Anda di halaman 1dari 39

BAB 1 PENDAHULUAN

Sindroma kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Tujuan dari terapi sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, biasanya dengan bedah dekompresi. Tindakan non operatif tertentu mungkin bisa berhasil, seperti menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindakinya. Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana yaitu fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi (Fette, 2012; Swiontkowski, 2001). Lokasi yang dapat mengalami sindrom kompartemen telah ditemukan di : tangan, lengan bawah, lengan atas, perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semua cedera dapat menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat. Hal yang paling penting dokter didesak untuk selalu waspada ketika berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas (Mabvuure et al,2012). .

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi menjadi akut, subakut dan kronik. Sindroma kompartemen akut termasuk dalam kedaruratan medik dan biasanya disebabkan karena cedera berat seperti fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik biasanya disebabkan oleh aktivitas yang berulang-ulang, disebut juga Chronic Exertional Compartment Syndrome (CECS) misalnya pada pelari jarak jauh, pemain sepakbola, dan pemain basket (Fette, 2012; Swiontkowski, 2001).

ANATOMI Kompartemen osteofasial merupakan ruangan yang berisi otot, syaraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fasia serta otot-otot yang masing-masing dibungkus oleh epimisium. Secara anatomi, sebagian besar kompartemen terletak dianggota gerak. Berdasarkan letaknya, kompartemen terdiri dari beberapa macam, antara lain: 1. Anggota gerak atas Lengan atas : terdapat kompartemen anterior dan posterior Lengan bawah : terdapat tiga kompartemen , yaitu flexor superfisial, fleksor profundus dan ekstensor 2. Anggota gerak bawah Tungkai atas; terdapat tiga kompartemen, yaitu : anterior, medial dan posterior
2

Tungkai bawah : tedapat empat kompartemen, yaitu : kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior profundus

Sindrom kompartemen paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial dan posterior profundus) serta lengan atas (kompartemen volar dan dorsal).

(Mabvuure et al,2012).

EPIDEMIOLOGI Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh McQueen, ditemukan insidens terjadinya sindroma kompartemen akut setiap tahun sekitar 7,3 per 100.000 untuk pria dan 0,7 per 100.000 untuk wanita. Di Amerika, prevalensi sesungguhnya dari sindroma kompartemen belum diketahui. Namun sebuah penelitian menunjukkan angka kejadian Chronic Exertional Compartment Syndrome (CECS) sebesar 14% pada individu yang mengeluh nyeri tungkai bawah. Laki-laki dan perempuan presentasinya adalah sama dan biasanya bilateral meskipun dapat juga unilateral. Chronic Exertional Compartment Syndrome (CECS) biasanya terjadi pada atlet yang sehat dan lebih muda dari 40 tahun (Mabvuure et al,2012).

ETIOLOGI Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain: 1. Penurunan volume kompartemen kondisi ini disebabkan oleh: Penutupan defek fascia Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

2. Peningkatan tekanan eksternal: Balutan yang terlalu ketat Berbaring di atas lengan Gips

3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain: Pendarahan Perdarahan yang disebabkan oleh Trauma vaskuler dari edema sampai massive atau kelainan perdarahan. Peningkatan permeabilitas kapiler Pada keadaan syok, post ischemia, pembengkakan, latihan, trauma langsung, luka bakar, pengobatan intraarterial, operasi ortopedi. Peningkatan tekanan kapiler

Latihan atau obstruksi vena Penggunaan otot yang berlebihan Penggunaan traksi yang berlebihan Gigitan ular

Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah. Dalam keadaan kronik, gejala juga timbul akibat aktifitas fisik berulang seperti berenang, lari ataupun bersepeda sehingga menyebabkan exertional compartment syndrome. Namun hal ini bukan merupakan keadaan emergensi (Mabvuure et al,2012.; Swiontkowski, 2001; AAOS, 2009).

