PENDAHULUAN
1
Compartment Syndrome, trauma lainnya juga dapat menjadi penyebabnya. Sekitar 50
tahun setelah Von Volkman menggemukakan gambarannya, Jepson menggambarkan
percobaannya mengenai kontraktur iskemi pada paha anjing bagian belakang
dikarenakan hipertensi yang terjadi karena obstruksi vena.Pada tahun 1941, Bywaters
dan Beall saat bekerja menangani korban di Blitz London, melaporkan mengenai
trauma karena tabrakan secara signifikan. Kedua perintis ini mengungkapkan
mekanisme dan konsekuensi dari Compartment Syndrome. Tahun 1970-an, pentingnya
mengukur tekanan intrakompartemen menjadi jelas.
Owen et al menerbitkan serangkaian artikel yang menggambarkan penggunaan
tekanan sumbu kateter untuk pengukuran dan kemudian dapat mendokumentasikan
tekanan kompartemen yang tinggi dalam berbagai keadaan. Hampir bersamaan,
Matsen menerbitkan temuan-temuan, yang sering dipakai dalam literature sekarang.
Lokasi yang dapat mengalamiCompartment Syndrome telah ditemukan di : tangan,
lengan bawah, lengan atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir
semua cedera dapat menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat.
Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada
ketika berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas. Konsekuensi dari
terlewatnya pemeriksaan dapat meningkatkan tekanan intra-kompartemen.(2)
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari referat ini untuk lebih mengetahui tentang Compartment
Syndrome, definisi, cara mendiagnosa, manajemen, prognosa, komplikasi, dan
pencegahan yang dapat kita lakukan untuk kasus tersebut.(1)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut Salter, Compartment syndrome adalah peningkatan tekanan dari suatu
edema progresif di dalam kompartemen osteofasial yang kaku pada lengan bawah
maupun tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan kaki) yang secara anatomis
menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf intrakompartemen sehingga dapat
menyebabkan kerusakkan jaringan intrakompartemen.(1)
Menurut Michael S. Bednar et al, compartment syndrome adalah kondisi yang
terjadi karena peningkatan tekanan di dalam ruang anatomi yang sempit, yang secara
akut menggangu sirkulasi dan yang kemudian dapat menggangu fungsi jaringan di
dalam ruang tersebut.(2)
Menurut Stephen Wallace dan 1, compartment syndrome adalah sindrom yang
ditandai dengan gejala 7P yaitu pain (nyeri), paresthesi, pallor (pucat), puffiness (kulit
yang tegang), pulselessness (hilangnya pulsasi), paralisis, dan poikilotermis (dingin).(1,3)
Menurut Andrew L. chen, diagnosis compartment syndrome dapat ditegakkan jika
pada pemeriksaan ditemukan tekanan intrakompartemen yang meningkat di atas 45
mmHg atau selisihnya dengan tekanan diastolik kurang dari 30 mmHg.(4)
Dapat disimpulkan bahwa compartment syndrome adalah sindrom yang disebabkan
oleh peningkatan tekanan dari suatu edema progresif di dalam kompartemen osteofasial
yang kaku pada lengan bawah maupun tungkai bawah (di antara lutut dan pergelangan
kaki) yang secara anatomis menggangu sirkulasi otot-otot dan saraf-saraf
intrakompartemen sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan di dalam
kompartemen tersebut dan pada pemeriksaan ditemukan tekanan intrakompartemen
yang meningkat di atas 45 mmHg atau selisihnya dari tekanan diastolik kurang dari 30
mmHg serta ditandai dengan tanda dan gejala berupa 7P yaitu pain (nyeri), paresthesi,
3
pallor (pucat), puffiness (kulit yang tegang), pulselessness (hilangnya pulsasi), paralisis,
dan poikilotermis (dingin).
