Anda di halaman 1dari 45

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS PATTIMURA DESEMBER 2019

SINDROM KOMPARTEMEN

Oleh
Kelompok 3:
1. Gabriela S. Maitimu
2. Imelda Lie
3. Randy Narua
4. Aldio Rais Mony
5. Sehat N.P Uluputty
6. Julius D.I Slamta

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom kompartemen (CS) adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa


yang dapat diamati ketika terjadi penurunan tekanan perfusi di bawah jaringan
yang tertutup. Dengan demikian, sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi
dimana terjadinya peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas,
yaitu di dalam kompartemen osteofacial. Peningkatan tekanan intra kompartemen
akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan,
sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan
tersebut.Saat sindrom kompartemen tidak teratasi maka tubuh akan mengalami
nekrosis jaringan dan gangguan fungsi yang permanen,dan jika semakin berat
dapat terjadi gagal ginjal dan kematian.1,2
Di Amerika, ekstremitas bawah distal anterior adalah yang paling banyak
dipelajari untuk sindroma kompartemen dan dianggap sebagai yang kedua paling
sering untuk trauma sekitar 2–12%. Dari penelitian McQueen (2000) sindroma
kompartemen lebih sering didiagnosa pada pria dari pada wanita, tapi hal ini
memiliki bias oleh karena pria lebih sering mengalami luka trauma di bandingkan
wanita. McQueen memeriksa 164 pasien yang di diagnosis sindroma
kompartemen, 69% pasien yang berhubungan dengan fraktur dan sebagian adalah
fraktur tibia. Ellis pada tahun 1958 melaporkan bahwa 2% iskemi, kontraktur
sering terjadi pada fraktur tibia. Detmer dkk melaporkan bahwa sindroma
kompartemen bilateral terjadi pada 82% pasien yang menderita sindroma
kompartemen kronis. Sindroma kompartemen akut sering terjadi akibat trauma
terutama di daerah tungkai bawah dan tungkai atas.2
Sindrom kompartemen (CS) adalah salah satu kedaruratan ortopedi.
Identifikasi pasien berisiko tinggi, membuat diagnosis yang cepat, dan memulai
pengobatan yang efektif adalah langkah yang penting dalam menghindari hasil
akhir yang buruk. Ketidakmampuan seorang dokter untuk berkomunikasi dengan
anak-anak dapat mempengaruhi diagnosis CS dengan tepat waktu.3

2
Apabila sindroma kompartemen telah terjadi lebih dari 8 jam, maka dapat
mengakibatkan nekrosis dari saraf dan otot dalam kompartemen. Iskemik berat
yang berlangsung selama 6 – 8 jam dapat menyebabkan kematian otot dan nervus
yang kemudian menyebabkan terjadinya kontraktur Volkman. Sedangkan,
komplikasi sistemik yang dapat terjadi dari sindroma kompartemen meliputi gagal
ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS) yang fatal
jika terjadi kegagalan organ secara multi sistem.2
Sindrom kompartemen dapat tampak berbeda pada anak-anak dibandingkan
pada orang dewasa. Peningkatan kebutuhan akan analgetik adalah tanda pertama
CS yang sedang berkembang pada anak-anak. Anak-anak dengan fraktur
supracondilaris humerus, cedera siku, fraktur lengan bawah, dan fraktur tibia pada
dasarnya berisiko tinggi untuk terjadinya CS. Diagnosis yang tepat dan
pengobatan dengan fasciotomy pada anak-anak memberikan hasil jangka panjang
yang sangat baik.3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Sindrom kompartemen merupakan suatu peningkatan tekanan dalam suatu
kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh darah
dan otot di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali
terjadinya peningkatan tekanan
interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan (iskemia) dan diikuti dengan
kematian jaringan (nekrosis).1,4
Kondisi ini bisa kronis, karena otot terlalu berkembang, atau akut akibat
trauma dan perdarahan ke dalam kompartemen. Sindrom kompartemen akut
adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan perawatan segera dalam waktu
12 jam.5

2.2 INSIDENSI
Acute compartment syndrome (ACS)/sindrom kompartemen akut telah
dikenalkan sejak tahun 1881 oleh Richard von Volkmaan yang pertama kali
menggambarkan kontraktur tangan yang disebabkan oleh suatu sindrom
kompartemen. Penelitian Singh dkk (Tabel 1.) menunjukkan bahwa dari 32 anak
(laki-laki: 21 anak dan perempuan: 11 anak), 9 dari 12anak usia 2-12 tahun (Grup
A) (75 persen) mengalami cedera saat bermain (low velocity trauma/trauma
kecepatan rendah), sedangkan Grup B terdiri dari 20 remaja berusia 14-18 tahun
semua cedera berkaitan kecelakaan lalu lintas. Semua anak-anak dan remaja
mengalami patah tulang sebagai penyebab ACS.6,7,8
Insidensi dari sindrom kompartemen akut tergantung dari trauma yang
terjadi. DeLee dan Stiehl mengatakan 6% dari fraktur terbuka tibial akan berujung
dengan sindrom kompartemen dibandingkan dengan fraktur tertutup tibia, sekitar
1.2% akan berujung menjadi sindroma kompartemen. Rorabeck dan Macnab
melaporkan keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.Hasil

4
penelitian studi kasus oleh McQueen, sindrom kompartemen didiagnosa lebih
sering pada laki-laki dibanding perempuan. Hal ini dikarenakan kebanyakan
pasien trauma adalah laki-laki. Selain itu, ditemukan insidens terjadinya sindroma
kompartemen akut setiap tahun sekitar 7,3 per 100.000 untuk pria dan 0,7 per
100.000 untuk wanita.McQueen memeriksa 164 pasien yang didiagnosis sindroma
kompartemen, dari penelitianMcQueen ditemukan penyebab yang paling sering
menyebabkan sindroma kompartemen akut adalah fraktur. Dalam hal ini, fraktur
yang paling sering terjadi, yaitu fraktur diafisis ostibia dan fraktur osradius distal.5
Tabel 1. Hasil Penelitian Singh dkk Tentang Data klinis pada Cedera, Diagnosis dan
Pengobatan8

Di Amerika, prevalensi sesungguhnya dari sindroma kompartemen belum


diketahui. Namun, sebuah penelitian menunjukkan angka kejadian Chronic
Exertional Compartment Syndrome (CECS) sebesar 14% pada individu yang
mengeluh nyeri tungkai bawah. Laki-laki dan perempuan presentasinya adalah
sama dan biasanya bilateral meskipun dapat juga unilateral. Chronic Exertional
Compartment Syndrome (CECS) biasanya terjadi pada atlet yang sehat dan lebih
muda dari 40 tahun.5

2.3 ANATOMI

5
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,
interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana
fascia ini melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok, berfungsi untuk
mencegah jaringan yang rusak membengkak dan meningkatkan tekanan, lalu
membuat isinya menjadi tidak berfungsi dengan baik. Secara anatomik, sebagian
besar kompartemen terletak di anggota gerak. Kompartemen osteofasial
merupakan ruangan yang berisi otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus
oleh tulang dan fasia serta otot-otot yang masing-masing dibungkus oleh
epimisium. Berdasarkan letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa jenis, antara
lain:1,2,4,5
a) Anggota gerak atas
a. Lengan atas:
1. Kompartemen volar/anterior/fleksor, berisi otot flexor
pergelangan tangan dan jari tangan, nervus ulnar dan
nervus medianus, arteri radialis dan ulnaris.
2. Kompartemen dorsal/posterior/ekstensor, berisi otot
ekstensor pergelangan tangan dan jari tangan, nervus
interosseous posterior.
b. Lengan bawah:
1. Kompartemen volar, berisi otot flexor pergelangan tangan
dan jari tangan, nervus ulnar dan nervus median.
2. Kompartemen dorsal, berisi otot ekstensor pergelangan
tangan dan jari tangan, nervus interosseous posterior.
3. Mobile wad, berisi otot ekstensor carpi radialis longus,
otot ekstensor carpi radialis brevis, otot brachioradialis.
c. Wrist joint:
1. Kompartemen I, berisi otot abductor pollicis longus dan
otot ekstensor pollicis brevis.
2. Kompartemen II, berisi otot ekstensor carpi radialis brevis,
otot ekstensor carpi radialis longus.

