Anesthetic Complication
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Anestesi secara umum berarti membantu pasien menghilangkan rasa nyeri
pada saat pemedahan, persalinan atau pada saat dilakukan tindakan diagnosticterapeutik. Selama proses pembiusan dan setelah pembiusan dapat terjadi
komplikasi komplikasi. Selain itu teknik dari pembiusan baik regional maupun
umum juga berpotensi mengakibatkan komplikasi
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi anestesi, yaitu
usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual, premedikasi, teknik dan obat anestesi
serta jenis dari operasinya.
Komplikasi tersering yang dirasakan setelah anestesi dengan teknik regional
dan umum antara lain adalah
Sedangkan komplikasi yang jarang ditemukan antara lain adalah kerusakan pada
mata, alergi obat serius, kerusakan saraf serta kematian.
Terjadinya komplikasi dari anestesi sangat merugikan, karena dapat
mempengaruhi keadaan umum pasien, memperpanjangang waktu recovery,
memberikan pengalaman buruk, rasa tidak nyaman serta masalah biaya karena dapat
memperpanjang masa perawatan di rumah sakit. Komplikasi anestesi yang terjadi
dapat dicegah tetapi beberapa tidak dapat dihindari. Untuk itu kami mengangkat
masalah komplikasi anestesi.
I.2 Tujuan
Referat ini bertujuan untuk mengetahui komplikasi pada anestesi dan juga cara
menangani dan mencegah komplikasi komplikasi yang tejadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Komplikasi Anestesi
Komplikasi anestesi dapat terjadi selama/durante anestesi atau pasca anestesi
Komplikasi Durante Anestesi
1. Respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea, singultus,
spasme (laryngospasm, bronchospasm)
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai cardiac
arrest
3. Thermic : hypothermia, hyperthermia
4. Kesadaran selama operasi
Komplikasi Pasca Anestesi
1. Respirasi : atelectase, pneumothorax, hiccup, aspirasi pneumonitis
2. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, decompensatio cordis
3. Mata : laserasi kornea, blepharospasm
4. Cairan tubuh : hipovolemia, hipervlemia
5. Neurologi : kejang, bangun lambat, trauma syaraf perifer
6. Mengigil
7. Malignant hyperthermia
8. Mimpi buruk
9. Gaduh-gelisah
10. Muntah
Hipotensi
Anestesi Spinal Total : Hipotensi, Bradikardi,
Apneu
c.
d.
e.
2. Komplikasi lanjutan
a.
b.
c.
d.
e.
II.2
Komplikasi Respiratori
1. Komplikasi laringoskopi dan intubasi ( Ismail, 2007/2008)
a. Kesalahan posisi ETT
- Intubasi esofagal
- Intubasi endobronkial
Cuff Perforasi
diketahui
dengan
adanya
respirasi
sonor. Sumbatan
total
memiringkan kepala akan menarik lidah ke depan dan membuka jalan nafas.
Memasang pipa nasal atau oral sering meringankan masalah. Pipa nasal lebih
ditolelir oleh pasien-pasien selama pemulihan dan lebih sedikit kemungkinan
trauma pada gigi bila mereka menggigit.
Jika manuver diatas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan.
Karakteristik dari spasme laring adalah suara tinggi nyaring dan mungkin juga
diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita suara adalah lebih mudah terjadi
pada trauma jalan nafas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari secret
atau darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust (mendorong rahang), terutama
bila dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask,
biasanya dapat mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral
atau nasal juga membantu dalam menjamin patensi jalan nafas bawah sampai
pada pita suara. Sekret atau darah pada jalan nafas harus disedot untuk
mencegah kekambuhan. Spasme laring yang parah harus diterapi agresif.
Dengan dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif
dengan O2 100% untuk sementara waktu guna mencegah hipoksia berat atau
udema paru tekanan negatif. Intubasi endotrakea kadang-kadang diperlukan
untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi atau jet ventilasi transtrakea
diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil.
Udema glotis setelah instrumentasi jalan nafas adalah penyebab penting
sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak-anak muda. Kortikosteroid i.v
(dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik epinephrine (0,5 ml larutan
2,25 % dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam kasus-kasus semacam ini.
Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher, tiroid,
dan carotid dapat membahayakan jalan nafas dengan cepat. Pembukaan luka
tersebut segera menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang tertinggal tak
sengaja di hipopharing pada bedah mulut dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas total cepat atau lambat.