FAKTOR RESIKO Berikut merupakan beberapa pasien yang membutuhkan perhatian khusus : 1. Pasien dengan fraktur tibial (diaphisis), khususnya laki laki dewasa muda. 2. Pasien dewasa muda dengan luka berat pada diaphysis lengan bawah atau radius distal. 3. Pasien dengan fraktur metaphysic tibia 4. Dewasa muda dengan cedera jaringan lunak atau kelainan perdarahan 5. Anak anak 6. Pengguna obat-obatan (Mabvuure, 2012)

PATOGENESIS Sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga
7

menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu, antara lain: Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen Theori of critical closing pressure. Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda ( tekanan arterioltekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup Tipisnya dinding vena Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan sehingga drainase vena terbentuk kembali McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. Patogenesis dari sindroma kompartemen kronik telah digambarkan oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang. Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara kontraksi yang terus menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan
8

tekanan, aliran arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah biasanya yang kena. (Mabvuure et al,2012).

MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu: 1. Pain (nyeri) Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. 2. Pallor (pucat) Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut. 3. Pulselessness : berkurang atau hilangnya denyut nadi 4. Parestesia (rasa kesemutan) 5. Paralysis Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom., Sedangkan pada kompartemen syndrome akan timbul beberapa gejala khas, antara lain: Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga. Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit. Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit. Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

Tanda tanda klinis kompartemen sindrom adalah : Nyeri pada saat palpasi daerah kompartement yang bengkak. Nyeri pada perenggangan pasif pada jari. Tanda ini kemungkinan merupakan tanda adanya impending akut kompartement syndrome. Namun tanda ini bukan
9

merupakan tanda specific untuk akut kompartemen sindrom tapi tanda yang biasanya muncul pada pembengkakan otot dan iskemia. Pembengkakan pada daerah yang terkena Pada palpasi, bagian kompartement yang terkena teraba keras dan kulit disekitarnya mengkilat. Palpasi denyut nadi selalu menunjukan adanya akut kompartemen sindrom, berkurang bila ada cedera dari arter. Pengisian arteri kapiler pada jari terlambat namun masih dalam batas normal dan pulsasi perifer masih ada pada keadaan akut. Deficit sensoris pada daerah kompartement yang terganggu. Kelemahan otot (Mabvuure et al,2012 ; Amendola & Twaddle, 2008; Vorvick, 2012).

10

DIAGNOSIS Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnose kompartemen syndrome dilakukan dengan pengukuran tekanan kompartemen. Pengukuran intra kompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar, pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan pasien-pasien dengan multiple trauma seperti trauma kepala, medulla spinalis atau trauma saraf perifer. Tekanan kompartemen normalnya adalah 0. Pengukuran tekanan intrakompartemen dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut yaitu : 1. Needle manometer Pengukuran langsung tekanan kompartement interstisial pertama kali dilakukan oleh Landerer pada tahun 1884. Awalnya teknik ini digunakan untuk mendiagnosis sindrom kompartemen kronis, namun selanjutnya dapat digunakan untuk mendiagnosis sindrom kompartemen akut. Teknik Whitesides merupakan cara yang paling sederhana, mudah dikerjakan, aman, murah dan dapat diulangulang namun tidak dapat memonitor secara kontinyu. Mekanisme pengukurannya menggunakan sebuah needle ukuran 18 yang disambungkan ke spuit 20cc dengan selang yang berisi saline dan udara, dan selang tersebut juga menghubungkan dengan manometer mercury standar. Setelah jarum ditusukkan ke dalam kompartemen, tekanan udara dalam spuit akan mengangkat meniscus salineudara kemudian tekanannya akan terbaca di manometer mercury. Teknik ini merupakan teknik standar yang tersedia diseluruh rumah sakit namun
11

kekurangannya adalah tidak cocok untuk memonitoring tekanan kompartement. Kemudian teknik ini dimodifikasi lebih lanjut menjadi the continuous technique. Keuntungan dari teknik ini adalah simple dan dapat digunakan untuk terus memonitoring pasien dengan sindrom akut kompartemen.

