Disusun Oleh
Kelompok 6
COMPARTEMENT SYNDROME
A. PENGERTIAN
Menurut Kidd, Sturt, & Fultz (2010: 409) Compartement Syndrome adalah
kondisi kedaruratan yang terjadi ketika tekanan di dalam kompartemen otot
meningkat sampai tingkat yang memengaruhi sirkulasi mikrovaskular dan merusak
integritas neurovaskular. Setelah beberapa jam, tekanan jarigan interstitial meningkat
diatas dasar kapiler, yang mengakibatkan iskemia saraf dan jaringan otot
Menurut Noor (2016: 449) Compartement Syndrome adalah suatu kondisi
dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruang yang terbatas, yaitu
didalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan
intracompakrtemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan
oksigen jaringan sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan didalam
ruangan tersebut.
Compartement Syndrome dapat terjadi di empat lokasi, yaitu kompartemen
anterior (AC), kompartemen lateral (LC), Kompartemen posterior superfisial (SPC),
dan kompartemen posterior profunda (DPC). Dan kompartemen pada lengan yaitu
kompartemen volar (VC) serta kompartemen dorsal (DC). Dan tempat yang paling
umum terjadi yaitu empat kompartemen tungkai bawah, kompartemen interoseusa
tangan, dan kompartemen volar serta dorsal lengan bawah (Kidd, Sturt, & Fultz,
2010: 410).
B. ETIOLOGI
Penyebab Compartement Syndrome yang paling sering adalah cedera, dimana
45% kasus terjadi akibat fraktur dan 80% terjadi dianggota gerak bawah. Apapun
penyebab peningkatan tekanan local jaringan berpotensi menyebabkan kompartemen
sindrom yaitu sebagai berikut :
1. Penurunan volume kompartemen
a. Penutupan defek fasia
b. Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas.
2. Peningkatan tekanan struktur kompartemen
a. Perdarahan atau trauma vascular
b. Peningkatan permeabilitas kapiler
c. Penggunaan otot yang berlebihan
d. Luka bakar
e. Operasi
f. Gigitan ular
g. Obstruksi vena
h. Sindrom nefrotik
i. Infus yang infiltrasi
j. Hipertrofi otot
3. Peningkatan tekanan eksternal
a. Balutan yang terlalu ketat
b. Berbaring diatas lengan
c. Gips (Noor, 2016: 450)
C. PATOFISIOLOGI
Sindrom kompartemen melibatkan hemostatis jaringan lokal normal yang
menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan
nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan terus
meningkat hingga tekanan arteriolar intramuskular bawah meninggi. Pada titik ini,
tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler, menyebabkan kebocoran
kedalam kompartemen sehingga tekanan (pressure) dalam kompartemen makin
meningkat. Penekanan saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat.
Metsen memperlihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan
vena akan meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam
keadaan ini penghantar oksigen juga akan terhenti sehingga terjadi hipoksia jaringan
(pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka akan terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Ada tiga teori tentang
penyebab iskemia, yaitu:
1. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen.
2. Teori of critical closing pressure. Akibat diameter yang kecil dan tekanan mural
arteriol yang tinggi adalah tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan
arteriol-tekanan jaringan), keadaan ini dibutuhkan untuk memelihara patensi.
Bila tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun, perbedaan tidak
ada, yaitu crittical closing pressure dicapai, arteriol akan menutup.
3. Karena dinding vena yang tipis, vena akan kolaps bila terkanan jaringan melebihi
trekanan vena. Bila darah mengalir secara kontinu dari kapiler tekanan vena
secara kontinu akan meningkat pula sampai melebihi tekanan jaringan dan
drainase vena dibentuk kembali.
Sementara itu, respons otot terhadap iskemia adalah dilepaskannya histamin
lilke substans(HLS) yang mengakibatkan dilatasi kapiler dan yang mengakibatkan
dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas endotel. Hal ini berperan penting pada
transudasi plasma dengan endapan sel darah merah ke intramuskular dan menurunkan
mikro sirkulasi. Otot bertambah berat (peningkatan lebih dari 50%) (Noor, 2016:450-
451).