6
3. Kompartemen III, berisi otot ekstensor pollicis longus.
4. Kompartemen IV, berisi otot ekstensor digitorum
communis, otot ekstensor indicis.
5. Kompartemen V, berisi otot ekstensor digiti minimi.
6. Kompartemen VI, berisi otot ekstensor carpi ulnaris.

Gambar 1. Anatomi Ekstremitas Superior dan Lokasi Anatomis Kompartemen Ekstremitas


Superior4,5

7
b) Anggota gerak bawah
a. Tungkai atas: terdapat tiga kompartemen, yaitu: anterior, medial
dan posterior
b. Tungkai bawah (regio cruris):
1. Kompartemen anterior, berisi otot tibialis anterior dan
ekstensor ibu jari kaki, nervus peroneal profunda.
2. Kompartemen lateral, berisi otot peroneus longus dan
brevis, nervus peroneal superfisial.
3. Kompartemen posterior superfisial, berisi otot
gastrocnemius dan soleus, nervus sural.
4. Kompartemen posterior profunda, berisi otot tibialis
posterior dan flexor ibu jari kaki, nervus tibia.
Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah
(yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial dan posterior profundus)
serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal).4

Gambar 2. Anatomi Ekstremitas Inferior5

8
Gambar 3. Anatomi Kompartemen Ekstremitas Inferior 4,5

Tabel 2. Kompartemen Esktremitas Superior dan Inferior1,5,9

9
Gambar 4. Sindrom Kompartemen pada Ekstremitas Inferior5

2.4 KLASIFIKASI
Sindroma kompartemen dibagi menjadi dua tipe, yaitu:2
1. Sindroma Kompartemen Akut
Sindroma kompartemen akut merupakan suatu tanda kegawatan
medis. Ditandai dengan pembengkakan dan nyeri yang terjadi dengan
cepat. Tekanan dalam kompartemen yang meningkat dengan cepat
dapat menyebabkan tekanan pada saraf, arteri dan vena sehingga tanpa
penanganan yang tepat akan terjadi paralisis, iskemik jaringan bahkan
kematian. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut
adalah fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka
bakar.2
2. Sindroma Kompartemen Kronik
Sindroma kompartemen kronik bukan merupakan suatu kegawatan
medis dan seringkali dikaitkan dengan nyeri ketika aktivitas olahraga.
Ditandai dengan meningkatnya tekanan kompartemen ketika
melakukan aktivitas olahraga saja. Gejala ini dapat hilang dengan

10
hanya menghentikan aktivitas olahraga tersebut. Penyebab umum
sindroma kompartemen kronik biasa terjadi akibat melakukan
aktivitas berulang-ulang, misalnya pelari jarak jauh, pemain basket,
sepak bola dan militer.2

2.5 FAKTOR RISIKO


1) Faktor Risiko untuk Post Traumatic Compartment Syndrome
a. FrakturSuprakondilaris Humerus
CS merupakan komplikasi yang digambarkan dari cedera
ini. CS berkembang pada 0,1% hingga 0,3% anak dengan
fraktur humerus suprakondilaris. Fleksi siku yangdicasting di
atas 90° dan cedera vaskular penyerta menempatkan anak-anak
ini pada peningkatan risiko untuk CS. Mubarak dan Carroll
melaporkan 9 kasus CS pada kompartemen volar lengan bawah
setelah fraktur humerus suprakondilaris tipe-ekstensi dan 8 dari
mereka yang fleksi siku di atas 90 ° setelah reduksi tertutup.
Pada 29 anak-anak dengan fraktur humerus suprakondilaris,
Battaglia dkk,menemukan tekanan kompartemen tertinggi pada
kompartemen volar dalam, terutama di dekat lokasi fraktur, serta
peningkatan tekanan yang signifikan dengan siku fleksi di atas
90°.3
Pada penelitan terhadap anak-anak dengan fraktur
humerus suprakondilaris, Choi dkk menemukan 2 kasus CS
antara 9 pasien dengan pulseless, perfusi tangan yang buruk.
Studi telah menemukan bahwa penundaan pengobatan 8 sampai
12 jam tidak meningkatkan tingkat CS padafraktur Gartland tipe
2 dan tipe 3. Para peneliti dalam studi ini tidak menyarankan
penundaan pengobatan pada pasien dengan defisit neurologis
dan absent radial pulse. Pada pasien dengan CS tampak
pembengkakan berat dengan rata-rata keterlambatan pengobatan
adalah 22 jam (kisaran, 6-64 jam).3

11
Dengan demikian, tidak disarankanpenundaan pengobatan
untuk anak-anak dengan fraktur humerus suprakondilaris dan
defisit neurologis ataupunabsent pulse. CS setelah fraktur
suprakondilaris humerus sebagian besar terjadi pada volar
compartment lengan bawah, kompartemen anterior lengan, dan
kompartemen posterior lengan.3
b. Floating Elbow
CS telah dilaporkan pada anak-anak dengan fraktur lengan
bawah dan humerus ipsilateral. Berdasarkan data penilitian,
tidak disarankan circumferential casting pada fraktur lengan
bawah pada anak-anak dengan floating elbow.3
c. Forearm Fracture
Haasbeek dan Cole melaporkan CS pada 5 (11%) dari 46
anak-anak dengan fraktur lengan bawah terbuka. Berdasarkan
data penelitian yang dilaporkan menunjukkan peningkatan risiko
CS pada anak-anak dengan fraktur lengan terbuka dan fraktur
yang diterapi dengan reduksi tertutup dan
intramedullarynailling, terutama yang dilakukan dalam waktu
24 jam dari cedera, dan manipulasi tertutup berkepanjangan
yang dilakukan selama operasi. Direkomendasikan pemantauan
ketat pada semua anak dengan fraktur lengan bawah bedah yang
dilakukan operasi, khususnya pada anak-anak dengan faktor
risiko yang telah disebutkan.3
d. Fraktur Femoralis
CS telah dilaporkan setelah 90/90 spica casting pada
frakturfemoralis anak-anak. Para penelitimerekomendasikan
metode alternatif penerapanspica casts/gips.3
e. Tibialis Fracture
Anak dengan fraktur tibialis, terutama frakturpada
kecelakaan kendaraan bermotor, berisiko untuk CS. Hope dan
Cole melaporkan CS pada 4 (4%) dari 92 anak-anak dengan