Etiologi : Obstruksi bisa terjadi pada jaringan lunak, sekret yang
berlebihan, darah, isi lambung, spasme laring, tumor, inflamasi, benda asing,
hipertrofi tonsil dan adenoid dan kaku atau blokade dari ETT dan yang paling
banyak muncul pada periode post operatif adalah jalan napas bagian atas.
Tanda-tandanya
Obstruksi respirasi termasuk
a.) Pertukaran tidal yang inadekuat
b.) Retraksi dinding dada dan supraclavikular dan suprasternalis
c.) Pergerakan perut yang berlebihan
d.) Penggunaan otot-otot aksesoris
e.) Sianosis
Adanya hentakan trakea selama anestesi pada periode pemulihan
dapat diindikasikan sebagai salah satu anestesia dalam, blokade neuromuskular
dan atau hipoksia dengan retensi CO2 penyebab terakhir oleh karena respirasi
yang inadekuat atau obstruksi ventilasi.
Terapi
Termasuk pemasukkan jalan napas hidung atau faring (jika ditoleransi),
elevasi mandibula ke depan dan ke atas oleh tekanan dibelakang sudut
mandibula dan ventilasi buatan. Itu bisa jadi kebutuhan untuk membebaskan
jalan napas dari sekret oleh penghisapan yang sering. Jika jalan napas pasien
tidak bisa dijaga, selanjutnya intubasi trakea adalah indikasi. Trakeotomi bila
dibutuhkan, tetapi itu sangat jarang sekali.
3. Apnea
Dapat berkembang karena obstruksi pada jalan napas, depresi respirasi
perifer atau pusat. Terapi seharusnya dilakukam segera dengan ventilasi buatan,
dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, mulut ke sungkup, mulut ke jalan napas
atau mulut ke ETT. Pemompaan kantung sendiri, kantung penadah dari mesin
anestesi. Trakeotomi dapat dibutuhkan sewaktu-waktu.
4. Hipercapnea
PaCO2 atau ET CO2
5. Hipoventilasi
Hipoventilasi didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, sering terjadi
setelah anestesi umum. Kebanyakan hipoventilasi adalah ringan dan pada
beberapa kasus dapat diabaikan. Hipoventilasi yang bemakna secara klinis akan
tampak bila PaCO2 > 60 mmHg atau pH darah arteri < 7,25. Tanda-tandanya
bervariasi misalnya mengantuk yang berlebihan atau lama, sumbatan jalan nafas,
laju nafas pelan, takipnea dengan nafas dangkal, atau sulit bernafas. Asidosis
ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi, jantung
iritabel (lewat stimulasi simpatis), tetapi asidosis yang lebih berat menyebabkan
depresi sirkulasi. Jika curiga hipoventilasi yang bermakna, harus dilakukan
analisa gas darah arteri untuk menilai keparahan dan pemandu tata laksana
selanjutnya.
Hipoventilasi di PACU sangat umum karena efek-efek sisa depresi dari
agen anestesi terhadap pusat nafas. Karakteristik depresi nafas karena opioid
adalah laju nafas yang lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi
yang berlebihan juga sering terjadi, tetapi pasien mungkin mendengar dan dapat
meningkatkan pernafasan dengan perintah. Biphasik atau berulangnya bentukbentuk depresi nafas telah dilaporkan sebagai akibat dari semua opioid.
Mekanismenya meliputi variasi-variasi dalam intensitas dari stimulasi selama
pemulihan dan pelepasan lambat opioid dari kompartemen perifer seperti otot
rangka (atau paru pada fentanyl) selama pasien hangat kembali atau mulai
bergerak. Pengeluaran dari pemberian opioid intra vena ke dalam cairan
lambung kemudian diserap lagi juga telah dijelaskan tetapi tampaknya tak diakui
karena pengambilan oleh hati yang tinggi untuk kebanyakan opioid.
Hipoventilasi dapat terjadi pada saat operasi dan selama periode setelah
operasi. Hipoventilasi dapat disebabkan oleh obat-obatan pre anestesia dan
anestesia, narkotik, pelemas otot atau reduksi dalam suhu tubuh (biasanya pada
bayi). Nyeri dari insisi di dada atau perut ditandai dengan menurunnya kapasitas
maksimal bernapas, derajat dari hasil hipoksia dan hiperkapnia.