2.2 Epidemiologi
Compartment syndrome paling sering melibatkan kompartemen flexor dari lengan
bawah dan kompartemen tibia anterior dari tungkai bawah (meskipun dapat terjadi pada
kompartemen osteofsial manapun).(1)
Insiden compartment syndrome tergantung pada traumanya. Pada fraktur humerus
atau fraktur lengan bawah, insiden dari compartment syndrome dilaporkan berkisar
antara 0,6-2%. Pasien dengan kombinasi ipsilateral fraktur humerus dan lengan bawah
memiliki insiden sebesar 30%.Secara keseluruhan, prevalensi compartment syndrome
meningkat pada kasus yang berhubungan dengan kerusakan vascular. Abouezzi et al
melaporkan fasiotomi dilakukan pada 29,5% kasus arterial injuries, 15,2% kasus
venous injuries, dan 31,6% pada kasus dengan kombinasi keduanya; kasus-kasus
tersebut tidak melibatkan tindakan memperbaiki vena ataupun ligasi. Feliciano et al
4
melaporkan secara keseluruhan, 19% pasien dengan kerusakan vaskuler memerlukan
fasiotomi.(6)
DeLee dan Stiehl menemukan bahwa 6% dari pasien dengan open fraktur tibia
berkembang menjadi compartment syndrome sedangkan pada closed fraktur tibia hanya
1,2%.(7)
Insidensicompartment syndrome yang sesungguhnya mungkin lebih besar dari yan
dilaporkan karena sindrom tersebut tidak terdeteksi pada pasien yang keadaanya sangat
buruk.Prevalensinya juga lebih besar pada pasien dengan keusakkan vascular.Feliciano
et al melaporkan secara keseluruhan, 19% pasien dengan kerusakan vaskuler
memerlukan fasiotomi, namun pada pasien tanpa fasiotomi diperkirkan angka
kejadiannya sekitar 30%. Insiden yang sesungguhnya mungkin tidak akan diketahui
karena banyak ahli bedah melakukan profilaksis fasiotomi ketika melakukan
perbaikkan vaskuler pada pasien risiko tinggi.(7)
Di Amerika, prevalensi sesungguhnya dari compartment syndrome belum diketahui;
namun sebuah penelitian menemukan angka kejadian anterior chronic exertional
compartment syndrome (CECS) sebesar 14% pada individual yang mengeluhkan nyeri
tungkai bawah. Laki-laki dan perempuan presentasinya adalah sama dan biasanya
bilateral meskipun dapat juga unilateral. Chronic exertional compartment syndrome
(CECS) biasanya terjadi pada atlet yang sehat dan lebih muda dari 40 tahun. Atlet
dengan CECS yang meningkatkan latihannya dengan hebat dapat meningkatkan risiko
terjadinya eksaserbasi akut, demikian pula pada orang yang tidak aktif yang kemudian
memulai latihan yang serius.(8)
Secara internasional, prevalensi compartment syndrome belum diketahui.
2.3 Etiologi
1. Penyebab tersering dari compartment syndromes adalah adalah fraktur (tersering
pada fraktur supra kondiler humeri dengan kerusakan arteri brakhialis pada anak-
anak dan fraktur pada sepertiga proksimal tibia).(1)
2. bebat eksternal/pemasangan gips yang terlalu kompresif.(9)
5
3. traksi longitudinal yang berlebihan pada penatalaksanaan fraktur femur pada anak.(1)
4. soft tissue crush injuries(2)
5. cedera arterial dengan perdarahan lokal atau bengkak postiskemik.(2)
6. Koma karena obat yang menyebabkan tekanan pada arteri besar karena berbaring di
atas permukaan keras dengan posisi yang tidak nyaman dalam waktu yang lama.(1,2)
7. luka bakar.(2)
8. olah raga(4)
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari compartment syndrome terdiri dari dua kemungkinan mekanisme,
yaitu: berkurangnya ukuran kompartemen dan/atau bertambahnya isi dari kompartemen
tersebut. Kedua mekanisme tersebut sering terjadi bersamaan, ini adalah suatu keadaan
yang menyulitkan untuk mencari mekanisme awal atau etiologi yang sebenanya.Edema
jaringan yang parah atau hematom yang berkembang dapat menyebabkan
bertambahnya isi kompartemen yang dapat menyebabkan atau memberi kontribusi pada
compartment syndrome.
