Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Kesehatan Vol 11 No.

1– P-ISSN : 2338-7823 E-ISSN : 2747-0253

Health Journal “Love That Renews”


Halaman Jurnal: https://journal.stikesborromeus.ac.id/index.php/jks
Halaman Utama Jurnal : https://journal.stikesborromeus.ac.id/index.php/

HUBUNGAN KESIAPSIAGAAN BENCANA GEMPA BUMI DENGAN


TINGKAT KECEMASAN PADA SISWA/I KELAS 9
SMPN 1 WARUNGKONDANG
Nazla Hilaby1, Hery Prayitno2*, Dinny Ria Pertiwi3
1,2,3
Prodi Sarjana Ilmu Keperawatan, STIKes Dharma Husada, email: heryprayitno007@gmail.com

ABSTRAK
Gempa bumi merupakan bencana alam yang tidak dapat dicegah dan tidak dapat diperkirakan secara akurat
pusat lokasinya, waktu terjadinya, dan kekuatannya. Bencana gempa bumi menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan timbulnya perasaan cemas. kesiapsiagaan terhadap bencana menjadi salah satu upaya
penanggulangan bencana yang dapat mengurangi risiko kerugian dan korban jiwa di sebabkan oleh bencana.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan
tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur. Jenis penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan desain deskriptif korelasi melalui pendekatan cross-sectional
dengan sampel sebanyak 78 responden dengan teknik stratified random sampling Instrumen yang
digunakan adalah kuesioner Kesiapsiagaan dan Kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Hasil
analisa bivariat menunjukkan nilai p- value 0,029 < 0,05 yang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
antara kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1
Warungkondang Kab. Cianjur. Maka disarankan bagi pihak sekolah SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur diperlukan upaya peningkatan kesiapsiagaan dengan melakukan penyuluhan tentang kesiapsiagaan
bencana alamsehingga terbentuknya siswa/i yang tanggap bencana.

Kata Kunci: Kesiapsiagaan, Bencana Gempa Bumi, Kecemasan

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang rawan terhadap berbagai bencana alam
seperti gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung merapi, tanah longsor dan lain-lain, karena terletak
pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu lempeng Eurasia, Indo- Australia dan lempeng Pasifik
(Seja & Hermiasih, 2022). Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU RI No. 24 tahun 2007).
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2022, terdapat 3.494 peristiwa
bencana alam di Indonesia sejak awal tahun hingga 29 Desember 2022. Bencana alam yang paling sering
terjadi adalah banjir, yakni 1.506 kejadian. Jumlah itu setara 43,1% dari total kejadian bencana secara
nasional. Berikutnya ada 1.045 kejadian cuaca ekstrem, 633 kejadian tanah longsor, 251 kebakaran hutan
dan lahan (karhutla), 28 kejadian gempa bumi, 26 kejadian gelombang pasang/abrasi, serta 4 kejadian
kekeringan.

