PEMBAHASAN
PENDAHULUAN Letak geografis Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng
aktif, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik mengakibatkan kondisi negara Indonesia
memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana geologis dan hidroklimatologis.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2018, kejadian
bencana yang terjadi di Indonesia mengalami 3.397 kejadian, dengan 3.874 korban jiwa
meninggal dan hilang. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dari Tahun 2009-2018,
dampak terjadinya bencana sangat bervariasi, mulai dari kerusakan, kerugian, hingga
menimbulkan korban jiwa.
mampu membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan
perlindungan anggota masyarakat (Honesti & Djali, 2012). Sekolah memiliki peranan yang
sangat strategis dalam upaya penanggulangan bencana, karena sekolah mampu meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan siswa dalam menghadapi bencana. Sekolah sebagai satuan
pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan, khususnya
mengenai kesiapsiagaan bencana. Pendidikan kebencanaan harus dimulai sejak usia dini. Hal
ini didasarkan pada fakta bahwa setiap tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak di seluruh
dunia terkena dampak bencana (Herdwiyanti & Sudaryono, 2013). Menurut A Dariyo (2013),
siswa Sekolah Dasar (SD) berada pada masa anak tengah (middle childhood). Siswa pada
masa anak tengah memiliki kondisi rentan secara psikologis dan memiliki kemungkinan
untuk mengalami stres akibat kejadian bencana (Peek, 2008). Pendidikan kebencanaan harus
dimulai sejak dini. Hal ini didasarkan pada fakta setiap tahun diperkirakan sekitar 66 juta
anak di seluruh dunia terkena dampak bencana (F Herdwiyanti & Sudaryono, 2013). Untuk
mengurangi risiko dari terjadinya bencana, peningkatan pemahaman melalui pengetahuan
memiliki urgensi yang penting. Salah satu cara meningkatkan kesadaran adalah dengan
mengubah pengetahuan seseorang terhadap suatu hal (Duval, dkk, 2000). Jika pengetahuan
anak-anak terhadap bencana tergolong baik, maka dapat mewujudkan generasi yang tangguh
bencana dan memiliki kesiapsiagaan yang baik terhadap bencana. Peningkatan pengetahuan
untuk sadar terhadap kesiapsiagaan bencana dapat dilakukan dengan sosialisasi dengan tujuan
untuk mengedukasi. Hal tersebut selaras dengan kegiatan yang dilakukan oleh BNPB, bahwa
sosialisasi sadar bencana sangat penting dilakukan untuk mengurangi dampak saat terjadi
bencana. Target sasaran sosialisasi peneliti merupakan salah satu sekolah yang terdapat di
wilayah rawan bencana yaitu SD Negeri 1 Jrakah, terletak di Kelurahan Jrakah, Kecamatan
Selo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Edukasi kebencanaan memiliki manfaat
penting yaitu tidak menutup kemungkinan bahwa dampak dari suatu bencana akan hilang dan
setidaknya dapat mengurangi risiko terjadinya bencana. Strategi komunikasi yang dilakukan
oleh BNPB adalah melakukan edukasi bencana, seperti pemberian materi berupa pengertian
bencana, dampak yang ditimbulkan dari bencana, hingga upaya untuk mitigasi bencana
tersebut. Anakanak memiliki kerentanan bencana yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang dewasa, hal tersebut dikarenakan anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol
dan mempersiapkan diri saat situasi bencana (Sulistyaningsih, 2011; F Herdwiyanti &
Sudaryono, 2013). Dengan demikian, anak-anak memerlukan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman mengenai kesiapsiagaan bencana, sehingga cara komunikasi yang tepat yaitu
melalui sosialisasi sadar bencana. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, peneliti
merumuskan penelitian yang berjudul “Edukasi Sadar Bencana Melalui Sosialsiasi
Kebencanaan Sebagai Upaya Peningkatan Pengetahuan Siswa Terhadap Mitigasi Bencana”
dan penelitian ini memiliki tujuan untuk meningkatkan pengetahuan siswa-siswi terhadap
mitigasi bencana melalui kegiatan sosialisasi siaga bencana demi mewujudkan sekolah
tangguh bencana.
