Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Penyulit (komplikasi) yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan


oleh tindakan anesthesia sendiri dan atau kondisi pasien. Penyulit segera dapat timbul
pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan seteah
pembedahan (lebih dari 2 jam)
Penyulit anesthesia dapat berakhir dengan kematian atau cacat menetap jika
tidak dideteksi dan ditolong segera dengan tepat.
Gejala-gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
kompliasi anesthesia tergantung dari deteksi gejala dini dan kecepatan dilakukan
tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk. Akan dijabarkan cara
menanggulangi beberapa komplikasi.
Komplikasi anesthesia yang sering terjadi dan sangat serius ialah gangguan
pada sistem respirasi, akibat salah pilih obat, salah pilih sirkuit anestesi, tidak terdeksi
adanya diskoneksi alat, intubasi esophagus, intubasi bronchial, ekstubasi terlalu dini,
ventilasi buatan kurang adekuat dan sebagainya.
Akibat salah urus ventilasi dapat menimbulkan hipoksia, hiperkarbia, hipokarbia,
asidosis, alkalosis dengan segala macam akibatnya. Untuk mencegah gangguan
ventilasi ini digunakan peralatan untuk mendeteksi kadar saturasi oksigen dalam darah
seperti oksimeter denyut (pulse oxymetry), pengukur volume tidal mendeteksi
pengembangan paru, kapnograf mendeteksi kadar CO2 dalam udara ekspirasi,
stetoskop mendengarkan suara kedua paru apakah kiri-kanan sama.
Gangguan jantung pembuluh darah dapat diakibatkan salah urus ventilasi. Posisi
pasien sangat ekstrem kepala lebih rendah dari tungkai (Trendelenburg) atau
sebaliknya, dapat menyebabkan penurunan curah jantung, penurunan resistensi perifer,
1

hipotensi dan bradikardi. Posisi lain juga mempengaruhi kerja jantung seperti posisi
telungkup, posisi duduk, dikubitus lateral dan lain-lainnya. Salah pilih obat, terapi cairan
tidak adekuat, anesthesia terlalu dalam atau terlalu dangkal juga dapat mengganggu
jantung
Gangguan system tubuh lain dapat terjadi seperti mual muntah, hiperperistaltik
usus, ileus, gangguan faal hati, trauma pemasangan laringoskop, pemasangan pipa
trakea, kateter dan lain-lainnya.
Pengalaman dalam dunia anestesiologi dapat dibandingkan dengan pengalaman
dalam dunia penerbangan. Induksi anestesa dapat diibaratkan saat pesawat terbang
take-off dan pulih anestesi dapat diidentikkan pesawat terbang landing. Factor manusia
sangat berperan dalam situasi peristiwa diatas untuk keselamatan pasien atau
penumpang.

BAB II
KOMPLIKASI ANESTESIA

I.

KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
1. Hipotensi
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70
mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya
Etiologi hipotensi selama anesthesia:
a. Hipovolemia
: hipovolemia pra anesthesia, perdarahan
bedah.
b. Obat induksi
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

: overdosis relative pada bayi atau orang tua

atau penderita dengan keadaan umum yang kurang baik.


Anestetika
: halotan, enfluran, isofluran
Obat pelumpuh otot
: d-tubukurarin dll.
Analgesia spinal
: mencapai segmen tinggi atau epidural
Penyakit kardiovaskular : infark miokard, aritmia, hipertensi
Penyakit pernafasan : pneumotorak
Reaksi hipersensitivitas : obat induksi, obat pelumpuh otot,
Reaksi transfusi.

Hipovolemia dapat ditemukan pada pasien yang kekurangan cairan


seperti pada ileus obstruktif, perdarahan banyak fraktur multiple tulang besar
dan lain-lain. Pemberian anesthesia dapat menghasilkan vasodilatasi
pembuluh darah dan menghilangkan reaksi kompensasi vasokonstriksi tubuh
yang berakibat hipotensi. Jumlah perdarahan selama pembedahan harus
dihitung baik volume darah dari di botol penghisap dan atau dengan
menimbang kasa operasi. Selama perdarahan masih kurang dari 15%, gejala
syok hipovolemik belum tampak. Transfuse darah atau komponennya
dipertimbangkan jika perdarahan melebihi 20% volume darah penderita
dewasa.
3
Semua obat induksi intravena, dapat
mendepresi miokard dan curah