12
fraktur tibialis terbuka.Anak dengan fraktur tuberkulum tibialis
memiliki peningkatan risiko untuk CS karena adanya cedera
vaskular penyerta. Pandya dkkmelaporkan kejadian CS atau
vascular compromise pada 4 dari 40 pasien dengan fraktur
tuberkulum tibialis. Direkomendasikan pemantauan ketat untuk
tanda-tanda akan terjadinya CS pada anak-anak dengan high-
energy tibial shaft fracturedan fraktur tuberkulum tibialis.3
Flynn dkk melaporkanoutcome dari 43 kasus CS akut pada
tungkaianak yang dirawat pada pusat trauma pediatric. Waktu
rata-rata dari cedera fasciotomyadalah 20,5 jam (kisaran, 3,9-
118 jam). Outcome fungsional sangat baik pada saat follow-up;
41 dari 43 kasus tidak memiliki gejala sisa, dan 2 pasien yang
kehilangan fungsi menjalani fasciotomy lebih dari 80 jam
setelah cedera. Meskipun interval panjang antara cedera dan
operasi, hasil yang sangat baik dicapai dengan fasciotomy,
menunjukkan peningkatan potensi untuk pemulihan pada
populasi pediatrik.3
Mubarak melaporkan pada 6 kasus fraktur fisis distal tibia
pada pasien yang menunjukkannyeri hebat dan pembengkakan
pergelangan kaki, hyposthesia, kelemahan pada ekstensor
hallucis longus dan ekstensor digitorum communis, dan nyeri
pada fleksi pasif jari-jari kaki. Pada semua pasien, tekanan
intramuskular lebih dari 40 mmHg di bawah retinaculum
ekstensor dan kurang dari 20 mmHg pada kompartemen
anterior. Semua pasien mengalami penyembuhan yang cepat
terhadap rasanyeri dan peningkatan sensasi dan kekuatan dalam
waktu 24 jam setelah pembebasan retinaculum ekstensor
superior dan stabilisasi fraktur.3

13
2) Penyebab Lain (Miscellaneous) dan Nontraumatik Sindrom
Kompartemen
CS Neonatal sangat langka, dan sering luputdalam diagnosis. CS
neonatal diduga disebabkan oleh kombinasi dari tekanan darah
neonatal yang rendah dan trauma saat kelahiran.Ragland dkk
melaporkan 24 kasus dengan CS neonatal; hanya 1 kasus yang
terdiagnosis dalam waktu 24 jam. Digambarkan adanya "lesi kulit
sentinel" pada lengan bawah dari setiap pasien sebagai tanda CS
neonatal. Hasil dari terlambatnya diagnosis berupa kontraktur dan
berhentinya pertumbuhan dariekstremitas yang terlibat.Pada
penelitian, hanya 1 pasien yang menjalani fasciotomy dalam waktu 24
jam, dan memberikan hasil fungsional yang baik. Kecurigaan klinis
yang tinggi adalah kunci untuk diagnosis dini dan pengobatan patologi
langka ini.3
Masalah medis yang menyebabkan perdarahan
intracompartmental(hepatic failure, gagal ginjal, leukemia, hemofilia)
telah dikutip sebagai penyebab CS.CS dapat menjadi gejala pertama
dari hemophilia. Koreksi defek koagulasi dapat menjadi prioritas pada
terapi pembedahan dalam kasus ini.3
CS pada anak-anak juga dapat disebabkan oleh gigitan ular.
Shaw dan Hosalkar melaporkan keberhasilan penggunaan antiveni
untuk mencegah terapipembedahan pada 16 dari 19 pasien dengan
gigitan ular berbisa. Dua pasien menjalani surgicaldebridement, dan 1
pasien menjalani fasciotomy akibat CS. Para peneliti menganjurkan
menggunakan antivenin untuk mencegah CS pada anak-anak dengan
snakebites.3
Prasarn dkk melaporkan 12 kasus CS ekstremitas atas padaanak-
anak tanpa adanya fractur.Etiologi pada 7 (58%) dari 12 kasus adalah
iatrogenik (infiltrasi intravena, retained phlebotomy tourniquet). Pada
kasus ini, dilakukan 4 amputasipada ekstremitas yang terkena.3

14
2.6 ETIOLOGI
Terdapat berbagai penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan
lokal yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, akan tetapi ada
tiga mekanisme yang seringkali mendasari terjadinya sindroma kompartemen
yaitu adanya peningkatan akumulasi cairan dalam ruang kompartemen sehingga
terjadi peningkatan tekanan pada struktur kompartemen, menyempitnya ruang
kompartemen/penurunan volume kompartemen dan tekanan dari luar yang
menghambat pengembangan volume kompartemen.2,4,5
Berikut beberapa etiologi sindroma kompartemen:2,4,5
1. Penurunan volume kompartemen. Kondisi ini disebabkan oleh:
- Penutupan defek fascia. Jahitan tertutup pada fascia,seringkali
terjadi pada atlit marathon yang memiliki otot hernia serta
kerusakan fascia. Hernia biasanya bilateral dan berkembang
pada sepertiga tungkai bawah pada kompartemen anterior dan
lateral. Selama ini seringkali dilakukan jahitan ketat pada hernia
otot yang mengalami kerusakan fascia. Hal ini mengakibatkan
terjadinya pengurangan volume kompartemen dan
meningkatkan tekanan intrakompartemen sehingga
menimbulkan sindroma kompartemen akut. Oleh karena itu
terapi utama pada pelari dengan nyeri pada tungkai dan hernia
otot adalah fascial release bukan fascial closure.
- Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas.
- Luka bakar derajat tiga. Luka bakar ini mengurangai ukuran
kompartemen dan menimbulkan jaringan parut pada kulit,
jaringan subkutan dan fascia menjadi satu. Hal ini membutuhkan
dekompresi escharotomy segera.
2. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen
Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
- Fraktur, terutama fraktur tibia merupakan penyebab yang paling
sering menyababkan peningkatan akumulasi cairan dalam
ruangan kompartemen.

15
- Pendarahan atau trauma vaskuler/cedera pada pembuluh darah
besar, dapat menyebabkan sindroma kompartemen melalui tiga
mekanisme yaitu :
a) Perdarahan yang masuk ke dalam ruang kompartmen.
b) Sumbatan partial pada pembuluh darah sedang tanpa
disertai adanya sirkulasi kolateral yang adekuat.
c) Pembengkakan post iskemia dan sindroma kompartemen
terjadi bila perbaikan arteri dan sirkulasi tertunda terlebih
dari enam jam.
- Peningkatan permeabilitas kapiler
- Penggunaan otot yang berlebihan/extremely vigorous exercise,
terutama gerakan yang eksentrik/aneh, seperti extension under
pressure. Olahraga berat, dapat menyebabkan sindroma
kompartemen akut dan kronik. Seringkali dihubungkan nyeri
pada kompartemen anterior pada tungkai. Bila gejala ini timbul
maka olahraga tersebut harus segera dihentikan.
- Luka bakar, selain dapat menyebabkan penyempitan ruang
kompartemen. Luka bakar juga dapat meningkatkan akumulasi
cairan dalam ruang kompartemen dengan timbulnya edema yang
massif. Maka dekompresi melalaui escharotomy harus segera
dilakukan untuk menghindari tamponade kompartemen.
- Operasi
- Gigitan ular
- Obstruksi vena, misalnya karena terdapat blood clot pada
vaskular ekstremitas.
3. Peningkatan tekanan eksternal
- Prolonged compression pada ekstremitas
- Balutan yang terlalu ketat
- Berbaring di atas lengan

16
- Gips. Penggunaan gips yang terlalu ketat, hal ini dapat
menimbulkan tekanan eksternal dikarenakan membatasi
perkembangan dari kompartemen
- Intoksikasi obat. Ketidaksadaran akibat penggunaan obat yang
overdosis dapat memicu tidak hanya multiple sindroma
kompartemen akan tetapi sindroma crush bila orang tersebut
berbaring dengan tungkai terjepit. Tertekannya lengan serta
tungkai menghasilkan peningkatan tekanan intra kompartemen
lebih dari 50 mmHg.

