkah-langkah untuk mengurangi risiko yang lebih kompleks.
Penyelenggaraan mitigasi bencana dilaksanakan secara terakomodir mulai dari
pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Hal ini disebutkan dalam pasal 6 dan 8
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki
tanggung jawab dalam pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan
risiko bencana dengan program pembangunan. Jika melihat dari dasar hukum ini,
seharusnya pemerintah menjalankan perannya melalui program pembangunan secara
fisik dan konsep yang sejalan dengan pengurangan risiko terhadap bencana. Namun
kenyataannya hal yang terjadi di lapangan justru berbeda, belum terwujudnya regulasi
turunan undang-undang penanggulangan bencana dari pemerintah pusat hingga
tataran pemerintah daerah membuat ketidaksiagapan stakeholder terkait menghadapi
bencana yang terjadi (Carolina, 2018). Menurut World Risk Index Tahun 2020,
Indonesia menududuki posisi ke-40 diantara 181 negara rentan bencana. Data
Kementerian Keuangan Tahun 2020 juga mencatat, beban rata-rata yang harus
ditanggung untuk menanggulangi bencana alam dan non-alam setiap tahun mencapai
22.8 triliun rupiah. Sedangkan dari sisi korban jiwa, dalam kurun waktu 5 tahun,
antara 2016 sampai 2020, terdapat sejumlah 30 juta orang mengungsi, 29 ribu terluka,
serta 7 ribu meninggal dunia dan hilang. Data-data tersebut menunjukkan bahwa
dengan banyaknya kerugian dan korban jiwa saat bencana terjadi, regulasi dan
pelaksanaan penanganan bencana di Indonesia masih belum tepat sasaran, terpadu,
efektif serta efisien. Padahal dari keadaan geografis saja Indonesia telah digolongkan
sebagai negara rawan bencana. Ini menjadi suatu indikasi bahwa terdapat kesenjangan
yang begitu nyata antara harapan dan realita.
Di antara banyaknya korban bencana alam, anak-anak menjadi salah satu
kelompok yang banyak menjadi korban. Menurut PP Nomor 21 Tahun 2008, anak-
anak menjadi salah satu kelompok yang rentan terhadap bencana. (Cari data kobran
jiwa anak-anak) Hal ini dikarenakan anak-anak memiliki keterbatasan dalam
pemahaman terhadap risiko bencana sehingga menyebabkan ketidaksiagapan dalam
menghadapi bencana. Kemudian di antara anak-anak pula, terdapat kelompok yang
lebih rentan yakni anak-anak penyandang disabilitas. Beberapa anak-anak dengan
disabilitas memiliki hambatan dalam mobilisasi yang kemudian membuat mereka
seringkali minim partisipasi dalam kegiatan masyarakat dan mendapat diskriminasi
(Komalasaria & Pamungkas, 2019). Padahal anak-anak dengan disabilitas memiliki
tingkat kemandirian yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara aktif, tak
terkecuali dalam program mitigasi bencana. Menurut United Nations Office for
Disaster Risk Reduction (UNISDR) (2014), Cornell University (2018), and Margaret
A. Turk (2020) dalam (Seidenberg & Beutler, 2008) dalam Jang & Ha (2021), sekitar
86% anak-anak penyandang disabilitas tidak dapat berpartisipasi dalam
penanggulangan bencana nasional yang membuat angka kematian mereka selama
bencana lebih tinggi sebesar 4,3% dibandingkan anak-anak tanpa disabilitas.
Kurangnya keterlibatan anak-anak penyandang disabilitas dalam program
penanggulangan bencana, memperlihatkan hasil ratifikasi konvensi hak-hak
penyandang disabilitas melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 belum
terlaksana secara sistematis. Bahkan dengan penambahan Peraturan Kepala BNPB
Nomor 14 Tahun 2014 masih terlihat sebatas pedoman tanpa arah realisasi yang jelas.
Persentasi penyandang disabilitas sering terabaikan dalam pelaksanaan dan seringkali
hanya sekedar tertulis dalam pedoman taktis. Padahal seahrusnya sensitifitas anak-
anak penyandang disabilitas yang lebih tinggi dalam menerima informasi dapat
menjadi kekuatan bagi pelaksanaan pemberian mitigasi bencana. Ruang partisipasi
dan akses informasi dalam program mitigasi bencana sangat penting untuk diberikan
kepada terkhusus anak-anak penyandang disabilitas agar kelompok ini lebih sigap
ketika menghadapi bencana.

