Anda di halaman 1dari 20

Komplikasi dan Penatalaksanaan Regional Anestesi Ade Mayasari * Donni Indra Kusuma ** ABSTRACT: Complication of regional anaesthesia has

been recognised from very long time. Fortunately serious complication are rare. Safe, effective practice of neuraxial anaesthesia requires a detailed knowledge of potential complication, their incidence and risk factors associated with their occurence. The incidence of complication were higer for spinal that for epidural anaesthesia. These complication may be caused either due to mechanical
injury from needle or catheter placement and/or adverse physiological responses and/or drug toxicity. As far as treatment is concerned, it could be conservative or invasive.

Keywords: Regional anaesthesia, complications, treatment ABSTRAK: Komplikasi anestesi regional telah diketahui dalam waktu yang lama. Untungnya komplikasi serius jarang terjadi. Anestesi neuraxial yang aman dan efektif memerlukan pengetahuan yang rinci mengenai komplikasi yang mungkin terjadi, insiden terjadinya, dan faktor resiko terkait. Komplikasi ini dapat disebabkan baik karena cedera mekanis dari penempatan jarum atau kateter dan/atau respon fisiologis yang merugikan dan/atau keracunan obat. Pengobatan yang bisa diberikan yaitu konservatif ataupun invasif. Kata kunci : Anestesi regional, komplikasi, penatalaksanaan

PENDAHULUAN Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif murah, pengaruh sistemik minimal menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respons stress secara lebih sempurna.1 ___________________________________________________________________________ * Coassistant Anestesi FK TRISAKTI 30 Januari 2012 3 Maret 2012 ** Dokter Spesialis Anestesiologi di BLU RSUD Kota Semarang

Namun demikian tanpa keterampilan dan pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi lokal, komplikasi dan manajemennya, serta pencegahan dan persiapannya akan membahayakan karena datangnya komplikasi sangat cepat dan tak terduga. Bila pemahaman teori kurang memadai bisa berakibat fatal karena tidak terdeteksi dan terantisipasi dengan cepat dan tepat.2 PEMBAGIAN ANESTESI REGIONAL 1. Blok sentral (blok neuroaksial) yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. 2. Blok perifer (blok saraf) misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional intravena, dan lain-lainnya. ANALGESIA SPINAL Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke ruang subaraknoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif, dan mudah dikerjakan.3 ANALGESIA EPIDURAL Analgesia epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural). Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan duramater. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan di bawah dengan selaput sakrokoksigeal. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal. Obat anestesi lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Awal kerja anestesia epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.3

Gambar 1. Lokasi Penusukan Jarum Spinal (Dikutip dari 4)

ANALGESIA KAUDAL Analgesia kaudal sebenarnya sama dengan anestesia epidural karena kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog degan gabungan antara ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan ligamentum flavum. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale, dan kantong dura.3

Gambar 2. Caudal Block (Dikutip dari 4) ANALGESIA REGIONAL INTRAVENA Anestesia regional intravena dapat diekrjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit pada lengan atau tungkai. Biasanya hanya dikerjakan untuk orang dewasa dan pada lengan.3 PENGGOLONGAN OBAT ANESTESI LOKAL Berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu ester-amide dan amideamide.2,3 Perbedaan antara anestetik lokal ester dan amid adalah efek samping yang ditimbulkan dan mekanisme metabolisme metabolitnya, dimana golongan ester kurang stabil dalam larutan, lebih mudah dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh sangat pendek, sekitar 1 menit. Adapun produk degradasi hasil metabolisme ester adalah asam p-aminobenzoik. Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisir dan cenderung terjadi akumulasi dalam plasma. Ikatan amid dipecah menjadi N-dealkilasi dengan cara hidrolisis, terutama di hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih banyak mengalami reaksi-reaksi yang merugikan. Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3 jam. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dapat disterilkan dengan autoklaf.2,3 MEKANISME KERJA Infiltrasi anestetik lokal di sekitar saraf menyebabkan keluarnya Ca++ dari reseptor dan anestetik lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga terjadi blockade gerbang Na+. Selanjutnya terjadi hambatan konduksi Na+ dan depresi kecepatan induksi sehingga tidak terjadi potensial aksi2,3

