Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

KOMPLIKASI PADA ANESTESI

Oleh:
Hendri Prasetyo 1102012113
Sera Fajarina Yoseva 1102012271

Pembimbing:

dr. Hj. Hayati Usman, SpAn


dr. Dhadi Ginanjar, SpAn
dr.Ferra Mayasari, Sp.An

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF ANESTESI RSUD DR. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Anestesi secara umum berarti membantu pasien menghilangkan rasa nyeri
pada saat pembedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnostic-
terapeutik. Selama proses pembiusan dan setelah pembiusan dapat terjadi
komplikasi komplikasi. Selain itu teknik dari pembiusan baik regional maupun
umum juga berpotensi mengakibatkan komplikasi
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu
usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi
serta jenis dari operasinya.
Komplikasi tersering yang dirasakan setelah anestesi dengan teknik regional
dan umum antara lain adalah merasa sakit dan muntah, pusing dan lemah.
Sedangkan komplikasi yang jarang ditemukan antara lain adalah kerusakan pada
mata, alergi obat serius, kerusakan saraf serta kematian.
Terjadinya komplikasi dari anestesi sangat merugikan, karena dapat
mempengaruhi keadaan umum pasien, memperpanjangang waktu recovery,
memberikan pengalaman buruk, rasa tidak nyaman serta masalah biaya karena dapat
memperpanjang masa perawatan di rumah sakit. Komplikasi anestesi yang terjadi
dapat dicegah tetapi beberapa tidak dapat dihindari. Untuk itu kami mengangkat
masalah komplikasi anestesi. Referat ini bertujuan untuk mengetahui komplikasi
pada anestesi dan juga cara menangani dan mencegah komplikasi komplikasi yang
tejadi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komplikasi Anestesi


Komplikasi anestesi dapat terjadi selama/durante anestesi atau pasca anestesi

Komplikasi Durante Anestesi


1. Respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, singultus,
spasme (laryngospasm, bronchospasm)
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai cardiac
arrest
3. Regulasi Suhu : hypothermia, hyperthermia
4. Kesadaran menurun selama operasi
Komplikasi Pasca Anestesi
1. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
3. Mata : laserasi kornea, blepharospasm
4. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervolemia
5. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
6. Mengigil
7. Malignant hyperthermia
8. Mimpi buruk
9. Gaduh-gelisah
10. Muntah
Komplikasi pada general anestesi terdiri dari :
1. Komplikasi respiratori
a. Komplikasi dari laringoskopi dan intubasi
b. Obstruksi respirasi
c. Hipoksemia
d. Hypercapnea dan hypocapnea
e. Hipoventilasi

2
f. Aspirasi pneumonia
2. Komplikasi kardiovaskular
a. Hipotensi
b. Hipertensi
c. Aritmia
3. Komplikasi neurologi
a. Kesadaran
b. Tertunda pemulihan
c. Perioperatif neurophaty
4. PONV
5. Perubahan temperature
a. Komplikasi kardiovaskuler Hypothermia
b. Hyperthermia
6. Efek merugikan obat dan hipersensitivitas
7. Komplikasi dari posisi

Komplikasi Anestesi Regional Spinal

1. Komplikasi Segera
a. Hipotensi
b. Anestesi Spinal Total : Hipotensi, Bradikardi, Apneu
c. Reaksi toksik sistemik
d. Reaksi alergi : urtikaria, syok anafilatik
e. Hipotermi
2. Komplikasi lanjutan
a. Nyeri kepala
b. Nyeri punggung
c. Retensi urin
d. Infeksi
e. Cedera saraf

2.2 Komplikasi pada sistem organ

3
2.2.1 Respiratori

1. Komplikasi laringoskopi dan intubasi


a. Kesalahan posisi ETT
- Intubasi esofagal
- Intubasi endobronkial
- Posisi manset dalam laring
b. Trauma jalan nafas
- Gigi rusak
- Dislokasi mandibula
- Sakit tengorokan
- Tekanan dalam trakea
- Edema glottis atau trakea
- Post intubasi granuloma pada pita suara
c. Respon fisiologi dalam instrumensasi jalan nafas
- Stimulasi simpathetik
- Laryngospasm
- Bronchospam
d. Malfungsi ETT
- Resiko pencapaian
- Obstruksi ETT
- Cuff Perforasi

2. Obstruksi Jalan Nafas

Sumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar adalah tersering karena
lidah jatuh ke belakang ke pharing posterior. Penyebab lainnya adalah spasme
laring, udema glottis, sekresi, muntahan, darah di jalan nafas, atau tekanan luar
dari trakea (tersering karena hematoma di leher). Sumabatan parsial jalan nafas
biasanya diketahui dengan adanya respirasi sonor. Sumbatan total
menyebabkan aliran udara terhenti, suara nafas menghilang, dan ditandai
dengan gerakan paradoksal dada (saat inspirasi dada turun sedang perut naik).
Pasien dengan sumbatan jalan nafas harus diberi suplemen oksigen sementara

4
ukuran koreksi dikerjakan. Kombinasi gerakan mendorong rahang dan
memiringkan kepala akan menarik lidah ke depan dan membuka jalan nafas.
Memasang pipa nasal atau oral sering meringankan masalah. Pipa nasal lebih
ditolelir oleh pasien-pasien selama pemulihan dan lebih sedikit kemungkinan
trauma pada gigi bila mereka menggigit.
Jika manuver diatas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan.
Karakteristik dari spasme laring adalah suara tinggi nyaring dan mungkin juga
diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita suara adalah lebih mudah terjadi
pada trauma jalan nafas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari secret
atau darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust (mendorong rahang), terutama
bila dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask,
biasanya dapat mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral
atau nasal juga membantu dalam menjamin patensi jalan nafas bawah sampai
pada pita suara. Sekret atau darah pada jalan nafas harus disedot untuk
mencegah kekambuhan. Spasme laring yang parah harus diterapi agresif.
Dengan dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif
dengan O2 100% untuk sementara waktu guna mencegah hipoksia berat atau
udema paru tekanan negatif. Intubasi endotrakea kadang-kadang diperlukan
untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi atau jet ventilasi transtrakea
diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil.
Udema glotis setelah instrumentasi jalan nafas adalah penyebab penting
sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak-anak muda. Kortikosteroid i.v
(dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik epinephrine (0,5 ml larutan
2,25 % dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam kasus-kasus semacam ini.
Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher, tiroid,
dan carotis dapat membahayakan jalan nafas dengan cepat. Pembukaan luka
tersebut segera menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang tertinggal tak
sengaja di hipopharing pada bedah mulut dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas total cepat atau lambat.

5
Etiologi
Obstruksi bisa terjadi pada jaringan lunak, sekret yang berlebihan,
darah, isi lambung, spasme laring, tumor, inflamasi, benda asing, hipertrofi
tonsil dan adenoid dan kaku atau blokade dari ETT dan yang paling banyak
muncul pada periode post operatif adalah jalan napas bagian atas.