TRAUMA/EXCERCISE
Edemal
PeuiugLatau
hem atom IoLaI
teLauau
(semaLiu iutraLompartemeu
bertambah)
Gaugmau aIirau
UsLemia jariugau pembmImh darah
(dapat terjadi
Lematiau seI) (pembmImh darah
LoIaps)
F. KOMPLIKASI
Apabila compartement Syndrome tidak mendapatkan penanganan dengan
segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:
1. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
2. DVT (Deep Venous Tromboliticum)
3. Venous Tromboemboli
4. PE (Polietilena) (Smeltzer, 2013)
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari terapi kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis
dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan bedah
dekompresi. Tindakan non operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti
menghilangkan selubang eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil, maka tindakan
operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikais mutlak untuk oprasi
dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen
memiliki iundividualitas yang berpengaruh kepada cara untuk menanganinya.
Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, tetapi kompartemen sindrom
sederhana yaitu fasiotomi kompoartemen yang terlibat. Walaupun fasiotomi
disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing (waktu
penentuan pemberian suatu tindakan), masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju
bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasiotomi. Penanganan sindrom kompartemen adalah sebagai berikut:
1. Terapi medikal atau non operatif.
Pemilihan secara medikal terapi digunakan apabila masih menduga timbulnya
suatu sindrom kompartemen
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian
kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran
darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus dibuka dan pembalit
konstriksi dilepas
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian antiracun dapat menghambat
perkembangan sindrom kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik, dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dasn mereduksi sel otot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi bedah
Terapi operarif untuk sindrom kompartemen apabila tekanan intrakompartemen
lebih dari 30 mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan segera dilakukan
fasiotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot.
Apabila tekanan kurang dari 30 mmHg, tungkai dapat diobservasi dengan cermat
dan diperiksa lagi di jam jam berikutnya, jika keadaan tungkaiu tersebut membaik,
evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan hingga bahaya terlewati. Bila tidak
ada perbaikan, atau tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera
dilakukan. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam (Noor,
2016: 453-454).
Jika dicurigai,ukur tekanan kompartemen dengan jarum kateter side port/slit
atau dengan alat pengukur tekanan. Tekanan darah diastolik dikurangi tekanan
kompartemen harus > 30 mmHg. Manajemennya meliputi hal berikut:
a. Lepaskan semua perangkat yang terpasang (misal, longgarkan gips dan
lepaskan bidai).
b. Pertahankan stabilitas hemodinamika untuk mencegah hipotensi.
c. Fasciotomy dapat dilakukan disamping tempat tidur jika pasien tidak stabil atau
lebih baik dikamar operasi.
1) Fasciotomy melepaskan tekanan didalam kompartemen dan memberikan
ruang pada otot serta jaringan lunak untuk membengkak.
2) Sering kali Fasciotomy empat kompartemen diperlukan utnuk secara efektif
melepaskan kompartemen.
3) Biarkan luka terbuka sampai bengkak berkurang ; pasang balutan steril atau
lebih baik lagi pasang alat penutup dibantu vakum untuk mempertahankan
agar daerah yang terbuka tetap lembab.
d. Ketika pembengkakan berkurang, penutupan dapat berupa penutupan primer
tertunda atau tandur kulit ketebalan terbelah.
1) Alat penutup yang dibantu vakum memperkecil luka dengan tujuan
penutupan tanpa tandur.
2) Terdapat alat penutup lainnya yang dapat digunakan untuk mengencangkan
tepi luka secara perlahan, merapatkan tepi luka secara perlahan, merapatkan
tepi luka sampai diperoleh penutupan.
3) Tetapi oksigen hiperbarik membantu oksigenasi jaringan dan mempercepat
penyembuhan luka (Nayduch, 2014: 427).