2. Bencana dari sisi stakeholder kesehatan,Fisioterapi ini sebagai tenaga


kesehatan ada pada sisi yang mana perannya? Arahkan ke bagian preventif
pra bencana. Cari data atau penelitian tentang peran fisio di bencana
earthquake dsb.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana memerlukan program dan pembiasaan yang
terstruktur, baik dari sisi organisasi pemerintah maupun stakeholder terkait seperti
tenaga kesehatan. Salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam kesiapsiagaan
bencana adalah fisioterapi. Menurut Permenkes Nomor 65 Tahun 2015, Fisioterapi
adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau
kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi
tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual,
peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi,
dan komunikasi. Sesuai dengan bentuk pelayanan kesehatannya, fisioterapi dapat
mengembangkan gerak dan fungsi tubuh melalui komunikasi. Sehubungan dengan
bentuk pelayanannya, fisioterapi sejatinya mampu mengambil peran dalam
kesiapsiagaan bencana. Seperti yang disebutkan dalam Disaster Management Report
World Confideration Physical Therapy (2020), dalam kesiapsiagaan bencana
fisioterapi memainkan beberapa peran diantaranya meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai kebutuhan fisik dan rehabilitasi dalam keadaan daurat,
memastikan semua kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan penyandang
disabilitas dalam kesiapsiagaan darurat bencana serta berkontribusi pada upaya
pengurangan risiko bencana dengan menyediakan program pembangunan yang
efektif. Peran fisioterapi dalam kebencanaan sangatlah multi-dimensional, tidak hanya
berfokus pada pemulihan dan pengembangan kesehatan namun juga dari segi
tahapannya baik pra bencana maupun pasca bencana.
Beberapa penelitian telah menggambarkan bagaimana peran fisioterapi saat bencana,
salah satunya penelitian Li et al (2018) yang membandingkan data kasus yang
ditangani oleh fisioterapis pada saat bencana gempa bumi di China dengan Eropa.
Hasil studi Li et al (2018) menunjukkan bahwa fisioterapis di China dan beberapa
negara eropa, banyak menangani rehabilitasi pada cedera traumatik seperti traumatic
brain injury, peripheral nerve injury, dan soft-tissue injury. Sedangkan menurut
penelitian carvalho(2019) dalam kejadian bencana tanah longsor di Brazil, proses
rehabilitasi belum diterima secara menyeluruh dari para korban bencana. Dari 11
responden korban bencana yang diwawancarai, hanya 1 responden yang mendapat
penanganan fisioterapi secara menyeluruh. Dari gambaran secara global, masih
terdapat keterbatasan mengenai peran fisioterapi pada penanggulangan bencana,
khususnya dalam tahapan pra bencana.
3. bagaimana hubungannya fisioterapi dalam memberikan stimulasi
psikomotorik. Konsep ilmiahnya pemrosesan otak terhadap rangsang
verbal,auditory, dan kinestetik pada anak-anak. Peningkatan psikomotorik
dengan fisioterapi, jadi apa yang akan terjadi kalau ada peningkatan
psikomotorik kognitif nya terhadap kesehariannya ini ana-anak

Walaupun terdapat keterbatasan regulasi peran fisioterapi dalam penanggulangan


bencana di Indonesia. Hal ini tidak dapat dipandang sebelah mata oleh profesi ini
sendiri. Tidak perlu melangkah jauh dalam memandang penempatan posisi sebagai
profesi kesehatan, namun mulai dari peran entitas itu sendiri dalam kemanusiaan.
Fisioterapi memiliki keterkaitan dengan fungsi fisik dan gerak, sehingga anak-anak
penyandang disabilitas menjadi salah satu konsentrasi yang cukup relevan dibahas
dalam lingkupnya. Menurut buku AUDBK terdapat beberapa dampak yang muncul
dari kondisi anak-anak dengan disabilitas, diantaranya gangguan komunikasi,
gangguan sensoris atau indera serta gangguan aktivitas bina diri (activity daily living).
Adapun gangguan komunikasi dan sensoris pada diri anak akibat adanya hambatan
visual dan pendengaran sehingga berdampak terhadap penguasaan bahasa dan
orientasi ruang. Sedangkan gangguan aktivitas bina diri disebabkan karena adanya
gangguan pada koordinasi motorik anak, baik motorik kasar maupun halus. Hal ini
memengaruhi keterampilan anak dalam menggerakkan tubuh. Gangguan yang muncul
akibat dari hambatan yang dimiliki anak-anak dengan disabilitas dapat mempersulit
kegiatan anak itu sendiri. Maka dari itu perlu stimulasi yang tepat agar aspek
pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak dengan disabilitas berfungsi secara
optimal.

4. sebagaimana yang dimaksud rangsangan, berlaku juga pada permainan


karena sifatnya yang menyenangkan, lantas bagaimana pemrosesan
permainan tradisional terhadap pemahaman anak-anak, apa efek dari
permainan tradisional terhadp perilaku anak-ana disabilitas. Tunjukkan alasan
melalui penelitian kenapa permainan ini bagus buat anak-anak disabilitas.