Page | 60
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

Provinsi yang paling sering mengalami bencana alam tahun 2022 adalah Jawa barat, yakni 817
kejadian. Selanjutnya Jawa Tengah dan Jawa Timur masing- masing 477 dan 396 kejadian. Seluruh
kejadian bencana itu membuat lebih dari 5,38 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal
dunia, 8.725 orang luka-luka, dan 46 orang hilang. Bencana tersebut juga mengakibatkan 94.661 rumah
rusak, dengan rincian 19.928 rumah rusak berat, 22.974 rusak sedang, dan 51.759 rusak ringan. Kemudian
1.977 fasilitas umum mengalami kerusakan, terdiri dari 1.238 Fasilitas Pendidikan, 645 Fasilitas
Peribadatan, dan 94 Fasilitas Kesehatan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2022).
Salah satu bencana yang sering terjadi adalah gempa bumi. Gempa bumi merupakan bencana alam
yang tidak dapat dicegah dan tidak dapat diperkirakan secara akurat pusat lokasinya, waktu terjadinya, dan
kekuatannya. Penyebab gempa bumi dapat berupa aktivitas gunung api, dinamika bumi (tektonik),
longsoran di bawah permukaan air laut, ledakan bom nuklir di bawah permukaan bumi, hal ini membuat
manusia ingin meningkatkan kemampuan dalam menghadapi suatu bencana yang biasa disebut dengan
kesiapsiagaan (Hermawan & Wardhani, 2022). Pada tanggal 21 November 2022, telah terjadi gempa bumi
di daerah Cianjur, Jawa barat. Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 21 November 2022 itu sangat
menyisakan duka yang mendalam bagi para korban. Kejadian bencana yang diakibatkan oleh gempa
dengan kekuatan yang cukup besar yaitu 5,6 SR ini disebabkan oleh banyaknya warga yang masih
beraktivitas di dalam rumah maupun sekolah dan juga disebabkan oleh struktur bangunan yang tidak tahan
gempa yang menyebabkan banyak rumah dan bangunan lainnya yang roboh (Supendi et al.,2022).
Selain dampak material, adanya bencana gempa bumi ini menyebabkan dampak psikologis yang
bervariasi, kepanikan saat gempa bumi menyebabkan kegagalan untuk melarikan diri. Kerugian secara
material juga menimbulkan dampak psikologis seperti kebingungan, kesedihan, keputusasaan, kecemasan,
dan depresi (Krisnanto 2019, dalam Ernawati, 2022). Korban gempa tidak hanya mengalami masalah
darurat seperti pembangunan, makanan, kondisi fisik akibat gempa namun juga masalah kesehatan mental.
Trauma psikologis setelah bencana alam akan semakin memperburuk kondisi atau masalah psikologis yang
telah ada sebelum gempa bumi terjadi (Dwidiyanti, 2018, dalam Ernawati ,2022).
Sebagian besar populasi korban bencana tetap memiliki reaksi psikologis yang normal, sekitar 15-
20% akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang yang merujuk pada kondisi Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD), sementara 3-4% akan mengalami gangguan berat seperti psikosis, kecemasan
berat, hingga depresi (Oktaviana, et all 2020 dalam Ernawati, 2022). Data Riskesdas (2013) menunjukkan
prevalensi gangguan mental emosional pasca bencana yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan
kecemasan, untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk
Indonesia (Ernawati, 2022). Peningkatan proporsi gangguan jiwa pada data yang didapatkan Riskesdas
2018 cukup signifikan jika dibandingkan dengan data Riskesdas 2013, naik dari 1,7% menjadi 7%.
Dampak dari bencana salah satunya mengakibatkan trauma yang memunculkan timbulnya kecemasan
(Chrisnanto, 2019 dalam Ernawati, 2022).

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 61
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

Anak-anak dan remaja merupakan salah satu kelompok paling rentan dan beresiko terkena dampak
bencana. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dalam 2000 kasus
bencana yang tersebar di berbagai daerah Indonesia pada tahun 2016, korban terbanyak adalah anak-anak,
remaja dan lanjut usia. Korban usia remaja terjadi di berbagai tempat dan waktu, terutama saat anak remaja
sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian bencana gempa bumi. Anak remaja sangat rentan
menjadi korban bencana karena kemampuan dan pengetahuannya yang terbatas terkait kesiapsiagaan
bencana (Wayan et al.,2022). Dampak tersebut dapat dikurangi dengan meningkatkan kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana. Semua kegiatan dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
dan penggunaan langkah-langkah tepat merupakan manajemen bencana dalam fase kesiapsiagaan (Darwati
et al., 2021). Terdapat 5 indikator kesiapsiagaan bencana yaitu: pengetahuan dan sikap terhadap risiko
bencana, kebijakan dan panduan, rencana untuk keadaan darurat bencana, sistim peringatan bencana,
kemampuan untuk memobilisasi sumber daya (Darwati et al., 2021).
Kesiapsiagaan merupakan kegiatan serta langkah yang dilakukan seseorang sebelum terjadinya
bahaya atau bencana untuk meramalkan dan meningkatkan seseorang akan kemungkinan adanya bencana.
Kegiatan kesiapsiagaan dilakukan dengan mengevaluasi dan memastikan respons yang efektif pada anak-
anak, misalnya dengan menyimpan barang berharga dan makanan. Siklus manajemen bencana, telah
menjelaskan upaya kesiapsiagaan termasuk dalam fase pengurangan risiko sebelum terjadinya bencana.
Pergeseran konsep penanganan bencana menjadi paradigma pengurangan risiko bencana semakin
menekankan bahwa upaya kesiapsiagaan bencana merupakan salah satu tahapan penting untuk mengurangi
besarnya kerugian yang timbul akibat adanya bencana (Seja & Hermiasih, 2022). Pentingnya pengetahuan
tentang kesiapsiagaan bencana dan pengurangan risiko bencana diberikan sejak dini untuk memberikan
pemahaman dan pengarahan langkah-langkah yang harus dilakukan saat terjadi suatu ancaman bencana.
Peningkatan kesiapsiagaan bencana pada siswa sekolah dapat dilakukan sejak dini melalui program siaga
bencana di sekolah agar anak-anak dapat mengetahui cara menyelamatkan diri saat terjadi bencana (Wayan
et al.,2022).
Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) terdapat tujuh stakeholders kesiapsiagaan terhadap bencana
salah satunya adalah komunitas sekolah. Komunitas sekolah mempunyai potensi yang besar sebagai
sumber pengetahuan, penyebarluasan pengetahuan dan petunjuk praktek mengenai hal-hal yang perlu
dipersiapkan sebelum, saat, dan setelah terjadinya bencana. Siswa sekolah termasuk ke dalam komunitas
sekolah dan kelompok rentan terhadap bencana. Jadi dapat diasumsikan bahwa komunitas sekolah
merupakan tempat yang tepat dalam penyebarluasan pengetahuan dan petunjuk praktik kesiapsiagaan
bencana (Wayan et al.,2022). Peningkatan pengetahuan anak mengenai kesiapsiagaan bencana merupakan
hal yang penting dalam upaya perlindungan diri anak bila sewaktu-waktu terjadi bencana (Wayan et
al.,2022). Semakin kurang tingkat kesiapsiagaan maka tingkat kecemasan semakin meningkat. Untuk dapat
mengurangi kecemasan saat bencana diperlukan upaya peningkatan kesiapsiagaan pada masyarakat
misalnya dengan melakukan penyuluhan tentang bencana alam sehingga terbentuknya komunitas yang

