Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN BENCANA PADA BAYI DAN ANAK

OLEH

Kelompok 3 :
1. Kadek Ayu Ulan Sudariyanthini ( 193213020 )
2. Ni Nyoman Ayu Krisna Sari ( 193213037 )
3. Ni Putu Cintya Dewi ( 193213038 )
4. Ni Putu Eka Cintya Parwita ( 193213040 )
5. Putu Riska Pramuditha Dewi ( 193213049 )

KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji serta rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkah dan rahmat-
Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tentang “Laporan
pendahuluan Keperawatan Bencana Pada Bayi dan Anak”. Dengan harapan makalah ini dapat
membantu mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah Keperawatan Bencana. Selain itu tujuan
dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang pengetahuan keperawatan
bencana secara meluas. Sehingga besar harapan kami, makalah yang kami sajikan dapat menjadi
konstribusi positif bagi pengembang wawasan pembaca.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini belum sempurna dan masih perlu
perbaikan serta penyempurnaan, penyempurnaan, baik dari segi materi maupun pembahasan.
pembahasan. Oleh sebab itu penulis penulis akan menerima kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi penyempurnaan makalah ini dimasa mendatang. Demikianlah, semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat ikut memberikan sumbangan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Denpasar, 8 November 2022

Penulis
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN BENCANA PADA BAYI
DAN ANAK

A. BENCANA
1. Definisi Bencana
Bencana adalah suatu kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan antara
keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak negatif
yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan. Dalam kejadian tersebut, unsur yang
terkait langsung atau terpengaruh harus merespons dengan melakukan tindakan
luar biasa guna menyelesaikan sekaligus memulihkan kondisi seperti semula atau
menjadi lebih baik (Priambodo, S. Arie, 2009). Berdasakan UU No 24 Tahun 2007
dalam Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam, 2010, bencana didefinisikan sebagai
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Kejadian bencana seringkali saling berkaitan. Dengan kata lain, suatu bencana
dapat menjadi penyebab utama dari bencana lainnya yang potensial terjadi
dalam jangkauan wilayah tertentu. Misalnya, bencana gempa bumi dapat berkaitan
dengan gelombang pasang air laut (tsumani), tanah longsor, letusan gunung berapi,
semburan lumpur panas, atau bahkan bencana sosial (penjarahan) pasca bencana
(Priambodo, S. Arie, 2009).

2. Kategori Bencana
Secara garis besar ada tiga kategori bencana, sebagai berikut: (Priambodo, S. Arie.
2009).
a. Bencana alam, yakni bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi alamiah
alam semesta (angina: topan, badai, putting beliung; tanah: erosi, sedimentasi,
longsor, gempa bumi; air: banjir, tsunami, kekeringa; api: kebakaran, letusan
gunung berapi).
b. Bencana sosial, yakni bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sebagai komponen
sosial (instabilitas politik, sosial, dan ekonomi; perang; kerusuhan massal; terror bom;
kelaparan; pengungsian; dll).
c. Bencana kompleks, yakni perpaduan antara bencana sosial dana lam sehingga dampak
negatif bagi kehidupan (kebakaran; epidemi penyakit; kerusakan ekosistem; polusi
lingkungan, dll).

3. Skala Bencana
Dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana, tingkat bahaya, serta
risiko yang dapat ditimbulkan. Ada kalanya tingkat bahaya dan risiko yang ditimbulkan
bercampur menjadi satu. Besar kecilnya skala bencana tidak mudah dipastikan.

4. Penyebab Bencana
Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu alam dan manusia. Secara alami
bencana akan selalu terjadi dipermukaan bumi, misal tsunami, gempa bumi, gunung
meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke bumi (misal meteor), tidak adanya hujan pada
suatu lokasi dalam waktu yang relatif lama sehingga menimbulkan kekeringan, atau
sebaliknya curah hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi menimbulkan bencana banjir dan
tanah longsor. Bencana oleh aktivitas manusia adalah terutama akibat eksplorasi alam yang
berlebihan, eksplorasi ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Pertumbuhan ini mengakibatkan kebutuhan pokok dan non pokok meningkat, kebutuhan
infrastruktur meningkat Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam (2010).