Tidak seperti balon, fasia tidak dapat mengembang, sehingga pembengkakan pada
sebuah kompartemen akan meningkatkan tekanan dalam kompartemen tersebut.
Ketika tekanan di dalam kompartemen melebihi tekanan darah di kapiler,
pembuluh kapiler akan kolaps. Hal ini menghambat aliran darah ke otot dan sel saraf.
Tanpa suplai oksigen dan nutrisi, sel-sel saraf dan otot akan mengalami iskemia dan
mulai mati dalam waktu beberapa jam. Iskemia jaringan akan menyebabkan edema
jaringan. Edema jaringan di dalam kompertemen semakin meningkatkan tekanan
intrakompartemen yang menggangu aliran balik vena dan limfatik pada daerah yang
cedera.Jika tekanan terus meningkat dalam suatu lingkaran setan yang semakin
menguat maka perfusi arteriol dapat terganggu sehingga menyebabkan iskemia jaringan
yang lebih parah.
6
TRAUMA/EXCERCISE
Edema/
Peningkatan
hematom lokal
tekanan
(semakin intrakompartemen
bertambah)
Ganguan aliran
Iskemia jaringan
pembuluh darah
(dapat terjadi
(pembuluh darah
kematian sel)
kolaps)
7
Acute compartment syndrome memerlukan waktu beberapa jam untuk berkembang.
Saraf perifer dapat bertahan dalam kompartemen hanya 2 sampai 4 jam setelah iskemia
terjadi, tetapi mereka mempunyai kemampuan untuk regenerasi. Otot dapat bertahan
sampai 6 jam setelah iskemia terjadi tetapi tidak dapat regenerasi. Nantinya, otot-otot
yang nekrosis akan digantikan oleh jaringan scar fibrosa padat yang secara bertahap
memendak dan menhasilkan kontraktur kompartemental atau Volkmann’s ischaemic
contracture.Jika tekanan tidak segera dihilangkan dengan cepat, ini dapat menyebabkan
kecacatan permanent atau kematian.
Chronic compartment syndrome ditandai dengan nyeri dan bengkak yang
disebabkan oleh olah raga.Hal dapat merupakan masalah besar bagi seorang atlet. Ini
akan membaik jika orang tersebut beristirahat. Hal ini biasanya terjadi di daerah tungkai
bawah. Biasanya diikuti oleh mati rasa atau kesulitan dalam menggerakkkan kaki.
Gejala akan hilang dengan cepat jika aktivitas dihentikan. Tekanan kompartemen akan
tetap tinggi sampai beberapa saat.
8
dengan meregangkan otot di dalam kompartemen dan dapat tidak hilang dengan
analgesik bahkan morfin. Penggunaan analgesia kuat yang tidak beralasan dapat
menyebabkan masking pada iskemia kompartemental.
o Paresthesia pada saraf kulit dari kompartemen yang terpengaruh adalah tanda
tipikal yang lain.
o Paralysis tungkai biasanya merupakan penemuan yang lambat.
o Pulselessness: catatan bahwa hilangya pulsasi jarang terjadi pada pasien, hal ini
disebabkan tekanan pada kompartemen syndrome jarang melebihi tekanan
arteri.
o Puffines: Kulit yang tegang, bengkak dan mengkilat.
9
Tes dilakukan dengan tujuan mengukur tekanan di dalam kompartemen.Metode
Whiteside dan system kateter Stic adalah metode terbaik untuk mengukur tekanan
intrakompartemen.Kateter Stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk
mengukur tekanan kompartemen secara terus menerus.Semua kompartemen pada
ekstremitas yang terlibat harus diukur tekanannya.