TERAPI
Terapi dapat diakukan dengan variasi oleh masker atau endo trakeal tube
dengan kantung inflasi nya sendiri, kantung bernapas dari mesin anestesia atau
ventilator mesin. Jika depresi respirasi oleh karena narkotik, antagonis narkotik
seperti nalaxone diindikasikan. Jika hipoventilasi oleh karena tubocurarine atau
pancuronium, injeksi neostigmine dengan atropin juga diindikasikan. Pemberian
oksigen oleh sungkup muka sekali pakai yang direkomendasikan untuk setiap
pasien selama periode post operatif dini.
Revers tidak adekuat, overdosis, hipotermi, interaksi farmakologi
(misalnya dengan antibiotik mycin atau terapi magnesium), perubahan
farmakokinetik (karena hipotermi, perubahan distribusi volume, disfungsi ginjal
atau hati) atau factor-faktor metabolic (hipokalemia atau asidosis respiratorik)
dapat
berespon
terhadap
sisa-sisa
pelumpuh
otot
di
PACU.
Tanpa
di
PACU
biasanya
disebabkan
oleh
hipoventilasi,
peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau keduaduanya.Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen akan
menonjolkan hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan hipoksemia
jika selama pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni
hipoventilasi juga tidak biasa jika pasien menerima suplemen oksigen tanpa
tanda-tanda hiperkapnea atau bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra
pulmoner. Kenaikan shunting intra pulmoner dari penurunan FRC relatif
pada
peningkatan
besar
shunting
intrapulmoner, adalah
tidak
10
pasien dengan retensi CO2 untuk menghindari tercetusnya gagal nafas akut.
Pasien-pasien dengan hipoksemia berat atau menetap harus diberi 100% oksigen
lewat NRM atau ETT sampai penyebabnya diketahui dan terapi lainnya dimulai;
Ventilasi mekanik dikontrol atau dibantu mungkin juga diperlukan. Foto dada
( terutama tegak lurus ) adalah amat berguna dalam menilai volume paru dan
ukuran jantung serta menunjukkan pneumothorak atau infiltrat paru. Infiltrat
pada mulanya tidak tampak pada awal inspirasi.
Terapi tambahan sebaiknya langsung pada penyebab dasar. Pipa dada
sebaiknya dipasang pada pneumothorax simtomatis atau yang lebih besar dari
15-20%. Spasme bronkus sebaiknya diterapi dengan bronkodilator aerosol dan
mungkin aminophilin i.v. Diuretik diberikan bila sirkulasi cairan berlebihan.
Fungsi jantung dioptimalkan. Hipoksemia menetap kendati dari 50% oksigen
secara umum diindikasikan untuk PEEP atau CPAP. Bronkoskopi sering
bermanfaat dalam mengembangkan kembali atelektasis lobaris oleh kotoran
bronkus atau partikel aspirasi.
7. Aspirasi Pulmonar
Inhalasi dari material didalam jalan nafas pada bawah pita suara.
Material termasuk benda asing, saliva, sekresi nasofaringeal atau component
lambung. Aspirasi paru terjadi sebagai reflex saluran napas pelindung, seperti
penurunan kesadaran dan gangguan batuk. Pada pasien bedah kemungkinan
terjadi ada induksi atau selama muncul anestesi.
Manifestasi
Bervariasi bergantung pada tingkat aspirasi, bisa hipoksi, takikardi dan
takipneu. Bronkospasme kadang muncul dan pada auskultasi dada dapat
didapakan mengi.
Penanganan
Awal penanganan
-
11
rupture.
Jika pasien apneu, intubasi segera dilakukan. Jaan nafas di
suctioned melalui tracheal tube sebelum tekanan posited
ventilasi dimulai.
Penanganan lanjutan : intensive care pasien dengan aspirasi
pneumonia. Penilaian termasuk foto rontgen thorax, analisa gas
darah, dan kultur sputum. Menggunakan volume tidal 4-6 ml/kg
dengan meningkatkan frekuensi ventilasi untuk pemeliharaan
volume yang berkurag karena injury pulmo. Bronchodilator
seperti salbutamol da ipratropium bromide yang dapat
meringankan bronhospasm. Terapi spesifik termasuk fibreoptic
bronchoscopy.