FARMAKOKINETIK Absorpsi dan distribusi Absorpsi anestetik lokal dari tempat penyuntikan ke dalam sirkulasi sitemik dipengaruhi oleh: 1. Tempat penyuntikan dan dosis 2. Penggunaan epinefrin
3. Karakteristik farmakologis

Konsentrasi dalam plasma ditentukan oleh kecepatan distribusi jaringan dan klirens obat.3 Absorpsi anestetik lokal ke berbagai jaringan sebagai berikut: Kulit: tidak tembus sehingga tidak efektif digunakan pada kulit yang utuh. Subkutan: tergantung vaskularisasi, kecuali bila ditambahkan adrenalin. Mata: efektif dapat menembus konjungtiva, dapat digunakan sebagai obat tetes atau suntikan sub konjungtiva. Membran mukosa: absorpsi pada mukosa hidung, faring, trakea bronkus, dan alveolus secepat intravena. Vasokonstriktor: tidak memperlambat absorpsi pada mukosa Esofagus pada mukosa esofagus absorpsinya tidak bermakna Saluran cerna dan uretra: cepat absorpsinya. Kanalis spinalis: pada dosis anestesi spinal, absorpsi ke darah berjalan lambat, level dalam darah jarang terdeteksi. Vasokonstriktor (epinefrin, fenilefrin) memperlambat absorpsi dan meingkatkan durasi anestesi sampai 60%. Ruang epidural: menyebar secara difus sepanjang saraf melewati foramen intravertebra. Absorpsi mirip seperti jaringan subkutan dan penambahan vasokonstrikor akan memperlambat absorps.

Distribusi Ekstraksi oleh paru: paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seperti lidokain, bupivakain, dan prilokain dari sirkulasi. Transfer plasenta: distribusi dalam jaringan akhrinya akan mencapai plasenta. Ikatan protein plasma mempengaruhi kecepatan dan derajat difusi obat melewati plasenta. Bupivakain yang mempunyai ikatan protein tinggi (95%) dibanding lidokain yang hanya 70%. Golongan ester karena cepat terhidrolisa, tidak bermakna melewati plasenta. Asidosis fetus akibat persalinan yang lama akan menghasilkan akumulasi obat pada fetus. Klirens Klirens dan eliminasi waktu paruh amid-amid terutama di hepar, ekskresi oleh ginjal dalam bentuk tak berubah adalah minimal. Toksisitas Efek toksis anestetik lokal terutama berakibat pada sistem kardiovaskular dan susunan saraf pusat (SSP). Konsentrasi yang sangat tinggi dalam darah menyebabkan depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah perifer. Metabolisme Degradasi masing-masing anestetik lokal bervariasi dan tergantung enzim-enzim dalam darah dan hepar. Produk-produknya akan dieliminasi oleh ginjal sebagian dalam bentuk tak berubah. Ikatan ester dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh ester dalam sirkulasi sangat pendek, sekitar 1 menit. Produk degradasi metabolism ester adalah p-aminobenzoic acid. Ikatan amid dipecah lewat N-dealkylation diikuti dengan hidrolisis yang terjadi terutama di hepar. Penderita penyakit hepar lebih mudah terkena reaksi yang merugikan dari amid. Eliminasi waktu paruh golongan amid 2-3 jam.3

KOMPLIKASI DAN PENATALAKSANAANNYA Penyulit mungkin saja terjadi tanpa diduga sebelumnya. Akan tetapi apabila pelaksanaannya telah disiapkan dengan matang, maka sebagian besar penyulit dapat diatasi.4

Gambar 3. Efek Samping Fisiologis dan Komplikasi Regional Anestesi (Dikutip dari 4)