B. DEFINISI BAYI DAN ANAK


Bayi merupakan individu yang berusia 0-12 bulan yang ditandai dengan pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat disertai dengan perubahan dalam kebutuhan zat gizi. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut definisi WHO, batasan
usia anak adalah sejak anak di dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan
Konvensi Hak- hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa
pada tanggal 20 Nopember 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal
1, yang dimaksud Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali
berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai
lebih awal (Kemenkes, 2014).

C. KERENTANAN BAYI DAN ANAK SAAT BENCANA


Korban bencana adalah orang atau kelompok yang menderita atau meninggal dunia akibat
bencana (Pemerintah Republik Indonesia 2008). Kerentanan berasal dari kata rentan yang
berarti mudah terkena penyakit (Kamus besar Bahasa Idonesia (KBBI) online. Kelompok
rentan merupakan mereka yang memiliki kebutuhan khusus yang berisiko karena kondisi
fisik, psikologis atau kesehatan. Kelompok rentan bencana adalah bayi, anak usia dibawah
lima tahun, anak- anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat dan orang lanjut usia.
Kelompok rentan merupakan mereka yang memiliki kebutuhan khusus yang berisiko
karena kondisi fisik, psikologis atau kesehatan. Pada kejadian bencana pertolongan
diprioritaskan pada masyarakat terkena bencana yang mengalami luka parah dan kelompok
rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan dan psikososial
(Pemerintah Republik Indonesia 2008).
Bayi dan anak dibawah lima tahun terutama rentan dalam keadaan bencana dikarenakan
kondisi fisik, psikologis dan kesehatan mereka sangat tergantung pada orang tuanya (orang
dewasa). Anak mengalami dampak lebih berat dari pada orang dewasa pada saat bencana.
Mereka sangat terpengaruh oleh peristiwa traumatis yang dialami (menyaksikan kematian,
terpisah dari orang tua, sebatang kara), juga merasakan dampak peristiwa yang dialami
orang tuanya, hal ini diakibatkan orang tua yang mengalami trauma akibat bencana
seringkali berkurang kemampuannya untuk mendukung dan melindungi anak secara
emosional, gangguan parah yang dialami orang tua seperti tindak kekerasan menjadi
trauma baru bagi anak serta anak belum memiliki kemampuan untuk mengekspresikan apa
yang mereka rasakan.
1. Kerentanan Psikologis
Menurut Rhodes et al. (2010) terpisah dari keluarga pada saat terjadi dan sesudah
bencana, kehilangan orangtua ataupun orang yang disayangi, tinggal dalam lingkungan
asing, menimbulkan gangguan psikis yang tanda- tandanya perilaku ngompol, gigit
jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah, tempertantrum, perilaku agresive
hiperaktif, ”baby talk ” muncul kembali ataupun semakin meningkat intensitasnya,
reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan somatis, gangguan tidur, masalah dengan
prestasi sekolah, menarik diri dari pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan
sering bertengkar dengan saudara, berkurangnya ketertarikan dalam aktifitas sosial dan
sekolah, anak menjadi pemberontak, gangguan makan, gangguan tidur, kurang
konsentrasi, dan mengalami PTSD dan dalam resiko yang besar terkena
penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.
2. Kerentanan Fisik
Jenis bencana memengaruhi kerentanan fisik anak, misalnya bayi di amerika pada
bencana badai Katrina banyak yang meninggal karena suhu yang terlalu panas,
sedangkan di beberapa tempat di Rusia, banyak remaja yang meninggal karena
kedinginan Anak yang tinggal dalam lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi
untuk meninggal ataupun menjadi cacat, misalnya akibat terkena tsunami, atau
terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah. Selain kematian dan cacat yang
diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal dalam lokasi pengungsian ataupun
darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti epidemic seperti diare, malnutrisi,
penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih dan sanitasi yang kurang
membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa dilakukan dengan
mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan anak. Kesehatan
reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia yang secara
biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri utnuk bisa hidup secara sehat.
Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan stress
orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada individu
yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp pengungsian
bahwa anak diperlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya.
Luka-luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri menjadi tanda penting adanya
kemungkinan kekerasan fisik pada anak.
3. Kerentanan Pendidikan
Banyak akses pendidikan yang hilang akibat bencana. Selain infrastruktur pendidikan
yang hancur, banyak guru ataupun tenaga pendidik yang mengungsi, akibatnya
pendidikan tidak bisa berjalan. Anak terpaksa tidak sekolah dalam jangka waktu
tertentu ataupun malah berhenti. Meskipun diadakan sekolah darurat, dan juga
kampanye untuk kembali bersekolah, banyak orangtua yang masih enggan
mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di sekolah relokasi karena mereka belum tahu
kepastian tempat tinggal mereka. Pada masyarakat dengan kultur budaya patriarki yang
kuat dimana anak perempuan lebih diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan
domestic, angka putus sekolah untuk anak perempuan lebih tinggi. Angka putus
sekolah yang tinggi menjadi tanda rentannya intervensi pendidikan anak paska
bencana.
Program pengurangan risiko untuk kelompok dengan kebutuhan khusus dilakukan
melalui program-program spesifik yang bertujuan untuk tidak meningkatkan
kerentanan tetapi sebaliknya mendukung ketangguhan kelompok rentan terhadap
bencana (BNPB 2010).
Perlindungan khusus bagi anak korban bencana dilaksanakan melalui pemenuhan
kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan,
belajar dan rekreasi, jaminan keamanan dan persamaan perlakuan (Pemerintah
Republik Indonesia 2002).