jantung tergantung dosis yang diberikan. Terjadi terutama pada pasien usia

lanjut, bila ada penyakit miokard ataupun hipertensi yang tidak diobati
sebelumnya.
Anestetika halotan, enfluran dan isofluran mempunyai efek inotrofik
negative dan menurunkan resistensi pembuluh darah yang proposional
dengan konsentrasi yang diberikan. Hipotensi dan bradikardia yang terjadi
dapat diperbaiki dengan menurunkan konsentrasi, pemberian atropin atau
cairan infuse untuk meningkatkan curah jantung. Analgesia spinal atau
peridural menyebabkan hipotensi karena blockade susunan saraf simpatikus.
Penyulit ini dapat diatasi dengan mempercepat infuse, pemberian obat
antikolinergik (seperti atropine) atau vasopresor (seperti efedrin).
2. Hipertensi
Umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khusus pada
pasien dengan penyakit jantung karena jantung harus bekerja lebih berat,
dengan kebutuhan O2 miokard yang meningkat. Kalau tidak dapat dicukupi
dapat timbul iskemia atau infark miokard.
Etiologi hipertensi selama anestesia:
a. Anestesia ringan
: analgesia dan hipnosis tidak adekuat, batuk,
tahan nafas, dll
b. Penyakit hipertensi : tidak diterapi, terapi tak adekuat atau tidak
terdiagnosis
c. Hiperkapnia

: ventilasi tak adekuat, pengikat CO2 tak

bekerja dll
d. Obat

: adrenalin, ergometrin, ketamin, dll

Hipertensi karena anestesia tidak adekuat dapat dihilangkan dengan


menambah dosis anestetika. Bila persisten dapat diber obat penghambat
beta adrenergik seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin
yang juga bermanfaat untuk memperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi
pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlebih dahulu
memberi semprotan lidokain topikal kedalam faring dan laring, obat seperti
opiat dan lain-lain.

Hiperkapnia karena pengikat CO2 yang tak berfungsi baik atau karena
banyak gas CO2 kedalam sirkuit anestesia dapat memberikan gejala
hipertensi, takikardia atau ekstrasistole ventrikel.
Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesia dapat diobati
dengan analgetika narkotik seperti pethidin 10mg I.V. atau morfin 2-3 mg I.V.
dengan memperhatikan pernafasan (depresi).
3. Aritmia jantung
Kekerapan aritmia pada anestesia adalah 15-30%. Tidak semua aritmia
harus dapat pengobatan. Terapi harus dilaksanakan jika aritmia tersebut
diikuti atau menjadi:
a. Tindakan bedah

: bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium,

dilatasi anus
b. Pengaruh metabolisme:
hiperkalemia
c. Penyakit tertentu

hipertiroidi,

hiperkapnia,

hipokalemia,

: penyakit jantung bawaan, penyakit jantung

koroner
d. Pengaruh obat tertentu : atropin, halotan, adrenalin, dll.
Hipoksia atau hiperkapnia merangsang pengeluaran

katekolamin

endogen yang dapat menyebabkan aritmia ventrikel terutama pada pasien


dengan anestesia halotan, interaksi halotan juga terjadi dengan katekolamin
(adrenalin) eksogen yang sering disuntikan oleh dokter bedah untuk
mengurangi perdarahan lapangan operasi. Sebaiknya selama anestesia
halotan suntikan infiltrasi adrenalin hanya diberikan maksimum 100 ug (10
mllarutan 1:100.000) dalam 10 menit. Terhadap anestetika enfluran atau
isofluran permasalahan ini tidak terlhat.
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular
mengalir ke intraselular hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa
bradikardia dapat terjadi pada hipokalemia.
Anestesia ringan yang disertai manipulasi operasi dapat merangsang
saraf simpatikus dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi dapat
diobati dengan atropin.

4. Payah jantung
Payah jantung mungkin terjadi pada pasien yang mendapat cairan I.V.
berlebihan, lebih-lebih pada pasien dengan kelainan jantung atau gangguan
fungsi ekskresi ginjal. Gejala yang terlihat mungkin hipotensi, sesak nafas
dan ronkhi basah pada kedua paru. Dalam pipa endotrakea tampak cairan
berbusa berwarna merah muda. Pengobatan dilakukan dengan restrisi
cairan, diuretika, digitalis, pernafasan dengan tekanan positif dalam dengan
O2.