Gambar 4. Komplikasi Mayor dari Regional Anestesi (Dikutip dari 4)

1. Komplikasi lokal Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembuluh darah, maka
7

dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan membentuk abses. Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas. Tindakan yang perlu adalah konsevatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end artery dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.4 2. Komplikasi sistemik Penyulit ini terjadi akibat masuknya anestetik lokal ke dalam sirkulasi sistemik.4 Hal ini dapat terjadi oleh karena beberapa sebab: a. Overdosis Penyuntikan yang berulang-ulang tanpa memperhatikan volume dan konsentrasi yang dipakai merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya overdosis. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menjalani operasi yang cukup luas, dimana penderita kurang kooperatif. Operator sering tanpa menyadari berapa banyak obat anestesi lokal yang telah disuntikkan. Asisten operator berkewajiban mengingatkan volume yang sudah disuntikkan. b. Hiperabsorbsi Penyuntikan anestesi lokal di daerah yang kaya pembuluh darah menyebabkan anestetik lokal cepat diabsorbsi dan beredar ke sirkulasi sistemik. Daerah muka, leher, axilla, inguinal, perineum memerlukan perhatian karena banyaknya pembuluh darah. Dengan demikian penyuntikan pada daerah ini diperlukan pengurangan dosis.

c. Hipersensitif

Dengan dosis yang masih jauh dari maksimal penderita sudah menunjukkan gejala terjadinya komplikasi karena penderita memang hipersensitif. Sangat sulit dibedakan antara hipersensitif dengan alergi akibat reaksi imunologi. d. Intravasasi Komplikasi terjadi akibat anestetik lokal langsung masuk ke dalam pembuluh darah saat penyuntikan dilakukan. Hal ini dapat dihindari dengan cara melakukan aspirasi setiap akan menyuntikkan obat.4 Gejala Komplikasi Sistemik 1. Susunan saraf pusat a. Korteks serebri Pada tingkat korteks serebri manifestasinya dapat berupa stimulasi maupun depresi. Stimulasi dapat berupa gelisah, agitasi, dan bahkan sampai kejang. Tindakannya adalah dengan menjaga jalan nafas, memberikan oksigen 100% serta memberikan suntikan anti konvulsi yang tersedia, misal thiopental atau diazepam. Thiopental dapat diberikan 1-2 mg/kgBB atau 50 mg pada dewasa. Diazepam dapat diberikan sebesar 5-1 mg. Keduanya diberikan secara intravena. Depresi dari korteks serebri manifestasinya dapat sebagai kantuk, lemas, kesadaran yang menurun. Berikan oksigen 100% dan segeralah berikan infus larutan NaCl, Ringer Laktat, atau 2A. b. Medulla Pada tingkat medulla efek sistemik dari anestetik lokal dapat berupa stimulasi maupun depresi tergantung tinggi rendahnya kadar anestetik lokal dalam plasma.
-

Stimulasi pada pusat kardiovaskular akan manifestasi sebagai hipertensi dan takikardi. Apabila hal ini terjadi tindakannya adalah dengan memberikan oksigen serta obat

penghambat beta misalnya propanolol. Sedangkan apabila pusat ini mengalami depresi akan tampak gejala hipotensi dan bradikardi.
-

Penderita hendaknya pada posisi trendelenburg, diberikan infus cairan kristaloid, oksigen serta kalau perlu diberikan vasopresor. Stimulasi pada pusat respirasi akan tampak berupa hiperventilasi yang apabila berlebihan memerlukan pemberian obat seperti pethidin atau morfin. Akan tetapi apabila pusat respirasi mengalami depresi berupa hipoventilasi, maka tindakan yang tepat adalah pemberian bantuan nafas serta oksigen.