12
Pergerakkan yang asimetris dan retraksi dada, tidak ada suara napas yang
melewati segmen dari area paru, meningkatnya kesulitan dalam bernapas,
takikardi, takipnea, demam dan sianosis.
2.) Diagnosis dapat dilihat dari hasil x-ray dada dan dugaan dari bukti yang
kuat.
3.) Pengobatan
Fisioterapi dada, penghisapan bronkus melalui kateter atau bronkoskop,
batuk, napas dalam, inflasi tekanan positif dari paru, ekspektoran, surfaktan
dan agen mukolitik dan bronkodilator.
b. Pneumotoraks
Pneumotoraks dapat disebabkan oleh rupturnya jaringan paru ( seperti
emfisema dengan diikuti batuk yang berlebihan). Tekanan positif respirasi yang
hebat atau trauma langsung pada apex paru selama trakeotomi, pemotongan
leher, pemasangan CVC atau pemblokkan plexus supraclavicular brakialis.
Pneumotoraks dapat muncul selama obstruksi jalan napas parsial dengan napas
dalam. Selama periode ini, udara dapat terhisap kedalam mediastinum superior
dimana karena ruptur satu atau kedua rongga pleura (retriperitoneal atau
intraperitoneal yang melewati aorta atau esofagus).
1.) Diagnosis dibuat dari pemeriksaan fisik, x-ray dada dan analisis gas darah
2.) Pengobatan. Aspirasi udara melewati suatu titik yang dibuat dengan lubang
jarum yang besar di dalam pleura di linea mid clavicularis anterior kedua
atau ketiga, bersamaan dengan penempatan selang pada dada yang
menghubungkan ke air-drain-botol.
c. Demam
Demam terjadi dalam 24 jam pertama post-operatif dengan atelektasis dalam
48 jam, infeksi traktus urinaria dan setelah 72 jam, infeksi luka. Demam postoperatif diakibatkan oleh tromboflebitis yang dapat muncul setiap saat. Beberapa
post-operatif meningkatkan suhu tubuh, sesedikitnya 1O F diatas normal / > dari
2 hari, harus dipertimbangkan dan dipelajari untuk diatasi penyebabnya.
d. Pengembungan lambung
Penggembungan lambung bisa karena jalan napas yang sudah payah. Ini bisa
terjadi pada pasien yang lumpuh dengan tekanan jalan napas diatas 25 cm H2O,
meskipun jalan napasnya bersih, dan itu bisa menyebabkan muntah postoperatif dan kesulitan pembedahan atau cegukan.
13
e. Cegukan
1.) Cegukan adalah spasme diafragma yang terputus-putus disertai dengan
penutupan glotis secara tiba-tiba.
2.) Cegukan dapat terjadi pada saat induksi dan atau pemeliharaan anestesia,
dengan inhalasi atau dengan anestesi intravena dan bisa menjadi lebih sulit
untuk keduanya, ahli bedah dan ahli anestesinya terutama ketika cegukan
menetap.
3.) Terapi nya bertujuan untuk menyingkirkan penyebab yang berkaitan, seperti
penggembungan lambung, iritasi diafragma atau rangsangan viscera
abdominal bagian atas.
a. Membantu pernafasan adalah penting dan jika cegukan berlangsung
lama, obat relaxan bisa digunakan dengan intubasi trakea dan kontrol
ventilasi.
b. Metode teraupetik. Stimulasi nasofaring, anestesia umum, obat oelemas
otot, inhalasi CO2, dekompresi lambung dan blok nervus phrenic
unilateral
14
15
16
yang kuat dan terapi tidak boleh ditunda sampai diagonis yang definitif
ditetapkan dalam beberapa hari.
5.) Tanda-tanda transfusi darah yang tidak kompatibel di bawah anestesi adalah
hipotensi, umum mengalir dari luka, hemoglobinuria, dan sianosis.