D. DAMPAK BENCANA PADA BAYI DAN ANAK


1. Dampak Fisik
Anak tidak saja secara emosi rentan pada efek bencana, mereka juga secara fisik sangat
lemah terhadap dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Lebih dari 18,000 anak
meninggal pada gempa di pakistan(International Federation of Red Cross and Red
Crescent Societies 2007), dan tsunami 2004 di samudra Hindia menyebabkan 60.000
anak meninggal(Oxfam International 2005). Jenis bencana juga mempengaruhi
kerentanan fisik anak. Misalnya bayi di amerika pada bencana badai Katrina banyak
yang meninggal karena suhu yang terlalu panas, sedangkan di beberapa tempat di
Rusia, banyak remaja yang meninggal karena kedinginan Anak yang tinggal dalam
lokasi yang rawan bencana berpotensi tinggi untuk meninggal ataupun menjadi cacat,
misalnya akibat terkena tsunami, atau terperangkap dalam reruntuhan tembok sekolah.
Selain kematian dan cacat yang diakibatkan oleh bencana, anak yang tinggal dalam
lokasi pengungsia ataupun darurat, sangat rentan terhadap berbagai penyakti epidemic
seperti diare, malnutrisi, penyakit pernapasan, dan penyakit kulit. Akses air bersih
dansanitasi yang kurang membuat bayi sangat mudah terkena diare. Deteksi dini bisa
dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap perubahan kondisi kesehatan
anak. Kesehatan reproduksi anak perempuan juga suatu hal yang perlu dicermati. Usia
yang secara biologis mulai matang membutuhkan piranti tersendiri untuk bisa hidup
secara sehat.
Faktor sosial juga menimbulkan kerentanan fisik pada anak. Dalam keadaan stress
orang tua ataupun lingkungan lebih mudah mengekspresikan emosinya pada individu
yang lebih lemah, dalam hal ini anak. Banyak ditemui di kamp pengungsian bahwa
anak dieprlakukan sebagai subyek kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya. Luka-
luka di bagian tubuh maupun perilaku menarik diri menjadi tanda penting adanya
kemungkinan kekerasan fisik pada anak.
2. Dampak Psikologis
Untuk anak- anak bencana bisa sangat menakutkan, fisik mereka yang tidak sekuat
orang dewasa membuat mereka lebih rentan tehadap ancaman bencana. Rasa aman
utama anak-anak adalah orang dewasa disekitar mereka (orang tua dan guru) serta
keteraturan jadwal. Oleh karena itu anak-anak juga sangat terpengaruh oleh reaksi
orang tua mereka dan orang dewasa lainya. Jika orangtua dan guru mereka bereaksi
dengan panik, anak akan semakin ketakutan. Saat mereka tinggal di pengungsian dan
kehilangan ketaraturan hidupnya. Tidak ada jadwal yang teratur untuk kegiatan
belajar, dan bermain, membuat anak kehilangan kendali atas hidupnya. Anak
mengalami kecemasan dan ketegangan yang dirasakan oleh orang dewasa di
sekitarnya. Dan seperti orang dewasa, anak mengalami perasaan yang tidak berdaya
dan tidak dapat mengontrol stres yang ditimbulkan oleh bencana. Tapi tidak seperti
orang dewasa, anak mempunyai pengalaman yang sedikit untuk membantu mereka
meletakkan situasi mereka saat ini ke dalam suatu perspetif. Children sense the anxiety
and tension in adults around them. Setiap anak mempunyai respon yang berbeda
terhadap bencana, tergantung pada pemahaman dan pengertian mereka, tetapi
sangatlah mudah melihat bahwa peristiwa seperti ini dapat menciptakan kecemasan
yang luar biasa pada semua anak karena mereka berpikir bahwa bencana adalah
sesuatu yan mengancam dirinya dan orang yang mereka sayangi. Terpisah dari
keluarga pada saat terjadi dan sesudah bencana, kehilangan orangtua ataupun orang
yang disayangi, tinggal dalam lingkungan asing, menimbulkan gangguan psikis yang
tanda-tandanya dapat dikenali dari uraian di bawah ini.
a. Kerentanan Psikologis Pada Anak Pra sekolah
Tanda-tanda anak pra sekolah (1-4 tahun) mengalami gangguan psikis adalah
adanya perilaku ngompol, gigit jempol, mimpi buruk, kelekatan, mudah marah,
temper tantrum, perilaku agresive hiperaktif, ”baby talk” muncul kembali ataupun
semakin meningkat intensitasnya (Norris et al. 2002).
b. Kerentanan psikologis Anak Usia Sekolah (5-12)
Anak usia ini menunjukkan adanya reaksi ketakutan dan kecemasan, keluhan
somatis, gangguan tidur, masalah dengan prestasi sekolah, menarik diri dari
pertemanan, apatis, enggan bermain, PTSD, dan sering bertengkar dengan saudara
(Mandalakas, Torjesen, and Olness 1999).
c. Kerentanan Psikologis Anak Usia 13 – 18 tahun
Pada remaja, kejadian traumatis akan menyebabkan berkurangnya
ketertarikan dalam aktifitas sosial dan sekolah, anak menjadi pemberontak,
gangguan makan, gangguan tidur, kurang konsentrasi, dan mengalami PTSD dan
dalam resiko yang besar terkena penyalahgunaan alkohol ataupun prostitusi.
Selain dampak psikologis dan fisik, ada beberapa factor lain yang mempengaruhi