Pada kateter Stic, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan kateter melalui
celah kecil pada kulit ke dalam kompartemen otot.Sebelumnya kateter dihubungkan
dengan transduser tekanan dan akhirnya tekanan intra kompartemen dapat diukur.
Pada metode Whiteside, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan jarum yang
telah dihubungkan dengan alat pengukur tekanan ke dalam kompartemen otot.Alat
pengukur tekanan yang digunakan adalah modifikasi dari manometer merkuri yang
dihubungkan dengan pipa (selang) dan stopcock tiga arah.
Jika tekanan lebih dari 45 mmHg atau selisih kurang dari 30 mmHg dari diastole,
maka diagnosis telah didapatkan.Pada kecurigaan chronic compartment syndrome tes
ini dilakukan setelah aktivitas yang menyebabkan sakit.
2.7 Diagnosis
10
Gejala terpenting pada pasien yang sadar dan koheren adalah nyeri yang
proporsinya tidak sesuai dengan beratnya trauma.Nyeri pada regangan pasif juga
merupakan gejala yang mengarah pada compartment syndrome.Paresthesi berkenaan
dengan saraf yang melintang pada kompartemen yang bermasalah merupakan tanda
lanjutan dari compartment syndrome.Palpasi dapat menunjukkan ekstremitas yang
tegang dan keras.Pallor dan pulselessness adalah tanda yang jarang jika tidak disertai
cedera vaskuler.Paralysis dan kelemahan motorik adalah tanda yang amat lanjut yang
mengarah pada compartment syndrome.
Jika diagnosis compartment syndrome belum dapat ditegakkan atau jika data
objektif diperlukan, maka tekanan kompartemen harus diukur.Cara ini paling berguna
jika diagnosis belum dapat disimpulkan dari gejala klinis, pada pasien politrauma, dan
pasien dengan cedera kepala.
Untuk mendiagnosis chronic compartment syndrome, dokter harus menyingkirkan
kondisi lain juga dapat menyebabkan nyeri di tungkai bawah, yaitu stress fraktur pada
tibia dan tendonitis. Selain itu dokter juga harus mengukur tekanan intramuscular
sebelum olah raga, 1 menit setelah olah raga, dan 5 menit setelah olah raga. Jika
tekanan tetap tinggi maka diagnosis chronic compartment syndrome dapat ditegakkan.
2.8 Manajemen
Jika dugaan acute compartment syndrome didapatkan, maka tindakan yang harus
dilakukan adalah:
1. Singkirkan semua pembalut atau bebat yang ada pada ekstremitas yang
terganggu.
2. Elevasikan tungkai setinggi jantung.
3. Fasiotomi dilakukan jika diagnosis compartment syndrome telah ditegakkan.
Meskipun batasan pasti tekanan untuk dilakukannya fasiotomi berbeda-beda
diantara banyak penulis, fasiotomi harus segera dilakukan ketika tekanan
kompartemen lebih besar dari 30 mmHg atau selisihnya kurang dari 30 mmHg
dari diastolik.
11
Pada tindakan fasiotomi dilakukan dekompresi dengan operasi fasiotomi
komplit sepanjang kompartemen. Fasia harus dibiarkan terbuka; kulit juga harus
dibiarkan terbuka, untuk minimal 7 hari, setelah itu penutupan dapat dilakukan.
Operasi untuk menstabilisasi fraktur yang berhubungan merupakan bagian
penting dari manajemen compartment syndrome.
4. Gunakan aspirin atau ibuprofen untuk mengurangi inflamasi.
12
Gambar 7. Two-incision posteromedial fasciotomy(7)
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk
dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:
13
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut kontriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindroma kompartemen
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol
dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema
seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan
mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
2. Terapi Bedah
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi
ganda.Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih
aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang
lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Pada tungkai bawah
fasciotomi dapat berarti membuka keempat kompartemen, kalau perlu
dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau
terdapat nekrosis otot dapat dilakukan debridemen jika jaringan sehat luka
dapat dijahit ( tanpa regangan ) atau dilakukan pencangkokan kulit.