Kompartemen sindrom dengan operasi fasciotomy
3. Pencegahan
Pencegahan Compartement Syndrome dimulai dengan langkah-langkah rutin
sederhana.
a. Jaga kesehatan anatomis
b. Imobilisasi fraktur/dislokasi
c. Jangan meninggikannya melewati jantung karena
menyebabkan hipotensi relatif pada ekstremitas
d. Tinggikan ekstremitas yang cedera sejajar dengan jantung bukan diatas jantung
e. Pantau dengan sering sensasi dan denyut.
f. Pantau gips, bidai, prangkat traksi untuk adanya pembengkakan dan denyut.
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Meliputi jenis kelamin, umur, demografi, agama, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, dll
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasusini merupakan rasa nyeri yang dialami
oleh klien. Pengkajian mengenai nyeri dilakukan dengan
a. Proνoking, merupakan peristiwa apa yang bisa mencetuskan nyeri yang
dirasakan oleh klien
b. Quality, seperti apa nyeri yang sedang dirasakan oleh klien saat ini
c. Region, tempat dimana rasa nyeri itu terjadi
d. Seνerity, skala nyeri yang dirasakan oleh klien
e. Time, berapa lama nyeri yang dirasakan oleh klien biasanya
berlangsung
3. Status kesehatan
a. Riwayat penyakit dahulu
Terdapat riwayat penyakit mengenai kelainan tulang, tuberkulosis, riwayat
jatuh, dan lain ‛ lain
b. Riwayat penyakit sekarang
Terjadinya fraktur tertutup yang menyebabkan terjadinya penigkatan tekanan
kompartemen, pemasangan gips aatau elastic bandage yang terlalu ketat,
terkena sengatan hewan berbisa, cedera ketika olah raga
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang dialami oleh klien
saat ini seperti kelainan tulang, tuberkulosis
4. Pengkajian keperawatan
a. Aktivitas dan Latihan
Lari, mengangkat beban yang terlalu berat, sering beraktivitas dengan
mengandalkan kekuatan fisik, kurang istirahat
5. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: terdapat edema di bagian kompartemen ekstrimitas atas dan
bawah, klien terlihat lemah, tekanan darah >140/90 mmHg, peningkatan nadi,
peningkatan RR
a. Ekstrimitas
Ekstrimitas terlihat membiru atau sianosis, terdapat edema pada kompartemen
di ekstrimitas, terdapat nyeri tekan, tonus otot buruk, warna kulit mengkilap di
ekstrimitas yang terkena, tidak ditemukan denyut nadi atau pulsasi pada
ekstrimitas yang terkena.
b. Kulit dan kuku
Terlihat sianosis, tidak ada clubbing finger, akral teraba dingin
6. Terapi
Terapi atau pengobatan yang dijalani oleh klien
7. Pemeriksaan penunjang
a. Rontgen
b. MRI
B. DIAGNOSA
1. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan sindrome kompartemen
2. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan kompartemen
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
C. INTERVENSI
D. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tahap keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat
harus mengetahui berbagai hal seperti bahaya fisik dan perlindungan pada klien,
tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosesdur tindakan, pemahaman tentang hak-
hak pasien serta memahami tingkat perkembangan pasien.
Implementasi mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja
aktivitas sehari-hari. Setelah dilakukan, validasi, penguasaan keterampilan
interpersonal, intelektual dan tehnik intervensi harus dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan
dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan.
E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan antara teori dengan kasus mengacu pada tujuan
diagnosa keperawatan yang diangkat sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan,
evaluasi keperawatan dilakukan dengan evaluasi SOAP.
DAFTAR PUSTAKA
Lukman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Muskuloskletal. Jakarta:
Salemba Medika
McRae, Ronald and Max Esser. 2008. Practical Fracuture Treatment. British: Elseiver
Churchill Livingstone
Noor, Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuluskletal. Jakarta: Salemba Medika
Lemone, Priscilla., Burke, Karen M., Bauldoff, Gerene. 2015. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Edisi 5. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G., Hinkle, Janice L., Cheever, Kerry H. 2013. Buku
Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Edisi I. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatyan
Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Interνensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Edisi I. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatyan
Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi I. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatyan Perawat Nasional Indonesia