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 62
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

tanggap bencana (Seja & Hermiasih, 2022).


Bencana gempa bumi yang menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan bagi siswa/i kelas 9
SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur khususnya yang pernah menjadi korban dan tingkat kesiapsiagaan
yang kurang mengakibatkan tingkat kecemasan semakin meningkat. Berdasarkan data diatas penliti
untuk mengetahui mengenai adakah “Hubungan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi dengan Tingkat
Kecemasan Pada Siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur”.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian yang bersifat kuantitatif korelasi analitik bertujuan
untuk mengetahui hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i
sekolah menengah pertama. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/I kelas 9 SMPN 1 Warungkondang
Kabupaten Cianjur yang berjumlah 365 responden. Teknik Sampling yang digunakan adalah Stratified
Random Sampling sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 78 responden. Peneliti telah
mendapatkan surat layak etik penelitian dari Komisi etik Penelitian Kesehatan STIKes Dharma Husada
dengan nomor surat 62/KEPK/SDHB/B/VI/2023.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


HASIL

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur
f %
Kurang Siap 65 83,3%
Sangat Siap 13 16,7%

TOTAL 78 100,0%

Berdasarkan tabel 1 diketahui mengenai kesiapsiagaan siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang


Kab. Cianjur dengan keseluruhan sebanyak 78 orang, dengan kategori kurang siap sebanyak 65 orang
(83,3%) dan kategori sangat siap sebanyak 13 orang (16,7%).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur
f %
Tidak ada 43 55,1%
Ringan 9 11,5%
Sedang 11 14,1%
Berat 14 17,9%
Sangat berat 1 1,3%

TOTAL 78 100,0%

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 63
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

Berdasarkan tabel 2 diketahui mengenai tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1
Warungkondang Kab. Cianjur dengan keseluruhan sebanyak 78 orang, dengan kategori tidak ada
kecemasan sebanyak 43 orang (55,1%), kategori kecemasan ringan sebanyak 9 orang (11,5%), kategori
kecemasan sedang sebanyak 11 orang (14,1%), kategori kecemasan berat sebanyak 14 orang (17,9%), dan
kategori kecemasan sangat berat sebanyak 1 orang (1,3%).