Stimulasi pada anak-anak disabilitas harus meliputi keempat aspek perkembangan


yakni kemampuan motorik kasar, motorik halus, bahasa dan bicara, serta sosial dan
kemandirian (Buku AUDBK). Salah satu bentuk stimulasi yang erat kaitannya dengan
dunia anak-anak adalah permainan tradisional. Dewasa ini, perkembangan teknologi
begitu masif membuat keseharian anak-anak tak lepas dari gawai dan internet. ....
Permainan tradisional dapat menjadi media stimulasi dalam perkembangan sesuai
dengan kemampuan anak. Karena dengan bermain akan tercipta suasana yang
menyenangkan serta memberikan ruang kepada anak-anak dengan disabilitas
mengeksplorasi lingkungan sekitar. Aspek-aspek sensorik juga dapat di optimalkan
melalui permainan tradisional, baik melalui visual, auditori, bahkan kinestetik yang
membuat pemrosesan informasi dapat lebih dipahami anak-anak dengan disabilitas.
Melalui permainan tradisional anak akan banyak belajar bersosialisasi dengan
temannya, menambah perbendaharaan kata, melakukan kegiatan fisik serta
mengekspresikan perasaannya. Permainan tradisional adalah bentuk permainan anak-
anak yang beredar secara lisan dan diwariskan turun-temurun (James danandja keen
achrowi 2012). Dalam permainan tradisional terdapat nilai-nilai budaya lokal dan
pendidikan karena di dalamnya biasa terdapat senandung atau nyanyian dengan
bahasa daerah, adapun ragam permainan tradisional Indonesia diantaranya permainan
egrang atau jejangkungan, congklak, bekel, ular tangga, kelereng, cublak-cublak
suweng, sondah atau galasin, kucing tikus, egrang batok kelapa dan masih banyak
lagi. Saat ini permainan tradisional telah banyak menjadi basis dalam mengedukasi
anak-anak, salah satunya yang dibahas oleh Setiono (2021) dalam menganalisis
pengetahuan mitigasi bencana pada siswa sekolah dasar berbasis permainan
tradisional di Bengkulu. Pengetahuan mitigasi bencana menurut Setiono (2021) dapat
diterapkan pada kurikulum pembelajaran sekolah yang dimulai dengan tema
mengenai kesadaran diri terhadap lingkungan. Relevansinya jika dikatikan dengan
konsep bahwa membangun kepekaan diri terhadap lingkungan dapat dilakukan
dengan suasana menyenangkan melalui permainan tradisional.

5. Bahasmi itu konsep AKARENA. Buatmi kepanjangannya dari Akarena (misal


Ajarkan anak untuk bergerak, K kurangi interaksi satu arah dengan gadget, Ar
Arahkan untuk mengeksplorasi ruang, dsb) Mulai dari pendekatannya
terhadap anak-anak (cari apa yang biasa dipakai untuk pendekatan anak
disabilitas) kemudian bilang kalau akarena disesuaikan kebutuhan disabilitas
anak, misal kalau congklak, di dasar papannya itu dikasih kata yang
menggambarkan jenis-jenis bencana alam. Kalau galasin, anak-anak dengan
kesulitan mendengar bisa melihat visualisasi galasin kemudian diberikan clue
di akhir lewat tulisan mencari tombol video yang berisi penjelasan mitigasi
bencana yang dilengkapi bahasa isyarat, jelaskan bahwa beberapa
permainan tradisional yang diterapkan ini dapat menjadi sarana anak-anak
untuk melakukan aktivitas yang cukup, sesuaikan pernyataan who atau siapa
begitu tentang saran aktivitas yang cukup.