II.

PENYULIT RESPIRASI
1. Obstruksi jalan nafas
Tanda-tanda obstruksi sebagian jalan nafas (parsial):
a. Stridor (nafasnya berbunyi), terdengar seperti ngorok, bunyi kumur-kumur
atau melengking
b. Retraksi otot dada ke dalam di daerah supraklavikular, supra sternal, sela
iga dan epigastrium selama inspirasi
c. Nafas paradoksal (pada waktu inspirasi

dinding

dada

menjadi

cekung/datar bukannya mengembang/membesar)


d. Balon cadangan pada mesin kembang kempisnya lemah
e. Nafas makin berat dan sulit (kerja otot-otot mafas tambahan meningkat)
f. Sianosis, merupakan tanda hipoksemia akibat obstruksi jalan nafas yang
lebih berat
Tanda-tanda obstruksi total jalan nafas (obstruksi total)
Serupa dengan obstruksi parsial, akan tetapu gejalanya lebih hebat dan
stridor justru menghilang:
a. Retraksi lebih jelas
b. Gerak paradoksal lebih jelas
c. Kerja otot nafas tambahan meningkat dan makin jelas
d. Balon cadangan tidak ekmbang kempis lagi
e. Sianosis lebih cepat timbul
Secara klinis, salah satu tanda/gejala tersebut di atas sudah merupakan satu
peringatan untuk segera mengatasinya, dengan lebih dulu (bila mungkin)
mencari penyebabnya.
Sebab-sebab obstruksi jalan nafas atas yang paling sering adalah :
a. Lidah jatuh ke hipofaring
b. Lendir jalan nafas, muntahan, perdarahan, benda asing, gigi palsu
trelepas.

c. Spasme laring.
2. Intubasi endobronkial :
Pada intubasi endotrakea, pipa endotrakea dapat masuk terlau dalam hanya
masuk dalam salah satu bronkus, biasanya mencapai bronkus kanan.
Ventilasi dengan satu paru untuk waktu lama dapat berakibat atelektase paru
dan hipoksia. Komplikasi dapat dicegah dengan selalu mendengarkan bunyi
nafas dengan stetoskop setiap kli selesai intubasi.
3. Batuk :
Batuk sering terjadi pada anestesia yang belum dalam apalagi menggunakan
anestetika inhalasi yang berbau (eter, isoflurane, enfluran). Pemberian
tiopental pun kadang-kadang juga memberikan komplikasi ini terutama kalau
dilanjutkan dengan anestetika yang merangsang jalan nafas seperti eter.
Batuk dapat dihilangkan dengan mendalamkan anestesia secara pelan-pelan
atau dengan obat anestetika yang tidak merangsang jalan nafas atau dengan
memberikan obat pelumpuh otot. Batuk juga dapat terjadi karena laring
dirangsang oleh lendir atau sisa makanan yang termuntah.
4. Cekukan (hiccup) :
Disebabkan spasme diafragma yang intermiten disertai penutupan glotis
secara mendadak. Spasme terjadi karena rangsang saraf sensoris frenikus
yang berhubungan dengan ganglion soeliaka atau oleh refleks autonom
intraabdomen lain. Saraf vagus mungkin juga merupakan salah satu serabut
aferen dari refleks ini. Cekukan jarang terjadi kalau premedikasi atropin
sudah diberikan sebelumnya. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada operai
perut atas terutama kalau disertai juga hipokapnia, anestesia yang kurang
dalam atau dosis obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang kurang cukup.
Cekukan dapat dihilangkan dengan mendalamkan stadia anestesia, atau
menambah dosis obat pelumpuh otot, atau menyuntikkan HCl ephedrin 5-10
mg I.V. atau klorpromazin 20-25mg I.V.
Kalau cara-cara diatas belum berhasil dapat dicoba dengan menuangkan
sedikit air dingin ke dalam salah satu lubang hidung atau merangsang faring
dengan kateter.