Tabel 3. Distribusi Uji Somers’D Hubungan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi dengan tingkat
Kecemasan pada Siswa/I SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur
Kecemasan
Tidak Sangat Koefisien P
Ringan Sedang Berat Total
Ada Berat Korelasi Value
Kurang
39 8 10 8 0 65
Siap
% 50% 10,30% 12,80% 10,30% 0% 83,30%
Kesiapsiagaan
Sangat
4 1 1 6 1 13 0,396 0,029
Siap
% 5,10% 1,30% 1,30% 7,70% 1,30% 16,70%
Total 43 9 11 14 1 78
% of Total 55,10% 11,50% 14,10% 17,90% 1,30% 100%

Berdasarkan tabel 3 dilihat bahwa kebanyakan responden memiliki tingkat kesiapsiagaan dengan
kategori kurang siap dan tidak ada kecemasan sebanyak 39 orang (50,0%), kategori kurang siap dan
kecemasan ringan sebanyak 8 orang (10,3%), kategori kurang siap dan kecemasan sedang sebanyak 10
orang (12,8%), kategori kurang siap dan kecemasan berat sebanyak 8 orang (10,3%), kategori kurang siap
dan kecemasan sangat berat 0 orang (0,0%). Sedangkan kategori sangat siap dan tidak ada kecemasan
sebanyak 4 orang (5,1%), kategori sangat siap dan kecemasan ringan sebanyak 1 orang (1,3%), kategori
sangat siap dan kecemasan sedang sebanyak 1 orang (1,3%), kategori sangat siap dan kecemasan berat
sebanyak 6 orang (7,7%), kategori sangat siap dan kece,asan sangat berat sebanyak 1 orang (1,3%). Uji
yang digunakan unutk menganalisis hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat
kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur menggunakan uji somers’d karena
skala ukur variabel yang di gunakan adalah ordina-ordinal. Tabel tersebut hubungan kesiapsiagaan bencana
gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 memiliki nilai signifikan sebesar 0,029 < 0,05
maka Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi
dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur.

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 64
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

PEMBAHASAN
Tingkat Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi pada Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 78 responden yang diteliti 65 orang atau
83,3% memiliki tingkat kesiapsiagaan dengan kategori kurang siap, 13 orang atau 16,7% memiliki
kesiapsiagaan dengan kategori sangat siap. Menurut peneliti dari hasil yang diteliti pada siswa/i kelas 9
SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur Kab. Sebagian besar mendapatkan tingkat kesiapsiagaan dengan
kategori kurang siap dikarenakan siswa/i kelas 9 belum mendapatkan pengetahuan mengenai
penanggulangan bencana, sehingga kurangnya kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
Faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan bencana terdiri dari faktor pengetahuan terhadap
kesiapsiagaan becana, sikap terhadap kesiapsiagaan bencana, kebijakan dan panduan, rencana untuk
keadaan darurat bencana, sistim peringatan bencana, mobilisasi sumber daya. Hasil penelitian ini di dukung
oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO,2006 dalam Husna 2020) yang menjelaskan bahwa kebijakan kesiapsiagaan
bencana sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga terhadap
bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan yang meliputi pendidikan publik,
emergency planning, sistem peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya termasuk pendanaan,
organisasi pengelola, fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat bencana.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Seja, dkk (2022) dimana dari 42 responden Sebagian
besar mempunyai tingkat kesiapsiagaan yang tidak siap sebanyak 17 orang atau 40,5% dan yang paling
sedikit memiliki tingkat kesiapsiagaan sangat siap yaitu sebanyak 1 orang atau 2,4%, dikarenakan
penelitian Seja et al, sebagian besar masyarakat belum mengikuti program pelatihan penanggulangan
bencana, sehingga informasi bencana masih sangat minim, padahal pengetahuan mengenai kebencanaan
adalah faktor utama kunci kesiapsiagaan. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Sarkawi et al, (2021) dimana menunjukkan bahwa dari 606 responden sebagian besar siap
sebanyak 349 (57,6%) responden.
Tidak siap 257 (42,4%) responden. Menurut Niken & Andiri (2020) hal utama yang
mengakibatkan timbulnya banyak korban akibat bencana adalah kurangnya kesiapsiagaan tentang bencana
dan kurangnya kesiapan dalam mengantisipasi bencana tersebut pentingnya manajemen bencana karena
merupakan salah satu elemen penting kesiapsiagaan dari kegiatan resiko terjadinya bencana. Menurut Hadi
et al, (2019) kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting di dalam pengelolaan bencana alam.
Termasuk di dalamnya dalam menghadapi bencana alam gempabumi. Setiap komunitas hendaknya
memiliki kesiapsiagaan yang tinggi terhadap ancaman resiko bencana. Terutama di negara kita yang
notabene adalah Kawasan yang memiliki ancaman potensi bencana gempa bumi yang tinggi. Kesiapsiagaan
mutlak diperlukan, mengingat dalam penanggulangan bencana telah terjadi pergeseran paradigma dari
fatalistic responsive yang berorientasi pada respon kedaruratan akibat bencana menuju kepada proactive

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 65
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

preparedness yaitu penanggulangan bencana yang dilakukan sejak dini melalui kesiapsiagaan hingga tahap
pemulihan sosial.