Gambar 5. Etiologi Sindrom Kompartemen2

17
Etiologi sindrom kompartemen lainnya dibagi menjadi:7
a) Gangguan Sistemik/Penyebab Atraumatic
- Peningkatan tekanan kompartemen-karena perdarahan &
gangguan pembekuan.
- Septisemia
- Gigitan hewan
- Prolonged vascular reconstruction
- Infiltrasi cairan yang tidak hati-hati kedalam jaringan ikat dari
cairan vintravena atau arthroscopy
- Infusi obat—Dilantin/ infusi dopamine
- Iatrogenik

a) b)

Gambar 6. a) CS tungkai bawah-trombosis vena femoralis dari DIC sistemik; b)Anak 9


tahundengan cerebral aneurysm yang mengembangkan sindrom kompartemenpada tangan
akibatinfusidilantin intravenous7

b) Trauma Lokal
- Tibial diaphyseal fractures
- Soft tissue injury
- Distal radius fractures
- Forearm diaphyseal fractures
- Elbow fractures dislocation
- Supracondylar fractures
- Tibial plateau fractures
- Femoral diaphyseal fracture

18
- High energy injury
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah
cedera, dimana 45 %kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di
anggota gerak bawah.Dalam keadaan kronik, gejala juga timbul akibat
aktifitas fisik berulang seperti berenang, lari ataupun bersepeda sehingga
menyebabkan exertional compartment syndrome. Namun hal ini bukan
merupakan keadaan emergensi.4,5

2.7 PATOFISIOLOGI

Gambar 7. Patofisiologi Sindrom Kompartemen5

Sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang


menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan
nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia.Sindroma kompartemen
merupakan hasil dari peningkatan tekenan intrakompartemen. Peningkatan
tekanan intrakompratemen ini bergantung dari kejadian yang menyebabkannya.
Terdapat 2 macam sindroma kompartemen. Tipe yang pertama adalah tipe akut
yang berhubungan erat dengan trauma dan yang kedua adalah tipe kronik akibat
aktivitias yang repetitif biasanya berhubungan dengan mikrotrauma yang biasanya
berhubungan dengan aktivitas sehari-hari.5
Fascia merupakan sebuah jaringan yang tidak elastis dan tidak dapat
meregang, sehingga pembengkakan pada fascia dapat meningkatkan tekanan

19
intra-kompartemen dan menyebabkan penekanan pada pembuluh darah, otot dan
saraf. Pembengkakan tersebut dapat diakibatkan oleh fraktur yang kompleks
ataupun cedera jaringan akibat trauma dan operasi. Aktifitas fisik yang dilakukan
secara rutin juga dapat menyebabkan pembengkakan pada fasia, namun umumnya
hanya berlangsung selama aktifitas.4
Patofisiologi sindrom kompartemen mengarah pada suatu ischemic injury.
Dimana struktur intra-kompartemen memiliki batasan tekanan yang dapat
ditoleransi. Apabila cairan bertambah dalam suatu ruang yang tetap, maupun
penurunan volume kompartemen dengan komponen yang tetap, akan
mengakibatkan pada peningkatan tekanan dalam kompartemen tersebut.4
Sindrom kompartemen menyebabkan peningkatan tekanan jaringan,
penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal. Peningkatan tekanan
jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan
tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intra-muskuler
bagian bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk
kekapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti
oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen.Perfusi darah melewati kapiler
yang terhenti akan menyebabkan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan akan
membebaskan substansi vasoaktif (histamin, serotonin) yang akan meningkatkan
permeabilitas kapiler yang meningkatkan eksudasi cairan dan mengakibatkan
peningkatkan tekanan dan cedera yang lebih hebat. Akibatnya konduksi saraf akan
melemah, pH jaringan akan menurun akibat dari metabolisme anaerobik, dan
kerusakan jaringan sekitar yang hebat. Bila berlanjut, otot-ototakan mengalami
nekrosis dan membebaskan mioglobin. Akhirnya, fungsi ekstremitas akan hilang
dan dalam keadaan terburuk dapat mengancam jiwa.4
Perfusi pada jaringan ditentukan oleh Tekanan Perfusi Kapiler atau
Capillary Perfusion Pressure (CPP) dikurangi tekanan interstitial. Perfusi
jaringan sebanding dengan perbedaan antara tekanan perfusi kapiler (Capillary
Perfussion Pressure/CPP) interstisial, yang dinyatakan dengan rumus LBF=(PA-
PV)/R, dimana LBF=local blood flow/aliran darah lokal, PA = arterial
pressure/tekanan arteri, PV = venous pressure/tekanan vena, R = local vascular

20
resistance/resistensi vaskular lokal. Metabolisme sel/miosit yang normal
memerlukan tekanan oksigen 5-7 mmHg. Hal ini dapat berlangsung baik dengan
CPP rata-rata 25 mmHg dan tekanan interstitial 4-6 mmHg. Apabila tekanan intra-
kompartemen meningkat, akan mengakibatkan peningkatan tekanan perfusi
sebagai respon fisiologis serta memicu mekanisme autoregulasi yang
mengkibatkan ‘cascade of injury’.4,5
Pada dasarnya, ketika ada cairan yang masuk ke dalam kompartemen yang
memiliki volume yang tetap, ini akan membuat peningkatan tekanan jaringan dan
tekanan vena juga meningkat. Ketika tekanan interstisial melebihi CPP, maka
akan membuat arteri dan otot menjadi kolaps dan berujung dengan iskemik
jaringan. Respon tubuh terhadap iskemik adalah pelepasan substansi yang
menyerupai histamin yang meningkatkan permeabilitias vaskuler. Hal ini
membuat terjadi kebocoran plasma dan terjadi sumbatan darah di kapiler kecil
yang semakin memperburuk iskemia yang terjadi. Selanjutnya yangterjadi adalah
miosit akan melisiskan diri dan protein miofibrilar berubah menjadi partikel
osmotik yang aktif menarik air dari arteri.5
Satu miliosmol (mOsm) diperkirakan memiliki/menggunakan tekanan
19,5mmHg, sehingga peningkatan yang relatif kecil pada partikel osmotik aktif
dalam kompartemen tertutup menarik cairan yang cukup untuk menyebabkan
kenaikan lebih lanjut dalam tekanan intramuskular. Ketika aliran darah jaringan
berkurang jauh, iskemia otot dan berikutnya edema selmemburuk.5
Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan
menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan
secara terus-menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah
meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler,
sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh
meningkatnya tekanan intrakompartemen.5
Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri
hebat. Bila terjadi peningkatan intrakompartemen maka tekanan vena meningkat.
Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti, sehingga terjadi hipoksia jaringan

21
(pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang
akan menyebabkan kerusakan ireversibel (nekrosis) pada komponen tersebut.4,5
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang
terus menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya
kenaikan tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien
akan mengalami kram otot. Biasanya yang terkena adalah kompartemen anterior
dan lateral dari tungkai bagian bawah. Otot dapat membesar sekitar 20% selama
latihan dan akan menambah peningkatan sementara dari tekanan
intrakompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan
intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang.4,5

Gambar 8. Patofisiologi Sindrom Kompartemen5

22
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada sindrom kompartemen
yaitu, antara lain:1,4,5
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. Theori of critical closing pressure.
Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan
tekanan mural arteriol yang tinggi.Tekanan trans mural secara
signifikan berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan
untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan jaringan
meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada
lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan
tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah
arteriol akan menutup.
c. Tipisnya dinding vena.
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan
melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila
kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler, maka tekanan
vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan, sehingga
drainase vena terbentuk kembali. McQueen dan Court-Brown
berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan
kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis
dengan sindrom kompartemen.

