ASUHAN KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT ‘COMPARTEMENT SYNDROM”
KELOMPOK 9
MATA KULIAH
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
DOSEN
NS. FERDINAND KOAMPA, S.KEP., M.KES
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA MANADO
2021
KATA PENGANTAR
Daftar isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Bab II Pembahasan
A. Definisi
B. Etiologi
C. klasifikasi
D. Patofisiologi
E. pathway
F. manifestasi klinis
G. komplikasi
H. penatalaksanaan
I. pemeriksaan fisik
Bab III Teori Asuhan keperawatan
A. pengkajian
B. Diagnosa keperawatan
C. Intervensi keperawatan
Bab IV Jurnal
A. Analisis jurnal I
B. Analisis jurnal II
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Susunan otot manusia terdiri dari kelompok- kelompok otot yang
dipisahkan oleh sebuah lapisan tebal yang disebut fascia. Kelompok-
kelompok otot ini terletak di ruangan yang dikenal dengan istilah
kompartemen. Apabila tekanan dalam ruang tertutup ini meningkat
sampai tingkat tertentu, akan muncul tanda dan gejala yang disebut
sindrom kompartemen.
Daerah ekstermitas memiliki banyak kompartemen yang didalamnya
terdapat otot,saraf,dan pembuluh darah. Itu semua diselubungi oleh
membran yang keras dan tidak elastis yang disebut dengan fasia.
Kompartemen sindrom terjadi apabila terjadi peningkatan tekanan dalam
kompartemen. (ENA,2000:533) Sindrom Kompartemen merupakan suatu
kondisi yang bisa mengakibatkan kecacatan hingga mengancam jiwa
akibat terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan
terbatas yakni kompartemen osteofasia yang tertutup. Sebagian besar terjadi
pada daerah lengan bawah dan kaki. Sehingga mengakibatkan berkurangnya
perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. (ENA,2000:533)
Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi
jaringan dalam otot kurang yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini
bisa disebabkan karena, penurunan kompartemen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang
menjerat,peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagi masalah (Smeltzer & Bare, 2001).
Insiden sindrom kompartemen tergantung pada traumanya.Pada fraktur
humerus atau fraktur lengan bawah, insiden dari sindrom kompertemen
dilaporkan berkisar antara 0,6-2%. Prevalensi sindrom kompartemen
meningkat pada kasus yang berhubungan dengan kerusakan vaskuler sindrom
kompartemen yang sesungguhnya mungkin lebih besar dari yang dilaporkan
karena sindrom kompartemen tersebut tidak terdeteksi pada pasien yang
keadaan sangat buruk(Paula, Richard 2009).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kompartemen sindrom merupakan suatu area di dalam tubuh dimana otot, syaraf, dan
pembuluh darah dibungkus oleh jaringan seperti tulang dan fasia (jaringan
pembungkus organ). Kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana
terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni
kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini dapat mengawali terjadinya
kekurangan oksigen akibat penekanan pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan diikuti dengan kematian
jaringan.
Menurut Salter, kompartemen sindrom adalah peningkatan tekanan dari suatu
edema progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan
bawah maupun tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan kaki) yang
secara anatomis menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf
intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakkan jaringan
intrakompartemen.
Sindrom kompartemen
Deformitas
Gangguan integritas kulit Putus arteri / vena
Gangguan fungsi
perdarahan
Resiko syok
F. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang terjadi pada kompartemen sindrom dikenal dengan 5P yang secara
umum terjadi pada ekstremitas, yaitu :
1. Pain (nyeri), nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting.
Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-
anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya).
Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
4. Parastesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis, merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
G. Komplikasi
A. Terapi
1. Terapi medical/non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnose kompartemen masih dalam
bentuk dugaan sementara, meliputi :
Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan
ketinggian kompartemen yang minimal,elevasi dihindari karena
dapat menurunkan aliran darah dan akan memperberat iskemi
Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus dibuka dan
pembalut kontriksi harus dilepas
Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindrom kompartemen
Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
Pada peningkatan isi kompartemen, diuretic dan pemakaian
manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen, manitol mereduksi
edema seluler, dengan memproduksi kembali energy seluler
yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui
kemampuan dari radikal bebah
2. Terapi bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai
>30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan
dengan memperbaiki perfusi otot.
I. Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium
1. Comprehensive metabolic panel (CMP)
Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan
keseimbangan kimia tubuh dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada
semua proses fisik dan kimia dalam tubuh yang menggunakan energy.
2. Complete blood cell count (CBC)
Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin,
Hematokrit, Leukosit (White blood cell / WBC), Trombosit (platelet),
Eritrosit (Red blood cell / RBC), indeks Eritrosit (MCW, MCH, MCHC),
Laju endap darah atau Erithrocyte Sedimentation Rate (ESR) , Hitung
jenis leukosit (diff count) platelet distribution width (PDW), Red Cell
Distribution Width (RDW)
Amylase and lipase assessment
Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aptt)
bila pasien diberi heparin
Cardiac marker test (tes penanda jantung)
Urinalisasi and urine drug screen
Pengukuran level serum laktat
Arterial blood gas (ABG) : cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat
dan basa
Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
Serum myoglobin
Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak
membantu dalam menentukan terapi pasiennya
Urin awal : bila ditemukan myologin pada urin, hal ini dapat
mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis
B . Imaging
1 . Rontgen : pada ekstremitas yang terkena
2. USG : USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam
memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT)
BAB III
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian umum
- Klien tampak sakit berat, ditandai dengan meringis dan berteriak-
teriak
Riwayat penyakit
- Keluhan utama
Klien mengatakan nyeri di bagian kaki, merasa pusing dan takut
Riwayat penyakit sekarang
- Pukul 15.00 klien mengeluh nyeri di bagian kaki, pusing dan takut.