Tanda-tandanya
Obstruksi respirasi termasuk
a.) Pertukaran tidal yang inadekuat
b.) Retraksi dinding dada dan supraclavikular dan suprasternalis
c.) Pergerakan perut yang berlebihan
d.) Penggunaan otot-otot aksesoris
e.) Sianosis
Adanya hentakan trakea selama anestesi pada periode pemulihan
dapat diindikasikan sebagai salah satu anestesia dalam, blokade neuromuskular
dan atau hipoksia dengan retensi CO2 penyebab terakhir oleh karena respirasi
yang inadekuat atau obstruksi ventilasi.

TERAPI
Termasuk pemasukkan jalan napas hidung atau faring (jika ditoleransi),
elevasi mandibula ke depan dan ke atas oleh tekanan dibelakang sudut
mandibula dan ventilasi buatan. Itu bisa jadi kebutuhan untuk membebaskan
jalan napas dari sekret oleh penghisapan yang sering. Jika jalan napas pasien
tidak bisa dijaga, selanjutnya intubasi trakea adalah indikasi. Trakeotomi bila
dibutuhkan, tetapi itu sangat jarang sekali.

3. Apnea
Dapat berkembang karena obstruksi pada jalan napas, depresi respirasi
perifer atau pusat. Terapi seharusnya dilakukam segera dengan ventilasi buatan,
dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke sungkup, mulut ke jalan napas
atau mulut ke ETT. Pemompaan kantung sendiri, kantung penadah dari mesin
anestesi. Trakeotomi dapat dibutuhkan sewaktu-waktu.

6
4. Hipercapnea
PaCO2 atau ET CO2 > 40 mhg karena peningkatan FiCo2,
hipoventilasi, peningkatan ruang mati, peningkatan CO2 yang diproduksi
jaringan. Terapi sesuai kasus.

5. Hipoventilasi
Hipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, sering terjadi
setelah anestesi umum. Kebanyakan hipoventilasi adalah ringan dan pada
beberapa kasus dapat diabaikan. Hipoventilasi yang bemakna secara klinis akan
tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau pH darah arteri < 7,25. Tanda-tandanya
bervariasi misalnya mengantuk yang berlebihan atau lama, sumbatan jalan nafas,
laju nafas pelan, takipnea dengan nafas dangkal, atau sulit bernafas. Asidosis
ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung
iritabel (lewat stimulasi simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan
depresi sirkulasi. Jika curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan
analisa gas darah arteri untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana
selanjutnya.
Hipoventilasi di PACU sangat umum karena efek-efek sisa depresi dari
agen anestesi terhadap pusat nafas. Karakteristik depresi nafas karena opioid
adalah laju nafas yang lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi
yang berlebihan juga sering terjadi, tetapi pasien mungkin mendengar dan dapat
meningkatkan pernafasan dengan perintah. Biphasik atau berulangnya bentuk-
bentuk depresi nafas telah dilaporkan sebagai akibat dari semua opioid.
Mekanismenya meliputi variasi-variasi dalam intensitas dari stimulasi selama
pemulihan dan pelepasan lambat opioid dari kompartemen perifer seperti otot
rangka (atau paru pada fentanyl) selama pasien hangat kembali atau mulai
bergerak. Pengeluaran dari pemberian opioid intra vena ke dalam cairan
lambung kemudian diserap lagi juga telah dijelaskan tetapi tampaknya tak diakui
karena pengambilan oleh hati yang tinggi untuk kebanyakan opioid.
Hipoventilasi dapat terjadi pada saat operasi dan selama periode setelah
operasi. Hipoventilasi dapat disebabkan oleh obat-obatan pre anestesia dan

7
anestesia, narkotik, pelemas otot atau reduksi dalam suhu tubuh (biasanya pada
bayi). Nyeri dari insisi di dada atau perut ditandai dengan menurunnya kapasitas
maksimal bernapas, derajat dari hasil hipoksia dan hiperkapnia.
Terapi dapat diakukan dengan variasi oleh masker atau endo trakeal tube
dengan kantung inflasi nya sendiri, kantung bernapas dari mesin anestesia atau
ventilator mesin. Jika depresi respirasi oleh karena narkotik, antagonis narkotik
seperti nalaxone diindikasikan. Jika hipoventilasi oleh karena tubocurarine atau
pancuronium, injeksi neostigmine dengan atropin juga diindikasikan. Pemberian
oksigen oleh sungkup muka sekali pakai yang direkomendasikan untuk setiap
pasien selama periode post operatif dini.
Revers tidak adekuat, overdosis, hipotermi, interaksi farmakologi
(misalnya dengan antibiotik mycin atau terapi magnesium), perubahan
farmakokinetik (karena hipotermi, perubahan distribusi volume, disfungsi ginjal
atau hati) atau factor-faktor metabolic (hipokalemia atau asidosis respiratorik)
dapat berespon terhadap sisa-sisa pelumpuh otot di PACU. Tanpa
memperhatikan penyebabnya, gerakan nafas yang tak terkoordinasi dengan
volume tidal yang dangkal dan takipnea biasanya jelas kelihatan. Diagnosa
dapat ditegakkan dengan sebuah stimulator syaraf pada pasien-pasien yang tak
sadar, pasien yang sadar dapat disuruh memiringkan kepala. Kemampuan untuk
mengangkat kepala selama 5 detik mungkin test paling sensitive untuk menilai
keadekuatan dari reversal..
Terapi sebaiknya langsung ditujukan pada penyebab yang mendasarinya,
tetapi tanda-tanda hipoventilasi selalu memerlukan ventilasi terkontrol sampai
faktor-faktor yang berperan diidentifikasi dan dikoreksi. Adanya depresi
sirkulasi, atau asidosis (pH darah arteri < 7,15) adalah indikasi untuk segera
dilakukan intubasi endotrakea. Antagonis dari opioid penyebab depresi dengan
naloxone. Peningkatan ventilasi alveolar biasanya juga dikaitkan dengan nyeri
mendadak dan keluarnya simpatis. Akhirnya dapat mencetuskan krisis
hipertensi,udema paru, dan miokard iskemik atau infark. Jika naloxone
digunakan untuk meningkatkan pernafasan, titrasi dengan dosis kecil (0,04 mg
pada orang dewasa) mungkin menghindari komplikasi-komplikasi oleh revers
sebagian dari depresi nafas tanpa revers bermakna dari analgesia. Setelah

8
naloxone sebaiknya pasien dipantau secara cermat akan kekambuhan dari
depresi nafas oleh opioid (renarkotisasi),mengingat naloxone berdurasi lebih
pendek daripada kebanyakan opioid. Sebagai alternatif doxapram 60-100mg,
dilanjutkan dengan 1-2mg/mnt i.v boleh digunakan, doxapram tak merevers
analgesia tetapi dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Bila terdapat sisa
dari pelumpuh otot dapat diberikan penghambat kolinesterase. Sisa pelumpuh
kendati dalam dosis penuh penghambat kolinesterase memerlukan kontrol
ventilasi sampai terjadi pemulihan spontan. Kebijaksanaan memilih analgesik
opiod (intravena atau intraspinal), anestesi epidural, atau blok saraf interkostal
adalah sering menguntungkan dalam mengurangi pembebatan setelah prosedur
bedah perut atas atau dada.