2.8 MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5P
yaitu:2,4,5,7
1. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat terjadi saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini
yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding
dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau
memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang

23
pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan
sering.Biasanya nyeri yang dirasakandideskrpsikan seperti terbakar.
Nyeri tidak bisa dijadikan dasar pasti untuk diagnosa, contohnya pada
kasus fraktur terbuka, kita tidak tahu rasa sakitnya berasal dari
frakturnya atau dari peningkatan kompartemen.
2. Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah
tersebut.
3. Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi). Pulsasi perifer
biasanya normal terutama pada ekstremitas atas pada sindrom
kompartemen akut. Ketika denyut nadi sudah berkurang menandakan
kerusakan telah terjadi.
4. Parestesia (rasa kesemutan). Parestesi merupakan gejala yang sering
ditemukan pada penderita sindroma kompartemen yang dalam
keadaan sadar dan kooperatif, tetapi tidak diandalkan untuk keluhan
awal, penurunan hasil pemeriksaan 2 titik lebih bisa diandalkan pada
saat awal untuk mendiagnosis. Hal ini merupakan manifestasi klinis
akibat defisit sensorik. Pada awalnya defisit sensorik mengakibatkan
paresthesia akan tetapi lama kelamaan jika penanganannya tertunda,
keadaan ini dapat memicu terjadinya hipesthesia dan anesthesia
5. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen. Sedangkan pada sindrom kompartemen akan timbul
beberapa gejala khas, antara lain:
a. Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga.
Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
b. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat
15-30 menit.
c. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

24
Jumlah pasien yang mempresentasikan 5P pada Jumlah pasien yang menunjukkan 1 atau lebih “5Ps”
compartment syndrome dari vascular insufficiency: pain, pallor, paresthesia,
paralysis dan pulselessness.
Gambar 9. Grafik Manifestasi Klinis 5P Sindrom Kompartemen 7

Gambar 10. Manifestasi Klinis Sindrom Kompartemen5

25
Pada pasien anak ditemukan tantangan untuk menilai 5P dari sindrom
kompartemen. Hal ini disebabkan anak-anak lebih takut dan cemas sehingga
berdampak pada penegakan diagnosis CS yang sulit. Selain itu, praktisi yang tidak
berpengalaman tidak dapat mendeteksi pasien dengan sindrom kompartemen.
Pada pasien anak itu sendiri, sering dinilai berdasarkan 3A’s, yaitu Agitasi,
Anxietas, peningkatan kebutuhan Analgesik, yang merupakan presentasi klasik
yang nampak pada beberapa jam.7

2.9 DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis suatu kasus sindrom kompartemen, sama seperti kasus
lainnya, dengan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik menyeluruh, dan dengan
bantuan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan carilah tanda-tanda khas dari
sindrom kompartemen yang ada pada pasien, karena dapat membantu penegakan
diagnosis.5
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah
kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk
mendiagnosis kompartemen sindrom yaitu nyeri dan parestesia, namun parestesia
gejala klinis yang datangnya belakangan.Pada anamnesis, perlu ditanyakan
adanya riwayat trauma. Pada dasarnya, semua trauma ekstremitas potensial untuk
menimbulkan terjadinya sindroma kompartemen. Sejumlah cedera yang
mempunyai resiko tinggi yaitu fraktur tibia dan antebrakhi, balutan kasa atau
immobilisasi dengan gips yang ketat, crush injury pada massa otot yang luas,
tekanan setempat yang cukup lama, peningkatan permeabilitas kapiler dalam
kompartemen akibat perfusi otot yang mengalami iskemia, luka bakar atau latihan
berat. Kewaspadaan yang tinggi sangat penting pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau keadaan lain yang tidak dapat merasakan nyeri.2,5
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulseness (denyut nadi melemah) akibat
menurunnya perfusi ke jaringan tersebut. Menindaklanjuti pemeriksaan fisik

26
penting untuk mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri
pada saat istirahat atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu,
terutama saat peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan
merupakan awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut
biasanya tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin.
Kemudian bandingkan daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena.5
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi
dapat ditemukan di daerah yang sakit terlihat bengkak, kulit tampak berwarna
pink dan pasien tampak kesakitan. Adapun, pada palpasi didapatkan beberapa
tanda khas dari sindroma kompartemen, yaitu: pain, pulse present dimana
perabaan pulsasi pada daerah distal biasanya masih bisa teraba, parestesi pada
daerah distribusi saraf perifer dan menurunnya sensasi pada kulit daerah yang
terkena, serta tegang dan bengkak pada daerah yang terkena.2
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnosa
sindrom kompartemen dilakukan dengan pengukuran tekanan kompartemen.
Pengukuran intra-kompartemen dini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak
sadar, pasien yang tidak kooperatif seperti anak-anak, pasien yang sulit
berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma seperti trauma kepala,
medulla spinalis atau trauma saraf perifer. Tekanan kompartemen normalnya
adalah 0. Perfusi yang tidak adekuat dan iskemia relatif terjadi ketika tekanan
meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolik dan tidak ada perfusi yang
efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolik.Pemeriksaan lainnya
dapat dilakukan dengan Pulse oximetry sangat membantu dalam mengidentifikasi
hipoperfusi ekstremitas. Namun tidak cukup sensitif untuk mendiagnosa sindrom
kompartemen.4,5
Identifikasi CS yang sedang berkembang pada anak termasuk sulit karena
keterbatasan kemampuan anak untuk berkomunikasi dan adanya kecemasan untuk
diperiksa oleh orang asing. Dengan demikian, dilatih untuk mencari 5P (Pain,
Paresthesia, Paralysis, Pallor, Pulselessness) terkait dengan CS. Pada penelitian
terhadap 33 anak-anak dengan CS, Bae dkk menemukan bahwa 5P relatif tidak
dapat diandalkan untuk membuat diagnosis tepat waktu. Para peneliti juga

27
menemukan bahwa peningkatan penggunaan analgesik rata-rata7,3 jam sebelum
perubahan status vaskular dan hal ini merupakan indikator yang lebih sensitif
untuk CS pada anak-anak. Hasil penelitian, merekomendasikan bahwa anak-anak
yang berisiko CS dimonitor dengan 3 A’s(peningkatan penggunaan Analgesic,
Anxiety, Agitation).3
Anestesi regional digunakan untuk mengontrol nyeri pasca operasi pada
orang dewasa dan anak.Namun, hal ini dapat menutupi gejala utama (nyeri) dari
CS. Dengan demikian, penggunaan anestesi regional pada pasien berisiko tinggi
untuk CS sangat tidak disarankan.Meskipun CS adalah diagnosis klinis,
pengukuran tekanan kompartemen dapat berguna dalam membuat keputusan pada
kasus klinis tertentu. Pada anak dengan disabilitas mentaldan komunikasi yang
berat, pengukuran tersebut dapat membantu mengkonfirmasi atau memutuskan
diagnosis. Tekanan kompartemen normal lebih tinggi pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa. Staudt dkk membandingkan tekanan pada 4
kompartemen tungkai bawah dari 20 anak yang sehat dan 20 orang dewasa yang
sehat. Rata-rata tekanan bervariasi dari 13,3 mmHg hingga 16,6 mmHg pada
anak-anak dan 5,2 mmHg hingga 9,7 mmHg pada orang dewasa- hal ini
menunjukkan tekanan normal yang lebih tinggi pada kompartemen tungkai bawah
pada anak-anak.3
Tekanan kompartemen tertinggi yang dilaporkan pada penelitan adalah 5 cm
pada area fraktur. Ketika secara klinis diindikasi, maka harus dilakukan
pengukuran pada daerahekstremitas yang luka. Ambang tekanan yang
memerlukan fasciotomy masih diperdebatkan. Tekanan intracompartmental
adalah 30 sampai 45 mmHg, atau pengukuran kurang dari 30 mmHg pada
tekanan darah diastolik (perubahan tekanan = tekanan darah diastolic - tekanan
kompartemen), telah direkomendasikan sebagai cut off oleh beberapa authors.
Tekanan kompartemen normal saat istirahat lebih tinggi pada anak-anak, namun
cut off ini tidak dapat digunakan pada anak-anak seperti pada orang dewasa.
Pengukuran langsung dari tekanan intracompartmental adalah invasif dan dapat
sulit dilakukan pada anak yang terjaga dan gelisah gelisah.3