5. Apnu (henti nafas) :


Apnea dapat timbul karena pemberian obat induksi terlalu cepat
(tiopental), obstruksi jalan nafas total, obat pelumpuh otot ataupun karena
depresi pusat pernafasan (opiat). Tetapi sesuai etiologi. Bantuan pernafasan
harus dilakukan lebih dahulu sampai pasien dapat bernafas spontan.
6. Atelektasis
Atelektasis timbul akibat obstruksi jalan nafas sehingga terjadi absorpsi
udara pada bagian distal paru. Komplikasi ini dapat terjadi baik pada
analgesia lokal maupun anestesia umum terutama kalau terdapat aspirasi
yang menyumbat salah satu bronkus.
Gejala-gejala atelektasis luas, pergerakan dada asimetris, retraksi dada
dan tak terdengar suara nafas pada daerah yang terkena, takipne, takikardia,
sianosis dan demam. Foto toraks terlihat daerah perselubungan.
Terapi untuk atelektasis dilakukan dengan melakukan pengisapan ke
dalam bronkus kalau perlu mempergunakan bronkoskop, fisioterapi dengan
mempergunakan alat bantu nafas. Obat ekspektoran, mukolitik, bronkodilator
dan antibiotika diberikan atas indikasi.
7. Pneumotoraks :
N2O dapat berdifusi ke dalam rongga-rongga tubuh yang dapat
menambah tekanan. Pneumotoraks misalnya dapat bertambah hebat
menjadi tension (tekanan) pneumothorax yang mengganggu sirkulasi.
Etiologi pneumotoraks dalam anestesia:
a. Trauma : trauma toraks, fraktur iga
b. Iatrogenik : kanulasi v.subklavia, kanulasi v.jugularis interna, blok
pleksus brakialis, operasi toraks
c. Spontan : bula paru kongenital, emfisema paru, asma, sindroma
Marfan
Gejala klinik pneumotoraks sering tidak khas, kadang-kadang terdapat
takikardia, dispne, bronkospasme, sianosis dan hipotensi. Diagnosis pasti
dapat ditegakkan setelah dibuat foto toraks. Kalau kita menghadapi kasus ini
selama anestesia, maka segera dihentikan pemberian N2O dan diganti
dengan O2 100%.
8. Muntah dan regurtasi :

Komplikasi yang sering terjadi pada anestesia dan pasien tidak sadar.
Muntah adalah keluarnya isi lambung secara aktif karena kontraksi otot
saluran cerna (gastrointestinal). Dapat terjadi pada induksi yang tidak mulus
atau pada waktu stadium anestesia ringan. Bahan muntahan dapat masuk
trakea dan paru (aspirasi). Bila banyak dan bersifat asam terjadi
pneumonitas aspirasi yang sering berakibat buruk dan fatal.
Regurgitasi adalah keluarnya isi lambung karena proses pasif dimana otot
dan sfingter saluran cerna menjadi lemas. Regusgitasi akan terjadi pada
stadium pemeliharaan anestesia dan tidak didahului oleh gejala-gejala lain
sehingga tanpa disadari juga terjadi aspirasi dengan segala akibat yang
buruk.
Etiologi muntah dan regurgitasi :
a. Masih terjadi sisa makanan dalam lambung atau esofagus, karena :
Puasa terlalu singkat
Obstruksi pilorus
Rangsangan peritonium misalnya peritonitis
Ada bekuan darah dalam lambung
Sisa makanan dari usus halus yang berbalik ke lambung, misalnya
ileus obstruktif
b. Pengosongan lambung terlambat, sering terjadi pada :
Wanita hamil
Trauma kepala
Pasien katakutan atau kesakitan
Setelah makan obat tertentu, misalnya narkotika
Faktor predisposisi terjadi muntah dan regurgitasi :
1. Volume isi lambung yang cukup banyak dengan pH kurang dari 3, sering
terjadi pada pasien untuk operasi emergensi, pasien yang ketakutan.
2. Kardia yang inkompeten seperti pada pasien dengan hernia hiatus, pada
tonus vagus yang meningkat.
3. Peningkatan tekanan intra-abdominal, karena:
a. Posisi litotomi
b. Fasikulasi karena subsinilkolin
c. obesitas
4. Penurunan tekanan intra-toraks yang berlebihan pada anestesia dalam
dengan nafas spontan.
Bahaya muntah dan regurgitasi :