A. Analisis Situasi
Kecamatan Selo merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Boyolali,
tepatnya terletak di antara dua gunung, yaitu Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Gunung
Merapi merupakan salah satu gunung yang masih aktif mengeluarkan lahar panas maupun
lahar dingin. Sesuai dengan informasi dari Badan Pengawas Gunung, 20 Km merupakan zona
aman dari ketinggian dan bencana letusan gunung berapi merupakan letusan yang terhitung
lama hingga banyak memakan korban jiwa. Bencana yang dapat terjadi di Kecamatan Selo
selain letusan gunung berapi juga berpotensi terhadap bencana tanah longsor. Kecamatan
Selo merupakan wilayah yang memiliki lereng curam, berada pada kemiringan antara 12°-
40° (26,67%-88,89%) dan curah hujan tergolong cukup tinggi yaitu 3.842,5 Mm dengan
jumlah hari hujan yaitu 219 Hh, sehingga memiliki potensi terjadi longsor (BPS, 2018).
Faktor utama yang mempengaruhi tingkat bahaya longsor di SD N 1 Jrakah adalah tingkat
kemiringan lereng, tekstur tanah, dan ketebalan solum tanah. Kemiringan lereng yang
semakin besar berpengaruh terhadap tingkat bahaya longsor yang semakin besar. Kemiringan
lereng berperan sebagai pemicu terjadinya longsor. Selain itu, kemiringan lereng juga
memungkinkan tenaga gravitasi berperan lebih optimal dalam menyebabkan terjadinya
longsor.
B. Permasalahan
C. Solusi
Badan Pusat Statistik [BPS]. (2018). Statistik Daerah Kecamatan Selo 2018: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Boyolali. BNPB. (2018). Data Informasi Bencana Indonesia. (Artikel
Web). Diakses di http://dibi.bnpb.go.id/dibi/. Dariyo, A. (2013). Dasar-dasar Pedagogi
Modern. Jakarta: Indeks. Duval, T.S., & Bovalino, K. (2000). Tornado Preparedness of
Students, Nonstudents Renters, and Nonstudent Owners: Issue of Pre Theory. Journal of
Applied Social Psychology, 30 (6), 1310-1329. Emosda, Lela, & Fadzlul. (2014).
Mengkonstruk Pemahaman Masyarakat Peduli Bencana Alam Banjir. Jurnal Pengabdian
Masyarakat, 29 (3), September, 21- 29. Herdwiyanti, F., Sudaryono. (2013). Perbedaan
Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Ditinjau dari Tingkat Self-Efficacy pada Anak Usia
Sekolah Dasar di Daerah Dampak Bencana Gunung Kelud. Jurnal Psikologi Kepribadian dan
Sosial, 2 (1), 136-141. Honesti, L., Nazwar D. (2012). Pendidikan Kebencanaan di Sekolah-
sekolah di Indonesia Berdasarkan Beberapa Sudut Pandang Disiplin Ilmu Pengetahuan.
Jurnal Momentum, 12 (1), 51-55. Lesmana, C., Nurul, P. (2015). Kesiapsiagaan Komunitas
Sekolah dalam Menghadapi Bencana di Kabupaten Magelang. Jurnal Teknik Sipil, 11 (1), 1-
7. Peek, L. (2008). Children and Disasters: Understanding Vulnerability, Developing
Capacities, and Promoting Resilience – An Introduction. (Artikel Web). Diakses di
http://www.jstor.org/stable/10.7721/chilyoutenvi.18.1.0001. Peraturan Pemerintah Nomor 21
tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Rinaldi. (2009). Kesiapan
Menghadapi Bencana Pada Masyarakat Indonesia. Jurnal Penelitian Psikologi, 14 (1).
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung. Sulistyaningsih, W. (2011).
Pemulihan Anak Pasca Bencana: Pelibatan Komunitas untuk Hasil Intervensi yang Efektif.
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Sunarto, N. (2012). Edukasi Penanggulangan
Bencana Lewat Sekolah. (Artikel Web). Diakses di http://bpbd.banjarkab.go.id/?p=75.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. (2007). Jakarta: Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI).
Pengertian Mitigasi Bencana
Pengertian Mitigasi didefinisikan sebagai : “Upaya yang ditujukan untuk mengurangi dampak
dari bencana baik bencana alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya
dalam suatu negara atau masyarakat”
Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu : 1) tersedia informasi dan peta
kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan
pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di
daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta
mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan
kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana.