“wellbeing” anak paska bencana, Faktor resiko lainya yang mempengaruhi anak
adalah:
1. Kematian orangtua atau orang yang dicintai anak
Dalam kasus bencana tsunami Aceh, dimana banyak orangtua dan
keluarga yang meninggal, anak perempuan sangat rentan
terhadap praktek prostitusi, kawin muda, dan menjadi subyek pelecehan
seksual. Perdagangan anak juga menjadi isue pasca bencana ini, dimana
anak yang tidak punya orang tua disalah gunakan oleh pihak
yang bertanggungjawab untuk kepentingan lembaga tersebut.
2. Nonintegrated family – separated children
Pada saat terjadinya bencana banyak anak yang terpisah dari orangtuanya.
Banyak dari mereka tidak mengetahui keberadaan orangtua, anak batita
dan balita adalah anak dalam kategori berisiko tinggi dalam hal ini karena
mereka belum bisa menjelaskan jatidiri mereka, seperti nama orangtua,
asal-usul, dsb. Anak-anak ini kebanyakan dipelihara oleh orang yang
menemukan mereka atau tinggal dalam lingkungan pengungsian tanpa
perlindungan.
3. Kehilangan ”sense” of normality secara mendadak
Kehilangan rumah, masyarakat, dan juga teman tempat anak tumbuh
dalam lingkaran kehidupan sehari-hari menjadikan anak hidup dalam
situasi yang “tidak normal”. Kondisi pengungsian yang sama sekali
berbeda dari lingkungan normal anak menjadi factor resiko bagi anak
yang harus beradaptasi secara mendadak. Perubahan situasi yang baru
merupakan stressor bagi anak yang biasanya tumbuh dalam lingkungan
yang memberinya rasa nyaman.
E. PERAWATAN PADA BAYI DAN ANAK SAAT BENCANA
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok- kelompok rentan diatas,
petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu (Morrow,
1999 & Daily, 2010) :
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-
keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
b. bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
c. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
d. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi
e. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
f. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan bayi dan anak menurut
(Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010; Klynman et al.,
2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007):
1. Sebelum Bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
2. Saat Bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek tumbuh
kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak
disamakan dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian pelayanan
fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali
mereka
3. Setelah Bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin contohnya
waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian
depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang terpercaya
serta lingkunganyang aman untuk mereka.
Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis akibat
kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang
mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa
wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan. Sehingga
apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress berat dan
gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutukan dalam
penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang dapat
dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan dengan
sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya
diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan
pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan
mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa
bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak
tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya.
Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.
Anak-anak memerlukan perawatan khusus yang berbeda dari orang dewasa,
terutama karena berkaitan dengan tanggap darurat terhadap peristiwa radiasi skala
besar. Masa kanak-kanak dan remaja adalah tahap pertumbuhan dan
perkembangan yang berbeda dan unik sehingga menimbulkan kerentanan, variasi
biologis, perbedaan fisiologis, dan kebutuhan perkembangan. Skrining,
dekontaminasi, strategi pengobatan, dan penggunaan tindakan pencegahan medis
harus dilakukan dengan memperhatikan perbedaan ini. Menanggapi bencana
radiasi yang berdampak pada anak-anak memerlukan evaluasi dan respon yang
cepat oleh penyedia layanan kesehatan yang dilengkapi dengan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan untuk menangani kebutuhan kesehatan fisik,
emosional, dan mental anak secara tepat. Anak-anak memiliki kelenjar tiroid yang
cukup kecil itu dapat mengumpulkan dosis.
DAFTAR PUSTAKA