28
Telah dilaporkan penggunaannear-infrared spectroscopy dalam diagnosis
peningkatan tekanan kompartemen. Metode ini menggunakan sifat penyerapan
cahaya diferensial hemoglobin teroksigenasi untuk mengukur jaringan iskemia-
sama dengan metode yang digunakan dalam pulse oksimetri. Dibandingkan
denganpulse oksimetri, alat ini dapat mencapai jaringan yang lebih dalam (3 cm di
bawah permukaan kulit). Tingkat oksigenasi jaringan yang lebih rendah
berkorelasi dengan peningkatan tekanan intracompartmental, tetapi beberapa
peneliti tidak dapat menentukan cutoff untuk pengukuran spektroskopi near-
infrared yang akan menunjukkan iskemia jaringan yang signifikan. Penggunaan
metode ini dalam mendiagnosis CS pada anak masih dalam penelitian case
report.3
CS tetap berdasarkan diagnosis klinis. Informasi terhadap keluarga dan staf
tentang tanda-tanda dan gejala sindrom ini dan memonitor penggunaan analgesik
pada pasien ini merupakan hal yang sangat penting. Pengukuran tekanan
kompartemen dapat digunakan saat diagnosis tidak jelas, terutama pada pasien
non-komunikatif, tetapi nilai-nilai tersebut harus diinterpretasikan dengan hati-
hati.3

2.10 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan
dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer,
dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya.5
Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul,
dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat.
Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan claudicatio intermittens yang
merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan
berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas.
Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal,
tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom
kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat

29
meningkatkan tekanan intramuskular, sehingga menyebabkan iskemia kemudian
menurunkan aliran darah dan otot menjadi kram.5
Beberapa diagnosis banding dari sindrom kompartemen:4
a) Selulitis
b) Deep Venous Trombosis dan Thrombophlebitis
c) Gas Ganggrene
d) Necrotizing Fasciitis
e) Peripheral Vascular Injuries
f) Rhabdomyolis

2.11 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang, antara lain:2,5
1. Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk
mendiagnosis sindrom kompartemen, tetapi dapat menyingkirkan
diagnosis banding lainnya.
a. Hitung sel darah lengkap
b. Creatinin phosphokinase (CPK)
Jika nilainya berkisar 1000-5000 U/ml bisa menjaditanda
adanya sindrom kompartemen. Jika dilakukan tes serial CPK
dan hasil meningkat bisa menjadi indikai sedang terjadinya
proses sindrom kompartemen.
c. Mioglobin serum
d. Toksikologi urin: dapat membantu menentukan penyebab, tetapi
tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya.
e. Urin awal: bila ditemukan mioglobin pada urin, hal ini dapat
mengarah ke diagnosis rhabdomyolysis.
f. Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin
time (APTT): untuk persiapan preopratif

30
2. Imaging
CT (Computed Tomography) Scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Pemeriksaan ini biasanya kurang membantu
dalam menegakkan diagnosis sindrom kompartemen tetapi
pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
3. X-ray/Rontgen: pada ekstremitas yang terkena, pemeriksaan ini
digunakan untuk melihat ada tidaknya fraktur.
4. USG
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam
memvisualisasi Deep Vein Thrombosis(DVT) di ektremitas bawah,
selain itu, bisa untuk mengevaluasi otot yang robek. Tetapi
pemeriksaan USG sendiri tidak berguna dalam menegakkan sindrom
kompartemen, tetapi untuk diagnosis banding lainnya.
5. Arteriografi, untuk mengetahui ada atau tidak cedera pada arterinya.
6. Pengukuran tekanan kompartemen
Pengukuran tekanan secara langsung merupakan gold standard
untuk menegakkan diagnosa sindroma kompartemen. Pengukuran
tekanan kompartemen ini dapat dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan
setelah latihan dan tidak semua kompartemen biasanya diuji, tetapi
tergantung pada berapa banyak tempat yang dirasakan sakit oleh
pasien.Normalnya tekanan kompartemen adalah nol. Perfusi yang
tidak adekuat dan iskemia relatif terjadi ketika tekanan meningkat
antara 10–30 mmHg dari tekanan diastolik. Tidak ada perfusi yang
efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolik. Selama
tekanan pada salah satu kompartemen kurang dari 30 mmHg (tekanan
pengisian kapiler diastolik), maka tidak perlu khawatir tentang
terjadinya sindroma kompartemen. Tes dianggap positif jika memiliki
tekanan ≥ 15 mmHg sebelum latihan atau ≥ 30 mmHg setelah latihan
selama satu menit atau ≥ 20 mmHg setelah latihan selama 5 menit.2

31
Pengukuran tekanan intrakompartemen dianjurkan bila semua gejala
serta tanda tidak ada atau membingungkan dan pada tiga kelompok pasien:2
a) Pasien yang tidak kooperatif. Pada pasien ini interpretasi klinik sulit
dilakukan. Pada orang dewasa yang mabuk serta intoksikasi obat atau
fraktur pada anak – anak yang ketakutan sehingga evaluasi neurologik
sulit dilakukan.
b) Pasien yang tidak respons. Pada pasien yang tidak sadar dikarenakan
cedera kepala atau overdosis obat evaluasi klinis tidak mungkin
dilakukan.
c) Pasien dengan cedera neurovascular.
Prosedur pengukuran tekanan kompartemen antara lain:2

a) Teknik pengukuran langsung dengan teknik injeksi/Teknik Jarum


(Whitesides)
Teknik injeksi adalah kriteria diagnostik standard yang
seharusnya menjadi prioritas utama jika dalam penyusunan diagnosis
terdapat penuh tanda tanya. Teknik
Whitesides merupakan cara yang
paling sederhana, mudah dikerjakan,
aman, murah, dan dapat diulang-ulang,

namun tidak dapat memonitor secara Gambar 11. Teknik Injeksi2


kontinu. Pada metode Whitesides,
tindakan yang dilakukan adalah memasukkan jarum yang telah
dihubungkan dengan alat pengukur tekanan ke dalam kompartemen
otot. Alat pengukur tekanan yang digunakan adalah modifikasi dari
manometer merkuri yang dihubungkan dengan pipa (selang) dan
stopcock tiga arah.2,5
Tonometer tekanan stryker banyak digunakan untuk mengukur
tekanan jaringan yang tidak membutuhkan alat khusus. Alat yang
dibutuhkan spuit 20 cc, three way tap, tabung intravena, normal saline
steril, manometer air raksa untul mengukur tekanan darah.2

32
Jika tekanan lebih dari 45 mmHg atau selisih kurang dari 30
mmHg dari diastol, maka diagnosis telah didapatkan. Pada kecurigaan
sindrom kompartemen kronik, tes ini dilakukan setelah aktivitas yang
menyebabkan nyeri.2,5
Cara menggunakan teknik ini adalah:2
1. Atur spuit dengan plunger pada posisi 15 cc. Tandai saline
sampai mengisi setengah tabung, kemudian tutup three way tap
tahan normal saline dalam tabung.
2. Anestesi lokal pada kulit tapi tidak sampai menginfiltrasi otot.
Masukkan jarum 18 kedalam otot yang diperiksa, hubungkan
tabung dengan manometer air raksa dan buka three way tap.
3. Dorong plunger dan tekanan akan meningkat secara lambat,
kemudian baca manometer air raksa. Saat tekanan kompartemen
tinggi, tekanan air raksa akan naik.

b) Teknik Wick Kateter


Digunakan pertama kali oleh Mubarak untuk mendiagnosis
sindroma kompartemen. Teknik ini tidak membutuhkan injeksi atau
infus yang kontinu dari solution saline untuk mengukur tekanan
equilibrium. Kateter wick di desain untuk mencegah kateter terhalang
dari jaringan lunak dan memaksimalkan permukaan diantara saline
dalam kateter dan cairan pada jaringan lunak. Sistem kateter wick
terhubung dengan transduser dan alat perekam untuk mengukur
tekanan jaringan.[2]
Cara menggunakan teknik ini adalah:2
1. Masukkan kateter dengan jarum ke dalam otot.
2. Tarik jarum dan masukkan kateter wick melalui sarung plastik.
3. Balut wick kateter ke kulit dan dorong sarung plastik kembali,
isi sistem dengan normal saline yang mengandung heparine dan
ukur tekanan kompartemen dengan transducer recorder. Periksa
ulang patensi kateter dengan tangan menekan pada otot.