1. Isi lambung padat dapat menyumbat jalan nafas dengan akibat asfiksia,
hipoksia dan hiperkapnia.
2. Asam lambung yang masuk dalam bronkus dapat menyebabkan refleks
depresi jantung
3. Asam lambung akan merusak jaringan paru dan menyebabkan
pneumonia aspirasi (sindroma Mendelson). Gejala : sedak nafas, syok,
sianosis, ronki basah pada kedua paru, edema paru. Pasien biasanya
meninggal karena gagal jantung dan nafas.
Tindakan pencernaan :
1. Persiapan puasa yang adekuat, 6-8 jam untuk pasien dewasa dan 4-6
jam untuk bayi dank anak-anak.
2. Pengosongan lambung secara aktif fengan mengisap melalui pipa
lambung, sengaja membuat muntah dengan merangsang farings atau
memberi obat perangsang muntah seperti apomorfin.
3. Pemberian antasid untuk menetralisir asm lambung
4. Cimetidin 300 mg atau tagmet 400 mg 2 jam sebelum induksi dapat
membantu meninggikan pH isi lambung
5. Pada operasi akut harus dilakukan induksi kilat.
Tindakan pengobatan komplikasi muntah dan regurgitasi :
Kalau diketahui terjadi aspirasi, pengobatan sebagai berikut :
1. Posisi miring, kepala atau seluruh badan
2. Posisi Trendelenberg
3. Intubasi segera dilakukan pengisapan melalui pipa endotrakea
4. Berikan O2 100%
5. Suntikkan hidrokortison 500-1000 mg I.V.
6. Antibiotika
7. Kalau perlu dilakukan bronkoskopi
Pencegahan muntah pasca bedah :
Beberapa obat dapat digunakan untuk mencegah muntah pasca bedah,
yaitu:
1. Obat antikolinergik, seperti atropin (0,5-1 mg), hiosin (0,4-0,6 mg)
2. Antihistamin, seperti prometazin (50 mg)
3. Golongan fenotiazin, seperti klorpromazin (25 mg)
4. Golongan buterofenon, seperti dehidrobenzperidol (5-10 mg)
5. Lain-lain seperti primperan
III.

KOMPLIKASI MATA
Selama anestesia umumnya mata penderita tak tertutup rapat terutama jika
mempergunakan obat pelumpuh otot. Karena itu mata harus dilindungi dari

10

trauma langsung, kekeringan kornea atau iritasi dari obat-obatan atau alat yang
dipergunakan selama anestesia.
Laserasi kornea akan menyebabkan penderita mengeluh nyeri pada mata
pasca bedah, lakrimasi bertambah dan blefrospasm. Untuk mencegah
komplikasi ini selama operasi mata ditutup dengan plester atau dibasahu dengan
air garam fisiologis atau diberi salep mata.
Penekanan bola mata yang terlalu kuat misalnya karena pemasangan
sungkup muka yang terlampau besar akan menekan aliran darah mata. Hal ini
dapat menyebabkan kebutaan, yang kadang-kadang terjadi pada tindakan
anestesia dengan hipotensi kendali. Penekanan bola mata dapat pula
menimbulkan refleks okulokardiak pada anestesia yang

ringan berupa

perangsanagn vagal bradikardi, syok dan henti jantung.


IV. PERUBAHAN CAIRAN TUBUH
1. Hipovolemia
Kekurangan cairan tubuh

sebelum

anestesia

harus

diketahui

dulu

sebelumnya karena jika dilakukan anestesia, dapat terjadi hipotensi. Perubahan


kardiovaskuler terjadi karena anestesia dapat mendepresi miokard dan
menghasilkan vasodilatasi pembuluh darah. Kekurangan cairan ini harus diganti
dulu dengan memberikan infus dan jika perlu dipantau dengn menggunakan
keteter CVP (central venous pressure).
Etilogi hipovolemia:
a. Kelainan pra bedah :
Perdarahan : trauma perut, obstetri, cidera pembuluh darah
Gastrointestinal : muntah-muntah, ileus obstruktif, diare, diuretika.
Sebab lain
b. Perubahan fisiologis : evaporasi, sequesterisasi cairan
c. Kehilangan cairan selama operasi :
Perdarahan
Drenasi asites
Dekompresi usus
Luka bakar
Perdarahan :
Pada anak dengan perdarahan lebih dari 10% volume darah (volume darah
80cc.kg BB) harus diganti dengan transfusi darah. Sedangkan untuk penderita
dewasa transfusi diberikan jika perdarahan yang terjadi lebih dari 20% dari
volume darah.