6. Hipoksemia
Hipoksemia ringan biasa terjadi pada pasien-pasien yang pulih dari
anestesi tanpa diberi suplemen oksigen selama pemulihan. Hipoksia ringan
sampai sedang (PaO2 50-60 mmHg) pada pasien- pasien muda sehat sejak awal
mungkin dapat ditoleransi dengan baik, tetapi dengan peningkatan durasi atau
keparahan stimulasi simpatis awal sering terlihat berganti dengan asidosis
progresif dan depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tak ada jika
konsentrasi hemoglobin berkurang. Secara klinis hipoksemia mungkin juga
dicurigai dari kegelisahan, takikardi, atau iritabel jantung (ventrikel atau atrium).
Kebingungan, bradikardi, hipotensi, dan cardiac arrest adalah tanda-tanda
belakangan. Penggunaan rutin oksimeter denyut di PACU memfasilitasi deteksi
awal. Analisa gas darah sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosa dan
pemandu terapi.
Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi,
peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau kedua-
duanya.Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen akan
menonjolkan hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan hipoksemia
jika selama pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni
hipoventilasi juga tidak biasa jika pasien menerima suplemen oksigen tanpa
tanda-tanda hiperkapnea atau bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra

9
pulmoner. Kenaikan shunting intra pulmoner dari penurunan FRC relatif
terhadap closing capacity adalah penyebab tersering hipoksemia setelah anestesi
umum. Penurunan FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada.
Kehilangan volume paru adalah sering dihubungkan dengan mikro atelektasis,
karena mikroatelektasis sering tak kelihatan pada foto dada. Posisi semi upright
membantu memelihara FRC.
Tanda shunting intrapulmoner kanan ke kiri (Qs/Qt>15%) biasanya
dihubungkan dengan perbedaan radiografi yang ditemukan seperti atelektasis
paru, infiltrat parenkimal, atau pneumothorak yang luas. Penyebab-penyebabnya
meliputi hipoventilasi intraoperasi yang lama dengan volume tidal rendah,
intubasi endobronkial tak disengaja, kolap lobaris karena bronkus tersumbat oleh
sekresi atau darah, aspirasi paru, atau udema paru. Udema paru post operasi
sering tampak sebagai wheezing dalam 60 menit pertama setelah pembedahan.
Hal itu mungkin disebabkan oleh kegagalan ventrikel kiri, ARDS, atau
pembebasan mendadak sumbatan jalan nafas yang lama. Berlawanan dengan
udema paru, wheezing karena obstruksi primer penyakit paru, yang mana sering
terjadi pada peningkatan besar shunting intrapulmoner, adalah tidak
berhubungan dengan auskultasi crackles (gemercik), cairan udema pada jalan
nafas, atau infiltrat pada foto dada. Kemungkinan dari pneumothorak post
operasi sebaiknya selalu diwaspadai mengikuti pergeseran garis tengah, blok
interkosta, patah tulang iga, irisan pada leher, trakeostomi, nephrostomi,
prosedur retroperitoneal atau intraabdomen (termasuk laparoskopy) khususnya
bila diafragma mungkin tertembus. Pasien-pasien dengan subpleural atau bulla
yang besar dapat juga berkembang menjadi pneumothorax selama ventilasi
tekanan positif.

Terapi oksigen dengan atau tanpa tekanan positif jalan nafas adalah dasar
dari terapi. Pemberian rutin 30-60% oksigen biasanya cukup untuk mencegah
hipoksemia dengan hipoventilasi sedang dan hiperkapnea. Pasien-pasien dengan
penyakit paru atau jantung yang mendasari memerlukan konsentrasi oksigen
yang lebih tinggi. Terapi oksigen sebaiknya dipandu dengan SpO2 atau analisa
gas darah arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol dengan ketat pada pasien-

10
pasien dengan retensi CO2 untuk menghindari tercetusnya gagal nafas akut.
Pasien-pasien dengan hipoksemia berat atau menetap harus diberi 100% oksigen
lewat NRM atau ETT sampai penyebabnya diketahui dan terapi lainnya dimulai;
Ventilasi mekanik dikontrol atau dibantu mungkin juga diperlukan. Foto dada
( terutama tegak lurus ) adalah amat berguna dalam menilai volume paru dan
ukuran jantung serta menunjukkan pneumothorak atau infiltrat paru. Infiltrat
pada mulanya tidak tampak pada awal inspirasi.
Terapi tambahan sebaiknya langsung pada penyebab dasar. Pipa dada
sebaiknya dipasang pada pneumothorax simtomatis atau yang lebih besar dari
15-20%. Spasme bronkus sebaiknya diterapi dengan bronkodilator aerosol dan
mungkin aminophilin i.v. Diuretik diberikan bila sirkulasi cairan berlebihan.
Fungsi jantung dioptimalkan. Hipoksemia menetap kendati dari 50% oksigen
secara umum diindikasikan untuk PEEP atau CPAP. Bronkoskopi sering
bermanfaat dalam mengembangkan kembali atelektasis lobaris oleh kotoran
bronkus atau partikel aspirasi.

7. Aspirasi Pulmonar

Inhalasi dari material didalam jalan nafas pada bawah pita suara.
Material termasuk benda asing, saliva, sekresi nasofaringeal atau komponen
lambung. Aspirasi paru terjadi sebagai reflex saluran napas pelindung, seperti
penurunan kesadaran dan gangguan batuk. Pada pasien bedah kemungkinan
terjadi ada induksi atau selama muncul anestesi.

Manifestasi
Bervariasi bergantung pada tingkat aspirasi, bisa hipoksi, takikardi dan
takipneu. Bronkospasme kadang muncul dan pada auskultasi dada dapat
didapakan mengi.

11
Penanganan
Awal penanganan

- Oksigen 100 % mengurangi kontaminasi jalan nafas


- Jika pasien sadar dan bernapas, orofaring harus di suction dan
posisi pasien dalam posisi perbaikan
- Jika pasien tidak sadar dan bernapas, tekanan cricoids
sebaikanya didapatkan, orofaring di suctioned dan posisi pasien
dalam lateral kiri head- down posisi. Tekanan cricoids
sebaiknya tidak diterima pada pasien yang muntah karena
peningkatan tekana intra oesophagal dapat menyebabkan
rupture.
- Jika pasien apneu, intubasi segera dilakukan. Jalan nafas di
suction melalui tracheal tube sebelum tekanan posited ventilasi
dimulai.
- Penanganan lanjutan : intensive care pasien dengan aspirasi
pneumonia. Penilaian termasuk foto rontgen thorax, analisa gas
darah, dan kultur sputum. Menggunakan volume tidal 4-6 ml/kg
dengan meningkatkan frekuensi ventilasi untuk pemeliharaan
volume yang berkurag karena injury pulmo. Bronchodilator
seperti salbutamol dan inotropium bromide yang dapat
meringankan bronhospasm. Terapi spesifik termasuk fibreoptic
bronchoscopy.