14
Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi, antara lain :
15
Teknik Tarlow
a) Fibulektomi :
Prosedur radikal dan jarang dilakukan dan jika ada, termasuk indikasi
16
posterior dan dilakukan fasciotomi kompartemen posterior
superficial. Batas antara kompartemen superficial dan lateral dan
17
subkutaneus digunakan untuk mengekspos fascia kompartemen. Insisi
transversal dibuat pada septum intermuskular lateral dan identifikasi
nervus peroneal superficial pada bagian posterior septum. Buka
kompartemen anterior kearah proksimal dan distal pada garis
tibialis anterior. Kemudian dilakukan fasciotomi pada kompartemen
lateral ke arah proksimal dan distal pada garis tubulus fibula. Insisi
kedua dibuat secara longitudinal 1 cm dibelakang garis posterior
tibia. Digunakan diseksi subkutaneus yang luas untuk mengidentifikasi
fascia. Dibuat insisi transversal untuk mengidentifikasi septum antara
kompartemen posterior profunda dan superficial. Kemudian dibuka
fascia gastrocsoleus sepanjang kompartemen. Dibuat insisi lain pada
otot fleksor digitorum longus dan dibebaskan seluruh kompartemen
otot tibialis posterior. Jika terjadi peningkatan tekanan pada
kompartemen ini segera dibuka.
18
Gambar 9b.Fasciotomi insisi tunggal ( darvey, Rorabeck dan Fowler ).(12)
19
bawah melewati garis ulnar lengan bawah dan sampai ke carpal
tunnel sepanjang lipatan thenar.Fascia superficial pada fleksor carpi
ulnaris di insisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal
tunnel ke arah distal.Kemudian dicari batas antara fleksor carpi
ulnaris dan fleksor digitorum sublimis.Pada dasar fleksor digitorum
sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris yang harus dicari dan
dilindungi.Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian di
insisi.
c. Pendekatan Dorsal
Setelah kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan
bawah didekompresi, harus diputuskan apakah perlu dilakukan
fasciotomi dorsal ( ekstensor ). Hal ini lebih baik ditentukan dengan
pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan
fasciotomi kompartemen fleksor.Jika terjadi peningkatan tekanan
pada kompartemen dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus
dilakukan dengan posisi lengan bawah pronasi. Insisi lurus dari
epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan tangan, batas
antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum
komunis di identifikasi kemudian dilakukan fasciotomi.
20
Gambar 10.Multiple surgical fasciotomies.(12)
21
Pada kasus dimana gejala bersifat menetap maka harus dilakukan tindakan operatif,
subkutaneus fasiotomi atau open fasiektomi.Tanpa penanganan, chronic compartment
syndrome dapat berkembang menjadi acute compartment syndrome.
Terapi oksigen hiperbarik telah terbukti sangat membantu pada terapi crush injury,
compartment syndrome, dan trauma akut iskemik dengan meningkatkan kecepatan
penyembuhan luka dan mengurangi operasi yang berulang.
2.9 Prognosis(4)
Jika diagnosis compartment syndrome telah dibuat dan tindakan operasi telah
dilakukan, maka prognosis dari pemulihan otot dan saraf di dalam kompartemen adalah
sangat baik.Bagaimanapun, prognosis secara umum ditentukan dari cedera yang
menyebabkan sindrom tersebut.
Jika diagnosis terlambat dilakukan maka dapat terjadi kerusakan saraf permanen
dan hilangnnya fungsi otot. Hal ini biasa terjadi pada pasien yang tidak sadar atau
ditidurkan secara mendalam dengan obat dan tidak dapat mengeluh. Kerusakan saraf
permanen dapat terjadi setelah 12 – 24 jam kompresi.