Stimulasi pusat muntah akan menimbulkan muntah.4

Gambar 5. Komplikasi Neurologis (Dikutip dari 4)

2. Efek perifer

10

Jantung: bradikardi terjadi akibat depresi langsung pada miokard Pembuluh darah: terjadi vasodilatasi pembuluh akibat efek samping dari obat anestesi lokal pada otot polos pembuluh darah.

Terapi sama dengan bradikardi-hipotensi pada depresi sentral.4 3. Reaksi alergi Reaksi ini manifestasinya bermacam-macam, bisa hanya berupa kemerahan pada kulit, urtikaria, namun dapat pula manifestasinya berupa reaksi syok anafilaktik. Adrenalin 0,3-0,5 mg i.m merupakan obat pilihan pertama selain tindakan lainnya seperti buka jalan nafas, berikan O2, posisi syok, dan infus cairan. Aminofilin adalah obat nomor satu yang lain. Kortikosteroid dan antihistamin adalah obat penyerta berikutnya.4 4. Lain-lain Komplikasi lain yang kadang terjadi adalah menggigil dan disarthri yang penanganannya juga bersifat konservatif berupa pemberian oksigen dan penenang seperti diazepam.4 Komplikasi dini 1. Hipotensi 2. Blok spinal tinggi / total 3. Mual dan muntah 4. Penurunan panas tubuh5 Komplikasi lanjut 1. Post dural Puncture Headache (PDPH) 2. Nyeri punggung (Backache) 3. Sindrom Cauda Equina 4. Retensi urin 5. Meningitis 6. Spinal hematom 7. Kehilangan penglihatan pasca operasi5
11

Mekanisme Komplikasi Dini Spinal Anestesi


1. Hipotensi. Blok saraf simpatis menyebabkan terjadinya vasodilatasi, sehingga venous

return meningkat, preload menurun, cardiac output ikut menurun, terjadilah hipotensi.6 Terapi:
-

Pemberian cairan RL 500-1000 ml secara intravena sebelum anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi atau preloading dengan 1-5 L cairan. Autotransfusi dengan posisi head down dapat menambah kecepatan pemberian preload. Jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopressr langsung atau tidak langsung dapat diberikan, seperti efedrin dengan dosis 5-10 mg bolus iv.

2. Blok spinal tinggi / total. Total spinal: blokade medulla spinalis sampai ke servikal oleh suatu obat lokal anestesi. Faktor pencetus: pasien mengejan, dosis obat lokal anestesi yang digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik. Sesak nafas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi. Sering disertai mual, muntah, precordial discomfort, dan gelisah. Apabila blok semakin tinggi, penderita menjadi apneu, kesadaran menurun, disertai hipotensi berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung.6 Terapi:
-

Usahakan jalan nafas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan nafas lewat face mask. Jika depresi pernafasan makin berat perlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat. Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung.

Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi. Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropin.

12

Gambar 6. Menajemen Hipotensi, Bradikardi, dan Total Spinal (Dikutip dari 4)

3. Mual, muntah. Terjadi karena hipotensi, adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan

peningkatan peristaltik usus, tarikan nervus dan pleksus khususnya nervus vagus, adanya empedu dalam lambung oleh karena relaksasi pilorus dan sfingter duktus bilaris, faktor psikologis, maupun hipoksia.6 Terapi:
-

Untuk menangani hipotensi: loading cairan 10-20 ml/kgBB kristaloid atau pemberian bolus efedrin 5-10 mg iv.

Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia. Pemberian anti emetik.

4. Penurunan panas tubuh. Terjadi karena sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi

panas oleh metabolisme berkurang, maupun adanya vasodilatasi pada anggota tubuh bawah.6
13

Terapi: Pemberian suhu panas dari luar dengan alat pemanas.