Komplikasi paru muncul pada 30 % pasien yang pernah melakukan operasi


dada atau perut dan ini yang paling banyak menyebabkan kesakitan dan kematian dalam
periode post operatif. Fungsi yang abnormal ini adalah sekunder dari pola abnormal
paru, nyeri, posisi berbaring, operasi cidera otot yang berhubungan dengan posisi perut
bagian atas dan efek agen anestesi serta teknik anestesinya.
1.) Hipoksemia arteri adalah yang sering ditemukan setelah pembedahan besar,
dan dapat dideteksi dengan mengukur gas darah.
2.) Setiap upaya seharusnya dibuat untuk mencegah kemajuan yang lazim dari
atelektasis, takipnea, hipoksia, demam dan pneumonitis.

12
a. Atelektasis
Atelektasis adalah hasil dari obstruksi dari jalan napas yang disalurkan
dengan mengabsorbsi udara dari bagian distal paru , dan dapat muncul selama
anestesi lokal, regional maupun umum.

1.) Tanda dan gejala


Pergerakkan yang asimetris dan retraksi dada, tidak ada suara napas yang
melewati segmen dari area paru, meningkatnya kesulitan dalam bernapas,
takikardi, takipnea, demam dan sianosis.
2.) Diagnosis dapat dilihat dari hasil x-ray dada dan dugaan dari bukti yang
kuat.
3.) Pengobatan
Fisioterapi dada, penghisapan bronkus melalui kateter atau bronkoskop,
batuk, napas dalam, inflasi tekanan positif dari paru, ekspektoran, surfaktan
dan agen mukolitik dan bronkodilator.

b. Pneumotoraks
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh rupturnya jaringan paru ( seperti
emfisema dengan diikuti batuk yang berlebihan). Tekanan positif respirasi yang
hebat atau trauma langsung pada apex paru selama trakeotomi, pemotongan
leher, pemasangan CVC atau pemblokkan plexus supraclavicular brakialis.
Pneumotoraks dapat muncul selama obstruksi jalan napas parsial dengan napas
dalam. Selama periode ini, udara dapat terhisap kedalam mediastinum superior
dimana karena ruptur satu atau kedua rongga pleura (retriperitoneal atau
intraperitoneal yang melewati aorta atau esofagus).
1.) Diagnosis dibuat dari pemeriksaan fisik, x-ray dada dan analisis gas darah
2.) Pengobatan. Aspirasi udara melewati suatu titik yang dibuat dengan lubang
jarum yang besar di dalam pleura di linea mid clavicularis anterior kedua
atau ketiga, bersamaan dengan penempatan selang pada dada yang
menghubungkan ke air-drain-botol.

13
c. Demam
Demam terjadi dalam 24 jam pertama post-operatif dengan atelektasis dalam
48 jam, infeksi traktus urinaria dan setelah 72 jam, infeksi luka. Demam post-
operatif diakibatkan oleh tromboflebitis yang dapat muncul setiap saat. Beberapa
post-operatif meningkatkan suhu tubuh, sedikitnya 1O F diatas normal / > dari 2
hari, harus dipertimbangkan dan dipelajari untuk diatasi penyebabnya.

d. Pengembungan lambung
Penggembungan lambung bisa karena jalan napas yang sudah payah. Ini bisa
terjadi pada pasien yang lumpuh dengan tekanan jalan napas diatas 25 cm H2O,
meskipun jalan napasnya bersih, dan itu bisa menyebabkan muntah post-
operatif dan kesulitan pembedahan atau cegukan.

e. Cegukan
1.) Cegukan adalah spasme diafragma yang terputus-putus disertai dengan
penutupan glotis secara tiba-tiba.
2.) Cegukan dapat terjadi pada saat induksi dan atau pemeliharaan anestesia,
dengan inhalasi atau dengan anestesi intravena dan bisa menjadi lebih sulit
untuk keduanya, ahli bedah dan ahli anestesinya terutama ketika cegukan
menetap.
3.) Terapi nya bertujuan untuk menyingkirkan penyebab yang berkaitan, seperti
penggembungan lambung, iritasi diafragma atau rangsangan viscera
abdominal bagian atas.
a. Membantu pernafasan adalah penting dan jika cegukan berlangsung
lama, obat relaxan bisa digunakan dengan intubasi trakea dan kontrol
ventilasi.
b. Metode teraupetik. Stimulasi nasofaring, anestesia umum, obat oelemas
otot, inhalasi CO2, dekompresi lambung dan blok nervus phrenic
unilateral

14
2.2.2 Kardiovaskular
Gangguan sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi,
hipertensi dan aritmia. Kemungkinan ketidaknormalan sirkulasi itu adalah
sekunder dari gangguan sirkulasi yang mendasar yang selalu harus
dipertimbangkan sebelum beberapa intervensi yang lain.
1. Hipotensi
Hipotensi biasanya disebabkan oleh penurunan venous return pada
jantung, gangguan fungsi ventrikel kiri, vasodilatasi arteri yang berlebihan yang
kurang umum. Hipovolemia adalah penyebab hipotensi paling umum di PACU.
Hipovolemia absolut dapat disebabkan oleh penggantian cairan yang tidak
adekuat, sekuesterisasi cairan yang terus-menerus oleh jaringan (rongga ketiga),
atau drainase luka, serta perdarahan post operasi. Konstriksi vena selama
hipotermia mungkin menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik lagi.
Kemudian dilatasi vena menghasilkan hipotensi yang tertunda. Hipovolemia
relatif adalah bertanggung jawab untuk hipotensi yang dihubungkan dengan
spinal atau epidural, venodilator, dan blokade alfa adrenergik; peningkatan
kapasitas vena menurunkan venous return kendati volume intra vascular
sebelumnya normal. Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan reaksi
alergi biasanya hasil dari kedua-duanya hipovolemi dan vasodilatasi. Hipotensi
yang menyertai tension pneumothorax atau tamponade jantung adalah akibat
dari pemburukan pengisian jantung.
Disfungsi ventrikel kiri pada seseorang yang awalnya sehat adalah tidak
biasa tanpa adanya gangguan metabolisme yang berat (hipoksemia, asidosis,
sepsis). Hipotensi karena disfungsi ventrikel ditemui terutama pada pasien dengan
penyakit arteri koroner atau katup jantung, dan biasanya dicetusksn oleh cairan
yang berlebihan, iskemia myokard, peningkatan afterload akut, atau disritmia.
Hipotensi dapat disebabkan oleh narkotika, anestesi, hipoksia, refleks,
penanganan bedah, perdarahan, insufisiensi adrenokortikal, perubahan posisi,
penyakit jantung, transfusi darah yang tidak cocok, hipersensitivitas alergi, atau
emboli udara.
1.) Narkotika disuntikkan sebelum operasi, intraoperatif, dan / atau pasca
operasi dapat menurunkan tekanan darah dengan menekan pusat vasomotor,