Kemudian tanda-tanda penyakit kuning, oliguria, dan anuria
6.) Prevention dan pengobatan hipotensi
a. berlebihan preanesthetics dan obat-obatan anestesi harus dihindari
b. manipulasi bedah harus dilakukan selembut mungkin
c. administrasi dan penggantian cairan darah harus dilakukan lebih awal
d. tekanan vena sentral harus dipantau
e. obat cepat pengobatan dengan vasopressors
f. jika hypotensioni disebabkan hipoksia, oksigen harus diberikan pertama
dan terakhir vasopressors
TERAPI
Hipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi adalah umum dan
biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatis yang normalnya berhubungan
dengan tidur atau efek sisa dari agent anestesi, bentuk seperti ini tak
memerlukan terapi. Hipotensi yang bermakna didefinisikan sebagai penurunan
tensi 20-30 % dari tensi basal pasien dan diindikasikan sebuah kekacauan serius
yang memerlukan terapi. Terapi tergantung pada kemamapuan untuk menilai
volume intravaskuler. Peningkatan tensi setelah bolus caiaran (250-500 ml
kristaloid atau 100-250 ml koloid) umumnya mendukung hipovolemi. Pada
hipotensi berat, suatu vasopressor atau inotropik mungkin diperlukan untuk
meningkatkan tensi sampai defisit volume intravaskuler paling tidak terkoreksi
sebagian. Tanda-tanda disfungsi jantung sebaiknya diperiksa pada pasien-pasien
tua dan pasien-pasien dengan penyakit jantung. Kegagalan pasien untuk segera
berespon terhadap terapi mengamanatkan monitoring hemodinamik invasive;
manipulasi dari preload, kontraktilitas, dan afterload sering diperlukan. Adanya
tension pneumothorax, seperti yang disebabkan oleh hipotensi dengan
penurunan suara nafas sesisi, hiperresonanasi, dan deviasi trakea, adalah suatu
indikasi untuk segera dilakukan aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi
17
tekanan
intrakranial,
pheochromocytoma,
dan
obat-obatan
18
19
4. Cardiac arrest
Insiden serangan jantung secara signifikan lebih besar dengan anestesi spinal
(6,4 + / - 1,2per 10.000 pasien) dibandingkan dengan anestesi epidural dan blok
saraf perifer dikombinasikan. Risiko kematian setelah serangan jantung secara
bermakna dikaitkan dengan usia dan American Society ofAhli anestesi '(ASA)
kelas status fisik. Rata- rata usia korban adalah 50 +/ - 20 th, dan rata- rata usia
yang tidak selamat adalah 82 + /- 7 th. (auroy, yves MD; 1997)
II.4
Komplikasi Neurologi
Inside cedera pada neurologi terlihat lebih tnggi pada setelah spinal
anestesi dari pada anestesi kombinasi seperti epidural, peripheral nervus block,
intravena regional anestesi. (auroy, yves MD; 1997).
1. Kesadaran
- Implicit memori
Informasi disimpan dalam memori tetapi tidak dapat mengingat
kejadian. Contohnya post operasi trauma fisik seperti cemas, insomnia
-
dan sebagainya
Explcit memori
Informai disimpan dalam memori diserati kemampuan mengingat
kejadian ( kejadian yang tidak menyenangkan seperti presepsi visual,
auditiri, sesansi lumpuh dan nyeri.
Pencegahan :
a. Preoperative :
i. Kunjungn preoperative
ii. Pengecekan pelaratan dan mein anestesi
iii. Informed consent
b. Intraoperative
i. Monitoring kedalaman anastesiindikas
ii. Teknik anestesi : hindari uscle relaxan tanpa indikasi
c. Post operative :
i. Visit pasien
ii. Permintaan maaf
iii. Psikoterapi
20
2. Penundaan Pemulihan
Penyebab :
1. masalah metabolit dan elektrolit
2. cerebral hyopoperfusi
3. depresi cerebral karena obat
3.
Perioperatif neuropati
Penyebab : traksi, kompresi, metabolic, trauma operasi langsung
Faktor resiko : usia, BMI > 38, Pembedahan yang terlalu lama, sudah ada
riwayat disfungsi nervus kronik,Variasi anatomi, Hipotensi, DM, Terlalu lama
bed est postoperative.
4. Paralisis Nervus Ulnaris
Kelemahan motorik dan parestesia dapat terjadi di nervus ulnaris dari tekanan
pada nervus dibawah siku. Hal ini terjadi pada pasien yang sikunya terjepit
dengan benda padat. Hal ini juga dapat terjadi jika nervus tertekan oleh tulang
dan ujung dari meja operasi, atau jika lengan pasien dalam keadaan abduksi
kemudian siku tertekan oleh ujung meja operasi.
Pencegahan termasuk menjaga tangan mendekat ke pada sisi tubuh pada posisi
horizontal .