2. Wick catheter Kateter wick terdiri dari sebuah polyethylene tube yang dibuat oleh scholander dan colleagues. Awalnya alat ini digunakan untuk mengukur tekanan jaringan pada hewan seperti kura-kura, ular, dan ikan dan kemudian dimodifikasi untuk penggunaan klinis. Teknik ini merupakan teknik yang pertama untuk mengukur tekanan intrakompartemen sebelum adanya teknik continuous infusion. Teknik membutuhkan catheter placement sleeve dan sebuah wick
12

catheter yang dihubungkan ke transducer dan recorder. Kateter dan tube disambungkan oleh three-way stopcock dan dihubungkan ke transducer. Penting untuk diperhatikan, dalam system ini tidak didapatkan adanya gelembung udara karena akan mengakibatkan pembacaan yang salah. Setelah system ini terisi, ujung kateter harus terisi oleh air. Kemudian selanjutnya dikalibrasi dan ditusukkan ke jaringan dengan trocar yang besar. Teknik ini digunakan untuk terus memonitoring tekanan intrakompartemen. Kelemahan utama dari teknik ini adalah dapat dihambat oleh adanya clot darah.

13

3. Slit catheter Teknik ini membutuhkan kateter slit, jarum, transducer yang dihubungkan ke three-way stopcock, dan pressure moniter. Sambungkan komponen komponen tersebut dan kateter telah terisi oleh cairan saline steril. Mekanismenya sama seperti wick kateter yaitu tidak ada gelembung udara dalam system dan monitor harus sudah dikalibrasi oleh ujung dari slit kateter dengan transducer dan setel knobnya ke angka nol. Monitornya memiliki alarm, jika telah selesai akan mati setelah tekanannya meningkat sesuai kondisi.

14

15

4. Stic catheter system Kateter stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk mengukur tekanan intrakompartemen secara terus-menerus. Pada kateter stic, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan kateter melalui celah kecil pada kulit ke dalam kompartemen otot. Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser tekanan dan akhirnya tekanan intrakompartemen dapat diukur.
16

5. Microcapillary infusion Teknik ini diperkenalkan oleh styf dan korner, yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom kompartemen kronik. Teknik ini dapat digunakan untuk monitoring tekanan kompartemen dalam jangka waktu yang lama dan merupakan teknik yang baik.

6. Arterial transducer measurement Dengan peningkatan teknologi yang maju, untuk monitoring pengukuran tekanan arterial digunakan simple cateter intravenayang dihubungkan dengan transducer merupakan alternative lain untuk pengukuran tekanan kompartemen. Pada teknik ini, digunakan kateter ukuran 16 yang terisi saline dan dihubungkan ke monitor, secara akurat tekanan kompartemen akan terukur. Secara normal letak cateter ada dalam kompartemen dan tekanannya akan terbaca dari monitor arteri yang sudah dikalibrasikan dengan pengukuran kompartemen.

7. Teknik noninvasive Digunakan untuk pengukuran pada sindrom kompartemen kronis. Alat yang biasa digunakan adalah near-infrared spectroscopy yang digunakan untuk mengukur perubahan oksigenasi relative pada kompartemen setelah latihan dan banyak digunakan untuk monitoring pasien normal yang control. (Amendola & Twaddle, 2008)
17

DIAGNOSA BANDING Diagnosis yang paling sering membingungkan dan sangat sulit dibedakan dengan sindrom kompartemen adalah oklusi arteri dan kerusakan saraf primer, dengan beberapa ciri yang sama yang ditemukan pada masing-masingnya. Pada sindrom kompartemen kronik didapatkan nyeri yang hilang timbul, dimana nyeri muncul pada saat berolahraga dan berkurang pada saat beristirahat. Sindrom kompartemen kronik dibedakan dengan claudikasio intermitten yang merupakan nyeri otot atau kelemahan otot pada tungkai bawah karena latihan dan berkurang dengan istirahat, biasanya nyeri berhenti 2-5 menit setelah beraktivitas. Hal ini disebabkan oleh adanya oklusi atau obstruksi pada arteri bagian proksimal, tidak ada peningkatan tekanan kompartemen dalam hal ini. Sedangkan sindrom kompartemen kronik adanya kontraksi otot berulang-ulang yang dapat meningkatkan tekanan intramuskuler sehingga menyebabkan iskemia kemudian menurunkan aliran darah dan otot menjadi kram. Diagnosis banding dari sindrom kompartemen antara lain : 1. Selulitis 2. Coelenterate dan Jellyfish Envenomations 3. Deep Vein Trombosis dan Thrombophlebitis 4. Gas Ganggrene 5. Necrotizing Fasciitis 6. Peripheral Vascular Injuries 7. Rhabdomyolis (Amendola & Twaddle, 2008)