15
mengurangi otot, penurunan ventilasi, dan pelebaran pembuluh darah
perifer.
2.) Overdosis inhalasi dan / atau anestesi IV merupakan salah satu penyebab
utama hipotensi selama anestesi
a. Tekanan darah dapat menurun bila diberikan anestesi yang melebihi
jumlah yang biasanya ditoleransi, terutama selama induksi anestesi
tekanan darah dapat menurun meskipun jumlah yang diberikan adalah
dalam kisaran yang dapat diterima. Overdosis relatif seperti dapat
menghindari jika dosis minimal anestesi digunakan selama induksi
anestesi khususnya pada pasien dengan penyakit jantung, obesitas,
hipertensi, penurunan volume darah, kehilangan berat badan, cachexia,
atau penyakit kronis yang melemahkan.
b. Pengobatan overdosis meliputi penghentian segera dari anestesi
inhalasi, dan jika barbiturat telah diberikan, langkah-langkah dukungan
umum termasuk jalan napas yang memadai, respirasi yang efisien, infus
RL dan vasopressors.
3.) Adrenocortical insufisiensi.
Hipotensi dan shock akibat insufisiensi adrenokortikal jauh lebih mudah
mencegah daripada mengobati. Banyak pasien akan diperlakukan tidak
perlu (tapi tidak berbahaya) untuk melindungi beberapa orang yang
mungkin beresiko. Hipotensi karena penyebab lain harus disingkirkan.
Terapi krisis adrenocortical termasuk IV administrasi hidrokortison dengan
baik salin isotonik atau air asin di dekstrosa. Norepinefrin juga digunakan
dengan hati-hati
4.) Hipotensi berat akibat iskemia miokard atau infark dapat berkembang
selama anestesi dan pembedahan. Diagnosis dibuat oleh bukti-bukti dugaan
yang kuat dan terapi tidak boleh ditunda sampai diagonis yang definitif
ditetapkan dalam beberapa hari.
5.) Tanda-tanda transfusi darah yang tidak kompatibel di bawah anestesi adalah
hipotensi, umum mengalir dari luka, hemoglobinuria, dan sianosis.
Kemudian tanda-tanda penyakit kuning, oliguria, dan anuria

16
6.) Pencegahan dan pengobatan hipotensi
a. berlebihan preanesthetics dan obat-obatan anestesi harus dihindari
b. manipulasi bedah harus dilakukan selembut mungkin
c. penggantian cairan darah harus dilakukan lebih awal
d. tekanan vena sentral harus dipantau
e. obat cepat pengobatan dengan vasopressors
f. jika hipotensioni disebabkan hipoksia, oksigen harus diberikan pertama
dan terakhir vasopressors

TERAPI
Hipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi adalah umum dan
biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatis yang berhubungan dengan
tidur atau efek sisa dari agent anestesi, bentuk seperti ini tak memerlukan terapi.
Hipotensi yang bermakna didefinisikan sebagai penurunan tensi 20-30 % dari
tensi basal pasien dan diindikasikan sebuah kekacauan serius yang memerlukan
terapi. Terapi tergantung pada kemamapuan untuk menilai volume intravaskuler.
Peningkatan tensi setelah bolus cairan (250-500 ml kristaloid atau 100-250 ml
koloid) umumnya mendukung hipovolemi. Pada hipotensi berat, suatu
vasopressor atau inotropik mungkin diperlukan untuk meningkatkan tensi
sampai defisit volume intravaskuler paling tidak terkoreksi sebagian. Tanda-
tanda disfungsi jantung sebaiknya diperiksa pada pasien-pasien tua dan pasien-
pasien dengan penyakit jantung. Kegagalan pasien untuk segera berespon
terhadap terapi mengamanatkan monitoring hemodinamik invasive manipulasi
dari preload, kontraktilitas, dan afterload sering diperlukan. Adanya tension
pneumothorax, seperti yang disebabkan oleh hipotensi dengan penurunan suara
nafas sesisi, hiperresonanasi, dan deviasi trakea, adalah suatu indikasi untuk
segera dilakukan aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Begitu
juga hipotensi karena tamponade jantung, biasanya menyertai trauma dada atau
bedah thorax, sering diperlukan pericardiocentesis atau thoracotomi.

17
2. Hipertensi
Hipertensi post operasi adalah umum di PACU dan khususnya terjadi
pada 30 menit pertama setelah tindakan. Rangsangan nyeri dari sayatan, intubasi
trakea, atau kandung kemih penuh, biasanya ikut berperan. Hipertensi post
operasi bisa juga karena aktivasi reflek simpatis, yang menjadi bagian dari
respon neuroendokrin terhadap pembedahan atau hipoksemia sekunder,
hiperkapnea, atau asidosis metabolic. Pasien-pasien dengan riwayat hipertensi
sistemik mudah berkembang menjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa sebab
yang jelas. Derajat kontrol hipertensi berbanding terbalik dengan insiden
hipertensi pada beberapa pasien. Cairan berlebihan atau hipertensi intrakranial
dapat juga tampak sebagai hipertensi post operasi.
Hipertensi dapat terjadi selama anestesi dan periode pemulihan akibat
nyeri, hipoksia, hiperkapnia, hipervolemia, dari overtranfusion, stimulasi refleks,
peningkatan tekanan intrakranial, pheochromocytoma, dan obat-obatan
(ketamin, amina vasopressor, atau succinycholine). Penggunaan infus dari
trimethaphan atau nitroprusside, diikuti dengan pemberian obat long-acting
antihipertensi, jika diperlukan, harus disediakan untuk yang terakhir-resor-terapi
darurat.

Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan terapi, tetapi penyebab


reversible sebaiknya dicari. Petanda hipertensi dapat mencetuskan perdarahan
post anestesi, iskemia miokard, gagal jantung atau perdarahan intrakranial.
Keputusan tentang derajat hipertensi dan kapan harus diterapi bersifat
individual. Pada umumnya tensi meningkat lebih dari 20-30% dari basal normal
pasien, atau berkaitan dengan efek samping ( infark miokard, gagal jantung, atau
perdarahan) harus diterapi. Peningkatan ringan sampai sedang dapat diterapi
dengan beta bloker iv seperti esmolol, atau propanalol. Ca chanel blocker
nicardipin atau pasta nitrogliserin, serta nifedipine sublingual juga efektif.
Hidralazin juga efektif tapi sering menyebabkan takikardi dan dihubungkan
dengan iskemik miokard dan infark. Petanda hipertensi pada pasien-pasien
dengan cadangan jantung terbatas memerlukan monitor tekanan intra arterial
langsung dan harus diterapi dengan nitroprussid, nitrogliserin, nikardipin, atau

18
fenoldopam infus intravena. Titik akhir esuaian terapi sebaiknya di sesuaikan
dengan tensi normal pasien itu sendiri.

3. Aritmia
Gangguan pernafasan yang berperan khususnya hipoksemia, dan asidosis
dalam memacu aritmia jantung tak dapat dikesampingkan. Efek-efek sisa dari
anestesi, peningkatan aktivitas sistim saraf simpatis, abnormalitas metabolik
lainnya dan adanya penyakit jantung dan paru juga mempengaruhi pasien untuk
terjadi aritmia di PACU.
Bradikardi sering menunjukkan efek sisa dari kolinesterase inhibitor
(neostigmin), opioid sintetis yang poten (sufentanyl) atau beta bloker
(propanolol). Takikardi mungkin menunjukkan efek dari agent antikolinergik
(atropin) atau vagolitik (pancuronium atau meperidine), beta agonis (albuterol),
reflek takikardi (hidralazine), serta penyebab-penyebab umum seperti nyeri,
demam, hipovolemia dan anemia. Lebih lanjut, anestesi merangsang depresi
dari fungsi baroreseptor membuat frekuensi jantung tak dapat dipercaya
memonitor volume intravaskuler di PACU.
Atrial dan ventrikel premature beat biasanya menunjukkan hipokalemia,
hipomagnesemia, peningkatan tonus simpatis, atau yang kurang umum iskemia
miokard. Yang terakhir ini dapat didiagnosa dengan ECG 12 lead. Supra
ventrikel takiaritmia meliputi paroksismal supraventrikel takikardi, flutter
atrium, dan atrium fibrilasi adalah bentuk-bentuk yang tak terduga pada pasien-
pasien dengan riwayat aritmia-aritmia ini dan lebih tak terduga pada bedah
thorax.