Serta klien berteriak-teriak. Terdapat bengkak di bagian kaki kiri,dan kedua tangan
terdapat luka dan perdarahan yang mengalir dari luka.
Riwayat penyakit dahulu
- Klien tidak mempunyayi riwayat penyakit seperti hipertensi, TBC, stroke, dll.
Riwayat penyakit keluarga
- Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit yang sama
B. Triage
Mengancam nyawa akan mati tanpa tindakan dan evaluasi segera, harus
didahulukan langsung ditangani. Area resusitasi. Waktu tunggu 0 menit, maka dapat
digolongkan P1(emergency).
C. Primary Survey
Pengkajian primer mempunyai tujuan untuk mengetahui dengan segera kondisi yang
mengancam nyawa paisen dilakukan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik)
difokuskan pada airway, Breathing, Circulation (ABC).
yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada airway, Breathing, Circulation (ABC).
A. (Airway)
Jalan nafas adalah sumbatan jalan atas (larynx, pharinx) akibat cedera inhalasi yang
ditandai kesulitan bernafas atau suara nafas yang berbunyi stridor hoarness. Tindakan
dengan membersihkan jalan napas, memberikan oksigen, trakeostomi, pemberian
kortikosteroid dosis tertinggi dan antibiotika.
B. (Breathing)
Kemampuan bernafas, ekspansi rongga dada dapat terhambat karena nyeri atau eschar
melingkar di dada. Tindakan yang dilakuakan kaji dan monitor kemampuan bernafas,
memberikan oksigen, melakukan tindakan kedaruratan jalan napas agresif.
C. (Circulation)
Status volume pembuluh darah. Keluarnya cairan dari pembuluh darah terjadikarena
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah (jarak antara sel endoteldinding pembuluh
darah).
D. (Disability)
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1) A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
2) V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
3) P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal
yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
4) U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal
E. Ekspose, Examine dan Evaluate
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
terjadinya gagal napas, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
1. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dada dan ekstremitas pada pasien
2. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau
kritis
D. Secondary Survey
Secondary Assessment survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan dengan teknik Body Sistem.
1. Breathing ( B1 )
Bagaimana pernafasannya, reguler/tidak, bagaimana kesimetrisannya, bagaimana
suaranya apakah terdapat suara tambahan. Apakah terdapat pergerakan otot
antar rusuk, bagaimana gerakan dada, bagaimana suaranya apakah ada
pembesaran dada.
2. Blood ( B2 )
Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir
menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyababkan
kondisi hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami defisit, timbul
ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan
3. Brain (B3 )
Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat
berkisar dari sakit kepala, sampai koma, hingga kematian
4. Bladder (B4)
Pengeluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan aliran darah
ke ginjal dan sekresi hormone antideuretik serta aldosterone
5. Bowel (B5)
Adanya resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi dan mual.
Selain itu pembentukan ulkus gastrduodenal juga dikenaldengan curling’s biasanya
merupakan komplikasi utama dari luka bakar
6. Bone (B6)
Penderita dapat pula mengalami trauma misalnya mengalami patah tulang
punggung atau spine.
E. Analisa data
Tindakan
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respons nyeri verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Kontrol lingkungan yang memperat rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredahkan nyeri
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian anakgetik, jika perlu
Tindakan
Observasi
- Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan
kekuatan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
- Monitor status oksigen (oksimetri nadi , AGD)
- Monitor status cairan ( masukan dan haluaran,
turgor kulit, CRT)
- Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
- Periksa riwayat alergi
Terapeutik
- Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94&
- Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika
perlu
- Pasang jalur IV, jika perlu
- Pasang kateter urine untuk menilai produksi
urine, jika perlu
- Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi
Edukasi
- Jelaskan penyebab/faktor resiko syok
- Jelaskan tanda dan gejala awal syok
- Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan
tanda dan gejala awal syok
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
- Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
- Kolaborasi pemberian tranfusi darah, jika perlu
- Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu
Tindakan
Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
sebelum memulai mobilisasi
- Monitor kondisi umum selama melakukan
mobilisasi
Terapeutik
- Fasilitasi aktifitas mobilisasi dengan alat bantu
- Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dengan meningkatkan pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus
dilakukan
BAB IV
JURNAL
A. ANALISIS JURNAL 1
Tahun 2020
tahun 2017
A. Kesimpulan
Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi yang bisa mengakibatkan kecacatan hingga
mengancam jiwa akibat terjadi peningkatan tekanan interatitial dalam sebuah ruangan terbatas
yakni kompartemen osteofasia yang tertutup. Sebagian besar terjadi pada daerah lengan bawah
dan kaki sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan.
Emergency Nurses Association. 2005. Sheehy’s Manual Of Emergency Care. Edisi ke-6.
Philadelphia: Elsevier Mosby
Smeltzer, Suzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 1. EGC. Jakarta .