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada kasus-kasus dengan sindrom kompartemen dapat dilakukan pemeriksaan penunjang, antara lain : 1. Laboratorium

18

Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Complete Metabolic Profile (CMP) Hitung sel darah lengkap Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin Serum myoglobin Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis. Protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTTT)

2. Imaging Rontgen : pada ekstremitas yang terkena. USG USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT)

3. Pemeriksaan Lainnya Pengukuran tekanan kompartemen

Pulse oximetry Sangat membantu dalam mengidentifikasi hipoperfusi ekstremitas, namun tidak cukup sensitif.
19

TATALAKSANA Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan kompartemen secara umum meliputi: 1. Terapi Medikal/non bedah Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi: Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat perkembangan sindroma kompartemen. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas. (Mabvuure et al,2012)

2. Terapi bedah Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik,
20

evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal. Fasiotomi di lakukan pada pasien berikut : Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif, yang memiliki tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 30 mmHg, dan durasi tekanan yang meningkat tidak diketahui atau dianggap lebih dari 8 jam. Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekanan intrakompartemen lebih dari 30 mmHg. Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 20 mmHg.

Toleransi jaringan untuk iskemia berkepanjangan bervariasi tergantung pada jenis jaringan yang terlibat. Gangguan fungsional akan terjadi pada otot setelah 2-4 jam iskemia dan kehilangan fungsional ireversibel setelah 4-12 jam. Jaringan saraf menunjukkan fungsi abnormal setelah 30 menit iskemia, dengan gangguan fungsional ireversibel setelah 12-24 jam (Mabvuure et al,2012).

Berikut beberapa jenis insisi fasciotomi berdasarkan letak kompartemen : 1. Kompartemen syndrome pada tangan Kejadian kompartemen sindrom pada tangan sangat jarang terjadi dan diagnosisnya sangat sulit dibuat. Diagnosisnya berdasarkan trias yaitu : stretch pain, paralisis dan weakness muscles. Kejadian ini biasanya disebabkan oleh crush injury tetapi dapat juga dihubungkan dengan adanya fraktur tulang carpal. Kompartemen

21

yang biasanya terkena adalah interossei. Fasciotomi, insisi dilakukan biasanya pada bagian dorsal secara longitudinal.

2. Kompartemen sindrom pada lengan Kejadian pada lengan juga jarang. Kejadian ini biasanya dihubungkan dengan adanya fraktur pada distal radius. Kejadian ini juga dapat terjadi pada infiltrasi cairan pda jaringan lunak, greasegun injuries dan infeksi berat yang dihubungkan dengan pemakaian obat. Teknik fasciotomi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : Henry approach

22

Volar Ulnar approach

23

Dorsal approach

3. Kompartemen sindrom pada kaki bagian bawah

24

25

4. Kompartemen sindrom pada paha

5. Kompartemen sindrom pada telapak kaki

26

KOMPLIKASI Sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain: Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen. Kontraktur volkman merupakan kerusakan otot yang disebabkan oleh terlambatnya penanganan sindrom kompartemen sehingga timbul deformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawah Trauma vascular Gagal ginjal akut Sepsis Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

PROGNOSIS Prognosis bisa baik sampai buruk, tergantung : Seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom dilaksanakan Bagaimana komplikasi dapat terbentuk.

PENCEGAHAN Lakukan pemeriksaan dengan yang ahli dan dipantau perkembangan Hubungi atau kembali ke rumah sakit bila nyeri terasa berat, kaku, sensasi terbakar atau kelemahan pada ekstremitas yang terkena. Rujuk bila sindrom kompartemen disertai dengan : 1. ketidakmampuan atau tidak akurat dalam mendiagnosis sindrom kompartemen karena keterbatasan alat atau diagnostic imaging 2. Penanganan dengan bedah yang tidak memadai 3. Tidak tersedianya fasilitas ICU

27

BAB 3 LAPORAN KASUS

I.