Mekanisme Komplikasi Lanjut Spinal Anestesi 1. PDPH. Disebabkan adanya kebocoran LCS akibat tindakan penusukan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan pada volume LCS dimana penurunan volume LCS melebihi kecepatan produksi. LCS diproduksi oleh pleksus koroideus yang terdapat dalam sistem ventrikel sebanyak 20 ml/jam. Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur intrakranial yang sangat peka terhadap nyeri, yaitu pembuluh darah, saraf, falk serebri, dan meningen, dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila berbaring. Hal ini disebabkan pada saat berdiri LCS dari otak mengalir ke bawah dan saat berbaring LCS mengalir kembali ke rongga tengkorak dan akan melindungi otak sehingga nyeri berkurang. PDPH ditandai dengan nyeri kepala yang hebat, pandangan kabur dan diplopia, mual dan muntah, penurunan tekanan darah. Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi.6 Pencegahan dan penanganan: -

Hidrasi dengan cairan yang kuat. Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan <24) dan menggunakan jarum non cutting pencil point.

Hindari penusukan jarum berulang-ulang. Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal duramater. Mobilisasi seawal mungkin. Gunakan pendekatan paramedian.

14

Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat.

Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoate 500 mg iv atau im, asetaminofen atau NSAID.

Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembentukan LCS. Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch: a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural b. Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml c. Dilakukan pungsi epidural kemudian masukkan darah secara perlahan-lahan d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan mobilisasi e. Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan mengejan

2. Nyeri punggung. Tusukan jarum yang mengenai kulit, otot, dan ligamentum dapat

menyebabkan nyeri punggung. Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasanya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bisa menutup anestesi ini. Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif.6 Penanganan: Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine.
3. Sindrom Cauda Equina. Terjadi ketika cauda equina terbuka atau tertekan. Penyebab

adalah trauma dan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatik intraneural, diasumsikan

15

bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan obat ini bisa menjadi kontaminan seperti antiseptik atau bahan pengawet yang berlebihan.6 Penanganan: penggunaan obat anestesi lokal yang tidak neurotoksik terhadap cauda equina merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma pada cauda equina waktu melakukan penusukan jarum spinal.
4. Retensi urin. Blokade sentral menyebabkan atonia vesika urinaria sehingga volume urin di

vesika urinaria jadi banyak. Blokade simpati eferen (T5-L1) menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin. Spinal anestesi menurunkan 5-10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien hipovolemia.6 Penanganan: Pasang kateter urin

5. Meningitis. Meningitis aseptik mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi, tetapi

jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni lokal yang memadai.6 Pencegahan dan pengobatan: Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang benar-benar steril. -

Menggunakan jarum spinal sekali pakai. Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik.

6. Hematom spinal. Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla

spinalis. Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologis dan paraplegi.6 Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi: 1. Mati rasa
16

2. Kelemahan otot 3. Kelainan BAB 4. Kelainan sfingter kandung kemih 5. Sakit pinggang yang berat Faktor resiko: abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, penusukan berulang-ulang. Penanganan: Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli saraf. Banyak perbaikan neurologis pada pasien spinal hematom yang segera mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12 jam. 7. Kehilangan penglihatan pasca operasi. Neuropathy optic ischemic anterior (NOIA). Penyebabnya karena proses infark pada watershed zone diantara daerah yang mendapat distribusi darah dari cabang arteri siliaris posterior brevis dalam koroik kapiler. Neuropathy optic ischemic posterior (NOIP). Penyebabnya gangguan suplai oksigen pada posterior dari n.optikus diantara foramen optikum pada apeks orbita dan pada tempat masuknya arteri retina sentralis dimana n.optikus sangat rentan terhadap iskemi.

Buta kortikal.

17

Terjadi karena emboli atau proses obstruksi yang berlangsung lambat, hipotensi berat yang berakibat infark pada watershed zone parietal dan oksipital. Oklusi arteri sentralis (CRAO). Sering disebabkkan oleh emboli yang terbentuk dan plak aterosklerotik yang berulserasi pada arteri karotis ipsilateral. Obstruksi vena oftalmika sentralis (CRVO). Dapat terjadi pada intraoperatif jika posisi pasien menyebabkan penekanan pada bagian luar mata.6 Pencegahan: -

Mencegah penekanan pada bola mata selama intraoperatif. Meminimalkan terjadinya mikro dan makro emboli selama cardiopulmonary bypass. Mempertahankan nilai hematokrit pada batas normal. Menjaga tekanan darah agar stabil.