11

Evaporasi :
Kehilangan cairan tubuh melalui kulit dan paru (insesible loss) dalam
keadaan normal berkisar antara 0,5-1 liter dalam satu hari yang diikuti dengan
kehilangan elektrolit. Penguapan ini akan bertambah jika gas anestesi yang
diberikan kering. Selain itu luka operasi, misalnya laparotomi menambah
lapangan penguapan tubuh hingga kemungkinan kehilangan cairan lebih banyak.
2. Hipervolemia
Faktor-faktor penyebab hipervolemia :
1. Gagal jantung
2. Pemberian cairan infus berlebihan selama pembedahan
3. Ginjal tidak mampu melakukan ekskresi cairan
4. Kesalahan memantau dengan CVP hingga patokan pemberian kacau
5. Hipoproteinemia
6. Intoksikasi air karena tindakan bedah (misalnya operasi reseksi transuretral
prostat).
Pemberian cairan harus disesuaikan dengan keperluan tubuh yang ideal.
Pemberian cairan yang melebihi 30% dari seharusnya dapat berakibat edema
paru dan gagal jantung. Kecepatan infus normal untuk pembedahan tanpa
banyak perdarahan bervariasi 3-8 cc/kgBB/jam.
Hipervolemia akan memberikan gejala-gejala,

takikardia,

hipertensi,

pelebaran vena-vena leher, muka bengkak, pau berkrepitasi, CVP meningkat


(normal 5-15 cm H2O).
Terapi hipervolemia :
1. Restriksi pemberian cairan
2. Diuretika seperti lasiks
3. Obat inotropik, (dopamin dan digoksin).
V.

KOMPLIKASI NEUROLOGI
a. Konvulsi
Beberapa jenis kontraksi abnormal otot dapat terjadi selama anestesia,
seperti :
1. Konvulsi pada anestesia dengan eter yang dalam
2. Klonus pada anestesia ringan, terutama pada anak-anak
3. Konvulsi karena hipoksia
4. Konvulsi karena obat anestetika tertentu kadang-kadang memberikan
gejala epilepsi, misalnya enfluran, altesin.
Terapi :
1. Hentikan pemberian eter atau enfluran dan 02 ditinggikan.
2. Berikan obat antikonvulsi seperti valium, tiopental.
3. Jika suhu tubuh naik, kompres es atau alkohol.

12

b. Terlambat sadar
Penyulit ini disebabkan oleh :
1. Kelebihan dosis premedikasi atau obat-obat lain selama anestesia,
2.
3.
4.
5.

misalna fenotiazin, narkotika, anestetika.


Gangguan fisiologi selama anestesia, mislnya hipoksia
Ganguan akibat pembedahan, misalnya syok, emboli lemak.
Akibat menifestasi penyakit tertentu, misalnya hipoglikemia
Obat tertentu yang berinteraksi dengan obat yang dipergunakan selama

anestesia, misalnya monoamin oksidase inhibitor.


c. Cidera saraf tepi (perifer)
Kerusakan saraf tepi dapat bisa terjadi bila anggota tubuh tertentu diletakkan
pada posisi salah, tertekan atau terlalu lama teregang. Umumnya kerusakan
saraf tepi disebabkan terhambatnya darah mengalir ke saraf tersebut untuk
waktu yang cukup lama.
Etiologi kerusakan saraf tepi :
1. Pemakaian turniqet terlalu kuat dan lama. Untuk lengan atas
iskemia oleh manset diperbolehkan sampai 50-70 mmHg dan
tidak boleh lebih dari 3 jam lamanya.
2. Penyuntikan obat tertentu di sekitar saraf dapat memberikan
rangsang kimia atau cidera langsung terhadap saraf.
3. Hipotensi yang lama dapat berakibat iskemia yang akan
mempengaruhi persarafan daerah tertentu.
4. Reaksi toksis karena obat anestetika, misalnya trilene.
5. Kesalahan posisi yang lama.
VI.