Ketika timbul rasa lemah, mati rasa, atau paralisis pada nervus ulnaris,
pemeriksaan neurologik secara detail harus dilakukan dan pengobatan
secepatnya , termasuk fisioterapi.
II.5
21
Menggigil
kadangkala
cukup
hebat
sehingga
menyebabkan
22
23
pneumonia atau abses paru. Lesi karena ph kurang dari 2,5. Pneumonitis
kimia seharusnya dapat dicurigai ketika terdapat sianosis persisten,
takikardi dan takipnea beriringan dengan berkembangnya mengi diikuti
muntah atau regurgitasi. X-ray dada diindikasikan untuk mendukung
diagnosis klinis.
c. Jika aspirasi muncul, terapi termasuk ETT, penghisapan pada trakea,
oksigenasi, hidrokortison 500-1000 mg, aminofilin, dan antibiotik.
Respirasi seharusnya di kontrol untuk memblok dari bronkus segmental
nya, terapi bronkoskopi diindikasikan.
Anestesi propofol menurunkan insiden mual dan muntah post operasi.
Droperidol i.v 0,65-1,25 mg (0,05-0,075 mg/kg pada anak-anak) bila diberikan
intra operesi menurunkan mual post operasi secara bermakna tanpa
memperpanjang masa pemulihan; dosis kedua mungkin diperlukan bila mual
masih terjadi di PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg i.v mungkin seefektif
droperidol dan lebih sedikit menyebabkan kantuk. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan selama anestesi, droperidol
mungkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif 5-hydroxytriptamin
(serotonin) reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kb
pada anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg/kg
pada anak)juga amat efektif. 5HT3 antagonis adalah tidak menimbulkan sedasi,
ekstra pyramidal akut (dystonik), dan reaksi diphoric yang mungkin terjadi
dengan agent lainnya. Ondansetron mungkin lebih efektif daripada agent lainnya
pada anak-anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1 mg/kg pada anak) jika
dikombinasikan dengan anti muntah lainnya sangat efektif untuk mual muntah
yang sukar disembuhkan. Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus
dilanjutkan dengan 10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah
post operasi.
II.7 Komplikasi pada Sistem Pengelihatan
Selama anestesi, pada beberapa pasien kelopak mata tidak menutup
secara penuh, terutama jika pelemas otot sudah digunakan. Karenanya, jika tidak
24
ada pencegahan yang diambil, cidera pada mata poleh trauma langsung, kornea
menjadi kering- iritasi pada cairan- uap dari obat anestesi dapat terjadi dengan
pemberian anestesia umum.
1) Abrasi kornea adalah komplikasi pada mata yang paling umum yang terjadi
selama anestesi umum dan pemulihan. Gejala ini menyakitkan dan dapat
berkembang menjadi inflamasi di traktus uvea, dan jika terkontaminasi
dapat mengarah ke infeksi serius.
a. Abrasi kornea dapat terjadi, salah satunya oleh karena penempatan
sungkup muka yang kurang hati-hati pada mata yang sedang terbuka atau
oleh tangan dan kuku jari ahli anestesi selam proses pemasangan
laringosko dan intubasi. Kebanyakan tejadi pada operasi kepala dan
leher, terutam pada saat craniotomi dan dalam prosedur ahli bedah saraf
dan ahli ortopedi yang wajib menengkurapkan pasien.
b. Abrasi kornea dapat terjadi selamaoperasi yang melibatkan nervus
facialis seperti mastoidektomi, timpanoplasti atau parotidektomi.
c. Selama prosedur pembedahan, lengan asisten, instrumen, handuk kepala
dapat mengakibatkan konjungtivitis, abrasi kornea, ulserasi.
2) Jika mata hanya terbuka sebagian selama anestesi, produksi air mata tidak
ada, kornea menjadi kering dan epitel rusak.
3) Posisi anatomis dari mata adalah faktor lain. Resiko kekeringan pada mata
adalah baik pada orang dengan mata yang menonjol (proptosis dan
eksoftalmus). Cidera pada mata dapat disebabkan oleh sekret yang masuk
kedalam mata atau oleh tumpahnya cairan steril selam persiapan operasi.
Tahanan pada bola mata dapat mengakibatkan kebutaan dengan
tidak
adanya suplai dari arteri ke mata, terutama selama teknik induksi hipotensi.