Melihat keresahan akan kebutuhan anak-anak penyandang disabilitas dalam


program mitigasi kebencanaan, penulis menghadirkan gagasan solutif AKARENA
sebagai bentuk edukasi berbasis permainan tradisional dan Brain Gym dalam
memberikan pemahaman mitigasi bencana secara non-struktural kepada anak-anak
penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan. Menurut..... Mitigasi Bencana dapat
dilakukan melalui dua cara yakni secara struktural dan non-struktural. AKARENA
akan menjadi program dalam mitigasi bencana secara non-struktural, yakni mitigasi
yang berfokus kepada pendidikan non-formal inklusif yang memberikan pemahaman
materi kebencanaan kepada anak-anak penyandang disabilitas. Edukasi yang menjadi
fokus AKARENA meliputi pengenalan jenis bencana, langkah penyelamatan diri
ketika terjadi bencana, serta jalur-jalur evakuasi yang disesuaikan dengan keadaan
bencana.
Komponen-komponen yang akan menjadi fokus edukasi mitigasi bencana
dikemas dalam permainan tradisional yang disusun berdasar kapabilitas anak-anak
penyandang disabilitas. Untuk anak-anak dengan disabilitas sensorik seperti
disabilitas netra, rungu, wicara akan mendapatkan edukasi melalui permainan
tradisional yang membutuhkan kepekaan sensorik otot atau visual seperti congklak
yang dilengkapi dengan struktur huruf braille atau permainan ular tangga yang
dilengkapi animasi jalur evakuasi bencana. Kemudian untuk anak-anak dengan
disabilitas intelektual seperti disabilitas grahita dan down syndrome akan diberikan
edukasi melalui permainan galasin yang dilengkapi dengan aturan simulasi
penyelamatan diri saat bencana misal memberikan stimulasi berupa sirine bencana
atau instruksi verbal. Lalu anak-anak dengan disabilitas fisik seperti penderita
cerebral palsy, stroke akan diberikan permainan tradisional yang sesuai dengan
kapabilitasnya misal bekel dan kelereng. Selain daripada edukasi melalui permainan,
anak-anak penyandang disabilitas juga diberikan stimulasi dari sisi fisioterapi melalui
brain gym.
Brain gym pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Paul E Dennison yang
menemukan ketika syaraf diaktifkan melalui gerak, maka jaringan ini akan
mengaktifkan dan menghubungkan otak secara sinergis-suatu kondisi yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perubahan. Beberapa penelitian sebelumnya
menemukan bahwa praktik Brain Gym memberikan dampak positif terhadap kinerja
akademik, motivasi, keseimbangan, dan tingkat fokus siswa (Sutoro, 2014; Hafez,
2017; Ocampo et al., 2017). Gerak dan fungsi gerak merupakan area kompetensi
fisioterapi, sehingga melalui brain gym stimulasi pemrosesan memori belajar akan
mendukung program edukasi mitigasi bencana. Melihat hal tersebut, maka fisioterapis
dapat mengambil peran melalui AKARENA dalam mitigasi bencana.

6. Bahas bagaimana akarena diterapkan di lingkungan apa, slb, ypac atau apa.
Sebutkan mi tantangannya adalah untuk ABK yang berada di daerah
pedesaaan yang lebih membutuhkan waktu untuk mengakses tempatnya,
berikan statement-statement solutif bagaimana stakeholder kesehatan
fisioterapi mengambil peran dalam edukasi preventif, bagaimana fisioterapi
memahamkan anak-anak berkebutuhan khusus bahwa profesi ini membantu
mereka mengoptimalkan fungsi gerak meskipun ada keterbatasan, anak
bekebutuhan khusus bukan tidak bisa, mereka bisa melakukan dengan cara
yang berbeda melalui pergerakan tangan Tuhan yang maha kuasa
7. Penekanan bagaimana langkah solutif AKARENA dapat membantu dalam
mengedukasi langkah mitigasi bencana. Mulai dari jenis bencana, jalur
evakuasi, siapa yang harus mereka temui untuk melaporkan keberadaan,
bagaimana cara mencari tempat perlindungan ketika bencana. Tekankan di
akhir paragraf bahwa mitigasi bencana abk butuh metode pendidikan yang
inklusif, karena perbedaan kebutuhan akan menentukan pemrosesan
informasi yang diterima.

Kesimpulan
1. Jelaskan dari area latar belakang : bahwa bencana alam adalah kehendak
Tuhan yang paling misteri, apakah hal itu sebagai suatu konklusi akibat
tatanan masyarakat yang menyimpang ataukah memang sebuah pemberian
rahmat lewat bentuk yang mengejutkan. Intinya semua itu adalah sebuah
tanda kebesaran Tuhan. Lalu jelaskan manusia punya kapabilitas sebagai
manusia yang hakikatnya menjadi penduduk muka bumi, jadi seyogyanya
menjaga dan merawat sesama. Untuk itu perlu langkah” mitigasi bencana
yang tepat sehingga nantinya dampak bisa di minimalisir. Tak terkecuali bagi
anak-anak berkebutuhan khusus sebagain titipan Tuhan yang paling luar
biasa. Lewat pendekatan yang baik maka tujuan yang ingin kita capai yakni
penanaman mitigasi bencana pun dapat diterima oleh mereka. Maka dari itu
melalui Akarena fisioterapi dapat mengambil peran preventif untuk ikut
mengedukasi anak-anak berkebutuhan khusus dalam mitigasi bencana
melalui permainan tradisional dan brain gym yang menyenangkan.

Anda mungkin juga menyukai