KOMPLIKASI LAIN-LAIN
a. Menggigil
Pada akhir anestesia dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang
timbul menggigil seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini
mungkin terjadi karena reaksi tubuh terhadap suhu kamar operasi yang rendah.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesia
aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui
ventilasi meningkat.
Terapi :
1. Pasang selimut tebal
2. Petidin 15-25 mg I.V.
3. Klorpromazin 5-10 mg I.V.
b. Gelisah setelah anestesia

13

Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif


analgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri
sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada anak dan penderita
usia lanjut. Terapi dengan analgetik/narkotik (petidin 15-25 mg I.V.)
c. Mimpi buruk
Obat-obat seperti memberi komplikasi mimpi yang tidak enak. Dapat dicegah
dengan premedikasi diazepam, dehidrobenz peridol.
d. Sadar selama operasi
Jika pada anestesia balans, dosis komponen obat hipnotika kurang,
kemungkinan penderita akan sadar dan mengetahui jalannya pembedahan
yang dilakukan pada dirinya. Pada penderita tertentu hal ini merupakan stres
yang hebat. Keadaan akan menjadi lebih sulit jika analgetika yang diberikannya
pun tidak adekuat, hingga ia akan merasakan nyeri operasi tetapi tidak berdaya
melawan karena otonya telah dilumpuhkan oleh obat-obat pelumpuh otot.
Penyulit ini kadang terjadi pada anestesia N2O+O2+obat pelumpuh otot.
e. Kenaikan suhu tubuh
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau
hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38C
dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia
ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40C dan tidak dapat diturunkan dengan
hanya memberikan salisitas.
Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh, ialah :
1. Puasa terlalu lama
2. Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 C)
3. Penutup kain operasi yang terlalu tebal
4. Dosis premedikasi S.atropin terlalu besar
5. Infeksi
6. Kelainan herediter. Kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi
hipertermia maligna
Hipertermia maligna
Merupakan keadaan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari
2C dalam waktu 1 jam. Walaupun angka kejadian kompliksi ini jarang, yaitu
1:50.000 pada penderita dewasa dan 1:25.000 pada anak-anak, tetapi jika
terjadi angka kematiannya cukup tinggi yaitu 60%.

14

Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak dikemukakan


bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat (defek) pada ikatan kalsium
dalam retikulum sarkoplasma otot atau jantung. Adanya pacuan (triger) tertentu
akan menyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk ke dalam sitoplasma
hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat, penumpukn asam laktat dan
karbon dioksid, meningkat kebutuhan oksigen, asidosis metabollik dan
pembentukan panas.
Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang
berbakat hipertermia maligna herediter ini. Halotan dan subsinilkolin adalah
obat-obat yang sering dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak
berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini.
Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah,
takikardia, hiperapne, kulit kemerahan, asidosis hiperkalemia, hipo kalsemia,
tetani, mioglobubinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.
Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah :
a. Hentikan pemberian obat anestetika dan berikan O2 100% 2. Seluruh
tubuh di kompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan
b.
c.
d.
e.
f.

larutan NaCl fisiologis dingin.


Pemeriksaan gas darah segera dilakukan.
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
Koreksi hiperkalemia dengan glukose dan insulin
Oradekson dosis tinggi diberikan I.V.
Dantrolene I.V. 1-2mg/kg B dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum
10 mg/kgB. Obat ini merupakan satu-satunya obat spesifik untuk
hipertermia maligna

f. Hipersensitif
Reaksi hipersensitif

adalah

reaksi

abnormal

terhadap

obat

karena

terbentuknya mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan


lainnya. Reaksi dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang
digunakan dalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi
intravena dan obat pelumpuh otot :
Gejala klinis reaksi hipersensitif:
1. Kulit kemerahan dan timbul urtikaria
2. Muka menjadi sembab
3. Vasodilatasi, tetapi nadi kecil dan sering tak teraba, sampai henti jantung
4. Bronkospasme
15

5. Sakit perut, mual dan muntah kadang diare.


Pengobatan :
1. Hentikan pemberian obat anestetika
2. Dilakukan nafas buatan dan kompresi jantung kalau terjadi henti jantung
3. Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) I.V. intratrakea.
4. Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan
tertentu
5. Percepat cairan infus kristaloid
6. Operasi hentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.

16

Anda mungkin juga menyukai