Selama masa pemulihan ,mata dapat terkena cidera oleh sprei, sungkup muka
atau jari pasien.
Diagnosis
Abrasi kornea menyebabkan nyeri, lakrimasi, dan blefarospasme, nyeri
berat dan diperburuk saat pasien berkedip dan gerakan bola mata. Pasien
mengeluhkan adanya sensasi benda asing dimatanya. Dengan pemeriksaan pada
kornea menggunakan lup mata di bawah sinar yang baik, kassa steril dengan
pewarnaan flourescein digunakan untuk menggambarkan cidera epitel. Kornea
25
yang abrasi memberikan hasil warna yang lebih hijau dibandingkan kornea yang
tidak rusak.
Pengobatan.
Penggunaan salep antibiotik secara lokal dan dengan memberikan
penekanan pada mata, cycloplegik dan cairan midriatik diberikan untuk
mencegah sinekia dan meredakan nyeri yang berhubungan dengan spasme iris
dan otot siliaris.
Profilaksis
Komplikasi pada mata dapat dicegah dengan memastikan bahwa mata
pasien tertutup selama anestesi. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara
memegang kelopak mata dengan cairan adesif dan plester.
II.8
Hipertermia Malignant
Hipertermia malignant adalah krisis hipermetabolik fulminan yang dipicu
oleh obat-obatan anestesi.
1.) Hypertermia malignant jarang terjadi tetapi berpotensi mengancam nyawa
dan terjadi selama anestesi umum, dengan angka kematian 60%. semakin
tinggi suhu maksimum dan semakin lama durasi anestesi, semakin tinggi
angka kematian tersebut. Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan yang
cepat adalah kunci sukses reversal.
2.) Kejadian telah dilaporkan 1 dalam 15.000 administrasi anestesi pada anakanak, dan 1 dalam 50.000 pada orang dewasa. Sebagian besar kasus terjadi
pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Laki-laki lebih sering daripada
perempuan.
26
sebelumnya
mengesampingkan kemungkinan
yang
tanpa
terjadinya
komplikasi
hipertermia
tidak
malignant
27
28
Manifestasi :
- Kardivaskular : hipotensi, takikardi, disritmia
- Pulmo : broncospase, batuk, dispneu, edeapulmonary, edema laring,
-
hipoksemiaologi
Dermatologi : urtika, pruritusm facial edema
Penanganan :
Terapi awal : Jauhi allergen, Oksigen 100 %, Cairan intravena 1-5 liter LR,
Epinephrine (10-100 mcg IV bolus untuk hipotensi, 0.1-0.5 mg
IV untuk kolaps cardiovascular)
Penanganan sekunder : Antihistamin intra vena, Epinephrine 2-4 mcg/min,
norepinephrine 2-4 mcg/min, Aminophylline 5-6 mg/kg IV
setelah 20 menit, 1-2 grams methylprednisolone atau 0.25-1 gm
hydrocortisone.55. Sodium bicarbonate 0.5-1 mEq/kg.66.
Evaluasi jalan napas (sebelumnya ekstubasi).
BAB III
KESIMPULAN
1. Komplikasi anestesi dapat terjadi selama proses pembiusan dan setelah
pembiusan. Teknik dari pembiusan baik regional maupun umum juga
berpotensi mengakibatkan komplikasi.
2. Faktor faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi
anestesi, yaitu usia, jenis kelamin, obesitas, faktor individual,
premedikasi, teknik dan obat anestesi serta jenis dari operasinya.
3. Komplikasi selama anestesi yaitu:
a. respirasi : obstruksi jalan nafas, respirasi abnormal, batuk, apnea,
singultus, spasme (laryngospasm, bronchospasm)
b. Kardiovaskular : hipotensi, hipertensi, emboli, disritmia sampai
cardiac arrest
c. Thermic : hypothermia, hyperthermia
d. Kesadaran selama operasi
4. Komplikasi Pasca Anestesi, yaitu :
a. Respirasi : atelectase, pneumothorax,
hiccup,
aspirasi
pneumonitis
29
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
DAFTAR PUSTAKA
Miller, RD., 2000. Anesthesia, 5 th. Ed. Churchill Livingston. New York. USA
Morgan, GE., et al. 2006. Clinical Anesthesiology 4th Ed. The McGraw-Hill Companies,
Inc. USA
30