2.10 Komplikasi(1,3)
Kegagalan untuk mengurangi tekanan dapat berakibat nekrosis pada jaringan di
dalam kompartemen, karena perfusi kapiler akan menurun dan menyebabkan hipoksia
jaringan. Jika tidak tertangani, acute compartment syndrome dapat mengarah pada
keadaan yang lebih parah termasuk rhabdomyolisis dan kegagalan ginjal.
Selain itu, kematian sel-sel otot dapat menyebabkan terjadinya Volkmann’s ischemic
contracture.Volkmann’s ischemic contracture adalah kontraktur yang disebabkan
karena sel-sel otot yang mati digantikan oleh sel-sel fibrous yang padat sehingga
memendek.
2.11 Preventif(4)
22
Sampai saat ini mungkin tidak ada jalan untuk mencegah terjadinya
compartmentsyndrome, waspada terhadap kejadian ini dan diagnosis serta penanganan yang
cepat akan membantu untuk mencegah berbagai komplikasi. Orang-orang dengan balutan
perlu waspada terhadap risiko dari pembengkakan dan perlu pergi ke dokter atau unit gawat
darurat jika mereka merasakan nyeri yang semakin parah pada daerah balutan meskipun
kaki telah dielevasi dan diberi pengobatan nyer
23
Gambar 12. Cross section Tungkai Bawah(13)
24
Dengan batas: Anterior : septum intermuskular transversal & posterior
Lateral : fasia kruris
Medial : fasia kruris
Posterior : fasia kruris
BAB III
25
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
26
1. Putz-Anderson, Vern. Cumulative trauma disorders. CRC Press, 2017.
2. Daniels, A. H., DePasse, J. M., & Kamal, R. N. (2016). Orthopaedic surgeon
burnout: diagnosis, treatment, and prevention. JAAOS-Journal of the American
Academy of Orthopaedic Surgeons, 24(4), 213-219.
3. Miranda-Klein, J., Howell, C. M., & Davis-Cheshire, M. (2020). Recognizing and
managing upper extremity compartment syndrome. Journal of the American
Academy of PAs, 33(5), 15-20.
4. Schmidt, A. H. (2017). Acute compartment syndrome. Injury, 48, S22-S25.
5. McMillan, T. E., Gardner, W. T., Schmidt, A. H., & Johnstone, A. J. (2019).
Diagnosing acute compartment syndrome—where have we got to?. International
orthopaedics, 43(11), 2429-2435.
6. MacKay, E. J., Nunn, A. M., Cannon, J. W., & Martin, N. D. (2016). Secondary
extremity compartment syndrome after traumatic cardiac arrest. Trauma, 18(4),
291-294.
7. DeLee, J. C., & Stiehl, J. B. (1981). Open tibia fracture with compartment
syndrome. Clinical Orthopaedics and Related Research (1976-2007), 160, 175-184.
8. Setiawan, M. R., Rohmani, A., Kurniati, I. D., Ratnaningrum, K., & Basuki, R.
(2017). BUKU AJAR: ILMU BEDAH.
9. Tong, Y., Kaplan, D. J., Spivak, J. M., & Bendo, J. A. (2020). Three-dimensional
printing in spine surgery: a review of current applications. The Spine Journal, 20(6),
833-846.
10. Garner, M. R., Taylor, S. A., Gausden, E., & Lyden, J. P. (2014). Compartment
syndrome: diagnosis, management, and unique concerns in the twenty-first
century. HSS Journal®, 10(2), 143-152.
11. Oak, N. R., & Abrams, R. A. (2016). Compartment syndrome of the hand.
Orthopedic Clinics, 47(3), 609-616.
27
12. Duckworth, A. D., & McQueen, M. M. (2017). The diagnosis of acute compartment
syndrome: a critical analysis review. JBJS reviews, 5(12), e1.
13. Browner, B. D. (2009). Skeletal trauma: basic science, management, and
reconstruction (Vol. 1). Elsevier Health Sciences.
14. Netter FH. Interactive Atlas of Human Anatomy. NDMC. 934-935.
28