4. Cardiac arrest
Insiden serangan jantung secara signifikan lebih besar dengan anestesi spinal
(6,4 + / - 1,2per 10.000 pasien) dibandingkan dengan anestesi epidural dan blok
saraf perifer dikombinasikan. Risiko kematian setelah serangan jantung secara
bermakna dikaitkan dengan usia dan American Society of Ahli anestesi '(ASA)
kelas status fisik. Rata- rata usia korban adalah 50 +/ - 20 th, dan rata- rata usia
yang tidak selamat adalah 82 + /- 7 th.

19
2.2.3 Neurologi
Inside cidera pada neurologi terlihat lebih tinggi pada setelah spinal
anestesi dari pada anestesi kombinasi seperti epidural, peripheral nervus block,
intravena regional anestesi.

1. Kesadaran
- Implicit memori
Informasi disimpan dalam memori tetapi tidak dapat mengingat
kejadian. Contohnya post operasi trauma fisik seperti cemas, insomnia

- Explcit memori
Informasi disimpan dalam memori diserati kemampuan
mengingat kejadian ( kejadian yang tidak menyenangkan seperti presepsi
visual, auditiri, sesansi lumpuh dan nyeri).

Pencegahan :

a. Preoperative :
i. Kunjungan preoperative
ii. Pengecekan peralatan anestesi
iii. Informed consent
b. Intraoperative
i. Monitoring kedalaman anastesi
ii. Teknik anestesi : hindari uscle relaxan tanpa indikasi
c. Post operative :
i. Visit pasien
ii. Permintaan maaf
iii. Psikoterapi

2. Penundaan Pemulihan
Penyebab :

1. masalah metabolit dan elektrolit

20
2. cerebral hyopoperfusi
3. depresi cerebral karena obat

3. Perioperatif neuropati

Penyebab : traksi, kompresi, metabolic, trauma operasi langsung


Faktor resiko : usia, BMI > 38, Pembedahan yang terlalu lama, sudah ada
riwayat disfungsi nervus kronik,Variasi anatomi, Hipotensi, DM, Terlalu lama
bed est postoperative.

4. Paralisis Nervus Ulnaris


Kelemahan motorik dan parestesia dapat terjadi di nervus ulnaris dari tekanan
pada nervus dibawah siku. Hal ini terjadi pada pasien yang sikunya terjepit
dengan benda padat. Hal ini juga dapat terjadi jika nervus tertekan oleh tulang
dan ujung dari meja operasi, atau jika lengan pasien dalam keadaan abduksi
kemudian siku tertekan oleh ujung meja operasi.
Pencegahan termasuk menjaga tangan mendekat ke pada sisi tubuh pada posisi
horizontal .
Ketika timbul rasa lemah, mati rasa, atau paralisis pada nervus ulnaris,
pemeriksaan neurologik secara detail harus dilakukan dan pengobatan
secepatnya , termasuk fisioterapi.

2.2.4 Regulasi Suhu


Komplikasi pada regulasi suhu termasuk menggigil, hipotermia dan
hipertermi malignant.
Menggigil dapat terjadi di PACU sebagai akibat dari hipotermia intra
operasi atau dari anestesi. Menggigil adalah suatu usaha tubuh untuk
meningkatkan produksi panas, meningkatkan suhu tubuh dan mungkin diikuti
oleh vasokonstriksi yang hebat. Meskipun agent-agent anestesi juga menurunkan
ambang menggigil, menggigil umumnya sering nampak selama atau sesudah
pulih dari anestesi umum. Bahkan pemulihan dari anestesi umum yang
singkatpun kadang-kadang juga menggigil. Meskipun menggigil dapat menjadi

21
bagian dari tanda-tanda neurologis non spesifik (postur, clonus atau Babinski`s
sign) kadang-kadang dapat terjadi selama pemulihan, hal itu paling sering
karena hipotermi dan umumnya dihubungkan dengan obat anestesi yang mudah
menguap. Menggigil kadangkala cukup hebat sehingga menyebabkan
hipertermia (38-39C) dan asidosis metabolik yang signifikan, kedua-duanya
terselesaikan ketika menggigil berhenti. Anestesi spinal dan epidural keduanya
juga menurunkan nilai ambang menggigil dan respon vasokonstriksi terhadap
hipotermi menggigil mungkin juga ditemui dalam RR setelah anestesi regional.
Penyebab lain dari menggigil sebaiknya disingkirkan, seperti sepsis, alergi obat,
atau reaksi transfusi.
Penyebab terpenting dari hipotermia adalah redistribusi panas dari bagian
tengah tubuh ke bagian tepi tubuh. Suhu sekitar ruang operasi yang dingin, luka
besar yang terbuka lama, dan penggunaan sejumlah besar cairan intravena yang
tak dihangatkan, serta aliran gas yang tinggi dan tidak dilembabkan juga dapat
memberi kontribusi. Hampir semua obat anestesi, terutama yang mudah
menguap, menurunkan respon vasokonstriksi terhadap hipotermia. Hal ini juga
biasa terjadi pada pertengahan periode post partum. Bagaimanapun
mekanismenya, timbulnya nampak berhubungan dengan jangka waktu dari
pembedahan dan penggunaan dari konsentrasi tinggi agen mudah menguap.
Setelah penghentian thiopental, halothane, atau anestesi enflurane,
beberapa pasien mungkin menunjukkan spasme dari beberapa otot somatik dan
menggigil seluruh tubuh dengan disertai tremor daerah kepala, bahu, otot tubuh,
dan ekstremitas atas maupun bawah. Hal ini dapat dijelaskan sebagai reaksi
termal karena suhu ruangan yang rendah selama anestesi dan operasi di ruang
operasi. Hal itu menghasilkan kebutuhan oksigen yang lebih besar. Faktor lain
yang perlu dipertimbangkan, meskipun kecil kemungkinan, adalah kerugian
besar kadar panas ventilasi selama anestesi umum dengan aliran tinggi dalam
sistem semiclosed-rebreathing atau parsial. Dewasa muda khususnya rentan
terhadap kehilangan panas tubuh.
Terapi meliputi menyelimuti pasien dengan selimut panas dan menjaga
suhu kamar di 24OC. Administrasi 5-10 mg dari Klorpromazin IV akan
membantu dalam mengatasi gejala awalnya.