Tingkat Kecemasan Bencana Gempa Bumi pada Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 78 responden yang diteliti 43 orang atau
55,1% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori tidak ada kecemasan, 9 orang atau 11,5% memiliki
tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan ringan, 11 orang atau 14,1% memiliki tingkat kecemasan
dengan kategori kecemasan sedang, 14 orang atau 17,9% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori
kecemasan berat, 1 orang atau 1,3% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan sangat berat.
Menurut peneliti dari hasil yang diteliti pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur,
Sebagian besar mendapatkan tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan berat di karenakan kecemasan
yang di alami kemungkinan disebabkan oleh pengalaman buruk saat terjadinya gempa, seperti
sekolah/rumah hancur atau cedera. Pengalaman mengalami bencana berulang- ulang dengan durasi dan
intensitas yang tinggi, pengalaman juga berhubungan dengan informasi. Sehubungan dengan menghadapi
kecemasan pasca bencana, kecemasan perlu dikelola dengan baik sehingga tetap memberikan awareness
namun tidak sampai menimbulkan kepanikan yang berlebihan atau sampai pada gangguan kesehatan
kejiwaan yang lebih buruk.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Thoyibah et al. (2020) dimana dari 40 responden
menujukkan bahwa 15 reponden mengalami kecemasan ringan atau 37,5% dan 25 responden mengalami
kecemasan sedang atau 62,5%. Dikarenakan menurut penelitian Thoyibah et al selain dampak fisik,
kejadian gempa juga menimbulkan masalah kesehatan. Jiwa, salah satunya rasa cemas. Kecemasan adalah
respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi. Pada penelitian
Thoyibah dkk, di dapatkan responden mengungkapkan bahwa mereka masih merasa takut saat gelap dan
saat sendiri. Menurut Tim Crisis and Recovery Center (CRC) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
menemukan bahwa 2,5% dari populasi yang mengalami beban mental pasca gempa bumi akan mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri pada jangka menengah dan panjang, artinya korban yang selamat akan
memerlukan bantuan psikologis mulai dari minggu ke 3 sampai 3 bulan kemudian. Selanjutnya, 1% dari
populasi akan mengalami masalah psikologis pada masa yang lebih lama, yaitu korban yang rumahnya
rusak berat atau roboh (Thoyibah et al.,2020).
Kecemasan (anxiety) merupakan bagian dari kondisi hidup (Nelson-Jones, 1995), maknanya
kecemasan ada pada setiap orang. Lang, 1969 (dalam Powell dan Engright, 1990) mengungkapkan, bahwa
kecemasan mungkin diterangkan dalam bentuk pemikiran, seperti “aku takut”, fisik sensasi atau perasaan
seperti rasa gugup, berkeringat, tegangan, atau ungkapan perilaku seperti menghindar dari suatu situasi,
lari/pergi. Individu yang berbeda pada keadaan kecemasan akan bertukar-tukar dalam kaitan dengan sistem
yang dilafalkan. Pada dasarnya semua gangguan Kesehatan mental diawali oleh perasaan cemas (anxiety)

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 66
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