Identitas Nama Umur Jenis kelamin Alamat Pekerjaan Status Suku Agama No. RM Tanggal MRS : Tn. R : 19 tahun : Laki - Laki : Kopang, Lombok Tengah : Mahasiswa : Belum menikah : Sasak : Islam : 521633 : 4 September 2013

Tanggal pemeriksaan : 8 November 2012

II.

Anamnesis Keluhan Utama Nyeri tungkai kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang Nyeri tungkai kanan bawah dirasakan sejak 2,5 bulan yang lalu. Nyeri ini dirasakan sejak pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Setelah kecelakaan pasien dibawa ke rumah sakit. Pasien merasakan nyeri pada kaki bila digerakkan dan ditekan. Nyeri dirasakan terus menerus dan seperti di tusuk-tusuk. Pasien mengaku tidak dapat menggerakkan kaki kanannya setelah kejadian tersebut. Selain itu, pasien juga mengeluhkan kakinya bengkak dan berwarna merah kehitaman. Pasien terjatuh dari sepeda motor setelah menabrak sebuah pohon karena pasien sedang mengendarai sambil memencet handphone. Pasien tidak menggunakan helm, pasien
28

masih ingat kejadian dan menyangkal adanya riwayat pingsan. Saat ini, pasien masih mengeluhkan nyeri pada kaki kanan dan tidak mampu menggerakkan jari jari kaki kanannya. Pasien menyangkal adanya keluhan mual dan muntah. Pasien tidak pernah menderita demam selama sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa.

Riwayat Pengobatan Pasien telah berobat kerumah sakit Praya dan Biomedika sebelum ke RSUP NTB. 1. Di RSUD Praya, pasien mengaku kakinya hanya dirawat selama 2 hari dan dipasangkan papan. 2. Kemudian pasien berobat ke RS Biomedika dan kemudian di rujuk ke RSUP NTB. 3. DI RSUP NTB pasien telah dioperasi sebanyak 4 kali Operasi pertama : 14 -09-13 Operasi kedua : 25 -09-13 Operasi ketiga : 28 -09-13 Operasi keempat : 01-10-13

III.

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran/GCS Tanda vital TD N : sedang : Compos mentis/E4V5M6 : : 110/70 mmHg : 76 kali/menit
29

RR T

: 20 kali/menit : 36,8 0C

Status generalis: Kepala a. Ekspresi wajah: normal b. Bentuk dan ukuran: normosefali c. Rambut: normal d. Edema wajah (-) Mata a. Posisi simetris b. Edema palpebra: -/c. Konjungtiva anemis -/-, hiperemis -/d. Skelera ikterik -/e. Pupil: isokor. Refleks pupil langsung dan tidak langsung +/+ f. Mata cowong -/ Telinga a. Sekret -/b. Pendengaran: normal Hidung a. Simetris, deviasi septum (-) b. Perdarahan (-), sekret (-) c. Penciuman: normal Mulut a. Bibir simetris (+) b. Mukosa: normal c. Faring dan laring: normal Leher a. Trakea: ditengah
30

b. Massa (-) c. Pembesaran kelenjar getah bening: (-) Thoraks a. Inspeksi: bentuk dan ukuran dada normal, gerakan dada simetris, iktus kordis tidak tampak, jejas (-), pelebaran sela iga (-). b. Palpasi: gerakan dinding dada simetris, iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra. c. Perkusi: sonor pada kedua lapang paru. Batas jantung kanan: parasternal kanan ICS II, kiri: midklavikula ICS V. Batas paru hepar: ICS V. d. Auskultasi: Cor: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo: vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/ Abdomen a. Inspeksi: distensi (-), massa (-), jejas (-). b. Auskultasi: bising usus (+) normal, bising aorta (-) c. Perkusi: timpani (+) di seluruh lapang abdomen d. Palpasi: supel, nyeri tekan (-), hepar-lien tidak teraba Ekstremitas a. Akral hangat (+/+) b. Edema (-/-)

Status lokalis: a. Look Warna kulit disekitar luka berwarna lebih gelap dari kulit sekitar dan terlihat kering. Vulnus scissum berukuran 20 cm x15cmx 3cm pada anterior cruris dextra, perdarahan (+). Kedalaman luka bervariasi, dengan dasar tulang, fasia, dan tendon.