Mitasi bencana alam adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Mitigasi bencana alam ini mencakup 3 hal penting, yaitu mitigasi,
adaptasi bencana alam, dan penanggulangan bencana.
Jadi, secara simple-nya, mitigasi ialah upaya untuk mengurangi risiko bencana (baik bencana
alam alias natural disaster maupun bencana ulah manusia alias man-made disaster), sehingga
jumlah korban dan kerugian bisa diperkecil. Caranya yakni dengan membuat persiapan
sebelum bencana terjadi.
Adaptasi bencana alam ialah penyesuaian sistem alam dan manusia terhadap bencana alam
yang terjadi, guna mengurangi dampak negatifnya.
Penanggulangan Bencana
Jenis-jenis Mitigasi
Mitigasi ini dibagi menjadi 2 jenis, yakni mitigasi struktural dan mitigasi non struktural.
Mitigasi struktural
Mitigasi ini adalah upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan dengan cara
membangun berbagai prasarana fisik dan menggunakan teknologi. Misalnya dengan
membuat waduk untuk mencegah banjir, membuat alat pendeteksi aktivitas gunung berapi,
membuat bangunan yang tahan gempa, atau menciptakan early warning system untuk
memprediksi gelombang tsunami.
Mitigasi ini adalah upaya untuk mengurangi dampak bencana selain dari cara-cara di atas,
seperti membuat kebijakan dan peraturan. Contohnya, UU PB atau Undang-Undang
Penanggulangan Bencana sebagai upaya non struktural dalam bidang kebijakan, pembuatan
tata ruang kota, atau aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas warga.
Tujuan Mitigasi
Dilihat dari potensi bencana yang ada, Indonesia merupakan negara dengan potensi
bahaya (hazard potency) yang sangat tinggi. Beberapa potensi tersebut antara lain adalah
gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah Iongsor, angin ribut, kebakaran hutan
dan lahan, letusan gunung api. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi 2 kelompok utama, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya
ikutan (collateral hazard). Potensi bahaya utama (main hazard potency) ini dapat dilihat
antara lain pada peta potensi bencana gempa di Indonesia yang menunjukkan bahwa
Indonesia adalah wilayah dengan zona-zona gempa yang rawan, peta potensi bencana tanah
longsor, peta potensi bencana letusan gunung api, peta potensi bencana tsunami, peta potensi
bencana banjir, dan lain-lain. Dari indikator-indikator di atas dapat disimpulkan bahwa
Indonesia memiliki potensi bahaya utama (main hazard potency) yang tinggi. Hal ini
tentunya sangat tidak menguntungkan bagi negara Indonesia.
Di samping tingginya potensi bahaya utama, Indonesia juga memiliki potensi bahaya ikutan
(collateral hazard potency) yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator
misalnya likuifaksi, persentase bangunan yang terbuat dari kayu, kepadatan bangunan, dan
kepadatan industri berbahaya. Potensi bahaya ikutan (collateral hazard potency) ini sangat
tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu
(utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang
tinggi. Dengan indikator di atas, perkotaan Indonesia merupakan wilayah dengan potensi
bencana yang sangat tinggi. Berbagai potensi bencana tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bencana Banjir.
Banjir baik yang berupa genangan atau banjir bandang bersifat merusak. Aliran arus air
yang tidak terlalu dalam tetapi cepat dan bergolak (turbulent) dapat menghanyutkan manusia
dan binatang. Aliran air yang membawa material tanah yang halus akan mampu menyeret
material berupa batuan yang lebih berat sehingga daya rusaknya akan semakin tinggi. Banjir
air pekat ini akan mampu merusakan fondasi bangunan yang dilewatinya terutama fondasi
jembatan sehingga menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan tersebut, bahkan
mampu merobohkan bangunan dan menghanyut-kannya. Pada saat air banjir telah surut,
material yang terbawa banjir akan diendapkan ditempat tersebut yang mengakibatkan
kerusakan pada tanaman, perumahan serta timbulnya wabah penyakit.
Gerakan tanah atau tanah Iongsor merusakkan jalan, pipa dan kabel baik akibat gerakan
dibawahnya atau karena penimbunan material hasil longsoran. Gerakan tanah yang berjalan
lambat menyebabkan penggelembungan (tilting) dan 6 bangunan tidak dapat digunakan.