menurut Sadock dkk. (2010) kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi (Vibriyanti., 2020). Kecemasan diawali dari adanya situasi yang
mengancam sebagai suatu stimulus yang berbahaya (stressor), pada tingkatan tertentu kecemasan dapat
menjadikan seseorang lebih waspada (aware) terhadap suatu ancaman, karena jika ancaman tersebut dinilai
tidak membahayakan, maka seseorang tidak akan melakukan pertahanan diri (self defence).
Reaksi kecemasan akan berbeda pada setiap individu, untuk sebagian orang reaksi kecemasan
tidak selalu diiringi oleh reaksi fisiologis. Namun pada orang-orang tertentu, kompleksitas respons dalam
kecemasan dapat melibatkan reaksi fisiologis sesaat seperti detak jantung menjadi lebih cepat, berkeringat,
sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal dan gejala lainnya. Setelah seseorang mulai merasakan kecemasan
makan sistem pertahanan diri selanjutnya akan menilai kembali ancaman diiringi dengan usaha untuk
mengatasi, mengurangi atau menghilangkan perasaan terancam tersebut. Seseorang dapat menggunakan
pertahanan diri (defence mechanism) dengan meningkatkan aktifitas kognisi atau motorik. Masalah
psikologis pada usia anak- anak dan remaja yang berkaitan dengan bencana alam akan berlangsung lama
setelah insiden bencana, kondisi tersebut akan semakin memburuk bila tidak ditangani dengan baik dan
dideteksi sejak awal dengan cara melakukan identifikasi masalah pada korban bencana alam. Gejala-gejala
yang dirasakan anak dan remaja dirumah maupun disekolah. Sehingga hal ini akan membutuhkan
penanganan lebih lanjut, seperti pelayanan Kesehatan pasca bencana seperti kegiatan trauma healing.

Hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9
SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti pada siswa/i kelas 9 SMPN 1
Warungkondang Kab. Cianjur dengan 78 responden (100%) di dapatkan melalui uji statistik terdapat
hubungan yang bermakna antara hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan
pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur. Dalam penelitian ini dilakukan uji korelasi
dengan statistik menggunakan uji somers’D di dapatkan p value = 0,029 < α 0,05 dengan nilai Correlation
Coefficient = 0,396 yang artinya kekuatan hubungan variabel di kategorikan moderate/sedang sehingga
dapat disimpulkan hipotesis penelitian ini Ha diterima artinya ada hubungan kesiapsiagaan bencana gempa
bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur. Menurut
peneliti, kesiapsiagaan sangat dibutuhkan dan berpengaruh pada kecemasan. Semakin siswa/i siap maka
kecemasan akan berkurang. Untuk itu berbagai program kegiatan perlu di lakukan untuk dapat
meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi kecemasan seperti pelatihan siaga bencana, penyuluhan
bencana dan melibatkan pihak sekolah dan siswa/i pada program siaga bencana. Tingkat kesiapsiagaan
bencana pada orang yang pernah mengikuti pelatihan atau penyuluhan berkaitan dengan kebencanaan lebih
tinggi dari pada orang yang tidak mengikuti pelatihan atau penyuluhan kebencanaan. Menurut peneliti
tingkat kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan memiliki hubungan yang sangat
signifikan atau hubungan yang sangat kuat dan kearah variabel positif.

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 67
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Seja et al, 2022 menunjukkan bahwa sebanyak 17
responden (40,5%) dalam kategori tidak siap dan sebanyak 33 responden (78,6%) dalam kategori sedang.
Hasil uji spearman rank diperoleh nilai p value = 0,004 dibandingkan α 0,05, karena 0,004 < 0,05 maka H0
ditolak dan Ha diterima yang artinya ada hubungan antara tingkat kesiapsiagaan dengan tingkat kecemasan.
Nilai Correlation Coefficient sebesar -0,430 yang artinya terdapat hubungan antara tingkat kesiapsiagaan
dengan tingkat kecemasan dalam kategori rendah. Hubungan antara tingkat kesiapsiagaan dan tingkat
kecemasan berlawanan atau tidak serasi yang dapat diartikan bahwa semakin kurang tingkat kesiapsiagaan
maka tingkat kecemasan semakin meningkat. Sebaliknya, semakin baik tingkat kesiapsiagaan maka tingkat
kecemasan semakin berkurang. Menurut Hadi, et al 2019, kesiapsiagaan merupakan upaya dan kegiatan
yang dilakukan secara cepat dan efektif sebelum terjadi bencana alam, saat bencana dan setelah
bencana.(tujuan kesiapsiagaan). Upaya ini sangat diperlukan untuk mengurangi dampak dari bencana alam
seperti kecemasan.