22
Hipotermi diterapi dengan alat penghangat udara, lampu hangat atau
selimut hangat untuk meningkatkan suhu tubuh ke normal. Menggigil yang
hebat dapat menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen, produksi CO2, dan curah
jantung. Efek fisiologis ini sering sulit ditoleransi oleh pasien yang sudah ada
gangguan jantung atau paru. Hipotermi telah dikaitkan dengan meningkatnya
kejadian iskemia miokard, aritmia, meningkatkan kebutuhan transfusi, dan
meningkatkan durasi obat pelumpuh otot. Dosis kecil meperidine i.v, 10-50 mg,
dapat menurunkan bahkan menghentikan menggigil. Pasien-pasien yang
terintubasi dan memakai ventilator juga dapat di sedasi dan diberi pelumpuh otot
sampai normotermia kembali dan efek dari anestesia sudah tiada lagi.

Hipertermia Malignant
Hipertermia malignant adalah krisis hipermetabolik fulminan yang dipicu
oleh obat-obatan anestesi.
1.) Hypertermia malignant jarang terjadi tetapi berpotensi mengancam nyawa
dan terjadi selama anestesi umum, dengan angka kematian 60%. semakin
tinggi suhu maksimum dan semakin lama durasi anestesi, semakin tinggi
angka kematian tersebut. Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan yang
cepat adalah kunci sukses reversal.
2.) Kejadian telah dilaporkan 1 dalam 15.000 anestesi pada anak-anak, dan 1
dalam 50.000 pada orang dewasa. Sebagian besar kasus terjadi pada anak-
anak, remaja, dan dewasa muda. Laki-laki lebih sering daripada perempuan.
3.) Penyebabnya masih belum jelas dan kontroversial. Faktor predisposisi
diwariskan oleh 50% pada keturunan korban. Meskipun reaksi dikenal
turun-temurun, tempat dan sifat kerusakan belum dapat dijelaskan
sepenuhnya. 50% dari pasien memiliki kerabat yang juga mengalami
hipertermia malignant yang dipicu di bawah anestesi umum, yang
mengarahkan kepada sifat dominan autosomal. Kekakuan otot terjadi dalam
tiga-perempat dari pasien, sejumlah besar pasien yang memanifestasikan
kekakuan otot sebelumnya sudah memiliki penyakit muskuloskeletal.
a. Hipertermia malignant yang paling sering berkembang setelah pemberian
halothen dan succinycholine. mungkin terjadi, bagaimanapun, dengan

23
hampir semua bentuk anestesi umum. belum dilaporkan selama anestesi
lokal atau regional.
b. Pengalaman anestesi sebelumnya yang tanpa komplikasi tidak
mengesampingkan kemungkinan terjadinya hipertermia malignant
selama anestesi umum berikutnya.
Tanda-tanda klinis dan temuan laboratorium
1. Tanda-tanda klinis termasuk takikardia, takipnea, demam lebih dari
40oC, aritmia, sianosis, darah vena gelap di bidang bedah, urin merah,
kulit panas, dan kekakuan otot berkepanjangan umum rangka.
2. Takikardia dan takipnea adalah tanda-tanda awal dan karena
metabolisme intens dan acidosis pernapasan. asidosis pernapasan hadir
karena peningkatan tajam dalam produksi karbondioksida. Aritmia
berasal dari hiperkalemia yang berhubungan dengan sindrom ini.
3. Temuan laboratorium termasuk asidosis metabolik dan respiratorik,
hipoksemia, hiperkalemia, hypermagnesemia, myoglobinemia, dan
laktat tinggi dan piruvat tinggi.
4. Gagal ginjal akut, hemolisis, dan kerusakan otak dapat terjadi kemudian
dalam perjalanan dari sindrom ini.

Diagnosis pentingnya diagnosis dini dan terminasi dini anestesi terletak


pada kenyataan bahwa kemungkinan runtuhnya cardiopulmonary dan akhirnya
statistik kematian meningkat sebanding dengan durasi anestesi.
Seseorang harus menduga komplikasi dengan adanya takikardia,
takipnea, aritmia, respon abnormal terhadap succinylcholine, kekakuan otot
umum atau lokal, dan / atau kenaikan suhu tubuh cepat. Rutinitas pemantauan
aktivitas listrik jantung dan suhu tubuh dianjurkan untuk semua pasien anestesi,
terutama anak-anak dan dewasa muda. Pemantauan suhu tubuh terus-menerus
lewat dubur, kerongkongan, atau timpani. Setelah diagnosis dibuat, indeks yang
akan dipantau termasuk EKG, suhu, gas darah arteri, elektrolit, hematrokrit,
output urin, dan tekanan vena sentral.

24
Terapi
Penekanan ditempatkan pada betapa pentingnya deteksi dini,
penghentian awal anestesi (dan operasi, jika mungkin), dan aplikasi awal
tindakan terapi, yang meliputi;
1.) Hiperventilasi dengan oksigen 100% melalui tabung endotraceal.
2.) Dantrolene (dantrium), 1-2 mg / kg IV. Ini dapat diulang setiap 5-10 menit
untuk dosis total 10 mg / kg. Setiap vial dantrolene untuk IVdiencerkan
dengan menambahkan 60 ml injeksi cairan untuk infus
3.) IV administrasi bikarbonat (2 sampai 4 mEq / kg) untuk mengoreksi
asidosis metabolik
4.) Langkah-langkah cepat untuk mengontrol suhu dengan pendinginan
eksternal dan internal yang cepat
a. eksternal metode pendinginan, dengan menutupi pasien dengan es
dan/atau menggunakan selimut dingin
b. metode pendinginan internal, termasuk infus yang cepat IV cairan dingin
c. IV obat-obatan diuretic
d. IV procainamide (1 gr diencerkan dalam 500 ml NaCl)
e. Hiperkalemia ditatalaksana menggunakan dextrose dengan insulin

2.2.5 Sistem Gastointestinal


Mual dan muntah adalah masalah umum setelah anestesi umum. Mual juga
bisa nampak pada hipotensi karena anestesi spinal atau epidural. Peningkatan
insiden mual dilaporkan mengikuti pemberian opioid atau mungkin anestesi
dengan N2O,pembedahan intraperitoneal (khususnya laparoskopi) Insiden
tertinggi tampak pada wanita muda, penelitian menunjukkan bahwa mual lebih
sering terjadi selama menstruasi. Peningkatan tonus vagal dengan manifestasi
bradikardi mendadak umumnya didahului atau disertai dengan muntah-muntah.
Dapat berasal dari isi lambung dan dapat muncul selama induksi dan
pemeliharaan anestesi selama periode pemulihan khususnya pada pasien yang
menjalani prosedur abdominalis. Kondisi ini bisa menimbulkan bencana dan
harus diatasi segera.

25
Tanda dan gejala
a. Aspirasi pada volume yang besar dapat berakibat kematian biasanya pada
kasus tenggelam, volume yang lebih kecil menimbulkan batuk, spasme
laring, bronkospasme dan edema paru yang berakibat hipoksia.
b. Aspirasi pada cairan asam di dalam isi lambung dalam pneumonitis
kimia, padahal aspirasi material dapat menyebabkan atelektasis,
pneumonia atau abses paru. Lesi karena ph kurang dari 2,5. Pneumonitis
kimia seharusnya dapat dicurigai ketika terdapat sianosis persisten,
takikardi dan takipnea diikuti muntah atau regurgitasi. X-ray dada
diindikasikan untuk mendukung diagnosis klinis.
c. Jika aspirasi muncul, terapi termasuk ETT, penghisapan pada trakea,
oksigenasi, hidrokortison 500-1000 mg, aminofilin, dan antibiotik.
Respirasi seharusnya di kontrol untuk memblok dari bronkus segmental
nya, terapi bronkoskopi diindikasikan.