Rekahan pada tanah menyebabkan fondasi bangunan terpisah dan menghancurkan utilitas
lainnya didalam tanah. Runtuhan lereng yang tiba-tiba dapat menyeret permukiman turun
jauh dibawah lereng. Runtuhan batuan (rockfalls) yang berupa luncuran batuan dapat
menerjang bangunan- bangunan atau permukiman dibawahnya. Aliran butiran (debris flow)
dalam tanah yang lebih lunak, menyebabkan aliran lumpur yang dapat mengubur bangunan
permukiman, menutup aliran sungai sehingga menyebabkan banjir, dan menutup jalan.
Liquefaction adalah proses terpisahnya air di dalam pori-pori tanah akibat getaran sehingga
tanah kehilangan daya dukung terhadap bangunan yang ada diatasnya sebagai akibatnya
bangunan akan amblas atau terjungkal.
Bencana Letusan Gunung Api Bahaya letusan gunung api dibagi dua berdasarkan waktu
kejadiannya, yaitu bahaya utama (primer) dan bahaya ikutan (sekunder). Kedua jenis bahaya
tersebut masing-masing mempunyai resiko merusak dan mematikan. a. Bahaya Utama
(primer) Bahaya utama (sering juga disebut bahaya langsung) letusan gunung api adalah
bahaya yang langsung terjadi ketika proses peletusan sedang berlangsung. Jenis bahaya
tersebut adalah awan panas (piroclastk flow), lontaran batu (pijar), hujan abu tebal, leleran
lava (lava flow), dan gas beracun. b. Bahaya lkutan (sekunder) Bahaya ikutan letusan gunung
api adalah bahaya yang terjadi setelah proses peletusan berlangsung. 7 Bila suatu gunung api
metetus akan terjadi penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng
bagian atas. Pada saat musim hujan tiba sebagian material tersebut akan terbawa oleh air
hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan, banjir tersebut
disebut lahar.
Gempa bumi adalah getaran partikel batuan atau goncangan pada kulit bumi yang
disebabkan oleh pelepasan energi secara tiba-tiba akibat aktivitas tektonik (gempa bumi
tektonik) dan rekahan akibat naiknya fluida (magma, gas, uap dan Iainnya) dari dalam bumi
menuju ke permukaan, di sekitar gunung api, disebut gempa bumi gunung api/vulkanik.
Getaran tersebut menyebabkan kerusakan dan runtuhnya struktur bangunan yang
menimbulkan korban bagi penghuninya. Getaran gem-pa ini juga dapat memicu terjadinya
tanah longsor, runtuhan batuan dan kerusakan tanah Iainnya yang merusakkan permu-kiman
disekitarnya. Getaran gempa bumi juga dapat menyebabkan bencana ikutan yang berupa
kebakaran, kecelakaan industri dan transportasi dan juga banjir akibat runtuhnya bendungan
dan tanggultanggul penahan lainnya. Sumber gempa bumi di Indonesia banyak dijumpai di
lepas pantai/di bawah laut yang disebabkan oleh aktivitas subduksi dan sesar bawah laut.
Beberapa gempa bumi dengan sumber di bawah laut, dengan magnitude besar dengan
mekanisme sesar naik dapat menyebabkan tsunami. Dijumpai pula sumber gempa bumi di
darat yang disebabkan oleh aktivitas sesar di darat.
Ledakan instalasi, menyebabkan korban jiwa, luka-luka dan kerusakan bangunan dan
infrastruktur; kecelakaan transportasi membunuh dan melukai penumpang dan awak
kendaraan, dan juga dapat menimbulkan pencemaran; kebakaran pada industri dapat
menimbulkan suhu yang sangat tinggi dan menimbulkan kerusakan pada daerah yang
luas; zat-zat pencemar (polutan) yang terlepas di air dan udara akan dapat menyebar pada
daerah yang sangat luas dan menimbulkan pencemaran pada udara, sumber air minum,
tanaman pertanian, dan tempat persedian pangan sehingga menyebabkan daerahnya tidak
dapat dihuni: satwa liar akan binasa, sytem ekologi terganggu. Bencana kegagalan
teknologi pada skala yang besar akan dapat mengancam kestabitan ekologi secara global.