Pencegahan dan Persiapan Persiapan dan antisipasi untuk timbulnya komplikasi hendaknya selalu diperhatikan: 1. Persiapkanlah alat dan obat seperti anestesi umum. Dengan demikian apabila terjadi komplikasi, semua obat dan alat yang diperlukan untuk terapi dan resusitasi sudah tersedia di tempat yang mudah dicapai. 2. Hindari over dosis. Dosis yang berlebihan dapat dihindari dengan cara: a. Menggunakan anestetik lokal yang paling dikenal sifat farmakologinya misalnya lidokain atau prokain saja. b. Tidak melebihi dosis yang dianjurkan. c. Menggunakan konsentrasi yang paling kecil yang masih efektif lidokain 1% atau prokain 2%.
18

d. Memberikan suntikan dengan hati-hati selalu melakukan aspirasi setiap memasukkan 2 ml bat anestesi akan mencegah kemungkinan masuknya obat ke pembuluh darah. 3. Anamnesa yang baik untuk menentukan anestetik lokal yang dipilih. 4. Monitor selalu keadaan pasien. Bercakap-cakap denga penderita selama operasi bermanfaat untuk mengetahui perubahan sensorium secara dini. Seorang penderita yang mula-mula tidak kooperatif kemudian mendadak tenang, dapat merupakan tanda awal dari reaksi sistemik. 5. Pakai anestetik lokal yang telah dicampur dengan adrenalin 1:200.000 apabila tidak ada kontraindikasi. Selain dapat memperpanjang durasi, dapat pula mengurangi perdarahan serta memperlambat absorbs obat. Segera hentikan suntikan bila dijumpai gejala reaksi yang paling ringan sekalipun. Segera minta bantuan bila reaksi berat.7,8

KESIMPULAN Anestesi regional terbagi menjadi blok sentral dan blok perifer. Blok sentral meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal. Blok perifer terdiri dari blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional intravena, dan lain-lain. Setiap tindakan dari anestesi regional beresiko terjadi komplikasi, untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai farmakologi obat-obat anestesi regional. Komplikasi terdiri dari komplikasi lokal dan sistemik. Gejala komplikasi sistemik bisa terjadi pada susunan saraf pusat, efek perifer, maupun dari reaksi alergi. Komplikasi juga terbagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Tatalaksana apabila terjadi komplikasi bisa dilakukan secara konservatif ataupun dengan bantuan obat-obatan. Diperlukan pencegahan dan persiapan yang baik untuk mencegah timbulnya komplikasi yang tidak diinginkan.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th

ed. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books; 2006, 151-52. 2. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP. Semarang; 2010. 309. 3. Latief SA, Suryadi K. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta; 2002. 107-20.
4. Anaesthesia

UK.

Complications

of

Regional

Anesthesia.

Available

at:

http://www.frca.co.uk/article.aspx?articleid=100508. Diakses tanggal 22 Februari 2012.


5. El-Kassabany

N.

Complications

of

Regional

Anesthesia.

Available

at:

http://www.slideshare.net/scribeofegypt/complications-of-regional-anesthesia-7765645. Diakses tanggal 23 Februari 2012.


6. MedicaNie. Komplikasi Spinal Anestesi. Available at:

http://medicanie.blogspot.com/2010/08/komplikasi-spinal-anestesi.html. Diakses tanggal 23 Februari 2012.


7. Local and Regional Anesthesia. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/1831870-print. Diakses tanggal 24 Februari 2012.


8. Regional

Anesthesia

for

Postoperative

Pain

Control.

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/1268467-overview#showall. Diakses tanggal 24 Februari 2012.

20

Anda mungkin juga menyukai