Anestesi propofol menurunkan insiden mual dan muntah post operasi.


Droperidol i.v 0,65-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak-anak) bila diberikan
intra operesi menurunkan mual post operasi secara bermakna tanpa
memperpanjang masa pemulihan dosis kedua mungkin diperlukan bila mual
masih terjadi di PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg i.v mungkin seefektif
droperidol dan lebih sedikit menyebabkan kantuk. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan selama anestesi, droperidol
mungkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif 5-hydroxytriptamin
(serotonin) reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kb
pada anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg/kg
pada anak)juga amat efektif. 5HT3 antagonis adalah tidak menimbulkan sedasi,
ekstra pyramidal akut (dystonik), dan reaksi diphoric yang mungkin terjadi
dengan agent lainnya. Ondansetron mungkin lebih efektif daripada agent lainnya
pada anak-anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1 mg/kg pada anak) jika
dikombinasikan dengan anti muntah lainnya sangat efektif untuk mual muntah
yang sukar disembuhkan. Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus

26
dilanjutkan dengan 10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah
post operasi.

2.2.6 Sistem Pengelihatan


Selama anestesi, pada beberapa pasien kelopak mata tidak menutup
secara penuh, terutama jika pelemas otot sudah digunakan. Karenanya, jika tidak
ada pencegahan yang diambil, cidera pada mata poleh trauma langsung, kornea
menjadi kering- iritasi pada cairan- uap dari obat anestesi dapat terjadi dengan
pemberian anestesia umum.
1) Abrasi kornea adalah komplikasi pada mata yang paling umum yang terjadi
selama anestesi umum dan pemulihan. Gejala ini menyakitkan dan dapat
berkembang menjadi inflamasi di traktus uvea, dan jika terkontaminasi
dapat mengarah ke infeksi serius.
a. Abrasi kornea dapat terjadi, salah satunya oleh karena penempatan
sungkup muka yang kurang hati-hati pada mata yang sedang terbuka atau
oleh tangan dan kuku jari ahli anestesi selam proses pemasangan
laringosko dan intubasi. Kebanyakan tejadi pada operasi kepala dan
leher, terutam pada saat craniotomi dan dalam prosedur ahli bedah saraf
dan ahli ortopedi yang wajib menengkurapkan pasien.
b. Abrasi kornea dapat terjadi selama operasi yang melibatkan nervus
facialis seperti mastoidektomi, timpanoplasti atau parotidektomi.
c. Selama prosedur pembedahan, lengan asisten, instrumen, handuk kepala
dapat mengakibatkan konjungtivitis, abrasi kornea, ulserasi.
2) Jika mata hanya terbuka sebagian selama anestesi, produksi air mata tidak
ada, kornea menjadi kering dan epitel rusak.
3) Posisi anatomis dari mata adalah faktor lain. Resiko kekeringan pada mata
adalah baik pada orang dengan mata yang menonjol (proptosis dan
eksoftalmus). Cidera pada mata dapat disebabkan oleh sekret yang masuk
kedalam mata atau oleh tumpahnya cairan steril selam persiapan operasi.

Tahanan pada bola mata dapat mengakibatkan kebutaan dengan tidak


adanya suplai dari arteri ke mata.

27
Diagnosis
Abrasi kornea menyebabkan nyeri, lakrimasi, dan blefarospasme, nyeri
berat dan diperburuk saat pasien berkedip dan gerakan bola mata. Pasien
mengeluhkan adanya sensasi benda asing dimatanya. Dengan pemeriksaan pada
kornea menggunakan lup mata di bawah sinar yang baik, kassa steril dengan
pewarnaan flourescein digunakan untuk menggambarkan cidera epitel. Kornea
yang abrasi memberikan hasil warna yang lebih hijau dibandingkan kornea yang
tidak rusak.
Pengobatan.
Penggunaan salep antibiotik secara lokal dan dengan memberikan
penekanan pada mata, cycloplegik dan cairan midriatik diberikan untuk
mencegah sinekia dan meredakan nyeri yang berhubungan dengan spasme iris
dan otot siliaris.
Profilaksis
Komplikasi pada mata dapat dicegah dengan memastikan bahwa mata
pasien tertutup selama anestesi. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara
memegang kelopak mata dengan cairan adesif dan plester.

2.2.7 Reaksi alergi obat


Anafilaksis
Reaksi alergi antigen antiodi ( hipersenstifitas tipe 1) reaksi dimulai
pengikatan antigen immunoglobulin E pad permukaan sel mast dan basofil,
menyebabkan pengeluaran mediator kimia termasuk leukotrien, histamine,
protsglanding, kinin, platelet activating faktor.

Manifestasi :
- Kardivaskular : hipotensi, takikardi, disritmia
- Pulmo : broncospase, batuk, dispneu, pulmonary, edema laring,
hipoksemia
- Dermatologi : urtika, pruritus facial edema

28
Penanganan :
Terapi awal : Jauhi allergen, Oksigen 100 %, Cairan intravena 1-5 liter LR,
Epinephrine (10-100 mcg IV bolus untuk hipotensi, 0.1-0.5 mg
IV untuk kolaps cardiovascular)
Penanganan sekunder : Antihistamin intra vena, Epinephrine 2-4 mcg/min,
norepinephrine 2-4 mcg/min, Aminophylline 5-6 mg/kg IV
setelah 20 menit, 1-2 grams methylprednisolone atau 0.25-1 gm
hydrocortisone.55 Sodium bicarbonate 0.5-1 mEq/kg.66.
Evaluasi jalan napas (sebelumnya ekstubasi).

29
BAB III
KESIMPULAN

1. Komplikasi anestesi dapat terjadi selama proses pembiusan dan setelah pembiusan.
Teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga berpotensi
mengakibatkan komplikasi.
2. Faktor faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu
usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat
anestesi serta jenis dari operasinya.
3. Komplikasi selama anestesi yaitu:
a. respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, spasme
(laryngospasm, bronchospasm)
b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, aritmia sampai cardiac arest
c. Thermic : hypothermia, hyperthermia
d. Kesadaran menurun selama operasi
4. Komplikasi Pasca Anestesi, yaitu :
a. Respirasi : atelektasis, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
c. Mata : laserasi kornea, blepharospasm
d. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia
e. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
f. Mengigil
g. Malignant hyperthermia
h. Mimpi buruk, gaduh-gelisah
i. Muntah

30
DAFTAR PUSTAKA

Miller, RD., 2009. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York. USA

Morgan, GE., et al. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. The McGraw-Hill Companies,
Inc. USA
Ratna F.Soenarto.,2012 Buku ajar anestesiologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

31

Anda mungkin juga menyukai