Janine M. Schroeder, MA;1 Melissa A. Polusny, PhD2 (2004) Risk Factors for Adolescent
Alcohol Use Following a Natural Disaster http://pdm.medicine.wisc.edu Prehospital and
Disaster Medicine Schroeder, Polusny 123

Kadoatie, Robert J & Syarief, Roestam. (2010). Tata ruang Air. Yogyakarta: C.V Andi OFFSET.

Kemenkes, 2012. PEDOMAN KEGIATAN GIZI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA,


Jakarta: Dirjen Bina Gizi dan KIA. Available at: http://gizi.depkes.go.id/wp-
content/uploads/2012/11/Buku-Pedoman-Kegiatan- Gizi-dalam-Penanggulangan-
Bencana.pdf [Accessed October 15, 2017].

Kemenkes, 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (mengacu
pada Standar internasional) Revisi., Jakarta: Pusat Penanggulangan Krisis
Kesehatan Kemenkes RI.

Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster Report 2007: Focus
on Discrimination. Geneva, Switzerland: International Federation of Red Cross and
Red Crescent Societies.

Lauten, Anne Westbrook and Kimberly Lietz (2008). “A Look at the Standards Gap: Comparing
Child Protection Responses in the Aftermath of Hurricane Katrina and the Indian Ocean
Tsunami.” Children, Youth and Environments 18(1): 158-201. Available from:
http://www.colorado.edu/journals/cye.

Morris, Kerry-Ann N. and Michelle T. Edwards (2008). “Disaster Risk Reduction and
Vulnerable Populations in Jamaica: Protecting Children within the Comprehensive Disaster
Management Framework.” Children, Youth and Environments 18(1): 389-407. Available
from: www.colorado.edu/journals/cye.

Nursalam. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dam Keperawatan.
(Nursalam, Ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Priambodo, S. Arie. (2009). Panduan Praktis Menghadapi Bencana.Yogyakarta: Kanisius.

Plutchik, R 2003. Emotions and Life: Perspective from psychology, biology, and evolution.
Washington, DC:APA

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge, UK: The World
Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University Press

Anda mungkin juga menyukai