31

Vulnus scissum berukuran 10 cm x3cmx 3cm pada posterior cruris dextra, perdarahan (+)

Terlihat os tibia dari luka

b. Feel Nyeri tekan (+), parestesi (+) bagian dari distal luka, paralisis (-), pulsasi dorsalis pedis (+) c. Move Keterbatasan gerak (+)

IV.

Resume Pasien laki-laki 19 tahun, mengeluhkan nyeri pada tungkai kanan sejak + 2,5 bulan yang lalu post KLL bila digerakkan. Pasien juga tidak dapat menggerakkan kaki kanannya setelah kejadian tersebut. Kaki pasien bengkak dan berwarna merah kehitaman. Setelah kejadian pasien masih ingat kejadian dan menyangkal adanya riwayat pingsan. Saat ini, pasien masih mengeluhkan nyeri pada kaki kanan dan tidak
32

mampu menggerakkan jari jari kaki kanannya serta jari kakinya tidak mampu merasakan sentuhan. Pasien menyangkal adanya keluhan mual dan muntah. Pasien tidak pernah menderita demam selama sakit. Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU sedang, kesadaran CM, TD: 110/70 mmHg, N: 76 kali/menit, RR: 20 kali/menit, dan T: 36,8 0C. Kepala-leher dan thoraks dalam batas normal. Dari status lokalis didapatkan: Warna kulit disekitar luka berwarna lebih gelap dari kulit sekitar dan terlihat kering, Vulnus scissum berukuran 20 cm x15cmx 3cm pada anterior cruris dextra, perdarahan (+). Kedalaman luka bervariasi, dengan dasar tulang, fasia, dan tendon. Vulnus scissum berukuran 10 cm x3cmx 3cm pada posterior cruris dextra, perdarahan (+). Feel : Nyeri tekan (+), parestesi (+) bagian dari distal luka, paralisis (-), pulsasi dorsalis pedis (+), Move :Keterbatasan gerak (+)

V.

Diagnosis Kerja Kompartemen syndrome post faciotomi dan debridement region cruris dextra

VI.

Usulan Pemeriksaan Penunjang 1. DL, LED 2. Rontgen 3. Pengukuran tekanan kompartemen

VII.

Hasil pemeriksaan penunjang Darah lengkap (01/10/13) Parameter HGB HCT RBC MCV MCH 01/10/13 10,6 31,6 3,77 83,8 28,1

33

MCHC WBC PLT LED

33,5 8.78 246 28

Kimia klinik (10 Oktober 2012) Parameter GDS Kreatinin Ureum SGOT SGPT Total protein Albumin Asam urat LED Golongan darah 09/10/2012 69 0,5 9 10 16 6,4 1,9 3,6 28 B

Kultur bakteri Sensitive terhadap ; kloramfenikol, kotrimoksazol, dan meropenem, Rontgen Kesimpulan ; fraktur tibia 1/3 proksimal dextra

34

VIII.

Rencana Terapi IVFD RL 20 tetes/menit Ketorolac drip Ceftriaxon 2x1gr Ranitidin 2x1 amp Diet tinggi protein

IX.

Diagnosis Akhir Kompartemen syndrome post faciotomi dan debridement region cruris dextra e.c close fraktur tibia 1/3 proksimal dextra

X.

Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam Ad functionam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam

35

BAB 4 PEMBAHASAN Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah. Dari anamnesis didapatkan bahwa pada awalnya pasien terjatuh dengan menabrak pohon. Selain itu, pasien juga mengeluhkan kakinya bengkak dan berwarna merah kehitaman dan sulit digerakkan. Hal ini menandakan telah munculnya 3 dari 5 tanda klasik dari sindrom kompartemen yaitu pain, paresthesia dan paralysis. Saat masuk rumah sakit pasien langsung menjalani fasciotomi. Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan 2,5 bulan setelah KLL (post fasciotomi dan debridement) didapatkan luka post op dan warna kehitaman disekitar kaki kanan pasien. Selain itu, juga terdapat nyeri tekan dan parestesi pada kaki kanan. Tungkai bawah pasien masih dalam keadaan diperban setelah dilakukannya fasciotomi. Dari anamnesis diperoleh 3 dari 5 tanda klasik sindrom kompartemen yaitu pain, paresthesia, dan paralysis. Untuk 2 tanda yang lain (pallor dan pulseness) mungkin dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik sebelum pasien menjalani fasciotomi, namun pemeriksaan fisik pada pasien ini dilakukan setelah pasien menjalani fasciotomi sehingga tidak didapatkan lagi kedua tanda tersebut. Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan dalam suatu kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh darah dan otot didalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah. Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak. Sindrom kompartemen paling sering terjadi di tungkai bawah dan lengan atas. Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom kompartemen Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulseness. Untuk penatalaksanaan sindrom kompartemen dapat dilakukan dengan

menempatkan ekstremitas yang terkena sejajar dengan jantung dan harus segera dilakukan fasciotomi untuk mencegah kerusakan jaringan intrakompartemen. Pada pasien ini fasciotomi dilakukan segera setelah pasien dirawat di rumah sakit. Penatalaksanan yang

36

dianjurkan pada pasien ini meliputi ketorolac sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri yang dirasakan oleh pasien. Ceftriaxon sebagai antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan ranitidine untuk mencegah stress ulcer.

37

BAB 5 PENUTUP Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi emergensi yang mengancam anggota tubuh dan jiwa yang paling sering terjadi pada daerah tungkai bawah. Penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah. Gejala klinis yang terjadi pada sindrom kompartemen dikenal dengan 5-P yaitu: Pain (nyeri) , Pallor (pucat), Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi), Parestesia (rasa kesemutan), Paralysis. Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi dan dilakukan jika tekanan intra-kompartemen mencapai >30 mmHg. Prognosis ditentukan oleh trauma penyebab. Diagnosis dan pengobatan yang tepat, umumnya menberikan hasil yang baik dan diagnosis yang terlambat dapat menyababkan kerusakan saraf yang permanen serta malfungsi dari otot yang terlibat. Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada ketika berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas. Konsekuensi dari terlewatnya pemeriksaan dapat meningkatkan tekanan intra-kompartemen.

38

DAFTAR PUSTAKA 1. Fette, Andreas M., 2012 . Special Aspects of Forearm Compartment Syndrome in Children, Orthopedic Surgery, Dr Zaid Al-Aubaidi (Ed.), ISBN: 978-953-51-0231-1, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/orthopedic-

surgery/compartment-syndrome-of-the-forearm-in-children 2. Swiontkowski, MF., 2001. Manual of orthopaedics 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins. 3. Mabvuure, NT. et al., 2012. Acute Compartment Syndrome of the Limbs: Current Concepts and Management. The Open Orthopaedics Journal, 2012, 6, (Suppl 3: M7) page 535-543. Available at :
http://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535TOORTHJ.pdf.

4. American Acedemy of Orthopaedic Surgeons. 2009. Compartement Syndrome.


Diunduh dari: http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204

5. Amendola, A. & Twaddle, B.C., 2008. Compartment syndromes. In: Browner BD, Jupiter JB, Levine AM, Trafton PG, Krettek C, eds. Skeletal Trauma. 4th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier chap 13. Available at :

http://olc.metrohealth.org/SubSpecialties/Trauma/Media/SkeletalTrauma/ch12.pdf. 6. Vorvick, L.J., 2012. Compartment syndrome. Available at :

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002204/

7. Undersea and Hyperbaric Medical Society. "Crush Injury, Compartment syndrome, and other Acute Traumatic Ischemias". Available at : http://www.uhms.org/ResourceLibrary/Indication... (Diunduh bulan Oktober 2011)

1. Geiderman JM, Katz D. General principles of orthopedic injuries. In: Marx J, ed. Rosens Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, Pa: Mosby Elsevier; 2009:chap 46. 2. Marshall ST, Browner BD. Emergency care of musculoskeletal injuries. In: Townsend CM Jr, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL,eds. Sabiston Textbook of Surgery. 19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2012:chap 20.
39

Anda mungkin juga menyukai