SIMPULAN
1. Tingkat kesiapsiagaan dari 78 responden (100%) menunjukkan bahwa sebanyak 65 orang atau 83,3%
memiliki tingkat kesiapsaiagaan dengan kategori kurang siap, 13 orang atau 16,7% memiliki
kesiapsiagaan dengan kategori sangat siap.
2. Tingkat kecemasan dari 78 responden (100%) menunjukkan bahwa 43 orang atau 55,1% memiliki
tingkat kecemasan dengan kategori tidak ada kecemasan, 9 orang atau 11,5% memiliki tingkat
kecemasan dengan kategori kecemasan ringan, 11 orang atau 14,1% memiliki tingkat kecemasan
dengan kategori kecemasan sedang, 14 orang atau 17,9% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori
kecemasan berat, 1 orang atau 1,3% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan sangat
berat.
3. Uji Somers’D diperoleh koefisien korelasi p value = 0,029 < α 0,05 dengan nilai Correlation
Coefficient = 0,396 yang artinya kekuatan hubungan variabel di kategorikan moderate/ sedang
sehingga dapat disimpulkan hipotesis penelitian ini Ha diterima artinya ada hubungan kesiapsiagaan
bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur

DAFTAR PUSTAKA
[1] Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB). (2012). Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh
Menghadapi Bencana. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
[2] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2017). Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan
Bencana. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
[3] Kurniawati, F., Astarani, K., Wahyu Astuti, V., Keperawatan Program Sarjana STIKESBaptis
Kediri, P. R., & Timur,

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 68
Nazla, Hery, Dinny / Jurnal Kesehetan Vol 11. No. 2 (2023) pp. 60 - 69

[4] J. (2022). KESIAPSIAGAAN ASEGANA (ANAK SEKOLAH TANGGAP BENCANA)


TERHADAP BENCANA GEMPA BUMI PADA SISWA DI SD PELITA BANGSA
SURABAYA. Pelita Abdi Masyarakat, 3(1). https://journal.pelitamedika.org/index.p hp/pam
[5] Supendi, P., Jatnika, J., Sianipar, D., Haidar Ali, Y., Heryandoko, N., Prayitno Adi, S., Karnawati,
D., Dwi Anugerah, S., Fatchurochman, I., Sudrajat Kelompok Kerja Sesar Aktif dan Katalog
Gempabumi Badan Meteorologi, A., & Geofisika, dan. (n.d.). Analisis Gempabumi Cianjur (Jawa
Barat) Mw 5.6 Tanggal 21 November 2022. https://inatews.bmkg.go.id/.
[6] Seja, M. E., & Herminsih, A. R. (2022). Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat MenghadapiBencana
Gempa Bumi Dan Tsunami Dengan Tingkat Kecemasan Masyarakat Di Dusun Wuring Leko
Kelurahan Wolomarang. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat, 9(1).
[7] Thoyibah, Z., Dwidiyanti, M., Mulianingsih, M., Nurmayani, W., Indra Wiguna, R., Studi
Keperawatan, P., Yarsi Mataram, S., Ilmu Keperawatan, D., Kedokteran, F., Diponegoro, U., &
Ilmu Keperawatan Fakultas Kesehatan, J. (2019). Gambaran Dampak Kecemasan dan Gejala
Psikologis pada Anak Korban Bencana Gempa Bumi di Lombok. In Journal of Holistic Nursing
and Health Science (Vol. 2, Issue 1). https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ hnhs
[8] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun (2007). Tentang Penanggulangan Bencana.
Wayan, N., Rahayuni, A., Made Mertha, I., Gusti, I., Rasdini, A., Kesehatan, P., & Denpasar, K.
(2022). EDUKASI DENGAN MEDIA PERMAINAN TEKA-TEKI SILANG DAN
PENGETAHUAN KESIAPSIAGAAN SISWA MENGHADAPI BENCANA.
[9] Zurriyatun, T., Meidiana, D., Misroh, M., Winda N., Reza, IW. (2019). Gambaran dampak
Kecemasan dan Gejala Psikologis pada Anak Korban Bencana Gempa Bumi di Lombok. Journal
of Holistic Nursing and Health Science , Volume 2, No.1, Juni 2019 (Hal. 31- 38). Available
Online at https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ hnhs
[10] Hatuwe, E. (2022). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kecemasan Pada Masyarakat
Pengungsian Pasca Gempa Bumi Di Desa Kamarian Kabupaten Seram Bagian Barat. JURNAL
JURRIKES Vol 1 No.1 | pISSN: 2828-9366, eISSN: 2828-9374, Hal 66-76.

Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 69

Anda mungkin juga menyukai