33
Hilangkan semua tekanan external pada otot yang diperiksa dan
ukur tekanan kompartemen, jika tekanan mencapai 30 mmHg
maka indikasi dilakukan fasciotomi.

Gambar 12. Teknik Wick Kateter dan Teknik Slit Kateter2

c) Teknik Slit Kateter


Metode ini mengkombinasi akurasi, reprodusibilitas, area
permukaan yang luas, pengukuran tekanan ekuilibrum yang cepat dan
sistem monitoring tekanan ketika otot berkontraksi dan latihan. Sistem
slit kateter memiliki respon yang cepat guna studi olahraga dan mudah
dibuat dibandingkan wick kateter.2
d) Kateter Stic
Kateter stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk
mengukur tekanan intrakompartemen secara terus-menerus. Pada
kateter stic, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan kateter
melalui celah kecil pada kulit ke dalam kompartemen otot.

34
Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser tekanan dan
akhirnya tekanan intrakompartemen dapat diukur.5
Alat tranduser yang dihubungkan dengan kateter bisa digunakan
untuk mengukur tekanan kompartemen, ini adalah cara yang paling
akurat untuk mengukur tekanan dan mendiagnosa sindrom
kompartemen. Untuk sindrom kompartemen akut tekanan berkisar 30-
45mmHg, tetapi masih dijadikan perdebatan. Pemeriksaan ini
merupakan kriteria standard dan harus menjadi prioritas untuk
sindrom kompartemen. Alat yang digunakan adalah Stryker pressure
tonometer.

Gambar 13. Alat Pengukur Tekanan Kompartemen dengan Kateter Stic5

2.12 PENATALAKSANAAN
Segera setelah CS terdiagnosis, makaemergent fasciotomydan dekompresi
diindikasikan untuk dilakukan. Pengobatan defisiensi faktor pembekuan pada
kasus yang disebabkam oleh perdarahan berlebihan, fiksasi fraktur, dan perbaikan
vaskular dapat diindikasikan selama fasciotomy dan dekompresi.3
Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit
fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui
bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik,
namun beberapa hal seperti penentuan waktu masih diperdebatkan. Semua ahli
bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk
melakukan fasciotomi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom
kompartemen. Kerusakan nervus permanen akan mulai terjadi setelah 6 jam
terjadinya hipertensi intrakompartemen. Jika dicurigai adanya sindrom
kompartemen maka pengukuran tekanan dan konsultasi yang diperlukan harus
segera dilakukan secepatnya.2,4

35
Penanganan kompartemen secara umum meliputi:2,4,5
1. Terapi non bedah
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosis kompartemen masih
dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:4
a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan
ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih
memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka
dan pembalut kontriksi dilepas.Semua perban dan gips harus
dilepas. Melepaskan 1 sisi gips bisa mengurangi
tekananintrakompartemen sebesar 30%, melepaskan 2 sisi gips
dapat menghasilkanpengurangan tekanan intrakompartemen
sebesar 35%.
c. Pada pasien dengan fraktur tibia dan sindrom kompartemen
dicurigai, lakukanimobilisasi pada tungkai kaki bawah dengan
meletakkan plantar dalam keadaan fleksi.Hal ini dapat
menurunkan tekanan kompartemen posterior yang mendalam
dan tidakmeningkatkantekanan kompartemen anterior. (Pasca
operasi, pergelangan kakidiletakkan dalam posisi 90° untuk
mencegahdeformitas equinus).
d. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat perkembangan sindrom kompartemen.
e. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk
darah.
f. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan
manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol
mereduksi edema seluler,dengan memproduksi kembali energi
seluler yang normal dan mereduksi selotot yang nekrosis
melalui kemampuan dari radikal bebas.

36
g. Obat-obatan opiod, non-opoid, dan NSAID digunakan untuk
mengatasi rasa nyeri. Tetapi harus diperhatikan efek samping
dari obat-obatan tersebut sebelum memilih obat mana yang akan
digunakan. Menggunakan aspirin atau ibuprofen untuk
mengurangi inflamasi.
h. HBO (Hyperbaric oxygen)
Merupakan pilihan yang logis untuk kompartemen
sindrom berkaitan dengan ischemic injury. HBO memiliki
banyak manfaat, antara lain dapat mengurangi pembengkakan
melalui vasokonstriksi oleh oksigen dan mendukung
penyembuhan jaringan. Mekanismenya ialah ketika tekanan
perfusi rendah, oksigen dapat diterima sehingga dapat terjadi
penyembuhan jaringan.
2. Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intra-kompartemen
mencapai >30 mmHg atau >40 mmHg. Teori lain telah mengakui
bahwa anggota tubuh dapat perfusi secara memadai jika tekanan darah
diastolik (DBP) adalah 30mmHg lebih besar dari tekanan ukuran
kompartemen. Oleh karena itu, fasciotomy dapat diindikasikan jika Δp
= DBP - tekanan kompartemen kurang dari 20 sampai 30 mmHg.
Anak-anak memiliki tekanan diastolik yang rendah dan karena itu
lebih mungkin untuk memiliki Δp kurang dari 30 mm Hg. Tekanan
arteri rata-rata digunakan pada anak-anak daripada DBP, Δp=MAP-
CP.4,7
Mubarak dan Hargens merekomendasikan dilakukannya
fasciotomi dilakukan pada pasien berikut:5
a) Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif,
yang memiliki tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari
30 mmHg, dan durasi tekanan yang meningkat tidak diketahui
atau dianggap lebih dari 8 jam.

37
b) Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekanan
intrakompartemen lebih dari 30 mmHg.
c) Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang
lebih besar dari 20 mmHg.
Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan
dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya <30 mm Hg maka
tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-
jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus
dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika
memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi
untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam
fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda .Insisi ganda
pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan
lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang
lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Prinsip
fasciotomi adalah membuat diagnosis dini, membuat insisi yang
panjang,membebaskan semua kompartemen fasia, pertahankan
struktur neurovaskular, debride jaringan nekrotik, perlindungan dalam
waktu 7-10 hari 2,4,7
Perawatan pasca opperasi dilakukan dengan luka harus
dibiarkan terbuka selama 5 hari kalau terdapat nekrosis otot dapat
dilakukan debridemen, kalau jaringan itu sehat luka dapat dijahit
(tanpa tegangan) atau dilakukan pencangkokan kulit atau dibiarkan
sembuh dengan intensi sekunder. Komplikasi terkait prosedur ini
adalah gangguan sensasi dalam margin luka (77%), kulit kering, kulit
bersisik (40%)/pruritus (33%), luka memar (30%)/tungkai bengkak
(25%), bekas luka tertambat (26%)/recurren ulserasi (13%), muscle
herniasi (13%), nyeri berhubungan dengan luka (10%), tendon
tertambat (7%).2,7

38
Gambar 14. Sindrom Kompartemen dengan Fasciotomi2,7

2.13 KOMPLIKASI
Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera,
akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:2,4
1. Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen.
2. Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh
terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul
deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya

39
trauma pada lengan bawah.Kira–kira 1-10% dari semua khasus
sindrom kompartemen berkembang menjadi kontraktur volkmann.
Disebabkan oleh iskemia yang biasanya disebabkan oleh peningkatan
tekanan (sindrom kompartemen). Iskemia berat yang berlangsung
selama 6 – 8 jam dapat menyebabkan kematian otot dan nervus yang
kemudian menyebabkan infark otot dan kematian serat otot, kemudian
otot digantikan oleh jaringan ikat.
3. Sindroma Crush, merupakan suatu keadaan klinis yang disebabkan
kerusakan otot yang jika tidak ditangani akan terjadi kegagalan ginjal
dan jantung. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya infark otot pada
massa di sejumlah kompartemen akibat gangguan perfusi otot,
iskemia dan pelepasan mioglobulin.
4. Trauma vascular
5. Gagal ginjal akut
6. Sepsis
7. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Tabel 3. Data Klinis Komplikasi Setelah Terapi8

Grup A(Usia <14 tahun) dan Grup B (usia 14 sampai 18 tahun:remaja)

2.14 PROGNOSIS
Ketika diagnosis dibuat dengan segera dan kondisi tesebut diterapi dengan
fasciotomy, hasil klinis jangka panjang yang baik dapat diharapkan.Dengan
diagnosis dan pengobatan yang tepat, umumnya menberikan hasil yang baik.
Namun umumnya prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis yang
terlambat dapat menyababkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari
otot yang terlibat. Hal ini sering terjadi pada penderita dengan penurunan
kesadaran atau dengan pemberian sedasi yang menyebabkan penderita tidak

40
mengeluhkan nyeri. Umunya kerusakan permanen dapat timbul setelah 12-24 jam
setelah terjadi kompresi.3,4
Prognosis ini tergantung dari waktu saat menentukan diagnosis dan
pengambilan tindakan pengobatan. Hal lain yang mempengaruhi juga adalah
daerah tempat terjadinya sindrom kompartemen, serta penggunaan ektremitas
tersebut dalam akitivitas sehari-hari. Sindromkompartemen akut cenderung
memiliki hasil akhir yang jelek. Toleransi otot untuk terjadinya iskemia adalah 4
jam. Kerusakan ireversibel terjadi bila lebih dari 8 jam. Jika diagnosa terlambat,
dapat menyebabkan trauma saraf dan hilangnya fungsi otot. Walaupun fasciotomi
dilakukan dengan cepat dan awal, hampir 20% pasien mengalami defisit motorik
dan sensorik yang persisten.2,5
Dilema dalam mendiagnostik ACS (Acute Compartment Syndrome) pada
anak, yangmungkin tidak memiliki kemampuan untuk memberikan informasi
klinis, sehingga keterlambatan dalam diagnosis dan manajemen. Diagnosis dini
ACS merupakan faktor penting, yang menentukan prognosis. Hasil akhir dari
ACS ditentukan oleh durasi iskemia, tekanan dalam kompartemen osteofascial
dan penyebab peningkatan tekanan kompartemen. Jika diagnosis dan manajemen
tertunda, maka hal ini dapat menyebabkan kerusakan muskular dan neurovaskular
luas atau myoglobinaemia mengakibatkan gagal ginjal akut.8

41
BAB III
KESIMPULAN

1. Sindrom kompartemen/compartment syndrome (CS) adalah suatu kondisi


emergensi yang mengancam anggota tubuh dan jiwa yang paling sering
terjadi pada daerah tungkai bawah.
2. Penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana
45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak
bawah.
3. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5-P
yaitu: Pain (nyeri) , Pallor (pucat), Pulselesness (berkurang atau hilangnya
denyut nadi), Parestesia (rasa kesemutan), Paralysis. Peningkatan kebutuhan
analgesic sering merupakan tanda pertama dari CS pada anak dan harus
dipertimbangkan adanya “sentinel alarm”pada nekrosis jaringan.
4. Hal yang penting diperhatikan pada pasien anak adalah 3A’s dari CS pada
anak, identifikasi fraktur-luka/atau perawatan yang meningkatkan risiko CS,
faktor yang paling penting memberikan kontribusi untuk diagnosis dini pada
anak-anak,penyebab nontraumatic dari CS dan kelompok-kelompok tertentu
dari pasien yang berisiko.
5. CS didiagnosis berdasarkan diagnosis klinis, dan tekanan compartment
diukur hanya sebagai tes konfirmasi pada pasien yangnoncommunicative
atau ketika diagnosis tidak jelas.
6. Anak dengan supracondylar humeral fractures, forearm fractures, tibial
fracture,dan faktor risiko medis untuk coagulopathy memiliki peningkatan
risiko dan harus dimonitor dengan ketat.
7. Ketika diagnosis dibuat dengan segera dan kondisi tersebut diterapi
denganfasciotomy, hasil klinis jangka panjang yang baik dapat
diharapkan.Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah
mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan

42
aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi dan dilakukan jika tekanan
intra-kompartemen mencapai >30 mmHg.
8. Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada
ketika berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas. Konsekuensi dari
terlewatnya pemeriksaan dapat meningkatkan tekanan intra-kompartemen.
9. Prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis dan pengobatan
yang tepat, umumnya menberikan hasil yang baik dan diagnosis yang
terlambat dapat menyababkan kerusakan saraf yang permanen serta
malfungsi dari otot yang terlibat.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Proboseno SS. Presentasi Kasus Sindrom Kompartemen. IDI (serial online).


2014 (citied December 6, 2019); (24 Screens). Available from:
<https://www.scribd.com/document/253721440/Laporan-kasus-internship-
Sindrom-Kompartemen>.
2. Panjaitan AL. Sindroma Kompartemen. Fakultas Kedokteran TRISAKTI
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah RSAL dr. Mintohardjo (serial
online). 2013 (citied December 6, 2019); (47 Screens). Available from:
<https://www.scribd.com/document/174065935/sindrom-kompartemen>.
3. Hosseinzadeh P dan Talwalkar VR.Compartment Syndrome in
Children: Diagnosis and Management. The American Journal of
Orthopedics. 2016;45(1):19-22.
4. Jafril S. Sindroma Kompartemen. Departemen Orthopaedi & Traumatologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan (serial online).
2012 (citied December 9, 2019); (12 Screens). Available from:
<https://www.scribd.com/doc/110297280/Sindroma-Kompartemen>.
5. Sahara EM dan Primanita R. Sindrome Kompartmen. Kepaniteraan Klinik
Ilmu Bedah RSUD dr. Soeselo Slawi. 2014:1-33.
6. Erdös J, Dlaska C, Szatmary P, Humenberger M, Vécsei, Hajdu S. Acute
compartment syndrome in children: a case series in 24 patients and review
of the literature. International Orthopaedics (SICOT).2011; 35:569–575.
7. Rao K. Compartment syndrome in children. 3 A’S Of Pediatric
Compartment syndrome (serial online). 2010 (citied December 7, 2019); (60
Screens). Available from:
<http://www.slideshare.net/drvasurao85/cfakepath3-as-of-pediatric-
compartment>.
8. Singh A, Ali S, Srivastava RN. Evaluation of acute compartment syndrome
of extremities in emergencyroom: a case series of 32 children. Internet
Journal of Medical Update. 2015; 10(2):37-40.

44
9. Ciu JK. Sindrom Kompartemen. SMF Bedah RSUD dr.Soedarso Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas TanjungpuraPontianak (serial
online). 2011 (citied December 7, 2019); (21 Screens). Available from:
<https://www.scribd.com/document/212672040/LAPORAN-KASUS-
Sindrom-Kompartemen>.

45

Anda mungkin juga menyukai